Anda di halaman 1dari 39

RESPONSI

EDEMA PARU AKUT

Oleh:
Danisa Namira Wijayanti 170070201011011
Suci Caraswati 170070201011

Pembimbing:
dr. Cholid Tri Tjahjono, Sp JP (K)

PERIODE 12 - 25 NOVEMBER 2018

LABORATORIUM/SMF JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SAIFUL ANWAR
MALANG
2018
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Acute Lung Oedem (ALO) atau edema paru merupakan suatu keadaan dimana

terjadi perpindahan cairan dari vaskuler paru ke interstisial dan alveoli paru. Pada

edema paru terdapat penimbunan cairan serosa atau serosanguinosa secara

berlebihan di dalam ruang intertisial dan alveoli paru. Edema yang terjadi akut dan

luas sering disusul oleh kematian dalam waktu singkat (Harun, 2009)

Edema paru dapat diklasifikasikan sebagai edema paru kardiogenik dan edema

paru non-kardiogenik. Edema paru kardiogenik disebabkan oleh peningkatan

tekanan hidrostatik kapiler paru yang dapat terjadi akubat perfusi berlebihan baik

dari infus darah dan cairan lainnya, sedangkan edema paru non-kardiogenik

disebabkan oleh peningkatan permeabilitas kapiler paru antara lain pada pasca

translpantasi paru dan reekspansi edema paru, termasuk cedera iskemia-reperfusi-

dimediasi. Walaupun penyebab edema paru kardiogenik dan non-kardiogenik

berbeda, namun keduanya memiliki penampilan klinis yang serupa, sehingga

menyulitkan dalam menegakkan diagnosisnya (Mattu, 2005).

Prevalensi terjadinya edema paru akut kardiogenik secara keseluruhan terdapat

74,4 juta penderita edema paru di seluruh dunia. Di Inggris terdapat sekitar 2,1 juta

penderita edema paru yang memerlukan pengobatan dan pengawasan secara

komprehensif. Di Amerika Serikat diperkirakan 5,5 juta penduduk menderita edema

paru. Di Jerman penderita edema paru sebanyak 6 juta penduduk (Rampengan,


2014). Sedangkan di Indonesia sendiri prevalensi terjadinya edema paru pada tahun

2003 tercatat sebesar 23,87 % dari seluruh penduduk Indonesia (Huldani H, 2014).

Pengetahuan dan penanganan yang tepat pada edema paru akut dapat

menyelamatkan jiwa penderita. Penanganan yang rasional haarus berdasarkan

penyebab dan patofisiologi yang terjadi

1.2 Tujuan

1. Untuk mengetahui definisi, etiologi, dan epidemiologi edema paru akut

kardiogenik.

2. Untuk mengetahui tanda, gejala, perjalanan penyakit, pemeriksaan

penunjang serta diagnosis edema paru akut kardiogenik.

3. Untuk mengetahui manajemen dan tatalaksana edema paru kardiogenik

1.3 Manfaat

Menjadi landasan pembelajaran tentang edema paru akut kardiogenik bagi

tenaga kesehatan khususnya dokter muda di RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

ALO adalah akumulasi cairan di intersisial dan alveolus paru yang terjadi secara

mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular yang tinggi (edema

paru kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran kapiler (edema paru

non kardiak) yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan secara cepat

sehingga terjadi gangguan pertukaran udara di alveoli secara progresif dan

mengakibatkan hipoksia (Harun dan Saly, 2009; Soemantri 2011).

2.2 Epidemiologi

Menurut penelitian pada tahun 1994, secara keseluruhan terdapat 74,4 juta

penderita edema paru di seluruh dunia. Di Inggris terdapat sekitar 2,1 juta penderita

edema paru yang memerlukan pengobatan dan pengawasan secara komprehensif.

Di Amerika Serikat diperkirakan 5,5 juta penduduk menderita edema paru. Di

Jerman penderita edema paru sebanyak 6 juta penduduk. Ini merupakan angka

yang cukup besar yang perlu mendapat perhatian dari medik di dalam merawat

penderita edema paru secara komprehensif (Rampengan, 2014)..

Di Indonesia, edema paru pertama kali terdeteksi pada tahun 1971. Sejak itu

penyakit tersebut dilaporkan di berbagai daerah sehingga sampai tahun 1980 sudah

mencakup seluruh propinsi di Indonesia. Sejak pertama kali ditemukan, jumlah

kasus menunjukkan kecenderungan meningkat baik dalam jumlah maupun luas

wilayah. Di Indonesia insiden tersebar terjadi pada 1998 dengan incidence rate (IR)

= 35,19 per 100.000 penduduk dan CFR = 2%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam
sebesar 10,17%, namun pada tahun-tahun berikutnya IR cenderung meningkat yaitu

15,99 % (tahun 2000), 19,24 % (tahun 2002), dan 23,87 % (tahun 2003). (Huldani H,

2014)

Edema paru kardiogenik akut (Acute cardiogenic pulmonary edema/ACPE)

sering terjadi, dan berdampak merugikan dan Edema paru kardiogenik akut

merupakan penyakit yang sering terjadi, merugikan dan mematikan dengan tingkat

kematian 10-20 % (Rampengan, 2014). Angka kematian edema paru akut karena

infark miokard akut mencapai 38 – 57% sedangkan karena gagal jantung mencapai

30%. (Nendrastuti, et al. 2010)

2.2 Klasifikasi
Klasifikasi edema paru berdasarkan mekanisme pencetus (Harun dan Sally,

2014):

1. Ketidakseimbangan “Starling Force”

a. Peningkatan tekanan vena pulmonalis

Edema paru akan terjadi hanya apabila tekanan kapiler pulmonal

meningkat sampai melebihi tekanan osmotik koloid plasma, yang biasanya

berkisar 28 mmHg pada manusia. Sedangkan nilai normal dari tekanan

vena pulmonalis adalah antara 8-12 mmHg, yang merupakan batas aman

dari mulai terjadinya edema paru tersebut. Etiologi dari keadaan ini antara

lain: (1) tanpa gagal ventrikel kiri (mis: stenosis mitral), (2) sekunder akibat

gagal ventrikel kiri, (3) peningkatan tekanan kapiler paru sekunder akibat

peningkatan tekanan arterial paru (sehingga disebut edema paru

overperfusi).

b. Penurunan tekanan onkotik plasma


Hipoalbuminemia saja tidak menimbulkan edema paru, diperlukan

juga peningkatan tekanan kapiler paru. Peningkatan tekanan yang sedikit

saja pada hipoalbuminemia akan menimbulkan edema paru.

