Anda di halaman 1dari 62

PRESENTASI KASUS BESAR JANTUNG

STEMI ANTERIOR DENGAN RBBB, AHF DENGAN SYOK KARDIOGENIK DAN


HIPOKALEMIA

Pembimbing:
dr. Abraham Avicenna Sp.JP. FIHA

Disusun oleh:

Galih Okta Satria 1820221116

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN”
UNIVERSITAS JENDRAL SOEDIRMAN
2019
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS BESAR JANTUNG

STEMI ANTERIOR DENGAN RBBB, AHF DENGAN SYOK KARDIOGENIK DAN


HIPOKALEMIA

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti program profesi dokter di
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Disusun Oleh :

Galih Okta Satria 1820221116

Pada tanggal, Oktober 2019

Mengetahui,
Pembimbing,

dr. Abraham Avicenna Sp.JP. FIHA

2
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN ................................................................................................ 4
I.I. STATUS PASIEN ................................................................................................ 6
A. Identitas Pasien .................................................................................................. 6
B. Anamnesis ......................................................................................................... 6
C. Status Generalis ................................................................................................. 8
D. Pemeriksaan Penunjang..................................................................................... 9
E. Diagnosis Kerja ............................................................................................... 14
F. Resume ............................................................................................................ 14
G. Penatalaksanaan............................................................................................... 15
H. Prognosis ......................................................................................................... 16
I. Follow up ......................................................................................................... 16
II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................... 21
A. STEMI (ST Elevated Mycardial Infarction) ................................................... 21
B. Acute Hearth Failure ....................................................................................... 40
C. RBBB .............................................................................................................. 50
III. PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

STEMI merupakan singkatan dari ST Elevated Mycardial Infarction, yaitu


sebuah tipe serangan jantung yang terjadi ketika sebuah arteri koroner terblok
parsial oleh bekuan darah, yang menyebabkan beberapa otot jantung yang
disuplai oleh arteri tersebut mengalami infark/mati (Darmawan, 2010).
Menurut WHO pada tahun 2015, penyakit kardiovaskuler lebih banyak
menyebabkan kematian daripada penyakit lainnya. Sekitaran 865.000 penduduk
Amerika menderita infark miokard akut per tahun dan sepertiganya menderita
STEMI. Kejadian STEMI berkisar antara 25-40% dari infark miokard,
diantaranya yang di rumah sakit sekitar 5-6% dan mortalitas 1 tahunnya sekitar
7-18% (Thygesen, 2012).
Secara garis besar, etiologi STEMI adalah terbentuknya plak aterosklerosis
pada pembuluh darah. Perkembangan plak ini dipengaruhi oleh multifaktorial.
Faktor risiko terjadinya SKA sendiri dapat dibagi dua. Pertama adalah faktor
risiko yang dapat diperbaiki (reversible) atau bisa diubah (modifiable).
Diagnosis bergantung kepada hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik,
pengukuran marker biokimia kerusakan otot jantung (khususnya troponin), dan
hasil pemeriksaan EKG (Hampton, 2003). Dari anamnesis, diagnosis infark
miokard biasanya didasarkan pada riwayat nyeri dada selama 20 menit atau lebih
di daerah substernal, tidak hilang dengan istirahat, dan tidak berespon terhadap
nitrogliserin. Ciri khas lain adalah nyeri yang menjalar ke leher, rahang bawah,
atau tangan kiri. Nyerinya tidak berat. Komplikasi yang memperberat yaitu
Regurgitasi mitral, Ruptur jantung, Ruptur septum ventrikel, Infark ventrikel
kanan, Perikarditis, Aneurisma ventrikel kiri, Trombus ventrikel kanan

4
Tujuan utama penatalaksanaan AMI adalah mendiagnosis secara cepat,
menghilangkan nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi reperfusi
yang mungkin dilakukan, memberi anti-trombotik dan anti-platelet, serta
memberikan obat penunjang (Fauci et al., 2011). Tujuan penatalaksanan dari
STEMI adalah reperfusi untuk memulihkan oksigenasi dan suplai substrat
metabolik akibat oklusi trombotik persisten di arteri coroner. Tatalaksana awal di
ruang emergensi (10 menit pertama setelah pasien datang) (Antman, 2008).

5
I.I STATUS PASIEN

A. Identitas Pasien
Nama : Ny. TM
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 61 Tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Pensiunan
Alamat : Kebumen, Jawa Tengah.
No. CM : 02112890

B. Anamnesis
Anamnesis dilakukan pada tanggal 26 September 2019 di Ruang ICCU
RSUD Margono Soekarjo pada pukul 14.00 WIB.
1. Keluhan utama:
Nyeri dada
2. Keluhan tambahan:
Sesak napas, demam, nyeri punggung, lemas
3. Riwayat penyakit sekarang:
Pasien rujukan RS Soedirman Kebumen, datang ke IGD RSMS Margono
Soekarjo pada (20/09/2019) dengan keluhan utama nyeri dada sejak 2 hari
SMRS. Jika nyeri dada, pasien susah untuk berbicara. Pasien hanya dapat
berbicara beberapa kalimat. Nyeri dada memberat setelah aktivitas dan
membaik ketika pasien istirahat. Nyeri dirasakan menjalar hingga ke punggung
namun tidak spesifik.
1 minggu SMRS pasien mengaku terkadang demam, disertai keringat
dingin. Saat demam, pasien mengeluh pusing 2 hari kemudian, pasien
mengeluhkan sesak napas hilang timbul. Dada dirasa tidak nyaman dan sering
berdebar-debar dan telapak tangan terasa dingin. Pasien juga mengaku lebih
mudah lelah. Keluhan mudah lelah dirasa saat membereskan rumah. Pasien

6
mengatakan nyeri pada tulang belakang bekas operasi masih terasa. Selama di
ICCU pasien masih komunikasi dengan baik. Keluhan nyeri ulu hati (+), mual
(+), muntah, BAK jarang, kaki bengkak, dan tengkuk kaku disangkal.
4. Riwayat penyakit dahulu:
 Riwayat penyakit serupa : Ada
 Riwayat alergi : disangkal
 Riwayat asma : disangkal
 Riwayat penyakit DM : disangkal
 Riwayat pernyakit hipertensi : disangkal
 Riwayat pengobatan OAT : disangkal
 Riwayat penyakit batuk : disangkal
 Riwayat pembesaran thyroid : disangkal
 Riwayat operasi : pada tahun 2018 pasien operasi tulang
belakang di RS. Ortopedi.
5. Riwayat penyakit keluarga:
 Riwayat penyakit serupa : disangkal
 Riwayat asma : disangkal
 Riwayat alergi : disangkal
 Riwayat penyakit DM : disangkal
 Riwayat pernyakit hipertensi : Ayah kandung
 Riwayat penyakit jantung : disangkal
 Riwayat operasi : disangkal
6. Riwayat sosial dan ekonomi
Pasien tinggal bersama suami dan anaknya. Pasien bekerja sebagai
pensuinan PNS. Lingkungan samping rumah pasien adalah perkebunan.
Sumber MCK pasien berasal dari air PDAM. sedangkan sumber air minum
membeli dari air isi ulang. Pasien mempunyai kebiasaan mengosumsi makanan
asin serta berminyak.

7
C. Status Generalis
Keadaaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Vital Sign : Tekanan Darah : 102/70 mmHg
Nadi : 100x/menit
Pernafasan : 20x/menit
Suhu : 36° C
BB/TB : 57 kg/155 cm
Mata : Conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Telinga : Ottorhea (-)
Hidung : Napas cuping hidung (-) secret (-)
Mulut : Sianosis (-)
Leher : Teraba pembesaran thyroid, nyeri tekan (-)
Thorax : Simetris, retraksi (+)
Jantung :Kardiomegali, BJ I – II Reguler, Murmur (-),
Gallop (-)
Paru : SD vesikuler, ronki (-/-), wheezing (-)
Abdomen : Inspeksi : Datar
Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), massa (-), hepatomegali
(-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas : Edema (-/-/-/-), akral hangat (+/+/+/+), CRT < 2 dtk (+/+/+/+)

8
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Hasil RS
Pemeriksaa SOEDIRMAN Nilai Rujukan
18/09/2019
Darah lengkap
Hemoglobin 12.6 11,2 - 17,3 g/dL
Leukosit 10.700 3600 - 10600 U/L
Hematokrit 39 40- 52 %
Eritrosit 5.0 4.4 -5.9
Trombosit 236.000 150.000 – 440.000 /uL
MCV 79 80-100
MCH 25 26-34
MCHC 32 32-36
Limfosit 11.70 25 – 40 %
Granulosit - 50 – 80 %
RDW - 7.0 - 11
Ureum Darah 32 14,98 – 38,52 mg/Dl
Kreatinin Darah 0.60 0,55 1,02 mg/Dl
Glukosa sewaktu 101 80 - 110
Natrium 143 135-147 mmol/L
Kalium 2,7 3.5 – 5.3 mmol/L
Klorida 110 98-107 mg/dL
HbsAg Rapid Non Reaktif

9
Hasil RSMS
Pemeriksaa Nilai Rujukan
25/09/2019
Darah lengkap
Hemoglobin 11,9 11,7 – 15,5 g/dL
Leukosit 7800 3600 - 11000 U/L
Hematokrit 36 35- 47 %
Eritrosit 4,7 3,8 -5.2
Trombosit 350.000 150.000 – 440.000 /uL
MCV 70,7 80-100
MCH 25,2 26-34
MCHC 32,9 32-36
Basofil 0,3 0 -1
Eosinofil 1,9 2–4
Batang 0,9 3–5
Limfosit 14,1 25 – 40 %
Segmen 73, 7 50 -70
Monosit 9,1 2-8
MPV 9,5 9,4 – 12,5 Fl
RDW 15,9 7.0 – 11
Ureum Darah 18,81 14,98 – 38,52 mg/Dl
Kreatinin Darah 0,76 0,55 1,02 mg/Dl
Glukosa sewaktu - < 200 mmol/L
Natrium 133 135-147 mmol/L
Kalium 3,5 3.5 – 5.3 mmol/L
Klorida 94 98 - 107 mg/dL
HbsAg Rapid Non Reaktif

10
2. Pemeriksaan Ro Thorax RS Soedirman 19/09/2019

Gambar 1. Ro Thorax RS. Soedirman

3. Echocardiography

11
Gambar 2. Echocardiography
Temuan lain:
Dimensi ruang jantung: normal
LVH (-). Trombus (-). Perikad efusi (-)
RMWA : Hipokinetik berat di anterior
Katup-katup : MV: MR (-), MS (-) AoV: AR (-), AS (-) TV: TR (-)
Kesimpulan : LV Hipokinetik berat di anterior dengan penurunan fungsi
LV Berat

4. Hasil EKG RSMS


a. Tanggal 20/9/2019

12
b. Tanggal 22/9/19

c. Tanggal 24/9/19

13
d. Tanggal 29/9/19

Gambar 4. EKG RS. Margono Soekarjo

E. Diagnosis Kerja
- Stemi Anterior dengan RBBB
- AHF dengan Syok Kardiogenik
- Hipokalemia

F. Resume
Pasien rujukan RS Soedirman Kebumen, datang ke IGD RSMS
Margono Soekarjo pada (20/09/2019) dengan keluhan utama nyeri dada sejak
2 hari SMRS. Jika nyeri dada, pasien susah untuk berbicara. Pasien hanya
dapat berbicara beberapa kalimat. Nyeri dada memberat setelah aktivitas dan
membaik ketika pasien istirahat. Nyeri dirasakan menjalar hingga ke
punggung namun tidak spesifik. 1 minggu SMRS pasien mengaku terkadang
demam, disertai keringat dingin. Saat demam, pasien mengeluh pusing 2 hari
kemudian, pasien mengeluhkan sesak napas hilang timbul. Dada dirasa tidak
nyaman dan sering berdebar-debar dan telapak tangan terasa dingin. Pasien

14
juga mengaku lebih mudah lelah. Keluhan mudah lelah dirasa saat
membereskan rumah. Pasien mengatakan nyeri pada tulang belakang bekas
operasi masih terasa. Selama di ICCU pasien masih komunikasi dengan baik.
Keluhan nyeri ulu hati (+), mual (+), muntah, BAK jarang, kaki bengkak, dan
tengkuk kaku disangkal.
Pasien tinggal bersama suami dan anaknya. Pasien bekerja sebagai
pensuinan PNS. Lingkungan samping rumah pasien adalah perkebunan.
Sumber MCK pasien berasal dari air PDAM. sedangkan sumber air minum
membeli dari air isi ulang. Pasien mempunyai kebiasaan mengosumsi
makanan asin serta berminyak.

