Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN ACUTE LUNG

OEDEMA (ALO) DI RUANG CATLEYA


RSD dr. SOEBANDI JEMBER

Oleh:
Jessica Galuh Puspitasari, S.Kep
NIM 232311101155

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2024

9
LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN ACUTE LUNG
OEDEMA (ALO) DI RUANG CATLEYA RSD dr. SOEBANDI JEMBER

disusun guna memenuhi tugas pada Program Studi Pendidikan


Profesi Ners Stase Keperawatan Medikal

Oleh:
Jessica Galuh Puspitasari, S.Kep
NIM 232311101155

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2024
LEMBAR PENGESAHAN

Lapora Pendahuluan berikut dibuat oleh:


Nama : Jessica Galuh Puspitasari, S.Kep
NIM : 232311101155
Judul : Laporan Pendahuluan Pada Klien dengan Acute Lung Oedema di
Ruang Catleya RSD dr Soebandi Jember
Telah disetujui dan disahkan pada:
Hari, tanggal : April 2024
Tempat : Ruang Catleya RSD dr Soebandi Jember
Jember , April 2024

Kepala Ruang, Pembimbing Akademik,


Ruang Catleya RSD dr Soebandi Jember FKep Universitas Jember

(Ns. Sri Wahyuningsih, S.Kep) (Murtaqib, S.Kp., M.Kep)


NIP.19750508 200604 2 025 NIP. 19740813 200112 1 002

Pembimbing Klinik,
Ruang Catleya RSD dr Soebandi Jember

(Ns. Eranie Oktayuliana, S.Kep)


NIP. 203 200906 2 19831008
BAB 1. KONSEP TEORI

1.1 Pengertian
Acute Lung Oedema (ALO) atau Edema paru didefinisikan sebagai suatu
keadaan dimana terjadi perpindahan cairan dari vaskular paru ke interstisial dan
alveoli paru. Pada edema paru terdapat penimbunan cairan serosa atau
serosanguinosa secara berlebihan di dalam ruang interstisial dan alveoli paru.
Edema yang terjadi akut dan luas sering disusul oleh kematian dalam waktu
singkat (Baughman dkk., 2000; Rampengan, 2014). Edema Paru Akut adalah
suatu keadaan darurat medis yang diakibatkan oleh kegagagal berat ventrikel kiri.
Selain kegagalan berat ventrikel kiri, edema paru akut dapat pula diakibatkan oleh
(Baradero dkk., 2008)
1. Inhalasi gas yang mememberi rangsangan, seperti karbon monoksida
2. Overdosis obat barbiturat atau opiat
3. Pemberian cairan infus, plasma, tranfusi darah yang terlalu cepat
Edema paru dapat diklasifikasikan sebagai edema paru kardiogenik dan
edema paru non-kardiogenik (Rampengan, 2014).
1. Edema paru kardiogenik disebabkan oleh peningkatan tekanan hidrostatik
kapiler paru yang dapat terjadi akibat perfusi berlebihan baik dari infus
darah maupun produk darah dan cairan lainnya. ALO kardiogenik terjadi
ketika terjadi ketika curah jantung turun meski terjadi resistensi sistemik yang
meningkat, sehingga volume darah yang kembali ke atrium kiri melebihi
volume darah yang meninggalkan ventrikel kiri. Akibatnya, tekanan vena
pulmonal meningkat, menyebabkan tekanan hidrostatik kapiler di paru-paru
melebihi tekanan onkotik darah, yang menyebabkan filtrasi cairan protein
keluar dari kapiler. ALO kardiogenik dapat disebbakan karena kegagalan
ventrikel kiri atau left ventricular failure (sindrom koroner akut, aritmia,
perikarditis, miokarditis, endokarditis), peningkatan volume intravaskuler
(pennumpukan cairan, gagal ginjal) dan obstruksi aliran keluar vena pulmonal
(stenosis katup mitral)
2. ALO non-kardiogenik disebabkan oleh peningkatan permeabilitas kapiler paru
Akibatnya, kebocoran protein dari kapiler, meningkatkan tekanan onkotik
intertitial, sehingga melebihi darah dan cairan kemudian diambil dari kapiler.
ALO non-kardiogenik dapat disebabkan karena septikaemia, anemia,
tirotoksikosis, peningkatan permeabilitas vaskuler sistemik (pancreatitis,
eklamsia, disseminated intravascular coagulation atau DIC, luka bakar),
lingkungan atau toksin yang terhirup, perdarahan intrakranial, emboli paru.
Walaupun penyebab edema paru kardiogenik dan non-kardiogenik berbeda,
namun keduanya memiliki penampilan klinis yang serupa sehingga menyulitkan
dalam menegakkan diagnosisnya. Terapi yang tepat dibutuh-kan untuk
menyelamatkan pasien dari kerusakan lanjut akibat gangguan keseimbangan
cairan di paru.

