Penyusun:
SHALLINIE A/P MURUGIAH
170100255
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Edema paru merupakan suatu keadaan kritis yang memerlukan terapi segera dan
tepat, agar kelangsungan hidup dapat dipertahankan. Edema paru didefinisikan
sebagai suatu keadaan dimana terjadi perpindahan cairan dari vaskular paru ke
interstisial dan alveoli paru (Mattu A., 2005) Terdapat dua jenis edema paru yang
terjadi pada manusia, yakni edema paru kardiogenik dan edema paru non kardiogenik.
Edema paru kardiogenik disebut sebagai edema paru hidrostatik atau edema paru
hemodinamik sedangakn edema paru non-kardiogenik disebut juga sebagai edema
paru yang diakibatkan peningkatan permeabilitas atau acute lung injury atau acute
respiratory distress syndrome. Walaupun keduanya memiliki penyebab yang berbeda,
namun edema paru kardiogenik dan edema paru non-kardiogenik tetap sulit
dibedakan karena memiliki manifestasi klinis yang sama. (Bihar S, 2017)
Di Indonesia, edema paru pertama kali terdeteksi pada tahun 1971. Sejak itu
penyakit tersebut dilaporkan di berbagai daerah sehingga sampai tahun 1980 sudah
mencakup seluruh propinsi di Indonesia. Sejak pertama kali ditemukan, jumlah kasus
menunjukkan kecenderungan meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah. Di
Indonesia insiden tersebar terjadi pada 1998 dengan incidence rate (IR) = 35,19 per
100.000 penduduk dan CFR = 2% (Huldani H, 2014). Edema paru kardiogenik akut
(Acute cardiogenic pulmonary edema/ACPE) sering terjadi, dan berdampak
merugikan dan mematikan dengan tingkat kematian 10- 20% (Salman A, 2010).
2
1.2 ARDS
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) adalah kondisi yang mengancam jiwa
pasien sakit parah, ditandai dengan oksigenasi yang buruk, infiltrat paru, dan
ketajaman onset. Pada tingkat mikroskopis, gangguan ini terkait dengan cedera
endotel kapiler dan kerusakan alveolar difus. Setelah ARDS berkembang, pasien
biasanya memiliki berbagai tingkat vasokonstriksi arteri pulmonalis dan selanjutnya
dapat berkembang menjadi hipertensi pulmonal. ARDS membawa kematian yang
tinggi, dan beberapa modalitas terapi yang efektif ada untuk memperbaiki kondisi
mematikan ini. (Diamond M., 2021)
Perkiraan kejadian ARDS di Amerika Serikat berkisar dari 64,2 hingga 78,9
kasus/100.000 orang-tahun. Dua puluh lima persen kasus ARDS awalnya
diklasifikasikan sebagai ringan dan 75% sebagai sedang atau berat. Namun, sepertiga
dari kasus ringan berlanjut menjadi penyakit sedang atau berat. Sebuah tinjauan
literatur mengungkapkan penurunan angka kematian sebesar 1,1% per tahun untuk
periode 1994 hingga 2006. Namun, angka kematian gabungan secara keseluruhan
untuk semua studi yang dievaluasi adalah 43%. Mortalitas ARDS sepadan dengan
tingkat keparahan penyakit; itu adalah 27%, 32%, dan 45% untuk penyakit ringan,
sedang, dan berat, masing-masing.(Diamond M., 2021)
2. Tujuan Penulisan
3
3. Manfaat Penulisan
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Etiologi
Penyebab edema paru non kardiogenik akibat dari proses patologi secara
langsung dan tidak langsung. Mekanisme tidak langsung akibat dari over ekspresi
dari respon inflamasi normal mengakibatkan kaskade inflamasi yang tidak hanya
mencederai paru tetapi juga organ tubuh yang lain, menyebabkan disfungsi organ
multipel. (Bihar S, 2017)
Edema paru kardiogenik disebabkan oleh peningkatan tekanan hidrostatik dari
kapiler pulmonal. Hal ini dapat dilihat pada kelainan yang melibatkan fungsi tekanan
sisitolik dan diastolik ventrikel kiri (miokarditis akut termasuk etiologi yang lain dari
Noniskemik kardiomiopati, infark miokardial akut), fungsi valvular (regurgitasi
mitral/aortik dan stenosis dengan derajat sedang hingga berat), irama jantung (atrial
5
fibrilasi dengan respon ventrikular yang cepat, ventrikular takikardi, derajat tinggi
dan blok jantung derajat ke-3) (Ghofrani HA, 2004).