G. Penatalaksanaan
 Medikamentosa
1. O2 4 LPM NK
2. D5% : Tutofusin/24jam
3. Inj. Furosemid 2x1 (Jika TD > 90)  1-1-0
4. Inj. Mecobalamin 1x1
5. Inj. Ondansentron 2x1
6. PO Miniaspi 1x80 mg
7. PO Atorvastatin 1x20 mg
8. PO Brilinta 2x1 tab
9. PO ISDN 3x5 mg (jika TD > 100)
10. PO Alprazolam 1x0,5 mg
11. PO Spironolacton 2x25mg
12. Laxadyn syr 1x2 cth
13. PO KSR 1x1
14. PO Nitrokaf 2x1
15. PO Ramipril 1x1,25
16. PO Digoxin 1x1
17. PO Calos 2x1
18. Diet Personde TKTP 5x200cc
19. Desoksimetason cream 2 tube
20. Miconazole cream 2 tube
21. As. Salisilat 2% Vaselin Alb AD 80gr sue 2x1

15
 Edukasi kepada pasien:
1. Menjelaskan tentang penyakit Stemi Anterior dengan RBBB, AHF dengan
Syok Kardiogenik, Hipokalemia kepada pasien (penyebab, tanda dan gejala,
komplikasi, pengobatan, serta prognosis)
2. Istirahat, dianjurkan tirah baring.
3. Diet protein.
4. Aktivitas fisik : olahraga yang teratur seperti berjalan atau bersepeda dengan
intensitas yang nyaman bagi pasien. Aktivitas fisik berpengaruh pada
peningkatan bebas jantung dan meningkatkan kebutuhan jaringan terhadap
oksigen.
5. Edukasi penyakit kepada pasien meliputi terapi, komplikasi penyakit,
prognosis penyakit dan cara pencegahan perburukan penyakit.

H. Prognosis
Quo ad vitam : ad malam
Quo ad functionam : Dubia
Quo ad sanationam : Dubia

I. Follow up
Tanggal S O A P
21-09-19  Nyeri dada kiri KU/Kes:Sedang/E4M5V6  STEMI  O2 3 LPM NK
HP 1 berkurang TD : 90/56 mmHg Anterior  IVFD RL 10 TPM
 Nyeri saat RR: 22 x/menit dengan RBBB  Dobutamin 5 mcg/
istirahat N : 104 x/menit  AHF dengan KgBB/menit
 Sesak (-) T :36,5°C Syok  PO Miniaspi 1x80 mg
 BAK (+) Mata : CA -/- Kardiogenik  PO Atorvastatin 1x20
 BAB (-) sejak 5 Leher : Teraba pembesaran  Hipokalemia mg
hari yll Cor : BJ I,II reg M(-)G(-)  PO Brilinta 2x1 tab
Pulmo :SD vesikuler +/+,
 PO ISDN 3x5 mg
Rh -/- Wh -/-,
 PO Alprazolam 1x0,5
retraksi dinding
mg
dada (+)
 PO spironolacton
Abd : datar, BU (+), nyeri
1x25mg
tekan (-)
Ext : akral hangat, edema -  PO Arixtra H.1 1x2,5
/-/+/+, sianosis -/-/-/-, mg
 Laxadyn syr 1x2C

16
22-09-19  Nyeri dada KU/Kes:Sedang/E4M5V6  STEMI  O2 3 LPM NK
HP 2 berkurang TD : 100/75 mmHg Anterior  IVFD RL 10 TPM
 Sesak napas RR: 25 x/menit dengan RBBB  NaCl + KCl 1 fls 500
hilang timbul N : 110 x/menit  AHF dengan  Dobutamin 5 mcg/
 Lemas T :36,1°C Syok KgBB/menit
 BAK (+) Mata : CA -/- Kardiogenik  PO Miniaspi 1x80 mg
 BAB (-) sejak 5 Leher : Teraba pembesaran  Hipokalemia  PO Atorvastatin 1x20
hari yll Cor : BJ I,II reg M(-)G(-) mg
Pulmo :SD vesikuler +/+,  PO Brilinta 2x1 tab
Rh -/- Wh -/-,
 PO ISDN 3x5 mg (jika
retraksi dinding
TD > 100)
dada (+)
 PO Alprazolam 1x0,5
Abd : datar, BU (+), nyeri
mg
tekan (-)
Ext : akral hangat, edema -  PO spironolacton
/-/+/+, sianosis -/-/-/-, 1x25mg
 Laxadyn syr 1x2 cth
 KSR 2-2-2
 PO Arixtra H.2 1x2,5
mg
 PO Furosemid 2x1
 MA ½ prn
 MI 100

23-09-19  Nyeri dada KU/Kes:Sedang/E4M5V6  STEMI  O2 4 LPM NK


HP 3 membaik TD : 104/68 mmHg Anterior  IVFD RL 10 TPM
 Sesak membaik RR: 33x/menit dengan RBBB  NaCl + KCl 1 fls 500
 Lemas N : 127 x/menit  AHF dengan  Dobutamin 8 mcg/
 BAK (+) T :36,3°C Syok KgBB/menit
 BAB (-) sejak 5 Mata : CA -/- Kardiogenik  PO Miniaspi 1x80 mg
hari yll Leher : Teraba pembesaran  Hipokalemia  PO Atorvastatin 1x20
Cor : BJ I,II reg M(-)G(-) mg
Pulmo :SD vesikuler +/+,
 PO Brilinta 2x1 tab
Rh -/- Wh -/-,
 PO ISDN 3x5 mg (jika
retraksi dinding
TD > 100)
dada (+)
 PO Alprazolam 1x0,5
Abd : datar, BU (+), nyeri
mg
tekan (-)
Ext : akral hangat, edema -  PO spironolacton
/-/+/+, sianosis -/-/-/-, 1x25mg
 Laxadyn syr 1x2 cth
 KSR 2-2-2
 PO Arixtra H.3 1x2,5
mg
 PO Furosemid 2x1
 MA agar 1 sendok
 MI 100
24-09-19  Nyeri dada KU/Kes:Sedang/E4M5V6  STEMI  O2 4 LPM NK
HP 4 membaik TD : 105/71 mmHg Anterior  IVFD RL 10 TPM
 Sesak membaik RR: 29 x/menit dengan RBBB  Inj. Arixtra H.4 1x2,5
 Lemas (+) N : 118x/menit  AHF dengan mg
 BAK (+) T :36,5°C Syok  Inj. Furosemid 2x1
 BAB (+) Mata : CA -/- Kardiogenik  Inj. Mecobalamin 1x1

17
Leher : Teraba pembesaran  Hipokalemia  PO Miniaspi 1x80 mg
Cor : BJ I,II reg M(-)G(-)  PO Atorvastatin 1x20
Pulmo :SD vesikuler +/+, mg
Rh -/- Wh -/-,  PO Brilinta 2x1 tab
retraksi dinding  PO ISDN 3x5 mg (jika
dada (+) TD > 100)
Abd : datar, BU (+), nyeri  PO Alprazolam 1x0,5
tekan (-) mg
Ext : akral hangat, edema -  PO spironolacton
/-/+/+, sianosis -/-/-/-, 1x25mg
 Laxadyn syr 1x2 cth
 KSR 2x1
 Nitrokaf 2x1
 MA agar ¾ 2 sendok
 MI 100
25-09-19  Nyeri dada KU/Kes:Sedang/E4M5V6  STEMI  O2 4 LPM NK
HP 5 membaik TD : 94/50 mmHg Anterior  D5% 12 TPM
 Sesak membaik RR: 24 x/menit dengan RBBB  Inj. Arixtra H.5 1x2,5
 Lemas (+) N : 111 x/menit  AHF dengan mg
 BAK (+) T :37,4°C Syok  Inj. Furosemid 1x1
BAB (+) Mata : CA -/- Kardiogenik  Inj. Mecobalamin 1x1
Leher : Teraba pembesaran  Hipokalemia  PO Miniaspi 1x80 mg
Cor : BJ I,II reg M(-)G(-)  PO Atorvastatin 1x20
Pulmo :SD vesikuler +/+, mg
Rh -/- Wh -/-,
 PO Brilinta 2x1 tab
retraksi dinding
 PO ISDN 3x5 mg (jika
dada (-)
TD > 100)
Abd : datar, BU (+), nyeri
tekan (-)  PO Alprazolam 1x0,5
Ext : akral hangat, edema - mg
/-/+/+, sianosis -/-/-/-,  PO spironolacton
1x25mg
 Laxadyn syr 1x2 cth
 PO KSR 2x1
 PO Nitrokaf 2x1
 PO Concor 1x1,25
 MA pisang 1/4
 MI 50 cc
26-09-19  Nyeri dada (+) KU/Kes:Sedang/E4M5V6  STEMI  O2 4 LPM NK
HP 6  Sesak TD : 106/70 mmHg Anterior  D5% 12 TPM
 Dada berdebar RR: 34x/menit dengan RBBB  Inj. Furosemid 3x1
(-) N : 103x/menit  AHF dengan  Inj. Mecobalamin 1x1
 Lemas (+) T :35,7°C Syok  PO Miniaspi 1x80 mg
 BAK (+) Mata : CA -/- Kardiogenik  PO Atorvastatin 1x20
BAB (+) Leher : Teraba pembesaran  Hipokalemia mg
Cor : BJ I,II reg M(-)G(-)
 PO Brilinta 2x1 tab
Pulmo :SD vesikuler +/+,
 PO ISDN 3x5 mg (jika
Rh -/- Wh -/-,
TD > 100)
retraksi dinding
 PO Alprazolam 1x0,5
dada (-)
mg
Abd : datar, BU (+), nyeri
tekan (-)  PO spironolacton
Ext : akral hangat, edema - 2x25mg

18
/-/+/+, sianosis -/-/-/-,  Laxadyn syr 1x2 cth
 PO KSR 2x1
 PO Nitrokaf 2x1
 PO Concor 1x1,25
 PO Digoxin 1x1
 INF Extra PCT
 MA pisang ¼
 MI 100 cc
27-09-19  Nyeri dada KU/Kes:Sedang/E4M5V6  STEMI  O2 4 LPM NK
HP 7 berkurang TD : 107/76mmHg Anterior  D5% : Tutofusin/24jam
 Sesak RR: 30 x/menit dengan RBBB  Inj. Furosemid 3x1
berkurang N : 110 x/menit  AHF dengan  Inj. Mecobalamin 1x1
 Dada berdebar T :35°C Syok  Inj. Ondansentron 2x1
(-) Mata : CA -/- Kardiogenik  PO Miniaspi 1x80 mg
 Demam (-) Leher : Teraba pembesaran  Hipokalemia  PO Atorvastatin 1x20
 Lemas (+) Cor : BJ I,II reg M(-)G(-)
mg
 BAK (+) Pulmo :SD vesikuler +/+,
 PO Brilinta 2x1 tab
Rh -/- Wh -/-,
BAB (+)  PO ISDN 3x5 mg (jika
retraksi dinding
TD > 100)
dada (-)
Abd : datar, BU (+), nyeri  PO Alprazolam 1x0,5
tekan (-) mg
Ext : akral hangat, edema  PO spironolacton
-/-/+/+, sianosis -/-/-/- 2x25mg
,  Laxadyn syr 1x2 cth
 PO KSR 1x1
 PO Nitrokaf 2x1
 PO Concor 1x1,25
 PO Digoxin 1x1
 PO Calos 2x1
 MA 2 sendok
MI 100 cc
28-09-19  Sesak KU/Kes:Sedang/E4M5V6  STEMI  O2 4 LPM NK
HP 8  Nyeri dada TD : 90/60mmHg Anterior  D5% : Tutofusin/24jam
menjalar ke RR: 32 x/menit dengan RBBB  Inj. Furosemid 2x1
punggung dan N : 58 x/menit  AHF dengan  Inj. Mecobalamin 1x1
tangan kiri T :36,5°C Syok  Inj. Ondansentron 2x1
 Nyeri perut atas Mata : CA -/- Kardiogenik  PO Miniaspi 1x80 mg
 Lemas Leher : Teraba pembesaran  Hipokalemia
 PO Atorvastatin 1x20
Cor : BJ I,II reg M(-)G(-) mg
Pulmo :SD vesikuler +/+,
 PO Brilinta 2x1 tab
Rh -/- Wh -/-,
retraksi dinding  PO ISDN 3x5 mg (jika
TD > 100)
dada (-)
Abd : datar, BU (+), nyeri  PO Alprazolam 1x0,5
tekan (-) mg
Ext : akral hangat, edema  PO Spironolacton
-/-/+/+, sianosis -/-/-/- 2x25mg
,  Laxadyn syr 1x2 cth
 PO KSR 1x1
 PO Nitrokaf 2x1
 PO Ramipril 1x1,25
 PO Digoxin 1x1

