EDEMA PARU
DISUSUN OLEH:
Putri Nur Indah Sari, S.Ked
111 2017 2041
SUPERVISOR PEMBIMBING:
dr. Ana Meliyana, Sp.Rad, M.Kes
Referat yang berjudul “Edema Paru” yang dipersiapkan dan disusun oleh:
Telah diperiksa dan dianggap telah memenuhi syarat Tugas Ilmiah Mahasiswa
Pendidikan Profesi Dokter dalam disiplin ilmu Radiologi pada,
dr. Ana Meliyana, Sp.Rad, M.Kes Putri Nur Indah Sari, S.Ked
1
BAB I
PENDAHULUAN
Edema paru adalah akumulasi cairan di paru-paru yang dapat terjadi secara
tiba-tiba atau lambat. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular yang
tinggi (edem paru kardia) atau karena peningkatan permeabilitas membran kapiler
(edem paru non cardiak) yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan
secara cepatsehingga terjadi gangguan pertukaran udara di alveoli secara progresif
dan mengakibatkan hipoksia. Pada sebagian besar edem paru secara klinis
mempunyai kedua aspek tersebut di atas, sebab sangat sulit terjadi gangguan
permeabilitas tanpa adanya gangguan pada mikrosirkulasi atau sebaliknya.
Walaupun demikian penting sekali untuk menetapkan faktor mana yang dominan
dari kedua mekanisme tersebut sebagai pedoman pengobatan. 1
Menurut penelitian pada tahun 1994, secara keseluruhan terdapat 74,4 juta
penderita edema paru di dunia. Di Inggris sekitr 2,1 juta penderita edema paru
yang perlu pengobatan dan pengawasan secara komprehensif. Di Amerika Serikat
diperkirakan 5,5 juta penduduk menderita edema. Di Jerman 6 juta penduduk. Ini
merupakan angka yang cukup besar yang perlu mendapat perhatian dari perawat
di dalam merawat klien edema paru secara komprehensif bio psiko social dan
spiritual.1
Penyakit edem paru pertama kali di Indonesia ditemukan pada tahun 1971.
Sejak itu penyakit tersebut menyebar ke berbagai daerah, sehingga sampai tahun
1980 seluruh provinsi di Indonesia. Sejak pertama kali ditemukan, jumlah kasus
menunjukan kecenderungan meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah.
Di Indonesia insiden tersebar terjadi pada 1998 dengan incidence rate (IR)=35,19
per 100.000 penduduk dan CFR=2%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar
10,17%, namun tahun-tahun berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99
(tahun 2000); 19,24 (tahun 2002) dan 23,87 (tahun 2003).2
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Edema paru akut adalah akumulasi cairan di interstisial dan alveolus paru
yang terjadi secara tiba-tiba. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular
yang tinggi (edem paru kardiogenik) atau karena peningkatan permeabilitas
membran kapiler (edem paru non kardiogenik) yang mengakibatkan terjadinya
ekstravasasi cairan secara cepat sehingga terjadi gangguan pertukaran udara di
alveoli secara progresif dan mengakibatkan hipoksia.1
3
inhalasi gas-gas yang berbahaya, peradangan seperti pada pneumonia, atau karena
gangguan lokal proses oksigenasi.1,2,3,4
4
Setelah bronkiolus terminalis terdapat asinus yang merupakan unit
fungsional paru-paru, yaitu tempat pertukaran gas. Asinus terdiri dari (1)
bronkiolus respiratorius, yang terkadang memiliki kantung udara kecil atau
alveoli pada dindingnya, (2) duktus alveolaris, seluruhnya dibatasi oleh alveoli,
dan (3) sakusalveolaristerminalis, merupakan struktur akhir paru-paru.14
Ruang alveolus dipisahkan dari interstisium paru oleh sel epitel alveoli tipe
I, yang dalam kondisi normal membentuk suatu barrier yang relatif non-permeabel
terhadap aliran cairan dari interstisium ke rongga-rongga udara. Fraksi yang besar
ruang interstisial dibentuk oleh kapiler paru yang dindingnya terdiri dari satu lapis
sel endotel di atas membran basal, sedang sisanya merupakan jaringan ikat yang
terdiri dari jalinan kolagen dan jaringan elastik, fibroblas, sel fagositik, dan
beberapa sel lain. Faktor penentu yang penting dalam pembentukan cairan
ekstravaskular adalah perbedaan tekanan hidrostatik dan onkotik dalam lumen
kapiler dan ruang interstisial, serta permeabilitas sel endotel terhadap air, solut,
dan molekul besar seperti protein plasma. Faktor-faktor penentu ini dijabarkan
dalam hukum starling.13
Edema paru non kardiogenik terjadi akibat dari transudasi cairan dari
pembuluh-pembuluh kapiler paru-paru ke dalam ruang interstisial dan
5
alveolus paru-paru yang diakibatkan selain kelainan pada jantung. Walaupun
edema paru dapat berbeda-beda derajatnya, bagaimanapun dalam tingkatnya
yang paling ringan sekalipun tetap merupakan temuan yang menakutkan.
