Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

GUILLAIN BARRE SYNDROM (GBS)

Tugas Kepanitraan Klinik


Bagian Ilmu Kesehatan Anak RST Dr. Soedjono, Magelang
Periode 02 Januari – 10 Maret 2018

Pembimbing :
Letkol CKM dr. Roedi Djatmiko, Sp.A

Disusun oleh :
Revalina Hutami 1620221226

SMF ILMU KESEHATAN ANAK


RST DR.SOEDJONO MAGELANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN”
JAKARTA
2018
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT :
GUILLAIN BARRE SYNDROM (GBS)

Pada tanggal, Januari 2018

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti


program profesi dokter di Bagian Ilmu Kesehatan Anak
RST DR. Soedjono Magelang

Disusun oleh :
Revalina Hutami 1620221226

Mengetahui,
Pembimbing

Letkol CKM dr. Roedi Djatmiko, Sp.A


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
limpahan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan referat
ini dengan judul “Guillain Barre Syndrome (GBS)”. penulisan referat ini
merupakan salah satu syarat mengikuti di Departemen Anak RST Dr. Soedjono
Tingkat II Magelang 2018. Dalam menyelesaikan tugas ini penulis ingin
menyaampaikan rasa terimakasih kepada Letkol CKM dr. Roedi Djatmiko, Sp.A
selaku dokter pembimbing dan teman – teman coass yang membantu dalam
pembuatan referat ini.
Penulis menyadari dalam penyusunan referat ini masih banyak kekurangan
sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca.
Semoga referat ini dapat memberikan pengetahuan kepada pembaca dan
bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan dalam ilmu kedokteran.

Magelang, Januari 2018

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

Sindrom Guillain Barre sering disebut juga acute inflamating demyelinating


polyneuropathy atau acute ascending paralysis yang merupakan kelainan pada
saraf perifer yang bersifat peradangan di luar otak dan medulla spinalis. Pada
Sindrom ini sering dijumpai adanya kelemahan yang cepat atau bisa terjadi
paralysis dari tungkai atas, tungkai bawah, otot-otot pernafasan dan wajah.
Sindrom ini dapat terjadi pada segala umur dan tidak bersifat herediter dan
dikenal sebagai Landry’s Paralisis ascending. Pertama dideskripsikan oleh Landry,
1859 menyebutnya sebagai suatu penyakit akut, ascending dan paralysis motorik
dengan gagal napas (Guillain-Barré Syndrome1.
Insidensi sindroma Guillain-Barre Usia termuda yang pernah dilaporkan
adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama
jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit
putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang
tidak spesifik. Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak.
Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah
dekade I, II, III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan
wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa
perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden
tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan
kemarau.
Penyakit ini sering menyebabkan kelumpuhan yang cukup sering dijumpai
pada usia dewasa muda. SGB ini seringkali mencemaskan penderita dan
keluarganya karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan
dapat menimbulkan kematian, meskipun pada umumnya mempunyai prognosa
yang baik. GBS biasanya mempunyai prognosa yang baik yaitu sekitar 80% tetapi
sekitar 15 % nya mempunyai gejala sisa/ defisit neurologis.
Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit ini, yaitu
Idiopathic polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis, Infective Polyneuritis, Post
Infectious Polyneuritis, Acute Inflammatory Demyelinating
Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre Strohl Syndrome, Landry Ascending
paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome.
Belum diketahui angka kejadian penyakit ini di Indonesia. Insidens
Sindrom ini termasuk jarang kira-kira 1 orang dalam 100.000. SGB jarang terjadi
pada anak-anak, khususnya selama 2 tahun pertama kehidupan dan setelah umur
tersebut frekuensinya cenderung meningkat. Frekuensi puncak pada usia dewasa
muda. SGB tampil sebagai salah satu penyebab kelumpuhan yang utama di negara
maju atau berkembang seperti Indonesia2.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Guillain Barre Syndrome


II.1.1 Definisi
SGB merupakan Polineuropati akut, bersifat simetris dan ascenden, yang
biasanya terjadi 1 – 3 minggu dan kadang sampai 8 minggu setelah suatu infeksi
akut. SGB merupakan Polineuropati pasca infeksi yang menyebabkan terjadinya
demielinisasi saraf motorik kadang juga mengenai saraf sensorik. SGB ialah
polineuropati yang menyeluruh, dapat berlangsung akut atau subakut, mungkin
terjadi spontan atau sesudah suatu infeksi 1.