Algoritme langkah-langkah untuk membedakan antara edema paru


kardiogenik dan non-kardiogenik. Sumber: Ware LB dan Matthay MA, 2005
(Rampengan, 2014)
1.2 Patofisiologi
Edema paru adalah penumpukan abnormal cairan di dalam paru-paru baik
dalam spasium interstisial atau dalam alveoli. Cairan bocor melalui dinding
kapiler, merembes ke jalan nafas dan menimbulkan dipsnea hebat. Edema paru
yang diakibatkan oleh kegagalan jantung menimbulkan peningkatan tekanan vena
kapiler-kapiler pulmonal. Peningkatan tekanan pulmonal ini melebihi tekanan
intravaskuler osmolitik. Oleh karena itu, cairan plasma dari kapiler dan venula
dapat masuk ke dalam alveoli melalui membran alveolar-kapilar. Dari alveoli,
cairan dapat dengan cepat memasuki bronkie dan bronki pasien dapat tenggelam
dalam cairan (Baradero dkk., 2008).
Dalam keadaan normal di dalam paru terjadi aliran yang kontinyu dari
cairan dan protein intravaskular ke jaringan interstisial dan kembali ke sistem
aliran darah melalui saluran limf yangn memenuhi hukum Starling Q = K (Pc-Pt)
- d (c-t). Edema paru terjadi bila cairan yang difiltrasi oleh dinding
mikrovaskuler lebih banyak daripada yang bisa dikeluarkan yang berakibat
alveoli penuh terisi cairan sehingga tidak memungkinkan terjadinya pertukaran
gas (Murray, 2011).
Faktor-faktor penentu yang berperan disini yaitu perbedaan tekanan
hidrostatik dan onkotik dalam lumen kapiler dan interstisial, serta permeabilitas
sel endotel terhadap air, larutan, dan molekul besar seperti protein plasma.
Adanya ketidakseimbangan dari satu atau lebih dari faktor-faktor diatas akan
menimbulkan terjadinya edema paru.
Pada edema paru kardiogenik (volume overload edema) terjadinya
peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler paru menyebabkan peningkatan
filtrasi cairan transvaskular. Bila tekanan interstisial paru lebih besar daripada
tekanan intrapleural maka cairan bergerak menuju pleura viseral yang
menyebabkan efusi pleura. Bila permeabilitas kapiler endotel tetap normal, maka
cairan edema yang meninggalkan sirkulasi memiliki kandungan protein rendah.
Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru biasanya disebabkan oleh
meningkatnya tekanan di vena pulmonalis yang terjadi akibat meningkatnya
tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan tekanan atrium kiri (>25 mmHg).
Dalam keadaan normal tekanan kapiler paru berkisar 8-12 mmHg dan tekanan
osmotik koloid plasma 28 mmHg. Kejadian tersebut akan menimbulkan lingkaran
setan yang terus memburuk oleh proses-proses sebagai berikut:
1. Meningkatnya kongesti paru menye-babkan desaturasi dan menurunnya
pasokan oksigen miokard memperburuk fungsi jantung.
2. Hipoksemia dan meningkatnya cairan di paru menimbulkan vasokonstriksi
pulmonal sehingga meningkatkan tekanan ventrikel kanan yang melalui
mekanisme interdependensi ventrikel akan semakin menurunkan fungsi
ventrikel kiri.
3. Insufisiensi sirkulasi menyebabkan asidosis sehingga memperburuk fungsi
jantung.
Keluarnya cairan edema dari alveoli paru tergantung pada transpor aktif
ion Na+ dan Cl- melintasi barier epitel yang terdapat pada membran apikal sel
epitel alveolar tipe I dan II serta epitel saluran napas distal. Ion Na+ secara aktif
ditranspor keluar ke ruang insterstisial oleh kerja Na/K-ATPase yang terletak
pada membran basolateral sel tipe II. Air secara pasif mengikuti, kemungkinan
melalui aquaporins yang merupakan saluran air pada sel tipe I.
Edema paru kardiogenik dapat terjadi akibat dekompensasi akut pada gagal
jantung kronik maupun akibat gagal jantung akut pada infark miokard dimana
terjadinya bendungan dan peningkatan tekanan di jantung dan paru akibat
melemahnya pompa jantung. Kenaikan tekanan hidrostatik kapiler paru
menyebabkan transudasi cairan ke dalam ruang interstisial paru, dimana tekanan
hidrostatik kapiler paru lebih tinggi dari tekanan osmotik koloid plasma. Pada
tingkat kritis, ketika ruang interstitial dan perivaskular sudah terisi, maka
peningkatan tekanan hidrostatik menyebabkan penetrasi cairan ke dalam ruang
alveoli. Terdapat tiga tingkatan fisiologi dari akumulasi cairan pada edema paru
kardiogenik (Nendrastuti dan Soetomo, 2010; Rampengan, 2014):
1. Tingkat 1: Cairan dan koloid berpindah dari kapiler paru ke interstisial
paru tetapi terdapat peningkatan cairan yang keluar dari aliran limfatik.
2. Tingkat 2: Kemampuan pompa sistem limfatik telah terlampaui
sehingga cairan dan koloid mulai terakumulasi pada ruang interstisial
sekitar bronkioli, arteriol, dan venula.
3. Tingkat 3: Peningkatan akumulasi cairan menyebabkan terjadinya
edema alveoli. Pada tahap ini mulai terjadi gangguan pertukaran gas.

