Anda di halaman 1dari 43

PRESENTASI KASUS KECIL

TUBERCULOSIS PARU KASUS BARU

Pembimbing : dr. Ngatwanto, SpP

Di susun oleh :

Citra Novi Muliana Pakpahan 1110221036

Shofia Widya Murti 1110221037

Niken Febriharsari G1A212079

SMF ILMU PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH

PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO

DESEMBER 2012
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS KECIL

“Tuberculosis Paru Kasus Baru”

Diajukan untuk memenuhi syarat

mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior

di bagian Ilmu Penyakit Dalam

RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo Purwokerto

telah disetujui dan dipresentasikan

pada tanggal: Desember 2012

Disusun oleh :

Citra Novi Muliana Pakpahan 1110221036

Shofia Widya Murti 1110221037

Niken Febriharsari G1A212079

Purwokerto, Desember 2012

Pembimbing,
dr. Ngatwanto, SpP

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb

Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas kesempatan yang diberikan
kepada kami untuk penyelesaian presentasi kasus Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit
Margono Soekarjo dengan penyakit Tuberculosis.

Serta ucapan terima kasih yang sebesar besarnya kepada seluruh pihak yang
telah membantu dalam proses pengerjaan dan penyelesaian tugas ini. Yang mungkin
tanpa bantuannya akan banyak mengalami kesulitan.

Tugas yang berupa presentasi kasus ini bertujuan agar menambah pengetahuan
dalam bidang kedokteran dan macam penyebab sampai penatalaksanaan kasus ini.
Semoga dengan selesainya presentasi kasus ini dapat berguna bagi pendidikan
kedokteran Indonesia pada umumnya.

Demikian kata pengantar yang dapat kami sampaikan. Jika ada kesalahan dalam
presentasi kasus ini kami mohon maaf dan kami harapkan perbaikan atasnya.

Purwokerto, Desember 2012

Tim Penyusun
BAB I
KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. Y
Usia : 62 tahun
Alamat : Karang tengah kidul, Rt 04/05, Kedung Banten
Jenis kelamin : Laki-Laki
Status : Menikah
Pekerjaan : Pensiunan PNS
Pendidikan : Diploma
Tanggal masuk : 30 November 2012 pukul 08:20 WIB
Tanggal periksa : 11 Desember 2012
Ruang Rawat : Bangsal Asoka
No. CM : 147049

B. ANAMNESIS
1. Keluhan utama :
Nyeri dada, sesak.
2. Keluhan tambahan :
Keringat pada malam hari, batuk berdahak berwarna putih bening dan
lemas.
3. Riwayat penyakit sekarang
Pasien, Tn. Y masuk ke IGD RSMS dengan keluhan nyeri dada sejak
makan sore. Nyeri nya terasa hilang timbul dan tidak hilang ketika pasien
istirahat. Nyeri dada dirasakan tiba-tiba. Pasien mengaku demam pada
pagi hari. Sesak nafas juga dirasakan pasien, yang memberat sejak siang
hari. Sesak dirasakan sudah sejak lama, namun pasien tidak pernah berobat
karena sesak dirasa ringan dan tidak sampai mengganggu aktivitas. Sesak
dirasakan sepanjang hari, dan membaik ketika beristirahat
Keluhan keringat pada malam hari juga diakui pasien, setiap malam
pasien berkeringat banyak. Batuk berdahak juga dirasa, terutama setelah
makan, pasien merasa terdapat dahak namun sulit untuk di batukkan atau
dikeluarkan. Dahak berwarna putih jernih dan kental. Penurunan berat
badan dirasakan sejak sebulan yang lalu pasien dengan berat badan: 65kg,
sedangkan saat ini pasien mempunyai berat badan 55 kg. Serta pasien
merasa lemas.
4. Riwayat penyakit dahulu
a. Riwayat penyakit yang sama : Pasien belum pernah mengalami keluhan
yang sama seperti ini.
b.Riwayat hipertensi : diakui sejak 5 bulan terakhir
c. Riwayat TB : disangkal
d.Riwayat kencing manis : diakui
e. Riwayat alergi : disangkal
f. Riwayat sakit ginjal : disangkal
g.Riwayat penyakit jantung : diakui sejak 3 tahun yang lalu.
h.Riwayat penyakit liver : disangkal
i. Riwayat mondok : diakui, 7 tahun yang lalu pasien sempat
di rawat di RS Brebes karena kecelakaan.
5. Riwayat penyakit keluarga
a. Riwayat hipertensi : disangkal
b.Riwayat kencing manis : diakui
c. Riwayat alergi : disangkal
d.Riwayat sakit ginjal : disangkal
e. Riwayat penyakit perdarahan : disangkal
6. Riwayat sosial dan exposure
a. Community
Tn. Y berkeluarga dengan 4 orang anak. Pasien memiliki seorang istri
dan memiliki 4 orang anak. Di ruma terdapat perokok aktif, yakni
anak pasien. Keluarga pasien berstatus sosial dan ekonomi menengah
ke bawah, sumber pendanaan kesehatan berasal dari JAMKESMAS.
Di Lingkungan sekitar pasien banyak anak anak yang batuk batuk
dengan tuberkulosis paru.

b. Home
Tn. Y tinggal bersama istri dan anak – anaknya dalam satu rumah.
Belum ada anak yang menikah. Pasien tinggal di kawasan padat
penduduk. Rumah tersebut berdinding tembok, berlantai ubin dan
memiliki langit-langit dan beratap genting. Rumah memiliki jendela
dan ventilasi yang memadai, namun jarang untuk dibuka pintu maupun
jendelanya oleh pasien. Jarak rumah pasien dengan rumah yang laiinya
cukup dekat. Pasien memelihara binatang peliharaan berupa ayam
sekitar 10 ekor yang di beri kandang di belakang rumah pasien. Pasien
mengaku setiap hari mengurus ayam serta membersihkan kandang
ayam tersebut setiap hari. Untuk memasak air, Ny K menggunakan
tungku kayu bakar, sehingga asap pembakarannya banyak sekali
c. Occupation
Tn. Y merupakan pensiunan PNS, tidak bekerja dan tinggal di rumah.
Kebutuhan sehari-hari pasien tercukupi dari hasil pensiunan dan hasil
ternaknya.
d. Personal habit
Tn Y selalu menjaga kebersihan rumahnya. Selama beraktivitas
dirumah, Tn Y sering sekali bersih bersih di rumah maupun pada
ligkungan sekitar rumahnya. Pasien merupakan perokok, namun sudah
berhenti sejak sekitar 3 tahun yang lalu.
e. Diet and drugs
Menu makan pasien sering terdiri dari sepiring nasi beserta lauk tahu
tempe dan sayur. Lauk berganti ganti kadang ikan ataupun daging
ayam.

C. PEMERIKSAAN FISIK
11 Desember 2012
1. Keadaan umum : Sedang
2. Kesadaran : Compos mentis
3. Vital sign
a. Tekanan darah : 140/100 mmHg
b. Nadi : 88 ×/menit reguler-reguler,
isi dan tekanan cukup
c. Pernapasan : 26 ×/menit
d. Suhu : 36,5 °C
4. Tinggi badan : 170 cm
5. Berat badan : 65 kg
6. Status gizi (IMT) : 22,4 (normoweight)
7. Status generalis
a. Pemeriksaan kepala
1) Bentuk kepala
Mesocephal, simetris, venektasi temporalis (-)
2) Mata
Simetris, konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edema
palpebra (-/-), refleks cahaya (+/+), pupil isokor diameter 3 mm
3) Mulut
Bibir kering (-), bibir pucat (-), bibir sianosis (-), lidah sianosis (-)
b. Pemeriksaan leher
Deviasi trakea (-) di garis tengah, pembesaran kelenjar tiroid (-)
retraksi suprasternal (+), otot bantu napas (+) di kanan dan kiri
Palpasi: Pembesaran KGB (-)
c. Pemeriksaan thoraks
Paru
Inspeksi : Dinding dada tampak simetris dan tidak tampak
ketertinggalan gerak antara hemithoraks kanan dan kiri.
Inspirasi berbanding inspirasi 2:1, kelainan bentuk dada
(-), retraksi intercostalis (+).
Palpasi : Vokal fremitus lobus superior kanan = kiri
Vokal fremitus lobus inferior kanan = kiri
Perkusi : Perkusi orientasi lapang paru sonor
Batas paru-hepar SIC V LMCD
Auskultasi : Suara dasar vesikuler +/+ Ronki basah halus
paru -/- Ronki basah kasar di basal paru +/+ Wheezing -/-

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Darah lengkap
No Jenis Pemeriksaan Hasil Ket.
28 Oktober 2012
1 Hb 14,8 gr/dL Normal
2 Leukosit 15.040 /ul (↑)
3 Ht 42 % (↓)
4 Eritrosit 4,6 x 106 /ul (↓)
5 Trombosit 146.000/ul (↓)
6 MCV 31,1 fl (↑)
7 MCH 34,7 pg Normal
8 MCHC 13,2 % Normal
9 RDW 10,0 % Normal