Terjadinya edema paru seperti di atas dapat diakibatkan oleh berbagai sebab,
diantaranya seperti pada tabel di bawah ini(4,11).
6
2. Edema paru neurogenik
3. Edema paru karena ketinggian tempat
2.3.2.3 Penurunan tekanan onkotik
a. Sindrom nefrotik
b. Malnutrisi
2.3.2.4 Hiponatremia
1. Sindrom nefrotik
2. Malnutrisi
3. Hiponatremia
7
alveolar. Alveoli menjadi terisi penuh dengan eksudat yang kaya protein dan
banyak mengandung neutrofil dan sel inflamasi sehingga terbentuk membran
hialin. Karakteristik edema paru akibat peningkatan permeabilitas kapiler paru
adalah tidak adanya peningkatan tekanan pulmonal (hipertensi pulmonal).9,15,16,19
Tenggelam (near drowning). Edema paru dapat terjadi pada mereka yang
selamat dari tenggelam dari air tawar atau air laut. Autopsi penderita yang tidak
bisa diselamatkan menunjukan perubahan patologis paru yang sama dengan
perubahan pada edema paru karena sebab lain. Pada saat tenggelam korban
biasanya mengaspirasi sejumlah air. Air tawar adalah hipotonis, dan air laut
adalah hipertonis relatif terhadap darah, yang menyebabkan pergerakan cairan
melalui membran alveolar-kapiler ke dalam darah atau ke dalam paru. Resultante
perubahan konsentrasi elektrolit dalam darah sebanding dengan volume cairan
yang diabsorpsi.10,19
Emboli lemak. Mekanisme terjadinya emboli lemak sampai saat ini masih
belum jelas. Lemak netral yang mengemboli paru jelas berasal dari lemak dalam
sumsum tulang yang dilepaskan oleh tenaga mekanik. Mungkin triolein dari
lemak netral sebagian dihidrolisis menjadi asam lemak bebas oleh lipoprotein
lipase dalam paru, dan kerusakan utama pada paru disebabkan oleh asam lemak
bebas. Namun demikian, sebagian kerusakan paru mungkin terjadi melalui
hipertensi pulmonal yang disebabkan oleh embolisasi, trombositopenia yang
8
diinduksi oleh lemak yang bersirkulasi, atau koagulasi dan lisis fibrin dalam paru.
Apa pun penyebabnya, gambaran histologisnya sama dengan edema paru karena
peningkatan permeabilitas, dengan gambaran tambahan berupa globul lemak
dalam pembuluh darah kecil dan lemak bebas dalam ruang alveolar. Emboli
lemak banyak ditemukan pada kasus patah tulang panjang, terutama femur atau
tibia.10
Inhalasi asap dan luka bakar saluran napas. Kerusakan saluran napas telah
lama diketahui menjadi penyebab mortalitas utama pada penderita luka bakar dan
sekarang jelas bahwa inhalasi asap tanpa luka bakar termis juga menjadi penyebab
9
kematian utama. Jenis kerusakan saluran napas tergantung dari jenis bahan yang
terbakar dan zat kimia yang terkandung di dalam asap yang ditimbulkan.3
Peningkatan tekanan kapiler paru dan edema paru dapat terjadi pada
penderita dengan kelebihan cairan intravaskular dengan ukuran jantung normal.
Ekspansi volume intravaskular tidak perlu terlalu besar untuk terjadinya kongesti
vena, karena vasokontriksi sistemik dapat menyebabkan pergeseran volume darah
ke dalam sirkulasi sentral. Sindrom ini sering terjadi pada penderita yang
mendapat cairan kristaloid atau darah intravena dalam jumlah besar, terutama
pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal, ataupun karena gagal ginjal itu
sendiri (terjadi retensi air). Pemberian kortikosteroid menyebabkan gangguan
kongesti vena lebih lanjut.9,10
Sindrom kongesti vena (fluid overload) ini sering terjadi pada penderita
dengan trauma yang luas, yang mendapat cairan dalam jumlah besar untuk
menopang sirkulasi. Pada fase penyembuhan, terjadilah edema paru. Keadaan ini
sering dikacaukan dengan gagal jantung kiri atau ARDS (acute respiratory
distress syndrome).9
Keadaan ini terjadi pada penderita yang mengalami trauma kepala, kejang-
kejang, atau peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak. Diduga dasar
mekanisme edema paru neurogenik adalah adanya rangsangan hipotalamus
(akibat penyebab di atas) yang menyebabkan rangsangan pada sistem adrenergik,
yang kemudian menyebabkan pergeseran volume darah dari sirkulasi sistemik ke
sirkulasi pulmonal dan penurunan “compliance” ventrikel kiri. Akibatnya terjadi
10
penurunan pengisian ventrikel kiri sehingga tekanan atrium kiri meningkat dan
terjadilah edema paru.10,19
Pada penderita dengan trauma kepala, edema paru dapat terjadi dalam waktu
singkat. Mekanisme neurogenik mungkin dapat menjelaskan terjadinya edema
paru pada penderita pemakai heroin.10,18
Penyakit ini secara khas menyerang orang-orang muda yang berada pada
ketinggian di atas 2700 meter (9000 kaki). Penyebab keadaan ini tidak diketahui,
diduga mekanismenya adalah hipoksia karena ketinggian menyebabkan
vasokontriksi arteriole paru dan kegiatan yang berlebih (exercise) merangsang
peningkatan kardiak output dan peningkatan tekanan arteri pulmonal, akibatnya
terjadilah edema paru.10,11,18
11
Edem Paru Karena Sindrom Nefrotik
Penurunan tekanan koloid osmotik plasma dan retensi seluruh natrium yang
dikonsumsi saja tidaklah cukup untuk berkembangnya edema pada sindrom
nefrotik. Untuk timbulnya edema harus ada retensi air.15
12
meningkat (maraton) terjadi pengeluaran natrium melalui air keringat, sehingga
tubuh kekurangan natrium. Setelah selesai melakukan aktivitas tubuh berusaha
melakukan homeostatis, dengan mensekresikan ADH dan terjadilah retensi air.