1.3 Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala yang timbul pada Acute Lung Oedema antara lain (Baughman
dkk., 2000; Baradero dkk., 2008; Rampengan, 2014)
1. Serangan khas terjadi pada malam hari setelah berbarin selama beberapa
jam dan biasanya didahuli dengan rasa gelisah, ansiets dan tidak dapat
tidur
2. Awitan sesak nafas mendadak dan rasa asfiksia (kehabisan nafas), tangan
menjadi dingin dan basah, bantalan kuku menjadi sianotik, dan warna kulit
menjadi abu-abu
3. adanya sesak napas yang bersifat tiba-tiba yang dihubungkan dengan
riwayat nyeri dada dan riwayat sakit jantung.
4. sputum dalam jumlah banyak, berbusa dan berwarna merah jambu, sedikit
bercampur darah
5. mudah lelah, lebih cepat merasa sesak napas dengan aktivitas yang biasa
(dyspnea on exertion), napas cepat (takipnea), pening.
6. Pada auskultasi dapat didengar suara-suara paru yang abnormal, seperti
ronki atau crakles
7. Nadi cepat dan lemah, vena leher distensi
8. Batuk hebat menyebabkan peningkatan jumlah sputum mukoid
9. Dengan makin berkembangnya edema paru, ansietas berkembang menjadi
panik, pasien mulai bingung dan kemudian stupor
10. Napas menjadi bising dan basah, dapat mengalami asfiksia oleh cairan
bersemu darah dan berbusa (dapat tenggelam oleh cairan sendiri)

1.4 Pemeriksaan Khusus dan Penunjang


1. Pemeriksaan foto toraks menunjukkan kardiomegali (pada pasien dengan
CHF) dan adanya edema alveolar disertai efusi pleura dan infiltrasi
bilateral dengan pola butterfly, gambaran vaskular paru dan hilus yang
berkabut serta adanya garis-garis Kerley b di interlobularis. Gambaran
lain yang berhubungan dengan penyakit jantung berupa pembesaran
ventrikel kiri sering dijumpai. Efusi pleura unilateral juga sering dijumpai
dan berhubungan dengan gagal jantung kiri.
2. EKG menunjukan gangguan pada jantung seperti pembesaran atrium kiri,
pembesaran ventrikel kiri, aritmia, miokard iskemik maupun infark
3. Ekokardiografi dilakukan untuk mengetahui apakah ada penurunan
fungsi dari ventrikel kiri dan adanya kelainan katup-katup jantung.
4. Pemeriksaan laboratorium enzim jantung perlu dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosis infark miokard. Peningkatan kadar brain
natriuretic peptide (BNP) di dalam darah sebagai respon terhadap
peningkatan tekanan di ventikel; kadar BNP >500 pg/ml dapat membantu
menegakkan diagnosis edema paru kardiogenik.
5. Analisis gas darah (AGDA) dapat memperlihatkan penurunan PO2 dan
PCO2 pada keadaan awal tetapi pada perkembangan penyakit selanjutnya
PO2 semakin menurun sedangkan PCO2 meningkat. Pada kasus yang
berat biasanya dijumpai hiperkapnia dan asidosis respiratorik.
6. Kateterisasi jantung kanan: Pengukuran Ppw (pulmonary capillary wedge
pressure) melalui kateterisasi jantung kanan merupakan baku emas
untuk pasien edema paru kardiogenik yaitu berkisar 25-35 mmHg
sedangkan pada pasien ARDS P pw 0-18 mmHg.
7. Kadar protein cairan edema: Pengukuran rasio konsentrasi protein cairan
edema dibandingkan protein plasma dapat digunakan untuk membedakan
edema paru kardiogenik dan non-kardiogenik. Bahan pemeriksaan diambil
dengan pengisapan cairan edema paru melalui pipa endotrakeal atau
bronkoskop dan pengambilan plasma. Pada edema paru kardiogenik,
konsentrasi protein cairan edema relatif rendah dibanding plasma (rasio
<0,6). Pada edema paru non-kardiogenik konsentrasi protein cairan edema
relatif lebih tinggi (rasio >0,7) karena sawar mikrovaskular berkurang

1.5 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan yang dilakukan adalah
1. mengendalikan hipoksemia
2. memperlambat pengembalian darah vena ke jantung
3. memperbaiki fungsi jantung
4. relakasasi fisik dan mental
5. mengurangi volume yang bersirkulasi
6. memperbaiki pertukaran pernapasan
Prinsip penatalaksanaan meliputi pemberian oksigen yang adekuat, restriksi
cairan, dan mempertahankan fungsi kardiovaskular lain (Baughman dkk., 2000;
Baradero dkk., 2008; Rampengan, 2014)

