Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga
laporan kasus dengan judul Asma Ekserbasi Akut ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak
lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Mustafa, selaku pembimbing dalam
penyusunan laporan kasus ini, serta teman-teman sekalian dan pihak-pihak lainnya yang tidak
bisa disebutkan satu persatu.
Harapan penulis semoga laporan kasus ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun
menambah isi laporan kasus ini agar menjadi lebih baik lagi.
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penyakit pernapasan tetap menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada
anak-anak. Spektrum penyakit pernafasan adalah luas dan mencakup penyakit atas dan
bawah saluran udara, menular dan jenis non-menular. Penyakit pernapasan dapat
dipengaruhi oleh berbagai / lingkungan dan iklim variasi di berbagai belahan dunia.
Infeksi saluran napas akut (ISPA) adalah infeksi akut yang menyerang salah satu bagian
atau lebih dari saluran napas mulai hidung sampai alveoli termasuk adneksanya (sinus,
rongga telinga tengah, pleura). ISPA merupakan penyakit menular yang sering terjadi
serta merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas pada anak dan balita.
mikrovirus, adenovirus, bahkan polusi udara yang mengandung zat seperti dry basis, ash,
ISPA adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit menular di dunia.
Hampir empat juta orang meninggal akibat ISPA setiap tahun, 98%-nya disebabkan oleh
infeksi saluran pernapasan bawah. Tingkat mortalitas sangat tinggi pada bayi, anak-anak,
dan orang lanjut usia, terutama di negara-negara dengan pendapatan per kapita rendah
dan menengah. Begitu pula, ISPA merupakan salah satu penyebab utama konsultasi atau
rawat inap di fasilitas pelayanan kesehatan terutama pada bagian perawatan anak.
Kelompok usia 6-23 bulan adalah kelompok umur paling rentan untuk mengalami ISPA.
merupakan penyebab morbiditas masa kanak-kanak utama dan kematian terutama pada
kelompok usia kurang dari lima. Secara global, analisis sistemik beban global meninjau
235 penyebab kematian antara tahun 1990 dan 2010, menemukan pneumonia, penyakit
pernapasan, sebagai penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak-anak berusia di
(Niranjan, 2016).
BAB II
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : An R K
BB : 30kg
TB : 116 cm
No RM : 00451817
B. Anamnesa
1. Keluhan Utama
bawaan asma. Pasien setiap batuk langsung mengalami sesak. Setelah itu
pada tanggal 12 Januari 2022 pasien menjalani rawat inap di RSUD Bangil.
5. Riwayat Pengobatan
nebulator.
7. Riwayat Imunisasi
Setelah lahir : HB 1, Polio 0
Usia 1 bulan : HB 2
Usia 2 bulan : DTP1, BCG, Polio 1
Usia 4 bulan : DTP2, Polio 2
Usia 6 bulan : DTP3, Polio 3
Usia 9 bulan : Campak
C. Pemeriksaan Fisik
1. Status Generalis
Tingkat perkembangan :
1. Berat Badan : 30 Kg
2. Vital Sign
Suhu : 37,1 ºC
SpO2 : 88%
3. Kepala/Leher
Konjungtiva anemis -/-, Sclera icterus -/-, Pupil isokor, Refleks cahaya +/+,
normal
4. Thorax
5. Abdomen
D. Laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium
1. Hematologi
LED
2. Darah Lengkap
Neutrophil% 79,9 %
Limfosit% 13,8 %
Monosit% 5, 4 %
Eosinophil% 0,0 %
Basophil% 0,5 %
MCH 24,54 pg
MCHC 31,59 g/dL
RDW 12,24 %
MPV 5,906 fL
Kimia Klinik
Gula Darah
Foto Thoraks
E. Problem List
1. Btuk
2. Sesak
F. Diagnosa Banding
2. Bronkiolitis
G. Diagnosis Kerja
H. Penatalaksanaan
2. PTx :
Pemberian O2
Inj. om² 30 Mg
I. Prognosis
1. Dubia Ad Malam
J. Follow Up Pasien
Tgl S O A P
TINJAUAN PUSTAKA
Asma eksaserbasi akut (acute severe asma, flare up) merupakan suatu keadaan
klinis dimana didapatkan adanya peningkatan gejala asma yang progresif, ditandai
dengan sesak napas, batuk, mengi atau rasa terikat di dada yang semakin berat disertai
dengan adanya penurunan fungsi paru yang juga bersifat progresif. Pada asma
eksaserbasi akut seringkali pasien harus mengubah pengobatan yang biasa digunakan
sebagai respons terhadap paparan berbagai stimulus termasuk alergen atau iritan.