Hipoalbuminemia dapat menyebabkan perubahan konduktivitas cairan

rongga interstitial sehingga cairan dapat berpindah lebih mudah diantara

sistem kapiler dan limfatik.

c. Peningkatan negativitas dari tekanan interstitial

Edema paru dapat terjadi akibat perpindahan yang cepat dari udara

pleural. Kedaaan yang sering menjadi etiologi adalah: (1) perpindahan

yang cepat pada pengobatan pneumothoraks dengan tekanan negatif yang

besar. Keadaan ini disebut ‘edema paru re-ekspansi’. Edema biasanya

terjadi unilateral dan seringkali ditemukan dari gambaran radiologis dengan

penemuan klinis yang minimal. Jarang sekali kasus yang menjadikan

‘edema paru re-ekspansi’ ini berat dan membutuhkan tatalaksana yang

cepat dan ekstensif, (2) tekanan negatif pleura yang besar akibat obstruksi

jalan nafas akut dan peningkatan volume ekspirasi akhir (misalnya pada

asma bronkhial).

2. Gangguan permeabilitas membran kapiler alveoli: (ARDS = Adult

Respiratory Distress Syndrome).

Kedaan ini merupakan akibat langsung dari kerusakan pembatas

antara kapiler dan alveolar. Cukup banyak kondisi medis maupun surgikal

tertentu yang berhubungan dengan edema paru akibat kerusakan

pembatas ini daripada akibatketidakseimbangan ‘Straling Force’


- Pneumonia (bakteri, virus, parasit)

- Terisap toksin (NO, asap)

- Bisa ular, endotoksin dalam sirkulasi

- Aspirasi asam lambung

- Pneumonitis akut akibat radiasi

- Zat vasoaktif endogen (histamin, kinin)

- Dissemiated Intravascular Coagulation

- Immunologi: pneumonitis hipersensitif

- Shock-lung pada trauma non thoraks

- Pankreatitis hemoragik akut

3. Insuffisiensi sistem limfe

- Pasca transplantasi paru

- Karsinomatosis, limfangitis

- Limfangitis fibrotik (siilikosis)

4. Tidak diketahui atau belum jelas mekanismenya

- “High altitude pulmonary edema”

- Edema paru neurogenic

- Overdosis obat narkotik

- Emboli paru

- Eklamsia

- Pasca anastesi

- Post cardiopulmonary bypass


2.3 Patofisiologi

Edema paru kardiogenik atau edema volume overload terjadi karena

peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler paru yang menyebabkan

peningkatan filtrasi cairan transvaskular. Ketika tekanan interstitial paru lebih

besar daripada tekanan pleural maka cairan bergerak menuju pleura visceralis

yang menyebabkan efusi pleura. Sejak permeabilitas kapiler endothel tetap

normal, maka cairan edema yang meninggalkan sirkulasi memiliki kandungan

protein yang rendah. Peningkatan tekanan hidrostatik di kapiler pulmonal

biasanya berhubungan dengan peningkatan tekanan vena pulmonal akibat

peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan tekanan atrium kiri.

Peningkatan ringan tekanan atrium kiri (18 – 25 mmHg) menyebabkan edema di

perimikrovaskuler dan ruang intersisial peribronkovaskular. Jika tekanan atrium

kiri meningkat lebih tinggi (>25) maka cairan edema akan menembus epitel paru,

membanjiri alveolus (gambar 2.4B). Kejadian tersebut akan menimbulkan

lingkaran setan yang terus memburuk oleh proses sebagai berikut (Lorraine et

al, 2005; Maria, 2010) :

- Meningkatnya kongesti paru akan menyebabkan desaturasi, menurunnya

pasokan oksigen miokard dan akhirnya semakin memburuknya fungsi

jantung.

- Hipoksemia dan meningkatnya cairan di paru menimbulkan

vasokonstriksi pulmonal sehingga meningkatkan tekanan ventrikel kanan.


Peningkatan tekanan ventrikel kanan melalui mekanime interdependensi

ventrikel akan semakin menurunkan fungsi ventrikel kiri.

- Insufisiensi sirkulasi akan menyebabkan asidosis sehingga memperburuk

fungsi jantung.

Penghapusan cairan edema dari ruang udara paru tergantung pada transpor

aktif natrium dan klorida melintasi barier epitel alveolar. Bagian utama reabsorbsi

natrium dan klorida adalah ion channels epitel yang terdapat pada membran

apikal sel epitel alveolar tipe I dan II serta epitel saluran nafas distal. Natrium

secara aktif ditranspor keluar ke ruang interstitial dengan cara Na/ K-ATPase

yang terletak pada membran basolateral sel tipe II. Air secara pasif mengikuti,

kemungkinan melalui aquaporins yang merupakan saluran air yang ditemukan

terutama pada epitel alveolar sel tipe I (Lorraine et al, 2005).


Gambar 2.4 Patofisiologi Edema Paru (dikutip dari Lorraine et al, 2005)

Edema paru akut kardiogenik ini merupakan bagian dari spektrum klinis

Acute Heart Failure Syndrome (AHFS). AHFS didefinisikan sebagai munculnya

gejala dan tanda secara akut yang merupakan sekunder dari fungsi jantung yang

tidak normal (Maria, 2010).

Secara patofisilogi edema paru kardiogenik ditandai dengan transudasi

cairan dengan kandungan protein yang rendah ke paru akibat terjadinya

peningkatan tekanan di atrium kiri dan sebagian kapiler paru. Transudasi ini

terjadi tanpa perubahan pada permiabilitas atau integritas dari membran alveoli-

kapiler dan hasil akhir yang terjadi adalah penurunan kemampuan difusi,

hiposemia dan sesak nafas (Harun dan Sally, 2014).

Seringkali keadaan ini berlangsung dengan derajat yang berbeda-beda.

Dikatakan pada stage 1 distensi dan keterlibatan pembuluh darah kecil di paru

akibat peningkatan tekanan di atrium kiri, dapat memperbaiki pertukaran udara

diparu dan meningkatkan kemampuan difusi dari gas karbon monoksida. Pada

keadaan ini akan terjadi sesak nafas saat melakukan aktivitas fisik dan disertai

ronkhi inspirasi akibat terbukanya saluran nafas yang tertutup (Harun dan Sally,

2014).

