Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN KASUS

“BRONKHIOLITIS”

DISUSUN OLEH :

Septiana Abdurrahim

1620221166

PEMBIMBING :

Letkol CKM dr. Roedi Djatmiko, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA

RST TK II DR SOEDJONO MAGELANG

2017
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Kasus
“BRONKHIOLITIS”

Disusun dan diajukan untuk memenuhi persyaratan tugas


Kepaniteraan Klinik Departemen Anak RST TK II dr. Soedjono Magelang

Oleh :
Septiana Abdurrahim

1620221166

Magelang, Januari 2018


Telah dibimbing dan disahkan oleh

Pembimbing,

(Letkol CKM dr. Roedi Djatmiko, Sp.A)


KATA PENGANTAR

Dalam kesempatan ini puji dan syukur penulis hanturkan kehadirat Allah SWT atas
rahmat, nikmat, serta hidayah-Nya dalam penulisan tugas makalah Laporan Kasus ini. Serta
salawat serta salam senantiasa tercurah kepada nabi Muhammad SAW dan keluarga nya serta
para sahabat. Tugas Makalah Laporan Kasus yang berjudul “Bronkhiolitis” dapat terselesaikan
dengan baik.

Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Letkol CKM dr.
Roedi Djatmiko, Sp.A selaku pembimbing kepaniteraan klinik anak RST TK II Dr Soedjono
Magelang tahun 2018.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, oleh
karena itu peneliti memohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga makalah yang disusun
penulis ini dapat bermanfaat bagi bangsa dan negara serta masyarakat luas pada umumnya di
masa yang akan datang.

Magelang, Januari 2018

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah infeksi akut yang dapat terjadi di setiap
tempat di sepanjamg saluran pernapasan dan adneksanya (telinga tengah, kavum opleura dan
sinus paranasalis). Secara anatomic, ISPA dikelompokkam menjadi ISPA-atas misalnya batuk-
pilek, faringitis, tonsillitis, dan ISPA bawah seperti bronchitis, bronchiolitis dan pneumonia.
ISPA atas jarang menimbulkan kematian walaupun insidennya jauh lebih sering daripada ISPA
bawah.
Bronkiolitis diartikan sebagai penyakit obstruktif akibat inflamasi akut pada saluran
nafas kecil (bronkioli). Sering terjadi pada anak berusia di bawah 2 tahun dengan insiden
tertinggi umur 2-8 bulan. Respiratory Syncytial Virus merupakan agen penyebab pada 50 – 90
% kasus, sisanya oleh virus para influenza, mikoplasma, adenovirus dan virus lainnya. Infeksi
primer oleh bakteri penyebab belum dilaporkan. Perbandingan insiden antara laki-laki dan
wanita sekitar 1,5 : 1. Lebih sering mengenai kelompok sosial ekonomi rendah, keadaan tempat
tinggal yang penuh sesak dan lingkungan perokok. Penularannya dapat melalui droplets, kontak
dengan benda yang telah terkontaminasi seperti pakaian, perabot atau infeksi nosocomial.

Walaupun gejala bronkiolitis dapat menghilang dalam waktu 1 – 3 hari, pada beberapa
kasus dapat lebih berat, bahkan dapat menyebabkan kematian. Mortalitasnya kurang dari 1 %,
biasanya meninggal karena jatuh dalam keadaan apnu yang lama, asidosis respiratorik yang
tidak terkoreksi, atau karena dehidrasi yang disebabkan oleh takipnu dan kurang makan -
minum. Disamping itu dapat pula memberikan dampak jangka panjang berupa batuk berulang,
mengi, hiperreaktivitas bronkus sampai beberapa tahun, bronkiolitis obliterasi, dan sindrom
paru hiperlusen unilateral (Swyer-James Syndrome).
BAB II
LAPORAN KASUS

II.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : An FA

Umur : 1 tahun 8 bulan

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Sojomerto kidol RT 03

Tanggal masuk RS : 10 Januari 2018

Tanggal keluar RS : 13 Januari 2018

II.2 ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis kepada ibu pasien.

Keluhan Utama
Sesak nafas.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke RST Tk II dr Soedjono Magelang dengan keluhan sesak nafas pagi ini.
Pasien juga batuk disertai dahak sudah 3 hari yang lalu. pasien demam (+). Keluhan lain
disangkal, pilek (-), mual muntah (-). BAB dalam batas normal, tidak berwarna merah atau
cokelat. BAK dalam batas normal.
Riwayat alergi disangkal, riwayat keluhan serupa sebelumnya disangkal, riwayat
keluarga dan lingkungan dengan keluhan serupa disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu


-
Riwayat Penyakit Keluarga
Anggota keluarga dan lingkungan sekitar yang sakit dengan keluhan serupa disangkal.

Riwayat Pengobatan
-

II.3 PEMERIKSAAN FISIK (Ruang Flamobyan 10 Januari 2018)

Keadaan umum : Tampak Sakit Ringan


Kesadaran : Compos Mentis
Tanda vital
• Nadi : 134x/menit
• Pernafasan :52x/menit
• Suhu : 38,4 ºC
• SpO2 : 91%
Berat badan : 8,4 kg

Pemeriksaan Generalis
Kepala : Normocephali, rambut hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut
Ekspresi : Ekspresi baik
Mata : Pupil bulat isokor, reaksi cahaya langsung +/+, reaksi cahaya tidak
langsung +/+, konjungtiva pucat, skera ikterik
Telinga : Normotia, sekret -/-
Hidung : Deviasi septum -/-, mukosa hiperemis-/-, sekret-/-, pernafasan cuping
hidung (+)
Mulut : Lidah kotor(-), mukosa bibir lembab.
Leher : pembesaran KGB (-)
Kulit : Sianosis(-), turgor baik, ruam (-)
Thoraks:
Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Kesan normal
Auskultasi : S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo
Inspeksi :Simetris dalam keadaan stastis dan dinamis, retraksi (+)
Palpasi :Gerak nafas simetris, vocal fremitus sama kuat di kedua hemitoraks
Perkusi :Terdengar hipersonor di kedua hemitoraks
Auskultasi :Suara nafas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing +/+
Abdomen
Inspeksi : datar
Palpasi : nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal 2x/menit
Genitalia : Perempuan, tidak ada kelainan
Ekstremitas : Akral hangat, sianosis (-), udem (-)

III.4. DIAGNOSIS SEMENTARA


Bronkiolitis

III.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG


- Pemeriksaan darah lengkap (10-01-2018)