1. Oksigenasi
Hipoksemia umum pada edema paru merupakan ancaman utama bagi
susunan saraf pusat, baik berupa turunnya kesadaran sampai koma maupun
terjadinya syok. Oleh karena itu suplementasi oksigen merupakan terapi
intervensi yang penting untuk meningkatkan pertukaran gas dan menurunkan
kerja pernapasan, mengoptimalisasi unit fungsional paru sebanyak mungkin,
serta mengurangi overdistensi alveolar
a. Pemberian oksigen dengan Bag and Mask 10 lpm mencegah hipoksemia
dan perbaikan asidosis pada klien edema paru akut (Setyawan dkk., 2007)
b. Diberikan dalam konsentrasi yang adekuat untuk menghilangkan hipoksia
dan dipsnea
c. Oksigen dengan tekanan intermiten atau tekanan kontinu jika tanda-tanda
hipoksia menetap
d. Pada kasus ringan oksigen bisa diberikan dengan kanul hidung atau
masker muka (face mask). Continuous positive airway pressure (CPAP)
sangat membantu pada pasien edema paru kardiogenik.
e. Intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik, jika terjadi gagal napas.
Intubasi (slang endotrakela atau trakeostomi) agar volume tidal adekuat
dan konsenttasi oksigen yang diperlukan dapat diberikan. Intubasi dapat
mempermudah pengisapan untuk mengeluarkan sekresi yang banyak
f. Tekanan ekspirasi akhir positif
g. Gas darah arteri (GDA). Parameter untuk asidosis respiratorik adalah
hasil pemeriksaan AGD yang meliputi pH, PaCO2 dan PaO2
2. Farmakoterapi
a. Nitrogliserin (NTG) dapat menurunkan preload secara efektif, cepat,
dan efeknya dapat diprediksi. Pemberian NTG secara intra vena diawali
dengan dosis rendah (20µg/menit) dan kemudian dinaikkan secara
bertahap (dosis maksimal 200µg/menit). Contoh obat jenis nitrat adalah
glyceryl trinitrate yang diberikan dengan menyemprotkan 2 puff
sublingual.
b. Diuretik (menurunkan preload ): furosemid (lasix) IV untuk membuat
efek diuretik cepat. Loop diuretics (furosemide) dapat menurunkan
preload melalui 2 mekanisme, yaitu: diuresis dan venodilatasi. Dosis
furosemide dapat diberikan per oral 20-40 mg/hari pada keadaan yang
ringan hingga 5-40 mg/jam secara infus pada keadaan yang berat.
c. Morfin (menurunkan preload) : IV dalam dosis kecil untuk mengurangi
ansietas dan dipsnea merupakan kontraindikasi pada cedera vaskular
serebral, penyakit pulmonal kronis atau syok kardiogenik. Siapkan selalu
nalokson hidroklorida (Narcan) untuk depresi pernapasan luas. Morfin
sulfat digunakan untuk menurunkan preload dengan dosis 3 mg secara
intra vena dan dapat diberikan berulang. morfin sulfat 10-15 mg IV. Obat
ini dapat mengurangi tekanan atrium kiri dan rasa cemas untuk
menangani hipoksemia.
d. Angiotensin-converting enzyme inhibitors (ACE inhibitors)
menunurunkan after load, serta memperbaiki volume sekuncup dan
curah jantung. Pemberian secara intra vena (enalapril 1,25 mg) ataupun
sublingual (captopril 25 mg) akan memperbaiki keluhan pasien. Pada
suatu meta analisis didapati bahwa pemberian ACE inhibitors akan
menurunkan angka mortalitas
a. Digitalis : obat golongan β blocker, yaitu digoxin untuk memperbaiki
kekuatan kontraksi jantung, diberikan dengan kewaspadaan tinggi pada
pasien dengan MI akut. Digoxin hanya diberikan pada pasien dengan
rapid atrial fibrillation. Digoxin diberikan dengan dosis 500 µg via
intravena.
e. Aminofilin : untuk mengi dan bronkospasme, drip IV kontinu dalam dosis
sesuai berat badan.
f. Obat-obatan golongan inotropik diberikan pada edema paru kardiogenik
yang mengalami hipotensi, yaitu dobutamin 2-20 µg/kg/menit atau
dopamin 3-20 µg/kg/menit.
3. Perawatan Suportif
a. Pasien diberi posisi fowler tinggi. Baringkan pasien tegak, dengan tungkai
dan kaki dibawah, lebih baik bila kaki terjuntai disamping tempat tidur,
untuk membantu arus balik vena ke jantung
b. Yakinkan pasien, gunakan sentuhan untuk memberikan kesan relitas yang
konkret
c. Maksimalkan waktu kegiatan di tempat tidur
d. Berikan informasi yang sering, sederhanan, jelas tentang apa yang sedang
dilakukan untuk mengatasi kondisi dan apa makna respons terhadap
pengobatan
4. Pencegahan
a. Kenali tahap dini, kapan tanda-tanda dan gejala gejala yang ditunjukkan
merupakan tanda-tanda dan gejala kongesti [ulmonal
b. Baringkan pada posisi tegak dengan tungkai dan kaki lebih rendah
c. Hilangkan stress emosional dan terlalu letih untuk mengurangi kelebihan
beban ventrikel kanan
d. Berikan morfin untuk mengurani ansietas, dipsnea dan preload
e. Pendekatan batasan luar diarahkan pada prekursornya, kongesti pulmonal
f. Lalukan tindakan untuk mencegah gagal jantung kongestif dan
penyuluhan pasien
g. Nasihatkan untuk tidur dengan bagian kepala tempat tidur ditinggikan 25
cm
h. Tindakan bedah untuk menghilangkan atau meminimalkan defek valvular
yang membatasi aliran darah kedalam dan keluar ventrikel kanan.