Akibatnya terjadilah edema paru.21
13
cairan maka akan terjadi edema. Diperkirakan pada pasien dengan berat 70 kg
dalam keadaan istirahat kapasitas sistem limfe kira-kira 20 ml/jam. Pada
percobaan didapatkan kapasitas sistem limfe bisa mencapai 200 ml/jam pada
orang dewasa dengan ukuran rata-rata. Jika terjadi peningkatan tekanan
atrium kiri yang kronik, sistem limfe akan mengalami hipertrofi dan
mempunyai kemampuan untuk mentransportasi filtrat kapiler dalam jumlah
yang lebih besar yang dapat mencegah terjadinya edem. Sehingga sebagai
konsekuensi terjadinya edema interstisial, saluran nafas yang kecil dan
pembuluh darah akan terkompresi.1,4
14
interdependensi ventrikel akan semakin menurunkan fungsi ventrikel
kiri.
- Insufisiensi sirkulasi akan menyebabkan asidosis sehingga
memperburuk fungsi jantung.
Penghapusan cairan edem dari ruang udara paru tergantung pada
transpor aktif natrium dan klorida melintasi barier epitel yang terdapat pada
membran apikal sel epitel alveolar tipe I dan II serta epitel saluran nafas
distal. Natrium secara aktif ditranspor keluar ke ruang instrstisial dengan cara
Na/K-ATPase yang terletak pada membran basolateral sel tipe II. Air secara
pasif mengikuti, kemungkinan melalui aquaporins yang merupakan saluran
air yang ditemukan terutama pada epitel alveolar sel tipe I.3,4
Edem paru kardiogenik disebabkan oleh peningkatan tekanan
hidrostatik maka sebaliknya edem paru nonkardiogenik disebabkan oleh
peningkatan permeabilitas pembuluh darah paru yang menyebabkan
meningkatnya cairan dan protein masuk ke dalam interstisial paru dan
alveolus. Cairan edem paru nonkardiogenik memiliki kadar protein tinggi
karena membran pembuluh darah lebih permeabel untuk dilewati oleh moleku
besar seperti protein plasma. Banyaknya cairan edem tergantung pada luasnya
edem interstisial, ada atau tidak adanya cidera pada epitel alveolar dan acute
lung injury di mana terjadi cedera epitel alveolar yang menyebabkan
penurunan kemampuan untuk menghilangkan cairan alveolar.1,4,5
Gejala paling umum dari edem pulmonal adalah sesak nafas. Ini mungkin
adalah muncul secara berangsur-angsur jika prosesnya berkembang secara
perlahan, atau ia dapat mempunyai penimbulan yang tiba-tiba pada kasus dari
edema pulmonal akut. Gejala-gejala umum lain mungkin termasuk mudah lelah,
lebih cepat mengembangkan sesak nafas daripada normal dengan aktivitas yang
biasa (dyspnea on exertion), nafas yang cepat (takipnea), kepeningan atau
kelemahan.3,4,5,23
15
Tingkat oksigen darah yang rendah (hipoksia) mungkin terdeteksi pada
pasien-pasien dengan edem pulmonal. Lebih jauh, atas pemeriksaan paru-paru
dengan stetoskop, dokter mungkin mendengar suara-suara paru yang abnormal,
seperti rales atau crakles (suara-suara mendidih pendek yang terputus-putus yang
berkoresponden pada muncratan cairan dalam alveoli selama bernafas).3,4,22
Manifestasi klinis edem paru secara spesifik juga dibagi dalam 3 stadium.23 :
Stadium 1
Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan
memperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas
CO. Keluhan pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak nafas saat
bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali mungkin
adanya ronkhi pada saat inspirasi karena terbukanya saluran nafas yang tertutup
saat inspirasi.