Edema paru nonkardiogenik disebabkan oleh perlukaan paru dengan akibat
meningkatnya permeabilitas pembuluh darah pulmonal yang menyebabkan
berpindahnya cairan yang kaya akan protein menuju alveolus dan kompartemen
interstisial. Acute Lung Injury dengan hipoksemia berat mengacu kepada Acute
Respiratory Ditress Syndrome (ARDS) dan deberapa kondisi yang secara langsung
mempengaruhi paru seperti pneumonia, luka inhalasi, ataupun secara tak langsung
seperti sepsis, akut pankreatitis, trauma berat dengan syok dan transfusi darah
multipel (Ware LB,2005).
1. High Altitude Pulmonary Edema (HAPE)
HAPE adalah edema paru non kardiogenik, sering terjadi pada usia muda yang
mendaki dengan ketinggian lebih dari 2400 meter tanpa adaptasi terlebih dahulu.
HAPE terjadi karena peningkatan tekanan arteri paru dan resistensi vaskuler paru
sebagai respon terhadap hipoksia (Bihar S, 2017).
Terapi HAPE adalah membawa pasien ke tempat yang lebih rendah secepatnya
(kurang dari 48 jam lebih rendah dari 2400 meter), pemberian oksigen konsentrasi
tinggi, tirah baring serta membatasi asupan cairan. Nifedipin dapat digunakan untuk
pengobatan HAPE dan juga profilaksis, tetapi hanya dipakai ketika oksigen tidak
tersedia atau membawa pasien ke tempat yang lebih rendah tidak memungkinkan.
HAPE seringkali dapat dicegah dengan inhalasi salmeterol (beta adrenergik agonis)
terutama pada individu yang rentan. Penggunaan inhalasi nitrit oksida tersendiri atau
kombinasi dengan oksigen dapat mengurangi resistensi vaskuler paru dan
memperbaiki oksigenasi pada penderita HAPE (Bihar S, 2017).
2. Edema paru Neurogenik
Dapat terjadi karena gangguan susunan saraf pusat karena trauma kepala, kejang,
stroke, perdarahan sub arachnoid dan setelah operasi karaniotomi. Hal ini disebabkan
6
karena hiperaktivitas simpatik dengan pelepasan katekolamin yang menyebabkan
pergeseran aliran darah dari sirkulasi sistemik ke sirkulasi pulmonal disertai dengan
peningkatan tekanan atrium kiri dan tahanan kapiler pulmonal. Terapi edema
paruneurogenik biasanya memerlukan perawatan intensif di ICU dengan bantuan
ventilator dan tindakan medis untuk menurunkan tekanan intrakranial (Bihar S, 2017).
3. Edema Paru Karena Overdosis Narkotik
Onset dispnea dan hipoksemia biasanya terjadi cepat, segera atau dalam beberapa
jam setelah overdosis heroin. Penyebabnya adalah kebocoran membran alveolar
kapiler dengan tekanan kapiler paru yang normal. Terapi terdiri dari naloksan,
suplemen oksigen dan 1/3 dari pasien memerlukan bantuan ventilator (Bihar S, 2017).
2.1.3 Patofisiologi
Dalam keadaan normal di dalam paru terjadi aliran yang kontinyu dari cairan dan
protein intravaskular ke jaringan interstisial dan kembali ke sistem aliran darah
melalui saluran limf yangn memenuhi hukum Starling Q = K (Pc-Pt) - d (c-t)
(Nendrastuti, 2010).