Terapi tambahan yang kontroversional namun tetap digunakan oleh dokter


yaitu flebotomi dan torniket rotasi.
1. Flebotomi adalah insisi pada pembulih darah vena untuk mengambil yang
mengambil sejumlah darah guna mengurangi darah yang beredar dalam
seluruh tubuh. Tekanan pulmonal dapat dikurangi dengan mengurangi jumlah
darah yang beredar. Alan tetapi, prosedur ini juga menurangi hemoglobin
pasien dan dapat memperberat hipoksemia.
2. Tujuan dari torniket rotasi adalah menahan sejumlah darah pada keempat
ekstremitas sehingga overloading jantung berkurang. Sekitar 1 liter darah
dapat ditahan pada keempat ekstremitas dengan torniket rotasi. Torniket
dipasang pada ketiga ekstremitas sekaligus. Tiap 15 menit (menurut arah
jarum jam) satu torniket dilepas dan dipasang ke torniket yang belum ada
torniketnya. Dengan demikian setiap ekstremitas memakai torniket selama 45
menit. Mesin torniket rotasi dapat mengembungkan dan mengempiskan
torniket secara automotis. Torniket rotasi tidak boleh menghalangi sirkulasi
darah arteria pada ekstremitas, yang dihalangi adalah sirkulasi darah vena.
Setelah dilepas satu torniket dan warna kulit pada tungkai tersebut tidak
kembali normal, perawat harus segera memberi tbhu dokter. Apabila prosedur
akan dihentikan, torniket dilepasi satu persatu tiap 15 menit untuk
menghindari peningkatan tekanan darah vena secara tiba-tiba dan timbul
kembali edema paru.
BAB 2. CLINICAL PATHWAY
Penyakit ginjal, Obstruksi jalan
Tekanan paru dan hati dan nutrisi napas akut
arteri pulmonaris
meningkat Hipoalbuminemia Penurunan
tekanan pleura
Tekanan kapiler Tekanan onkotik
paru meningkat plasma meningkat Peningkatan tekanan
negatif intertisial dan
tekanan onkotik intertisial
Infiltrasi limfatik

Perubahan
Ketidakseimbangan starling forces permeablitas kapiler
paru karena sindrom
Cairan keluar dari pembuluh darah paru distress pernapasan
akut, substansi toksik
Peningkatan tekanan Edema paru yang terhirup, radiasi,
kapiler paru karena kegagalan hati dan
emboli lemak
penyakit jantung Penurunan
koroner, gangguan ekspani paru
katup jantung, emboli
paru akut, aritmia Hipoventilasi
akut, temponade
jantung Ketidakefektifan
pola napas

9
Perubahan membran Peningkatan cairan
alveolar-kapiler dalam alveoli

Gangguan bersihan jalan


pertukaran gas napas tidak
efektif
Hambatan difusi
O2 dan CO2

Hipoksia
Ketidakseimbangan
Penurunan antara suplai dan
saturasi O2 perifer
kebutuhan O2

perfusi perifer
Intoleransi
tidak efektif
aktivitas
BAB 3. PROSES KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
A. Data/identitas klien
Berisi indentitas pasien mulai dari nama, tempat tangal lahir, umur, jenis kelamin,
alamat rumah, nomor telepon, pekerjaan dan identitas wali atau penanggung
jawab pasien (keluarga atau kerabat pasien). Diagnosa medis juga tercantum di
bagian bawah identitas penanggung jawab pasien.

B. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum : lemah
Tekanan darah : pasien dapat mengalami hipertensi ataupun
hipotensi tergantung pada penyakit penyerta ALO (Nilai
normal TD= 100-140/60-90 mmHg)
Suhu : 36,5-37,5oC
Nadi : pasien mengalami takikardi (HR=
>60-100x/menit)
RR : pasien mengalami takipnea (RR= >24x/menit)
b. Kepala dan leher
1. Wajah
Area wajah tampak sianosis, diaforesis, ekspresi wajah gelisah.
2. Mata
Konjungtiva anemis.
3. Hidung
Terdapat pernapasan cuping hidung.
4. Telinga
Telinga tidak mengalami deviasi dan fungsi pendengaran tidak
terganggu. Tidak ada tanda infeksi.
5. Bibir dan mulut