Apabila keadaan berlanjut hingga derajat berikutnya atau stage 2, edema

interstitial diakibatkan peningkatan cairan pada daerah interstitial yang longgar

dengan jaringan perivaskular dari pembuluh darah besar, hal ini akan

mengakibatkan hilangnya gambaran paru yang normal secara radiografik dan

petanda septum interlobuler (garis Kerley B). Pada derajat ini akan terjadi
kompetisi untuk memperebutkan tempat antara pembuluh darah, saluran nafas

dan peningkatan jumlah cairan didaerah di interstitium yang longgar tersebut,

dan akan terjadi pengisian di lumen saluran nafas yang kecil yang menimbulkan

refleks bronkokonstriksi. Ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi akan

mengakibatkan terjadinya hipoksemia yang berhubungan dengan ventilasi yang

semakin memburuk. Pada keadaan infark miokard akut misalnya, beratnya

hipoksemia berhubungan dengan tingkat peningkatan tekanan baji kapiler paru.

Sehingga seringkali ditemukan manifestasi klinis takipnea (Harun dan Sally,

2014).

Pada proses yang terus berlanjut atau meningkat menjadi stage 3 dari

edema paru tesebut, proses pertukaran gas sudah menjadi abnormal, dengan

hipoksemia yang berat dan seringkali hipokapnea. Alveolar yang sudah terisi

cairan ini terjadi akibat sebagian besar saluran nafas yang besar terisi cairan

berbusa dan mengandung darah, yang seringkali dibatukkan keluar oleh si

pasien. Secara keseluruhan kapasitas vital dan volume paru semakin berkurang

di bawah normal. Terjadi pirai dari kanan ke kiri pada intrapulmonal akibat

perfusi dari alveoli yang telah terisi cairan. Walaupun hipokapnea yang terjadi

pada awalnya, tetapi apabila keadaan semakin memburuk maka dapat terjadi

hiperkapnea dengan asidosis respiratorik akut apalagi bila pasien sebelumnya

telah menderita penyakit paru obstruktif kronik. Dalam hal ini terapi morfin yang

telah diketahui memiliki efek depresi pada pernafasan, apabila akan

dipergunakan harus dengan pemantau yang ketat (Harun dan Sally, 2014).

Edema paru kardiogenik disebabkan oleh peningkatan tekanan hidrostatik


maka sebaliknya edema paru nonkardiogenik disebabkan oleh peningkatan

permeabilitas pembuluh darah paru yang menyebabkan meningkatnya cairan

dan protein masuk ke dalam intersisial paru dan alveolus. Cairan edema paru

nonkardiogenik memiliki kadar protein tinggi karena membran pembuluh darah

lebih permeabel untuk dilewati oleh molekul besar seperti protein plasma.

Banyaknya cairan edema tergantung pada luasnya edema interstitial, ada atau

tidak adanya cidera pada epitel alveolar dan kemampuan dari epitel alveolar

untuk secara aktif mengeluarkan cairan edema alveolar. Edema paru akibat

acute lung injury dimana terjadi cedera epitel alveolar yang menyebabkan

penurunan kemampuan untuk menghilangkan cairan alveolar (Lorraine et al,

2005; Maria, 2010).

2.4 Etiologi

Edema paru biasanya diakibatkan oleh peningkatan tekanan pembuluh

kapiler paru dan permeabilitas kapiler paru dan permeabilitas kapiler alveolar.

Edema paru akibat peningkatan permeanilitas paru sering disebut acute

respiratory distress syndrome (ARDS) (Huldani, 2014).

Pada keadaan normal terdapat keseimbangan tekanan onkotik (osmotic) dan

hidrostatik antara kapiler paru dan alveoli. Tekanan hidrostatik yang meningkat

pada gagal jantung menyebabkan edema paru, sedangkan pada gagal ginjal

terjadi retensi cairan yang menyebabkan volume overload dan diikuti edema

paru. Hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik atau malnutrisi menyebabkan

tekanan onkotik menurun sehingga terjadi edema paru. Pada tahap awal edema

paru terdapat peningkatan kandungan cairan di jaringan interstisial antara kapiler


dan alveoli. Pada edema paru akibat penigkatan permeabilitas kapiler paru perlu

dipikirkan bahwa kaskade inflamasi timbul beberapa jam kemudian yang berasal

dari suatu focus kerusakan jaringan tubuh. Neutrophil yang teraktivasi akan

beragregasi dan melekat pada sel endotel yang kemudia menyebabkan

pelepasan berbagai toksin, radikal bebas, dan mediator inflamasi seperti asam

arakidonat, kinin, dan histamine. Proses kompleks ini dapat diinisiasi oleh

berbagai macam keadaanatau penyakit dengan hasil kerusakan endotel yang

berakibat peningkatan permeabilitas kapiler alveolar. Alveoli menjadi terisi penuh

dengan eksudat yang kaya protein dan banyak mengandung neutrophil dan sel-

sel inflamasi sehingga terbentuk membrane hialin. Karakteritik edema paru

akibat peningkatan permeabilitas kapiler paru ialah tidak adanya peingkatan

tekanan pulmonal (hipertensi pulmonal) (Huldani, 2014).

Penyebab edema paru kardiogenik, yaitu:

1. Gagal jantung kiri, yang dapat diakibatkan oleh: infark miokard, penyakit

katup aorta dan mitral, kardiomiopati, aritmia, hipertensi krisis, kelainan

jantung bawaan (patent ductus arteriosus, ventrikel septal defect).

2. Volume overload

3. Obstruksi mekanik aliran kiri

4. Insufiensi limfatik, yang terjadi sebagai akibat lanjut transplantasi paru,

karsinomatosis limfangiktasis, atau limfangitis fibrosis


2.5 Diagnosis

Edema paru kardiogenik akut merupakan gejala yang terjadi akibat gagal jantung

kiri yang akut. Hal ini dapat diakibatkan oleh ganggauan pada jalur keluar di atrium

kiri. Peningkatan volume yang berlebihan di ventrikel kiri atau obstruksi pada jalur

keluar dari ventrikel kiri. Peningkatan tekanan di atrium kiri dan pulmonary wedge

pressure mengawali terjadinya edema paru kardiogenik. Sehingga timbul hipoksia

berat. (Harun dan Sally, 2014)

Bersamaan dengan hal tersebut terjadi juga rasa takut pada pasien karena

kesulitan bernafas, yang berakibat peningkatan denyut jantung dan tekanan darah

sehingga mengurangi kemampuan pengisisan dari ventrikel kiri. Dengan

peningkatan rasa tidak nyaman dan usaha bernafas yang harus kuat akan

menambahkan beban pada jantung sehingga fungsi kardiak akan semakin menurun,

dan diperberat oleh keadaan hipoksia. Bila kejadian ini tidak diatasi dengan segera,

tingkat mortalitas edema paru akut kardiogenik masih tinggi. (Harun dan Sally, 2014)

