TINJAUAN PUSTAKA
A. Defenisi
Acute Lung Oedema (Alo) Adalah Akumulasi Cairan Di Paru Yang Terjadi
Secara Mendadak. (Aru W Sudoyo, 2006).
Acute Lung Odema (ALO) atau edema paru akut adalah terjadinya penumpukan
cairan secara massif di rongga alveoli yang menyebabkan pasien berada dalam
kedaruratan respirasi dan ancaman gagal nafas (Gumiwang, 2007).
ALO juga dapat diartikan sebagai penumpukan cairan (serous/serosanguineous) oleh
karena adanya aliran cairan atau darah ke ruang interstisial paru yang selanjutnya ke
alveoli paru, bronkus, bronkiolus, atau interstisial space melebihi cairan balik/kembali
ke arah jantung atau melalui limfatik (Tamashefski, 2000).
Edema paru adalah timbunan cairan abnormal dalam paru, baik di rongga
intertisial maupun dalam alveoli. Edema merupakan tanda adanya kongesti paru
tingkat lanjut, dimana cairan mengalami kebocoran melalui dinding kapiler,
merembes keluar dari dan menimbulkan dispnu yang sangat berat ( Smeltzer, 2001).
Edema Paru Akut (EPA) adalah akumulasi cairan paru-paru yang terjadi secara
mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskuler yang tinggi (edema
paru kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membrane kapiler (edema paru
non kardiak) yang meningkatkan terjadinya ekstravasasi cairan secara cepat. Pada
sebagian besar edema paru secara klinis mempunyai kedua aspek tersebut diatas,
sebab sangat sulit terjadi gangguan permeabilitas kapiler tanpa adanya gangguan
tekanan pada mikrosirkulasi atau sebaliknya. Walaupun demikian penting sekali untuk
menetapkan factor mana yang dominan dari kedua mekanisme tersebut sebagai
pedoman pengobatan. EPA adalah suatu keadaan gawat darurat dengan tingkat
mortalitas yang masih tinggi (Michael Jay Bresler & George L.Sternbach., 2007).
B. Etiologi
a. Ketidakseimbangan Starling Force
1. Peningkatan tekanan vena pulmonalis.Edema paru akan terjadi hanya apabila
tekanan osmotic koloid plasma, yang biasanya berkisar 28 mmHg pada
manusia. Sedangkan nilai normal dari tekanan vena pulmonalis adalah antara
8-12 mmHg, yang merupakan batas aman dari mulai terjadinya edema paru
tersebut. Etiologi dari keadaan ini antara lain : (1) Tanpa gagal ventrikel kiri
(mis: stenosis mitral), (2) Sekunder akibat gagal ventrikel kiri, (3) Peningkatan
tekanan kapiler paru sekunder akibat peningkatan tekanan arterial paru
(sehingga disebut edema paru overperfusi).
2. Penurunan tekanan onkotik plasma. Hipoalbuminaemia saja tidak
menimbulkan edema paru, diperlukan juga peningkatan tekanan kapiler paru.
Peningkatan tekanan yang sedikit saja pada hipoalbuminemia akan
menimbulkan edema paru. Hipoalbuminemia dapat menyebabkan perubahan
konduktivitas cairan rongga interstitial, sehingga cairan dapat berpindah
dengan lebih mudah diantara sistem kapiler dan limfatik.
3. Peningkatan negativitas dari tekanan interstitial. Edema paru dapat terjadi
akibat perpindahan yang cepat dari udara pleural.Keadaan yang sering menjadi
etiologi adalah : (1) Perpindahan yang cepat pada pengobatan pneumothoraks
dengan tekanan negative yang besar. Keadaan ini disebut edema paru re-
ekspansi. Edema biasanya terjadi unilateral dan sering kali ditemukan dari
gambaran radiologis dengan penemuan klinis yang minimal. Jarang sekali
kasus yang menjadikan edema paru re-ekspansi ini berat dan membutuhkan
tatalaksana yang cepat dan ekstensif. (2) Tekanan negative pleura yang besar
akibat obstruksi jalan napas akut dan peningkatan volume ekspirasi akhir
(misalnya pada asma bronchial) (Michael Jay Bresler & George L.Sternbach.,
2007).
b. Gangguan Permeabilitas Membran Kapiler Alveoli : (ARDS = Adult Respiratory
Distress Syndrome)