9
Bibir pucat, kondisi mulut kotor karena pasien mengeluarkan sputum
berwarna kemerahmudaan dan berbusa saat batuk.
6. Leher
Terdapat peningkatan JVP.
c. Toraks
Inspeksi : pergerakan dada sebalah kiri dan kanan sama, tidak terdapat
lesi, pasien tampak sesak.
Palpasi : vocal fremitus kanan dan kiri tidak sama.
Perkusi : terdengar bunyi redup pada jantung, gallop pada bunyi
jantung 3 dan 4.
Auskultasi : terdapat bunyi crackles.
d. Abdomen
Inspeksi : tidak ada lesi, tidak ada benjolan.
Auskultasi : bising usus dalam batas normal (5-30x/menit)
Palpasi : tidak terdapat nyeri tekan.
Perkusi : terdengar suara timpani.
e. Kulit dan kuku
Kulit pucat dan akral dingin. CRT > 3 detik. Ujung jari berwarna abu-abu
dan basah.
f. Ekstremitas
Pasien mengalami penurunan fungsi dari ekstremitas atas dan bawah.
Pasien tidak mampu beraktivitas karena sesak yang dirasakan.
C. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama
Keluahan utama yang dirasakan pasien ALO adalah sesak napas yang
datang secara tiba-tiba.
b. Riwayat penyakit sekarang
Pasien merasa sesak dan terasa seperti tenggelam. Pasien tampak gelisah
dan diaforesis. Pasien juga kesulitan dalam melakukan aktivitas. Pasien
mengalami batuk hebat disertai sputum berwarna kemerahan atau
kemerahmudaan dan berbusa.
c. Riwayat penyakit dahulu
Penyakit jantung.
d. Riwayat penyakit keluarga
Penderita ALO dapat memiliki riwayat penyakit keluarga yang
berhubungan dengan kejadian ALO, seperti penyakit jantung. Namun,
terdapat pula yang tidak memiliki riwata penyakit keluarga dengan
penyakit jantung.
e. Pola fungsi kesehatan
1. Pola Aktivitas/ Istirahat
Terjadi penurunan aktivitas karena sesak.
2. Pola Sirkulasi
Jantung mengalami takikardi dimana HR melebihi batas normal (> 60-
100x/menit), terdapat peningkatan JVP. Pasien juga mengalami
gangguan pada pola napas, RR melebihi batas normal (> 24x/menit).
3. Pola Eliminasi
BAB dan BAK dapat terganggu karena pasien mengalami sesak dan
mengalami intoleransi aktivitas.
4. Pola Nutrisi
Pemenuhan nutrisi dapat terganggu karena pasien lemah dan sesak.
5. Pola Kognitif Dan Persepsi Sensori
Pasien ALO dapat mengalami penurunan kognitif karena kadar oksigen
dalam tubuh rendah.
6. Pola Konsep Diri
Pasien ALO menganggap bahwa ALO yang diderita merupakan salah
satu ancaman yang mempengaruhi keselamatan hidupnya.
7. Pola Hubungan-Peran
Hubungan sosial pasien ALO dengan orang-orang di sekitarnya tidak
terganggu. Namun, pasien akan mengalami gangguan dalam interaksi
dengan orang sekitar karena pasien sesak dan tidak mampu bicara.
8. Pola Seksual-Seksualitas
Pasien ALO akan mengalami gangguan pola seksual karena sesak yang
dialami dan intoleransi aktivitas.
9. Pola Mekanisme Koping
Pasien ALO umumnya merasa gelisah karena sesak yang dialami secara
tiba-tiba.
10. Pola Nilai Dan Kepercayaan
Umumnya, pasien dengan ALO tetap memegang teguh nilai dan
kepercayaan yang dianut. Namun, pada kasus tertentu kegiatan
beribadah menjadi terganggu karena kondisi yang lemah.
f. Pemeriksaan Penunjang
1. Tes darah lengkap, untuk mengetahui fungsi ginjal, elektrolit, glukosa,
enzim jantung, LFT, INR, gas darah arteri, pH dan brain natriuretic
peptides (hasil yang biasa ditemukan adalah kadar oksigen rendah dan
kadar karbon dioksida yang tinggi).
2. EKG, untuk melihat adanya aritmia, infark miokard atau penyakit
jantung lainnya (misal hipertropi ventrikel kiri).
3. CXR, untuk memastikan kebenaran dari diagnosis ALO.
4. Ekokardiogram.

2.2 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan yang biasanya dapat diangkat dalam kasus ALO
adalah sebagai berikut.
1........................................................................................................................Gang
guan pertukaran gas b.d. perubahan membran alveolar-kapiler
2........................................................................................................................pola
napas tidak efektif b.d. hipoventilasi
3........................................................................................................................bersi
han jalan napas tidak efektif b.d. cairan dalam alveoli
4........................................................................................................................ perf
usi perifer tidak efektif b.d. penurunan saturasi O2 perifer
5........................................................................................................................Intole
ransi aktivitas b.d. ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan O2
6........................................................................................................................Risik
o penurunan curah jantung berhubungan dengan gangguan kontraksi
2.3 Intervensi Keperawatan
DIAGNOSIS PERENCANAAN
INTERVENSI
KEPERAWATAN KRITERIA HASIL
TUJUAN KEPERAWATAN (SIKI)
(SDKI) (SLKI)

Gangguan Setelah diberikan Status Pernapasan: Pertukaran Gas Pemantauan Respirasi (I.01014)
pertukaran gas b.d. perawatan selama Observasi
1. Tingkat kesadaran meningkat (skala
perubahan membran 3x24 jam, pertukaran 1. Monitor frekuensi, irama, kedalaman
5)
alveolar-kapiler d.d gas meningkat dan upaya napas
2. Dispnea menurun (skala 5)
dyspnea, PCO2 2. Monitor pola napas
3. Bunyi napas tambahan menurun (5)
meningkat/menurun, 3. Monitor kemampuan batuk efektif
4. PO2 membaik yang ditunjukkan
PO2 menurun, 4. Monitor adanya produksi sputum
dengan skala 5,
takikardi, bunyi 5. Monitor adanya sumbatan jalan
5. PCO2 membaik yang ditunjukkan
napas tambahan napas
dengan skala 5,
6. Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
6. Takikardia membaik (5)
7. Auskultasi bunyi napas
7. Sianosis membaik (skala 5)
8. Monitor SPO2
9. Monitor nilai AGD