Hitung Jenis
1. Basofil 0,1 % Normal
2. Eosinofil 0,6 % (↓)
3. Neutrofil Batang 0,09 % (↓)
4. Neutrofil Segmen 64,9% (↑)
5. Limfosit 8,3 % (↓)
6. Monosit 6,7 % Normal
2. Kimia klinik dan elektrolit
No Jenis pemeriksaan 28 Oktober 2012 Ket.
1. LDH 320 U/L (↑)
2. Kolesterol Total 168 mg/dL (↓)
3. Trigliserid 119 mg/dL Normal
4 SGOT 14 U/L (↓)
5 SGPT 47 U/L Normal
6 CK 33 U/L (↓)
7. CKMB 21 U/L Normal
8. Glukosa Sewaktu 128mg/dL Normal
9. HbA1c 8,4 % (↑)

Mikrobilogi
Pewarnaan Zn 1x
BTA : NEGATIF
Leukosit : POSITIF
Epiteal : POSITIF

Pewarnaan Zn 2x
BTA : NEGATIF
Leukosit : POSITIF
Epiteal : POSITIF
Pewarnaan Zn 3x
BTA : NEGATIF
Leukosit : POSITIF
Epiteal : POSITIF

Pemeriksaan di Laboratorium Klinik Omnia tanggal 06 Desember 2012


No. Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Satuan Keterangan
Normal
1. Tes Mantoux Positif Diameter Negatif Pos ≥ 1
26 mm
E. RESUME
1. Anamnesis
a. Keluhan utama pasien adalah sesak nafas dan nyeri dada
b. Pasien juga mengeluhkan Keringat pada malam hari, batuk berdahak
berwarna putih bening dan lemas.
c. Sesak dirasakan sudah sejak lama, namun pasien tidak pernah berobat
karena sesak dirasa ringan dan tidak sampai mengganggu aktivitas.
Sesak dirasakan sepanjang hari, dan membaik ketika beristirahat
d. Keluhan keringat pada malam hari juga diakui pasien, setiap malam
pasien berkeringat banyak. Batuk berdahak juga dirasa, terutama
setelah makan, pasien merasa terdapat dahak namun sulit untuk di
batukkan atau dikeluarkan. Dahak berwarna putih jernih dan kental.
Penurunan berat badan dirasakan sejak sebulan yang lalu pasien
dengan berat badan: 65kg, sedangkan saat ini pasien mempunyai berat
badan 55 kg. Serta pasien merasa lemas.
e. Pasien menderita penyakit jantung dan diabetes mellitus.
f. Rumah tinggal pasien di pemukiman padat penduduk dengan ventilasi
yang cukup dan jendela jarang dibuka. Pasien Pasien memelihara
binatang peliharaan berupa ayam sekitar 10 ekor yang di beri kandang
di belakang rumah pasien. Pasien mengaku setiap hari mengurus ayam
serta membersihkan kandang ayam tersebut setiap hari. Pasien bekas
perokok namun sudah berhenti 3 tahun yang lalu.
2. Pemeriksaan Fisik
Status generalis: dalam batas normal
Status lokalis
a. Pemeriksaan paru
Inspeksi : dinding dada simetris, ketertinggalan gerak (-),
ekspirasi memanjang (-) otot bantu nafas (-)
Palpasi : vokal fremitus lobus superior dextra = sinistra
vokal fremitus lobus inferior dextra = sinistra
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : suara dasar vesikuler +/+
ronki basar kasar di basal paru +/+
wheezing -/-
3. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium :
Neutrofil segmen meningkat

F. DIAGNOSIS KERJA
Tuberkulosis Paru Kasus Baru

G. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Pemeriksaan faal paru
a. Spirometri
b. Arus Puncak Ekspirasi (APE)
2. Skin prick test

H. PENATALAKSANAAN
1. Farmakologi :
a. O2 3 liter/ menit
b. IVFD RL 20tpm
c. ISDN 2x1 tab
d. Biscor 1x1/2 tab
e. Sanmol 3x500mg
f. Digoxin 1x1/2 tab
g. Spironolakton 1x1
h. Analsik 3x1
i. 2RHZE + 4R3H3
2. Non farmakologi :
a. Istirahat
b. Edukasi penyakit kepada pasien dan keluarga meliputi pencetus, terapi,
komplikasi penyakit, prognosis penyakit dan cara pencegahan
perburukan penyakit.

Rencana monitoring
a. Keadaan klinis pasien
b. Efek samping obat

I. PROGNOSIS
Ad fungsional : ad bonam
Ad vitam : ad bonam
Ad sanationam : ad bonam
BAB II
PEMBAHASAN

Diagnosa kerja pasien (Ny. K) adalah asma akut sedang pada asma
persisten sedang Diagnosis ini ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, dan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

II.1 Pendahuluan

Tuberkulosis (TB) merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh


Micobacterium tuberculosis dan ditandai oleh pembentukan granuloma pada
jaringan yang terinfeksi dan oleh hipersensitivitas yang diperantarai sel (cell-
mediated-hypersensitivity).(6)
II.2 Epidemiologi

Walaupun pengobatan TB yang efektif sudah tersedia tapi sampai saat ini
TB masih tetap menjadi problem kesehatan dunia yang utama. Pada bulan Maret
1993 WHO mendeklarasikan TB sebagai global health emergency. TB dianggap
sebagai masalah kesehatan dunia yang penting karena lebih kurang 1/3 penduduk
dunia terinfeksi oleh Micobacterium tuberculosis. Pada tahun 1998 ada 3. 617.047
kasus TB yang tercatat di seluruh dunia.

Sebagian besar dari kasus TB ini (95%) dan kematiannya (98%) terjadi di
negara-negara yang sedang berkembang. Diantara mereka 75% berada pada usia
produktif yaitu 20-49 tahun. Karena penduduk yang padat dan tingginya
prevalensi maka lebih dari 65% dari kasus-kasus TB yang baru dan kematian yang
muncul terjadi di Asia.(3)

Laporan TB dunia oleh WHO yang terbaru (2006), masih menempatkan


Indonesia sebagai penyumbang TB terbesar nomor 3 di dunia setelah India dan
Cina dengan jumlah kasus baru sekitar 539.000 dan jumlah kematian sekitar
101.000 pertahun. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995,
menempatkan TB sebagai penyebab kematian ketiga terbesar setelah penyakit
kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan, dan merupakan nomor satu
terbesar dalam kelompok penyakit infeksi.(1)

II.3 Defenisi

Tuberculosis merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh


Micobacterium tuberculosis dan ditandai oleh pembentukan granuloma pada
jaringan yang terinfeksi dan oleh hipersensitivitas yang diperantarai sel (cell-
mediated-hypersensitivity). Penyakit biasanya terletak diparu, tetapi dapat
mengenai organ lain. Dengan tidak adanya pengobatan yang efektif untuk
penyakit yang aktif, biasa terjadi perjalanan penyakit yang kronik, dan berakhir
dengan kematian.(4)

II.4 Etiologi(4)
Micobacterium tuberculosis, basilus tuberkel, adalah satu diantara lebih
dari 30 anggota genus Mycobacterium yang dikenali dengan baik maupun banyak
yang tidak tergolongkan. Bersama dengan kuman berkerabat dekat yaitu M. bovis
kuman ini menyebankan tuberculosis.

II.5 Patogenesis

II.5.1 Tuberkulosis Primer

Penularan tuberculosis paru dari orang ke orang terjadi karena kuman


dibatukkan atau dibersinkan menjadi droplet nuclei (partikel berdiameter 1-5µm
yang mengandung M. tuberculosis dalam udara sekitar kita.(2) Partikel infeksi ini
dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya
sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk, dan kelembaban. Dalam susasna lembab
dan gelap kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel
infeksi ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran napas, atau
jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran parikel < 5
mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian baru
oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag
keluar percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya.(3)

Bila kuman menetap dijaringan paru, berkembang biak di dalam


sitoplasma makrofag. Basil tuberkel tumbuh perlahan-lahan, kira-kira tiap 25-32
jam di dalam makrofag. Pertumbuhan berlangsung 2-12 minggu, hingga kuman
berjumlah 1000-10000 dimana cukup untuk mendapatkan respon imun selular
yang terdeteksi oleh tes tuberkulin.(2) Disini ia dapat terbawa masuk ke organ
tubuh lainnya. Kuman yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang
tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau efek primer atau
sarang (fokus) Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan
paru. Bila menjalar sampai ke pleura, maka terjadilah efusi pleura. Kuman dapat
juga masuk melalui saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit,
terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan
menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, dan tulang. Bila masuk ke
arteri pulmonalis maka akan terjadi penjalaran ke seluruh bagian paru menjadi TB
milier.(3)

Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju
hilus (limfangitis local), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus
(limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis local bersama-sama limfadenitis
regional dikenal sebagai kompleks primer (Ranke). Semua proses ini memakan
waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi :

1) Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat (restitution ad integrum),


2) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik,
kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya > 5
mm dan ±10% diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang
dorman, (3)
3) Berkomplikasi dan menyebar secara :
a) Perkontinuitatum, yakni menyebar ke sekitarnya. Salah satu contoh adalah
epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya
bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga
menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat
atelektasis. Kuman tuberculosis akan menjalar sepanjang bronkus yang
tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada
lobus yang atelektasis tersebut,(5)
b) Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru yang
disebelahnya. Kuman dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah
sehingga menyebar ke usus,
c) Secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya
tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat
sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak terdapat imuniti yang
adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan yang cukup gawat
seperti TB milier, meningitis TB, typhobachillosis Landouzy.(3)
II.5.2 Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder)

Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-


tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa
(tuberkulosis post primer = TB pasca primer = TB sekunder). Mayoritas reinfeksi
mencapai 90%. Tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti
malnutrisi, alcohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS, dan gagal ginjal.
Tuberkulosis sekunder ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas
paru (bagian apical-posterior lobus sduperior atau inferior). Invasinya adalah ke
daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru.

Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam
3-10 minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari
sel-sel Histiosit dan sel Datia-Langhans (sel besar dengan banyak inti) yang
dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat. (3) Tergantung dari
jumlah kuman, virulensinya, dan imunitas pasien, sarang dini ini dapat menjadi :

1) Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat,


2) Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan serbukan
jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan
perkapuran.
3) Sarang dini yang meluas sebagai granuloma berkembang menghancurkan
jaringan ikat sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis, menjadi
lembek membentuk jaringan keju. Bila jaringan keju dibatukkan keluar
terjadilah kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding tipis, lama-lama
dindingnya menebal karena infiltrasi jaringan firbroblas dalam jumlah besar,
sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik). Terjadinya perkijuan dan kavitas
adalah karena adanya hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh enzim
yang diproduksi oleh makrofag, dan proses yang berlebihan sitokin dengan
TNF-nya. Be.tuk perkijuan lain yang jarang terjadi adalah cryptic disseminate
TB yang terjadi pada imunodefisiensi dan usia lanjut. Disini lesi sangat kecil,
tetapi berisi bakteri sangat banyak. Kavitas dapat menjadi :
a) Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Bila isi kavitas
ini masuk dalam peredaran darah arteri, maka akan terjadi TB milier.
Dapat juga masuk ke paru sebelahnya atau tertelan masuk lambung dan
selanjutnya ke usus menjadi TB usus. Sarang ini selanjutnya mengikuti
perjalanan seperti yang disebutkan diatas. Bisa juga terjadi TB
endobronkial dan TB endotrakeal atau empiema bila ruptur ke pleura,
b) Memadat dan membungkus diri (enkapsulasi) sehingga menjadi
tuberkuloma. Tuberkuloma ini dapat mengapur dan menyembuh atau
dapat aktif kembali menjadi cair dan jadi kavitas lagi. Komplikasi kronik
kavitas ini adalah kolonisasi oleh fungus seperti Aspergillus dan kemudian
menjadi mycetoma,
c) Bersih dan menyembuh, disebut open healed cavity. Dapat juga
meyembuh dengan membungkus diri menjadi kecil. Kadang-kadang
berakhir dengan kavitas yang terbungkus, menciut, dan berbetuk seperti
bintang yang disebut stellate shape.(3)