2.5.1 Anamnesis dan Gambaran Klinis

Anamnesis dapat menjadi petunjuk ke arah kausa edem paru, misalnya

adanya riwayat sakit jantung, riwayat gejala yang sesuai dengan gagal jantung

kronik. Edem paru akut kardiak, kejadiannya sangat cepat dan terjadi hipertensi

pada kapiler paru secara ekstrim. Keadaan ini merupakan pengalaman yang yang

menakutkan bagi pasien karena mereka akan mengalami batuk-batuk dan sesak

nafas seperti seseorang yang akan tenggelam. (Harun dan Sally, 2014)
Gambaran klinis edema paru yaitu dari anamnesis ditemukan adanya sesak

napas yang bersifat tiba-tiba yang dihubungkan dengan riwayat nyeri dada dan

riwayat sakit jantung. Perkembangan edema paru bisa berangsur-angsur atau

tiba-tiba seperti pada kasus edema paru akut. Selain itu, sputum dalam jumlah

banyak, berbusa dan berwarna merah jambu. Gejala-gejala umum lain yang

mungkin ditemukan ialah: mudah lelah, lebih cepat merasa sesak napas dengan

aktivitas yang biasa (dyspnea on exertion), napas cepat (takipnea), pening, atau

kelemahan. Tingkat oksigenasi darah yang rendah (hipoksia) mungkin terdeteksi

pada pasien dengan edema paru. (Ware, et al.2005).

Manifestasi klinis edem paru secara spesifik juga dibagi dalam 3 stadium

(Simadibrata, et al.2000):

1. Stadium 1

Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan

memperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas

difusi gas CO. Keluhan pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya

sesak nafas saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan

kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi pada saat inpsirasi karena

terbukanya saluran nafas yang tertutup saat inspirasi.

2. Stadium 2

Pada stadium ini terjadi edem paru interstisial. Batas pembuluh darah paru

menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa

interlobularis menebal (garis kerley B). Adanya penumpukan cairan di

jaringan kendor interstisial, akan lebih memperkecil saluran nafas kecil,


terutama di daerah basal oleh karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula

terjadi refleks bronkhokonstriksi. Sering terdengar takipnea. Meskipun hal ini

merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takipnea juga

membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan cairan interstisial

diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat sedikit

perubahan saja.

3. Stadium 3

Pada stadium ini terjadi edem alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu,

terjadi hipoksemia dan hipokapsia. Penderita nampak sesak sekali dengan

batuk berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun

dengan nyata. Terjadi right to left intrapulmonary shunt. Penderita biasanya

menderita hipokapsia, tetapi pada kasus yang berat dapat terjadi

hiperkapnia dan acute respiratory acidemia. Pada leadaan ini morphin harus

digunakan dengan hati-hati.

Edem paru kardiogenik ini merupakan spektrum klinis Acute Heart Failure

Syndrome (AHFS). AHFS didefinisikan sebagai: munculnya gejala dan tanda secara

akut yang merupakan sekunder dari fungsi jantung yang tidak normal. European

Society of Cardiology (ESC) membagi AHFS menjadi 6 klasifikasi yaitu (ESC, 2008):

ESC 1 : Acute decompensated Heart Failure


ESC 2 : Hypertensive acute heart failure
ESC 3 : Pulmonary oedema
ESC 4 : Cardiogenik shock
ESC 5 : High output failure AHF pada sepsis
ESC 6 : Right heart failure
2.5.2 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi nafas yang meningkat,

pernafasan cuping hidung, akan terlihat retraksi inspirasi intercostal dan fossa

supraklavikula yang menunjukkan tekanan negative pada intrapleural yang besar

dibutuhkan pada saat inspirasi. Pemeriksaan pada paru akan terdengar ronkhi

basah kasar setengah lapangan paru atau lebih, sering disertai wheezing.

Pemeriksaan jantung dapat ditemukan protodiastolik gallop, bunyi jantung II

pulmonal mengeras, dan tekanan darah dapat meningkat. (Harun dan Sally,

2014)

Terdapat takipnea, ortopnea (menifestasi lanjutan). Takikardia, hipotensi

atau tekanan darah bisa meningkat. Pasien biasanya dalam posisi duduk agar

dapat mempergunakan otot-otot bantu nafas dengan lebih baik saat respirasi atau

sedikit membungkuk ke depan, akan terlihat retraksi inspirasi pada sela

interkostal dan fossa supraklavikula yang menunjukan tekanan negatif intrapleural

yang besar dibutuhkan pada saat inpsirasi, batuk dengan sputuk yang berwarna

kemerahan (pink frothy sputum) serta JVP meningkat. Pada pemeriksaan paru

akan terdengar ronki basah setengah lapangan paru atau lebih dan terdapat

wheezing. Pemeriksaan jantung dapat ditemukan ditemukan gallop, bunyi jantung

3 dan 4. Terdapat juga edem perifer, akral dingin dengan sianosis (sda). Dan

pada edem paru non kardiogenik didapatkan khas bahwa Pada pemeriksaan fisik,

pada perkusi terdengar keredupan dan pada pemeriksaan auskultasi di dapat

ronki basah dan bergelembung pada bagian bawah dada(Lorraine et al.2005).


2.5.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis,

yaitu:

1. Foto Thoraks

Pemeriksaan foto toraks menunjukkan kardiomegali (pada pasien

dengan CHF) dan adanya edema alveolar disertai efusi pleura dan

infiltrasi bilateral dengan pola butterfly, gambaran vaskular paru dan

hilus yang berkabut serta adanya garis-garis Kerley b di

interlobularis. Gambaran lain yang berhubungan dengan penyakit

jantung berupa pembesaran ventrikel kiri sering dijumpai. Efusi

pleura unilateral juga sering dijumpai dan berhubungan dengan

gagal jantung kiri. (Harun dan Sally, 2014; Huldani, 2014)


2. EKG

EKG menunjukan gangguan pada jantung seperti pembesaran

atrium kiri, pembesaran ventrikel kiri, aritmia, miokard iskemik

maupun infark. Pemeriksaan EKG bisa normal atau seringkali

didapatkan tanda-tanda iskemik atau infark miokard akut dengan

edema paru. Pasien dengan krisis hipertensi gambaran EKG

biasanya menunjukan gambaran hipertrofi ventrikel kiri (Harun dan

Sally, 2014). Pasien dengan edem paru kardiogenik tetapi yang non

iskemik biasanya menunjukan gambaran gelombang T negative

yang melebar dengan QT memanjang yang khas, dimana akan

membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil dan menghilang dalam 1

minggu. Penyebab dari non iskemik ini belum diketahui tetapi

beberapa keadaan yang dikatakan dapat menjadi penyebab, antara

lain: iskemia sub-endokardial yang berhubungan dengan

peningkatan tekanan pada dinding, peningkatan akut dari tonus


simpatis kardiak yang berhubungan dengan peningkatan tekanan

pada dinding, peningkatan akut dari tonus simpatis kardiak atau

peningkatan elektrikal akibat perubahan metabolic atau katekolamin

(Maria I, 2010)