19
 PO Calos 2x1
 MA 3 sendok
MI 50cc
29-09-19  Nyeri dada KU/Kes:Sedang/E4M5V6  STEMI  O2 4 LPM NK
HP 9 menjalar ke TD : 90/60mmHg Anterior  D5% : Tutofusin/24jam
punggung dan RR: 28 x/menit dengan RBBB  Inj. Furosemid 2x1 (Jika
tangan kiri N : 64 x/menit  AHF dengan TD > 90  1-1-0
 Nyeri perut atas T :37°C Syok  Inj. Mecobalamin 1x1
 Sesak (+) Mata : CA -/- Kardiogenik  Inj. Ondansentron 2x1
 Bercak merah Leher : Teraba pembesaran  Hipokalemia  PO Miniaspi 1x80 mg
kebiruan tangan Cor : BJ I,II reg M(-)G(-)  Purpura senilis  PO Atorvastatin 1x20
dan kaki Pulmo :SD vesikuler +/+,  Dermatitis mg
 BAB (+) Rh -/- Wh -/-, Seboroik  PO Brilinta 2x1 tab
 BAK (+) retraksi dinding  Disfagia,
dada (-)  PO ISDN 3x5 mg (jika
Anoreksia TD > 100)
Abd : datar, BU (+), nyeri
 Pasien PLUS  PO Alprazolam 1x0,5
tekan (-)
pukul 07.15 mg
Ext : akral hangat, edema
WIB
-/-/+/+, sianosis -/-/-/-  PO Spironolacton
2x25mg
 Laxadyn syr 1x2 cth
 PO KSR 1x1
 PO Nitrokaf 2x1
 PO Ramipril 1x1,25
 PO Digoxin 1x1
 PO Calos 2x1
 Pro NGT
 Diet Personde TKTP
5x200cc
 Desoksimetason cream
2 tube
 Miconazole cream 2
tube
 As. Salisilat 2% Vaselin
Alb AD 80gr SUE 2x1
 CO Gizi: Target E 1700
Kkal/hr, Protein 70gr/hr,
DIIT cair mulai
1000Kkal/hr.
 Sonde NS 4x150cc,
peptisol 2 kali
(@30gr+125cc air)
evaluasi 2 hari lagi
 CO Sp.KFR: Prog rehab
aktif alih baring
(Positioning), Mobilisasi

20
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 STEMI
2.1.1 Definisi
STEMI merupakan singkatan dari ST Elevated Mycardial Infarction,
yaitu sebuah tipe serangan jantung yang terjadi ketika sebuah arteri koroner
terblok parsial oleh bekuan darah, yang menyebabkan beberapa otot jantung
yang disuplai oleh arteri tersebut mengalami infark/mati (Darmawan, 2010).

2.1.2 Epidemiologi
Menurut WHO pada tahun 2015, penyakit kardiovaskuler lebih banyak
menyebabkan kematian daripada penyakit lainnya. Infark miokard akut
(IMA) adalah salah satu penyakit kardiovaskular terbanyak pada pasien
rawat inap di rumah sakit negara-negara industri. Sekitara 865.000 penduduk
Amerika menderita infark miokard akut per tahun dan sepertiganya
menderita STEMI. Kejadian STEMI berkisar antara 25-40% dari infark
miokard, diantaranya yang di rumah sakit sekitar 5-6% dan mortalitas 1
tahunnya sekitar 7-18% (Thygesen, 2012).

2.1.3 Etiologi
Secara garis besar, etiologi STEMI adalah terbentuknya plak
aterosklerosis pada pembuluh darah. Perkembangan plak ini dipengaruhi
oleh multifaktorial. Faktor risiko terjadinya SKA sendiri dapat dibagi dua.
Pertama adalah faktor risiko yang dapat diperbaiki (reversible) atau bisa
diubah (modifiable), yaitu: hipertensi, kolesterol, merokok, obesitas, diabetes
mellitus, hiperurisemia, aktivitas fisik kurang, stress, dan gaya hidup (life
style). Faktor risiko seperti usia, jenis kelamin, dan riwayat penyakit
keluarga adalah faktor-faktor yang tidak dapat diperbaiki (Pambudi et al.,
2010 ; Burazerl et al., 2007).

21
- Efek rokok adalah menambah beban miokard karena rangsangan oleh
katekolamin dan menurunnya konsumsi oksigen akibat inhalasi
karbonmonoksida atau dengan kata lain dapat menyebabkan takikardi,
vasokonstriksi pembuluh darah, merubah permeabilitas dinding pembuluh
darah, dan merubah 5-10% Hb menjadi karboksi-Hb sehingga
meningkatkan risiko terkena sindrom koroner akut (Pambudi et al., 2010).
- Hipertensi dapat berpengaruh terhadap jantung melalui meningkatkan
beban jantung sehingga menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri dan
mempercepat timbulnya aterosklerosis karena tekanan darah yang tinggi
dan menetap akan menimbulkan trauma langsung terhadap dinding
pembuluh darah arteri koronaria sehingga memudahkan terjadinya
aterosklerosis koroner. Kolesterol, lemak, dan substansi lainnya dapat
menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah arteri, sehingga lumen
dari pembuluh darah tersebut menyempit dan proses ini disebut
aterosklerosis (Pambudi et al., 2010 ; Burazerl et al., 2007).
- Penyempitan pembuluh darah ini akan menyebabkan aliran darah menjadi
lambat bahkan dapat tersumbat sehingga aliran darah pada pembuluh
darah koroner yang fungsinya memberi oksigen ke jantung menjadi
berkurang. Kurangnya oksigen akan menyebabkan otot jantung menjadi
lemah, nyeri dada, serangan jantung bahkan kematian mendadak (Burazerl
et al., 2007).

2.1.4 Patofisologi
Kejadian infark miokard diawali dengan terbentuknya aterosklerosis yang
kemudian ruptur dan menyumbat pembuluh darah. Penyakit aterosklerosis
ditandai dengan pembentukan bertahap fatty plaque di dalam dinding arteri.
Lama-kelamaan plak ini terus tumbuh ke dalam lumen, sehingga diameter
lumen menyempit. Penyempitan lumen mengganggu aliran darah ke distal
dari tempat penyumbatan terjadi (Ramrakha, 2006). Salah satu hipotesis yang
menerangkan tentang proses terbentuknya aterosklerosis adalah

22
mengenai response to injure hypothesis yaitu sebagai berikut (Darmawan,
2010):

1. Endothelial injure
Endotelial yang intak dan licin berfungsi sebagai barrier yang menjamin
aliran darah koroner lancar. Faktor risiko yang dimiliki pasien akan
memudahkan masuknya lipoprotein densitas rendah (Low Density
Lipoprotein/LDL) yang teroksidasi maupun makrofag ke dalam dinding arteri.
Interaksi antara endotelial injure dengan platelet, monosit dan jaringan ikat
(collagen), menyebabkan terjadinya penempelan platelet (platelet adherence)
dan agregasi trombosit (trombosit agregation).
2. Fatty Streak Formation
Pembentukan fatty streak merupakan pengendapan kolesterol-kolesterol
yang telah dioksidasi dan makrofag di bawah endothelium arteri. LDL dalam
darah akan menyerang endotel dan dioksidasi oleh radikal-radikal bebas pada
permukaan endotel. Lesi ini secara makroskopik berbentuk bercak berwarna
kekuningan, terdiri dari sel-sel otot polos dan makrofag yang mengandung lipid
terutama dalam bentuk ester cholesterol yang disebut foam cells.
3. Fibrosis Plaque Formation
Pembentukan plak fibrosis terdiri atas inti kolesterol dan tutup jaringan
ikat (cap fibrous). Formasi ini memberikan dua gambaran tipe yaitu Stable
fibrous plaque dan Unstable fibrous plaque.

23
Gambar 5. Patofisiologi aterosklerosis

Dalam memahami patofisiologi penyakit jantung koroner maka perlu


diketahui terlebih dahulu faktor yang mempengaruhi supply dan demand dari
konsumsi oksigen miokardium. Aliran darah ke otot jantung (supply) bergantung
pada kandungan oksigen dalam darah dan aliran darah koroner. Kandungan
oksigen dalam darah ini ditentukan oleh kadar Hb dan tingkatan oksigenasi
sistemik. Sedangkan aliran darah koroner ditentukan secara berbanding lurus
dengan tekanan perfusi, dan berbanding terbalik dengan resistensi vaskular.
Koroner, tidak seperti pembuluh darah lain, mendapat aliran darah saat fase
diastolik. Hal ini disebabkan aliran koroner terhambat akibat kompreksi eksternal
ventrikel saat fase sistolik, jadi tekanan perfusi koroner ditentukan oleh tekanan
diastolik aorta. Sedangkan resistensi vaskular di koroner tergantung: (1) Faktor
kompresi eksternal (kontraksi ventrikel/sistol) dan (2) Faktor intrinsik (Naik,
2007).

24
Faktor intrinsik akan mempengaruhi tonus koroner, dimana komponennya
terdiri dari metabolit lokal, derivat endotel, dan innervasi autonom. Metabolit lokal
memengaruhi tonus koroner secara lokal untuk meningkatkan supply oksigen
miokardium untuk memenuhi kebutuhan metabolisme seluler, jadi ketika terjadi
hipoksemia (akan terjadi pergeseran dari metabolisme aerob ke anaerob), ATP
tidak cukup dihasilkan dan akibatnya terjadi akumulasi adenosin (hasil degradasi
AMP dan ADP yang tidak dimodifikasi menjadi ATP), yang merupakan
vasodilator poten, sehingga suplai oksigen ke jaringan masih dapat dipertahankan.
Selain itu ada pula faktor-faktor yang diproduksi endotel yaitu NO, prostasiklin,
dan endothelium-derived hyperpolarizing factor (EDHF), yang ketiganya
merupakan vasodilator dan Entothelin 1 yang merupakan vasokontriktor. Dalam
keadaan normal koroner akan cenderung menjadi vasodilatasi (NO dan
prostasiklin akan mendominasi endothelin 1), hal ini tidak akan terjadi apabila
terjadi disfungsi endotel akibat berbagai faktor. Dan yang terakhir adalah adanya
persarafan dari simpatis dan parasimpatis, yang dalam keadaan normal simpatis
mendominasi. Arteri koroner mempunyai reseptor alpha (vasokonstriksi) dan beta-
2 (vasodilatasi). Jadi ketiga faktor tersebut menghasilkan suatu keseimbangan
tonus vaskular, misalnya ketika terjadi respon stres (katekolamin) akan terjadi
perangsangan reseptor alpha (vasokonstriksi), kemudian beta-1 (inotropik positif)
yang keduanya akan meningkatkan demand yang nantinya akan merangsang
pembentukan metabolit lokal berupa vasodilator sehingga akan tetap dalam
keadaan vasodilatasi untuk menjamin aliran darah koroner/supply (Naik et al,
2007).
Kebutuhan oksigen miokardium (demand) dipengaruhi oleh 3 komponen,
yaitu: (1) stress dinding ventrikel, (2) Heart Rate/kronotropik, dan (3)
kontraktilitas/inotropik, dimana ketiga faktor ini akan meningkatkan kebutuhan
terhadap oksigen, serta dalam jumlah kecil oksigen dibutuhkan untuk
pembentukan energi metabolisme basal dan aktivitas listrik jantung. Stress dinding
ventrikel dipengaruhi secara lurus oleh tekanan intraventrikel dan radius ventrikel,
serta berbanding terbalik dengan ketebalan dinding ventrikel. Dalam keadaan

25
normal ketiga kebutuhan ini difasilitasi oleh faktor penentu tonus koroner,
sehingga akan tercapai keseimbangan agar miokardium mendapat cukup nutrisi
dan oksigen. Tetapi ketika ada penyumbatan akibat plak aterosklerosis/stenosis,
akan terjadi imbalans antara supply dan demand oksigen terhadap miokardium,
ditambah lagi dengan kondisi disfungsi endotel yang akan memperparah
mekanisme kompensasi supply oksigen ke miokardium. Jadi patofisiologi iskemia
pada penyakit jantung koroner tidak hanya akibat penurunan aliran darah koroner
akibat penyempitan (mekanikal) tetapi juga akibat gangguan keseimbangan tonus
koroner (kimiawi) yang keduanya akibat proses aterosklerosis (Naik et al, 2007).