13
10. Monitor hasil xray toraks
Terapeutik
11. Atur interval pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien
12. Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
13. Jelaskan prosedur dan tujuan
pemantauan
14. Informasikan hasil pemantauan
pola napas tidak Setelah diberikan 1. Ventilasi semenit meningkat (5) Manajemen jalan napas (I.010111)
efektif b.d. depresi perawatan selama 2. Tekanan ekspirasi inspirasi Observasi
pusat pernapasan, 3x24 jam, pola napas meningkat (5) 1. Monitor pola napas
hipoventilasi d.d pasien membaik 3. Dispnea menurun (5) 2. Monitor bunyi napas tambahan
dyspnea, 4. Penggunaan otot bantu napas 3. Monitor sputum
penggunaan otot menurun (5) 4. Pertahankan kepatenan jalan
bantu pernapasan, 5. Pemanjangan fase ekspirasi napas
fase ekspirasi menurun (5) 5. Posisi semi fowler atau fowler
memanjang, pola 6. Frekuensi napas membaik (5) 6. Berikan minum hangat
7. Kedalaman napas membaik (5) 7. Lakukan fisioterapi dada
napas abnormal 8. Lakukan penghisapan lender
<15detik
9. Lakukan hiperoksigenasi
10. Keluarkan sumbatan benda padat
11. Berikan oksigen
12. Anjurkan asupan cairan
2000ml/hari
13. Ajarkan Teknik batuk efektif
14. Kolaborasi pemberian
bronkodilator, ekspektoran, mukolitik
bersihan jalan napas Setelah diberikan 1. Batuk efektif meningkat (5) Latihan batuk efektif (I.01006)
tidak efektif b.d. perawatan selama 2. Produksi sputum menurun (5) 1. Identifikasi kemampuan batuk
spasme jalan napas, 3x24 jam, bersihan 3. Suara napas tambahan menurun (5) 2. Monitor adanya retensi sputum
hipersekresi dalan jalan napas pasien 4. Frekuensi dan pola napas membaik 3. Monitor tanda dan gejala infeksi
napas d.d sputum meningkat (5) saluran napas
berlebih, suara napas 4. Monitor input output cairan
tambahan, pola 5. Atur posisi semi fowler atau fowler
napas berubah 6. Pasang perlak dan bengkok di
pangkuan pasien
7. Buang secret pada tempat sputum
8. Jelaskan tujuan dan prosedur batuk
efektif
9. Anjurkan Tarik napas dalam melalui
hidung 4 detik, tahan 2 detik,
keluarkan atau hembuskan melalui
mulut 8 detik
10. Anjurkan mengulang Teknik no 9 3x
11. Anjurkan batuk kuat setelah
melaksanakan Teknik no 9
12. Kolaborasi pemberian mukolitik atau
ekspektoran
perfusi perifer tidak Setelah diberikan 1. Denyut nadi perifer meningkat Perawatan Sirkulasi (1.02079)
efektif b.d. perawatan selama (5) 1. Periksa sirkulasi perifer
penurunan saturasi 3x24 jam, perfusi 2. Edema perifer menurun (5) 2. Identifikasi faktor resiko gangguan
O2 perifer perifer meningkat 3. Tekanan darah cukup membaik sirkulasi
(5) 3. Monitor panas, kemerahan, nyeri
4. Indeks ankle brachial cukup atau bengkak pada ekstremitas
membaik (5) 4. Hindari pemasangan infus atau ambil
darah di bagian yang terbatas perfusi
5. Hindari pengukuran TD di bagian
perfusi terbatas
6. Hindari penekanan dan pemasangan
tourniquet di bagian cedera
7. Lakukan pencegahan infeksi
8. Lakukan hidrasi
9. Anjurkan berhenti rokok
10. Anjurkan olahraga rutin
11. Anjurkan konsumsi obat penurun TD
(teratur) , antikoagulan dan penurun
kolestrol
12. Anjurkan melakukan perawatan kulit
13. Anjurkan program diet untuk
memperbaiki sirkulasi
14. Informasikan tanda dan gejala
darurat yang harus dilaporkan
Intoleransi aktivitas Setelah diberikan 1. Frekuensi nadi meningkat (5) Manajemen energi (1.05178)
b.d. perawatan selama 1. Identifikasi gangguan fungsi
ketidakseimbangan 3x24 jam, toleransi 2. SPO2 meningkat (5) tubuh yang mengakibatkan
antara suplai dan aktivitas meningkat 3. Kemudahan beraktivitas meningkat kelelahan
kebutuhan O2 (5) 2. Monitor kelelahan fisik dan
4. Kekuatan tubuh meningkat (5) emosional
5. Lemah menurunn (5) 3. Monitor pola dan jam tidur
6. TD dan frekuensi nafas membaik 4. Monitor lokasi dan
(5) ketidaknyamanan selama
melakukan aktivitas
5. Sediakan lingkungan nyaman dan
rendah stimulus
6. Lakukan latihan rentang gerak
aktif/pasif
7. Berikan aktivitas distraksi atau
penenang
8. Fasilitasi duduk di sisi bed jika
tidak dapat berpindah atau jalan
9. Anjurkan tirah baring
10. Anjurkan melalukan aktivitas
bertahap
11. Anjurkan menghubungi perawat
jika tanda dan gejala kelelahan
tidak berkurang
12. Strategi koping untuk mengurangi
kelelahan
13. Kolaborasi ahli gizi untuk
meningkatkan asupan makanan
Risiko penurunan Setelah dilakukan 1. Kekuatan nadi perifer meningkat Perawatan Jantung (1.02075)
(5) 1. Identifikasi tanda/gejala primer
curah jantung d.d tindakan keperawatan
selama 3 x 24. jam 2. Frekuensi dan irama jantung penurunan curah jantung
perubahan penurunan curah membaik (5) (meliputi: dispnea, kelelahan,
jantung teratasi 3. Edema menurun (5) edema, ortopnea, PND,
kontraktilitas,
dengan 4. Dispnea menurun (5) peningkatan CVP).
frekuensi, irama 5. Suara jantung S3 S4 menurun (5) 2. Identifikasi tanda/gejala sekunder
6. TD membaik (5) penurunan curah jantung
jantung
(meliputi: peningkatan berat
badan, hepatomegaly, distensi
vena jugularis, palpitasi, ronkhi
basah, oliguria, batuk, kulit pucat)
3. Monitor tekanan darah (termasuk
tekanan darah ortostatik, jika
perlu)
4. Monitor intake dan output cairan
5. Monitor berat badan setiap hari
pada waktu yang sama
6. Monitor saturasi oksigen
7. Monitor keluhan nyeri dada (mis:
intensitas, lokasi, radiasi, durasi,
presipitasi yang mengurangi
nyeri)
8. Monitor EKG 12 sadapan
9. Monitor aritmia (kelainan irama
dan frekuensi)
10. Monitor nilai laboratorium
jantung (mis: elektrolit, enzim
jantung, BNP, NTpro-BNP)
11. Monitor fungsi alat pacu jantung
12. Periksa tekanan darah dan
frekuensi nadi sebelum dan
sesudah aktivitas
13. Periksa tekanan darah dan
frekuensi nadi sebelum pemberian
obat (mis: beta blocker, ACE
Inhibitor, calcium channel
blocker, digoksin)
14. Posisikan pasien semi-fowler atau
fowler dengan kaki ke bawah atau
posisi nyaman
15. Berikan diet jantung yang sesuai
(mis: batasi asupan kafein,
natrium, kolesterol, dan makanan
tinggi lemak)
16. Gunakan stocking elastis atau
pneumatik intermitten, sesuai
indikasi
17. Fasilitasi pasien dan keluarga
untuk modifikasi gaya hidup sehat
18. Berikan terapi relaksasi untuk
mengurangi stress, jika perlu
19. Berikan dukungan emosional dan
spiritual
20. Berikan oksigen untuk
mempertahankan saturasi oksigen
> 94%
21. Anjurkan beraktivitas fisik sesuai
toleransi
22. Anjurkan beraktivitas fisik secara
bertahap
23. Anjurkan berhenti merokok
24. Ajarkan pasien dan keluarga
mengukur berat badan harian
25. Ajarkan pasien dan keluarga
mengukur intake dan output
cairan harian
26. Kolaborasi pemberian antiaritmia,
jika perlu
27. Rujuk ke program rehabilitasi
jantung
2.4 Evaluasi Keperawatan
Setelah diberikan tindakan keperawatan yang telah direncanakan dengan
benar, pasien dengan ALO akan dapat mengungkapkan bahwa ia sudah dapat
bernapas lega. Pasien juga tidak tampak sianosis. Tanda vital pasien juga
menunjukkan dalam batas normal. Pasien perlu diberikan rencana tindak lanjut
perawatan untuk meningkatkan kesembuhan pasien dan menekan gejala yang
timbul dari ALO.