II.1.2 Epidemiologi
Sepuluh studi melaporkan kejadian pada anak-anak (0-15tahun) dan
kejadian tahunan menjadi antara 0,34, dan 1.34/100 000. Kebanyakan penelitian
menyelidiki populasi di Eropa dan Amerika Utara dan melaporkan angka kejadian
serupa tahunan , yaitu antara 0,84 dan 1.91/100, 000. Rata-rata pertahun 1-
3/100.000 populasi dan perempuan lebih sering terkena daripada laki-laki dengan
perbandingan rasio perempuan : laki-laki = 1,5 : 1 untuk semua usia. Penurunan
insiden selama waktu antara tahun 1980-an dan 1990-an ditemukan. Sampai
dengan 70% dari kasus Sindroma Guillain Barre disebabkan oleh infeksi
anteseden. Inflamasi akut demielinasi poliradikuloneuropati (AIDP) adalah bentuk
paling umum di negara-negara barat dan berkontribusi 85% sampai
90% kasus. Kondisi ini terjadi pada semua umur, meskipun jarang pada masa
bayi. Usia termuda dan tertua dilaporkan adalah, masing masing 2 bulan dan 95
tahun. Usia rata onset adalah sekitar 40 tahun, dengan kemungkinan dominasi
laki-laki.
Sindroma Guillain Barre adalah penyebab yang paling umum dari acute
flaccid paralysis pada anak - anak. Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN) sering
didapatkan di daerah Jepang dan Cina, terutama pada orang muda.
Hal ini terjadi lebih sering selama musim panas, sporadis AMAN seluruh dunia
mempengaruh 10% sampai 20% pasien dengan Sindroma Guillain Barre .
II.1.3 Etiologi (1,2)
Mikroorganisme penyebab belum pernah ditemukan pada penderita dan
bukan merupakan penyakit yang menular juga tidak diturunkan secara herediter.
Penyakit ini merupakan proses autoimun. Tetapi sekitar setengah dari seluruh
kasus terjadi setelah penyakit infeksi virus atau bakteri seperti dibawah ini :
a. Infeksi virus : Citomegalovirus (CMV), Ebstein Barr Virus (EBV),
enterovirus, Human Immunodefficiency Virus (HIV).
b. Infeksi bakteri : Campilobacter Jejuni, Mycoplasma Pneumonie.
c. Pascah pembedahan dan Vaksinasi.
d. 50% dari seluruh kasus terjadi sekitar 1-3 minggu setelah terjadi penyakit
Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) dan Infeksi Saluran Pencernaan.

II.1.4 Klasifikasi (1,2)


a. Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)
Sering muncul cepat dan mengalami paralisis yang berat dengan perbaikan
yang lambat dan buruk. Seperti tipe AMAN yang berhubungan dengan
infeksi saluran cerna C jejuni. Patologi yang ditemukan adalah degenerasi
akson dari serabut saraf sensorik dan motorik yang berat dengan sedikir
demielinisasi.
b. Radang polineuropati demyelinasi akut (AIDP)
Merupakan jenis GBS yang paling banyak ditemukan, dan sering
disinonimkan dengan GBS. Disebabkan oleh respon autoimun yang
menyerang membrane sel Schwann.
c. Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN)
Berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni dan titer antibody
gangliosid meningkat (seperti, GM1, GD1a, GD1b). Penderita tipe ini
memiliki gejala klinis motorik dan secara klinis khas untuk tipe
demielinisasi dengan asending dan paralysis simetris. AMAN dibedakan
dengan hasil studi elektrodiagnostik dimana didapatkan adanya aksonopati
motorik. Pada biopsy menunjukkan degenerasi ‘wallerian like’ tanpa
inflamasi limfositik. Perbaikannya cepat, disabilitas yang dialami
penderita selama lebih kurang 1 tahun.
d. Miller Fisher Syndrome
Variasi dari SGB yang umum dan merupakan 5 % dari semua kasus SGB.
Sindroma ini terdiri dari ataksia, optalmoplegia dan arefleksia. Ataksia
terlihat pada gaya jalan dan pada batang tubuh dan jarang yang meliputi
ekstremitas. Motorik biasanya tidak terkena. Perbaikan sempurna terjadi
dalam hitungan minggu atau bulan
e. Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP)
CIDP memiliki gambaran klinik seperti AIDP, tetapi perkembangan gejala
neurologinya bersifat kronik. Pada sebagian anak, kelainan motorik lebih
dominant dan kelemahan otot lebih berat pada bagian distal
f. Acute pandysautonomia
Tanpa sensorik dan motorik merupakan tipe SGB yang jarang terjadi.
Disfungsi dari sistem simpatis dan parasimparis yang berat mengakibatkan
terjadinya hipotensi postural, retensi saluran kemih dan saluran cerna,
anhidrosis, penurunan salvias dan lakrimasi dan abnormalitas dari pupil.

