Anda di halaman 1dari 30

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga
laporan kasus dengan judul Asma Ekserbasi Akut ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak
lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Mustafa, selaku pembimbing dalam
penyusunan laporan kasus ini, serta teman-teman sekalian dan pihak-pihak lainnya yang tidak
bisa disebutkan satu persatu.

Harapan penulis semoga laporan kasus ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun
menambah isi laporan kasus ini agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, penulis menyadari bahwa


masih banyak kekurangan dalam laporan kasus ini. Oleh karena itu penulis sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan laporan
kasus ini.
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Penyakit pernapasan tetap menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada

anak-anak. Spektrum penyakit pernafasan adalah luas dan mencakup penyakit atas dan

bawah saluran udara, menular dan jenis non-menular. Penyakit pernapasan dapat

dipengaruhi oleh berbagai / lingkungan dan iklim variasi di berbagai belahan dunia.

Infeksi saluran napas akut (ISPA) adalah infeksi akut yang menyerang salah satu bagian

atau lebih dari saluran napas mulai hidung sampai alveoli termasuk adneksanya (sinus,

rongga telinga tengah, pleura). ISPA merupakan penyakit menular yang sering terjadi

serta merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas pada anak dan balita.

Penyebab ISPA adalah bakteri Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus,

mikrovirus, adenovirus, bahkan polusi udara yang mengandung zat seperti dry basis, ash,

karbon, hidrogen, sulfur, nitrogen dan ozon yang membahayakan kesehatan.

ISPA adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit menular di dunia.

Hampir empat juta orang meninggal akibat ISPA setiap tahun, 98%-nya disebabkan oleh

infeksi saluran pernapasan bawah. Tingkat mortalitas sangat tinggi pada bayi, anak-anak,

dan orang lanjut usia, terutama di negara-negara dengan pendapatan per kapita rendah

dan menengah. Begitu pula, ISPA merupakan salah satu penyebab utama konsultasi atau

rawat inap di fasilitas pelayanan kesehatan terutama pada bagian perawatan anak.

Kelompok usia 6-23 bulan adalah kelompok umur paling rentan untuk mengalami ISPA.

Di negara berkembang, infeksi saluran pernapasan bersama dengan penyakit diare

merupakan penyebab morbiditas masa kanak-kanak utama dan kematian terutama pada
kelompok usia kurang dari lima. Secara global, analisis sistemik beban global meninjau

235 penyebab kematian antara tahun 1990 dan 2010, menemukan pneumonia, penyakit

pernapasan, sebagai penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak-anak berusia di

bawah 5 tahun. Terlepas dari pneumonia, anak-anak mungkin menderita berbagai

penyakit pernafasan mulai dari flu biasa, nasopharyngitis, laringitis, sinusitis,

bronchiolitis, tonsillopharyngitis, asma, TBC, benda asing, aspirasi, dan lain-lain

(Niranjan, 2016).
BAB II

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

 Nama : An R K

 Jenis Kelamin : Perempuan

 Tanggal Lahir : 22 Mei 2015

 Umur : 6 Tahun 7 Bulan

 BB : 30kg

 TB : 116 cm

 Pekerjaan : Masih bersekolah

 Alamat : Ngayunan Kedungringin Beji Kabupaten Pasuruan

 Tgl MRS : 11 Januari 2022

 Tgl Pemeriksaan : 12 Januari 2022

 Tgl KRS : 17 Januari 2022

 No RM : 00451817

B. Anamnesa

1. Keluhan Utama

 Sesak sejak tadi pagi.

2. Riwayat Penyakit Sekarang


 Pasien datang dengan batuk dan sesak sudah dari 3 hari, pada 9 Januari

2022. Pasien sudah sempat di nebulator karena pasien memiliki penyakit

bawaan asma. Pasien setiap batuk langsung mengalami sesak. Setelah itu

pada tanggal 12 Januari 2022 pasien menjalani rawat inap di RSUD Bangil.

Batuk (+), Sesak (+), Demam (-).

3. Riwayat Penyakit Dahulu

 Pasien memiliki riwayat asma akut

 Pasien mengalami batuk – batuk yang mempengaruhi gejala asmanya

4. Riwayat Penyakit Keluarga

 Anggota keluarga pasien ada yang memiliki riwayat penyakit asma.

5. Riwayat Pengobatan

 Pasien setiap asma selalu melakukan pengobatan di dirumah dengan

nebulator.

6. Riwayat Sosial dan Ekonomi

 Pasien bersekolah di sekolah dasar

 Lingkungan keluarga pasien memiliki penyakit asma

7. Riwayat Imunisasi
 Setelah lahir : HB 1, Polio 0
 Usia 1 bulan : HB 2
 Usia 2 bulan : DTP1, BCG, Polio 1
 Usia 4 bulan : DTP2, Polio 2
 Usia 6 bulan : DTP3, Polio 3
 Usia 9 bulan : Campak

C. Pemeriksaan Fisik
1. Status Generalis

 Keadaan Umum : Sakit Sedang

 Kesadaran : Kompos mentis


 GCS : 456

 Tingkat perkembangan :