Bronkokonstriksi akut yang diinduksi oleh alergen ini merupakan hasil IgEdependent
release of mediators dari sel mast, yang meliputi histamin, tryptase, leukotrien, dan
napas.
Asma bronkial merupakan bentuk dari alergi saluran napas dimana alergen
yang terhirup (seringkali tidak diketahui) merangsang sel mast bronkus melepaskan
konstriksi bronkial dan obstruksi jalan napas. Pada asma kronik, terdapat banyak
serta otot polos menjadi hipertrofi dan hiperaktif terhadap berbagai stimuli. Inflamasi
dan kerusakan jaringan pada asma, disebabkan oleh reaksi fase lambat (6-24 jam
setelah paparan ulang alergen), dimana reaksi fase lambat ditandai dengan inflamasi
dan infiltrasi banyak eosinofil, neutrofil, dan limfosit sel T. (Abbas, Lichtman, dan
Pillai, 2016).
Eksaserbasi biasanya terjadi akibat adanya respons terhadap paparan dari luar
(misalnya infeksi saluran napas atas akibat virus, paparan dengan serbuk sari
dan pada sebagian kecil pasien datang dengan gejala eksaserbasi akut tanpa adanya
paparan dengan faktor risiko yang jelas). Asma eksaserbasi akut dapat terjadi pada
pada pasien asma yang sebelumnya terkontrol baik. Faktor risiko yang berkaitan
tahun terakhir.
perburukan gejala klinis asma disertai dengan penurunan fungsi paru, ditandai dengan
penurunan peak expiratory flow (PEF) atau penurunan forced expiratory volume in 1
second (FEV1). Dalam keadaan eksaserbasi pengukuran kedua parameter tersebut
frekwensi gejala asma merupakan parameter yang lebih sensitif untuk menentukan
mengalami penurunan fungsi paru yang signifikan tanpa adanya perubahan dari gejala
asmanya. Keadaan ini umumnya dialami oleh pasien dengan riwayat serangan asma
yang hampir fatal sebelumnya dan umumnya dialami oleh kaum pria. Asma
memerlukan pengkajian yang cermat dan pengawasan yang ketat. Pasien dengan
eksaserbasi asma yang berat disarankan untuk segera berobat ke fasilitas kesehatan
gejala dan tanda serangan asma yang berat atau mengancam nyawa,
memungkinkan).
obat, ada tidaknya perubahan dosis dan respons terhadap terapi yang
3. Pemeriksaan fisis.
dilakukan dengan :
oksigen secara terkontrol. Tujuan terapi adalah untuk dengan cepat mengatasi
Terapi inhalasi ini umumnya cukup efektif dan efisien untuk mengatasi
obstruksi saluran napas dengan cepat. Setelah 1 jam pertama dosis 2-agonis
kerja singkat berikutnya bervariasi antara 4-10 semprot yang diberikan tiap
3-4 jam, hingga 6-10 semprot yang diberikan tiap 1-2 jam. Tidak diperlukan
terhadap terapi awal, yang ditandai dengan peningkatan PEF > 60-80%
predicted untuk selama 3-4 jam. Pemberian 2-agonis kerja singkat melalui
ukuran sesuai atau melalui Dry Powder Inhaler (DPI) akan memberikan
perbaikan yang sama pada fungsi paru seperti pada nebulisasi. Cara
pemberikan yang paling cost-effective adalah melalui pMDI yang dilengkapi
oksigen 93-95%. Pemberian oksigen secara terkontrol atau secara titrasi akan
pemberian oksigen tidak boleh ditunda dan pasien harus dimonitor untuk
kelelahan.
diberikan khususnya bila didapatkan perburukan pasien atau bila pasien telah
kembali berikutnya.
terbutaline.