Edema paru terjadi bila cairan yang difiltrasi oleh dinding mikrovaskuler lebih
banyak daripada yang bisa dikeluarkan yang berakibat alveoli penuh terisi cairan
sehingga tidak memungkinkan terjadinya pertukaran gas. Faktor-faktor penentu yang
berperan disini yaitu perbedaan tekanan hidrostatik dan onkotik dalam lumen kapiler
dan interstisial, serta permeabilitas sel endotel terhadap air, larutan, dan molekul
besar seperti protein plasma. Adanya ketidakseimbangan dari satu atau lebih dari
faktor-faktor diatas akan menimbulkan terjadinya edema paru (Murray JF, 2011).
Pada edema paru kardiogenik (volume overload edema) terjadinya peningkatan
tekanan hidrostatik dalam kapiler paru menyebabkan peningkatan filtrasi cairan
transvaskular. Bila tekanan interstisial paru lebih besar daripada tekanan intrapleural
maka cairan bergerak menuju pleura viseral yang menyebabkan efusi pleura. Bila
permeabilitas kapiler endotel tetap normal, maka cairan edema yang meninggalkan
7
sirkulasi memiliki kandungan protein rendah. Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler
paru biasanya disebabkan oleh meningkatnya tekanan di vena pulmonalis yang terjadi
akibat meningkatnya tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan tekanan atrium kiri
(>25 mmHg). Dalam keadaan normal tekanan kapiler paru berkisar 8-12 mmHg dan
tekanan osmotik koloid plasma 28 mmHg (Soemantri, 2011).
Pada edema paru non kardiogenik tekanan hidrostatik normal, peningkatan cairan
paru terjadi karena kerusakan lapisan kapiler paru dengan kebocoran protein dan
makromolekul ke dalam jaringan. Cairan berpindah dari pembuluh darah ke jaringan
paru sekitarnya. Proses ini dikaitkan dengan disfungsi lapisan surfaktan pada alveoli
dan kecenderungan kolapsnya alveoli pada volume paru yang rendah. Dinding
pembuluh darah paru bersifat permeabel. Air bergerak menyeberangi dinding
membran, apabila tidak ada keseimbangan kekuatan antara kedua bagian sisi
membran. Air yang masuk ke ruangan interstisial mempunyai dua jalan keluar,
dengan melalui saluran limfe atau masuk ke alveoli (Bihar S, 2017).
8
2.1.4 Evaluasi Diagnostik
Diagnosis ditegakkan berdasar atas gejala klinis dan pemeriksaan yang
disebabkan edema paru dan gejala klinis penyakit dasarnya.
A) Foto toraks
Pemeriksaan foto toraks menunjukkan kardiomegali (pada pasien dengan CHF)
dan adanya edema alveolar disertai efusi pleura dan infiltrasi bilateral dengan pola
butterfly, gambaran vaskular paru dan hilus yang berkabut serta adanya garis-garis
Kerley b di interlobularis. Jantung juga bisa berukuran normal pada edema paru
kardiogenik setelah infark miokard akut.
B) Analisa gas darah
AGDA dapat mendukung dan juga sebagai acuan pada pengobatan edema paru.
Pada edema paru pemeriksaan analisa gas darah (AGDA) memperlihatkan
hipoksemia berat.
C) Elektrokardiografi (EKG)
Elektrokardiografi untuk membedakan edema paru akibat kelainan jantung. EKG
menunjukan gangguan pada jantung seperti pembesaran atrium kiri, pembesaran
ventrikel kiri, aritmia, miokard iskemik maupun infark (Ware LB,2005).
D) Ekokardiografi
Ekokardiogrfai dilakukan untuk mengetahui apakah ada penurunan fungsi dari
ventrikel kiri dan adanya kelainan katup-katup jantung (Ware LB,2005).
E) Kadar protein cairan edema
Pengukuran rasio konsentrasi protein cairan edema dibandingkan protein plasma
dapat digunakan untuk membedakan edema paru kardiogenik dan non-kardiogenik.