1. Berat Badan : 30 Kg

2. Tinggi Badan : 116 cm

3. Berat Badan Ideal : 26 Kg

4. BB/TB : 30 x 100% / 26 = 115% (Overweight)

2. Vital Sign

 Tekanan Darah : 110/70 mmHg


 Heart Rate :161x / menit

 Suhu : 37,1 ºC

 Respiratory : 26x / menit

 SpO2 : 88%

3. Kepala/Leher

 Kepala : Dalam batas normal

 Mata : Edema palpebra -/-, Mata cowong -/-

Konjungtiva anemis -/-, Sclera icterus -/-, Pupil isokor, Refleks cahaya +/+,

Refleks pupil +/+

 Telinga : Dalam Batas Normal

 Hidung : Pernafasan cuping hidung (-), bentuk dalam batas

normal

 Mulut : Mukosa bibir merah, sianosis (-)

4. Thorax

 Inspeksi : Bentuk dan pergerakan dada simetris

 Palpasi : Bentuk dan pergerakan simetris

 Perkusi : Suara ketok sono/sonor diseluruh lapang dada paru

 Auskultasi : Cor : S1 S2 tunggal, Pulmo : Vesikuler / Vesikuler

5. Abdomen

 Inspeksi : Bentuk simetris

 Palpasi : Nyeri Tekan (-)

 Perkusi : Timpani semua regio abdomen

 Auskultasi : Bising usus (+)

6. Inguinal, Genetalia, Anus : Tidak di evaluasi

7. Ekstremitas Atas dan Bawah


 Akral hangan +/+, edema -/-, CRT < 2 detik.

D. Laboratorium

Pemeriksaan Laboratorium

1. Hematologi

LED

2. Darah Lengkap

 Leukosit (WBC) 22,55 103/µL

 Neutrophil 20,4 103/µL

 Limfosit 3,53 103/µL

 Monosit 1,01 103/µL

 Eosinophil 0,316 103/µL

 Basophil 0,27 103/µL

 Neutrophil% 79,9 %

 Limfosit% 13,8 %

 Monosit% 5, 4 %

 Eosinophil% 0,0 %

 Basophil% 0,5 %

 Eritrosit (RBC) 6,168 106/µL

 Hemoglobin (HGB) 15,14 g/dL

 Hematokrit (HCT) 47,9 %

 MCV 77,70 µM3

 MCH 24,54 pg
 MCHC 31,59 g/dL

 RDW 12,24 %

 Platelet 479 103/µL

 MPV 5,906 fL

Kimia Klinik

Gula Darah

Glukosa Darah Sewaktu 67 mg/dl <200

Foto Thoraks

E. Problem List

1. Btuk

2. Sesak
F. Diagnosa Banding

1. Obstruksi Saluran Nafas

2. Bronkiolitis

3. Asma Eksaserbasi Akut

G. Diagnosis Kerja

1. Asma Eksaserbasi Akut

H. Penatalaksanaan

1. PDx : DL, GDA, Foto Thoraks

2. PTx :

 Inf. D5 ½ NS 1800cc / 24Jam

 Pemberian O2

 Inj. om² 30 Mg

I. Prognosis

1. Dubia Ad Malam

J. Follow Up Pasien

Tgl S O A P

12/01/ Sesak (+) KU : Lemah Asma Bersihkan jalan nafas.


Batuk (+) K/L : a/i/c/d (-) eksaserbasi Nebul / 6 jam
2022
Syok (+) sejak 3 Mata cowong akut
RDS 500cc/ 6 jam
hari lalu pada hari (-), mukosa bibir
RDS 500cc/6 jam
minggu dan mulai kemerahan.
semakin sesak Thorax : D5 ½ NS 500/ 8 jam
pada hari selasa Simetris,
D5 ½ NS 500/ 8 jam
pagi setelah Retraksi (+),
mengkonsumsi Cor : S1 S2
pop ice dan Tunggal
minuman rasa –
rasa. Riwayat Abdomen :
asma sejak kecil Supel, BU (+),
umur 2 tahun. asites (-),
distended (-),
Extremitas :
Akral hangat,
CRT <2 detik,
Suhu : 36 ºC
13/01/ Batuk (+) Kesadaran : Asma D5 ½ NS 500/ 8 jam
Sesak (+) Composmentis Eksaserbasi
2022 D5 ½ NS 500/ 8 jam
Pusing (-) Kepala / leher : akut
D5 ½ NS 500/ 8 jam
BAB (-) Mata : Simetris
BAK (+) Pupil Ishokor
Leher : KGB
Thorax :
Injeksi : Simetri
Retraksi (+)
Jejas
Auskultasi :
Rhonki (+)
Whezzing (+)
Abdomen :
Inspeksi : Supel
Normal
Auskultasi :
BU (+)
NT (-)
Extremitas :
Atas / bawah
Edema (-)
Akral hangat
Suhu : 36,9
14/01/ Batuk (+) Kesadaran : CM Asma D5 ½ NS 500/ 8 jam
2022 Sesak (+) Kepala / Leher Eksaserbasi D5 ½ NS 500/ 8 jam
BAB (-) Mata : Simetris akut
D5 ½ NS 500/ 8 jam
BAK (-) Pupil ishokor
Leher : KGB (-)
Thorax :
Inspeksi :
Simetris
Retraksi (+)
Auskultasi :
Rhonki (+)
Whezzing (+)
S1 S2 Tunggal
Abdomen :
Inspeksi : Supel
Normal
Auskultasi : BU
(+)
Palpasi : NT (+)
Bagian tengah
bawah
Ekstremitas :
Atas / Bawah :
Edema (-)
Akral Hangat
Suhu : 36,5
15/01/ Batuk (+) Sudah Kesadaran : CM Asma D5 ½ NS 500/ 8 jam
berkurang Kepala / Leher Eksaserbasi
2022 D5 ½ NS 500/ 8 jam
Sesak (-) Mata : Simetris Akut
BAB Normal Pupil ishokor
BAK Normal KGB (-)
Makan / Minum Thorax :
Normal Simetris
Retraksi (-)
Jejas (-)
Auskultasi :
Rhonki (-)
Wheezing (-)
Abdomen :
I : Supel normal
A : BU (+)
P : NT (+)
Ekstremitas :
Akral hangat
Edema (-)

