Anda di halaman 1dari 8

Text Book Reading

Kosekuensi Pulmoner Acute Kidney Injury


J. Pedro Teixeira, MD, Sophia Ambruso, DO, Benjamin R. Griffin, MD,
and Sarah Faubel, MD

Kesimpulan : angka kematian pasien kritis dengan Acute Kidney Injury (AKI) yang
membutuhkan Renal Replacement Therapy (RRT) umumnya lebih dari 50%. Angka
tersebut tidak banyak berubah meskipun terapi sulih fungsi ginjal terus berkembang.
Sejumlah data penelitian pada manusia dan hewan dalam dua dekade terakhir
menunjukkan bahwa AKI berhubungan dengan beragam efek pada organ jauh. Data
tersebut menjelaskan mengapa angka kematian pada AKI tetap tinggi. Tulisan ini
membahas tentang sekuele pulmoner pada AKI dengan fokus pada mekanisme
terjadinya edema paru akibat komplikasi umum AKI (contoh: kelebihan volume
cairan, asidosis) dan akibat komplikasi yang lebih kompleks (contoh: inflamasi
sistemik). Tulisan ini juga membahas tentang kerumitan tatalaksana volume cairan
pada pasien dengan AKI dan cedera paru serta menggali data klinis dan dasar ilmiah
tentang mediator cedera paru setelah terjadinya AKI. Strategi tatalaksana dan terapi
yang efektif dapat ditentukan bila sudah dicapai pemahaman yang baik mengenai
beberapa efek AKI pada tubuh.

kata kunci : Komplikasi cedera ginjal akut, pembahasan mengenai ginjal-paru, cedera
ginjal akut

Kematian akibat AKI tetap tinggi meskipun RRT berkembang pesat. Angka
kematian pasien dengan AKI di rumah sakit dilaporkan sebanyak 9%-28%, dan
kematian terkait AKI di rumah sakit di Amerika Serkat meningkat dua kali lipat pada
2001-2011. Kematian akibat AKI berat lebih tinggi, meningkat dari 28% menjadi
30% pada AKI yang membutuhkan RRT, dan bahkan lebih tinggi pada AKI di
intensive care unit (ICU), biasanya melebihi 50% dengan atau tanpa RRT.
AKI memang diketahui menimbulkan efek yang tidak baik, namun kombinasi
AKI dan gagal napas dapat lebih mematikan. Gagal napas umum terjadi pada pasien
AKI dan 70%-85% pasien AKI di ICU membutuhkan ventilasi mekanis. Kebutuhan
akan ventilator merupakan faktor risiko independen untuk kematian pada pasien
dengan AKI. Suatu penelitian menunjukkan bahwa gagal napas meningkatkan angka
kematian AKI dua kali lipat. Kombinasi AKI dengan gagal napas menimbulkan
prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan gagal organ lain. Penelitian dari
Veterans Affairs/National Institutes of Health Acute Renal Failure Trial Network
(ATN) yang dilakukan pada 1000 orang pasien AKI dengan RRT menunjukkan
bahwa hipoksemia (kebutuhan akan fraksi oksigen >60%) pada awal RRT dan
ventilasi mekanis adalah dua faktor, dari total 21 variabel, dengan nilai prediksi
mortalitas paling kuat. AKI yang menyertai gagal napas dihubungkan dengan waktu
ventilator, weaning dan perawatan ICU yang lebih lama. AKI adalah faktor risiko
meningkatnya mortalitas pada pasien gagal napas.
Hubungan antara cedera ginjal dan paru mungkin bersifat dua arah karena
ventilasi mekanik juga merupakan faktor risiko terjadinya AKI. Tinjauan terhadap 31
studi observasi memperkirakan bahwa ventilasi mekanis meningkatkan risiko AKI
tiga kali lipat pada pasien ICU. Risiko tersebut paling mungkin berhubungan
langsung dengan ventilasi mekanis dibandingkan dengan disfungsi napas, karena
risiko AKI didapatkan lebih tinggi pada pasien dengan ventilator dibandingkan
pasien tanpa ventilasi invasif. Efek hemodinamik pada aliran darah ginjal dan
inflamasi akibat barotrauma yang ditimbulkan ventilator diperkirakan menjadi
mediator peningkatan risiko AKI. Beberapa hasil penilitian pada hewan mendukung
kemungkinan adanya peran mediator inflamasi pada AKI akibat ventilator, namun
penelitian pada manusia menunjukkan bahwa pasien non-ARDS mempunyai risiko
yang sama atau lebih tinggi dibandingkan dengan pasien ARDS. Kesimpulan dari
penelitian tersebut adalah efek hemodinamik mungkin lebih berperan dalam
menimbulkan AKI dibandingkan barotrauma.