Bahan pemeriksaan diambil dengan pengisapan cairan edema paru melalui pipa
endotrakeal atau bronkoskop dan pengambilan plasma. Pada edema paru kardiogenik,
konsentrasi protein cairan edema relatif rendah dibanding plasma (rasio <0,6). Pada
edema paru non-kardiogenik konsentrasi protein cairan edema relatif lebih tinggi
(rasio >0,7) karena sawar mikrovaskular berkurang (Harun S, 1998)
9
F) Pemeriksaan laboratorium enzim jantung
Pemeriksaan ini dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis infark
miokard. Peningkatan kadar brain natriuretic peptide (BNP) di dalam darah sebagai
respon terhadap peningkatan tekanan di ventikel; kadar BNP >500 pg/ml dapat
membantu menegakkan diagnosis edema paru kardiogenik (Nieminen, 2005).
2.1.5 Tatalaksana
Prinsip penatalaksanaan meliputi pemberian oksigen yang adekuat, restriksi cairan,
dan mempertahankan fungsi kardiovaskular (Nieminen, 2005).
10
1. Diuretik
Furosemide sebagai obat yang paling sering digunakan sebagai diuretik. Dosis yang
lebih tinggi berhubungan dengan peningkatan sesak napas, bagaimanapunn,juga
berhubungan dengan perburukan sementara fungsi renal (Chioncel O, 2015).
2. Vasodilator
Vasodilator dapat diambahkan sebagai terapi adjuvan dari diuretik dalam manajemen
edema paru. NTG biasanya digunakan ketika tekanan darah sistolik >110mmHg.
Nesiritide yang juga rekombinan dari BNP sebagai vasodilator. Telah menunjukka
kemampuan untuk mengurangi PCWP dan tekanan pengisian secara signifikan, tetapi
tidak terlihat kemampuannya dalam menangani sesak napas (VMAC, 2002).
3. Nifedipine
Nifedipine telah dipergunakan sebagai profilaksis dan pengobatan HAPE. Obat ini
meniadakan vasokonstriksi yang dimediasi oleh hipoksia pada vaskular paru.
Penurunan tekanan arterial paru dengan terjadinya peningkatan pertukaran gas,
kemampuan berolahraga dan perbaikan radiologis paru (Rashid, 2005).
4. Inotropik
Dobutamin dan dopamin digunakan sebagai manajemen kongesti paru ketika
berhubungan dengan penurunan tekan sistolik dan tanda dari hipoperfusi jaringan.
Efek samping yang signifikan seperti takiaritmia, iskemia dan hipotensi (Cuffe, 2002)
5. Ventilator
Dukungan ventilator baik invasif maupun non invasisf, digunakan untuk
meningkatkan oksigenasi secara langung ke alveolus, dan cairan interstsial dapat
kembali ke kapiler sehingga memperbaiki keadaan hiperkarbia dan oleh sebab itu
membalikkan keadaan asidosis respiratorik dan terakhir, yaitu peningkatan
oksigenasi jaringan (Chioncel O, 2015).
11
2.2 Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
2.2.1 Definisi
Acute respiratory distress syndrome (ARDS) merupakan perlukaan inflamasi paru
yang bersifat akut dan difus, yang mengakibatkan peningkatan permeabilitas vaskular
paru, peningkatan tahanan paru, dan hilangnya jaringan paru yang berisi udara,
dengan hipoksemia dan opasitas bilateral pada pencitraan, yang dihubungkan dengan
peningkatan shunting, peningkatan dead space fisiologis, dan berkurangnya
compliance paru. (Schreiber, M.L 2018)
Pada tahun 1994, American – European Consensus Conference (AECC) on ARDS
menyebutkan bahwa secara defenisi dikatakan ARDS jika dijumpai 4 komponen,
yaitu :