16/01 Batuk (<) Sudah Kesadaran : CM Asma Nebu /6 jam selang


berkurang Kepala / Leher Eksaserbasi seling Ventolin dan
2022
Sesak (-) Mata : Simetris Akut Pulmicort
BAB Normal Pupil ishokor
BAK Normal KGB (-) Tx P.O Ataroc syr 3 x
Makan / Minum Thorax : cth 1
Normal Simetris
Retraksi (-)
Jejas (-)
Auskultasi :
Rhonki (-)
Wheezing (-)
Abdomen :
I : Supel normal
A : BU (+)
P : NT (-)
Ekstremitas :
Akral hangat
Edema (-)

17/01 Batuk (<) Sudah Kesadaran : CM Asma Nebu/ 6 jam


berkurang Kepala / Leher Eksaserbasi
2022 Sesak (-) Mata : Simetris Akut Tx P.o Ataroc syr 3x
BAB Normal 3x Pupil ishokor
cth 1
lembek KGB (-)
BAK Normal Thorax :
Makan / Minum Simetris
Normal Retraksi (-)
Jejas (-)
Auskultasi :
Rhonki (-)
Wheezing (-)
Abdomen :
I : Supel normal
A : BU (+)
P : NT (-)
Ekstremitas :
Akral hangat
Edema (-)
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Asma Eksaserbasi Akut

Asma eksaserbasi akut (acute severe asma, flare up) merupakan suatu keadaan

klinis dimana didapatkan adanya peningkatan gejala asma yang progresif, ditandai

dengan sesak napas, batuk, mengi atau rasa terikat di dada yang semakin berat disertai

dengan adanya penurunan fungsi paru yang juga bersifat progresif. Pada asma

eksaserbasi akut seringkali pasien harus mengubah pengobatan yang biasa digunakan

sebelumnya. Pada asma eksaserbasi akut, kontraksi otot polos bronkus

(bronkokonstriksi) terjadi secara cepat, menyebabkan penyempitan saluran napas

sebagai respons terhadap paparan berbagai stimulus termasuk alergen atau iritan.

Bronkokonstriksi akut yang diinduksi oleh alergen ini merupakan hasil IgEdependent

release of mediators dari sel mast, yang meliputi histamin, tryptase, leukotrien, dan

prostaglandin yang secara langsung mengakibatkan kontraksi otot polos saluran

napas.

Asma bronkial merupakan bentuk dari alergi saluran napas dimana alergen

yang terhirup (seringkali tidak diketahui) merangsang sel mast bronkus melepaskan

mediator, termasuk leukotrien, yang menyebabkan serangan berulang (eksaserbasi)

konstriksi bronkial dan obstruksi jalan napas. Pada asma kronik, terdapat banyak

eosinofil terakumulasi di mukosa bronkus, sekresi berlebihan mukus di saluran napas,

serta otot polos menjadi hipertrofi dan hiperaktif terhadap berbagai stimuli. Inflamasi

dan kerusakan jaringan pada asma, disebabkan oleh reaksi fase lambat (6-24 jam
setelah paparan ulang alergen), dimana reaksi fase lambat ditandai dengan inflamasi

dan infiltrasi banyak eosinofil, neutrofil, dan limfosit sel T. (Abbas, Lichtman, dan

Pillai, 2016).

Eksaserbasi biasanya terjadi akibat adanya respons terhadap paparan dari luar

(misalnya infeksi saluran napas atas akibat virus, paparan dengan serbuk sari

tanaman, polusi) atau akibat ketidakteraturan dalam menggunakan obat pengontrol,

dan pada sebagian kecil pasien datang dengan gejala eksaserbasi akut tanpa adanya

paparan dengan faktor risiko yang jelas). Asma eksaserbasi akut dapat terjadi pada

pada pasien asma yang sebelumnya terkontrol baik. Faktor risiko yang berkaitan

dengan kematian akibat asma eksaserbasi akut adalah :

- Riwayat serangan asma yang hampir fatal sebelumnya yang memerlukan

tindakan intubasi dan dukungan ventilator mekanik.

- Riwayat perawatan atau kunjungan ke emergensi karena serangan asma dalam

tahun terakhir.

- Menggunakan atau menghentikan obat kortikosteroid oral.

- Menggunakan 2-agonis kerja singkat yang berlebihan, khususnya salbutamol

yang lebih dari satu canister dalam setiap bulannya.

- Riwayat gangguan psikiatri atau gangguan psikosomatik.  Ketidaktaatan

dalam menggunakan obat-obat asma sebelumnya.

- Pasien asma dengan riwayat alergi makanan.