II.1.5 Patogenesis (3)


Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui
dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang
terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa
imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada
sindroma ini adalah:
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell
mediated immunity) terhadap agen infeksius pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi.
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada
pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demielinisasi saraf
tepi.
Proses demielinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas
seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya.
Pada SGB, gangliosid merupakan target dari antibodi. Ikatan antibodi dalam
sistem imun tubuh mengaktivasi terjadinya kerusakan pada myelin. Alasan
mengapa komponen normal dari serabut mielin ini menjadi target dari sistem
imun belum diketahui, tetapi infeksi oleh virus dan bakteri diduga sebagai
penyebab adanya respon dari antibodi sistem imun tubuh. Hal ini didapatkan dari
adanya lapisan lipopolisakarida yang mirip dengan gangliosid dari tubuh manusia.
Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang menyebabkan terjadinya diare,
mengandung protein membran yang merupakan tiruan dari gangliosid GM1. Pada
kasus infeksi oleh Campylobacter jejuni, kerusakan terutama terjadi pada
degenerasi akson. Perubahan pada akson ini menyebabkan adanya cross-reacting
antibodi ke bentuk gangliosid GM1 untuk merespon adanya epitop yang sama.
Berdasarkan adanya sinyal infeksi yang menginisisasi imunitas humoral maka sel-
T merespon dengan adanya infiltrasi limfosit ke spinal dan saraf perifer. Terbentuk
makrofag di daerah kerusakan dan menyebabkan adanya proses demielinisasi dan
hambatan penghantaran impuls saraf.

II.1.6 Gejala Klinis


a. Kelemahan
Gambaran klinis yang klasik adalah kelemahan yang ascending dan
simetris secara natural. Anggota tubuh bagian bawah biasanya terkena duluan
sebelum tungkai atas. Otot-otot proksimal mungkin terlibat lebih awal
daripada yang lebih distal. Tubuh, bulbar, dan otot pernapasan dapat
terpengaruh juga. Kelemahan otot pernapasan dengan sesak napas mungkin
ditemukan, berkembang secara akut dan berlangsung selama beberapa hari
sampai minggu. Keparahan dapat berkisar dari kelemahan ringan sampai
tetraplegia dengan kegagalan ventilasi.
b. Keterlibatan saraf cranial
Keterlibatan saraf kranial tampak pada 45-75% pasien dengan
SGB. Saraf kranial III-VII dan IX-XII mungkin akan terpengaruh. Keluhan
umum mungkin termasuk sebagai berikut; wajah droop (bisa menampakkan
palsy Bell), Diplopias, Dysarthria, Disfagia, Ophthalmoplegia, serta
gangguan pada pupil. Kelemahan wajah dan orofaringeal biasanya muncul
setelah tubuh dan tungkai yang terkena. Varian Miller-Fisher dari SGB adalah
unik karena subtipe ini dimulai dengan defisit saraf kranial.
c. Perubahan Sensorik
Gejala sensorik biasanya ringan. Dalam kebanyakan kasus, kehilangan
sensori cenderung minimal dan variable. Kebanyakan pasien mengeluh
parestesia, mati rasa, atau perubahan sensorik serupa. Gejala sensorik sering
mendahului kelemahan. Parestesia umumnya dimulai pada jari kaki dan ujung
jari, berproses menuju ke atas tetapi umumnya tidak melebar keluar
pergelangan tangan atau pergelangan kaki. Kehilangan getaran, proprioseptis,
sentuhan, dan nyeri distal dapat hadir.
d. Nyeri
Dalam sebuah studi tentang nyeri pada pasien dengan SGB, 89% pasien
melaporkan nyeri yang disebabkan SGB pada beberapa waktu selama
perjalanannya. Nyeri paling parah dapat dirasakan pada daerah bahu,
punggung, pantat, dan paha dan dapat terjadi bahkan dengan sedikit
gerakan. Rasa sakit ini sering digambarkan sebagai sakit atau berdenyut.
Gejala dysesthetic diamati ada dalam sekitar 50% dari pasien selama
perjalanan penyakit mereka. Dysesthesias sering digambarkan sebagai rasa
terbakar, kesemutan, atau sensasi shocklike dan sering lebih umum di
ekstremitas bawah daripada di ekstremitas atas. Dysesthesias dapat bertahan
tanpa batas waktu pada 5-10%pasien. Sindrom nyeri lainnya yang biasa
dialami oleh sebagian pasien dengan SGB adalah sebagai berikut; Myalgic,
nyeri visceral, dan rasa sakit yang terkait dengan kondisi imobilitas
(misalnya, tekanan palsi saraf, ulkus dekubitus).
e. Perubahan otonom
Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam sistem
simpatis dan parasimpatis dapat diamati pada pasien dengan SGB. Perubahan
otonom dapat mencakup sebagai berikut; Takikardia, Bradikardia, Facial
flushing, Hipertensi paroksimal, Hipotensi ortostatik. Retensi urin karena
gangguan sfingter urin, karena paresis lambung dan dismotilitas usus dapat
ditemukan.
f. Pernapasan
Empat puluh persen pasien SGB cenderung memiliki kelemahan
pernafasan atau orofaringeal. Keluhan yang khas yang sering ditemukan
adalah sebagai berikut; Dispnea saat aktivitas, Sesak napas, Kesulitan
menelan, bicara cadel. Kegagalan ventilasi yang memerlukan dukungan
pernapasan biasa terjadi pada hingga sepertiga dari pasien di beberapa waktu
selama perjalanan penyakit mereka. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal
yang kuat menyokong diagnosa: Protein CSS. Meningkat setekah gejala 1
minggu atau terjadi peningkatan pada LP serial; jumlah sel CSS < 10
MN/mm3;Varian ( tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala
dan Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3 ). Gambaran elektrodiagnostik yang
mendukung diagnose adalah perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada
80% kasus. Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal.

