Kelompok 3
Claudia Langi
Fani Dady
Elsiana Sumbiri
Novitri Buluran
Jaclin Awuy
Grace Manggi
Veronika Munaiseche
Olivisa Daluhu
Toar Tumiwa
Rois Sikunyir
JURUSAN KEPERAWATAN
2016
1. DEFINISI
Acute Lung Odema (ALO) atau edema paru akut adalah terjadinya
penumpukan cairan secara massif di rongga alveoli yang menyebabkan
pasien berada dalam kedaruratan respirasi dan ancaman gagal nafas
(Gumiwang, 2007).
ALO
juga
dapat
diartikan
sebagai
penumpukan
cairan
yang
biasanya
berkisar
28
mmHg
pada
manusia.
tekanan
kapiler
arteria
paru
sekunder
pulmonalis
oleh
(over
karena
perfusion
pulmonary edema).
2) Penurunan tekanan onkotik plasma
Hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal, hati,
protein-losing enteropaday, penyakit dermatologi atau penyakit
nutrisi. Tetapi hipoalbuminemia saja tidak menimbulkan edema
paru,
diperlukan
juga
peningkatan
tekanan
kapiler
paru.
nitrofurantoin,
leukoagglutinin.
9) Shock Lung oleh karena trauma di luar toraks.
10)
Pankreatitis Perdarahan Akut.
c. Insufisiensi Limfatik:
1) Post Lung Transplant.
2) Lymphangitic Carcinomatosis.
3) Fibrosing Lymphangitis (silicosis)
d. Tak diketahui/tak jelas
1) High Altitude Pulmonary Edema.
2) Neurogenic Pulmonary Edema.
3) Narcotic overdose.
4) Pulmonary embolism
5) Eclampsia
6) Post cardioversion
7) Post Anesthesia
8) Post Cardiopulmonary Bypass
e. Kardiogenik
1) Penyakit pada arteri koronaria
Arteri yang menyuplai
darah
untuk
jantung
dapat
seperti
kokain
dan
obat
kemoterapi.
Kardiomiopati
non-kardiogenik.
Hal
ini
penting
diketahui
oleh
karena
10,000 feet.
Trauma otak, perdarahan dalam otak (intracranial hemorrhage),
seizure-seizure yang parah, atau operasi otak dapat adakalanya
berakibat pada akumulasi cairan di paru-paru, menyebabkan
cepat
dapat
adakalanya
pulmonary
edema
mungkin
termasuk
pulmonary
embolism
dan
hasil
akhir
yang
terjadi
adalah
penurunan
kemampuan difusi, hipoksemia dan sesak nafas. Sering kali keadaan ini
berlangsung dengan derajat yang berbeda-beda.
- Stadium 1
Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang
prominen akan memperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit
meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan pada stadium ini
mungkin hanya berupa adanya sesak napas saat bekerja.
Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali
mungkin adanya ronkhi pada saat inspirasi karena terbukanya
-
sesak
sekali
dengan
batuk
berbuih
kemerahan.
Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata.
Terjadi right-to-left intrapulmonary shunt. Penderita biasanya
menderita hipokapnia, tetapi pada kasus yang berat dapat terjadi
hiperkapnia dan acute respiratory acidemia. Pada keadaan ini
morphin hams digunakan dengan hati-hati. Edema Paru yang
terjadi setelah Infark Miokard Akut biasanya akibat hipertensi
kapiler paru. Namun percobaan pada anjing yang dilakukan ligasi
arteria koronaria, terjadi edema paru walaupun tekanan kapiler
paru
normal,
indomethacin
yang
dapat
sebelumnya.
dicegah
dengan
Diperkirakan
pemberian
bahwa
dengan
shock
Nasution,2006).
lung
(Sjaharudin
Harun
&
Sally
Aman
4. PATOFISIOLOGI
a. Penigkatan tekanan hidrostatik (tekanan yang mendorong cairan
keluar sel) pada kapiler paru terjadi jika kerja pemompaan ventrikel
kiri
tidak
miokardium
adekuat.
atau
Penyebabnya
keadaan
yang
adalah
penurunan
menuntut
kekuatan
peningkatan
kerja
5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. EKG
- Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri, atau fibrilasi
-
ditemukan.
Edema paru non iskemik: gelombang T negative yang lebar
dengan QT memanjang.
b. Laboratorium
- Analisis gas darah pO2 rendah, pCO2 mula-mula rendah, kemudian
hiperkapnia.
Enzim kardiospesifik meningkat jika penyebabnya infark miokard.
Darah rutin, ureum, kreatinin, elektrolit, urinalisis, enzim jantung
1.
2.
3.
4.
5.