1. Gagal napas yang bersifat akut.
2. PaO2/FiO2 ≤ 200 mmHg.
3. Pada foto toraks terlihat gambaran infiltrat bilateral yang sesuai dengan edema paru.
4. Tidak dijumpai adanya tanda – tanda payah jantung kongestif. Ini dapat
disingkirkan dengan mengukur tekanan baji arteri pulmonalis, dimana pada ARDS <
18 mmHg. (Bihar S, 2017)
2.2.2 Etiologi
ARDS merupakan akibat dari adanya cedera langsung atau tidak langsung terhadap
paru, sehingga terjadi kebocoran plasma ke dalam ruang instertisial dan ruang
alveolus. Dari itu sesungguhnya sangat banyak faktor yang dapat menimbulkan
ARDS, sebagaimana yang dapat dilihat dibawah :
12
Etiologi Acute Respiratory Distress Syndrome
Cedera Inhalasi
2.1.3 Patogenesis
Tahapan patologi ARDS secara klasik digambarkan dalam 3 tahapan yang berurutan
dan tumpang tindih. Pada tahapan pertama, yaitu fase eksudatif dari jejas paru,
temuan patologis disebut sebagai diffuse alveolar damage. Terdapat membran hialin
yang melapisi dinding alveolar dan cairan edema yang mengandung protein di ruang
alveoler, terjadi pula gangguan pada epitel dan infiltrasi neutrofil pada interstitial dan
alveoli. Area hemorrhage dan makrofag dapat ditemukan di alveoli(Lee,2016). Fase
yang berlangsung 5-7 hari ini diikuti oleh yang disebut sebagai fase proliferatif pada
beberapa pasien. Pada titik ini, membran hialin telah mengalami organisasi dan
fibrosis. Obliterasi kapiler pulmonal dan deposisi kolagen pada interstitial dan
13
alveolar dapat diamati bersamaan dengan penurunan jumlah neutrofil dan derajat
edema paru. Fase proliferatif ini diikuti oleh fase fibrosis yang tampak pada
gambaran radiologis pada ARDS persisten (lebih dari 2 minggu) (Fanelli, 2013).
Awalnya jejas langsung maupun tidak langsung pada paru diduga menyebabkan
proliferasi mediator inflamasi pada mikrosirkulasi paru. Neutrofil ini mengaktifkan
dan bermigrasi dalam jumlah besar melewati endotel pembuluh darah dan permukaan
epitel alveolar, melepaskan protease, sitokin, dan reactive oxygen species (ROS).
Migrasi dan pelepasan mediator ini mengarah kepada permeabilitas vaskuler yang
patologis, timbulnya jarak pada barier sel epitel alveolar serta nekrosis sel alveolar
tipe I dan II. Hal ini sebaliknya menyebabkan edema paru, pembentukan membran
hialin, dan kehilangan surfaktan yang menurunkan komplians paru dan membuat
pertukaran gas sulit terjadi. Selanjutnya terjadi infiltrasi fibroblas yang mengarah
pada deposisi kolagen, fibrosis, dan akhirnya perburukan penyakit. Pada fase
penyembuhan terjadi berbagai hal secara bersamaan. Sitokin anti-inflamasi
menginaktivasi neutrofil yang teraktivasi yang akan mengalami apoptosis dan
fagositosis. Sel alveolar tipe II berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel alveolar
tipe I, memperbaiki integritas dari pelapis epitelial dan membuat gradien osmotik
yang menarik cairan keluar dari alveoli ke dalam mikrosirkulasi dan sistem limfatik
paru. Secara simultan sel alveolar dan makrofag menghilangkan bahan protein dari
alveoli sehingga paru dapat pulih (Fanelli, 2013).
Salah satu faktor penyebab ARDS adalah sepsis, sehingga diharapkan dengan
tatalaksana sepsis yang adekuat dapat mencegah atau memperbaiki keadaan ARDS.
Pada tahap awal sepsis terjadi keadaan inflamasi, terjadi up-regulasi dari sitokin
inflamasi seperti TNF-α dan IL1β, serta pengumpulan dan aktivasi sel inflamasi
seperti neutrofil. Di antara sitokin proinflamasi, TNFα, IL-1β, interleukin 6 (IL-6),
dan IL-8 meningkat jumlahnya pada bilasan bronkoalveolar pada pasien ARDS, serta
14
levelnya lebih tinggi pada pasien yang meninggal dibandingkan pasien yang selamat
(Blondonnet, 2016).