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

Hb 10.6 (L) 12,0 – 16,0 gr/dl

Ht 29.6 (L) 35 - 47%

Eritrosit 5.24 (L) 3,9 – 5,5 juta/µL


MCV 56.4 (L) 80 – 100 fL

MCH 20.3 (L) 26 – 35 pg

MCHC 35.9 31 – 36 gr/dL

Trombosit 153.000 150.000 – 440.000/µL

Leukosit 22.100 (H) 3.600 –11.000/µL

LYM 6.9 (H) 0,5 – 5,0/µL

LYM% 31.5 15 – 50 %

MID 1.4 0,1 – 1,5/µL

MID% 6.2 2 – 15 %

GRA 13.8 1,2 - 8/µL

GRA% 62.3 35 – 80 %

LED 42

- Pemeriksaan Rontgen Thorax AP view (11-01-2018)

Kesan :
o Bronchiolitis
o Konfigurasi COR normal
III.6 DIAGNOSIS KERJA
Bronkhiolitis

III.7 PENATALAKSANAAN
 O2 1LPM
 Inf. D5 ¼ NS 900cc/24jam
 Inj. Kalfoxime 250/8 jam IV 
 Inj. Gentamicin 50mg/12jam IV
 Inj. Ranitidine 10mg/12jam IV
 Inf. Sanmol 150mg/8jam 
 Nebulizer/6jam 
III.8 Follow up

Rabu , Subjektif Sesak (+) , batuk (+) , demam (+) , mual (-) , muntah (-) ,
10 januari BAB (+) , BAK (+)
2018 Objektif Keadaan umum : tampak sakit sedang
Nadi : 134x/menit
Pernafasan : 48x/menit
Suhu : 37.8 ºC
Kepala : normocephali, SI-/-, CA-/-
Mulut : Lidah kotor(-), mukosa bibir lembab.
Leher : KGB membesar (-)
Thoraks : BJ I & II reguler, murmur (-), gallop(-)
Suara nafas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen : Datar, nyeri tekan (-), Timpani, Bising usus
(+) normal 2x/menit
Ekstremitas: akral hangat +, udem –

Assessment Bronkhiolitis
Planning  O2 ½ L NK
 IVFD. D5 ¼ NS 900cc/24jam
 Inj. Kalfoxime 250/8 jam IV 
 Inj. Gentamicin 50mg/12jam IV
 Inj. Ranitidine 10mg/12jam IV
 Inf. Sanmol 150mg/8jam 
 Nebulizer ventoline 1cc + flexotide 1cc + Nacl 0,9%
1cc /6jam 
 Pulvis 3x1
 Cek DL, LED
 Rontgen thorax
Kamis, Subjektif Sesak (+) , batuk (+) , demam (-) , mual (-) , muntah (+) 1x
11 januari karena batuk terus menerus , BAB (+) , BAK (+)
2018 Objektif keadaan umum : tampak sakit sedang
Nadi : 92x/menit
Pernafasan : 54x/menit
Suhu : 36,3 ºC
SpO2 : 95%
Kepala : normocephali, SI-/-, CA-/-
Mulu : Lidah kotor(-),mukosa bibir lembab.
Leher :KGB membesar (-)
Thoraks : BJ I & II reguler, murmur (-), gallop(-)
Suara nafas vesikuler,ronkhi -/-, wheezing
+/+
Abdomen : Datar, nyeri tekan (-), Timpani, Bising usus (+)
normal 2x/menit
Ekstremitas: akral hangat +, udem –
Assessment Bronkhiolitis
Planning  O2 2 L NK
 IVFD. D5 ¼ NS 900cc/24jam
 Inf. Sanmol 150mg/8jam 
 Inj. Kalfoxime 250/8 jam IV 
 Inj. Gentamicin 50mg/12jam IV
 Inj. Ranitidine 10mg/12jam IV
 Nebulizer ventoline 1cc + flexotide 1cc + Nacl 0,9%
1cc /6jam 
 Pulvis 3x1
 Drip aminophilin 
 loading dose : 85mg aminophiline dalam 150cc
dextrose 5% habis dalam 1 jam 
 maintenance dose : 50mg aminophiline dalam
150cc dextrose 5% habis dalam 1 jam
 50mg aminophiline /6jam
 Ttv/jam
 Jika sesak makin parah pindah ICU
Jumat, 12 Subjektif batuk sudah berkurang, Sesak (-) , batuk (+) , demam (-) ,
Januari 2018 mual (-) , muntah (-), BAB (+) , BAK (+)
Objektif keadaan umum : tampak sakit sedang
Nadi : 149x/menit
Pernafasan : 40x/menit
Suhu : 36,6 ºC
SpO2 : 98%
Kepala : normocephali, SI-/-, CA-/-
Mulut : Lidah kotor(-), mukosa bibir lembab.
Leher :KGB membesar (-)
Thoraks : BJ I & II reguler, murmur (-), gallop(-)
Suara nafas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen : Datar, nyeri tekan (-), Timpani, Bising usus (+)
normal 2x/menit
Ekstremitas: akral hangat +, udem –
Assesment Bronkhiolitis
Planing  O2 2 L NK
 IVFD. D5 ¼ NS 900cc/24jam
 Inj. Kalfoxime 250/8 jam IV 
 Inj. Gentamicin 50mg/12jam IV
 Inj. Ranitidine 10mg/12jam IV
 Nebulizer ventoline 1cc + flexotide 1cc + Nacl 0,9%
1cc /6jam 
 Pulvis 3x1
 Drip aminophilin 
 loading dose : 85mg aminophiline dalam 150cc
dextrose 5% habis dalam 1 jam 
 maintenance dose : 50mg aminophiline dalam
150cc dextrose 5% habis dalam 1 jam
 50mg aminophiline /6jam
 TTV / 3jam