3. Ekhokardiografi

Pemeriksaan ini merupakan baku emas untuk mendeteksi disfungsi

ventrikel kiri. Ekhokardiografi dapat mengevaluasi fungsi miokard

dan fungsi katup sehingga dapat dipakai dalam mendiagnosis

penyebab edem paru.(Nieminen, et al. 2005)

4. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorim yang relevan diperlukan untuk mengkaji

etiologi edem paru. Pemeriksaan tersebut diantaranya pemeriksaan

hematologi/ darah rutin, fungsi ginjal, elektrolit, kadar protein,

urinalisa gas darah, enzim jantung (CK-MB, troponin I) dan Brain

Natriuretic Peptide (BNP). BNP dan prekursornya pro BNP dapat

digunakan sebagai rapid test untuk menilai edem paru kardiogenik

pada kondisi gawat darurat. Kadar BNP plasma berhubungan

dengan pulmonary artery occlusion pressure, left ventricular end-

diastolic pressure dan left ventricular ejection fraction. Khususnya

pada pasien gagal jantung, kadar pro BNP sebesar 100pg/ml akurat

sebagai prediktor gagal jantung pada pasien dengan efusi pleura

dengan sensitifitas 91% dan spesifitas 93% (Lorraine et al) . Richard

dkk melaporkan bahwa nilai BNP dan Pro BNP berkorelasi dengan
LV filling pressure (pasquate 2004). Pemeriksaan BNP ini menjadi

salah satu tes diagnosis untuk menegakkan gagal jantung kronis

berdasarkan pedoman diagnosis dan terapi gagal jantung kronik

Eropa dan Amerika. Bukti penelitian menunjukan bahwa pro

BNP/BNP memiliki nilai prediksi negatif dalam menyingkirkan gagal

jantung dari penyakit penyakit lainnya (Maria I, 2010). Peningkatan

kadar brain natriuretic peptide (BNP) di dalam darah sebagai respon

terhadap peningkatan tekanan di ventikel; kadar BNP >500 pg/ml

dapat membantu menegakkan diagnosis edema paru kardiogenik

(Rodeheffer, et al. 2004).

Analisis gas darah (AGDA) dapat memperlihatkan penurunan PO2

dan PCO2 pada keadaan awal tetapi pada perkembangan penyakit

selanjutnya PO2 semakin menurun sedangkan PCO2 meningkat.

Pada kasus yang berat biasanya dijumpai hiperkapnia dan asidosis

respiratorik (Mattu, et al. 2005).


Alur Diagnosis.

2.5 Tatalaksana
Edema paru kardiogenik merupakan salah satu kegawatan medis yang perlu

penanganan secepat mungkin setelah ditegakkan diagnosis. Penatalaksanaan

utama meliputi pengobatan suportif yang ditujukan terutama untuk mempertahankan

fungsi paru (seperti pertukaran gas, perfusi organ), sedangkan penyebab utama

juga harus diselidiki dan diobati sesegera mungkin bila memungkinkan. Prinsip

penatalaksanaan meliputi pemberian oksigen yang adekuat, restriksi cairan, dan

mempertahankan fungsi kardiovaskular. Pertimbangan awal ialah dengan evaluasi

klinis, EKG, foto toraks, dan AGDA.(Mattu,et al. 2005)

1. Suplementasi oksigen Hipoksemia umum pada edema paru merupakan

ancaman utama bagi susunan saraf pusat, baik berupa turunnya kesadaran

sampai koma maupun terjadinya syok. Oleh karena itu suplementasi oksigen

merupakan terapi intervensi yang penting untuk meningkatkan pertukaran gas

dan menurunkan kerja pernapasan, mengoptimalisasi unit fungsional paru

sebanyak mungkin, serta mengurangi overdistensi alveolar. Pada kasus

ringan oksigen bisa diberikan dengan kanul hidung atau masker muka (face

mask). Continuous positive airway pressure (CPAP) sangat membantu pada

pasien edema paru kardiogenik. Masip et al. mendapatkan bahwa

penggunaan CPAP menurunkan kebutuhan akan intubasi dan angka

mortalitas. Pada pasien dengan edema paru kardiogenik akut, induksi

ventilasi noninvasif dalam gangguan pernapasan dan gangguan metabolik

meningkat lebih cepat daripada terapi oksigen standar tetapi tidak

berpengaruh terhadap mortalitas jangka pendek.18 Ventilasi non-invasif

dengan CPAP telah terbukti menurunkan intubasi endotrakeal dan kematian


pada pasien dengan edema paru akut kardiogenik.19 Menurut penelitian

Agarwal et al., noninvasive pressure support ventilation (NIPSV) tampaknya

aman dan berkhasiat sebagai CPAP, daripada jika bekerja dengan titrasi

pada tekanan tetap.19 Penelitian Winck et al. mendukung penggunaan CPAP

dan non-invasive positive pressure ventilation (NPPV) pada edema paru akut

kardiogenik. Kedua teknik tersebut dipakai untuk menurunkan need for

endotracheal intubation (NETI) dan kematian dibandingkan standard medical

therapy (SMT), serta tidak menunjukkan peningkatan risiko infark miokard

akut. CPAP dianggap sebagai intervensi pertama dari NPPV yang tidak

menunjukkan khasiat yang lebih baik bahkan pada pasien dengan kondisi

lebih parah, tetapi lebih murah dan lebih mudah untuk diimplementasikan

dalam praktek klinis.20 Intubasi dan penggunaan ventilasi mekanik dengan

positive end-expiratory pressure (PEEP) diperlukan pada kasus yang berat

(Rampengan, 2014).Oksigen (40-50%) diberikan sampai dengan 8 L/menit,

untuk mempertahankan PaO2.kalau perlu dengan masker. Jika kondisi pasien

makin memburuk, timbul sianosis, makin sesak, takipneu, ronki bertambah,

PaO2, tidak bisa dipertahankan > 60 mmHg dengan terapi O2, konsentrasi dan

aliran tinggi, retensi CO2, hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan

edema secara adekuat, maka perlu dilakukan intubasi endotrakheal , suction

dan penggunaan ventilator. (Harun dan Sally, 2014)


2. Farmakologi

 Obat-obatan yang menurunkan preload

- Nitrogliserin (NTG) dapat menurunkan preload secara efektif, cepat,

dan efeknya dapat diprediksi. Pemberian NTG secara intra vena

diawali dengan dosis rendah (20µg/menit) dan kemudian dinaikkan

secara bertahap (dosis maksimal 200µg/menit). Nitrogliserin

diberikan peroral 0,4 - 0,6 mg tiap 5 - 10 menit . Jika tekanan darah

sistolik cukup baik (> 95 mmHg). (Rampengan, 2014)

- Morfin Sulfat. Diberikan 3 - 5 mg i.v., dapat diulangi tiap 15 menit.