Stadium 2
Pada stadium ini terjadi edem paru interstisial. Batas pembuluh darah paru
menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis
menebal (garis kerley B). Adanya penumpukan cairan di jaringan interstisial, akan
lebih memperkecil saluran nafas kecil, terutama di daerah basal oleh karena
pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks bronkhokonstriksi. Sering
terdengar takipnea. Meskipun hal ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel
kiri, tetapi takipnea juga membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan
cairan interstisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat sedikit
perubahan saja.
Stadium 3
Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu,
terjadi hipoksemia dan hipokapsia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk
berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan
16
nyata. Terjadi right to left intrapulmonary shunt. Penderita biasanya menderita
hipokapsia, tetapi pada kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan asidosis
respiratorik akut. Pada keadaan ini morfin harus digunakan dengan hati-hati.
2.6 DIAGNOSIS
2.6.1 Anamnesis
Anamnesis dapat menjadi petunjuk ke arah kausa edem paru, misalnya
adanya riwayat sakit jantung, riwayat gejala yang sesuai dengan gagal jantung
kronik. Edem paru akut kardiak, kejadiannya sangat cepat dan terjadi hipertensi
pada kapiler paru secara ekstrim. Keadaan ini merupakan pengalaman yang yang
menakutkan bagi pasien karena mereka batuk-batuk dan seperti seseorang yang
akan tenggelam.1,5
Khas pada edem paru non kardiogenik didapatkan bahwa awitan penyakit
ini berbeda-beda, tetapi umumnya akan terjadi secara cepat. Penderita sering
sekali mengeluh tentang kesulitan bernapas atau perasaan tertekan atau perasaan
nyeri pada dada. Biasanya terdapat batuk yang sering menghasilkan riak berbusa
dan berwarna merah muda. Terdapat takipnue serta denyut nadi yang cepat dan
lemah, biasanya penderita tampak sangat pucat dan mungkin sianosis.2,3,4,5,6,18,19,20
2.6.2 Pemeriksaan Fisik
Terdapat takipnea, ortopnea (manifestasi lanjutan). Takikardia, hipotensi
atau tekanan darah bisa meningkat. Pasien biasanya dalam posisi duduk agar
dapat menggunakan otot-otot bantu nafas dengan lebih baik saat respirasi atau
sedikit membungkuk ke depan, akan terlihat retraksi inspirasi pada sela interkostal
dan fossa supraklavikula yang menunjukan tekanan negatif intrapleural yang besar
dibutuhkan pada saat inpsirasi, batuk dengan sputum yang berwarna kemerahan
(pink frothy sputum) serta JVP meningkat. Pada pemeriksaan paru akan terdengar
ronki basah setengah lapangan paru atau lebih dan terdapat wheezing.
Pemeriksaan jantung dapat ditemukan ditemukan gallop, bunyi jantung 3 dan 4.
Terdapat juga edem perifer, akral dingin dengan sianosis (sda). Dan pada edem
paru non kardiogenik didapatkan khas bahwa Pada pemeriksaan fisik, pada
17
perkusi terdengar keredupan dan pada pemeriksaan auskultasi di dapat ronki
basah dan bergelembung pada bagian bawah dada.4
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Radiologi
a. Foto X-Ray
18
Garis kerley A merupakan garis linier panjang yang membentang dari
perifer menuju hilus yang disebabkan oleh distensi saluran anastomose antara
limfatik perifer dengan sentral. Garis kerley B terlihat sebagai garis pendek
dengan arah horizontal 1-2 cm yang terletak dekat sudut kostofrenikus yang
menggambarkan adanya edem septum interlobuler. Garis kerley C berupa garis
pendek, bercabang pada lobus inferior namun perlu pengalaman untuk melihatnya
karena terlihat hampir sama dengan pembuluh darah.6
19
- Edema interstitial pulmonal
20
Gambaran radiologi edema paru kardiogenik berdasarkan tahapan-tahapan
terjadinya sesuai dengan tingkat keparahan penyakit yang dinilai dari pulmonary
capillary wedge pressure (PCWP). PCWP normal adalah 5-10 mmHg.12
Tahap 1 : kranialisasi atau sefalisasi (PCWP 10-15 mmHg).
Terdapat diversi darah ke vena-vena di lobus superior dengan
penebalan vena-vena di lobus superior bilateral
Fenomena ini terjadi oleh karena dua mekanisme. Pertama adalah
akibat penurunan komplians pembuluh darah di basis paru yang
disebabkan edema paadaa dinding pembuluh darah tersebut. Kedua
adalah akibat mekanisme vasokonstriksi pembuluh darah di basis
paru akibat hipoksia.
Penebalan perobronkial terkadang sudah dapat terlihat dibagian
basis paru sebelum gambaran kranialisasi tampak (peribronkial
cuffing).12
21
Gambar 2.6 Foto polos thorax dada frontal menunjukkan
gambaran Stag's antler sign mengacu pada pengangkatan
vena paru lobus atas (cefalisation) di stadium I.