Sabtu, 03 Subjektif batuk sudah berkurang, Sesak (-) , batuk (+) , demam (-) ,
Januari 2018 mual (-) , muntah (-), BAB (+) , BAK (+)
Objektif Keadaan umum : tampak sakit sedang
Nadi : 120x/menit
Pernafasan : 33x/menit
Suhu : 36,3 ºC
SpO2 : 98%
Kepala : normocephali, SI-/-, CA-/-
Mulut : Lidah kotor(-), mukosa bibir lembab.
Leher :KGB membesar (-)
Thoraks : BJ I & II reguler, murmur (-), gallop(-)
Suara nafas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen : Datar, nyeri tekan (-), Timpani, Bising usus (+)
normal 2x/menit
Ekstremitas: akral hangat +, udem –
Assesment Bronkhiolitis
Planing  O2 2 L NK
 IVFD. D5 ¼ NS 900cc/24jam
 Inj. Kalfoxime 250/8 jam IV 
 Inj. Gentamicin 50mg/12jam IV
 Inj. Ranitidine 10mg/12jam IV
 Nebulizer ventoline 1cc + flexotide 1cc + Nacl 0,9%
1cc /6jam 
 Pulvis 3x1
 Drip aminophilin 
 loading dose : 85mg aminophiline dalam 150cc
dextrose 5% habis dalam 1 jam 
 maintenance dose : 50mg aminophiline dalam
150cc dextrose 5% habis dalam 1 jam
 50mg aminophiline /6jam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI 1,3

Bronkiolitis adalah penyakit infeksi respiratorik akut-bawah yang ditandai


dengan adanya inflamasi pada bronkiolus. Umumnya infeksi disebabkan oleh virus.
Penyakit ini terjadi selama usia 2 tahun pertama dan insidens puncaknya terjadi pada
usia 6 bulan. Secara klinis ditandai dengan episode wheezing, nafas cepat dan retraksi
dada.

B. EPIDEMIOLOGI 1,3,5
Bronkiolitis merupakan infeksi saluran pernapasan tersering pada bayi. Paling
sering terjadi pada usia 2-24 bulan, puncaknya terjadi pada usia 2-8 bulan. Sembilan
puluh lima persen kasus terjadi pada anak usia di bawah 2 tahun dan 75% diantaranya
terjadi pada anak di bawah 1 tahun.
Orenstein menyatakan bahwa bronkiolitis paling sering terjadi pada bayi laki-
laki berusia 3-6 bulang yang tidak mendapat ASI dan hidup di lingkungan padat
penduduk. Selain Orenstein, Louden menyatakan bahwa 1.25 kali lebih banyak pada
anak laki-laki daripada anak perempuan. Dominasi anak laki-laki yang dirawat juga
disebutkan oleh Shay, yaitu 1.6 kali lebih banyak daripada anak perempuan, sedangkan
Fjareli menyebutkan 63% kasus bronkiolitis adalah pada anak laki-laki.
Sebanyak 11.4% anak berusia di bawah 1 tahun dan 6 % anak berusia 1-2 tahun
di AS pernah mengalami bronkiolitis. Penyakit ini menyebabkan 90.000 kasus
perawatan di RS dan menyebabkan 4500 kematian setiap tahunnya. Bronkiolitis
merupakan 17% dari emua kasus perawatandi Rs pada bayi. Freukuensi bronkiolitisdi
Negara-negara berkembang hamper sama dengan di AS. Insidens terbanyak terjadi pada
musim dingin atau musim hujan di Negara-negara tropis. Bagian ilmu kesehatan anak
RSU Dr. Soetomo Surabaya, pada tahun 2001 dan 2003, bronkiolitis banyak terjadi pada
bulan Januari sampai dengan Mei.

Angka morbiditas dan mortalitas lebih tinggi di Negara-negara berkembang


daripada negara-negara maju. Hal ini mungkin disebabkan oleh rendahnya status gizi
dan ekonomi, kurangnya tunjangan medis serta kepadatan penduduk di negara
berkembang. Angka mortalitas di negara berkembang pada anak-anak yang dorawat
adalah 1-3%.

C. ETIOLOGI 2.3

Penyebab utama bronkiolotis adalah infeksi respiratory syncytical virus(RSV)


yang memiliki morbiditas dan mortalitas tinggi, terutama pada anak dengan risiko tinggi
dan imunokompromise. Sekitar 93% dari kasus-kasus tersebut secara serologis terbukti
disebabkan oleh invasi RSV. Orenstein menyebutkan pula beberapa penyebab lain
seperti adenovirus, virus influenza, virus para influenza, Rhinovirus dan mikoplasma.
Tidak ada bukti yang kuat bahwa bakteri menyebabkan bronkiolitis.
Virus RSV lebih virulen daripada virus lain dan menghasilkan imunitas yang
tidak bertahan lama. Infeksi ini pada orang dewasa tidak menimbulkan gejala klinis.
RSV adalah virus golongan paramikovirus dengan bungkus lipid serupa dengan virus
parainfluenza, tetapi hanya mempunyai satu antigen permukaan beruoa glikoprotein dan
nukleokapsid RNA heliks linear. Tidak adanya genom yang bersegmen dan hanya
mempunyai satu antigen bungkus berarti bahwa komposisi antigen RSV relative stabil
dari tahun ke tahun.

D. FAKTOR RISIKO 1.3


Bronkiolitis sering menyerang anak di bawah usia 2 tahun dengan insidens
tertinggi pada bayi usia 6 bulan. Makin muda usia bayi menderita bronkiolitis biasanya
manisfestasinya akan semakin berat. Bayi yang menderita bronkiolitis berat mungkin
disebabkan oleh karena kadar antibody maternal (maternal neutrakizing antibody) yang
rendah. Selain usia, bayi dan anak dengan penyakit jantung bawaan, bronkopulmonary
dysplasia, prematuritas, kelainan neurologis dan imunocompromized mempunyai risiko
yang lebih besar untuk terjadinya penyakit yang lebih berat. Insiden infeksi RV sama
pada laki-laki dan wanita, namun bronkiolitis berat lebih sering terjadi pada bayi dan
anak laki-laki, selain itu faktor risiko terjadinya bronkiolitis adalah status social
ekonomi yang rendah, jumlah anggota keluarga yang besar, erokok pasif dan berada
pada tempat penitipan anak atau tempat dengan lingkungan padat penduduk.

E. PATOFISIOLOGI 1

Virus bereplikasi di dalam nasofaring kemudian menyebar dari saluran nafas


atas ke saluran nafas bawah melalui penyebaran langsung pada epitel saluran nafas dan
melalui aspirasi sekresi nasofaring. RSV mempengaruhi sistem saluran napas melalui
kolonisasi dan replikasi virus pada mukosa bronkus dan bronkiolus yang memberi
gambaran patologi awal berupa nekrosis sel epitel silia. Nekrosis sel epitel saluran napas
menyebabkan terjadi edema submukosa dan pelepasan debris dan fibrin kedalam lumen
2
bronkiolus .