B. Diagnosa Asma Ekseaserbasi Akut

Pada pasien yang mengalami eksaserbasi akut akan didapatkan adanya

perburukan gejala klinis asma disertai dengan penurunan fungsi paru, ditandai dengan

penurunan peak expiratory flow (PEF) atau penurunan forced expiratory volume in 1
second (FEV1). Dalam keadaan eksaserbasi pengukuran kedua parameter tersebut

akan memberikan petunjuk yang lebih baik mengenai beratnya eksaserbasi

dibandingkan dengan gejala klinis saja. Namun demikian adanya peningkatan

frekwensi gejala asma merupakan parameter yang lebih sensitif untuk menentukan

onset eksaserbasi dibandingkan dengan pengukuran PEF. Sebagian kecil pasien

mengalami penurunan fungsi paru yang signifikan tanpa adanya perubahan dari gejala

asmanya. Keadaan ini umumnya dialami oleh pasien dengan riwayat serangan asma

yang hampir fatal sebelumnya dan umumnya dialami oleh kaum pria. Asma

eksaserbasi akut berpotensi menyebabkan kegawatan dan dalam tatalaksananya

memerlukan pengkajian yang cermat dan pengawasan yang ketat. Pasien dengan

eksaserbasi asma yang berat disarankan untuk segera berobat ke fasilitas kesehatan

terdekat untuk mendapatkan pengobatan yang adekuat.

C. Tatalaksana Asma Eksaserbasi Akut Di Pelayanan Primer

Tatalaksana asma eksaserbasi akut di layanan primer mencakup beberapa hal

penting yaitu melakukan pengkajian beratnya asma, melakukan anamnesis dan

pemeriksaan fisis, melakukan pengukuran fungsi paru secara obyektif dan

memberikan pengobatan untuk asma eksaserbasinya itu sendiri.

1. Pengkajian beratnya eksaserbasi asma.

Anamnesis singkat dan terarah serta pemeriksaan fisis yang berkaitan

harus dilakukan secara bersamaan dengan pemberian terapi awal, dan

semua datadata penting kemudian dicatat. Jika pasien memperlihatkan

gejala dan tanda serangan asma yang berat atau mengancam nyawa,

pengobatan dengan 2- agonis kerja singkat, pemberian oksigen dan

kortikosteroid sistemik harus segera dimulai, sementara pasien dipersiapkan


untuk dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas kesehatan yang lebih lengkap.

Sebaliknya pasien dengan eksaserbasi yang ringan sampai sedang dapat

ditangani di fasilitas kesehatan primer yang memiliki peralatan dan tenaga

medis yang memadai.

2. Melakukan anamnesis yang terarah

Anamnesis dilakukan untuk mengetahui hal – hal penting berikut yaitu :

- Menentukan onset dan penyebab dari eksaserbasi (bila

memungkinkan).

- Menentukan beratnya serangan asma.

- Ada tidaknya gejala anafilaksis. Ada tidaknya faktor risiko kematian

yang berkaitan dengan eksaserbasi asma.

- Obat-obat pelega dan pengontrol yang digunakan belakangan ini,

termasuk dosis dan devices yang digunakan, keteraturan penggunaan

obat, ada tidaknya perubahan dosis dan respons terhadap terapi yang

digunakan selama ini.

3. Pemeriksaan fisis.

Saat melakukan pemeriksaan fisis harus dikaji hal-hal berikut :

- Tanda eksaserbasi akut yang berat, meliputi tanda-tanda vital, ada

tidaknya penggunaan otot-otot pernapasan tambahan, mengi dan

kemampuan untuk mengucapkan suatu kalimat.

- Ada tidaknya faktor pemberat (komplikasi) lain, misalnya reaksi

anafilaksis, pneumotoraks dan pneumonia.

- Kemungkinan adanya penyebab sesak yang lain misalnya gagal

jantung, emboli paru dan aspirasi benda asing.

4. Pengukuran parameter obyektif


Pengukuran parameter obyektif untuk menilai beratnya eksaserbasi asma

dilakukan dengan :

- Pengukuran pulse oximetry (saturasi O2 < 90 % memberikan

petunjuk perlunya terapi yang agresif).

- Peak Expiratory Flow pada pasien > 5 tahun.

5. Terapi medika mentosa

Terapi awal yang utama mencakup pemberian 2-agonis kerja singkat

secara berulang-ulang, pemberian kortikosteroid sistemik dini dan pemberian

oksigen secara terkontrol. Tujuan terapi adalah untuk dengan cepat mengatasi

obstruksi dan hipoksemia dengan mengacu pada reaksi inflamasi yang

mendasari patofisiologinya serta juga untuk mencegah kekambuhan.

Inhalasi beta2-agonis kerja singkat. Untuk eksaserbasi asma yang

ringan sampai sedang, inhalasi 2-agonis kerja singkat diberikan secara

berulang-ulang yaitu 4-10 semprot setiap 20 menit dalam 1 jam pertama.