II.1.7 Diagnosis
Gangguan autonom terlihat pada lebih dari 50%, gangguan otonomik
biasanya bermanifestasi sebagai takikardia tetapi bisa menjadi gangguan yang
lebih serius yaitu adanya disfungsi saraf otonom.termasuk aritmia, hipotensi,
hipertensi, dan dismotilitas Gastrointestinal.
Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute
of Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu:
a. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis:
1) Terjadinya kelemahan yang progresif
2) Hiporefleksi

b. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis GBS


1) Ciri-ciri klinis:
a) Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat,
maksimal dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu,
80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu.
b) Relatif simetris
c) Gejala gangguan sensibilitas ringan
d) Gejala saraf kranial ± 50% terjadi parese N VII dan sering bilateral.
Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah
dan otot-otot menelan, kadang < 5% kasus neuropati dimulai dari
otot ekstraokuler atau saraf otak lain
e) Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti, dapat
memanjang sampai beberapa bulan.
f) Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural,
hipertensi dan gejala vasomotor.
g) Tidak ada demam saat onset gejala neurologis
2) Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:
a) Protein CSS. Meningkat setekah gejala 1 minggu atau terjadi
peningkatan pada LP serial
b) Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3
c) Varian:
- Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala
- Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3
3) Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa:
Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus.
Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal.
Diagnosa GBS terutama ditegakkan secara klinis. BGS ditandai dengan
timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon
dan didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai
disosiasi sitoalbumin pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik perifer 4.

c. Pemeriksaan Penunjang
1. Pada fase akut khas tampak disosiasi albumin, yaitu tingginya kadar
protein( protein > 0.5 g/L) tanpa disertai peningkatan jumlah leukosit pada
CSS. Jumlah monosit biasanya <10/mm3 dan tidak terjadi pleositosis.
Pemeriksaan serial CSS dengan hasil disosiasi albumin yang konsisten
adalah diagnostikkuat pada SGB, namum biasanya baru terlihat 1-2
minggu setelah paralisis terjadi. Pasien SGB dan infeksi HIV akan
mengalami pleositosis pada CSS disamping peningkatan kadar protein,
sehingga dosisiasi albumin tidak khas5.
2. Pemeriksaan EMG
AIDP adalah bentuk SGB yang paling sering ditemukan, akan
menunjukkan gambaran EMG yang tipikal pada demielinisasi neuoran
berupa kecepatan konduksi yang berkurang, blockade konduksi atau
disperse response, gelombang F menghilang atau pemanjanan fase latensi
terminal.
Perubahan konduksi ini harus ditemukan pada minimal dua neuron
dalma satu region seperti di lengan, tungkai atau wajah. Pada beberapa
keadaan, gambaran EMG dapat normal karena demielinisasi terjadi pada
otot paling proksimal sehingga tidak dapat inilai oleh EMG.
3. Serologi dan Kultur
Sebagian pendukung diagnosis, bukti infeksi C. jejuni dapat
diperoleh melalui pemeriksaan serologi maupun kultur feses . namun
kultur feses sering negative karena infeksi mikroorganisme biasanya
berlangsung singkat. Ditemukan maupun tidak C. jejunitidak mengubah
terapi dan tidak memerlukan antibiotic tambahan karena infeksi bersifat
self limting disease5