2
Gambar 1. Respon inflamasi selular pada infeksi virus saluran nafas

2
(Sumber : The Internet Journal of Pediatricsnand Neonatology )
Virus yang merusak epitel bersilia juga mengganggu gerakan mukosilier, mukus
tertimbun di dalam bronkiolus. Kerusakan sel epitel saluran napas juga mengakibatkan
saraf aferen lebih terpapar terhadap alergen/iritan, sehingga dilepaskan beberapa
neuropeptida (neurokinin, substance P) yang menyebabkan kontraksi otot polos saluran
napas. Pada akhirnya kerusakan epitel saluran napas juga meningkatkan ekspresi
Intercellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) dan produksi sitokin yang akan menarik
eosinofil dan sel-sel inflamasi. Jadi, bronkiolus menjadi sempit karena kombinasi dari
proses inflamasi, edema saluran nafas, akumulasi sel- sel debris dan mukus serta spasme
otot polos saluran napas.

Adapun respon paru ialah dengan meningkatkan kapasitas fungsi residu,


menurunkan compliance, meningkatkan tahanan saluran napas, dead space serta
meningkatkan shunt. Semua faktor-faktor tersebut menyebabkan peningkatan kerja
sistem pernapasan, batuk, wheezing, obstruksi saluran napas, hiperaerasi, atelektasis,
5
hipoksia, hiperkapnea, asidosis metabolik sampai gagal napas.

Karena tahanan/resistensi terhadap aliran udara di dalam saluran besarnya


berbanding terbalik dengan radius/jari-jari pangkat empat, maka penebalan yang sedikit
sekalipun pada dinding bronkhiolus bayi dapat sangat mempengaruhi aliran udara.

Tahanan pada saluran udara kecil bertambah selama fase inspirasi dan fase
ekspirasi, namun karena selama ekspirasi radius jalan nafas menjadi lebih kecil, maka
hasilnya adalah obstruksi pernafasan katup bola yang menimbulkan perangkap udara
awal dan overinflasi. Volume dada pada akhir ekspirasi meningkat hampir 2 kali di atas
normal. Atelektasis dapat terjadi ketika obstruksi menjadi total dan udara yang
1
terperangkap di absorbsi.

Proses patologis mengganggu pertukaran gas normal di dalam paru. Perfusi


ventilasi yang tidak sepadan menimbulkan hipoksemia, yang terjadi pada awal
perjalanannya. Retensi karbondioksida (hiperkapnea) biasanya tidak terjadi kecuali pada
penderita yang terkena berat. Makin tinggi frekuensi pernafasan makin rendah tekanan
oksigen arteri. Hiperkapnea biasanya tidak terjadi sampai pernafasan melebihi 60
1
kali/menit; selanjutnya proporsi hiperkapnea ini bertambah menjadi takipnea.
6
Gambar 2. Pembengkakan bronkioli pada bronkiolitis

Anak yang lebih besar dan orang dewasa jarang mengalami bronkiolitis bila
terserang infeksi virus. Perbedaan anatomi antara paru-paru bayi muda dan anak yang
lebih besar mungkin merupakan kontribusi terhadap hal ini. Respon proteksi imunologi
terhadap RSV bersifat transien dan tidak lengkap. Infeksi yang berulang pada saluran
napas bawah akan meningkatkan resistensi terhadap penyakit. Akibat infeksi yang
berulang-ulang, terjadi cumulatif immunity sehingga pada anak yang lebih besar dan
orang dewasa cenderung lebih tahan terhadap infeksi bronkiolitis dan pneumonia karena
5
RSV.

Penurunan ventilasi dari bagian paru-paru menyebabkan ventilasi / perfusi


mismatching, mengakibatkan hipoksia. Selama fase ekspirasi respirasi, dinamis lebih
lanjut penyempitan saluran udara menghasilkan penurunan aliran udara yang tidak
proporsional dan menyaring udara yang dihasilkan. Kerja pernapasan meningkat karena
volume paru-paru meningkat akhir-ekspirasi dan penurunan kepatuhan paru- paru.
Penyembuhan bronkiolitis akut diawali dengan regenerasi epitel bronkus dalam 3-4 hari,
sedangkan regenerasi dari silia berlangsung setelah 2 minggu. Jaringan mati (debris)
7
akan dibersihkan oleh makrofag.

Infeksi RSV dapat menstimulasi respon imun humoral dan selular. Respon
antibodi sistemik terjadi bersamaan dengan respon imun lokal. Bayi usia muda
1
mempunyai respon imun yang lebih buruk.

Glezen dkk (dikutip dari Bar-on, 1996) mendapatkan bahwa terjadi hubungan
terbalik antara titer antibodi neutralizing dengan resiko reinfeksi. Tujuh puluh sampai
delapan puluh persen anak dengan infeksi RSV memproduksi IgE dalam 6 hari
perjalanan penyakit dan dapat bertahan sampai 34 hari. IgE-RSV ditemukan dalam
sekret nasofaring 45% anak yang terinfeksi RSV dengan mengi, tapi tidak pada anak
tanpa mengi. Bronkiolitis yang disebabkan RSV pada usia dini akan berkembang
5
menjadi asma bila ditemukan IgE spesifik RSV . 


F. MANISFESTASI KLINIS 1.3.5


Mula-mula mendeita gejala ISPA atas ringan berupa pilek yang encer, dan
bersin, gejala ini kadang disertai demam dan nafsu makan berkurang. Kemudian satu
atau dua hari kemudian timbul distress nafas yang ditandai oleh batuk paroksismal,
wheezing dan sesak napas. Bayi-bayi akan menjadi rewel, muntah serta sulit makan dan
minum.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan distress nafas dengan frekuensi nafas diatas
60 kali per menit (tachipnoe), terkadang disertai sianosis, nadi juga biasanya meningkat
(takikardi). Suhu badan bisa normal atau meningkat tinggi sampai 41oC. terdapat nafas
cuping hidung, penggunaan otot bantu pernapasan yang ditandai dengan retraksi
interkostal, subkostal dan suprasternal. Retraksi biasanya tidak dalam karena
hiperinflasi paru (terperangkapnya udara dalam paru). Terdapat ekspirasi yang
memanjang, wheezing yang terdengar dengan atau tanpa stetoskop, serta terdapat
crackles. Pada auskultasi dapat didapatkan rhonki basah halus nyaring pada akhir atau
awal ekspirasi. Suara perkusi paru dapat menjadi hipersonor. Hepar dan lien mungkin
dapat teraba akibat pendorongan diafragma karena tertekan oleh paru yang hiperinflasi.
Sering terjadi hipoksia dengan saturasi oksigen <92% pada udara kamar. Pada beberapa
pasien dengan bronkiolitis didapatkan konjungtivitis ringan, otitis media serta faringitis.
G. KLASIFIKASI 5