Pembuluh darah pulmonary lobus atas menyerupai
tanduk rusa. Tanda ini juga dikenal sebagai hands-up
sign atau inverted moustache sign.13
Tahap 2 :
Penebalan septa interlobular
Garis Kerley B yang biasanya terlihat pada basis paru (dekat
sulkus kostofrenikus) yang ketebalannya tidak lebih dari 1 mm
dan panjangnya 1-2 cm serta berjalan horizontal.
Garis Kerley B mulai terlihat pada PCWP 15-20 mmHg
Penebalan septa ini jika berlangsung lama dapat mengalami
fibrosis dan menetap sehingga disebut garis Kerley B yang
kronis.
Garis Kerley A merupakan distensi saluran anastomosis antara
saluran limfatik perifer dengan saliran limfatik sentral.
Garis Kerley A (panjang dapat mencapai 6 cm) tampak berjalan
oblik dari hili dan tidak mencapai bagian perifer seperti garis
kerley B
22
Garis Kerley C tampak sebagai garis reticular pada basis paru
yang merupakan garis Kerley yang terlihat en face
Gambar 2.7. Kerley A lines (panah oranye), garis Kerley B (panah biru) dan garis Kerley
C (panah hijau) semua terlihat, dan semuanya pada dasarnya mewakili hal yang sama;
perluasan ruang interstisial dengan cairan.13
23
edema paru alveolar bersifat difus sehingga bronkus seringkali ikut
terisi.
24
Gambar 2.1 Tampak Kerley's B
line pada sudut costophrenic
lateral kiri pada pasien dengan
edema paru interstisial
kardiogenik. Garis horisontal tipis
dengan panjang, 1 sampai 2 cm,
mewakili garis Kerley B (panah).26
25
Gambar 2.3 Tampak perselubungan perihilar pada kedua lapangan paru dengan
gambaran ‘bat wing appearance’.26
Gambar 2.6 Fissura normal dan cairan pada fissura. A. fissura major (panah putih) dan
minor (panah putih putus-putus) mungkin akan terlihat pada keadaan normal. B. Fissura
major membesar (panah putih), seperti fissura minor (panah putih putus-putus).27
26
Gambar 2.4 Tampak perselubungan perihilar bilateral, juga terlihat Kerley B line pada
bagian lateral lapangan bawah kedua paru (tanda panah hitam).28
Gambar 2.5 Tampak konsolidasi perihilar pada kedua paru dengan air bronkogram (+)
disertai kardiomegali, perselubungan pada kedua sinus diafragma.28
27
b. Computed Tomography (CT-Scan)
28
disfungsi organ. Paru adalah situs yang sering dilibatkan dalam vaskulitis
sistemik. Gambaran klinis dari masing-masing penyakit pasien ditentukan
oleh lokasi, ukuran, dan jenis kapal yang terlibat.
DAH adalah sindrom klinikopatologi yang khas dari perdarahan
paru yang berasal dari mikrosirkulasi paru, termasuk kapiler alveolar,
arteriol, dan venula. Ini hadir dengan hemoptisis, anemia, infiltrasi paru
menyebar, dan gagal napas akut. Diagnosis ditegakkan dengan
pengamatan akumulasi sel darah merah (sel darah merah), fibrin, atau
makrofag hemosiderin-sarat di ruang alveolar pada biopsi pathologis1.
Hemosiderin, produk degradasi hemoglobin, setidaknya muncul 48-72 jam
setelah pendarahan dan sangat membantu dalam membedakan DAH dari
trauma bedah. Penebalan interstisial ringan, pengaturan pneumonia, atau
kerusakan alveolar difus juga dapat terlihat.
Gambar 2.7 Salah satu bagian dari DAH yaitu Sindrom Goodpasture. Terdapat penyakit
ruang udara tengah bilateral (panah merah).31
29
Gambar 2.8 CT scan pada pasien Goodpasture.31
2.7.2 Pneumonia33
Perifer, kekeruhan homogen (airbronkogram+ atau efusi
parapneumonik). Biasanya umumnya basal dan soliter (tapi mungkin
multifokal). volume lobar biasanya tidak berubah (dan jarang meningkat).
Ada resolusi XR yang cukup cepat (resolusi total biasanya terjadi dalam
waktu 2-6 minggu)
30
Gambar 2.9 Tampak perselubungan homogen pada lapangan bawah paru kanan
membentuk konsolidasi (panah hitam).26
Gambar 2.10 Tampak corakan bronkovaskular prominen dan tersebar difus di seluruh
kedua lapangan paru.26
2.7.3 Bronchopneumonia26,34
Bronchopneumonia adalah peradangan atau inflamasi parenkim
paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus
respiratorius dan alveoli, serta menimbulkan kosolidasi jaringan paru dan
gangguan pertukaran gas setempat. Sebagian besar disebabkan oleh
mikroorganisme dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain.