Tabel 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi supply dan demand


Supply Demand
Konten oksigen darah Stress dinding ventrikel
Tekanan Perfusi Koroner Heart Rate/kronotropik
Resistensi vaskular koroner Kontraktilitas/inotropik
Kompresi Eksternal
Regulasi intrinsik (metabolit
lokal, derivat endotel, dan
innervasi autonom)

Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh
darah koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan
komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak tersebut. Kejadian
ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi.
Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white thrombus). Trombus ini akan
menyumbat pembuluh darah koroner, baik secara total maupun parsial; atau
menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner yang lebih distal. Selain
itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga
memperberat gangguan aliran darah koroner. Berkurangnya aliran darah koroner
menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti selama
kurang-lebih 20 menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark

26
miokard). Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah
koroner (PERKI, 2015).
Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat
menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard).
Akibat dari iskemia, selain nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas miokardium
karena proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang), distritmia dan
remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). Sebagian
pasien SKA tidak mengalami koyak plak seperti diterangkan di atas. Mereka
mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri
koronaria epikardial (Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa
spasme maupun trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis
setelah Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti
demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus
terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis (PERKI,
2015).
Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan
indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini
memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan
reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa menggunakan agen
fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi koroner perkutan primer. Diagnosis
STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi
segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Inisiasi tatalaksana
revaskularisasi tidak memerlukan menunggu hasil peningkatan marka jantung
(PERKI, 2015).
Pada saat ini, proses terjadinya plak aterosklerotik dipahami bukan proses
sederhana karena penumpukan kolesterol, tetapi telah diketahui bahwa disfungsi
endotel dan proses inflamasi juga berperan penting. Proses pembentukan plak
dimulai dengan adanya disfungsi endotel karena faktor-faktor tertentu. Pada
tingkat seluler, plak terbentuk karena adanya sinyal-sinyal yang menyebabkan sel

27
darah, seperti monosit, melekat ke lumen pembuluh darah (Kleinschmidt et al.,
2006)

Gambar 6. Fase Awal Disfungsi Endotel (Kleinschmidt et al., 2006)

Aterosklerosis merupakan proses pembentukan plak di tunika intima arteri


besar dan arteri sedang. Proses ini berlangsung terus selama hidup sampai
akhirnya bermanifestasi sebagai SKA. Proses aterosklerosis ini terjadi melalui 4
tahap, yaitu kerusakan endotel, migrasi kolesterol LDL (low-density lipoprotein)
ke dalam tunika intima, respons inflamatorik, dan pembentukan kapsul fibrosis.
Jejas endotel mengaktifkan proses inflamasi, migrasi dan proliferasi sel, kerusakan
jaringan lalu terjadi perbaikan, dan akhirnya menyebabkan pertumbuhan plak
(Kumar et al., 2006 ; Rosen et al., 2009).
Jika endotel rusak, sel-sel inflamatorik, terutama monosit, bermigrasi
menuju ke lapisan subendotel dengan cara berikatan dengan molekul adhesif
endotel. Jika sudah berada pada lapisan subendotel, sel-sel ini mengalami
differensiasi menjadi makrofag. Makrofag akan mencerna LDL teroksidasi yang
juga berpenetrasi ke dinding arteri, berubah menjadi sel foam dan selanjutnya
membentuk fatty streaks. Makrofag yang teraktivasi ini melepaskan zat-zat
kemoatraktan dan sitokin yang makin mengaktifkan proses ini dengan merekrut
lebih banyak makrofag, sel T, dan sel otot polos pembuluh darah (yang

28
mensintesis komponen matriks ekstraseluler) pada tempat terjadinya plak (Kumar
et al., 2006).
Sel otot polos pembuluh darah bermigrasi dari tunika media menuju tunika
intima, lalu mensintesis kolagen, membentuk kapsul fibrosis yang menstabilisasi
plak dengan cara membungkus inti lipid dari aliran pembuluh darah. Makrofag
juga menghasilkan matriks metaloproteinase (MMPs), enzim yang mencerna
matriks ekstraseluler dan menyebabkan terjadinya disrupsi plak (Kumar et al.,
2006 ; Rosen et al., 2009).
Kebanyakan plak aterosklerotik akan berkembang perlahan-lahan seiring
berjalannya waktu. Kebanyakan akan tetap stabil. Gejala muncul bila stenosis
lumen mencapai 70-80%. Mayoritas kasus SKA terjadi karena ruptur plak
aterosklerotik. Plak yang ruptur ini kebanyakan hanya menyumbat kurang dari
50% diameter lumen. Mengapa ada plak yang ruptur dan ada plak yang tetap stabil
belum diketahui secara pasti. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa inti lipid
yang besar, kapsul fibrosa yang tipis, dan inflamasi dalam plak merupakan
predisposisi untuk terjadinya ruptur (Kumar et al., 2006 ; Rosen et al., 2009).
Setelah terjadi ruptur plak maupun erosi endotel, matriks subendotelial akan
terpapar darah yang ada di sirkulasi. Hal ini menyebabkan adhesi trombosit yang
diikuti aktivasi dan agregasi trombosit, selanjutnya terbentuk trombus. Trombosit
berperan dalam proses hemostasis primer. Selain trombosit, pembentukan trombus
juga melibatkan sistem koagulasi plasma. Sistem koagulasi plasma merupakan
jalur hemostasis sekunder. Kaskade koagulasi ini diaktifkan bersamaan dengan
sistem hemostasis primer yang dimediasi trombosit (Kumar et al., 2006 ; Rosen et
al., 2009).
Ada 2 macam trombus yang dapat terbentuk yaitu trombus putih dan
trombus merah. Trombus putih merupakan bekuan yang kaya trombosit. Hanya
menyebabkan oklusi sebagian. Trombus merah merupakan bekuan yang kaya
fibrin. Terbentuk karena aktivasi kaskade koagulasi dan penurunan perfusi pada
arteri. Bekuan ini bersuperimposisi dengan trombus putih, menyebabkan
terjadinya oklusi total. Pada angina tidak stabil dan NSTEMI, hanya didapatkan

29
trombus putih. Sedangkan pada STEMI, selain trombus putih, juga didapatkan
trombus merah (Kumar et al., 2006).
Arteri koroner terdiri dari dua cabang utama, yaitu right coronary artery
(RCA) dan left coronary artery (LCA). LCA akan bercabang menjadi left anterior
descending (LAD) dan left circumflex (LCX). Pada populasi umum,
atrioventricular (AV) node dan SA node sebagian besar mendapat vaskularisasi
dari RCA. Penyumbatan RCA umumnya menimbulkan manifestasi kliis berupa
sinus bradikardi, AV block, infark ventrikel kanan, serta infark posteroinferior
ventrikel kiri. Complete heart block, atau AV block derajat III, merupakan
gangguan konduksi jantung yang aktivitas konduksinya tidak melalui AV node,
sehingga aktivitas konduksi di atrium dan aktivitas konduksi di ventrikel tidak
berhubungan (Budzikowski, 2015).

2.1.5 Diagnosis
- Diagnosis infark miokard bergantung kepada hasil anamnesis dan
pemeriksaan fisik, pengukuran marker biokimia kerusakan otot jantung
(khususnya troponin), dan hasil pemeriksaan EKG (Hampton, 2003). Dari
anamnesis, diagnosis infark miokard biasanya didasarkan pada riwayat
nyeri dada selama 20 menit atau lebih di daerah substernal, tidak hilang
dengan istirahat, dan tidak berespon terhadap nitrogliserin. Ciri khas lain
adalah nyeri yang menjalar ke leher, rahang bawah, atau tangan kiri.
Nyerinya tidak berat. Beberapa pasien datang dengan gejala yang lebih
ringan, seperti mual/muntah, sesak nafas, kelelahan, palpitasi, atau
pingsan (Steg et al., 2012 dan Dharma, 2009). Pasien juga sering
mengalami keringat malam. Pada sebagian kecil pasien (20% sampai
30%) AMI tidak menimbulkan nyeri dada. Silent AMI ini terutama terjadi
pada pasien dengan diabetes mellitus dan hipertensi serta pada pasien
berusia lanjut (Sudoyo, 2010).
- Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus
iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta, dan menyingkirkan

30
diagnosis banding. Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3),
ronkhi basah halus, dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk
mengidentifikasi komplikasi iskemia. Ditemukannya tanda-tanda
regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah halus
atau edema paru meningkatkan kecurigaan terhadap SKA(PERKI, 2015).
- Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam
tatalaksana pasien STEMI tetapi tidak boleh menghambat implementasi
terapi reperfusi. Pemeriksaan penanda kerusakan jantung yang dianjurkan
adalah creatinin kinase (CK) MB dan Troponin T atau Troponin I yang
merupakan biomarker pilihan karena sensitifitas dan spesifitas yang tinggi
untuk nekrosis miokard. Peningkatan kadar Troponin T atau Troponin I
pada pasien dengan riwayat kemungkinan infark miokard berarti bahwa
telah terjadi infark (Steg, 2012; Sudoyo, 2010; Hampton, 2003).
- Lead EKG yang menunjukkan perubahan tipikal dari infark miokard
tergantung dari bagian jantung yang mengalami gangguan (Hampton,
2003). Infark miokard anterior jarang memiliki aliran darah kolateral yang
adekuat dan sering mengalami iskemik yang besar serta stress dinding
miokard yang tinggi. ST elevasi persisten pada infark miokard fase akut
dianggap sebagai penanda iskemik yang masih terus berlangsung. ST
elevasi persisten juga sering diikuti oleh gelombang T inverted persisten
(Pierard, 2007).