Klasifikasi bronkiolitis berdasarkan gejala klinis

Derajat Tanda
Ringan  Anak sadar, warna kulit biasa
 Dapat makan dengan baik
 Saturasi oksigen >90%
Sedang Salah satu diantaranya:
 Kesulitan makan
 Lemah
 Kesulitan bernapas, digunakan otot-otot bantu pernapasan
 Adanya kelainan jantung atau saluran napas
 Saturasi oksigen < 90%
 Usia kurang dari 6 bulan
Berat Seperti criteria bronkiolitis sedang, ditambah:
 Tidak membaik dengan pemberian oksigen
 Menunjukkan periode apnoe
 Menunjukkan tanda kelelahan otot pernapasan atau
terkumpulnya karbondioksida dalam tubuh

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1,2,4


- Pemeriksaan darah tepi tidak khas, jumlah leukosit berkisar antara 5000 – 24000 sel
µl.

Pada keadaan leukositosis, batang dan PMN banyak ditemukan.


- Analisis gas darah : hiperkania sebagai tanda dari air tapping, asidosis metabolic
atau respiratorik.

Analisa gas darah (AGD) diperlukan untuk anak gangguan pernafasan berat.
Khusunya yang membutuhkan ventilator mekanik, gejala kelelahna dan hipoksia.
Foto Thorak diindikasikan pada:
Pasian yang diperkirakan memerlukan perawatan lebih
Pasien dengan pemburukan klinis yang tidak terduga
Pasien dengan penyakit jantung dan paru yang mendasari.
- Rontgen dengan Thoraks AP dan lateral dapat terlihat gambaran dengan hiperinflasi
paru dengan diameter anteroposterior membesar pada foto lateral disertai dengan
diafragma datar. Penonjolan ruang restroternal dan penonjolan ruang interkostal.
Dapat terlihat bercak konsolidasi yang tersebar pada sekitar 30% penderita dan
disebabkan oleh atelektaksis akibat obstruksi atau karena radang alveolus.

- Identifikasi virus dengan memeriksa sekresi nasal dengan menggunakan tehnik


imunofluoresens atau enzyme linked immunesorbent assay (ELISA).

- HIstopatologi : hipertrofi dan timbunan infiltrat meluas ke peribronkial, destruksi


dan deorganisasi jaringan otot dan elastis dinding mukosa. Terminal bronkiolus
tersumbat dan dilatasi. Alveoli overdistensi. Atelektasis dan fibrosis. Sensifitas
pemeriksaan ini adalah 80-90%.

I. DIAGNOSIS 1,2,3

Diagnosis bronkiolitis berdasarkan gambaran klinis, umur penderita dan adanya


epidemic RSV di masyarakat. kriteria bronkiolitis terdiri dari (1) wheezing pertama
kali, (2) umur 24 bulan atau kurang, (3) pemeriksaan fisik sesuai dengan gambaran
infeksi virus misalnya batuk, pilek, demam dan (4) menyingkirkan pneumonia atau
riwayat atopi yang dapat menyebabkan wheezing.
Tes laboratorium rutin tidak spesifik. Hitung lekosit biasanya normal. Pada pasien
dengan peningkatan lekosit biasanya didominasi oleh PMN dan bentuk batang.
Analisa gas darah dapat menunjukan adanya hipoksia akibat V/Q mismatch dan
asidosis metabolic jika terdapat dehidrasi.
Gambaran Radiologik mungkin masih normal bila bronkiolitis ringan.
Umumnya terlihat paru-paru mengembang (hyperaerated). Bisa juga didapatkan
bercak-bercak yang tersebar mungkin atelektasis (patchy atelectasis) atau
pneumonia (patchy infiltrates). Pada x-foto lateral, didapatkan diameter AP yang
bertambah dan diafragma tertekan ke bawah. Pada pemriksaan x-foto dada,
dikatakan hyperaerated apabila kita mendapatkan: siluet jantung yang menyempit
jantung terangkat, difargma lebih rendah dan mendatar, diaemeter asteroponterior
dada bertambah, ruang retrosternal lebih lusen, iga horizontal, pembuluh darah paru
tampak tersebar.
Untuk menentukan penyebab bronkiolitis, dibutuhkan pemeriksaan aspirasi ata
bilasan nasofaring. Pada bahan ini dapat dilakukan kultur virus tetapi memerlukan
waktu yang lama, dan hanya memberikan hasil positif pada 50% kasus. Ada cara
lain yaitu dengan melakukan pemeriksaan antigen RSV deangan menggunakan cara
imunofluoresen atau ELISA. Sensitifitas pemeriksaan ini adalah 80-90%.

J. DIAGNOSIS BANDING 1,2


 Asma bronchial

Terdapat riwayat keluarga asma, episode berulang pada bayi yang sama, mulainya
mendadak tanpa infeksi yang mendahului, ekspirasi sangat memanjang eosinofilia
dan respons perbaikan segera pada pemberian satu dosis albuterol aerosol
 Pneumonia

 Aspirasi benda asing

 Rafluks gastroesophageal

 Sistik Fibrosis

 Miokarditis

K. KOMPLIKASI 1
Komplikasi dan bronkiolitis sangat minimal dan tergantung dari
penatalaksanaan penyakit sebelumnya. Pada beberapa kasus didapatkan adanya
gangguan fungsi paru yang menetap, dimana timbulnya wheezing berulang dan
hiperaktifitas bronchial. Beberapa studi kohort menghubungkan infeksi bronkiolitis akut
berat pada bayi akan berkembang menjadi asma. Suatu studi kohort prospektif
menemukan bahwa 23% bayi dengan riwayat bronkhiolitis berkembang menjadi asma
pada usia 3 tahun, dibandingkan dengan 1% pada kelompok control.