KOMPLIKASI TRADISIONAL DAN NONTRADISIONAL PADA AKI


Hubungan antara AKI dan komplikasi pada paru semakin banyak ditemukan,
sehingga muncul pemikiran bahwa AKI adalah kelainan multisistem kompleks yang
menyebabkan sejumlah komplikasi baik yang tradisional maupun nontradisional
(tabel 1). Klasifikasi ini berguna untuk mencari penyebab dan menentukan terapi
untuk komplikasi sistemik dari AKI, termasuk pada respirasi (tabel 2). Komplikasi
sederhana meliputi kelebihan cairan, gangguan elektrolit seperti hiperkalemia,
asidosis, hiperfosfatemia dan hipokalsemia, dan sindrom uremik. Seluruh komplikasi
ini dapat diatasi dengan RRT. AKI diketahui dapat menyebabkan beberapa masalah
sistemik dan komplikasi nontradisional dilaporkan terjadi pada manusia maupun
hewan, seperti kerentanan terhadap sepsis, disfungsi imun dan cedera organ pada
jantung, hati, intestin dan otak. Kerusakan multisistem ini diduga bertanggung jawab
pada tingginya kematian akibat AKI meskipun sudah menjalani RRT.
Penelitian efek AKI pada manusia umumnya terbatas pada data
observasional, namun efek AKI secara spesifik didapatkan dari perbandingan antara
pasien kritis dengan AKI dan pasien dengan ESRD. Pasien ESRD juga mengalami
konsekuensi gagal ginjal, sama dengan AKI, seperti ketidakseimabangan elektrolit,
kelebihan cairan, dan uremia. Sebaliknya, hanya pasien AKI yang akan mengalami
efek sistemik dari AKI. Perbedaan keluaran AKI dan ESRD mungkin diperantarai
efek cedera ginjal. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa AKI pada pasien rawat
inap menimbulkan risiko kematian yang lebih tinggi dibanding ESRD. Suatu
penelitian membandingkan angka kematian antara pasien kritis tanpa gagal ginjal,
ESRD, AKI tanpa RRT dan AKI dengan RRT, menunjukkan angka kematian 5%,
11%, 23%, and 58% berturut-turut, meskipun skor keparahan penyakit (Acute
Physiology And Chronic Health Evaluation [APACHE] III) sama pada ESRD dan
AKI. Penelitian lain menunjukkan risiko kematian AKI meningkat meskipun ESRD
mempunyai usia yang lebih tua dan komorbid diabetes dan darah tinggi yang lebih
banyak. Ketiga penelitian tersebut mendapatkan bahwa ventilasi mekanik
dibutuhkan dalam persentase yang lebih tinggi pada pasien AKI relatif terhadap
pasien ESRD dan dalam ketiga studi ventilasi mekanis diketahui menjadi faktor
risiko untuk kematian.