Terapi inhalasi ini umumnya cukup efektif dan efisien untuk mengatasi

obstruksi saluran napas dengan cepat. Setelah 1 jam pertama dosis 2-agonis

kerja singkat berikutnya bervariasi antara 4-10 semprot yang diberikan tiap

3-4 jam, hingga 6-10 semprot yang diberikan tiap 1-2 jam. Tidak diperlukan

lagi penambahan 2-agonis kerja singkat jika didapatkan adanya respons

terhadap terapi awal, yang ditandai dengan peningkatan PEF > 60-80%

predicted untuk selama 3-4 jam. Pemberian 2-agonis kerja singkat melalui

pressurized Metered-Dose Inhaler (pMDI) yang dilengkapi spacer dengan

ukuran sesuai atau melalui Dry Powder Inhaler (DPI) akan memberikan

perbaikan yang sama pada fungsi paru seperti pada nebulisasi. Cara
pemberikan yang paling cost-effective adalah melalui pMDI yang dilengkapi

dengan spacer asalkan pasien dapat menggunakan alat-alat tersebut.

Terapi Oksigen terkontrol. Terapi oksigen harus dititrasi dengan

bantuan pulse oximetry (bila tersedia) untuk mempertahankan saturasi

oksigen 93-95%. Pemberian oksigen secara terkontrol atau secara titrasi akan

memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian oksigen

100% (high-flow oxygen therapy). Walaupun tidak tersedia oximetry,

pemberian oksigen tidak boleh ditunda dan pasien harus dimonitor untuk

mengetahui adanya perburukan gejala, penurunan kesadaran dan adanya

kelelahan.

Kortikosteroid sistemik. Kortikosteroid sistemik harus segera

diberikan khususnya bila didapatkan perburukan pasien atau bila pasien telah

meningkatkan dosis obat-obat pengontrol dan pelega sebelum timbulnya

perburukan gejala. Dosis yang dianjurkan pada orang dewasa adalah 1 mg

prednisolon/kgBB/hari atau ekuivalennya hingga maksimum 50 mg/hari.

Kortikosteroid oral harus diberikan selama 5-7 hari.

Obat-obat pelega. Pasien yang sebelumnya telah menggunakan

obatobat pelega disarankan untuk menaikan dosisnya untuk selama 2-4

minggu berikutnya. Jika pasien sebelumnya tidak menggunakan obat-obat

pengontrol, harus selalu disarankan untuk menggunakan terapi steroid

inhalasi secara teratur, karena pasien berisiko untuk mengalami eksaserbasi

kembali berikutnya.

1. Antikolinergik, contohnya ipratropium dan glycopyrronium.

2. Agonis beta-2, contohnya salmeterol, salbutamol, procaterol, dan

terbutaline.
3. Methylxanthines, contohnya teofilin dan aminofilin

Antibiotik. Dari penelitian yang ada, tidak disarankan pemberian

antibiotik pada asma eksaserbasi akut bila tidak ada bukti adanya tanda tanda

infeksi. Adanya infeksi pada asma eksaserbasi akut dapat diketahui dari

adanya demam, sputum purulen dan adanya infiltrat pada foto toraks akibat

adanya pneumonia. Terapi kortikosteroid agresif harus diberikan sebelum

mempertimbangkan pemberian antibiotik.

6. Evaluasi Pengobatan.

Selama pengobatan pasien harus dimonitor secara ketat dan terapi

dititrasi sesuai dengan responsnya. Pasien dengan gejala dan tanda eksaserbasi

yang berat atau yang mengancam nyawa dan tidak membaik dengan terapi

yang diberikan dan bahkan terus mengalami perburukan, harus dirujuk segera

ke unit emergensi rumah sakit yang lebih lengkap. Pasien yang menunjukkan

perbaikan yang minimal atau lambat dengan terapi 2-agonis kerja singkat,

harus dimonitor secara ketat. Pada sebagian besar pasien, monitoring fungsi

paru dapat dilakukan setelah terapi 2-agonis kerja singkat mulai diberikan.

Terapi tambahan lainnya harus dilanjutkan sampai nilai PEF atau FEV1

mencapai plateau atau idealnya sampai kembali ke nilai terbaik pasien

sebelumnya. Selanjutnya dibuat keputusan untuk menentukan apakah pasien

dapat dipulangkan atau harus dirujuk.

D. Tatalaksana Asma Eksaserbasi Akut Di Unit Emergency

Tatalaksana asma eksaserbasi akut berat yang mengancam nyawa harus

dilakukan di unit emergensi. Seperti juga pada pelayanan primer, maka tatalaksana di

unit emergensi juga mencakup beberapa hal penting yaitu melakukan anamnesis,

pemeriksaan fisis, melakukan penilaian obyektif yang lebih lengkap meliputi


pemeriksaan fungsi paru dan pengukuran saturasi oksigen, terapi medika mentosa

serta bila diperlukan dilakukan juga pemeriksaan analisis gas darah dan foto toraks.

1. Melakukan penilaian obyektif Penilaian yang bersifat obyektif perlu juga

dilakukan mengingat dengan pemeriksaan fisis saja mungkin belum dapat

memberikan petunjuk yang akurat mengenai beratnya eksaserbasi asma. Namun

demikian yang menjadi perhatian utama dalam tatalaksana asma eksaserbasi akut

tersebut adalah kondisi pasien itu sendiri dan bukan nilai-nilai yang didapat dari

laboratorium.

a. Pengukuran fungsi paru.

Pemeriksaan fungsi paru sangat dianjurkan pada asma eksaserbasi akut yang

berat. Bila memungkinkan, tanpa terlalu menunda pengobatan, dilakukan

pencatatan nilai PEF dan FEV1 sebelum pengobatan diberikan. Fungsi paru

harus dievaluasi pada jam pertama dan kemudian secara serial sampai

didapatkan respons yang jelas terhadap pengobatan yang diberikan atau

sampai mencapai plateau.

b. Saturasi oksigen.