3. Methylxanthines, contohnya teofilin dan aminofilin
antibiotik pada asma eksaserbasi akut bila tidak ada bukti adanya tanda tanda
infeksi. Adanya infeksi pada asma eksaserbasi akut dapat diketahui dari
adanya demam, sputum purulen dan adanya infiltrat pada foto toraks akibat
6. Evaluasi Pengobatan.
dititrasi sesuai dengan responsnya. Pasien dengan gejala dan tanda eksaserbasi
yang berat atau yang mengancam nyawa dan tidak membaik dengan terapi
yang diberikan dan bahkan terus mengalami perburukan, harus dirujuk segera
ke unit emergensi rumah sakit yang lebih lengkap. Pasien yang menunjukkan
perbaikan yang minimal atau lambat dengan terapi 2-agonis kerja singkat,
harus dimonitor secara ketat. Pada sebagian besar pasien, monitoring fungsi
paru dapat dilakukan setelah terapi 2-agonis kerja singkat mulai diberikan.
Terapi tambahan lainnya harus dilanjutkan sampai nilai PEF atau FEV1
dilakukan di unit emergensi. Seperti juga pada pelayanan primer, maka tatalaksana di
unit emergensi juga mencakup beberapa hal penting yaitu melakukan anamnesis,
serta bila diperlukan dilakukan juga pemeriksaan analisis gas darah dan foto toraks.
demikian yang menjadi perhatian utama dalam tatalaksana asma eksaserbasi akut
tersebut adalah kondisi pasien itu sendiri dan bukan nilai-nilai yang didapat dari
laboratorium.
Pemeriksaan fungsi paru sangat dianjurkan pada asma eksaserbasi akut yang
pencatatan nilai PEF dan FEV1 sebelum pengobatan diberikan. Fungsi paru
harus dievaluasi pada jam pertama dan kemudian secara serial sampai
b. Saturasi oksigen.
oximetry. Saturasi oksigen < 90% memberi petunjuk perlunya diberikan terapi
yang agresif. Saturasi oksigen harus dinilai sebelum diberikan oksigen atau 5
Pemeriksan analisis gas darah tidak perlu dilakukan secara rutin pada asma
eksaserbasi akut dengan nilai PEF atau FEV1< 50% predicted, atau pada
pasien yang tidak menunjukkan respons dengan terapi awal yang diberikan
dan bahkan mengalami perburukan. Suplementasi oksigen secara terkontrol
perlu dilanjutkan, sementara diperoleh hasil analisis gas darah. Tekanan parsial
oksigen (PaO2) < 60 mmHg dengan PCO2 yang normal atau tinggi (>45
d. Foto toraks.
penyebab sesak yang lain khususnya pada orang tua, misalnya adanya gagal
jantung. Foto toraks perlu juga dilakukan bila pasien tidak menunjukkan
2. Terapi Asma Eksaserbasi akut di Unit Emergensi Terapi yang perlu diberikan
a. Oksigen.
Oksigen harus diberikan baik dengan kanul binasal atau dengan simple mask
untuk mencapai saturasi oksigen 93-95%. Pada eksaserbasi akut yang berat
controlled low flow oxygen therapy yang diberikan dengan panduan pulse
dampak fisiologis yang lebih baik dibandingkan dengan high flow 100%
oxygen therapy. Pemberian terapi oksigen tidak boleh ditunda bila tidak ada
pasien dengan asma eksaserbasi akut. Cara pemberian inhalasi yang paling
efisien dan efektif adalah dengan menggunakan pMDI yang dilengkapi dengan
spacer yang ukurannya sesuai. Pada asma yang berat dan near-fatal asthma,
paru dan angka perawatan di rumah sakit, namun studi-studi lebih lanjut
menunjukkan adanya perbaikan fungsi yang lebih besar dan angka perawatan
di rumah sakit yang lebih rendah pada pemberian inhalasi secara kontinyu
paru yang buruk. Studi awal pada pasien yang dirawat menunjukkan bahwa
yang lebih singkat, pemberian inhalasi yang lebih sedikit dan efek samping
diberikan secara rutin setiap 4 jam. Berdasarkan data tersebut maka pemberian
terapi inhalasi dengan 2-agonis yang rasional pada asma eksaserbasi akut
intermiten secara on-demand pada pasien yang dirawat. Pemberian rutin 2-
c. Epinefrin (Adrenalin).
terapi standar asma dan angioedema yang terjadi akibat reaksi anafilaksis.