2.5 Discharge Planning


Rencana pemulangan yang dapat diberikan pada pasien dengan ALO antara
lain:
1. Jelaskan pada pasien dan keluarga terkait jenis, indikasi, dosis, waktu dan cara
konsumsi obat pulang yang telah diresepkan,
2. anjurkan pasien untuk meminum obat yang elah diresepkan sesuai dengan
dosis dan waktu yang dianjurkan,
3. anjurkan pasien untuk melakukan kontrol ke pelayanan kesehatan secara rutin,
4. ajarkan pada keluarga pasien tanda-tanda kekambuhan dan anjurkan keluarga
untuk membawa pasien ke pelayanan kesehatan jika terjadi kekambuhan,
5. anjurkan pasien untuk tidak melakukan aktivitas terlalu berat,
6. anjurkan pasien untuk mengkonsumsi makanan yang sehat, seperti sayur-
sayuran dan buah segar.
DAFTAR PUSTAKA

Baradero, M., M. W. Dayrit, dan Y. Siswadi. 2008. Klien Gangguan


Kardiovaskuler : Seri Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.

Baughman, D. C., J. C. Hackley, Y. Asih, dan M. Ester. 2000. Keperawatan


Medikal-Bedah : Buku Saku Untuk Brunner Dan Suddarth. Jakarta: EGC.

Murray, J. F. 2011. Pulmonary edema : pathophysiology and diagnosis. The


International Journal of Tuberculosis and Lung Disease. 15(2):155–160.

Nendrastuti, H. dan M. Soetomo. 2010. Edema paru akut kardiogenik kardiogenik


dan non kardiogenik. Majalah Kedokteran Respirasi. 1(3):2010.

Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). 2017. Standar Diagnosis


Keperawatan Indonsesi (SDKI). Jakarta : Dewan Pengurus Pusat PPNI

Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). 2017. Standar Intervnesi


Keperawatan Indonsesi (SDKI). Jakarta : Dewan Pengurus Pusat PPNI

Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). 2017. Standar Luaran Keperawatan


Indonsesi (SLKI). Jakarta : Dewan Pengurus Pusat PPNI

Rampengan, S. H. 2014. Edema paru kardiogenik akut. Jurnal Biomedik (JBM).


6(3):149–156.

Setyawan, S., T. Sukartini, Sriyono, dan Kusmiati. 2007. Oksigenasi dengan bag
and mask 10 lpm memperbaiki asidosis respiratorik ( oxygenation by using
10 lpm bag and mask improves respiratory acidosis )

Anda mungkin juga menyukai