Saturasi oksigen harus dimonitor secara ketat dengan menggunakan pulse

oximetry. Saturasi oksigen < 90% memberi petunjuk perlunya diberikan terapi

yang agresif. Saturasi oksigen harus dinilai sebelum diberikan oksigen atau 5

menit setelah oksigen dilepas atau jika saturasi telah stabil.

c. Analisis gas darah.

Pemeriksan analisis gas darah tidak perlu dilakukan secara rutin pada asma

eksaserbasi akut. Pemeriksaan ini perlu dipertimbangkan pada pasien

eksaserbasi akut dengan nilai PEF atau FEV1< 50% predicted, atau pada

pasien yang tidak menunjukkan respons dengan terapi awal yang diberikan
dan bahkan mengalami perburukan. Suplementasi oksigen secara terkontrol

perlu dilanjutkan, sementara diperoleh hasil analisis gas darah. Tekanan parsial

oksigen (PaO2) < 60 mmHg dengan PCO2 yang normal atau tinggi (>45

mmHg) menunjukkan adanya gagal napas. Kelelahan atau penurunan

kesadaran hingga somnolen menunjukkan adanya peningkatan PCO2 dan

merupakan indikasi perlunya dilakukan intervensi saluran napas.

d. Foto toraks.

Pemeriksaan foto toraks tidak disarankan untuk dilakukan secara rutin.

Pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan bila diduga adanya kemungkinan

penyebab sesak yang lain khususnya pada orang tua, misalnya adanya gagal

jantung. Foto toraks perlu juga dilakukan bila pasien tidak menunjukkan

respons dengan terapi yang diberikan, sementara kemungkinan adanya

pneumotoraks sulit untuk didiagnosis secara klinis.

2. Terapi Asma Eksaserbasi akut di Unit Emergensi Terapi yang perlu diberikan

secara bersamaan untuk mendapatkan perbaikan secara cepat yaitu :

a. Oksigen.

Oksigen harus diberikan baik dengan kanul binasal atau dengan simple mask

untuk mencapai saturasi oksigen 93-95%. Pada eksaserbasi akut yang berat

controlled low flow oxygen therapy yang diberikan dengan panduan pulse

oximetry (untuk mencapai saturasi oksigen 93-95%) akan memberikan

dampak fisiologis yang lebih baik dibandingkan dengan high flow 100%

oxygen therapy. Pemberian terapi oksigen tidak boleh ditunda bila tidak ada

pulse oximetry. Bila pasien sudah stabil, pertimbangkan untuk menyapih

oksigen dengan panduan oximetry.

b. Inhalasi beta2-agonis kerja singkat.


Terapi inhalasi dengan beta2- agonis kerja singkat harus sering diberikan pada

pasien dengan asma eksaserbasi akut. Cara pemberian inhalasi yang paling

efisien dan efektif adalah dengan menggunakan pMDI yang dilengkapi dengan

spacer yang ukurannya sesuai. Pada asma yang berat dan near-fatal asthma,

bukti mengenai efektifitas pemberian terapi inhalasi kuranglah kuat.

Systimatic review yang membandingkan antara terapi inhalasi intermiten

dengan kontinyu memberikan hasil yang bervariasi. Walaupun ada satu

penelitian yang menunjukkan tidak adanya perbedaan pada perbaikan fungsi

paru dan angka perawatan di rumah sakit, namun studi-studi lebih lanjut

menunjukkan adanya perbaikan fungsi yang lebih besar dan angka perawatan

di rumah sakit yang lebih rendah pada pemberian inhalasi secara kontinyu

dibandingkan dengan intermiten, khususnya pada pasien-pasien dengan fungsi

paru yang buruk. Studi awal pada pasien yang dirawat menunjukkan bahwa

pemberian inhalasi intermiten secara on-demand menunjukkan lama perawatan

yang lebih singkat, pemberian inhalasi yang lebih sedikit dan efek samping

palpitasi yang lebih rendah dibandingkan dengan terapi inhalasi yang

diberikan secara rutin setiap 4 jam. Berdasarkan data tersebut maka pemberian

terapi inhalasi dengan 2-agonis yang rasional pada asma eksaserbasi akut

adalah dengan pemberian secara kontinyu pada awalnya, dilanjutkan dengan

intermiten secara on-demand pada pasien yang dirawat. Pemberian rutin 2-

agonis secara intravena pada asma eksaserbasi akut tidak disarankan.

c. Epinefrin (Adrenalin).

Pemberian epinefrin (adrenalin) diindikasikan sebagai terapi tambahan pada

terapi standar asma dan angioedema yang terjadi akibat reaksi anafilaksis.
Pemberian epinefrin tidak disarankan untuk diberikan secara rutin pada

eksaserbasi asma yang lain.

d. Kortikosteroid sistemik.