Keadaan ini merupakan akibat langsung dari kerusakan pembatas antara kapiler
dan alveolar. Cukup banyak kondisi medis maupun surgical tertentu yang
berhubungan dengan edema paru akibat kerusakan pembatas ini daripada akibat
ketidakseimbangan Starling Force
1. Pneumonia (bakteri, virus, parasit)
2. Terisap toksin (NO, asap)
3. Bisa ular, endotoksin dalam sirkulasi
4. Aspirasi asam lambung
5. Pneumonitis akut akibat radiasi
6. Zat vasoaktif endogen (histamine, kinin)
7. G.Disseminated IntravascularCoagulation
8. Immunologi : pnemonitis hipersensitif
9. Shock-lung pada trauma non thoraks
10. Pankreatitis hemoragik akut (Michael Jay Bresler & George L.Sternbach., 2007).
c. Insuffisiensi Sistem Limfe
1. Pasca transplantasi paru
2. Karsinomatosis limfangitis
3. Limfangitis fibrotic (silikosis) (Michael Jay Bresler & George L.Sternbach., 2007).
d. Tidak Diketahui atau Belum Jelas Mekanismenya
1. A.High altitude Pulmonary Edema
2. Edema paru neurogenik
3. Over dosis obat narkotik
4. Emboli paru
5. Eklampsia
6. Pasca kardioversi
7. Pasca anastesi
8. Post cardiopulmonary bypass (Michael Jay Bresler & George L.Sternbach., 2007).
C. Klasifikasi
D. Menifestasi klinis
2. Mengumpulnya berbagai zat toksik oleh karena kegagalan fungsi transportasi zat-
zat sisa.
a. Berkurangnya subsrat yang dipengaruhi jaringan terutama glukosa sehingga
jaringan dalam hal ini mempergunakan sumber energy lainnya misalnya lemak
dan protein. Kekurangan subsrat ini hanya terjadi bila akibat kegagalan aliran
darah.
b. Pengangkutan zat sisa yang tidak dapat dilakukan tubuh yang disebabkan oleh
dua hal, yakni:
- Peranan mikrosirkulasi dan transportasi sisa-sisa bahan makanan tidak
sempurna.
Fungsi ekskresi dari ginjal tidak sempurna (Tabrani Rab,1998).
E. Patofisologi
Perubahan yang dini pada edema paru adalah peningkatan aliran limfatik. Karena
saluran limfatik terjalin dalam jaringan ikat longgar yang mengelilingi arteriol paru
dan saluran nafas yang kecil, pembengkakan saluran limfatik ini akan memberi
dampak pada struktur disekitarnya dengan akibat perubahan hubungan tekanan pada
struktur tersebut. Salah satu akibatnya adalah obstruksi pada saluran nafas kecil yang
telah dibuktikan merupakan perubahan fisiologis dini pada penderita dengan gagal
jantung kiri. Karena lesi ini tidak merata disaluran paru, timbullah dalam distribusi
ventilasi dan perfusi yang kemudian menyebabkan hipoksemia ringan. Terkenanya
arterior kecil juga dapat menyebabkan gambaran radiologis dini pada gagal jantung
kiri yaitu suatu redistribusi aliran darah dari basis ke apek paru pada penderita dalam
posisi tegak.
Kalau terbentuknya cairan intertensial melebihi kapasitas sistem limfatik, akan
terjadi edema di dinding alveolar. Pada fase ini compliance (pemenuhan) paru
bekurang. Hal ini akan menyebabkan takipnea, yang mungkin merupakan tanda klinik
dini penderita edema paru. Ketidakseimbangan antara ventilasi dan aliran darah
menyebabkan pemburukan hipoksemia. Namun demikian ekskresi karbon dioksida
tidak terganggu, dan penderita akan menunjukkan keadaan hiperventilasi dengan
alkalosis respiratori. Selain hal yang telah disebutkan diatas, defek fungsi juga
mempunyai andil, dan pada fase ini mungkin akan terjadi peningkatan pintas kanan ke
kiri melaui alveoli yang tidak mengalami ventilasi.
Pada fase alveolar flooding, semua gambaran menjadi lebih berat, compliance akan
menurun dengan nyata. Karena alveoli terisi dengan cairan, sementara aliran darah ke
daerah tersebut tetap berlangsung, pintas kanan ke kiri aliran darah akan menjadi
lebih berat dan menyebabkan hipoksemia yang rentan terhadap peningkatan
konsentrasi peningkatan, konsentrasi oksigen yang diinspirasi. Kecuali pada keadaan
yang amat berat, hiperventilasi dan alkalosis respiratori akan tetap berlangsung.
Secara radiologis akan tampak infiltrat alveolar yang tersebar diseluruh paru, terutama
didaerah perihilar dan basal.
Kongesti paru terjadi bila vaskuler paru menerima darah yang berlebihan dari
ventrikel kanan, yang tidak mampu diakomodasi dan diambil oleh jantung kiri.
Sedikit ketidakseimbangan antara aliran masuk pada sisi kanan dan aliran keluar pada
sisi kiri jantung mengakibatkan konsekuensi yang berat.
Perkembangan edema paru menunjukkan bahwa fungsi jantung sudah sangat
tidak adekuat, peningkatan tekanan akhir diastole ventrikel kiri dan peningkatan
tekanan vena pulmonal dapat terjadi. Hal meningkatkan tekanan hidrostatik yang
mengakibatkan cairan merembes keluar. Gangguan limfatik berperan dalam
penimbunan cairan di dalam jaringan paru.
Kapiler paru yang membesar oleh darah yang berlebih akibat ketidakmampuan
ventrikel kiri untuk memompa, tidak mampu lagi mempertahankan zat yang
terkandung didalamnya. Cairan, mula-mula serous dan kemudian mengandung darah,
lolos kejaringan alveoli disekitarnya melalui hubungan antara bronkhioli dan brnkhi.