II.6 Klasifikasi Tuberkulosis


American Thoracic Society memberikan klasifikasi baru yang diambil
berdasarkan aspek kesehatan masyarakat :
1) Kelas 0: Tidak pernah terpajan TB, tidak terinfeksi. Orang-orang pada kelas
ini tidak mempunyai riwayat terpajan dan tes kulit tuberkulin menunjukkan
hasil negatif (jika dilakukan)
2) Kelas 1 : Terpajan TB, tidak ada bukti terinfeksi. Orang-orang pada kelas ini
mempunyai riwayat terpajan tuberkulosis, tetapi tes tuberkulin menunjukkan
hasil negative. Tindakan yang diambil untuknya tergantung pada derajat dan
kebaruan paparan M. tuberculosis, serta kekebalan tubuhnya. Jika terpapar
secara signifikan selama 3 bulan, tes tuberculin lanjutan harus dilakukan 10
minggu setelah paparan terakhir, dan sementara itu pengobatan terhadap
infeksi tuberculosis laten harus dipertimbangkan terutama pada anak-anak
berusia kurang dari 15 tahun dan penderita infeksi HIV.
3) Kelas 2 : Infeksi TB laten, tidak timbul penyakit. Orang-orang pada kelas 2
menunjukkan hasil tes tuberculin positif, pemeriksaan radiologi dan
bakteriologi negatif.
4) Kelas 3 : Tuberkulosis, aktif secara klinis. Kelas 3 mencakup semua pasien
dengan TB aktif secara klinis dengan prosedur diagnostik telah selesai. Jika
diagnosis masih tertunda, orang tersebut harus diklasifikasikan sebagai
tersangka tuberkulosis (kelas 5). Untuk masuk ke kelas 3, seseorang harus
memiliki bukti klinis, bakteriologis, dan/atau radiografi TB saat ini. Hal ini
dipastikan dengan isolasi M. tuberkulosis. Seseorang yang menderita TB di
masa lalu dan juga yang saat ini memiliki penyakit aktif secara klinis termasuk
dalam kelas 3. Seseorang tetap di kelas 3 sampai pengobatan untuk episode
penyakit saat ini selesai.
5) Kelas 4 : TB tidak aktif secara klinis. Ditemukan radiografi yang abnormal
atau tidak berubah, dan reaksi tes kulit tuberkulin positif, dan tidak ada bukti
klinis.
6) Kelas 5   : Tersangka TB (diagnosis tertunda). Seseorang termasuk dalam
kelas ini ketika diagnosis TB sedang dipertimbangkan. Seseorang seharusnya
tidak tetap di kelas ini selama lebih dari 3 bulan. Ketika prosedur diagnostik
telah selesai, orang tersebut harus ditempatkan pada salah satu kelas
sebelumnya.(2)
Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (Basil Tahan Asam / BTA), TB
paru dibagi atas :
1) TB paru BTA (+), adalah :
a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA
positif,
b) Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.
c) Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
biakan positif.
2) TB paru BTA (-), adalah :
a) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran
klinis dan kelainan radologi menunjukkan tuberkulosis aktif.
b) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M.
Tuberculosis positif.(5)
Klasifikasi berdasarkan tipe pasien dari riwayat pengobatan sebelumnya yaitu :
1) Kasus baru : pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan untuk
tuberkulosis atau sudah mendapakan obat-obat anti tuberkulosis kurang dari
satu bulan.
2) Kasus pengobatan ulang :
a) Kasus kambuh (relaps) : pasien yang sebelumnya pernah mendapatkan
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak
BTA positif atau biakan positif.
b) Kasus gagal (smear positive failure) : pasien yang menjalani pengobatan
ulang karena pengobatan sebelumnya gagal, ditandai dengan sputum BTA-
nya tetap positif setelah mendapatkan obat anti tuberkulosis pada akhir
bulan ke 5.
c) Kasus defaulted atau drop out : pasien yang telah menjalani pengobatan ≥
1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih
sebelum masa pengobatannya selesai.
3) Kasus kronik : pasien yang sputum BTA-nya tetap positif setelah pengobatan
ulang lengkap yang disupervisi dengan baik.(3)
II.7 Gejala Klinis
II.7.1 Gejala Respiratori
1) Batuk / Batuk Darah  Gejala utama pasien TB paru adalah batuk
berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk terjadi karena adanya iritasi
pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk
radang keluar. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif)
kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan
sputum). Keadaan lanjut adalah batuk darah (hemoptisis). (3) Kavitas dapat
menjadi sumber hemoptisis mayor. Menetapnya arteri pulmonalis terminal
didalam kavitas dapat menjadi sumber perdarahan yang hebat (aneurisma
Rasmussen). Penyebab perdarahan lainnya adalah aspergiloma pada
kavitas tuberkulosis kronik.(4)
2) Sesak Napas  Dirasakan pada penyakit yang sudah lanjut, yang
infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.
3) Nyeri dada  Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke
pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura
sewaktu pasien menarik / melepaskan nafasnya.
II.7.2 Gejala Sistemik
1) Demam  Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi
kadang-kadand panas badan dapat mencapai 40-41°C. Serangan demam
pertama dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali.
Begitulah seterusnya, sehingga pasien tidak pernah merasa terbebas dari
serangan demam influenza.
2) Malaise  Gejala malaise yang sering ditemukan berupa anoreksia tidak
nafsu makan, badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala,
meriang, nyeri otot, keringat malam, dan lain-lain. Gejala malaise ini
makin lama makin berat dan hilang timbul secara tidak teratur.(3)
II.7.3 Gejala Tuberkulosis Ekstraparu
Gejala tergantung pada organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis TB
akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening,
pada meningitis TB akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis TB
terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga
pleuranya terdapat cairan.(5)
II.8 Pemeriksaan Fisik(5)
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung kelainan struktur
paru. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama
daerah apeks dan segmen posterior, serta daerah apeks lobus inferior. Dapat
ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki
basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.
Pada pleuritis tuberkulosis, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari
banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada
asukultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang
terdapat cairan.
Pada limfadenitis tuberkulosis, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,
tersering di daerah leher, kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar
tersebut menjadi cold abcess.
II.9 Manifestasi Klinis Tuberkulosis Ekstrapulmonal(4)
1) Pleuritis dengan Efusi  Pleuritis dengan efusi terjadi bila rongga pleura
terinfeksi oleh M. tuberculosis. Setelah infeksi primer perifer, rongga pleura
dapat terkontaminasi dengan organisme yang diangkut melalui aliran limfe ke
pleura dan kemudian melintasi permukaan paru ke hilus. Efusi pleura terjadi,
kadangkala massif, biasanya dengan nyeri pleura yang amat sangat. Efusi
terjadi plaing sering unilateral, tetapi tidak selalu. Efusi bersifat eksudatif,
dan gambaran cairan pleura yang paling khas adalah konsentrasi protein yang
lebih dari 3,0 g/dL. Biopsi jarum pada pleura parietal dapat mengungkap
adanya granuloma, yang menguatkan diagnosis pleuritis tuberkulosis.Respons
terhadap kemoterapi baik. Pengeluaran seluruh cairan pleura tidak diperlukan.
Pada kasus yang jarang diperlukan dekortikasi secara bedah. Fistula
bronkopleura dan empiema tuberculosis merupakan penyulit yang sangat
berbahaya pada tuberculosis yang tidak diobati akibat terjadinya ruptur lesi
paru ke salam rongga pleura. Diagnosis biasanya tidak sukar, dan basil tahan
asam biasanya dengan mudah tampak pada eksudat pleura. Pengobatan terdiri
dari drainase secara bedah dan kemoterapi yang adekuat.
2) Peritonitis dan Perikarditis tuberculosis  Pericardium dan peritoneum dapat
menjadi tempat tuberkulosis. Perikarditis kadang terjadi bersama dengan
pleuritis. Yang lebih sering, perikardium terinfeksi akibat drainase dari
kelenjar limfe yang terinfeksi. Terjadilah efusi eksudatif, dan pasien datang
dengan demam dan nyeri perikardial. Bisa didapati bising gesek (friction
rub). Diagnosis perikarditis tuberkulosis sering sukar dan kadang-kadang
memerlukan torakotomi untuk melakukan biopsi perikardial. Peritonitis
tuberculosis disebabkan penyebaran secara hematogen pada peritoneum atau
jalan masuk basilus dari sumber organ kemih kelamin atau limfatik abdomen.
Diagnosisnya seringkali sukar. Mungkin diperlukan biopsi secara bedah
untuk menegakkan diagnosis.
3) Tuberkulosis Meningeal  Infeksi kronik ini berwujud tidak saja sebagai
tanda meningeal tetapi sering juga sebagai tanda saraf kranialis. Yang khas
pada cairan serebrospinal adalah kandungan protein yang tinggi, glukosa
rendah, dan limfositosis. Kemoterapi yang efektif adalah isoniazid, rifampisin
dan etambutol. Tuberkuloma pada selaput otak atau otak dapat menjadi nyata
pada orang dewasa, beberapa tahun setelah infeksi primer, dan kejang
seringkali menjadi manifestasi utamanya.
4) Tuberkulosis Laring dan Endobronkial  Tuberkulosis laring biasanya
didapati bersama dengan penyakit paru yang sudah sangat lanjut. Penyakit
terjadi akibat terinfeksinya permukaan mukosa selama ekspektorasi. Penyakit
berkembang dari laringitis superficial menjadi tukak dan granuloma. Suara
parau merupakan gejala utama. Dengan cara yang sama, mukosa bronkus
dapat terkena yang menyebabkan bronchitis tuberculosis. Batuk dan
hemoptisis minor merupakan manifestasi klinis utama. Pasien dengan
laringitis tuberkulosis dan bronchitis yang luas biasanya sangat infeksius.
5) Tuberkulosis Tulang  Penyakit yang mengenai tulang dan sendi bukanlah
manifestasi tuberculosis yang jarang. Penyakit Pott, yaitu tuberculosis tulang
belakang, biasanya mengenai vertebra midtorakal. Basilus tuberkel mencapai
vertebra secara hematogen atau melalui saluran limfatik dari rongga pleura ke
kelenjar limfe paravertebra(). Gejala awal yang paling umum adalah nyeri
punggung yang mungkin ada selama berminggu-minggu atau bulan sebelum
diagnosis. Tuberculosis sendi paling sering mengenai sendi penopang berat
badan yag besar seperti panggul dan lutut. Tuberkulosis sendi berespon baik
terhadap imobilisasi dan kemoterapi. Sinovitis tuberkulosa dapat terjadi
sendiri atau bersama arthritis tuberkulosa.
6) Tuberkulosis Genitourinarius  Tuberkulosis ginjal biasanya berawal dari
hematuria dan piuria mikroskopik dengan biakan urin yang steril. Diagnosis
dapat ditegakkan dengan ditemukannya basilus tuberkel pada biakan urin.
Seiring dengan berkembangnya penyakit, terjadi kavitas parenkim ginjal.
Dengan kemoterapi yang adekuat, pengangkatan ginjal secara bedah hamper
tidak diperlukan. Ureter dan kandung kemih dapat terinfeksi akibat
penyebaran organism lewat tubulus, dan dapat terjadi striktur ureter.
Salpingitis tuberculosis sering mengakibatkan sterilisitas pada perempuan.
Tuberculosis genital pada laki-laki paling sering mengenai prostat, vesika
seminalis dan epididimis. Tuberculosis epididimis dan prostat ditandai oleh
indurasi noduler yang tidak nyeri tekan yang dapat diketahui dari
pemeriksaan fisik. Diagnosis biasanya dibuat dengan kultur basil tahan asam.
7) Adenitis Tuberkulosis  Scrofula merupakan limfadenitis tuberculosis
kronik pada kelenjar limfe leher. Beberapa kelenjar leher munkin terkena
tetapi tempat yang paling sering adalah segitiga anterior leher tepat dibawah
mandibula. Pembesaran kelenjar tuberculosis biasanya kenyal dan tidak nyeri
tekan. Dengan perkembangan penyakit pembesaran kelenjar ini menjadi lebih
keras dan kasar. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan biopsy secara bedah.
8) Tuberkulosis pada AIDS  Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik
utama pada penderita infeksi HIV. Pada pasien yang terinfeksi pertama kali
dengan M. tuberculosis dan kemudian dengan HIV, risiko perkembangan
tuberculosis adalah 5 hingga 10 persen pertahun. Limfosit dan monosit, yaitu
sel-sel pertahanan primer yang dikerahkan untuk infeksi tuberculosis,
dihancurkan oleh HIV. Reaktivasi uji kulit tuberculin dapat tidak ada pada
individu yang terinfeksi HIV yang masih sehat dan bebas gejala klinis AIDS,
sekalipun begitu sebayak dua pertiga persen pasien yang terinfeksi HIV
dengan tuberkulosis memiliki uji kulit tuberkulin positif. Jumlah limfosit T
CD4 pada pasien tuberculosis seropositif-HIV yang khas berada dalam
rentang 150-200 sel per milimeter kubik. Hampir separuh pasien AIDS
dengan tuberculosis memiliki bentuk ekstrapulmonal, dengan limfadenitis
tuberkulosa yang menonjol, biasanya di leher anterior. Hampir setengah
pasien ditemukan gambaran rontgen yang atipik, dengan infiltrate halus yang
difus, infiltrate pneumonik, adenopati hilus, dan infiltrate perihilus, serta
seringkali tampak efusi pleura.
9) Tuberkulosis Saluran Makanan  Lambung sangat resisten terhadap infeksi
tuberculosis. Hal yang jarang, yang biasanya terjadi bersama dengan penyakit
paru yang berkavitas luas dan kecacatan berat, organism yang tertelan
mencapai ileum terminalis, dan sekum sehingga timbul ileitis tuberkulosa.
Diare kronik dan terbentuknya fistula merupakan manifestasi utama, dan
penyakit ini sulit dibedakan dari penyakit Crohn.
10) Tuberkulosis Milier  Tuberkulosis milier disebabkan oleh penyebaran
hematogen yang luas. Cenderung lebih fulminan pada anak daripada orang
dewasa. Yang klasik, tuberculosis milier timbul setelah penyebaran
hematogen sewaktu infeksi primer, dan pasien datang tanpa adanya riwayat
tuberculosis sebelumnya. Lesi timbul serempak diseluruh tubuh. Pasien
menjadi sakit sebelum terdapat perubahan radiografik, yang memakan waktu
4 hingga 6 minggu untuk dapat dikenali. Temuan radiologic yang khas adalah
nodul-nodul halus, tersebar secara uniformis, dan lembut pada kedua
lapangan paru. Temuan ini sering dapat diketahui pertama kali pada foto
toraks lateral, atau foto toraks posteroanterior yang penyinarannya dikurangi.
Diagnosisnya sulit, dan sputum yang dibatukkan jarang mengandung
organisme.
II.10 Pemeriksaan Bakteriologi
1) Sputum  Pemeriksaan sputum adalah penting, karena dengan ditemukannya
kuman BTA, diagnosis tuberculosis sudah dapat dipastikan. Disamping itu
pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan.
Tetapi kadang-kadang tidak mudah untuk mendapat sputum, terutama pasien
yang tidak batuk atau batuk yang non produktif. Dalam hal ini dianjurkan satu
hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan minum air sebanyak +2
liter dan diajarkan melakukan refles batuk. Dapat juga dengan memberikan
tambahan obat-obat mukolitik selama 20-30 menit. Bila masih sulit, sputum
dapat diperoleh dengan cara bronkoskopi diambil dengan brushing atau
(3)
bronchial washing atau BAL (broncho alveolar lavage) Kriteria sputum
BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA
pada satu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5000 kuman dalam 1 mL
sputum. Kuman berbentuk batang yang ramping (diameter kurang dari 0,5
µm), kadang melengkung, sering bermanik-manik polikromatik, seringkali
tampak pada specimen klinis sebagai pasangan atau kelompok beberapa
organism yang terletak bersisian.(4)Untuk pewarnaan sediaan dianjurkan
memakai cara Tan Thiam Hok yang merupakan modifikasi gabungan cara
pulasan Kinyoun dan Gabbet. Cara pemeriksaan sediaan sputum yang
dilakukan adalah :
a) Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop biasa,
b) Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop fluoresens (pewarnaan
khusus),
c) Pemeriksaan dengan biakan (kultur),
d) Pemeriksaan terhadap resistensi obat.
Pemeriksaan dengan mikroskoskop fluoresens dengan sinar ultraviolet
walaupun sensitifitasnya tinggi sangat jarang dilakukan, karena pewarnaan
yang dipakai (auramin-rhodamin) dicurigai bersifat karsinogenik.(3)
Pewarnaan yang lebih pasti adalah dengan karbofluksin, pewarnaan ini
membutuhkan pembacaan yang teliti dengan mikroskop imersi minyak,
basilus tuberkulosa dapat dilihat dengan pembesaran 1000 kali.(4) Pada
pemeriksaan dengan biakan, setelah 4-6 minggu penanaman sputum dalam
medium biakan, koloni kuman tuberkolosis mulai tampak. Bila setelah 8
minggu penanaman koloni tidak juga tampak, biakan dinyatakan negative.
Medium biakan telur yang sering dipakai yaitu Lowenstein Jensen, Kudoh
atau Ogawa.(3) Sementara medium biakan agar adalah Middle Brook.(5)
Kadang-kadang dari hasil pemeriksaan mikroskopis biasa terdapat kuman
BTA (positif), tetapi pada biakan hasilnya negatif. Ini terjadi pada fenomena
dead bacilli, atau non culturable bacilli yang disebabkan keampuhan panduan
obat anti tuberculosis jangka pendek yang cepat mematikan kuman
BTA.panduan obat anti tuberculosis jangka pendek yang cepat mematikan
kuman BTA.(3)