Sampai total dosis I 5 mg biasa cukup efektif. (Rampengan, 2014)

- Loop diuretics (furosemide) dapat menurunkan preload melalui 2

mekanisme, yaitu: diuresis dan venodilatasi. Dosis furosemide

dapat diberikan per oral 20-40 mg/hari pada keadaan yang ringan

hingga 5-40 mg/jam secara infus pada keadaan yang berat. Morfin

sulfat digunakan untuk menurunkan preload dengan dosis 3 mg

secara intra vena dan dapat diberikan berulang. (Rampengan,

2014)

 Obat-obatan yang menurunkan afterload

Angiotensin-converting enzyme inhibitors (ACE inhibitors) menunurunkan

after load, serta memperbaiki volume sekuncup dan curah jantung.

Pemberian secara intra vena (enalapril 1,25 mg) ataupun sublingual

(captopril 25 mg) akan memperbaiki keluhan pasien. Pada suatu meta


analisis didapati bahwa pemberian ACE inhibitors akan menurunkan angka

mortalitas.(Nieminen, et al. 2005)

 Obat-obatan golongan inotropik

Obat-obatan golongan inotropik diberikan pada edema paru kardiogenik

yang mengalami hipotensi, yaitu dobutamin 2-20 µg/kg/menit atau dopamin

3-20 µg/kg/menit. (Nieminen, et al. 2005)

1. Pada pasien yang telah mendapatkan pengobatan diuretic, dosis yang

direkomendasikan sebesar 2,5x dari dosis oral yang biasanya diberikan.

Dapat diulang jika diperlukan. (McMurray, et al. 2012)


2. O2 saturasi dengan pulse oximeter<90 atau PaO2<60 dapat diberikan,

yang terkait dengan peningkatan resiko mortalitas jangka pendek.

Oksigen tidak boleh digunakan secara rutin pada pasien non-hipoksemia

karena menyebabkan vasokonstriksi dan penurunan curah jantung.

(McMurray, et al. 2012)

3. Biasanya dimulai dengan O2 40-60% dititrasi sampai SaO2 > 90%, hati-

hati pada pasien yang mempunyai resiko retensi CO2. (McMurray, et al.

2012)

4. Contoh, pemberian morfin 4-8 mg ditambah metoclopramide 10 mg,

observasi adanya depresi pernafasan, dapat diulang jika diperlukan.

5. Akral dingin, tekanan darah rendah, produksi urine yang sedikit,

bingung/kesadaran menurun, iskemik miokardial. (McMurray, et al. 2012)

6. Contoh, mulai pemberian infus dobutamine 2,5 mikrogr/kg/menit, dosis

dinaikkan 2x lipat tiap 15 menit tergantung respon (titrasi dosis dibatasi

jika terdapat takikardia, aritmia atau iskemik). Dosis>20 mikrogr/kg/menit

jarang sekali diperlukan. Bahkan dobutamine mungkin memiliki aktivitas

vasodilator ringan sebagai akibat dati stimulasi beta-2 adrenoseptor.

(McMurray, et al. 2012)

7. Pasien harus diobservasi ketat secara regular (gejala, denyut dan ritme

jantung SpO2, tekanan darah sistolik, produksi urine) sampai stabil dan

pulih. (McMurray, et al. 2012)

8. Contoh, mulai pemberian infus NGT 10 mikrogram/menit dan dosis

dinaikkan 2x lipat tiap 10 menit tergantung respon, biasanya titrasi


naiknya dosis dibatasi oleh hipotensi. Dosis>100 mikrogram/min jarang

sekali diperlukan. (McMurray, et al. 2012)

9. Respon yang adekuat ditandai dengan berkurangnya dyspnea, diuresis

yang adekuat (produksi urine >100 ml/jam dalam 2 jam pertama),

peningkatan saturasi O2 dan biasanya terjadi peurunan denyut jantung

dan frekuensi pernafasan yang seharusnya terjadi dalam 1-2 jam

pertama. Aliran darah perifer juga dapat meningkatkan seperti yang

ditandai oleh penurunan vasokonstriksi kulit, peningkatan suhu kulit, dan

perbaikan dalam warna kulit. Serta adanya penurunan ronkhi. (McMurray,

et al. 2012)

10. Setelah pasien nyaman dan diuresis yang stabil telah dicapai, ganti terapi

IV dengan pengobatan diuretic oral. (McMurray, et al. 2012)

11. Menilai gejala yang relevan dengan HF (dypnea, ortopnea, paroxysmal

nocturnal dyspnea), komorbiditas (misalnya nyeri dada akibat iskemia

miokard), dan efek samping pengobatan (misalnya simptomatik

hipotensi). Menilai tanda-tanda kongesti/edem perier dan paru, denyut

dan irama jantug, tekanan darah, perfusi perifer, frekuensi pernafasan

serta usaha pernafasan. EKG (ritme/iskemia dan infark) dan kimia darah/

hematologi (anemia, gangguan elektrolit, gagal ginjal) juga harus

diperiksa. Pulse oxymetry (atau pengukuran gas darah arteri) harus

diperiksa dan diperiksakan ekokardiografi jika belum dilakukan.

(McMurray, et al. 2012)


12. Produksi urine < 100 ml/jam dalam 1-2 jam pertama adalah respon awal

pemberian diuretic IV yang tidak adekuat (dikonfirmasi melalui kateter

urine). (McMurray, et al. 2012)

13. Pada pasien dengan tekanan darah masih rendah/ shock,

dipertimbangkan diagnosis alternative (emboli paru misalnya), masalah

mekanis akut, dan penyakit katup yang berat (terutama stenosis aorta).

Kateterisasi artei paru dapat mengnditifikasi pasien dengan tekanan

pengisian ventrikel kiri yang tidak adekuat (lebih tepat dalam

menyesuaikan terapi vasoaktif). (McMurray, et al. 2012)

14. Balon pompa intra aorta atau dukungan sirkulasi mekanik lainnya harus

dipertimbangkan pada pasien yang tidak terdapat kontraindikasi.