Cairan ini kemudian bercampur dengan udara dan terkocok selama pernafasan, dan
dikeluarkan melalui mulut dan hidung. Karena adanya timbunan cairan, paru menjadi
kaku dan tidak dapat mengembang dan udara tidak dapat masuk, akibatnya adalah
hipoksia berat (Michael Jay Bresler & George L.Sternbach., 2007).
.
Faktor kardiogenik Faktor nonkardiogenik
EDEMA PARU
Hipoksemia, takipnea
Alkalosis respiratorik
F. Penatalaksanan
1. Medis
a) Pemberian oksigen tambahan
b) Farmakoterapi
(1) Diuretik
(a) Furosemide (lasix)
(3) Aminofilin
Kateter dipasang dalam beberapa menit karena setelah diuretic diberikan akan
terbentuk sejumlah besar urin.
f) Pemantauan hemodinamika
2. Keperawatan
a) Berikan dukungan psikologis
(1) Menemani pasien
(2) Berikan informasi yang sering, jelas tentang apa yang sedang dilakukan
untuk mengatasi kondisi dan apa makna respons terhadap pengobatan.
b) Atur posisi pasien
Pasien diposisikan dalam posisi tegak, dengan tungkai dan kaki dibawah,
sebaiknya kaki menggantung disisi tempat tidur, untuk membantu arus balik
vena ke jantung.
c) Auskultasi paru
d) Observasi hemodinamik non invasive/ tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi,
frekuensi napas, tekanan vena jugularis)
e) Pembatasan asupan cairan pada klien.
f) Monitor intake dan output cairan tubuh klien
g) Catat tekanan yang direkam dengan balon kateter arteri pulmonal multi-lumen
pada posisi baji pada pembuluh darah pulmonal.
G. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan fisik
1. Sianosis sentral. Sesak napas dengan bunyi napas seperti mukus berbuih.
2. ronchi basah nyaring di basal paru kemudian memenuhi hampir seluruh
lapangan paru, kadang disertai ronchi kering dan ekspirasi yang memanjang
akibat bronkospasme sehingga disebut sebagai asma kardiale.
3. Takikardia dengan s3 gallop.
4. Murmur bila ada kelainan katup.
b. Elektrokardiografi.
Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri atau fibrilasi atrium, tergantung
penyebab gagal jantung. Gambaran infark, hipertrofi ventrikel kiri atau aritmia
bisa ditemukan.
c. Laboratorium
1. Analisa gas darah po2 rendah, pco2 mula-mula rendah dan kemudian
hiperkapnia.
2. enzim kardiospesifik meningkat jika penyebabnya infark miokard.
3. darah rutin, ureum, kreatinin, , elektrolit, urinalisis, foto thoraks, ekg, enzim
jantung (ck-mb, troponin t), angiografi koroner.
d. Pengukuran plasma b-type natriuretic peptide (bnp)
Alat-alat diagnostik lain yang digunakan dalam menilai penyebab yang mendasari
dari pulmonary edema termasuk pengukuran dari plasma b-type natriuretic
peptide (bnp) atau n-terminal pro-bnp. Ini adalah penanda protein (hormon) yang
akan timbul dalam darah yang disebabkan oleh peregangan dari kamar-kamar
jantung. Peningkatan dari bnp nanogram (sepermilyar gram) per liter lebih besar
dari beberapa ratus (300 atau lebih) adalah sangat tinggi menyarankan cardiac
pulmonary edema. Pada sisi lain, nilai-nilai yang kurang dari 100 pada dasarnya
menyampingkan gagal jantung sebagai penyebabnya.
e. Pulmonary artery catheter (swan-ganz)
Pulmonary artery catheter (swan-ganz) adalah tabung yang panjang dan tipis
(kateter) yang disisipkan kedalam vena-vena besar dari dada atau leher dan
dimajukan melalui ruang ruang sisi kanan dari jantung dan diletakkan kedalam
kapiler-kapiler paru atau pulmonary capillaries (cabang-cabang yang kecil dari
pembuluh-pembuluh darah dari paru-paru). Alat ini mempunyai kemampuan
secara langsung mengukur tekanan dalam pembuluh-pembuluh paru, disebut
pulmonary artery wedge pressure. Wedge pressure dari 18 mmhg atau lebih tinggi
adalah konsisten dengan cardiogenic pulmonary edema, sementara wedge
pressure yang kurang dari 18 mmhg biasanya menyokong non-cardiogenic cause
of pulmonary edema. Penempatan kateter swan-ganz dan interpretasi data
dilakukan hanya pada intensive care unit (icu).
H. Komplikasi
Karena adanya timbunan cairan, paru menjadi kaku dan tidak dapat
mengembang dan udara tidak dapat masuk, akibatnya adalah hipoksia berat.
3. Atelektasis paru
4. Kematian
Kematian pada edema paru tidak dapat dihindari lagi. Pasien dapat
mengalami komlikasi jika tidak segera dilakukan tindakan yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Michael Jay Bresler & George L.Sternbach. (2007). Kedokteran Darurat, Ed 6, Jakarta: EGC