Kortikosteroid sistemik harus diberikan ada asma eksaserbasi akut yang berat

karena akan mempercepat penyembuhan dan mencegah relaps. Bila

memungkinkan kostikosteroid sistemik diberikan dalam 1 jam pertama sejak

timbulnya keluhan eksaserbasi. Pemberian kortikosteroid sistemik adalah

penting terutama pada keadaan berikut yaitu bila pemberian 2-agonis awal

tidak menunjukkan perbaikan, eksaserbasi akut terjadi sementara pasien

menggunakan kortikosteroid oral, pasien dengan riwayat eksaserbasi akut yang

memerlukan kortikosteroid oral. Pemberian kortikosteroid oral menunjukkan

efektifitas yang sama seperti pada pemberian intravena. Pemberian oral lebih

disukai karena lebih cepat, lebih tidak invasif dan lebih murah. Dengan

pemberian secara oral diperlukan waktu minimal 4 jam sebelum didapatkan

adanya perbaikan gejala. Kortikosteroid intravena diberikan pada keadaan

berikut yaitu pasien dengan sesak yang berat sehingga sulit untuk menelan,

pasien yang mengalami muntah-muntah, pasien yang memerlukan ventilasi

non-invasif dan pasien yang diintubasi. Pemberian kortikosteroid

intramuskular perlu dipertimbangkan pada pasien yang akan dipulangkan dari

unit emergensi, khususnya bila ada kekhawatiran akan ketidakteraturan

berobat dengan pemberian kortikosteroid oral. Dosis kortikosteroid yang

diberikan adalah yang setara dengan 50 mg prednisolon, diberikan dalam dosis

tunggal pagi hari, atau hidrokortison 200 mg dalam dosis terbagi diberikan

selama 5-7 hari. Deksametason oral dapat juga diberikan namun disarankan
tidak lebih dari 2 hari mengingat efek samping metabolik yang dapat

ditimbulkannya.

e. Kortikosteroid inhalasi.

Kortikosteroid inhalasi dosis tinggi yang diberikan dalam 1 jam pertama sejak

timbulnya gejala akan mengurangi kemungkinan perlunya perawatan pada

pasien yang tidak mendapatkan kortikosteroid sistemik. Jika diberikan sebagai

terapi tambahan dari kostikosteroid sistemik, manfaatnya masih diperdebatkan.

Secara umum pemberian kortikosteroid inhalasi dapat ditoleransi dengan baik,

namun jenis steroid yang diberikan, dosis dan lamanya pemberian dalam

tatalaksana asma eksaserbasi akut di unit emergensi masih belum jelas. Setelah

pulang dari unit emergensi sebagian besar pasien tetap memerlukan terapi

kortikosteroid inhalasi yang digunakan secara regular untuk mencegah

berulangnya eksaserbasi. Selain itu pemberian kortikosteroid inhalasi dapat

juga menurunkan angka perawatan dan angka kematian yang berkaitan dengan

asma secara signifikan. Untuk dampak jangka pendek seperti untuk

mengurangi perlunya perawatan di rumah sakit, untuk mengurangi gejala dan

untuk meningkatkan kualitas hidup, kortikosteroid inhalasi dianjurkan untuk

diberikan sebagai tambahan dari terapi kortikosteroid sistemik setelah pasien

dipulangkan. Beberapa penelitian bahkan menunjukkan manfaat kortikosteroid

inhalasi yang sebanding dengan kortikosteroid sistemik pada eksaserbasi asma

yang lebih ringan

f. Terapi lain

- Ipratropium bromide. Pada asma eksaserbasi akut yang sedang sampai

berat, pemberian 2-agonis kerja singkat bersamaan dengan ipratropium

bromide inhalasi akan mengurangi kemungkinan perlunya perawatan dan


akan semakin meningkatkan perbaikan PEF dan FEV1 bila dibandingkan

dengan pemberian 2-agonis kerja singkat secara tersendiri.

- Magnesium. Magnesium tidak disarankan untuk digunakan secara rutin,

namun pemberiannya perlu dipertimbangkan pada pasien dengan FEV1 <

25-30% predicted saat pemeriksaan awal dan pasien yang tidak

menunjukkan respons dengan terapi awal, disertai dengan hipoksia

persisten. Pada pasien-pasien tersebut pemberian magnesium dengan dosis

2 gr yang diberikan melalui infus selama 20 menit dapat menurunkan angka

perawatan.

- Helium oxygen therapy. Systematic review yang meneliti perbandingan

antara helium-oxygen dengan air-oxygen mendapatkan bahwa helium

oxygen therapy tidak berperan dalam pengobatan rutin, namun dapat

dipertimbangkan pada pasien yang tidak menunjukkan repons dengan terapi

standar yang diberikan.

- Kombinasi kortikosteroid inhalasi dan beta2-agonis kerja panjang. Peranan

kombinasi kortikosteroid inhalasi dan beta2-agonis kerja panjang dalam

tatalaksana asma eksaserbasi akut di unit emergensi masih belum jelas. Ada

satu studi yang memperlihatkan bahwa pemberian high-dose

budesonide/formoterol ditambah prednisolon pada pasien-pasien dengan

asma eksaserbasi akut di unit emergensi menunjukkan efikasi dan profil

keamanan yang sama seperti pada 2- agonis kerja singkat. Namun

demikian hasil studi lain yang meneliti manfaat penambahan salmeterol

pada pasien yang menggunakan kostikosteroid oral yang dirawat di rumah

sakit, belum cukup kuat untuk merekomendasikan penggunaan kombinasi

kedua obat tersebut.