(McMurray, et al. 2012)

15. CPAP dan NIPPV harus dipertimbagkan pada pasien yang tidak terdapat

kontraindikasi. Ventilasi non-invasif continuous positive airway pressure

dan non invasive intermittent positive pressure ventilation (NIPPV)

mengurangi dyspnea dan meningkatkan nilai fisiologis tertentu (misalnya

saturasi oksigen) pada pasien dengan edema paru akut. Namun,

penelitian RCT besar yang terbaru menunjukan bahwa ventilasi non-

invasif tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap penurunan angka

kematian bila dibandingkan dengan terapi standar, termasuk nitrat (dalam

90% dari pasien) dan opiate (di 51% dari pasien). Hasil ini berbeda

dengan penelitian dari metaanalisis sebelumnya dengan studi yang lebih

kecil. Ventilasi non-invasif dapat digunakan sebagai terapi tambahan


untuk meringanan gejala pada pasien dengan edem paru dan gangguan

pernafasan parah atau pada pasien yang kondisinya gagal membaik

dengan terapi farmakologis. Kontraindikasi untuk penggunaan ventilasi

non invasive meliputi hipotensi, muntah, kemungkinan pneumothorax dan

depressed consciousness. 16. Dipertimbangkan untuk dilakukan

pemasangan intubasi endotrakeal dan ventilasi invasive jika hipoksemia

memburuk, gagal upaya pernafasan, meningkatnya

kebingungan/penurunan tingkat kesadaran, dll. (McMurray, et al. 2012)

16. Meningkatkan dosis loop diuretic hingga setara dengan furosemide 500

mg. (McMurray, et al. 2012)

17. Jika tidak ada respon terhadap penggandaan dosis diuretic meskipun

tekanan pengisian ventrikel kiri adekuat (baik disimpulkan atau diukur

secara langsung) maka mulai infus dopamine 2,5 mikrogram/kg/menit.

Dosis yang lebih tinggi tidak dianjurkan untuk meningkatkan diuresis.

(McMurray, et al. 2012)

18. Jika langkah 17 dan 18 tidak menghasilkan diuresis yang adekuat dan

pasien tetap terjadi edem paru maka ultrafiltasi terisolasi venovenous

harus dipertimbangkan. (McMurray, et al. 2012)

2.6 Prognosis

Prognosis tergantung pada penyakit dasar dan faktor penyebab/pencetus yang

dapat diobati. Walaupun banyak penelitian telah dilakukan untuk mengetahui

mekanisme terjadinya edema paru nonkardiogenik akibat peningkatan permeabilitas

kapiler paru, perbaikan pengobatan, dan teknik ventilator tetapi angka mortalitas
pasien masih cukup tinggi yaitu > 50%. Beberapa pasien yang bertahan hidup akan

didapatkan fibrosis pada parunya dan disfungsi pada proses difusi gas/udara.

Sebagian pasien dapat pulih kembali dengan cukup baik walaupun setelah sakit

berat dan perawatan ICU yang lama.(Simadibrata et al. 2000)

Hingga saat ini mortalitas akibat edema paru akut termasuk yang disebabkan

kelainan kardiak masih tinggi. Setelah mendapatkan penanganan yang tepat dan

cepat pasien dapat membaik dengan cepat dan kembali pada keadaan seperti

sebelum serangan. Kebanyakan dari mereka yang selamat mengatakan sangat

kelelahan pada saat serangan tersebut. Diantara beberapa gejala edema paru ini

terdapat tanda dan gejala gagal jantung. (Harun dan Sally, 2014)

Prognosis jangka panjang dari edema paru akut ini sangat tergantung dari

penyakit yang mendasarinya, misalnya infark miokard akut serta keadaan

komorbiditas yang menyertai seperti diabetes melitus atau penyakit ginjal terminal.

Sedangkan prediktor dari kematian di rumah sakit antara lain adalah : diabetes,

disfungsi ventrikel kiri, hipotensi atau syok dan kebutuhan akan ventilasi mekanik.

(Harun dan Sally, 2014)


BAB 3

DATA MEDIS PASIEN

3.1 Identitas Pasien

Nama : Tn. S

Usia : 56 tahun

Tanggal lahir : 06-10-1962

Jenis Kelamin : Pria

Alamat : Dsn Binangun RT 1/6, Pasuruan

Agama : Islam

Suku : Jawa

Nomer Register : 11414792

3.2 Anamnesa Review of System

Anamnesa dilakukan secara autoheteroanamnesis dari pasien dan istri pasien

pada hari minggu 18 November 2018.

Keluhan Utama: dada tidak nyaman

Riwayat penyakit sekarang:

Pasien mengeluhkan dada tidak nyaman dan sesak yang memberat sejak 4

hari yang lalu saat menunggu cucunya bermain. Pasien juga mengeluhkan dada

terasa berat seperti ditekan, disertai sulit bernafas. Keluhan dirasakan semakin

memberat dan tidak reda dengan istirahat, hingga dibawa ke RS Mitra Sehat

(14-11-2008) dan didiagnosis dengan UAP. Pada RS Mitra Sehat dirawat selama

4 hari. Pasien mengeluhkan sesak saat tidur, pasien tidur dengan menggunakan
3-4 bantal, pasien sering terbangun saat malam karena sesak, sesak sudah

dirasakan pasien sejak 1 tahun yang lalu, awalnya sesak muncul jika pasien

melakukan aktivitas berat namun beberapa minggu terakhir sesak muncul saat

berdiri. Riwayat nyeri dada berulang, hilang timbul sejak 1 tahun yang lalu.

pasien didiagnosis dengan penyakit jantung besar pada tahun 2011, dan pasien

tidak rutin meminum obat yang diberikan, pasien hanya minum obat jika

merasakan sakit saja. Riwayat sinkop dan paliptasi disangkal pasien. Riwayat

batuk (+).

Riwayat penyakit dahulu: riwayat hipertensi dan DM disangkal.

Riwayat pengobatan: sebelumnya pasien MRS di RS Mitra Sehat Medika

selama 4 hari dan diberikan O2 NRBM 8 lpm, IVFD NS, drip Furosemide 5

mg/jam, Arixta IV, Ceftriaxone 1 gr, ranitidine, aspilet 1 x 80mg, CPG 1 x 75mg,

ISDN 3 x 5mg, spinolacton 0-25mg-0, digoxin 1 x 0,25mg, ambroxol 3x1, KSR

3x1.