6. PENATALAKSANAAN
a. Posisi setengah duduk
b. Oksigen (40-50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika
memburuk pasien makin sesak, takipneu, ronkhi bertambah, PaO2
tidak bisa dipertahankan 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan
aliran
tinggi,
retensi
CO2,
hipoventilasi,
atau
tidak
mampu
h. Morfin sulfat: 3-5 mg iv, dapat diulangi tiap 25 menit sampai total
dosis 15 mg.
i. Diuretic : Furosemid 40-80 mg iv bolus dapat diulangi atau dosis
ditingkatkan tiap 4 jam atau dilanjutkan drip kontinu sampai dicapai
produksi urin 1 ml/kgBB/jam.
j. Bila perlu (tekanan darah turun/tanda hiperfusi) Dopamin 2-5
g/kgBB/menit
atau
Dobutamin
2-10g/kgBB/menit
untuk
cyanosis
atau
batuk-batuk
disertai
dengan
demam
atau
kemerahan
Sistem Pulmonal
Subyektif
: Sesak nafas, dada tertekan
Obyektif
:Pernafasan cuping hidung, hiperventilasi, batuk
(produktif/nonproduktif), sputum banyak, penggunaan otot bantu
pernafasan, pernafasan diafragma dan perut meningkat, Laju
pernafasan meningkat, terdengar stridor, ronchii pada lapang
paru,
Sistem Cardiovaskuler
Subyektif
: sakit dada
Obyektif
:Denyut nadi
meningkat,
pembuluh
darah
Sistem digestif
Subyektif
: mual, kadang muntah
Obyektif
: konsistensi feses normal/diare
Studi Laboratorik
Hb
: menurun/normal
Analisa Gas Darah : acidosis respiratorik, penurunan
kadar
dengan
perubahan
sehubungan
pengobatan
aturan
seperti:
lethargy,
kecepatan
kecepatan
dari
AV
denyut
jantung
konduksi
junction
kontraksi
dan
untuk
(heart
jantung
dan
rate)
dengan
memperpanjng
periode
meningkatkan
efisiensi
Keperawatan
3.
Ketidakefektifan
pola
pernafasan
kita
dapat
bagian paru-paru
Bantu dan ajarkan pasien untuk batuk dan nafas dalam yang efektif
Rasional: Menekan daerah yang nyeri ketika batuk atau nafas dalam.
Penekanan otot-otot dada serta abdomen membuat batuk lebih
efektif
g. Kolaborasi dengan tim medis lain untuk pemberian O2 dan obatobatan serta foto thorax
Rasional: Pemberian oksigen dapat menurunkan beban pernafasan
dan mencegah terjadinya sianosis akibat hiponia. Dengan foto thorax
dapat dimonitor kemajuan dari berkurangnya cairan dan kembalinya
daya kembang paru.
Diagnose
dengan
keperawatan
adanya
4:
ancaman
kematian
yang
dibayangkan
dihadapi
klien
dan
membangun
kepercayaan
dalam
mengurangi kecemasan
g. Bantu pasien mengenali dan mengakui rasa cemasnya
Rasional: Rasa cemas merupakan efek emosi sehingga apabila sudah
teridentifikasi dengan baik, perasaan yang mengganggu dapat
diketahui.
Diagnose keperawatan 5: Ketidakmampuan melaksanakan aktivitas
sehari-hari sehubungan dengan keletihan (keadaan fisik yang lemah)
Tujuan: Pasien mampu melaksanakan aktivitas seoptimal mungkin.
Kriteria hasil: Terpenuhinya aktivitas secara optimal, pasien kelihatan
segar dan bersemangat, personel hygiene pasien cukup
Rencana tindakan:
a. Evaluasi respon pasien saat beraktivitas, catat keluhan dan tingkat
aktivitas serta adanya perubahan tanda-tanda vital
Rasional: Mengetahui sejauh mana kemampuan pasien dalam
melakukan aktivitas.
b. Bantu Px memenuhi kebutuhannya
Rasional: Memacu pasien untuk berlatih secara aktif dan mandiri
c. Awasi Px saat melakukan aktivitas
Rasional: Memberi pendidikan pada Px dan keluarga dalam
perawatan selanjutnya.
d. Libatkan keluarga dalam perawatan pasien
f.
pasien
tentang
perlunya
keseimbangan
antara
Pasien
dan
keluarga
tahu
mengenai
kondisi
dan
aturan
pengobatan
Kriteria hasil:
-Px dan keluarga menyatakan pemahaman penyebab masalah
-PX dan keluarga mampu mengidentifikasi tanda dan gejala yang
memerlukan evaluasi medik
-Px dan keluarga mengikuti program pengobatan dan menunjukkan
perubahan pola hidup yang perlu untuk mencegah terulangnya masalah
Rencana tindakan:
a. Kaji patologi masalah individu.
Rasional: Informasi menurunkan
takut
karena
ketidaktahuan.
Mempertahankan
kesehatan
umum
meningkatkan
Rencana Tindakan:
Intervensi
N
Diagnosa
o
1
Ketidakefektifa
n pola nafas
berhubungan
dengan
keadaan tubuh
yang lemah
Tujuan & KH
Pola nafas
kembali efektif
setelah
dilakukan
tindakan
keperawatan
selama 3 24
jam, dengan
kriteria hasil:
Tidak terjadi
hipoksia atau
hipoksemia
Tidak sesak
RR normal (1620 / menit)
Tidak terdapat
kontraksi otot
bantu nafas
Tidak terdapat
sianosis
Intervensi
Rasional
bantu pernafasan
(mekanical
ventilation).