15
Gambar 2.3 A. CT Scan Thoraks : tampak adanya gambbarna ground glass bilateral.
B. Foto Rontgen Thoraks : tampak adanya infiltrat difus bilateral. (Sumber : Bihar S,
2017)
Dari pemeriksaan analisa gas darah pada awal-awal ARDS menunjukkan keadaan
hipoksemia dan hipokapnia dengan suatu alkalosis respiratorius. Hipoksemia akan
menjadi lebih berat dan tidak ada tanda-tanda perbaikan sekalipun dengan pemberian
oksigen murni. Pada kasus-kasus yang berat, takipnoe dan spontaneous minute
ventilation yang tinggi menyebabkan otot-otot pernapasan akan lelah dan selanjutnya
akan terjadi keadaan hiperkapni (Bihar S, 2017).
2.1.5 Tatalaksana
Sampai saat ini prinsip penanganan kasus – kasus ARDS kebanyakan masih bersifat
empiris dan suportif. Terapi suportif yang standar pada ARDS ditujukan untuk
melakukan identifikasi dan penanganan gangguan fungsi organ, baik fungsi paru
ataupun bukan paru. Oleh karena itu sebagai tahap yang paling awal dalam
pengobatan ARDS adalah mendiagnosis dan mengobati kondisikondisi yang
merupakan faktor-faktor predisposisi dan penyebabnya. Selanjutnya yang kedua
adalah untuk mengembalikan kondisi patologis yang sudah terjadi. Akan tetapi untuk
16
pencegahan dan pengobatan spesifik yang efektif untuk munculnya ARDS masih
sangat kurang.
1. Manajemen hemodinamik
Secara teori, pemberian albumin lebih baik, karena albumin akan meningkatkan
tekanan onkotik intravaskular dan mencegah edema paru. Sebuah studi placebo-
controlled menunjukkan bahwa pemberian albumin dan furosemide selama 5 hari
menyebabkan perbaikan oksigenasi secara substansial dan signifikan, dan disertai
penurunan detak jantung (Wieldmann, 2006).
2. Nutrisi
Telah disimpulkan bahwa manipulasi pada diet dapat memperbaiki sistem imun dan
meningkatkan hasil terapi penyakit inflamasi, seperti sepsis dan ARDS. Strategi yang
telah dilakukan antara lain suplementasi arginin, glutamin, asam lemak -3, dan
antioksidan (Lee W, 2016).
3. Vasodilator Inhalasi
17
4. Kortikosteroid
Penggunaan steroid telah lama diperkirakan akan berguna pada fase lebih lanjut
ARDS, yaitu fase fibroproliferatif. Tingkat sitokin plasma yang meningkat secara
persisten tampaknya berhubungan dengan perburukan survival rate ARDS. Hal ini
mendukung teori yang menyebutkan bahwa ARDS fase lanjut (>7 hari setelah onset)
ditandai dengan inflamasi persisten yang mungkin memberikan respon terhadap
steroid. Beberapa studi menyebutkan bahwa kelompok yang diberikan steroid
menunjukkan tingkat mortalitas yang lebih rendah, oksigenasi yang lebih baik,
penurunan disfungsi organ, dan ekstubasi lebih awal. Saat yang tepat untuk
memberikan steroid masih menjadi perdebatan, namun dinilai masih masuk akal
untuk mempertimbangkan pemberian steroid pada pasien yang tidak membaik dalam
7-14 hari, karena pada subgrup penelitian didapatkan keuntungan dan tidak terbukti
adanya kerugian (Levy, 2013).
5. NSAID
Bukti klinis terbaru menyebutkan bahwa terdapat jalur tambahan yang melibatkan
platelet pada onset dan fase resolusi jejas ARDS. Studi observasional menunjukkan
bahwa anti-platelet potensial memiliki peran preventif pada pasien dengan risiko
terjadi ARDS (Fanelli, 2013).
6. Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik merupakan terapi standar untuk ARDS dan bertujuan untuk
lifesaving. Tatalaksana ventilator untuk ARDS mengalami banyak perubahan sejak
20 tahun terakhir, karena bertambahnya penggunaan computed tomography untuk
paru dan pemahaman lebih lanjut terhadap VILI (Levy, 2013)
18
BAB III
KESIMPULAN
1. Edema paru adalah akumulasi cairan yang berlebihan di dinding alveolar dan
ruang alveolar paru-paru. Proses ini menyebabkan pengurangan pertukaran gas
pada tingkat alveolar, yang dapat berkembang menjadi penyebab potensial gagal
napas. Edema paru terdiri dari edema paru kardiogenik dan nonkardiogenik.
Diagnosanya ditentukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
penunjang seperti foto toraks memperlihatkan adanya infiltrat-infiltrat bilateral
yang difus. Penanganan utama dalam keadaan edema paru yaitu oksigen yang
adekuat, dan merestriksi akumulasi cairan.
19
DAFTAR PUSTAKA
20
12. VMAC Investigators (Vasodilatation in the Management of Acute CHF).
Intravenous nesiritide vs nitroglycerin for treatment of decompensated congestive
heart failure: a randomized controlled trial. JAMA. 2002 Mar 27;287(12):1531-
40.
13.Wiedemann HP, Wheeler AP, Bernard GR, et al. Comparison of Two
FluidManagement Strategies in Acute Lung Injury. The New England Journal of
Medicine. 2006; 354: 2564-75.
14. Fanelli V, Vlachou A, Ghannadian S, Simonetti U, Slutsky AS and Zhang H.
Acute Respiratory Distress Syndrome: New Definition, Current and Future
Therapeutic Options. Journal of Thoracic Disease. 2013; 5: 326-34.
15. Nendrastuti H, Mohamad S. Edema paru akut, kardiogenik dan non kardiogenik.
Majalah Kedokteran Respirasi. 2010;1(3):10.
16. . Soemantri. Cardiogenic pulmonary edema. Naskah Lengkap PKB XXVI Ilmu
Penyakit Dalam 2011. FK UNAIR-RSUD Dr. Soetomo, 2011. p.113-9.
17. Rashid H, Hashmi SN, Hussain T. Risk factors in high altitude pulmonary
oedema. J Coll Physicians Surg Pak. 2005 Feb;15(2):96-9.
18. Cuffe MS, Califf RM, Adams KF, Benza R, Bourge R, Colucci WS, Massie BM,
O'Connor CM, Pina I, Quigg R, Silver MA, Gheorghiade M., Outcomes of a
Prospective Trial of Intravenous Milrinone for Exacerbations of Chronic Heart
Failure (OPTIME-CHF) Investigators. Short-term intravenous milrinone for acute
exacerbation of chronic heart failure: a randomized controlled trial. JAMA. 2002 Mar
27;287(12):1541-7.
19. Blondonnet R, Constantin JM, Sapin V and Jabaudon M. A Pathophysiologic
Approach to Biomarkers in Acute Respiratory Distress Syndrome. Disease Markers.
2016; 2016: 3501373.
20. Levy B and Choi A. Acute Respiratory Distress Syndrome. In: Loscalzo J, (Ed.).
Harrison's Pulmonary and Critical Care Medicine. 2nd Ed. New York: McGrawHill
Education, 2013, P. 288-94
21
21. Susanto Y S, & Sari F R. 2012. Penggunaan Ventilasi mekanis Invasiv pada
ARDS. In: jurnal respiratori Indonesia vol 23, Surakarta: 44-52.
22. Lee W and Slutsky A. Acute Hypoxemic Respiratory Failure and ARDS. In:
Broaddus VC, Ernst JD, Jr TEK and Lazarus SC, (Eds.). Murray & Nadel's Textbook
of Respiratory Medicine. 6th Ed. Philadelphia: Elsevier, 2016, P. 1740-60
22