Suatu penelitian membuktikan bahwa ventilasi mekanik adalah satu-satunya


faktor analisis multivariat yang mendorong peningkatan angka kematian pada pasien
AKI relatif terhadap pasien ESRD. AKI dianggap berperan pada gagal napas melalui
mekanisme gabungan kelebihan cairan, ditunjukkan dengan peningkatan berat badan
yang didapat saat masuk ICU hingga dimulainya continuous RRT (CRRT), dan
peningkatan inflamasi, dibuktikan dengan penurunan albumin serum. Kadar albumin
serum lebih rendah secara signifikan pada pasien AKI yang diamati, meskipun
faktanya, hipoalbuminemia umum terjadi dan berhubungan dengan peningkatan
mortalitas dan inflamasi pada pasien ESRD. Dengan demikian, hasil yang buruk pada
AKI dibandingkan pasien ESRD dengan gagal napaenggambarkan bahwa komplikasi
non-tradisional dan tradisional dari AKI dapat bersama-sama menghasilkan efek
merugikan.

KEGAGALAN PERNAPASAN SEBAGAI KOMPLIKASI TRADISIONAL AKI,


KOMPLIKASI NON-TRADISIONAL AKI, ATAU KEDUANYA?
Ketika mempertimbangkan komplikasi paru dari AKI, komplikasi tradisional
yang paling penting dari AKI adalah kelebihan cairan. Kelebihan cairan, termasuk
pada gagal ginjal berat dengan fungsi jantung yang baik, memiliki potensi
menyebabkan edema paru hidrostatik (sering disebut sebagai kardiogenik).
Kelebihan cairan yang dihasilkan dari AKI sejak lama dikaitkan dengan gagal napas
akibat edema paru. Studi pada tahun 1950 menunjukkan bahwa beberapa pasien
dengan edema paru dan gagal ginjal membaik dengan pengurangan cairan saja,
namun tidak semua kasus edema paru pada pasien dengan AKI dapat dijelaskan
dengan kelebihan cairan. Sebagai contoh, dua penelitian secara kolektif melaporkan
sembilan pasien dengan disfungsi ginjal berat mengalami edema paru namun tidak
didapatkan peningkatan capillary wedge presure, menunjukkan bahwa peningkatan
permeabilitas kapiler paru bertanggung jawab dalam menimbulkan edema. Studi
otopsi manusia, termasuk sebuah studi besar yang membandingkan lebih dari 100
pasien dengan AKI dengan lebih dari 400 kontrol non-AKI, telah menunjukkan
bahwa edema paru pada pasien dengan AKI dikaitkan dengan infiltrasi leukosit,
cairan edema protein, pembentukan membran hialin,dan kerusakan alveolar luas,
membuat beberapa peneliti di era itu (tahun 1950-an - 1980) untuk
mempertimbangkan “uremic pneumonitis” sebagai penyebab ARDS.
Mekanisme edema paru pada manusia dengan AKI sangat menarik untuk
dibahas karena kerumitan penilaian status volume, dan ketidakpastian mengenai
timbulnya AKI. Dalam hal ini, model hewan dari AKI sangat informatif dan
membantu dalam pengelompokan sifat cedera paru akibat AKI dan dapat
menjelaskan mekanisme potensial. Selama 2 sampai 3 dekade terakhir sejumlah data
menunjukkan bahwa AKI dapat menginduksi cedera paru melalui inflamasi dan
edema paru nonhidrostatik. Mayoritas model hewan dengan cedera paru akut (ALI)
akibat AKI yang ditandai dengan peningkatan rasio berat paru basah dan kering,
mengalami inflamasi dengan ciri infiltrasi neutrofil, peningkatan jumlah mediator
inflamasi di sirkulasi, peningkatan kadar protein cairan bronchoalveolar lavage
(BAL) dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah paru yang diukur dengan
akumulasi zat warna biru Evans dalam paru. Pendapat terkini menyebutkan bahwa
edema paru pada AKI dapat berupa edema paru hidrostatik murni, yang dapat
diperbaiki dengan membuang cairan melalui diuresis atau ultrafiltrasi, maupun
edema nonhidrostatik, yang tidak cukup diperbaiki dengan pengurangan cairan.
(gambar. 1 dan 2). Kombinasi edema paru hidrostatik dan nonhidrostatik juga
mungkin terjadi, pada pasien demikian, pengurangan volume dalam jumlah tertentu
akan meningkatkan oksigenasi dan fungsi paru, namun bila berlebihan dapat
berpotensi menyebabkan penurunan perfusi ginjal, hipotensi, dan memanjangnya
AKI.