Pola bronchopneumonia terdiri dari area konsolidasi yang sedikit
bervariasi yang pada awalnya terbatas pada satu atau lebih segmen paru,
namun kemudian berkembang menjadi multifokal, seringkali bilateral,
konsolidasi. Nodul udara (juga dikenal sebagai nodul acinar) biasanya
ditemukan dengan pola bronkopneumonia. Nodul ini tidak jelas dan
biasanya berkisar antara 5 sampai 10 mm; mereka mewakili infeksi
terminal dan bronchioles pernafasan dengan konsolidasi peribronchiolar.
31
Gambar 2.11 Tampak corakan bronkovaskular kedua paru prominen yang disertai
infilrat parakardial dan perihilar terutama kanan.26
2.8 Penatalaksanaan35
Penatalaksanaan pada pasien dengan edema paru terlebih dahulu kita caripenyakit
yang mendasari terjadinya edema. Karena merupakan faktor yang sangat penting
dalam pengobatan, sehingga perlu diketahui dengan segera penyebabnya. Karena
terapi spesifik tidak selalu dapat diberikan sampai penyebab diketahui, maka
pemberian terapi suportif sangatlah penting. Tujuan umum adalah
mempertahankan fungsi fisiologik dan seluler dasar. Yaitu dengan cara
memperbaiki jalan napas, ventilasi yang adekuat, dan oksigenasi. Pemeriksaan
tekanan darah dansemua sistem sirkulasi perlu ditinjau, infus juga perlu dipasang.
a) Metode non-farmakologi
Intoleransi latihan adalah khas pada orang dengan gagal jantung kronis. Dengan
konsekuensi, latihan olahraga individual penting untuk memaksimalkan
pengkondisian otot. Orang yang tidak terbiasa berolahraga dan orang-orang
dengan gagal jantung yang lebih berat dimulai pada intensitas yang lebih rendah
dan durasi yang lebih pendek daripada mereka yang sebagian besar tidak
32
berimigrasi. Pembatasan natrium dan cairan dan manajemen berat badan penting
untuk semua orang dengan gagal jantung, dengan tingkat pembatasan natrium dan
cairan yang disesuaikan dengan tingkat keparahan asupan natrium, dan terapi
diuretik memfasilitasi ekskresi cairan edema. Konseling, pengajaran kesehatan,
dan program evaluasi berkelanjutan membantu orang-orang yang mengalami
gagal jantung menangani dan mengatasi rejimen pengobatan mereka.
b) Terapi farmakologi
Bila gagal jantung bersifat sedang sampai berat, polifarmasi menjadi standar
pengelolaan dan sering mencakup inhibitor enzim diuretik, digoksin, angiotensin
converting enzim (ACE), penghambat reseptor angiotensin, dan agen pemblokir
b-adrenergik. Pilihan agen farmakologis ditentukan oleh masalah yang disebabkan
oleh kelainan (disfungsi sistolik atau diastolik) dan yang disebabkan oleh aktivasi
mekanisme kompensasi (misalnya, retensi cairan berlebih, aktivasi mekanisme
simpatik yang tidak tepat).
Diuretik termasuk obat yang paling sering diresepkan untuk gagal jantung sedang
sampai berat. Mereka mempromosikan ekskresi cairan dan membantu
mempertahankan curah jantung dan perfusi jaringan dengan mengurangi preload
dan membiarkan jantung beroperasi pada bagian yang lebih optimal dari kurva
Frank-Starling. Dalam keadaan darurat, seperti edema paru akut, diuretik loop
seperti furosemid dapat diberikan secara intravena. Bila diberikan secara
intravena, obat-obat ini bertindak cepat untuk mengurangi kembalinya vena
melalui vasodilatasi sehingga output ventrikel kanan dan resistansi vaskular
pulmonal menurun. Respon terhadap pemberian intravena bersifat ekstrarenal dan
mendahului onset diuresis.
33
teratur, dan peningkatan produksi aldosteron dengan peningkatan natrium dan
retensi oleh ginjal selanjutnya. Penghambat ACE telah terbukti membatasi
komplikasi berbahaya ini. Penghambat reseptor angiotensin II tampaknya
memiliki efek menguntungkan yang serupa namun lebih terbatas. Mereka
memiliki keuntungan karena tidak menyebabkan batuk, yang merupakan efek
samping yang menyulitkan dari penghambat ACE bagi banyak orang. Aldosteron
memiliki sejumlah efek buruk pada individu dengan gagal jantung. Antagonis
reseptor alergenosteron dapat digunakan dalam kombinasi dengan agen lain untuk
orang dengan gagal jantung parah berat.
Digitalis telah menjadi pengobatan yang dikenali untuk gagal jantung selama
lebih dari 200 tahun. Berbagai bentuk digitalis disebut glikosida jantung. Mereka
memperbaiki fungsi jantung dengan meningkatkan kekuatan dan kekuatan
kontraksi ventrikel. Digitalis dan glikosida kardiak terkait adalah agen inotropik
yang mengerahkan efeknya dengan menghambat pompa membran Na+/K+ -
ATPase, yang meningkatkan sodium intraselular; Hal ini pada gilirannya
menyebabkan peningkatan kalsium intraselular melalui pompa pertukaran
Na+/Ca+. Glikosida jantung juga menurunkan aktivitas nodus sinoatrial dan
mengurangi konduksi melalui nodus atrioventrikular, sehingga memperlambat
denyut jantung dan meningkatkan waktu pengisian diastolik. Untuk alasan ini,
mereka juga dapat digunakan untuk mengendalikan takikardia.