2) Untuk pemeriksaan BTA sediaan mikroskopis biasa dan sediaan biakan,


bahan-bahan selain sputum dapat juga diambil dari :
a) Cairan serebrospinal sebaiknya dianalisis untuk mengetahui kadar
protein dan glukosa (dibandingkan dengan total serum simultan protein
dan glukosa). Jumlah sel darah putih juga harus diperoleh. Protein yang
tinggi (50% dari konsentrasi serum protein), limfositosis, dan glukosa
yang rendah adalah khas meningitis tuberkulosis.(2)
b) Bilasan lambung sering dikerjakan pada anak-anak karena mereka sulit
mengeluarkan dahaknya.(3) Sekitar 50 ml isi lambung harus diaspirasi
pada pag hari, setelah pasien menjalani puasa selama 8-10 jam, dan lebih
baik jika pasien masih di tempat tidur.
c) Cairan pleura, peritoneum, dan perikardial dapat dianalisis untuk
mengetahui kadar protein dan glukosa (dibandingkan dengan total serum
simultan protein dan glukosa). Sel dan diferensial jumlah harus
diperoleh. Protein yang tinggi (50% dari konsentrasi serum protein),
limfositosis, dan glukosa yang rendah biasanya ditemukan pada infeksi
tuberkulosis.
d) Bilasan urin biasanya menunjukkan hasil negatif dan karenanya tidak
efektif untuk dilakukan.(2)
II.11 Pemeriksaan Radiologi
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis
untuk menemukan lesi tuberkulosis serta memberikan keuntungan seperti pada
tuberkulosis anak-anak dan tuberkulosis milier. Pada kedua hal ini diagnosis dapat
diperoleh melalui pemeriksaan radiologis dada, sedangkan pemeriksaan sputum
selalu negatif.(3) Pemeriksaan standar adalah foto toraks posterior-anterior.
Gambaran yang dicurigai sebagi lesi tuberkulosis aktif adalah :
1) Pada segmen apikal dan posterior lobus atas paru serta segmen superior lobus
bawah paru ditemukan berupa bercak-bercak seperti awan / nodular(5)
2) Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mula-mula berdinding tipis.
Lama-lama dinding jadi sklerotik dan terlihat menebal,
3) Bayangan bercak milier, berupa bercak-bercak halus yang umumnya tersebar
merata pada seluruh lapangan paru,(3)
4) Efusi pleura unilateral atau bilateral.
Gambaran radiologis yang dicurigai lesi tuberkulosis inaktif adalah :
1) Fibrotik, terlihat bayangan yang bergaris-garis,
2) Kalsifikasi, terlihat seperti bercak-bercak padat dengan densitas tinggi,
3) Schwarte atau penebalan pleura.(5)
Gambaran radiologis lain yang sering menyertai tuberkulosis paru adalah
bayangan hitam radio-ulsen di pinggir paru atau pleura (pneumotoraks) dan
atelektasis yang terlihat seperti fibrosis yang luas disertai penciutan yang dapat
terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun pada satu bagian paru. Berdasarkan
luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat
dinyatakan sebagai berikut :
1) Tuberkulosis minimal. Terdapat sebagian kecil infiltrat nonkavitas pada satu
paru maupun kedua paru, tetapi jumlahnya, tidak melebihi satu lobus paru.
2) Moderately advanced tuberculosis. Ada kavitas dengan diameter tidak lebih
dari 4 cm. Jumlah infiltrat bayangan halus tidak lebih dari satu bagian paru.
Bila bayangannya kasar tidak lebih dari sepertiga bagian paru.
3) Far advanced tuberculosis. Terdapat infiltrat dan kavitas yang melebih
keadaan pada moderately advanced tuberculosis (3)
II.12 Tes Tuberkulin Intradermal (Mantoux)
Pemeriksaan ini masih banyak dipakai utuk membantu menegakkan
diagnosis tuberkulosis terutama pada anak-anak (balita).(3) Teknik standar tes
Mantoux adalah dengan menyuntikkan tuberkulin PPD (Purified Protein
Derivative) sebanyak 0,1 ml yang mengandung 5 T.U. tuberkulin secara
intrakutan, pada sepertiga atas permukaan volar atau dorsal lengan bawah setelah
kulit dibersihkan dengan alkohol. Jarum dipegang dengan permukaan miring
diarahkan ke atas dan ujungnya dimasukkan ke bawah permukaan kulit. Akan
terbentuk satu gelembung berdiameter 6-10 mm yang menyerupai gigitan nyamuk
bila dosis 0,1 ml disuntikkan dengan tepat dan cermat.(6)
Untuk memperoleh reaksi kulit yang maksimum diperlukan waktu antara
48-72 jam sesudah penyuntikan dan reaksi harus dibaca dalam periode tersebut,
yaitu dalam cahaya yang terang dan posisi lengan bawah sedikit ditekuk. Hanya
indurasi (pembengkakan yang teraba) dan bukan eritem yang bernilai. (6) Hasil tes
mantoux ini dibagi dalam :
1) Indurasi berdiameter 0-5 mm : Mantoux negatif
2) Indurasi berdiameter 6-9 mm : hasil meragukan
3) Indurasi berdiameter 10-15 mm : Mantoux positif
4) Indurasi berdiameter > 15 mm : Mantoux positif kuat
5) Untuk pasien dengan HIV positif, tes mantous ± 5 mm, dinilai positif.
Tes Mantoux hanya menyatakan apakah seseorang individu sedang atau
pernah mengalami infeksi M. tuberculosis, M. bovis, vaksinasi BCG dan
Mycobacteria patogen lainnya. Dasar tes tuberkulin ini adalah reaksi alergi tipe
lambat. Biasanya hampir seluruh pasien tuberkulosis memberikan reaksi Mantoux
yang positif (99,8%). Kelemahan tes ini juga terdapat positif palsu yakni pada
pemberian BCG atau terinfeksi Mycobacterium lain. Negatif palsu lebih banyak
dijumpai daripada positif palsu. Hal-hal yang memberikan reaksi tuberkulin
berurang (negatif palsu yakni :
1) Pasien yang baru 2-10 minggu terpajan tuberkulosis.
2) Penyakit sistemik berat (Sarkoidosi, LE),
3) Penyakit eksantematous dengan panas yang akut : morbili, cacar air,
poliomielitis,
4) Reaksi hipersensitivitas menurun pada penyakit Hodgkin.
5) Pemberian kortikosteroid yang lama,
6) Usia tua, malutrisi, uremia, penyakit keganasan.(3)
II.13 Pemeriksaan Khusus
Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya
waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkuloasis secara
konvensional. Dalam perkembangan terkini ada beberapa teknik yang lebih baru
yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat.
1) Pemeriksaan Bactec  Saat ini sedang dikembangkan pemeriksaan biakan
sputum BTA dengan cara Bactec 400 Radiometric System, dimana kuman
sudah dapat dideteksi dalam 7-10 hari. (3) Dasar teknik pemeriksaan Bactec
ini adalah mretode radiometrik. M. tuberculosis memetabolisme asam lemak
yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya
oleh mesin ini. Bentuk lain teknik ini adalah dengan menggunakan
Mycobacteria Growth Indicator Tube (MGIT).(5)
2) Polymerase Chain Reaction (PCR)  Pemeriksaan PCR adalah teknologi
canggih yang dapat mendeteksi DNA, termasuk DNA M. tuberculosis.
Salah satu masalah dalam pelaksanaan tekni ini adalah kemungkinan
kontaminasi.apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak
ada yang menunjang ke arah diagnosis tuberkulosis, maka hasil tersebut tidak
dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis tuberkulosis. Bahan /
spesimen pemeriksaan dapat berasal dari paru maupun ekstraparu sesuai
dengan organ yang terlibat.
3) Pemeriksaan serologi dengan berbagai metode, antara lain:
a) Immunochromatographic Tuberculosis (ICT TB)  Uji ICT TB adalah uji
seologi untuk mendeteksi antibodi M. tuberculosis dalam serum. Uji ICT
TB merupakan uji diagnostik yang menggunakan antigen spesifik yang
berasal dari membran sitoplasma M. tuberculosis, diantaranya antigen M.
tb 38 kDa. Ke 5 antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis
melintang pada membran immunokromatografik (2 antigen diantaranya
digabung dalam satu garis) disamping garis kontrol. Serum yang akan
diperiksa sebanyak 30 µl diteteskan ke bantalan warna biru. Kemudian
serum akan berdifusi melewati garis antigen. apabila serum mengandung
antibodi terhadap M. tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan
antigen dan membentuk garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif
jika setelah 15 menit terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari 4 garis
antigen pada membran.(5)
b) Uji Peroksidase Anti Peroksida  Prinsip dasar dari uji ini adalah
menentukan adanya antibodi IgG yang spesifik terhadap antigen M.
tuberculosis. Sebagai antigen dipakai polimer sitoplasma M. tuberculin var
bovis BCG yang dihancurkan secara ultrasonik dan dipidahkan secara
ultrasentrifus. Hasil uji PAP TB dinyatakan patologis bila pada titer 1:
10000 didapatkan hasil uji PAP TB positif. Oleh beberapa peneliti
mendapatkan nilai spesifisitas dan sensitivitasnya cukup tinggi (85-95%),
tetapi kurang bermanfaat bila digunakan sebagai sarana tunggal untuk
diagnosis tuberculosis.(3)
c) Mycodot  Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh
manusia. Uji ini menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang
direkatkan pada suatu alat yang barbetuk sisir plastik. Sisir plastik ini
kemudian dicelupkan ke dalam serum pasien. Antibodi spesifik anti LAM
dalam serum akan terdeteksi sebagai perubahan warna pada sisir yang
intensitasnya sesuai dengan antibodi.
II.14 Pemeriksaan Penunjang Lain
1) Pemeriksaan Histopatologi Jaringan  Pemeriksaan histopatologi dilakukan
untuk membantu menegakkan diagnosis tuberkulosis. Bahan jaringan dapat
diperoleh melalui biopsi atau otopsi, yaitu :
a) Biopsi aspirasi dengan jarum halum (BJH) kelenjar getah bening (KGB),
b) Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum Abram, Cope dan
Veen Silverman),
c) Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy / TBLB) dengan
bronkoskopi,
d) Biopsi atau aspirasi pada lesi organ di luar paru yang dicurigai
tuberkulosis.
e) Otopsi
Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil dua sediaan, satu sediaan
dimasukkan ke dalam larutan salin dan di kirim ke laboratorium mikrobiologi
untuk dikultur, serta sediaan yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan
histologi.(5)
2) Pemeriksaan Darah  Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan
indikator yang spesifk untuk tuberkulosis. Pada saat tuberkulosis baru mulai
(aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung
jenis pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih dibawah normal. Laju endap
darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali
normal, dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun ke
arah normal lagi.(3)