KOMPLIKASI TRADISIONAL VERSUS NON-TRADISIONAL AKI:


KOMPLEKSITAS VOLUME OVERLOAD
Belum ada pedoman yang pasti tentang kapan harus memberikan cairan dan
kapan harus berhenti untuk pasien dengan AKI, namun ada beberapa hal yang dapat
dilakukan. Resusitasi cairan yang cukup pada AKI penting untuk ginjal dan paru.
Penelitian membandingkan pemberian cairan dalam jumlah berbeda selama 7 hari
setelah iskemik AKI pada mencit menunjukan bahwa mencit yang menerima cukup
cairan membaik lebih cepat diikuti perbaikan inflamasi paru, sebaliknya mencit yang
kurang mendapat cairan mengalami cedera ginjal dan paru lebih lama.
Semakin banyak penelitian yang menemukan bahwa kelebihan cairan pada
AKI dihubungkan dengan hasil akhir yang buruk, meskipun mungkin saja
dipengaruhi perancu. Pencegahan kelebihan cairan dihubungkan dengan durasi
ventilasi mekanis yang lebih singkat pada orang dewasa dengan ARDS yang diterapi
dengan diuretik hingga bayi yang menjalani dialisis peritoneal setelah bedah kelainan
jantung bawaan. Suatu studi oleh the Fluid And Catheter Treatment Trial (FACTT)
memperlihatkan bahwa pengaturan asupan dan keluaran cairan secara seimbang
selama 1 minggu memperbaiki oksigenasi dan menurunkan derajat keparahan cedera
paru dan memperpendek durasi ventilasi dan lama perawatan ICU masing-masing
lebih dari 2 hari, dibandingkan pengaturan balance positif 1 L/hari pada grup kontrol.
Tidak ada perbedaan angka kematian atau risiko syok, AKI atai gagal organ selain
paru, namun didapatkan kecenderungan penurunan kebutuhan RRT pada kelompok
terapi konservatif dibandingkan kontrol.
Pasien sepsis memperoleh manfaat pembatasan cairan lebih banyak dibanding
pasien ARDS. Penelitian pada 150 pasien dengan syok sepsis menunjukkan restriksi
cairan yang dilakukan setelah resusitasi dapat mengurangi risiko kematian dan AKI.
Sebuah metaanalisis dari 11 penelitian terhadap dewasa dan anak dengan ARDS,
sepsis dan atau Systemic Inflamatory Response Syndrome menunjukkan hasil yang
sama, dengan manajemen cairan konservatif atau de-resusitasi, menghasilkan
pengurangan lama pewawatan ICU dan hari-hari bebas ventilator, tanpa efek berarti
pada mortalitas.
Empat penelitian multisenter tentang protokol resusitasi melibatkan tiga
pasien dengan syok septik awal mendapat terapi sesuai protokol goal-directed
therapy (GDT) dari River et al, satu orang menggunakan algoritma hemodinamik
berdasarkan cardiac-output setelah pembedahan besar, seluruhnya gagal mencapai
perbaikan pada fungsi ginjal atau angka kematian dibandingkan dengan perawatan
biasa. Hal ini membuat perlunya terapi individual pada tiap pasien daripada
menyamaratakan terapi untuk tiap pasien apapun diagnosisnya. Penelitian terdahulu
yang memperlihatkan perbaikan pada fungsi ginjal atau GDT orang dewasa atau
anak, umumnya menghasilkan peningkatan pemberian cairan awal dalam jam,
dengan cairan diberikan dalam jumlah yang sama antara kelompok intervensi dan
kelompok kontrol dalam 72 jam. Sebuah kajian dari 24 percobaan GDT paska
operasi memperlihatkan pengurangan kejadia AKI, namun perbedaan keseluruhan
antar kelompok yang dimasukkan cairan cukup sedikit, rata-rata hanya 600 ml.
Manfaat keseluruhan GDT paska terutama didapatkan pada penelitian yang
menggunakan balance cairan hampir sama dan atau mengunakan obat inotropik,
dibandingkan penelitian yang menggunakan lebih banyak cairan. Intervensi pada