L. PENATALAKSANAAN 1,5
Infeksi virus RSV biasanya sembuh sendiri (self limited) sehingga sebagian besar
tatalaksana bronkiolitis pada bayi bersifat suportif, yaitu pemberian oksigen, minimal
handling pada bayi, cairan intravena dan kecukupan cairan, penyesuaian suhu lingkungan
agar konsumsi oksigen minimal, tunjangan respirasi bila perlu, dan nutrisi. Setelah itu
barulah digunakan bronkodilator, antiflamasi seperti kortikosteroid, antiviral seperti
ribavirin, dan pencegahan dengan vaksin RSV. RSV immunoglobuline(polyclnal) atau
humanized RSVmonoclonal antibody (palvizumad).
Bronkiolitis ringan biasanya bisa rawat jalan dan perlu diberikan cairan peroral yang
adekuat. Bayi dengan bronkiolitis sedang sampai berat harus rawat inap. Penderita resiko
tinggi harus rawat inap, diantaranya: berusia kurang dari 3 bulan, premature, kelainan
jantung, kelainan neurologi, penyakit paru kronis, defisiensi imun dan distress napas.
Manajemen dasar pengobatan bronkiolitis adalah meyakinkan pasien secara klinis
stabil, oksigenasi baik dan hidrasi baik.
 Manfaat utama dari rawat inap bagi pasien dengan akut bronkiolitis adalah:
- Dapat melakukan pengawasan terhadap satu klinis

- Dapat melakukan pemnatauan saluran nafas (melalui penempatan posisi, pengisapan


dan pembersihan cairan)

- Dapat melakukan pemantauan hidarasi cairan tubuh yang adekuat

- Dapat memberikan edukasi kepada orang tua

- Mendeteksi dan mengobati komplikasi yang mungkin timbul


- Mencegah penyebaran infeksi terhadap pasien lain dan pegawai

- Melakukan pengibatan dengan menggunakan antivirus yang spesifik jika terdapat


indikasi.

 Indikasi-indikasi untuk perawatan di rumah sakit:

- Tanda klinis gangguan pernafasan atau tanda kelelahan

- Apnoe

- Ketidakmampuan untuk makan

- Hypoksemia

- Pasien dengan kondisi dasar medis

Pengobatan Suportif
A. Pengawasan

Untuk pasien yang di rawat inap penting dilakukan pengawasan system jantung paru
dan jika ada indikasi dilakukan pemasang pulse oxymetri.
B. Oksigenasi sangat penting untuk menjaga jangan sampai terjadi hipoksia, sehingga
memperberat penyakitnya. Hipoksia terjadi akibat gangguan perfusi ventilasi paru-
paru. Pemberian oksigen tambahan direkomendasikan ketika saturasi oksigen menetap
di bawah 91% dan dihentikan ketika saturasi oksigen menetap diatas 94%. Oksigenasi
dengan kadar oksigen 30-40% sering digunakan untuk mengoreksi hipoksia, gunakan
nasal kanul (dengan kecepatan maksimum 2L/m) masker muka atau kotak kepala. Jika
mungkin gunakan oksigen yang dilembabkan. Jika hiposekmia menetap dengan atau
tanpa distress berat, meskipun sudah diberikan oksigen dengan kecepatan tinggi, maka
segera lakukan permintaan untuk pengananan ICU anak dengan pemasangan ventilator.

C. Pengatur Cairan

Pemberian cairan sangat penting untuk mencegah dehidrasi akibat keluarnya cairan
lewat evaporasi, Karena pernafasan yang cepat dan kesulitan minum. Jika tdak terjadi
dehidrasi deberikan cairan rumatan. Berikan tambahan cairan 20% dari kebutuhan
rumatan jika didapatkan demam yang naik turun atau menetap ( suhu > 38.5°C). cara
pemberian cairan ini bisa secara intravena atau pemasangan selang nasogastrik. Akan
tetapi harus hati-hati pemberian cairan lewat lambung karena dapat terjadi aspirasi dan
menambah sesak nafas, akibat lambung yang terisi cairan dan menekan diafragma ke
paru-paru. Selain itu harus dicegah terjadinya overload cairan.
Lakukan pemeriksaan serum elektrolit dan jika mendapatkan nilai yang tidak normal
lakukan penggantian dengan cairan elektrolit.
- Bayi > 1 bulan : infuse dekstrose 10% :NaCL 0.9% = 3:1 + KCl 10mEq 500 ml cairan

- Neonatus : infuse dekstrose 10% :NaCL 0.9% = 4:1 + KCl 10mEq 500 ml cairan

Pengobatan Medikamentosa
A. Antivirus (Ribavirin)

 Bronkiolitis paling banyak disebabkan oleh virus sehingga ada pendapat


untuk mengurangi beratnya penyakit dapat diberikan antivirus.
 Ribavirin adalah obat antivirus yang bersifat statik. The Amerikan Pediatric
merekomendasikan penggunaan Ribavirin pada keadaan diperkirakan
penyakitnya menjadi lebih berat seperti pada penderita Bronkiolitis dengan
kelainan jantung, fibrosis kistik, penyakit paru-paru kronik, immunodefisiensi
dan pada bayi-bayi premature. Ada beberapa penelitian prospektif tentang
penggunaan ribavirin pada penderita bronkiolitis dengan penyakit jantung
dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian jika deberikan pada saat
awal.
 Penggunaan ribavirin biasanya dengan cara nebulizer aerosol 12-18 jam per
hari atau dosis kecil dengan 2 jam 3x/hari.
B. Bronkodilator

 Secara umum jangan gunakan bronkodilator pada pasien anak dengan usia di
bawah 6 bulan. Bronkodilator juga tidak dapat dianjurkan dan sebetulnya
merupakan kontra indikasi karena dapat memperberat keadaan anak.
Penderita dapat menjadi lebih gelisah dan keperluan oksigen akan meningkat.
 Wohl dan chernick menyatakan bahwa penyebab obstruksi saluran respiratory
adalah inflamasi dan penyempitan akibat edema mukosa dan sumbatan
mukosa, serta kolapsnya saluran respiratori kecil pada bayi bronkiolitis,
sehingga pendekatan logis terapi adalah kombinasi α-adrenergik dan β-
adrenergik.

Kelebihan epinefrin dibandingkan bronkodilator β-adrenergik selektif adalah:


- Kerja konstriktor α-adrenergik yag merupakan dekongedtan mukosa, membatasi
absorbsinya dan mengatur aliran darah pulmoner dengan sedikit efek pada
ventilation perfusing matching

- Relaksasi otot bronkus karena efek β-adrenergik

- Kerja β-adrenergik menekan pelepasan mediator kimiawi

- Efek fisiologik antihistamin yang melawan efek histamin seperti edema

- Mengurangi sekresi kataral.