BAB III
PENATALAKSANAAN TUBERKULOSIS

Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif 2-3


bulan dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. (5) Pengobatan TB bertujuan untuk
menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan,
memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap
OAT. (1)

III.1 Obat Anti Tuberkulosis

Obat yang dipakai :

1) Jenis obat utama (lini 1) :


INH, Rifampisin, Pirazinamid, Etambutol, Streptomisin.

2) Jenis obat tambahan lainnya (lini 2) :


Kamaisin, PAS (para amino salicylic acid), Ofloksasin, Tiasetazon,
Etionamid, Sikloserin, Protionamid, Viomisin, Kapreomisin, Amikasin,
Norfloksasin, Levofloksasin, Klofazimin. (3)

Kemasan :
1) Obat tunggal : obat disajikan secara terpisah.
Tabel 2. Jenis dan dosis OAT

Dosis Obat (mg)


Berat
Rifampisin INH Pirazinamid Etambutol Streptomisin
Badan
(R) (H) (Z) (E) (S)

< 40 300 150 750 750 Sesuai BB

40-60 450 300 1000 1000 750

>60 600 450 1500 1500 1000

2) Obat kombinasi dosis tetap/KDT (Fixed Dose Combination-FDC)


Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet. In
ternational union Againts Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan
WHO menyarankan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan
kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998. Dosis
obat kombinasi tetap berdasarkan WHO seperti terlihat pada berikut: (1)

Tabel 3. Dosis OAT KDT

Tahap Lanjutan
Tahap Intensif
Berat 3 kali seminggu selama 16
tiap hari selama 56 hari
Badan minggu
RHZE (150/75/400/275)
RH (150/150)

30-37 2 tablet 2 tablet

38-54 3 tablet 3 tablet

55-70 4 tablet 4 tablet

>71 5 tablet 5 tablet

Obat kombinasi dosis tetap mempunyai beberapa keuntungan , yaitu :


a) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin
efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
b) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya
resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep
c) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat
menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien.
d) Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang
benar dan standar.(1)
III.2 Paduan obat Anti Tuberkulosis
Menurut buku Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia
pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi: (5)

1) Pasien kasus baru TB paru dengan BTA positif, dan TB dengan BTA negatif
beserta gambaran foto toraks lesi luas (termasuk luluh paru). Paduan obat
yang dianjurkan : 2RHZE/4RH atau 2RHZE/4R3H3atau 2RHZE/6HE.
Pengobatan fase inisial resimennya 2HRZE, maksudnya Rifampisin (R),
Isoniazid (H), Pirazinamid (Z) dan Etambutol (E) diberikan setiap hari selama
dua bulan. Kemudian diteruskan ke fase lanjutan 4RH atau 4R3H3 atau 6HE,
maksudnya Rifampisin dan Isoniazid diberikan selama empat bulan setiap
hari atau tiga kali seminggu, atau diberikan selama 6 bulan. Bila ada fasilitas
biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji resistensi.
2) Pasien baru TB paru dengan BTA negatif beserta gambaran foto toraks lesi
minimal. Panduan obat yang dianjurkan : 2RHZE/4RH atau 2RHZE/4R3H3
atau 6RHE
3) Pasien TB paru kasus kambuh. Sebelum ada hasil uji resistensi dapat
diberikan 2RHZES/1RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi.
Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan RHE selama 5 bulan.
4) Pasien TB paru kasus gagal pengobatan. Paduan obat yang dianjurkan :
2RHZES/1RHZE/5RHE. Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya
diberikan obat lini 2 (contoh paduan : 3-6 bulan kanamisin, ofloksasin,
etionamid, sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin, etionamid,
sikloserin). Dalam keadaan tidak memungkinkan fase awal dapat diberikan
2RHZES/1RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak
terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan RHE selama 5 bulan.
5) Pasien TB kasus putus obat. Paduan obat yang disediakan oleh Program
Nasional TB : 2RHZES/1RHZE/5R3H3E3. Pasien TB paru kasus lalai
berobat akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan kriteria berikut :
a) Berobat < 4 bulan  Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal
dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang
lebih lama. Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif, TB aktif
pengobatan diteruskan.
b) Berobat ≥ 4 bulan  Bila BTA saat ini negatif, klinis dan radiologi tidak
aktif atau ada perbaikan maka pengobatan OAT dihentikan. Bila
gambaran radiolologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk
memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga kemungkinan
penyakit paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal
dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang
lebih lama. Bila BTA saat ini positif, pengobatan dimulai dari awal
dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang
lebih lama.
6) Pasien TB paru kasus kronik. Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum
ada hasil uji resistensi berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi,
sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minimal terdapat 4 macam OAT yang
masih sensitif) ditambah dengan obat lini 2 seperti kuinolon, betalaktam,
makrolid, dan lain-lain. Pengobatan minimal selama 18 bulan. Jika tidak
mampu dapat diberikan INH seumur hidup. Pertimbangkan pembedahan
untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan. Kasus TB paru kronik
perlu dirujuk ke dokter spesialis paru.
Sedangkan menurut buku Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis
pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi: (1)