34
Agen vasodilator seperti isosorbide dinitrate dan hydralazine dapat ditambahkan
ke obat standar lainnya untuk pasien dengan gagal jantung kronis. Agen seperti
nitrogliserin, nitroprusside, dan nesiritide (peptida natriuretik jenis B) digunakan
pada AHFS untuk memperbaiki kinerja jantung kiri dengan mengurangi preload
(melalui vasodilatasi) atau mengurangi afterload (melalui pelebaran arteriol), atau
keduanya.
c) Terapi oksigen
2.9 Prognosis
35
BAB III
LAPORAN KASUS
36
d. Kepala :
Bentuk bulat
Ukuran normochepal
Anemis (-/-) dinilai di kedua mata
Ikterus (-/-) dinilai di kedua mata
Sianosis (-) dinilai di kedua mata
Hematoma (-) dinilai di kepala dan wajah
Rinore (-), epistaksis (-) dinilai di hidung
Lidah kotor (-) dinilai di mulut
Hiperemis (-) dinilai di mata
e. Leher :
Massa tumor (-)
Nyeri tekan (-)
Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Pembesaran Thyroid (-/-)
Hematom (-)
Deviasi trakea (-)
f. Thorax :
I : Normochest, Simetris (ka=ki), tidak menggunakan otot-otot bantu
pernafasan, hematom (-), luka (-), jejas (-), jaringan sikatrik (-).
P : Massa tumor (-), nyeri tekan (-), vocal fremitus
(kanan=normal,kiri=menurun), bunyi krepitasi (-).
P : Sonor (ka=kiri), batas paru hepar ICS VI dextra anterior, bunyi: pekak
ke timpani pada batas paru ke hepar.
A : Bunyi pernapasan : vesiculer. Bunyi napas tambahan : Wheezing (+)
g. Jantung :
I : Ictus Cordis tidak tampak
P : Ictus Cordis tidak teraba
P : Pekak relatif
1. Batas Kiri Atas : ICS II Linea Parasternalis Sinistra
37
2. Batas Apex : ICS VI Linea Midclavicula Sinistra
3. Batas Kanan Atas : ICS II Linea Parasternalis Dextra
4. Batas Kanan Bawah : ICS IV Linea Parasternalis Dextra
A : Bunyi Jantung =S1 dan S2 murni regular, tidak ada bising
h. Abdomen :
I : Distensi (-), hematom (-), luka/jejas (-), jaringan sikatrik (-), bekas
operasi (-)
A : Peristaltik (+) kesan normal
P : Nyeri tekan (-), massa tumor (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba
P : Tympani
i. Extremitas :
Atas : akral hangat - / -, edema - / -
Bawah : akral hangat - / -, edema - /-
38
Gambar 2.11 Foto Thorax
Kesan : Edema paru non kardiogenik dd/ gambaran TB milier
Laboratorium
39
3.6 Diagnosis
Edema Paru
40
BAB IV
KESIMPULAN
41
DAFTAR PUSTAKA
1. Harun S dan Sally N. Edem Paru Akut. 2009. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, SetiatiS,editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 5th
ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. p. 1651-3.
2. Soemantri. 2011. Cardiogenic Pulmonary Edema. NaskahLengkap PKB
XXVI IlmuPenyakitDalam 2011. FKUNAIR-RSUD DR.Soetomo, p.113-9.
3. Alasdair et al. Noninvasive Ventilation in Acute Cardiogenic Pulmonary
Edema. N Engl J Med 2008; 359: 142-51.
4. Lorraine et al. Acute Pulmonary Edema. N Engl J Med. 2005; 353:2788-96.
5. Maria I. 2010. Penatalaksanaan Edem Paru pada Kasus VSD dan Sepsis
VAP. Anestesia& Critical Care. Vol 28 No.2 Mei 2010 p.52.
6. Koga dan Fujimoto. Kerley’s A, B and C Line. N Engl J M 2009;360:15.
7. Pasquate et al. Plasma Surfactant B : A Novel Biomarker in Chronic Heart
Failure. Circulation 2004; 110: 1091-6.
8. Wilson LM. Penyakit Kardiovaskuler dan Paru-Paru. Dalam: Price SA,
Wilson LM. Patofisiologi (Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit). Edisi
Bahasa Indonesia: Alih Bahasa: Anugerah P. Edisi IV. Buku I. EGC. Jakarta.
1995; 722-3.
9. Amin Z, Ranitya R. Penatalaksanaan Terkini ARDS. Update: Maret 2006.
Availablefrom:URL:http://www.interna.fk.ui.ac.id/artikel/darurat2006/dar2_0
1.html
10. Soewondo A, Amin Z. Edema Paru.Dalam: Soeparman, Sukaton U,
Waspadji S, et al, Ed. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta. 1998; 767-72.