7.Pengobatan yang
diberikan berdasar
indikasi sangat
membantu dalam
proses terapi
keperawatan
2
Gangguan
pertukaran
Gas
berhubungan
dengan
distensi kapiler
pulmonar
Resiko
infeksi
tinggi
Fungsi
pertukaran gas
dapat maksimal
setelah
dilakukan
tindakan
keperawatan
selama 3 24
jam dengan
kriteria hasil:
Tidak terjadi
sianosis
Tidak sesak
RR normal (1620 / menit)
BGA normal:
partial
pressure of
oxygen
(PaO2): 75100 mm Hg
partial
pressure of
carbon
dioxide
(PaCO2):
35-45 mm
Hg
oxygen
content
(O2CT): 1523%
oxygen
saturation
(SaO2): 94100%
bicarbonate
(HCO3): 2226 mEq/liter
pH: 7.357.45
Infeksi tidak
terjadi setelah
dilakukan
kondisi yang
tindakan
dialaminya
keperawatan
selama 3 24 2.Observasi
jam, dengan
tanda-tanda
kriteria hasil:
vital.
Pasien mampu
mengurangi
3.Observasi
kontak
dengan area
daerah
pemasangan
pemasangan
selang
selang
endotrakheal
endotrakeal
- Suhu normal
4.Lakukan tehnik
(36,5oC)
perawatan
secara aseptik
5.Kolaborasi
dengan tim
medis dalam
memberikan
pengobatan
berhubungan
dengan area
invasi
mikroorganism
e
sekunder
terhadap
pemasangan selang
endotrakeal
pasien lebih
kooperatif dalam
memberikan terapi
2.Meningkatnya suhu
tubuh dpat dijadikan
sebagai indicator
terjadinya infeksi
3.Kebersihan area
pemasangan selang
menjadi factor resiko
masuknya
mikroorganisme
4.Meminimalkan
organisme yang
kontak dengan pasien
dapat menurunkan
resiko terjadinya
infeksi
5.Pengobatan yang
diberikan berdasar
indikasi sangat
membantu dalam
proses terapi
keperawatan
Bersihan jalan
napas
tak
efektif
b.d
sekret
yang
kental
atau
hipersekresi
sekunder
akibat ALO
-
Keadekuatan
1. Motivasi klien
pola napas
untuk napas
tercapai setelah
panjang dan
pemberian
dalam apabila
intervensi
tidak terdapat
selama 2x24
kontra indikasi
jam.
Kriteria hasil:
2. Kolaborasi
RR dalam
pemberian
diuretik sesuai
rentang
normal, 14-18
indikasi
kali/menit
- Tidak terdapat
3. Kolaborasi
retraksi otot
aspirasi cairan
bantu napas
paru (pungsi)
tambahan
sesuai
- Ekspansi dada
indikasi
simetris
- Klien
mengatakan
tidak sesak
Diuretic
dapat
membantu
proses
pengeluaran cairan
dari dalam tubuh
Membebaskan
napas
jalan
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. 2006. Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC
Simon, G. 1981. Diagnostik Rontgen untuk Mahasiswa Klinik dan Dokter Umum.
Edisi kedua. Jakarta: Penerbit Erlangga
Harrison. 1995. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume3. Yogyakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC
Griffiths, M. J. D, 2004. Respiratory Management in Critical Care. London: BMJ
Publishing
Lewis, dkk. 1998. Medical Surgical Nursing. Copyright 2000 by Mosby
Zimmerman J.L Taylor R.W, Dellinger R.P, Farmer. 1997. Fundamental Critical
support. Society of Critical Care Medicine.
Faktor
kardiogenik
Faktor nonkardiogenik
PATHWAY
ARSD
Gagal jantung
kiri
Pnemonia
Aspirasi As.
Lambung
Bahan Toksik
inhalan
Isufisiens
i limfatik
Unkwnow
n
Post. Lung
transplan
t
Lymphangit
ic
carsinomi
closis
Silicosis
Pulmonary
Embolism
Eclamasia
High
altitude
Pulmonar
y edema
Ketidakseimban
gan
Staling Force
Tekanan
Kapiler
Paru
Tekanan
Tekanan
Tekanan
Onkotik
Plasma
Negative
Onkotik
Interstitial
Interstitial
Cairan
berpindah ke
interstitial
Akumulasi cairan berlebih (transudat /
eksudat)
Alveoli terisi
cairan
Gangguan
pertukaran
gas
Gangguan
perfusi
jaringan
Cardiac
ouput
O2
jaringan
Pemasangan
alat bantu
nafas
(ventilator)
Bed rest
fisik
Pengambila
n O2
Kelelahan
Gangguan
pola nafas
Intoleransi
aktivitas
Defisit
perawat
an diri
Pemasanga
n selang
endotrakhe
al
Area
invas
i
Gangguan
komunikasi
verbal
Resik
o
tingg
i
M.O