seluruh studi terbatas pada 24 jam pertama paska operasi. Resusitasi cairan untuk
mencegah AKI paling efektif diberikan seawal mungkin dan pemberian cairan
berlebihan harus dihindari, di luar 24 jam pertama balance cairan seimbang harus
dipertahankan.
Penilaian status cairan yang akurat harus dilakukan pada pasien AKI dan
gagal napas karena nefrologis sering dihadapkan pada pilihan apakah harus
memberikan sejumlah cairan atau mengeluarkannya dengan diuresis atau ultrafiltrasi.
Sayangnya, pengukuran staus volume yang tersedia untuk pasien hipotensi dan atau
gagal ginjal terbatas penggunaannya dalam klinis. Sebagai contoh, central venous
pressure (CVP) yang pernah menjadi panduan dalam resusitasi pada sepsis, ternyata
tidak cukup baik untuk menilai respons resusitasi cairan. Data penelitian terus
menunjukkan bahwa CVP tinggi pada AKI berkaitan dengan fungsi ginjal dan hasil
akhir yang lebih buruk, konsisten dengan hasil kelebihan cairan pada AKI. Laporan
terkini menghubungkan CVP yang lebih tinggi pada AKI atau mortalitas terkait AKI
yang lebih tinggi tidak hanya pada gagal jantung atau ARDS namun juga sepsis dan
pasien ICU secara keseluruhan. Masalah ini diduga disebabkan oleh sumbatan vena
dan berkurangnya liran darah ke ginjal dan filtrasi glomerulus akibat peningkatan
tekanan subkapsular ginjal dan interstitial. Tingginya CVP pada sepsis dikaitkan
dengan meningkatnya risiko AKI. CVP juga lebih tinggi secara statistik pada pasien
yang meninggal dibandingkan dengan yang selamat, sehingga CVP yang tinggi
dihubungkan dengan meningkatnya risiko kematian. CVP yang terus meningkat
sejak masuk rumah sakit juga dihubungkan dengan risiko AKI yang lebih tinggi.
Berdasarkan data-data tersebut maka disimpuljan bahwa peningkatan CVP dikaitkan
dengan luaran yang lebih buruk dan CVP dapat dimanfaatkan untuk menilai risiko
kelebihan cairan pada pasien.
Penilaian keseimbangan cairan dengan cara konvensional seperti menimbang
berat badan dan pencatatan cairan harian memiliki keterbatasan, bahkan setelah
koreksi insensible fluid losses. Kehilangan cairan tak terlihat tidak dilakukan rutin,
dengan mengandalkan catatan harian maka dapat terjadi risiko hipovolemi. Sejumlah
alat ukur untuk keseimbangan cairan seperti variasi tekanan nadi, menaikkan kaki,
atau ultrasonografi kolaps vena cava telah dikembangkan dan diketahui lebih baik
dibandingkan pengukuran secara statis status cairan pasien ICU. Pengukuran dinamis
respons cairan terutama digunakan untuk memutuskan pemberian cairan bukan
pengeluarannya. Suatu studi pilot pada 24 pasien dengan decompensated chronic
heart failure dan resisten diuretik, kolaps vena cava inferior dapat memprediksi
hipotensi selama ultrafiltrasi lambat. Sejumlah teknologi lain telah diajukan untuk
memandu pengeluaran cairan selama dialisis pada pasien AKI, namun ternyata tidak
banyak membantu. Saat ini belum ada satu pun metode yang terbukti lebih baik dari
yang lain, baik dinamis atau statis, tradisional atau baru untuk menegakkan diagnosis
kelebihan cairan juga pada strategi untuk menentukan kapan memulai atau
menghentikan pengeluaran cairan baik dengan diuretik atau ultrafiltrasi. Penelitian
lebih lanjut masih dibutuhkan untuk menentukan cara mana yang paling baik untuk
menilai status cairan dan keluaran jangka panjang seperti kembalinya fungsi ginjal
atau harapan hidup.