Beta agonis masih sering digunakan dengan alasan 15% – 25% pasien bronkiolitis
nantinya akan menjadi asma. Inhalasi β2-agonis diberikan satu kali sebagai trial dose.
Karena efek akan tampak dalam 1 jam, maka dosis ulang akan diberikan bila pasien
menunjukan perbaikan klinis fungsi paru yang jelas dan menetap.
C. Kartikosteroid

Untuk pasien rawat jalan dengan akut bronkiolitis pemberian steroid sistemik
mungkin dapat dipertimbangkan tetapi total pemberian tidak lebih dari 5 hari.
Dapat diberikan Deksametason 0.5mg/kgBB dilanjutkan 0.5mg/kgBB/hari dibagi 3-
4 dosis. Untuk pasien rawat inap steroid sistemik tidak rutin diberikan. Sedangkan
untuk penanganan pasien pada intensive care unit dengan bronkiolitis berat
pemberian steroid sistemik dapat dipertimbangkan. Sedangkan pemberian steroid
inhalasi (budesonide&fluticasone) sangat sedikit evidence based yang
merekomedasikan.
D. Antibiotik

 Pemberian antibiotik biasanya tidak diperlukan pada penderita bronkiolitis,


karena sebagian besar disebabkan oleh virus, kecuali jika ada tanda-tanda
infeksi sekunder oleh kuman yang resisten terhadap antibiotik tersebut.
 Antibiotic bila dicurigai adanya infeksi bakteri dapat digunakan ampisilin
100-200mg/kgBB/hr secara intravena dibagi 4 dosis. Bila ada kinjungtivitis
dan bayi berusia 1-4 bulan kemungkinan sekunder oleh Chlamidia
Trachomatis
Pengobatan Intensive Care Unit
Dilakukan konsultasi untuk dilakukan perawatan ICU pada anak, jika:
- Terjadi progresivitas untuk gangguan pernapasan berat terutama pada
kelompok yang berisiko
- Terdapat episode apnoe yang signifikan dengan gangguan saturasi atau
adanya frekuensi pernapasan pendek lebih dari 15 detik.
- Saturasi oksigen rendah yang menetap
- Ketika pemeriksan analisa gas darah telah selesai dan menggambarkan
gangguan pernapasn dimana pada darah arteri didapatkan pO2 >50 mmHg,
pH %.12

Table 2
Penatalaksanaan Bronkiolitis Berdasarkan Berat Ringannya Gejala
Bronkiolitis
Ringan Sedang Berat
 Tidak memerlukan  Perawatan di rumah sakit  Perawatan di rumah sakit
penilaian lebih lanjut  Berikan oksigen hingga  Pemberian oksigen
 Perawatan di rumah, saturasi oksigen > 93% sampai saturasi oksigen
jika orangtua atau  Pertimbangkan >95%
pasien mampu dan pemberian cairan  Pengamatan seksama
intravena untuk antisipasi
sudah dijelaskan  Pengamatan seksama kemungkinan
keadaannya terhadap perburukan memerlukan intubasi dan
 Berobat ulang ke kondisi pemakaian ventilator
dokter setelah 2-3 hari  Foto thorax (ICU)
kemudian  Aspirasi nasopharyngeal  Berikan cairan intravena
untuk virus  Monitor sistem
imunoflorecency dan cardiorespiratori
kultur  Aspirasi nasopharyngeal
untuk virus
imunofluorecency dan
kultur
 Pertimbangkan
pengawasan gas dan
pembuluh darah arteri
 Pertimbangkan untuk
konsultasi perawatan
PICU.

Kriteria Pulang
Pasien direkomendasikan pulang dengan criteria:
- Status pernafasan

o Laju pernafasan kurang dari 70 kali dalam satu menit dan tidak didapatkan tanda
klinis usaha pernafasan lebih.

o Orang tua dapat memberishkan saluran pernafasan anak dengan menggunakan


alat sedot gelembung.

o Pasien dapat berada dalam ruang dengan udara bebas dengan oksigen terapi yang
stabil.
o Saturasi oksigen harus lebih dari 90% tanpa pemberian oksigen tambahan
kecuali anak dengan penyakit paru kronis, penyakit jantung atau mempunyai
faktor resiko lain harus dilakukan diskusi terlebih dahulu dengan konsultan.

- Status nutrisi

Pasien dapat makan melalui mulut pada tingkatan dapat mencegah dehidrasi
- Sosial

o Peralatan dirumah mampu untuk digunakan dalam perawatan dirumah

o Orang tuan atau penjaga anak mampu untuk melakaukan perawatan dirumah

o Dilakukan edukasi keluarga yang lengkap

- Peninjauan lebih lanjut

Ketika ada indikasi, perawat rumah dan penyedia alat medis harus melakukan visit
terakhir.
Pemberi pertolongan utamaharus memberikan persetujuan untuk pemulangan.
Kontrol untuk peninjauan lebih lanjut harus dilakukan.

Edukasi Keluarga
Dilakukan pada saat pasien akan dipulangkan. Yaitu dengan memberitahukan:
- Informasi mengenai penyakit bronkiolitis.

- Bagaimana cara membersihkan jalan nafas dengan menggunakan penghisap gelembung.

- Segera memanggil bantuan dan membawa pasien ke rumah sakit kembali jika
didapatkan gangguan pernafasan.