31
Tabel 2. Penentuan Lokasi Infark Miokard (Davey, 2005)

Lokasi Arteri yang Lead EKG yang mengalami


AMI tersumbat perubahan
Anterior Arteri koroner desendens V2-V5: „lead dada
anterior sinistra anterospetal‟ biasanya juga
pada lead I dan aVL
Inferior Kanan (biasanya) II, III, aVF „lead inferior‟
Posterior Kanan/sirkumfleksa Sulit dilihat: infark dinding
posterior menyebabkan
timbulnya gelombang R
(bukan gelombang q) pada
V1 disertai depresi ST. Sering
bersama-sama dengan MI
inferior
Lateral Arteri koroner desendens I, aVL, V5, V6 „lead lateral‟
anterior sinistra cabang
sirkumfleksa atau diagonal

2.1.6 Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan AMI adalah mendiagnosis secara cepat,
menghilangkan nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi reperfusi
yang mungkin dilakukan, memberi anti-trombotik dan anti-platelet, serta
memberikan obat penunjang (Fauci et al., 2011). Tujuan penatalaksanan dari
STEMI adalah reperfusi untuk memulihkan oksigenasi dan suplai substrat
metabolik akibat oklusi trombotik persisten di arteri koroner (Antman, 2008).
Tatalaksana awal di ruang emergensi (10 menit pertama setelah pasien
datang) adalah sebagai berikut (PERKI, 2015; Dharma, 2009):

1. Tirah baring (bed rest total)


2. Oksigen 4 L/menit (saturasi O2 dipertahankan > 90%)
3. Aspirin 150-300 mg (dikunyah) dilanjutkan dengan 75-100 mg per hari
4. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)
a. Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan dengan
dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari, atau

32
b. Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk terapi
reperfusi menggunakan agen fibrinolitik)
5. Nitrat 5 mg sublingual (dapat diulang 3 kali) lalu drips bila masih nyeri
6. Morfin sulfat 1-5 mg IV, dapat diulang setiap 10-30 menit, bila nyeri tidak
teratasi dengan nitrat
7. Tentukan pilihan revaskularisasi (memperbaiki aliran darah koroner) dan
reperfusi miokard harus dilakukan pada pasien STEMI akut dengan presentasi
≤ 12 jam.
Reperfusi koroner dapat digunakan secara farmakologik (dengan obat-obatan
fibrinolitik) atau dengan Percutaneous Coronary Intervention/PCI (angioplasti
atau stenting). Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner,
meminimalisir derajat disfungsi dan dilatasi vetrikel, serta mengurangi
kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia
ventrikular yang maligna. Pemilihan terapi reperfusi dapat melibatkan risiko
perdarahan pada pasien. Semakin tinggi risiko perdarahan dengan terapi
fibrinolitik, maka semakin kuat keputusan untuk memilih PCI (Steg, 2012).

PCI tanpa didahului fibrinolitik selama 12 jam disebut PCI primer. PCI
primer lebih efektif dari fibrinolitik dalam membuka arteri koroner yang tersumbat
dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan jangka panjang yang lebih
baik. PCI primer lebih dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutama pada pasien
< 75 tahun), resiko perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada sekurang-
kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan darah lebih matur dan kurang mudah hancur
dengan obat fibrinolitik (Steg, 2012 dan Libby, 2008).

Terdapat beberapa macam obat fibrinolitik antara lain streptokinase (SK),


tissue plasminogen activator (tPA), reteplase (rPA), dan tenekteplase (TNK) yang
bekerja dengan memicu konversi plasminogen menjadi plasmin yang akan
melisiskan trombus fibrin. Fibrinolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi

33
nyeri dada dan penurunan elevasi segmen ST > 50% dalam 90 menit pemberian
fibrinolitik (Libby, 2008).

Tabel 3. Regimen fibrinolitik untuk infark miokard akut (PERKI, 2015)

American College of Cardiology/American Heart Association dan


European Society of Cardiology merekomendasikan dalam penatalaksanaan pasien
dengan STEMI selain diberikan terapi reperfusi, juga diberikan terapi lain seperti
anti-platelet (aspirin, clopidogrel, thienopyridin), anti-koagulan seperti
Unfractionated Heparin (UFH)/Low Molecular Weight Heparin (LMWH), nitrat,
beta blocker, ACE-inhibitor, dan Angiotensin Receptor Blocker (Antman, 2008
dan Steg, 2012).

Gambar 7. Target terapi anti-platelet dan anti-koagulan

34
1. Antiplatelet
Anti platelet yang digunakan selama fase awal STEMI berperan dalam
mempertahankan patensi arteri koroner yang terkena infark.

a. Aspirin
Aspirin merupakan golongan anti-platelet dengan mekanisme produksi
inhibitor total thromboxan A2. Dosis awal yang harus diberikan adalah 150
mg sampai 300 mg dan dilanjutkan dalam jangka waktu tidak terbatas
dengan dosis harian 75–100 mg. Kontraindikasi dalam pemberian aspirin
meliputi pasien yang mengalami hipersensitivitas, perdarahan aktif pada
saluran pencernaan atau penyakit hepar kronis.

b. Clopidogrel
Clopidogrel berguna sebagai pengganti aspirin untuk pasien dengan
hipersensitivitas aspirin dan dianjurkan untuk pasien dengan STEMI yang
menjalani reperfusi primer atau fibrinolitik. Dosis loading awal yaitu 300 mg
yang dilanjutkan dengan dosis harian sebesar 75 mg. Pada pasien dengan
PCI, disarankan untuk pemberian dosis loading sebesar 600 mg bertujuan
untuk mencapai lebih cepat penghambatan fungsi trombosit. Pemberian
clopidogrel secara maintenance diberikan selama 12 bulan kecuali jika
didapatkan adanya risiko perdarahan masif.

2. Anti Koagulan
Terapi antikoagulan pada pasien STEMI diberikan salah satu tujuannya
adalah mendukung terapi PCI dan trombolitik untuk meningkatkan pantensi
awal koroner dan mengurangi reoklusi.

a. Unfractionated Heparin (UFH)


Heparin merupakan mukopolisakarida heterogen yang berinteraksi
dengan antitrombin III dengan meningkatkan efek penghambatan terhadap
thrombin. UFH membantu trombolisis dan memantapkan serta
mempertahankan patensi arteri yang terkait infark. Dosis yang

35
direkomendasikan adalah bolus 60 U/kg (maks 4000U) dilanjutkan infus
inisial 12 U/kg perjam (maks 1000 U/jam). Activated partial thromboplastin
time (APTT) selama terapi pemeliharaan harus mencapai 1,5-2 kali.

b. Bivalirudin
Bivalirudin merupakan inhibitor thrombin yang diindikasikan untuk
digunakan selama PCI. Dosis awal yang diberikan IV melalui bolus 0,75
mg/kgBB/jam selama durasi prosedur PCI serta dapat dilanjutkan sampai 4
jam post-PCI dengan dosis 1,75 mg/kgBB.

Tabel 4. Jenis dan dosis antikoagulan untuk IMA (PERKI, 2015)

3. Nitrat
Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang
mengakibatkan berkurangnya preload dan volume akhir diastolik ventrikel kiri
sehingga konsumsi oksigen miokardium berkurang. Efek lain dari nitrat adalah
dilatasi pembuluh darah koroner baik yang normal maupun yang mengalami
aterosklerosis.

36
Tabel 5. Jenis dan dosis nitrat untuk IMA (PERKI, 2015)

4. Beta blocker
Penyekat beta pada pasien STEMI dapat memberikan manfaat yaitu
manfaat yang terjadi segera jika obat diberikan secara akut dan yang diberikan
dalam jangka panjang jika obat diberikan untuk pencegahan sekunder setelah
infark. Penyekat beta intravena memperbaiki hubungan suplai dan kebutuhan
oksigen miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark, dan
menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang serius (Sudoyo, 2010).

Tabel 6. Jenis dan dosis beta blocker untuk IMA (PERKI, 2015)

5. ACE-inhibitor dan Angiotensin Receptor Blocker


Angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor berguna dalam
mengurangi remodeling dan menurunkan angka kematian penderita pasca-
infark miokard yang disertai gangguan fungsi sistolik jantung, dengan atau
tanpa gagal jantung klinis. ACE inhibitor diindikasikan penggunaannya untuk
jangka panjang, kecuali ada kontraindikasi, pada pasien dengan fraksi ejeksi

37
ventrikel kiri ≤40% dan pasien dengan diabetes mellitus, hipertensi, atau
penyakit ginjal kronik (PGK). Angiotensin Receptor Blocker diindikasikan bagi
pasien infark mikoard yang intoleran terhadap inhibitor ACE dan mempunyai
fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40%, dengan atau tanpa gejala klinis gagal jantung.

Tabel 7. Jenis dan dosis ACE inhibitor untuk IMA (PERKI, 2015)

6. Terapi lainnya
a. Diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda
klinis atau gejala kongesti. Tujuan dari pemberian diuretik adalah untuk
mencapai status euvolemia dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu
harus diatur sesuai kebutuhan pasien untuk menghindari dehidrasi. Diuretik
yang sering digunakan golongan diuretic loop dan thiazid. Diuretik loop
(bumetamid, furosemid) meningkatkan ekskresi natrium dan cairan ginjal
dengan tempat kerja pada ansa henle asenden, sehingga meningkatkan
pengeluaran air. Loop diuretik juga meningkatkan produksi prostaglandin
vasodilator renal. Contoh obat loop diuretic yaitu furosemid dengan dosis
20-40 mg satu kali atau dua kali per hari. Diuretik hemat kalium,
spironolakton dengan dosis 25-50mg/hari dapat mengurangi mortalitas pada
pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat yang disebabkan gagal
jantung sistolik. Salah satu efek pemberian diuretik adalah hiperurisemia.

38
b. Opioid
Opioid parenteral seperti morfin penting dalam penatalaksanaan gagal
jantung akut berat karena dapat menurunkan kecemasan, nyeri dan stress,
serta menurunkan kebutuhan oksigen. Opiat juga menurunkan preload dan
tekanan pengisian ventrikel serta edem pulmonal. Dosis pemberian 2-3 mg
intravena dan dapat diulang sesuai kebutuhan (Grady et al., 2000).

2.1.7 Komplikasi
- Regurgitasi mitral
- Ruptur jantung
- Ruptur septum ventrikel
- Infark ventrikel kanan
- Perikarditis
- Aneurisma ventrikel kiri
- Trombus ventrikel kanan

2.1.8 Prognosis
Prognosis infark miokard akut (acute myocardial infarct) tergantung
luasnya nekrosis pada miokardium, dan tata laksana reperfusi. Mortalitas
pasien STEMI dalam 30 hari pertama dapat mencapai 11%. Angka
keselamatan (survival rate) di Indonesia belum tersedia namun pada
penelitian di beberapa negara menyebutkan beberapa faktor prognostik
antara lain:
 Umur, mortalitas paling tinggi pada pasien berumur 55-64 tahun dan
berkurang pada umur yang lebih tua, kecuali pada laki-laki dimana
risiko justru meningkat setelah umur 75 tahun.
 Jenis kelamin, mortalitas pasien perempuan sedikit lebih tinggi
dibandingkan pria. Angka keselamatan 7 tahun pada pasien yang
mengalami infark miokard pertama kali mencapai 69% pada laki-laki
dan 59% pada perempuan.

39
 Riwayat infark miokard sebelumnya, angka keselamatan 7 tahun
berkurang pada infark miokard yang berulang menjadi 53% dan 26%
masing-masing pada laki-laki dan perempuan.
 Kondisi komorbid lainnya, pasien yang mengalami fibrilasi ventrikel
memiliki angka mortalitas di dalam rumah sakit 7 kali lebih tinggi.

Klasifikasi Killip yang lebih tinggi berhubungan dengan mortalitas dalam


rumah sakit yang makin tinggi. Klasifikasi Killip, yaitu:

 Killip Kelas I, tidak ada komplikasi


 Killip Kelas II, terdapat bunyi jantung S3, tanda bendungan paru/
peningkatan tekanan vena jugular, dan ronki pada kurang dari ½
lapangan paru posterior
 Killip Kelas III, terdapat edema paru
 Killip Kelas IV, syok kardiogenik

2.2 Acute Heart Failure


2.2.1 Definisi
Gagal jantung merupakan sindrom klinik yang ditandai dengan sesak
napas dan kelelahan (saat istirahat atau aktivitas) yang disebabkan oleh
kelainan struktur atau fungsi jantung. Gagal jantung juga didefinisikan
sebagai sindrom klinik kompleks yang disebabkan oleh disfungsi ventrikel
berupa gangguan pengisian atau kegagalan pompa jantung sehingga tidak
dapat memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh.
Gagal jantung akut adalah serangan cepat dari gejala-gejala atau tanda
tanda akibat fungsi jantung yang abnormal. Gagal jantung akut dapat
berupa acute de novo (serangan baru dari gagal jantung akut, tanpa ada
kelainan jantung sebelumnya) atau dekompensasi akut dari gagal jantung
kronik. Disfungsi yang terjadi pada gagal jantung dapat berupa disfungsi
sistolik atau disfungsi diastolik.