1) Kategori-1 (2HRZE/ 4R3H3). Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
a) Pasien baru TB paru BTA positif.
b) Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
c) Pasien TB ekstra paru
2) Kategori -2 (2RHZES/ RHZE/5R3H3E3). Paduan OAT ini diberikan untuk
pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:
a) Pasien kambuh
b) Pasien gagal
c) Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
Tabel 4. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2

Tahap Lanjutan
Tahap Intensif
3 kali seminggu
tiap hari
Berat RH (150/150) +
Badan RHZE (150/75/400/275) + S
E(400)

Selama 28
Selama 56 hari selama 20 minggu
hari

2 tab 4KDT + 500 mg 2 tab 2KDT


30-37 2 tab 4KDT
Streptomisin inj. + 2 tab Etambutol

3 tab 4KDT + 750 mg 3 tab 2KDT


38-54 3 tab 4KDT
Streptomisin inj + 3 tab Etambutol

4 tab 4KDT + 1000 4 tab 2KDT


55-70 4 tab 4KDT
mg Streptomisin inj. + 4 tab Etambutol

5 tab 4KDT + 1000mg 5 tab 2KDT


>71 5 tab 4KDT
Streptomisin inj. + 5 tab Etambutol

3) Efek samping obat yang terjadi dapat ringan atau berat, bila efek samping
ringan dan dapat diatasi dengan obat simptomats maka pemberian OAT dapat
dilanjutkan. Tabel berikut, menjelaskan efek samping ringan maupun berat
dengan pendekatan gejala. (1)
Tabel 5. Efek samping ringan OAT

Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan

Tidak ada nafsu Rifampisin Semua OAT diminum malam


makan, mual, sakit sebelum tidur
perut

Nyeri Sendi Pirasinamid Beri Aspirin

Kesemutan s/d rasa INH Beri vitamin B6 (piridoxin)


terbakar di kaki 100mg per hari

Warna kemerahan pada Rifampisin Tidak perlu diberi apa-apa, tapi


air seni (urine) perlu penjelasan kepada pasien

Tabel 6. Efek samping berat OAT

Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan

Gatal dan kemerahan Semua jenis OAT Ikuti petunjuk


kulit penatalaksanaan dibawah *).

Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan, ganti


Etambutol.

Gangguan Streptomisin Streptomisin dihentikan, ganti


keseimbangan
Etambutol

Ikterus tanpa Hampir semua Hentikan semua OAT sampai


penyebab lain
OAT ikterus menghilang.

Bingung dan muntah- Hampir semua Hentikan semua OAT, segera


muntah (permulaan
ikterus karena obat OAT lakukan tes fungsi hati.

Gangguan Etambutol Hentikan Etambutol.


penglihatan

Purpura dan syok Rifampisin Hentikan Rifampisin.

Penatalaksanaan pasien dengan efek samping “gatal dan kemerahan kulit”: Jika
seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal singkirkan
dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-histamin, sambil meneruskan
OAT dengan pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada sebagian pasien hilang,
namun pada sebagian pasien malahan terjadi suatu kemerahan kulit. Bila keadaan
seperti ini, hentikan semua OAT. Tunggu sampai kemerahan kulit tersebut hilang.
Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu dirujuk. (1)

III.3 Directly Obeserved Treatment Short Course (DOTS)

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa kunci


keberhasilan program penanggulagan tuberkulosis adalah dengan menerapkan
strategi DOTS yang juga telah dianut oleh negara kita. Karena itu pemahaman
tentang DOTS merupakan hal yang sangat penting agar tuberkulosis dapat
ditanggulangi dengan bak. DOTS memiliki lima komponen, yaitu :

1) Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional,


2) Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung, dikenal
dengan istilah DOT (Directly Obsered Therapy),
3) Pengadaan OAT secara berkesinambungan,
4) Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang baku / standar.

Terdapat 6 elemen kunci dalam startegi stop TB yang direkomendasi oleh WHO :

1) Peningkatan dan ekspansi DOTS yang bermutu, meningkatkan penemuan


kasus dan penyembuhan melalui pendekatan yang efektif terhadap seluruh
pasien terutama pasien tidak mampu.
2) Memberikan perhatian pada kasus TB-HIV, Multi Drug Resistance
(MDR)-TB, dengan aktivitas gabungan TB-HIV, DOTS-PLUS, dan
pendekatan-pendekatan lain yang relevan.
3) Konstribusi pada sistem kesehatan dengan kolaborasi bersama program
kesehatan yang lain dan pelayanan umum.
4) Melibatkan seluruh praktisi kesehatan, masyarakat, swasta dan non
pemerintah dengan pendekatan Public-Private Mix (PPM) untuk mematuhi
International Standarts of TB care.
5) Mengikutsertakan pasien dan masyarakat yang berpengruh untuk
berkontribusi pada pemeliharaan kesehatan yang efektif.
6) Memunkinkan dan meningkatkan penelitian untuk pengembangan obat
baru, alat diagnostik, dan vaksin. Penelitian juga dibutuhkan untuk
meningkatkan keberhasilan program.
Dalam melaksanakan DOT, sebelum pengobatan pertama kali dimulai, pasien
diberikan penjelasan bahwa harus ada seorang pengawasan menelan obat (PMO)
dan PMO tersebut harus ikut hadir di poliklinik untuk mendapatkan penjelasan
tentang DOT.(5) Persyaratan untuk menjadi seorang PMO :

1) Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas


kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh
pasien.
2) Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
3) Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
4) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan
pasien
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan di desa, perawat,
pekarya, sanitarian, juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas
kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru,
anggota Perhimpunan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI), PKK, atau
tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga. Tugas seorang PMO adalah :

1) Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai


pengobatan.
2) Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
3) Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah
ditentukan.
4) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai
gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit
Pelayanan Kesehatan.
5) Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien
mengambil obat dari unit pelayanan kesehatan (UPK).
Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien
dan keluarganya:

1) TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan


2) TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur
3) Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara
pencegahannya
4) Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan)
5) Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur
6) Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta
pertolongan ke UPK.(1)
III.4 Pengobatan tuberculosis pada keadaan khusus(1)

1) Kehamilan dan menyusui  Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan


tidak berbeda dengan Pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir
semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak
dapat dipakai pada kehamilan karena bersifat permanent ototoxic dan dapat
menembus barier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya
gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan
dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan
pengobatannya sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan
lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB.
Tidak ada indikasi penguguran pada pasien TB dengan kehamilan. Pada
prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan
pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui.
Seorang ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT
secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk
mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu
dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan
dengan INH diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.
2) Pasien TB pengguna kontrasepsi Rifampisin berinteraksi dengan
kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk KB), sehingga dapat
menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang pasien TB sebaiknya
mengggunakan kontrasepsi non-hormonal, atau kontrasepsi yang
mengandung estrogen dosis tinggi (50 mcg).
3) Pasien TB dengan hepatitis akut  Pemberian OAT pada pasien TB dengan
hepatitis akut dan atau klinis ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya
mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan Tb sangat
diperlukan dapat diberikan streptomisin (S) dan Etambutol (E) maksimal 3
bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampisin
(R) dan Isoniasid (H) selama 6 bulan.
4) Pasien TB dengan kelainan hati kronik  Bila ada kecurigaan gangguan faal
hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum pengobatan Tb. Kalau SGOT
dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali OAT tidak diberikan dan bila telah
dalam pengobatan, harus dihentikan. Kalau peningkatannya kurang dari 3
kali, pengobatan dapat dilaksanakan atau diteruskan dengan pengawasan
ketat. Pasien dengan kelainan hati, Pirasinamid (Z) tidak boleh digunakan.
Paduan OAT yang dapat dianjurkan (rekomendasi WHO) adalah 2RHES/6RH
atau 2HES/10HE.
5) Pasien TB dengan gagal ginjal  Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan
Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi melalui empedu dan dapat dicerna menjadi
senyawa-senyawa yang tidak toksik. OAT jenis ini dapat diberikan dengan
dosis standar pada pasien-pasien dengan gangguan ginjal. Streptomisin dan
Etambutol diekskresi melalui ginjal, oleh karena itu hindari penggunaannya
pada pasien dengan gangguan ginjal. Apabila fasilitas pemantauan faal ginjal
tersedia, Etambutol dan Streptomisin tetap dapat diberikan dengan dosis yang
sesuai faal ginjal. Paduan OAT yang paling aman untuk pasien dengan gagal
ginjal adalah 2HRZ/4HR.
6) Pasien TB dengan Diabetes Melitus  Diabetes harus dikontrol. Penggunaan
Rifampisin dapat mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea)
sehingga dosis obat anti diabetes perlu ditingkatkan. Insulin dapat digunakan
untuk mengontrol gula darah, setelah selesai pengobatan TB, dilanjutkan
dengan anti diabetes oral. Pada pasien Diabetes Mellitus sering terjadi
komplikasi retinopati diabetika, oleh karena itu hati-hati dengan pemberian
etambutol, karena dapat memperberat kelainan tersebut. Apabila kadar gula
darah tdak terkontrol, maka lama pengobatan dapat dilanjutkan sampai 9
bulan.
7) Pasien TB Milier  Paduan obat yang diberikan adalah 2RHZE/4RH dan
diindikasikan untuk rawat inap. Pada gejala meningitis, sesak napas, gejala
toksik, dan demam tinggi dapat diberikan kortikosteroid prednison dengan
dosis 30-40 mg per hari kemudian diturunkan secara bertahap.
8) Pasien Efusi Pleura TB  Paduan obat yang diberikan adalah 2RHZE/4RH.
Evakuasi cairan dilakukan seoptimal mungkin, sesuai keadaan pasien dan
dapat diberikan kortikosteroid. Hati-hati pemberian kortikosteroid pada TB
dengan lesi luas dan DM. Evakuasi cairan dapat diulang jika diperlukan.
9) Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (reseksi paru), adalah:
a) Untuk TB paru:
 Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara
konservatif.
 Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat
diatasi secara konservatif.
 Pasien MDR TB dengan kelainan paru yang terlokalisir
b) Untuk TB ekstra paru: Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi,
misalnya pasien TB tulang yang disertai kelainan neurologik.
10) Pasien TB dengan infeksi HIV/AIDS  Tatalaksanan pengobatan TB pada
pasien dengan infeksi HIV/AIDS adalah sama seperti pasien TB lainnya.
Obat TB pada pasien HIV/AIDS sama efektifnya dengan pasien TB yang
tidak disertai HIV/AIDS. Prinsip pengobatan pasien TB-HIV adalah dengan
mendahulukan pengobatan TB. Pengobatan ARV(antiretroviral) dimulai
berdasarkan stadium klinis HIV sesuai dengan standar WHO. Penggunaan
suntikan Streptomisin harus memperhatikan Prinsip-prinsip Universal
Precaution (Kewaspadaan Keamanan Universal). Pengobatan pasien TB-HIV
sebaiknya diberikan secara terintegrasi dalam satu UPK untuk menjaga
kepatuhan pengobatan secara teratur. Pasien TB yang berisiko tinggi
terhadap infeksi HIV perlu dirujuk ke pelayanan VCT (Voluntary Counceling
and Testing = Konsul sukarela dengan test HIV).
11) Tuberculosis pada organ lain  Paduan OAT untuk pengobatan tuberculosis
di berbagai organ tubuh sama dengan TB paru menurut ATS, misalnya lama
pengobatan untuk TB tulang, TB sendi, dan TB kelenjar adalah 9-12 bulan.
Paduan OAT yang diberikan adalah : 2HRZE/7-10RH
III.5 Pemantauan kemajuan pengobatan TB

1) Evaluasi bakteriologi  Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang


dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis.
Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan
pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap
Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena
tidak spesifik untuk TB. Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan
pemeriksaan specimen sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil
pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen tersebut negatif. Bila
salah satu specimen positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang
dahak tersebut dinyatakan positif. Pemeriksaan dan evaluasi pemeriksaan
mikroskopis dilakukan saat sebelum pengobatan dimulai, setelah 2 bulan
pengobatan (setelah fase intensif) dan pada akhir pengobatan.Tindak lanjut
hasil pemriksaan ulang dahak mikroskopis dapat dilihat pada tabel di bawah
ini.(1)

Tabel 7. Tindakan lanjut hasil pemeriksaan ulang dahak.

Tipe Hasil
Uraian Tindak Lanjut
Pasien TB BTA

Pasien baru Akhir tahap Negatif Tahap lanjutan dimulai.


BTA positif
dengan Intensif Positif Dilanjutkan dengan OAT
sisipan
pengobatan
selama 1 bulan. Jika setelah
kategori 1 sisipan
masih tetap positif, tahap
lanjutan
tetap diberikan

Sebulan sebelum Negatif Sembuh.


Akhir keduanya
Pengobatan atau Positif Gagal, ganti dengan OAT
Akhir Kategori
Pengobatan (AP) 2 mulai dari awal.
Pasien baru Akhir intensif Negatif Berikan pengobatan tahap
lanjutan
BTA (-) &
Rö (+) sampai selesai, kemudian
dengan pasien
pengobatan dinyatakan Pengobatan
Lengkap.
kategori 1
Positif Ganti dengan Kategori 2
mulai dari
awal.

Penderita Akhir intensif Negatif Teruskan pengobatan


baru BTA dengan tahap
positif
lanjutan.
dengan
Positif Beri Sisipan* 1 bulan. Jika
pengobatan setelah
ulang sisipan masih tetap positif,
teruskan
kategori 2
pengobatan tahap lanjutan.
Jika ada
fasilitas, rujuk untuk uji
kepekaan
obat.

Sebulan sebelum Negatif Sembuh.


Akhir keduanya
Pengobatan atau Positif Belum ada pengobatan,
Akhir disebut
Pengobatan (AP) kasus kronik, jika
mungkin, rujuk
kepada unit pelayanan
spesialistik

Tabel 8. Dosis KDT untuk sisipan

Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari


RHZE (150/75/400/275)

30 – 37 kg 2 tablet 4KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT

55 – 70 kg 4 tablet 4KDT

≥ 71 kg 5 tablet 4KDT

2) Evaluasi radiologis  Evaluasi radiologis juga diperlukan untuk melihat


kemajuan terapi. Beberapa ahli kedokteran menyatakan evaluasi radiologis
ini sebenarnya kurang begitu berperan dalam evaluasi penyakitnya. Bila
fasilitas memungkinkan foto control dapat dibuat pada akhir pengobatan
sebagai dokumentasi bila nanti timbul kasus kambuh. Jika keluhan pasien
tidak berkurang, dengan pemeriksaan radiologis dapat keadaan tuberculosis
parunya atau adakah penyakit lain yang menyertainya. Karena perubahan
gambaran radiologis tidak secepat perubahan bakteriologis, evaluasi foto
dada dilakukan tiap 3 bulan sekali.(5)
3) Evaluasi efek sampi secara klinis.
a) Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal,
dan darah lengkap. Fungsi hati : SGOT, SGPT, bilirubin. Fungsi ginjal :
ureum, kreatinin, dan gula darah, serta asam urat untuk data dasar
penyakit peyerta atau efek samping pengobatan.
b) Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid.
c) Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila
ada keluhan)
d) Pasien yang mendapat streptomisin harus diuji keseimbangan dan
audiometric (bila ada keluhan)
Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal
tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinis kemungkinan terjadi efek
samping obat. Bila pada evaluasi klinis dicurigai terdapat efek samping, maka
dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penangan
efek samping obat sesuai pedoman.
4) Evaluasi pasien yang telah sembuh  Pasien TB yang telah dinyatakan
sembuh sebaiknya tetap dievaluasi minimal dalam 2 tahun pertama setelah
sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang
dievaluasi adalah mikroskopis BTA dahak dan foto toraks. Mikroskopis BTA
dahak 3, 6, 12, dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada gejala) setelah
dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan
sembuh (bila ada kecurigaan TB kambuh).
III.6 Kriteria sembuh dari TB
1) BTA mikroskopis negatif dua kali (pada akhir fase itensif dan akhir
pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat.
2) Pada foto toraks, gambaran radiologi serial tetap sama/perbaikan.
3) Bila ada fasilitas biakan, maka criteria ditambah biakan negatif

BAB III
KESIMPULAN

1. Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik menunjukkan Tn.Y menderita


tuberkulosis paru kasus karena sesak napas hingga berlangsung sepanjang
hari terus menerus dan mengganggu. Serta batuk berdahak, serta dari
pemeriksaan mantoux tes menunjukkan hasil yang positif. napas 24x/menit,
nadi 88 ×/menit, dan didapatkan Ronkhibasah kasar pada basal paru saat
auskultasi paru,
2. Peningkatan neutrofil segmen pada hasil laboratorium menunjukkan adanya
tanda infeksi akut.
3. Terapi yang diberikan adalah terapi untuk penurun tekanan darah tinggi, serta
terapi untuk penyakit bjantung penderita, untuk tuberkulosis paru diberikan
2RHZE + 4R3H3 serta edukasi kepada keluarga serta pasien.
DAFTAR PUSTAKA

1. Abdul A, et all. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis ed 2.


Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007.
2. American Thorachic Society. Diagnostic Standards and Classification of
Tuberculosis in Adults and Children. Am J Respir Crit Care Med vol 161.
2000; p:1376–1395.
3. Aru W, Bambang S, Idrus A et all. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam vol.2
ed.4. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI,
2006.
4. Isselbacher, Braunwald, Wilson et all. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit
Dalam vol.2 ed.13.Jakarta : EGC, 1999.
5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis : Pedoman Diagnosis dan
Pentalaksanaan di Indonesia. Jakarta : Indah Offset Citra Grafka, 2006.
6. Sylvia A, Loraine M. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
vol.2 ed.6. Jakarta : EGC, 2005.

Anda mungkin juga menyukai