- Antibiotik. Pemberian antibiotik dalam tatalaksana asma eksaserbasi akut

hanya diindikasikan bila didapatkan adanya infeksi paru yang ditandai

dengan adanya demam, sputum purulen dan foto toraks yang sesuai dengan

pneumonia. Terapi kortikosteroid agresif harus diberikan sebelum

mempertimbangkan penggunaan antibiotik.

- Non-invasive ventilation. Studi yang meneliti peran non-invasive

ventilation (NIV) pada tatalaksana asma eksaserbasi akut mendapatkan

bukti yang lemah. Suatu systematic review yang terdiri dari 3 studi dengan

206 subyek dilakukan untuk mengetahui peran NIV pada tatalaksana asma

eksaserbasi akut dibandingkan dengan plasebo. Dua studi mendapatkan

tidak adanya perbedaan dalam hal perlunya tindakan intubasi endotrakeal,

namun satu studi memperlihatkan bahwa pada kelompok NIV ternyata lebih

sedikit yang memerlukan perawatan. Pada masing-masing studi tersebut

tidak didapatkan adanya mortalitas. Berdasarkan penelitian yang terbatas

tersebut maka disimpulkan bahwa penggunaan NIV pada eksaserbasi asma

tidak dianjurkan. Bila NIV tetap akan digunakan maka pasien harus

diobservasi dengan ketat. Noninvasive ventilation tidak boleh diberikan

pada pasien yang mengalami agitasi, dan pemberian sedasi pada pasien-

pasien tersebut tidak dianjurkan.

3. Evaluasi respons klinis Kondisi klinis dan nilai saturasi oksigen pasien harus

sering dievaluasi ulang, dan untuk selanjutnya terapi diberikan secara titrasi

berdasarkan respons pasien tersebut. Fungsi paru harus dievaluasi ulang setelah 1

jam pemberian bronkodilator. Pasien yang mengalami perburukan walapun telah

diberikan terapi bronkodilator dan kortikosteroid agresif harus dievaluasi ulang

untuk kemungkinan perlunya perawatan ICU.


E. KRITERIA RAWAT DAN PULANG PASIEN DARI UNIT EMERGENSI

Untuk menentukan apakah pasien perlu dirawat atau tidak, dilakukan penilaian

terhadap keadaan klinis pasien (termasuk kemampuan untuk berbaring telentang) dan

keadaan fungsi parunya setelah 1 jam pemberian terapi. Data klinis yang didapat

tersebut merupakan prediktor yang lebih baik dibandingkan dengan data keadaan

klinis pasien pada saat pertama kali datang. Konsensus mengenai penanganan pasien

selanjutnya setelah tatalaksana keadaan akut di unit emergensi adalah sebagai

berikut :  Jika pre-treatment FEV1 atau PEF < 25% predicted, atau post-treatment

FEV1 atau PEF < 40% predicted maka pasien dianjurkan untuk dirawat.  Jika setelah

pengobatan didapatkan nilai FEV1 atau PEF 40-60% predicted, pasien mungkin bisa

dipulangkan setelah memperhatikan faktor risiko yang harus dihindari dan

memastikan ketersediaan fasilitas kesehatan untuk melakukan evaluasi lebih lanjut. 

Jika FEV1 atau PEF setelah pengobatan atau hasil terbaik yang bisa dicapai

didapatkan > 60% predicted, pasien bisa disarankan untuk berobat jalan setelah

memperhatikan faktor risiko dan memastikan ketersediaan sarana kesehatan untuk

evaluasi lebih lanjut.

F. KESIMPULAN

- Asma eksaserbasi akut merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai dengan

semakin memberatnya gejala asma dan semakin menurun fungsi paru secara

progresif.

- Asma eksaserbasi akut ringan sampai sedang dapat ditatalaksana pada pusat

layanan primer, sedangkan eksaserbasi akut yang berat harus ditangani di rumah

sakit dengan fasilitas yang lebih lengkap.


- Kortikosteroid sistemik baik yang diberikan secara oral maupun intravena dan

2-agonis kerja singkat yang diberikan secara inhalasi merupakan obat-obat

utama yang harus diberikan pada pasien dengan asma eksaserbasi akut.

- Evaluasi klinis dan pemeriksaan fungsi paru harus dilakukan sebelum dan

sesudah pemberian obat-obat bronkodilator dan kortikosteroid.

- Pasien dengan asma eksaserbasi akut yang mengancam nyawa harus dirawat di

ICU untuk pertimbangan intubasi dan penggunaan ventilator mekanik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Chestnut MS, Prendergast TJ. Obstructive lung diseases : Asthma and Chronic

Obstructive Pulmonary Diseases (COPD). In : Hammer GD, McPhee SJ, editors.

Pathophysiology of Disease. An Introduction to Clinical Medicine. Toronto : Mc Graw

Hill Education; 2014.p.228-32.

2. Global strategy for asthma management and prevention. Management of worsening

asthma and exacerbations. Global initiative for asthma, 2016; 72-85.

3. Karen J. Marcdante, dkk, 2014, Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial Edisi Keenam.

Elsevier Singapura : hal 513-516

4. Rumede, Martin. 2017. Tatalaksana Komprehensif Asma Eksaserbasi Akut. Fakultas

Kedokteran Universitas Kristen Indonesia.

5. Wolters Kluwers, 2017, Acute respiratory infections in children: Can we prevent?.

Indian Journal of Health Sciences

Anda mungkin juga menyukai