40
2.2.2 Etiologi
a. Keadaan yang menyebabkan gagal jantung secara cepat:
a. Gangguan takiaritmia atau bradikakardia yang berat
b. Sindroma koroner akut
c. Komplikasi mekanis pada sindroma koroner akut (rupture septum
intravetrikuler, akut regurgitasi mitral, gagal jantung kanan)
d. Emboli paru akut
e. Krisis hipertensi
f. Diseksi aorta
g. Tamponade jantung
h. Masalah perioperative dan bedah
i. Kardiomiopati peripartum

b. Keadaan yang menyebabkan gagal jantung yang tidak terlalu


cepat:
a. Infeksi ( termasuk infektif endocarditis )
b. Eksaserbasi akut PPOK / asma
c. Anemia
d. Disfungsi ginjal
e. Ketidakpatuhan berobat
f. Penyebab iatrogenik (obat kortikosteroid, NSAID )
g. Aritmia, bradikardia, dan gangguan konduksi yang tidak
menyebabkan perubahan mendadak laju nadi
h. Hipertensi tidak terkontrol
i. Hiper dan hipotiroidisme
j. Penggunaan obat terlarang dan alkohol

2.2.3 Epidemiologi
Diperkirakan terdapat sekitar 23 juta orang mengidap gagal jantung di
seluruh dunia. American Heart Association memperkirakan terdapat 4,7 juta

41
orang menderita gagal jantung di Amerika Serikat pada tahun 2000 dan
dilaporkan terdapat 550.000 kasus baru setiap tahun. Prevalensi gagal
jantung di Amerika dan Eropa diperkirakan mencapai 1–2%. Namun, studi
tentang gagal jantung akut masih kurang karena belum adanya kesepakatan
yang diterima secara universal mengenai definisi gagal jantung akut serta
adanya perbedaan metodologi dalam menilai penyebaran penyakit ini.
Meningkatnya harapan hidup disertai makin tingginya angka survival
setelah serangan infark miokard akut akibat kemajuan pengobatan dan
penatalaksanaannya, mengakibatkan semakin banyak pasien yang hidup
dengan disfungsi ventrikel kiri yang selanjutnya masuk ke dalam gagal
jantung kronis. Akibatnya, angka perawatan di rumah sakit karena gagal
jantung dekompensasi juga ikut meningkat. Dari survei registrasi di rumah
sakit didapatkan angka perawatan pasien yang berhubungan dengan gagal
jantug sebesar 4,7% untuk perempuan dan 5,1 % untukk laki-laki. Secara
umum, angka perawatan pasien gagal jantung di Amerika dan Eropa
menunjukkan angka yang semakin meningkat. Insidensi dan prevalensi gagal
jantung meningkat secara dramatis sesuai dengan peningkatan umur. Studi
Framingham menunjukkan peningkatan prevalensi gagal jantung, mulai
0,8% untuk orang berusia 50-59 hingga 2,3% untuk orang dengan usia 60-69
tahun. Gagal jantung dilaporkan sebagai diagnosis utama pada pasien di
rumah sakit untuk kelompok usia lebih dari 65 tahun pada tahun 1993.
Beberapa studi di Inggris juga menunjukkan adanya peningkatan prevalensi
gagal jantung pada orang dengan usia lebih tua

2.2.4 Gejala Klinis


Gejala klinis dapat muncul karena adanya faktor presipitasi yang
menyebabkan peningkatan kerja jantung dan peningkatan kebutuhan
oksigen, seperti infeksi, aritmia, kerja fisik, cairan, lingkungan, emosi yang
berlebihan, infark miokard, emboli paru, anemia, tirotoksikosis, kehamilan,
hipertensi, miokarditis dan endokarditis infektif.

42
2.2.5 Patofisiologi
Gagal jantung merupakan manifestasi akhir dari kebanyakan penyakit
jantung. Pada disfungsi sistolik, kapasitas ventrikel untuk memompa darah
terganggu karena gangguan kontraktilitas otot jantung yang dapat
disebabkan oleh rusaknya miosit, abnormalitas fungsi miosit atau fibrosis,
serta akibat pressure overload yang menyebabkan resistensi atau tahanan
aliran sehingga stroke volume menjadi berkurang. Sementara itu, disfungsi
diastolik terjadi akibat gangguan relaksasi miokard, dengan kekakuan
dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri menyebabkan
gangguan pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering
disfungi diastolik adalah penyakit jantung koroner, hipertensi dengan
hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofi. Beberapa mekanisme
kompensasi alami akan terjadi pada pasien gagal jantung sebagai respon
terhadap menurunnya curah jantung serta untuk membantu mempertahankan
tekanan darah yang cukup untuk memastikan perfusi organ yang cukup.
Mekanisme tersebut mencakup:
a. Mekanisme Frank Starling
Menurut hukum Frank-Starling, penambahan panjang serat
menyebabkan kontraksi menjadi lebih kuat sehingga curah jantung
meningkat.
b. Perubahan neurohormonal
Peningkatan aktivitas simpatis Salahmerupakan mekanisme paling
awal untuk mempertahankan curah jantung. Katekolamin
menyebabkan kontraksi otot jantung yang lebih kuat (efek inotropik
positif) dan peningkatan denyut jantung. Sistem saraf simpatis juga
turut berperan dalam aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron
(RAA) yang bersifat mempertahankan volume darah yang bersirkulasi
dan mempertahankan tekanan darah. Selain itu dilepaskan juga
counter-regulator peptides dari jantung seperti natriuretic peptides
yang mengakibatkan terjadinya vasodilatasi perifer, natriuresis dan

43
diuresis serta turut mengaktivasi sistem saraf simpatis dan sistem
RAA.

c. Remodeling dan hipertrofi ventrikel


Dengan bertambahnya beban kerja jantung akibat respon terhadap
peningkatan kebutuhan maka terjadi berbagai macam remodeling
termasuk hipertrofi dan dilatasi. Bila hanya terjadi peningkatan muatan
tekanan ruang jantung atau pressure overload (misalnya pada
hipertensi, stenosis katup), hipertrofi ditandai dengan peningkatan
diameter setiap serat otot. Pembesaran ini memberikan pola hipertrofi
konsentrik yang klasik, dimana ketebalan dinding ventrikel bertambah
tanpa penambahan ukuran ruang jantung. Namun, bila pengisian
volume jantung terganggu (misalnya pada regurgitasi katup atau ada
pirau) maka panjang serat jantung juga bertambah yang disebut
hipertrofi eksentrik, dengan penambahan ukuran ruang jantung dan
ketebalan dinding. Mekanisme adaptif tersebut dapat mempertahankan
kemampuan jantung memompa darah pada tingkat yang relatif normal,
tetapi hanya untuk sementara. Perubahan patologik lebih lanjut, seperti
apoptosis, perubahan sitoskeletal, sintesis, dan remodelling matriks
ekstraselular (terutama kolagen) juga dapat timbul dan menyebabkan
gangguan fungsional dan struktural yang semakin mengganggu fungsi
ventrikel kiri.

44
Bagan 1. Bagan mekanisme kompensasi neurohormonal sebagai respon terhadap penurunan
curah jantung dan tekanan darah pada gagal jantung Dikutip dari: Manurung D. Tatalaksana
gagal jantung akut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors.
Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th Ed.17

2.2.6 Diagnosis
Diagnosis gagal jantung dapat dilakukan dengan dengan pemeriksaan
fisik dan penunjang. Gejala yang didapatkan pada pasien dengan gagal

45
jantung antara lain sesak nafas, Edema paru, peningkatan JVP ,
hepatomegali , edema tungkai.
Pada pemeriksaan foto toraks seringkali menunjukkan kardiomegali
(rasio kardiotorasik (CTR) > 50%), terutama bila gagal jantung sudah
kronis. Kardiomegali dapat disebabkan oleh dilatasi ventrikel kiri atau
kanan, LVH, atau kadang oleh efusi perikard. Derajat kardiomegali tidak
berhubungan dengan fungsi ventrikel kiri.
Elektrokardiografi memperlihatkan beberapa abnormalitas pada
sebaigian besar pasien (80-90%), termasuk gelombang Q, perubahan ST-
T, hipertropi LV, gangguan konduksi, aritmia. Ekokardiografi harus
dilakukan pada semua pasien dengan dugaan klinis gagal jantung.
Dimensi ruang jantung, fungsi ventrikel (sistolik dan diastolik), dan
abnormalitas gerakan dinding dapat dinilai dan penyakit katub jantung
dapat disinggirkan.
Tes darah dirkomendasikan untuk menyinggirkan anemia dan
menilai fungsi ginjal sebelum terapi di mulai. Disfungsi tiroid dapat
menyebabkan gagal jantung sehingga pemeriksaan fungsi tiroid harus
selalu dilakukan. Pencitraan radionuklida menyediakan metode lain untuk
menilai fungsi ventrikel dan sangat berguna ketika citra yang memadai
dari ekokardiografi sulit diperoleh. Pemindahan perfusi dapat membantu
dalam menilai fungsional penyakit jantung koroner
2.2.7 Tatalaksana

Tujuan utama terapi GJA adalah koreksi hipoksia, meningkatkan curah jantung,
perfusi ginjal, pengeluaran natrium dan urin. Sasaran pengobatan secepatnya
adalah memperbaiki simtom dan menstabilkan kondisi hemodinamik.

a. Terapi Umum
Terapi umum pada gagal jantung akut ditujukan untuk mengatasi infeksi,
gangguan metabolik (diabetes mellitus), keadaan katabolik yang tidak
seimbang antara nitrogen dan kalori yang negatif, serta gagal ginjal.

46
b. Terapi Oksigen dan Ventilasi
Terapi ini ditujukan untuk memberikan oksigen yang adekuat untuk
memenuhi kebutuhan oksigen tingkat sel sehingga dapat mencegah
disfungsi end organ dan awitan kegagalan multi organ. Pemeliharaan
saturasi O2 dalam batas normal (95%-98%) penting untuk
memaksimalkan oksigenasi jaringan.
c. Terapi Medikamentosa
Morfin diindikasikan pada tahap awal pengobatan GJA berat,
khususnya pada pasien gelisah dan dispnea. Morfin menginduksi
venodilatasi, dilatasi ringan pada arteri dan dapat mengurangi denyut
jantung.
Antikoagulan terbukti dapat digunakan untuk sindrom koroner akut
dengan atau tanpa gagal jantung. Namun, tidak ada bukti manfaat heparin
atau low molecular weight heparin (LMWH) pada GJA saja.
Vasodilator diindikasikan pada kebanyakan pasien GJA sebagai terapi
lini pertama pada hipoperfusi yang berhubungan dengan tekanan darah
adekuat dan tanda kongesti dengan diuresis sedikit. Obat ini bekerja
dengan membuka sirkulasi perifer dan mengurangi preload. Beberapa
vasodilator yang digunakan adalah:
a. Nitrat bekerja dengan mengurangi kongesti paru tanpa
mempengaruhi stroke volume atau meningkatkan kebutuhan
oksigen oleh miokardium pada GJA kanan, khususnya pada pasien
sindrom koroner akut. Pada dosis rendah, nitrat hanya menginduksi
venodilatasi, tetapi bila dosis ditingkatkan secara bertahap dapat
menyebabkan dilatasi arteri koroner.
b. Nesiritid merupakan rekombinan peptida otak manusia yang identik
dengan hormon endogen yang diproduksi ventrikel, yaitu B-type
natriuretic peptides dalam merespon peningkatan tegangan dinding,
peningkatan tekanan darah, dan volume overload. Kadar B-type
natriuretic peptides meningkat pada pasien gagal jantung dan