11. Behrman RE, Vaughan VC. Ilmu Kesehatan Anak – Nelson. Nelson WE, Ed.
Edisi ke-12. Bagian ke-2. EGC. Jakarta. 1993; 651-52.
12. Amin M, Alsagaff H, Saleh WBMT. Pengantar Ilmu Penyakit Paru.
Airlangga University Press. Surabaya. 1995; 128-30.
13. Wilson LM. Fungsi Pernapasan Normal. Dalam: Price SA, Wilson LM.
Patofisiologi (Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit). Edisi Bahasa
42
Indonesia: Alih Bahasa: Anugerah P. Edisi IV. Buku I. EGC. Jakarta. 1995;
645-48.
14. Behrman RE, Vaughan VC. Ilmu Kesehatan Anak – Nelson. Nelson WE, Ed.
Edisi ke-12. Bagian ke-3. EGC. Jakarta. 1993; 80-81.
15. Moss M, Ingram RH. Acute Respiratory Distress Syndrome. In: Harrison,
Fauci, Logo’s, et al. Harrison’s Principle of Internal Medicine 15th Edition on
CD-ROM. McGraw-Hill Companies. Copyright 2001.
16. MMc. Oedema, Noncardiogenic. The Encyclopaedia of Medical Imaging
Volume VII. Update: 2007. Available from: URL:
http://www.amershamhealth.com/medcyclopaedia/Volume%20VII/OEDEM
A%20NONCARDIOGENIC.asp.
17. LG, NK. Pulmonary Oedema. The Encyclopaedia of Medical Imaging
Volume V.1. Update: 2008. Available from: URL:
http://www.amershamhealth.com/medcyclopaedia/Volume%20V%201/pulm
onary%20oedema.asp
18. Gomersall C. Noncardiogenic Pulmonary Oedema. Update: June 2009.
Available from: URL:
http://www.aic.cuhk.edu.hk/web8/noncardiogenic_pulmonary_oedema. Htm.
19. Haslet C. Pulmonary Oedema Adult Respiratory Distress Syndrome. In:
Grassi C, Brambilla C, Costabel U, Naeije R, Editors. Pulmonary Disease.
McGrow-Hill International (UK) ltd. London. 1999; 766-89.
20. Prihatiningsih B. Pengaruh dan Bahaya Gas Phosgene Terhadap Pernafasan
(Paru-Paru) Manusia. Update: 2009. Available from: URL:
http://www.diagonal. unmer.ac.id /edisi2_3/abstrak2_3_7.html.
21. Ayus JC, Varon J, Arieff AI. Hyponatremia, Cerebral Edema, and
Noncardiogenic Pulmonary Edema in Marathon Runners. Annals of Internal
Medicine. 2 May 2000. Volume 132. Number 9; 711-14.
22. Gribert FA, Bayat S. Pulmonary edema (Including ARDS). In: Douglas S,
Anthoni S, Leitch AG, Crofton, Editors. Respiratory Disease. Vol II.
Blackwell Science. London. 2000; 383-87.
43
23. Simadibrata M, Setiati S, Alwi, Maryantono, Gani RA, Mansjoer. Pedoman
Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Informasi dan
Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta. 2000; 208
24. ESC. 2008. Guideline for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic
Heart Failure 2008. European Heart Journal. 2008;33:2388-442.
25. ESC. 2012. Guideline for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic
Heart Failure 2012. European Heart Journal. 2012;33:1787-47.
26. Webb, R., & Higgins, C. B. (2017). Thoracic Imaging, Pulmonary and
Cardiovascular Imaging. (R. Shaw, Ed.) (3rd ed.). California: Wolters
Kluwer.
27. Herring, William. Learning Radiology Recognizing The Basics. 3rd Edition.
Philadelphia: Elsevier. 2016. P.70, 116-120.
28. Fox, C. J. (2017). Clinical Emergency Radiology Second Edition Clinical
Emergency Radiology Second Edition. (C. J. Fox, Ed.) (2nd ed.). Cambridge:
Cambridge University Press.
29. Grainger, R. ., & Allison, D. . (2013). Essentials Diagnostic Radiology. (L.
Alexander & N. Griffin, Eds.). London: Churchill Livingstone.
30. Lara, A R. Schwarz, M I. Diffuse Alveolar Hemorrhage. American College of
Chest Physicians. 2010
31. Intensive Care Nursery House Staff Manual: Pulmonary Hemorhage.
Children’s Hospital at UCSF Medical Center.
32. Park, M S. Diffuse Alveolar Hemorrhage. Tuberculosis and Respiratory
Diseases. 2013 Apr 74 (4): 151-162
33. Kasper, D L. et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 19th Edition.
New York: McGraw Hill. 2015. P.47e
34. IDI, Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Primer. Edisi Revisi Tahun 2014
35. Porth, C M. Essentials of Pathophysiology. 3rd Edition. Wolters Kluwer
Health. 2011. P.496-499
44