- Cara pencegahan penyakit dan penyebarannya dengan menghindari anak dari


paparanasap rokok ataupun zat yang mengiritasi lainnya, melakukan cuci tangan, dll.
M. PENCEGAHAN 1,3
Pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari faktor paparan asap rokok dan polusi udara,
membatasi penularan terutama di rumah sakit misalnya dengan membiasakan cuci
tangan dan penggunaan sarung tangan dan masker, isolasi penderita, menghindarkan bayi/anak
kecil dari keramaian umum, pemberian ASI, menghindarkan bayi atau anak kecil dari kontak
dengan penderita ISPA.
Langkah preventif yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian imunisasi aktif
(vaksinasi) dan pasif (immunoglobulim).
Immunoglobulin
Imunisasi pasif dapat dilakukan dengan pemberian gammaglobulin yang mengandung titer
antibodi protektif tinggi (respigram). Respigram adalah human polyclonal hyperimmune
globulin. Dosis yang dianjurkan 750/mg/kgBB setiap bulannya dberikan secara intravena pada
anak di bawah umur 24 bulan. Indikasi lain adalah bayi yang lahir dengan umur kehamilan
kurang dari 35 minggu.
Pendekatan profilaksis pada populasi resiko tinggi adalah menigkatkan (augmentation)
antibodi yang menetralisi protein F dan G dengan cara pemberian dari luar dan imunisasi dari
ibu. Pada manusia, efek immunoglobulin yang mengandung neutralizing antibody titer tinggi
atau monokloknal terhadap protein F akan mengurangiu beratnya penyakit. Bila pada bayi
premature atau bayi dengan penyakit kronis diberikan RSV hyperimmune globulin atau
antibody monoclonal terhadap protein F yang disebut dengan Palivizumab setiap bulan,
diberikan secara intramuscular setiap hari, lama perawatan RSV akan berkurang secara
bermakna. Palivizumab adalah humanized murine monoclonal anti-F glycoprotein antibody,
yang mencegah masuknya RSV ke dalam sel host. Akan tetapi resiko efek samping
kemungkinan meningkat pada bayi degan penyakit jantung sianotik. AAP merekomendasikan
profilaksis boleh diberikan hanya pada bayi dengan resiko tinggi yang tidak menderita penyakit
jantung sianotik.
Vasksinasi
Sesudah penelitian dengan vaksin inaktif, dikembangkan vaksin live attenuated. Vaksin
RSV pertama, yang terdiri dari cold – passaged muatan , efektif untuk orang dewasa, tetapi pada
anak terlalu virulen dan tidak stabil karena dapat berubah menjadi vurus biasa kembali.
Kemudian dari permukaan Glikoprotein murni, dikembangkan DNA dan peptic sintetik. Vaksin
live – attenuated mempunyai kelebihan, yaitu dapat diberikan intranasal dan menginduksi
imunitas mukosa dan sistemik.
Dianjurkan pemberian live – attenuated RSV dan PIV3 (Parainfluenza virus serotipe3)
sebagai vaksin kombinasi sebanyak dua atau tiga kali dengan dosis pertama sebelum atau pada
usia 1 bulan diikuti dengan vaksin bivalen PIV1 dan PIV2 pada usia 4-6 bulan.

H. PROGNOSIS
Prognosis tergantung berat ringannya penyakit, cepatnya penanganan, dan penyakit latar
belakang (penyakit jantung, defisiensi imun, prematuritas).
Anak biasanya dapat mengatasi serangan tersebut sesudah 48 – 72 jam. Mortalitas kurang dari
1%.
Anak biasanya meninggal karena jatuh ke dalam apneu yang lama, asidosis respiratorik
yang tidak terkoreksi atau karena dehidrasi yang disebabkan oleh takipneu dan kurang makan-
minum.
Penelitian di Norwegia menunjukkan bahwa bayi yang dirawat dengan bronkhioloitis
mempunyai kecenderungan menderita asma dan penurunan fungsi paru pada usia 7 tahun
dibandingkan dengan control. Hal ini menunjukkan adanya hiperreaktifitas bronchial yang
menetap selama beberapa tahun setelah menderita bronkiolitis pada bayi muda, baik para RSV
positif maupun RSV negative. Tidak dapat dibuktikan secara jelas bahwa bronkiolitis terjadi
pada anak dengan kecenderungan asma. Keberhasilan pengobatan dengan kortikosteroid
mungkin dapat mengurangi prevalens asma pada anak dari kelompok pengobatan.
BAB IV
KESIMPULAN

Bronkiolitis diartikan sebagai penyakit obstruktif akibat inflamasi akut pada saluran
nafas kecil (bronkioli) yang sering terjadi pada anak di bawah 2 tahun dengan insiden tertinggi
umur 2-8 bulan. Pada kasus terjadi pada anak yang berusia 8 bulan.

Pada penderita ini data-data yang mendukung diagnosis bronkiolitis adalah riwayat
batuk pilek sebelumnya, ada panas subfibril, sesak, tetapi tidak tampak sianosis dan tidak ada
riwayat mengi sebelumnya.

Pemeriksaan fisik didapatkan dispenu dengan frekuensi pernafasan 55x /menit, suhu 37
o
C, terdapat retraksi epigastrial. Pada auskultasi paru terdapat ronchi kasar, wheezing, hantaran,
eksperium memanjang. Pada pemeriksaan laboratorium terdapat trombositosis, lekosit dan
hitung jenis terdapat kesan limfosit teraktivasi dan gambaran infeksi virus.

Diagnosis banding yang paling lazim dari bronkiolitis adalah asma bronkiale dan
bronkopneumoni. Diagnosis banding asma bronkiale dapat disingkirkan atas dasar bahwa pada
penderita ini tidak dijumpai keadaan yang mendukung asma berupa : serangan/episode sesak
yang berulang-ulang, mulainya mendadak tanpa infeksi yang mendahului, ekspirasi yang sangat
memanjang. Asma juga jarang terjadi pada umur kurang dari satu tahun dan memberikan respon
yang baik terhadap suntikan adrenalin atau albuterol aerosol, tetapi penderita memiliki keluarga
yang menderita asma bronkial.

Sedangkan diagnosis banding bronkopneumoni memang cukup sulit, namun keadaan


klinis dan laboratoris tidak mendukung ke arah bronkopneumoni, yaitu pada bonkopneumoni
panasnya tinggi, dari auskultasi paru didapatkan ronki basah halus nyaring, jarang atau tidak
dijumpai wheezing maupun eksperium memanjang. Derajat sesaknya juga sesuai dengan
temuan klinis (banyaknya infiltrat paru), sedangkan penderita ini terjadi sesak tanpa sianosis.
Bronkopneumoni tidak berespon terhadap pemberian kortikosteroid.

Pemeriksaan penunjang lain pada penderita ini belum diperlukan. Analisa gas darah (BGA)
tidak dilakukan dengan alasan sudah terjadi perbaikan klinis setelah pemberian nebulizer.
Deteksi agen penyebab dengan serologi masih jarang dilakukan. Demikian pula screening
tuberkulosis dengan PPD 5 TU atau BCG tes tidak dilakukan karena anamnesis maupun
pemeriksaan fisik tidak mendukung.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA

1. Rahajoe Nasiti, N. Bambang Supriyatno. Darmawan Budi Setyanto. Buku Ajar


Respirologi Anak. Edisi Pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI. 2008. Hal 333-347
2. Pusponegoro Hardono D, dkk. Standar Pedoman Medis Kesehatan Anak. Edisi Pertama.
Jakarta : Badan Penerbit IDAI 2005. Hal 348-350
3. Behrman RE, Kliegman RM, Arvis AM. Nelson Textbook of Pediatric. Edisi ke-16.
Philadelphia :WB Saunders. 2000. Hal 1112-111.
4. Hasan Supeno dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 3. Jakarta: Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal 1233-1234.

Anda mungkin juga menyukai