47
berhubungan dengan keparahan penyakit. Efek fisiologis BNP
mencakup vasodilatasi, diuresis, natriuresis, dan antagonis terhadap
sistem RAA dan endotelin. Nesiritid memiliki efek vasodilator
vena, arteri, dan pembuluh darah koroner untuk menurunkan
preload dan afterload, serta meningkatkan curah jantung tanpa efek
inotropik langsung. Nesiritid terbukti mampu mengurangi dispnea
dan kelelahan dibandingkan plasebo. Nesiritid juga mengurangi
tekanan kapiler baji paru.
c. Dopamine merupakan agonis reseptor β-1 yang memiliki efek
inotropik dan kronotropik positif. Pemberian dopamine terbukti
dapat meningkatkan curah jantung dan menurunkan resistensi
vaskular sistemik.
d. Milrinone merupakan inhibitor phosphodiesterase-3 (PDE3)
sehingga terjadi akumulasi cAMP intraseluler yang berujung pada
inotropik dan lusitropik positif. Obat ini biasanya digunakan pada
pasien dengan curah jantung rendah dan tekanan pengisian ventrikel
yang tinggi serta resistensi vaskular sistemik yang tinggi.
e. Dobutamin merupakan simpatomimetik amin yang mempengaruhi
reseptor β1, β-2, dan α pada miokard dan pembuluh darah.
Walaupun mempunyai efek inotropik positif, efek peningkatan
denyut jantung lebih rendah dibanding dengan agonis β-adrenergik.
Obat ini juga menurunkan Systemic Vascular Resistance (SVR) dan
tekanan pengisian ventrikel kiri.
f. Epinefrin dan norepinefrin menstimulasi reseptor adrenergik β-1
dan β-2 di miokard sehingga menimbulkan efek inotropik
kronotropik positif. Epinefrin bermanfaat pada individu yang curah
jantungnya rendah dan atau bradikardi.
g. Digoksin digunakan untuk mengendalikan denyut jantung pada
pasien gagal jantung dengan penyulit fibrilasi atrium dan atrial

48
flutter. Amiodarone atau ibutilide dapat ditambahkan pada pasien
dengan kondisi yang lebih parah.
h. Nitropusid bekerja dengan merangsang pelepasan nitrit oxide (NO)
secara nonenzimatik. Nitroprusid juga memiliki efek yang baik
terhadap perbaikan preload dan after load. Venodilatasi akan
mengurangi pengisian ventrikel sehingga preload menurun. Obat ini
juga mengurangi curah jantung dan regurgitasi mitral yang diikuti
dengan penurunan resistensi ginjal. Hal ini akan memperbaiki aliran
darah ginjal sehingga sistem RAA tidak teraktivasi secara
berlebihan. Nitroprusid tidak mempengaruhi sistem neurohormonal.
ACE-inhibitor tidak diindikasikan untuk stabilisasi awal GJA.
Namun, bila stabil 48 jam boleh diberikan dengan dosis kecil dan
ditingkatkan secara bertahap dengan pengawasan tekanan darah
yang ketat.
Diuretik diindikasikan bagi pasien GJA dekompensasi yang
disertai gejala retensi cairan. Pemberian loop diuretic secara
intravena dengan efek yang lebih kuat lebih diutamakan untuk
pasien GJA. Sementara itu, pemberian β-blocker merupakan
kontraindikasi pada GJA kecuali bila GJA sudah stabil.
Obat inotropik diindikasikan apabila ada tanda-tanda
hipoperfusi perifer (hipotensi) dengan atau tanpa kongesti atau
edema paru yang refrakter terhadap diuretika dan vasodilator pada
dosis optimal. Pemakaiannya berbahaya, dapat meningkatkan
kebutuhan oksigen dan calcium loading sehingga harus diberikan
secara hati-hati.

2.2.8 Prognosis
Pasien dengan gagal jantung akut memiliki prognosis yang sangat
buruk. Dalam satu randomized trial yang besar pada pasien yang dirawat
dengan gagal jantung yang mengalami dekompensasi, mortalitas 60 hari

49
adalah 9,6% dan apabila dikombinasi dengan mortalitas dan perawatan
ulang dalam 60 hari jadi 35,2%. Sekitar 45% pasien GJA akan dirawat
ulang paling tidak satu kali, 15% paling tidak dua kali dalam 12 bulan
pertama. Angka kematian lebih tinggi lagi pada infark jantung yang
disertai gagal jantung berat dengan mortalitas dalam 12 bulan adalah 30%.

2.3 Right Branch Bundle Block


2.3.1 Definisi
Right bundle branch block (RBBB) merupakan salah satu defek
sistem konduksi jantung.

2.3.2 Etiologi dan Klasifikasi RBBB


RBBB dapat disebabkan oleh banyak faktor. Pada populasi tertentu
RBBB dijumpai pada orang yang normal, sementara pada populasi yang
lain RBBB dihubungkan dengan kelainan organik jantung. RBBB juga
dapat terjadi pada kondisi kondisi yang berefek pada jantung kanan seperti
ASD dengan left- to- right shunt, penyakit paru kronis dengan hipertensi
pulmonal, pada kasus-kasus valvular seperti stenosis pulmonal, proses
degeneratif pada sistem konduksi (pasien-pasien usia tua) dan pada
penyakit jantung koroner (Goldberger, 2006).
RBBB dapat diklasifikasikan berdasarkan waktu kemunculannya menjadi
dua tipe yaitu:
a. RBBB yang baru
RBBB dijumpai setelah pasien masuk ke rumah sakit atau
dijumpai pada saat masuk ke rumah sakit tanpa dijumpainya RBBB
pada EKG enam bulan sebelumnya. RBBB yang baru selanjutnya
dibagi menjadi dua grup berdasarkan durasi dari RBBB yaitu :
transient RBBB, dimana RBBB tidak dijumpai lagi selama
perawatan di rumah sakit atau new permanent RBBB dimana

50
RBBB dijumpai pada saat pasien meninggal atau pulang (Iwasaki
dkk, 2009).

b. RBBB yang lama


RBBB dijumpai pada saat pasien masuk ke rumah sakit dengan
bukti EKG RBBB sebelumnya (Iwasaki dkk, 2009).
2.3.3 Distribusi Arteri Koroner pada RBBB
Right bundle branch dan left posterior division diperdarahi oleh dua
pembuluh darah yaitu LAD dan RCA, sedangkan left anterior division
sendiri diperdarahi dari percabangan septal LAD. Hal ini sesuai dengan
studi sebelum nya oleh James dan Burch pada tahun 1958 yang menulis
bahwa konduksi jantung sangat dipengaruhi oleh suplai darah ke septum
intraventrikular, dimana suplai darah ke septum intraventrikular
diperdarahi sebagian besar oleh LAD. Septum intraventrikular sendiri
tidak hanya diperdarahi oleh LAD, tetapi juga oleh RCA dimana yang
berperan adalah PDA. Hal ini bertentangan dengan penelitian Schlesinger
yang menyatakan bahwa peranan RCA dalam menyuplai darah ke septum
intraventrikular tidak signifikan (Gambar 8) (James dkk, 1958).

Gambar 8. Suplai darah yang normal ke Intraventrikular Septum. (James


dkk, 1958)

51
Sistem konduksi pada septum intraventrikular dibagi menjadi dua
area yaitu: Daerah atas, yang termasuk didalamnya adalah: AV-node,
bundle of His, dimana daerah atas ini disuplai oleh pembuluh darah RCA
yang berjalan pada bagian posterior dari vena intraventricular. (Gambar 8)
Daerah bawah, terdiri dari dua cabang utama bundle branches dan sel-sel
purkinje. Daerah ini disuplai sebagian besar oleh percabangan dari LAD.
Dari pembahagian tersebut terlihat bahwa jika terjadi oklusi di RCA
sering dihubungkan dengan gangguan pada level AV node seperti blok
derajat tinggi. Sedangkan jika terjadi oklusi di LAD akan menghasilkan
gambaran bundle branch block atau free wall block.
Penetrasi dari percabangan LAD ke arah septum selalu dalam bentuk
multiple (Gambar 8) sehingga jika terjadi oklusi pada pembuluh darah ini
dapat menyebabkan tejadinya gangguan konduksi yang dikenal dengan
“spontaneus bundle branch block” (James dkk, 1958, Schlesinger, 1938).

2.3.4 Patofisiologi
RBBB sebagai bentuk gangguan konduksi pada struktur right
bundle akan menyebabkan keterlambatan aktivitas konduksi pada
ventrikel kanan tetapi aktivitas konduksi pada ventrikel kiri dan septal
masih normal. Gangguan konduksi pada RBBB ditandai dengan terjadinya
pemanjangan durasi dari QRS kompleks hingga 0,12 detik atau lebih
(Goldberger, 1998). Pada sistim konduksi yang normal, depolarisasi
ventrikel terdiri dari dua fase utama yaitu: Fase pertama: berlangsung
lebih singkat (kurang dari 0,04 detik) dengan amplitudo yang kecil. Hal
ini terjadi ketika septum inter ventrikel mengalami depolarisasi. Bagian
septum yang pertamakali teraktivasi adalah bahagian kiri (melalui cabang
dari bundle of His kiri), kemudian depolarisasi menyebar dari ventrikel
kiri ke ventrikel kanan melalui septum inter ventrikular. Fase pertama dari
depolarisasi ventrikel ini ditandai oleh anak panah yang melewati inter
ventrikular septum ke ventrikel kanan (Goldberger, 1998). Fase kedua:

52
menggambarkan aktivasi simultan kedua ventrikel, yaitu ventrikel kiri dan
ventrikel kanan, dimulai dari bagian endokardium hingga ke epikardium
miokard. Pada jantung normal, ventrikel kiri memiliki peranan yang
utama dalam sistem konduksi jantung, dengan kata lain terjadi
ketimpangan sistem konduksi antara ventrikel kiri dan kanan, sehingga
fase kedua dari depolarisasi ventrikel ini ditandai oleh anak panah yang
menuju ventrikel kiri (Gambar 9) (Goldberger, 1998).

Gambar 9. Fase–fase depolarisasi ventrikel yang normal (Goldberger,


1998).

Ketika terjadi RBBB, maka aktivitas depolarisasi ventrikel berlangsung


melalui 3 fase yaitu:
a. Fase pertama: aktivitas depolarisasi masih normal, yaitu dimulai dari
sisi kiri septum melalui left bundle. Itulah sebabnya pada EKG masih
tetap terlihat gelombang r kecil di V1 dan gelombang q kecil di V6
(sering disebut q-septal) (Gambar 9.1) (Goldberger, 1998).
b. Fase kedua: terjadi depolarisasi simultan pada left bundle dan right
bundle. Pada RBBB fase ini tidak mengalami gangguan yang nyata
oleh karena sistem konduksi jantung dominan pada ventrikel kiri, yang
ditunjukkan pada EKG berupa gelombang S yang dalam di lead
prekordial kanan dan gelombang R yang tinggi di lead prekordial kiri.
Perubahan QRS kompleks yang dihasilkan oleh RBBB merupakan
hasil dari perpanjangan waktu yang dibutuhkan untuk aktivasi

53
ventrikel kanan. Hal berarti bahwa setelah ventrikel kiri terdepolarisasi
penuh, barulah selanjutnya ventrikel kanan mengalami depolarisasi
(Gambar 9.2) (Goldberger, 1998).
c. Fase ketiga: terjadi perlambatan depolarisasi ventrikel kanan. Pada
fase ini electrical voltage diarahkan ke ventrikel kanan, yang
merefleksikan keterlambatan depolarisasi dan perlambatan penyebaran
gelombang depolarisasi keluar ke ventrikel kanan (Gambar 10.2)
(Goldberger, 1998).

Gambar 10. Fase–fase depolarisasi ventrikel pada RBBB (Goldberger,


1998)

2.3.5 Elektrokardiografi dalam Mendiagnosis RBBB


Berdasarkan patofisologi terjadinya RBBB seperti yang sudah
dijelaskan diatas, maka kriteria suatu RBBB di EKG adalah adanya
gambaran klasik komplek QRS yang berbentuk “rabbit ears” atau M-
shape dengan pola RSR (Gambar 11) (Horton, 2009).

54
Gambar 11. Bentuk Klasik Rabbit Ears pada RBBB pada EKG dengan
gambaran kompleks RSR‟ (Horton dkk, 2009)

Konsensus WHO pada tahun 1985 telah membakukan kriteria EKG untuk
RBBB sebagai berikut:
a. RBBB komplit: Pemanjangan durasi QRS kompleks ≥ 0,12 detik
Dijumpai pola rsr‟, atau rSR‟ pada lead V1 atau V2. Gelombang R‟
biasanya lebih besar dari gelombang R awal. Pada lead V6 dan lead I
dijumpai kompleks QRS dengan gelombang S yang melebar (durasi
gelombang S lebih lebar dibandingkan dengan durasi gelombang R)
Puncak gelombang R harus > 0,05 detik pada lead V1 dan kembali
normal pada lead V5 dan V6. Dikatakan RBBB komplit jika
ditemukan minimal 3 kriteria tersebut diatas. ( Hindman dkk, 1978 ;
Willems dkk, 1985).

b. RBBB inkomplit: Penegakan diagnosa RBBB inkomplit didasarkan


kriteria yang sama pada RBBB komplit yang berbeda hanya durasi
QRS kompleks yang < 0,12 detik (Hindman dkk, 1978; Willems dkk,
1985).