II.1.8 Tatalaksana 4
a. Sistem pernapasan
Gagal nafas merupakan penyebab utama kematian pada penderita SGB.
Pengobatan lebih ditujukan pada tindakan suportif dan fisioterapi. Bila perlu
dilakukan tindakan trakeostomi, penggunaan alat Bantu pernapasan (ventilator)
bila vital capacity turun dibawah 50%.
b. Fisioterapi
Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps
paru. Gerakan pasif pada kaki yang lumpuh mencegah kekakuan sendi. Segera
setelah penyembuhan mulai (fase rekonvalesen), maka fisioterapi aktif dimulai
untuk melatih dan meningkatkan kekuatan otot.(2)
c. Imunoterapi
Tujuan pengobatan SGB ini untuk mengurangi beratnya penyakit dan
mempercepat kesembuhan ditunjukan melalui system imunitas.
a. Plasma exchange therapy (PE)
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan
faktor autoantibodi yang beredar. Pemakaian plasmaparesis pada SGB
memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat,
penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang
lebih pendek. Waktu yang paling efektif untuk melakukan PE adalah dalam
2 minggu setelah munculnya gejala. Jumlah plasma yang dikeluarkan per
exchange adalah 40-50 ml/kg dalam waktu 7-10 hari dilakukan empat
sampai lima kali exchange.
b. Imunoglobulin IV
Intravenous inffusion of human Immunoglobulin (IVIg) dapat
menetralisasi autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto
antibodi tersebut. Pengobatan dengan gamma globulin intravena lebih
menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek
samping/komplikasi lebih ringan. Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2
minggu setelah gejala muncul dengan dosis 0,4 g / kgBB /hari selama 5 hari.
c. Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat
steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.
II.1.9 Prognosis
Pada umumnya penderita mempunyai prognosis yang baik, tetapi pada
sebagian kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. Penderita
SGB dapat sembuh sempurna (75-90%) atau sembuh dengan gejala sisa berupa
dropfoot atau tremor postural (25-36%). Penyembuhan dapat memakan waktu
beberapa minggu sampai beberapa tahun.

Prognosis lebih buruk dapat ditandai oleh :


a. keterlibatan nervus kranialis
b. intubasi
c. disabilitas maksial saat sakit
d. perubahan usia
Angka mortalitas bekisar antara 4-15 % dan diakibatkan oleh berbagai
macam komplikasi selama progresi penyakit. Pasien berusia >60 tahun ditemukan
memiliki risiko kematian 6x lebih besar disbanding pasien berusai 40 tahun dan
157x lebih besar dibading pasien < 15 tahun. Sebany 20 % pasien mengalami
disabilitas yang menetap5
BAB III
KESIMPULAN

Guillain Bare Syndrom (GBS) secara khas digambarkan dengan kelemahan


motorik yang progresif dan arefleksia. Mekanisme autoimun dipercaya
bertanggungjawab atas terjadinya sindrom ini. Terapi farmakoterapi, terapi fisik,
dan prognosis GBS tergantung pada progresifitas penyakit, derajat degenerasi
aksonal, dan umur pasien.
Diagnosa GBS terutama ditegakkan secara klinis. GBS ditandai dengan
timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon
dan didahului parestesi, dua atau tiga minggu setelah mengalami demam, disertai
disosiasi sitoalbumin pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik perifer.
Sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Perlu dipikirkan waktu
perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi
sehingga pengobatan tetap harus diberikan.
Terapi khusus yaitu lasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk
mengeluarkan factor autoantibody yang beredar. Pemakaian plasmaparesis pada
GBS memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat,
penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih
pendek.
DAFTAR PUSTAKA

1. Bahrudin M. Poliradikulopathy (Guillain-Barre Syndrome). Dalam: Buku


Ajar Neurologi Klinis. Malang: UMM Press. 2013.
2. Hansen M. Guillain-Barre Syndrome, CIDP and Variants: Guidelines for
Physical and Occupational Therapy. GBS/CIDP Foundation International.
Narbeth, PA. 2010
3. Japardi I. Sindroma Guillain-Barre. Fakultas Kedokteran bagian Bedah.
Universitas Sumatra Utara. 2002.
4. AAN Guideline Summary for Clinicans. Immunotherapy for Guillain-Barre
Syndrome. 2011.
5. Lilihata, G, Handyastuti, S. Sindrom Guillain Barre. Kapita Selekta Edisi
keempat Jilid I. Jakarta : Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Uiversitas
Indonesia , 2016; h114-116

Anda mungkin juga menyukai