MEKANISME CEDERA INFLAMASI PARU SETELAH AKI : OVERVIEW

Efek nontradisional AKI pada paru melibatkan jalur inflamasi yang


kompleks. Empat komponen yang telah dipelajari yaitu peningkatan sitokin di
sirkulasi terutama IL6 dan IL8, apoptosis sel endotel paru, nekroinflamasi ginjal dan
rekrutmen limfosit T. Proses inflamasi tersebut terbukti berperan penting dalam
rekrutmen netrofil, cedera sel endotel dan peningkatan permeabilitas kapiler yang
terjadi pada edema paru (gambar 3).

MEKANISME CEDERA INFLAMASI PARU SETELAH AKI : FAKTOR


SIRKULASI

AKI pada manusia dikaitkan dengan peningkatan kadar IL6, IL8 dan tumor necrosis
factor (TNF) serum. Peningkatan IL6 dan IL8 lebih awal dihubungkan dengan
berkembangnya AKI dan waktu ventilator memanjang. IL6 diketahui dapat
memprediksi AKI pada pasien dengan sepsis berat. AKI juga dikaitkan dengan
peningkatan IL6 dan IL8 pada pasien ICU dewasa, dan dapat memprediksi risiko
kematian yang lebih besar.

IL6 didapatkan menjadi mediator cedera paru pada model hewan, yang ditandai
dengan infiltrasi netrofil, peningkatan produksi kemokin netrofil dan kebocoran
kapiler. Efek ini secara spesifik disebabkan oleh IL6 dalam sirkulasi, bukan dari
paru. Sumber utama IL6 sirkulasi pada hewan penelitian dengan AKI-induced ALI
diperkirakan berasal dari ginjal yang cedera, dan memang messenger RNA dan
ekspresi protein IL6 ginjal dipicu oleh iskemia dan AKI nefrotoksik. Klirens IL6
oleh ginjal, juga seperti protein kecil lain, dimediasi oleh metabolisme oleh sel
tubulus proksimal dan dihambat oleh cedera tubular namun tidak oleh azotemia.
Penelitian lain juga menemukan jalur sinyal IL6 sebagai mediator ALI paska AKI
iskemik.

IL8 adalah sitokin dan kemokin netrofil yang juga berperan penting dalam
perkembangan cedera paru akibat AKI. Kadar IL8 serum dan paru meningkat pada
AKI, dan pada model hewan dengan cedera paru AKI-induced, penuruna IL8
menyebabkan berkurangnya infiltrasi dan aktivitas netrofil paru serta menurunkan
permeabilitas paru. Para peneliti berhasil menunjukkan bahwa IL6 bekerja dengan
mengaktifkan chemokine C-X-C motif ligand 1 (CXCL1), suatu analog fungsional
IL8 manusia pada tikus, pada sel endotel untuk memicu akumulasi netrofil. Tikus
yang diberi antibodi anti- CXCL1 atau mengalami defisiensi reseptor CXCL1 (C-X-
C
motif chemokine receptor 2), AKI atau nefroktomi bilateral, mempunyai infiltrasi
netrofil yang lebih rendah dibandingkan kontrol.

Sitokin ketiga yang diketahui memediasi cedera paru paska nefroktomi bilateral atau
iskemik-reperfusi ginjal adalah protein grup B1 bermobilitas tinggi, yang bekerja via
dan tergantung pada reseptornya, Toll-like receptor 4.

Mediator inflamasi lain yang juga meningkat dalam paru atau cairan alveoli paska
AKI iskemik diantaranya molekul adhesi seperti intercellular adhesion molecule 1,
kemokin lain seperti macrophage inflammatory protein 2 dan cytokine-induced
neutrophil chemoattractant 2, reseptor kemokin seperti C-X-C motif chemokine
receptor 2, dan signaling complex nuclear factor-kB.

Anda mungkin juga menyukai