55
a. RBBB dengan LAFB:
Penegakan diagnosa RBBB dengan LAFB bila dijumpai RBBB
dengan axis LAD disertai dengan gelombang Q patologis.
(Hindman dkk, 1978; Willems dkk, 1985).
b. RBBB dengan LAPB:
Penegakan diagnosa RBBB dengan LAPB bila dijumpai RBBB
dengan axis RAD tanpa dijumpai infark pada dinding lateral ,
hipertrofi ventrikel kanan dan riwayat penyakit paru kronis
(Hindman dkk, 1978; Willems dkk, 1985).

2.3.6 Gambaran EKG RBBB pada IMA STE


EKG merupakan alat bantu yang penting di IGD dalam triage
penderita nyeri dada yang di sangkakan suatu SKA. Gangguan konduksi
dapat berdampak dalam ketepatan interpretasi EKG pada penderita yang
disangkakan dengan SKA. LBBB sebagai salah satu bentuk gangguan
konduksi sering mengaburkan diagnosis IMA STE berdasarkan EKG.
Berbeda dengan RBBB, justru tidak menyulitkan klinisi dalam
menegakkan IMA STE berdasarkan EKG. RBBB itu sendiri dapat
menjadi panduan bagi klinisi agar tidak gegabah dalam mendiagnosa IMA
STE. Konsep ST segmen dan gelombang T yang diskordan merupakan
dasar penegakan diagnosa IMA STE berdasarkan EKG. Aplikasi dari
konsep diskordan ini akan membantu dalam mendiagnosis IMA STE
berdasarkan EKG. Pengertian konsep diskordan ini berdasarkan bagian
terminal dari QRS kompleks dan awal dari ST segmen atau gelombang T
yang terletak pada sisi yang berlawanan dengan garis isoelektris. Sehingga
pada sadapan prekordial kanan hingga ke mid, akan membentuk komplek
QRS yang dihubungkan dengan ST segment depression dan T inverted.
Jika terjadi perlawanan pada konsep tersebut, maka akan bermanifestasi
dalam bentuk ST segmen elevation, konkordan dengan bagian terminal
dari QRS kompleks, dengan gambaran gelombang T yang bervariasi baik

56
dalam bentuk inversion atau menghilang. Pada IMA STE anterior,
biasanya akan lebih mudah bagi klinisi untuk menilai ST segmen pada
RBBB, dan hal ini juga berlaku pada IMA STE lainnya (Horton dkk,
2009).

2.3.7 Tatalaksana
Penatalaksanaan pasien IMA STE dengan RBBB bervariasi, tetapi
secara umum pasien-pasien sering tidak terobati dengan baik. Guidelines
STEMI ESC & AHA/ACC 2012 merekomendasikan terapi reperfusi pada
IMA STE dengan LBBB yang baru. Tetapi Guidelines the American
College of Emergency Physicians for the management of patients with
suspected AMI or unstable angina merekomendasikan terapi reperfusi
untuk semua jenis BBB (LBBB dan RBBB). Rekomendasi ini didukung
studi-studi sebelumnya seperti GISSI 10 dan ISIS-2 (American College of
Emergency Physicians, 2000; GISSI trial, 1986; ISIS-2 trial, 1988).
Guidelines the Czech Society of Cardiology guidelines from 2009
merekomendasikan primary PCI untuk seluruh pasien-pasien dengan
LBBB atau RBBB yang baru (Widimsky dkk , 2009). Go dkk menjumpai
bila dibandingkan dengan pasien-pasien dengan konduksi yang normal,
hanya sedikit pasien-pasien dengan IMA STE dengan RBBB yang
menerima terapi standar untuk sindroma koroner akut dalam 24 jam
pertama di IGD.

2.3.8 Prognosis
Studi HERO-2 menunjukkan kejadian RBBB dengan IMA STE
dijumpai pada 3,36% populasi IMA STE dan angka kematian selama 24
jam hingga 30 hari sebesar 30%, dengan lokasi infark pada daerah anterior
dijumpai lebih banyak dibandingkan dengan daerah lainnya, dijumpai
pada usia lanjut, predominan pada wanita, subjek dengan diabetes. Studi
ini menyimpulkan bahwa RBBB dengan IMA STE merupakan prediktor

57
kuat terhadap mortalitas selama perawatan di rumah sakit pada 24 jam dan
30 hari bila dibandingkan dengan tanpa RBBB. Pemanjangan durasi
kompleks QRS pada subjek dengan anterior infark dan RBBB
dihubungkan dengan peningkatan angka kematian dalam 30 hari (Wong
dkk, 2006).

58
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. STEMI (ST Elevated Mycardial Infarction) terjadi ketika sebuah arteri
koroner terblok parsial oleh bekuan darah, yang menyebabkan beberapa otot
jantung yang disuplai oleh arteri tersebut mengalami infark/mati.
2. Faktor risiko infark miokard terdiri dari yang tidak dapat diubah (usia, jenis
kelamin, ras, dan riwayat keluarga) dan yang masih dapat diubah (kadar
kolesterol darah tinggi, hipertensi, merokok, Diabetes Mellitus, obesitas,
kurangnya aktivitas fisik, sindroma metabolik, stres, dan depresi).
3. Diagnosis infark miokard bergantung kepada hasil anamnesis dan
pemeriksaan fisik, pengukuran marker biokimia kerusakan otot jantung
(khususnya troponin), dan hasil pemeriksaan EKG.
4. Tujuan utama penatalaksanaan AMI adalah mendiagnosis secara cepat,
menghilangkan nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi
reperfusi yang mungkin dilakukan, memberi anti-trombotik dan anti-platelet,
serta memberikan obat penunjang lainnya.

3.2 Saran
Kejadian STEMI anterior dengan distorsi QRS maupun tanpa distorsi
QRS harus dapat ditangani secepat mungkin. Dokter disarankan untuk dapat
memberikan terapi trombolitik segera setelah kedatangan pasien serta dapat
memikirkan terapi alternatif lain seperti PCI dalam menatalaksana pasien.

59
DAFTAR PUSTAKA

Alarcon PA. White Blood Cell Function Overview of the Immune System. Medscape.
Available at: https://emedicine.medscape.com/article/960027-overview#a2

Antman EM, Hand M, Armstrong PW. 2008. Focused Update of the ACC/AHA
2004 Guidelines for the Management of the Patients with ST-Elevation
Myocardial Infarction: A Report of the American College of Cardiology
American Heart Association Task Force on Practice Guidelines. AHA J., 51:
210–47.

Budzikowsi, A. 2015. Third Degree Atrioventricular Block. Medscape


Cardiology. http://emedicine.medscape.com/article/162007-overview
(diakses 24 September 2017).

Burazerl, G., Goda A., Sulo G., Stefa J., Roshi E., dan Kark J. 2007. Conventional
risk factors and acute coronary syndrome during a period of sosioeconomic
transition : population based case control study in Tirana, Albania. Croad
Med J. 48 : 225-33

Darmawan A. 2010. Penyakit Jantung Koroner. Yogyakarta: FK Universitas


Muhammadiyah.

Davey, P. 2005. At a Glance Medicine. Jakarta : Erlangga.

Depkes Litbang. Riset Kesehatan Dasar. 2013. Jakarta.

Dharma S. 2009. Pedoman Praktis Sistematika Interpretasi EKG. Jakarta: EGC.

Doenges, M. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan


dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi ke-3. Jakarta. EGC.
Fauci A, Kasper D, Longo D, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J. 2011. Harrison's
Principles of Internal Medicine, 18th Edition. New York: McGraw-Hill.

Goldberger AL, penyunting . Ventricular conduction distrubances : bundle branch


block . Dalam : clinical electrocardiography a simplified approach. edisi ke
tujuh . Mosby elsevier ,2006, h. 73-8

Hindman MC, Wagner GS, JaRo M, Atkins JM, Scheinman MM, DeSanctis
RW,Hutter AH Jr, Yeatman L, Rubenfire M, Pujura C, Rubin M, Morris JJ.
The clinical significance of bundle branch block complicating acute
myocardial infarction. Clinical characteristics, hospital mortality, and
oneyear follow-up. Circulation 1978;58:679–688.

60
Horton C L,Brady W J. Right bundle-branch block in acute coronary syndrome:
diagnostic and therapeutic implications for the emergency physician.
American Journal of Emergency Medicine (2009) 27, 1130–1141

Hampton JR. 2003. The ECG in Practice, 4th Edition. Philadelphia: Elsevier.

Iwasaki J, Kono K, Katayama Y, Takahashi N, Takeuchi K, Tanakaya M dkk.


Prognostic Significance of Right Bundle Branch Block in Patients with
Acute Inferior Myocardial Infarction .Acta Med. Okayama, 2009 ; 63 : 25-
33 James T.N , Burch G.E . Blood supply of the human intraventricular
septum. Circulation, 1958; 17 : 391-396.

Kleinschmidt, K. 2006. Epidemioly and pathophysiology of acute coronary


syndome. John Hopkins Advances Studies in Nursing 4(4) : 72-77.

Kumar, V., Abbas., Fausto N., dan Mitchell R. 2006. Robbins Basic Pathology.
USA : Elsevier.

Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP. 2008. Braunwald’s Heart Diseases: A
Textbook of Cardiovascular Medicine. Philadelphia: Elsevier.

Manurung D. Tatalaksana gagal jantung akut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th Ed.17

Naik H, Sabatine MS, dan Lilly LS. 2007. Pathophysiology of Heart Disease.
USA: Lippicott Williams & Wilkins.

PERKI. 2015. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung. Perhimpunan Dokter


Spesialis Kardiovaskular Indonesia

PERKI. 2015. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Perhimpunan Dokter


Spesialis Kardiovaskular Indonesia

Prabandari, D., Untari, D.D., Widiastuti, D., Jusman, E., Prameswari, E.,
Rohmawati, F., Gautama, R. H. 2014. Peradangan Dan Infeksi Pada Jantung.
Surakarta. Akademi Keperawatan Insan Husada.

Rampengan, S. H. 2014. Buku Praktis Kardiologi. Jakarta. Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia.

Ramrakha P, Moore K. 2006. Oxford Handbook of Acute Medicine 2nd


Edition. Oxford: Oxford University Press.

Rosen, A., dan Gelfand E. 2009. Patophysiology of acute coronary syndromes,


management of acute coronary syndromes. J. Wiley Blackwell 1(1) : 1-11

61
Santoso M, dan Setiawan T. 2011. Penyakit Jantung Koroner. Cermin Dunia
Kedokteran.147:6-9.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, dan Alwi I. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing

Wong C K , Gao W, Stewart R A H, Pelt N V, French J K, Aylward P E G, Risk


Stratification of Patients With Acute Anterior Myocardial Infarction and
Right Bundle-Branch Block Importance of QRS Duration and Early ST-
Segment Resolution After Fibrinolytic Therapy. Circulation. 2006;114:783-
789

Wong C-K, Stewart RAH, Gao W, French JK, Raffel OC, White HD, for the
Hirulog and Early Reperfusion or Occlusion (HERO-2) Trial Investigators.
Prognostic differences between different types of bundle branch blockduring
the early phase of acute myocardial infarction: insights from the Hirulog and
Early Reperfusion or Occlusion (HERO)-2 trial. Euro Heart J 2006;27:21–
28.

Willems JL, Robles de Medina EO, Bernard R, et al. Criteria for intraventricular
conduction disturbances and pre-exitation: World Heart organization /
International Society and Federation for Cardiology Task Force. J Am Coll
Cardiol. 1985;5:1261-1275

62

Anda mungkin juga menyukai