Riwayat keluarga: Riwayat hipertensi dari ibu pasien, riwayat diabetes mellitus

disangkal.

Riwayat sosial: Pasien adalah perokok berat lebih dari 20 tahun dan baru

berhenti 6 bulan yang lalu, pasien bekerja sebagai montir bengkel mobil.

Riwayat Pribadi: Riwayat alergi disangkal pasien.

Hobi: Pasien tidak memiliki hobi khusus

Olahraga: pasien tidak memiliki olahraga khusus, namun pekerjaan pasien

merupakan aktifitas berat.

Makanan: nasi dengan lauk pauk dan sayuran makan 3 kali sehari.
3.3 Pemeriksaan Fisik

Keadaan Derajat sakit : tampak sakit sedang

Umum Kesan gizi : kesan gizi cukup

GCS : 456

Tanda-tanda Tekanan Darah : 100/60 mm.Hg

vital Nadi : 98 x/menit regular

RR : 26-28 x/menit

Temp. axilla : 36,8°C

SpO2 : 98-100% dengan NRBM 8lpm

Kepala Wajah : simetris, deformitas (-), rash (-), sianosis (-).

Mata : anemis (-), ikterik (-)

Leher Inspeksi : asimetris, edema (-)

Palpasi : pembesaran kelenjar limfe (-), pembesaran

tiroid (-)

JVP R+4 cm H2O

Thorax Jantung

Ictus invisible palpable di ICS V 2 cm lateral MCL Sinistra S1,

S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

Paru-paru

Gerakan dinding dada simetris, retraksi(-)

RR: 24 x/menit, regular


Suara Nafas :

vesicular vesicular

vesicular vesicular

vesicular vesicular

Rhonki - - Wheezing - -

- - - -

+ + - -

Abdomen Jaringan parut (-), dilatasi vena (-), rash (-), massa (-),

meteorismus (-)

Soefl, bising usus (+) normal

Hepar dan lien dalam batas normal

Shifting Dullnes (-), Ascites (-)

Ekstremitas Pemeriksaan Atas Bawah

Ekstremitas Kanan Kiri Kanan Kiri

Akral Clammy Clammy Clammy Clammy

Anemis – – – –

Ikterik – – – –

Edema – – - -
3.4 Pemeriksaan Penunjang

Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan Keterangan

Complete Blood Count

Haemoglobin 15,80 g/dL 13,4 – 17,7

Eritrosit 5,67 106/ µL 4,0 – 5,5

Leukosit 12,56 103/ µL 4,3 – 10,3

Hematokrit 47,70 % 38 – 42

Trombosit 383 103/ µL 142 – 424

MCV 84,10 fL 80 - 93

MCH 27,90 pg 27 – 31

MCHC 33,10 g/dL 32 – 36

RDW 13,20 % 11,5 – 14,5

HitungJenis :

Eosinofil 2,2 % 0–4

Basofil 0,4 % 0–1

Neutrofil 69,4 % 51 – 67

Limfosit 20,1 % 25 – 33

Monosit 7,9 % 2–5

PPT

-Pasien 10,90 Detik 9,3-11,4

-INR 1,05 0,6-1,30


APTT

-Pasien 26,50 Detik 24,6-30,6

Kimia Klinik

SGOT 25 U/L 0 – 40

SGPT 20 U/L 0 – 41

GDS 152 mg/dL <200

Albumin 3,95 g/dL 3,5 – 5,5

Jantung

Troponin I 0,20 mcg/L - < 1,0

+ ≥ 1.0

Faal Ginjal

Ureum 37,90 mg/dL 16,6-48,5

Kreatinin 0,69 mg/dL <1,2

Enzim Jantung

CK-MB 15 U/L 7-25

Elektrolit (17-11-18)

Natrium 135 Mmol/L 136-145

Kalium 3,58 Mmol/L 3,50-5,0

Klorida 98 Mmol/L 98-106


DAFTAR PUSTAKA

Bestern AD. Noninvasive ventilation for cardiogenic pulmonary edema: froth and
bubbles? Am J Respir Crit Care Med, 2003.
ESC. 2008. Guideline for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart
Failure 2008. European Heart Journal.p33:2388-442
Harun S, Sally N. edema paru akut. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, setiati S, editor. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi
ke-6 Jilid II. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, p. 1772-6.
Huldani H. Edema paru akut. Refarat. 2014. Universitas Lambung Mangkurat
Fakultas Kedokteran, Banjarmasin. Available from: eprints.unlam.ac.id/207/
Lorraine et al. 2005. Acute Pulmonary Edema. N Engl J Med. p353:2788-96.
Mattu A, Matinez JP, Kelly BS. 2005. Modern Management of Cardiogenic
pulmonary edema. Emerg Med Clin N Am. p 1105-25.
Maria I. 2010. Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis
VAP.Anestesia & Critical Care.Vol 28 No.2 Mei 2010.52
Mattu A, Matinez JP, Kelly BS. 2005. Modern Management of Cardiogenic
pulmonary edema. Emerg Med Clin N Am. p 1105-25.
McMurray JJ V, Adamopoulos S, Anker SD, et al. ESC Guidelines for the diagnosis
and treatment of acute and chronic heart failure 2012: The Task Force for the
Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2012 of the
European Society of Cardiology. Developed in collaboration with the Heart.
Eur Heart J [Internet] 2013;32:e1–641 – e61.
Nendrastuti, H. and Soetomo, M., 2010. Edema paru akut, kardiogenik dan non
kardiogenik. JLo'nal Kedokteran Respirasi.
Nieminen MS, Bohm M, Cowie MR, Drexler H, Filippatos GS, Jondeau G, et al.
2005. Executive summary of the guidelines on the diagnosis and treatment of
acute heart failure. Eur Heart J. p26:384-416.
Rampengan, S.H., 2014. EDEMA PARU KARDIOGENIK AKUT. JURNAL
BIOMEDIK, 6(3).
Rodeheffer RJ. 2004. Measuring plasma B-type natriuretic peptide in heart failure. J
Am Coll Cardiol. p4:740-8.
Simadibrata M, Setiati S, Alwi, Maryantono, Gani RA, Mansjoer. 2000. Pedoman
Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Informasi dan
Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta.p 208

Soemantri. 2011. Cardiogenic Pulmonary Edema. Naskah Lengkap PKB XXVI Ilmu
Penyakit Dalam 2011. FKUNAIR-RSUD. DR Soetomo Surabaya, hal 113-
19
Ware LB, Matthay MA. 2005. Acute pulmonary edema. N Engl J Med. p353:278896.

Anda mungkin juga menyukai