Pemberian epinefrin tidak disarankan untuk diberikan secara rutin pada
d. Kortikosteroid sistemik.
Kortikosteroid sistemik harus diberikan ada asma eksaserbasi akut yang berat
penting terutama pada keadaan berikut yaitu bila pemberian 2-agonis awal
efektifitas yang sama seperti pada pemberian intravena. Pemberian oral lebih
disukai karena lebih cepat, lebih tidak invasif dan lebih murah. Dengan
berikut yaitu pasien dengan sesak yang berat sehingga sulit untuk menelan,
tunggal pagi hari, atau hidrokortison 200 mg dalam dosis terbagi diberikan
selama 5-7 hari. Deksametason oral dapat juga diberikan namun disarankan
tidak lebih dari 2 hari mengingat efek samping metabolik yang dapat
ditimbulkannya.
e. Kortikosteroid inhalasi.
Kortikosteroid inhalasi dosis tinggi yang diberikan dalam 1 jam pertama sejak
namun jenis steroid yang diberikan, dosis dan lamanya pemberian dalam
tatalaksana asma eksaserbasi akut di unit emergensi masih belum jelas. Setelah
pulang dari unit emergensi sebagian besar pasien tetap memerlukan terapi
juga menurunkan angka perawatan dan angka kematian yang berkaitan dengan
f. Terapi lain
perawatan.
tatalaksana asma eksaserbasi akut di unit emergensi masih belum jelas. Ada
keamanan yang sama seperti pada 2- agonis kerja singkat. Namun
dengan adanya demam, sputum purulen dan foto toraks yang sesuai dengan
bukti yang lemah. Suatu systematic review yang terdiri dari 3 studi dengan
206 subyek dilakukan untuk mengetahui peran NIV pada tatalaksana asma
namun satu studi memperlihatkan bahwa pada kelompok NIV ternyata lebih
tidak dianjurkan. Bila NIV tetap akan digunakan maka pasien harus
pada pasien yang mengalami agitasi, dan pemberian sedasi pada pasien-
3. Evaluasi respons klinis Kondisi klinis dan nilai saturasi oksigen pasien harus
sering dievaluasi ulang, dan untuk selanjutnya terapi diberikan secara titrasi
berdasarkan respons pasien tersebut. Fungsi paru harus dievaluasi ulang setelah 1
Untuk menentukan apakah pasien perlu dirawat atau tidak, dilakukan penilaian
terhadap keadaan klinis pasien (termasuk kemampuan untuk berbaring telentang) dan
keadaan fungsi parunya setelah 1 jam pemberian terapi. Data klinis yang didapat
tersebut merupakan prediktor yang lebih baik dibandingkan dengan data keadaan
klinis pasien pada saat pertama kali datang. Konsensus mengenai penanganan pasien
berikut : Jika pre-treatment FEV1 atau PEF < 25% predicted, atau post-treatment
FEV1 atau PEF < 40% predicted maka pasien dianjurkan untuk dirawat. Jika setelah
pengobatan didapatkan nilai FEV1 atau PEF 40-60% predicted, pasien mungkin bisa
Jika FEV1 atau PEF setelah pengobatan atau hasil terbaik yang bisa dicapai
didapatkan > 60% predicted, pasien bisa disarankan untuk berobat jalan setelah
F. KESIMPULAN
- Asma eksaserbasi akut merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
semakin memberatnya gejala asma dan semakin menurun fungsi paru secara
progresif.
- Asma eksaserbasi akut ringan sampai sedang dapat ditatalaksana pada pusat
layanan primer, sedangkan eksaserbasi akut yang berat harus ditangani di rumah
utama yang harus diberikan pada pasien dengan asma eksaserbasi akut.
- Evaluasi klinis dan pemeriksaan fungsi paru harus dilakukan sebelum dan
- Pasien dengan asma eksaserbasi akut yang mengancam nyawa harus dirawat di
DAFTAR PUSTAKA
1. Chestnut MS, Prendergast TJ. Obstructive lung diseases : Asthma and Chronic
3. Karen J. Marcdante, dkk, 2014, Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial Edisi Keenam.