Pembimbing :
Letkol CKM dr. Roedi Djatmiko, Sp.A
Disusun oleh :
Revalina Hutami 1620221226
REFERAT :
GUILLAIN BARRE SYNDROM (GBS)
Disusun oleh :
Revalina Hutami 1620221226
Mengetahui,
Pembimbing
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
limpahan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan referat
ini dengan judul “Guillain Barre Syndrome (GBS)”. penulisan referat ini
merupakan salah satu syarat mengikuti di Departemen Anak RST Dr. Soedjono
Tingkat II Magelang 2018. Dalam menyelesaikan tugas ini penulis ingin
menyaampaikan rasa terimakasih kepada Letkol CKM dr. Roedi Djatmiko, Sp.A
selaku dokter pembimbing dan teman – teman coass yang membantu dalam
pembuatan referat ini.
Penulis menyadari dalam penyusunan referat ini masih banyak kekurangan
sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca.
Semoga referat ini dapat memberikan pengetahuan kepada pembaca dan
bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan dalam ilmu kedokteran.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1.2 Epidemiologi
Sepuluh studi melaporkan kejadian pada anak-anak (0-15tahun) dan
kejadian tahunan menjadi antara 0,34, dan 1.34/100 000. Kebanyakan penelitian
menyelidiki populasi di Eropa dan Amerika Utara dan melaporkan angka kejadian
serupa tahunan , yaitu antara 0,84 dan 1.91/100, 000. Rata-rata pertahun 1-
3/100.000 populasi dan perempuan lebih sering terkena daripada laki-laki dengan
perbandingan rasio perempuan : laki-laki = 1,5 : 1 untuk semua usia. Penurunan
insiden selama waktu antara tahun 1980-an dan 1990-an ditemukan. Sampai
dengan 70% dari kasus Sindroma Guillain Barre disebabkan oleh infeksi
anteseden. Inflamasi akut demielinasi poliradikuloneuropati (AIDP) adalah bentuk
paling umum di negara-negara barat dan berkontribusi 85% sampai
90% kasus. Kondisi ini terjadi pada semua umur, meskipun jarang pada masa
bayi. Usia termuda dan tertua dilaporkan adalah, masing masing 2 bulan dan 95
tahun. Usia rata onset adalah sekitar 40 tahun, dengan kemungkinan dominasi
laki-laki.
Sindroma Guillain Barre adalah penyebab yang paling umum dari acute
flaccid paralysis pada anak - anak. Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN) sering
didapatkan di daerah Jepang dan Cina, terutama pada orang muda.
Hal ini terjadi lebih sering selama musim panas, sporadis AMAN seluruh dunia
mempengaruh 10% sampai 20% pasien dengan Sindroma Guillain Barre .
II.1.3 Etiologi (1,2)
Mikroorganisme penyebab belum pernah ditemukan pada penderita dan
bukan merupakan penyakit yang menular juga tidak diturunkan secara herediter.
Penyakit ini merupakan proses autoimun. Tetapi sekitar setengah dari seluruh
kasus terjadi setelah penyakit infeksi virus atau bakteri seperti dibawah ini :
a. Infeksi virus : Citomegalovirus (CMV), Ebstein Barr Virus (EBV),
enterovirus, Human Immunodefficiency Virus (HIV).
b. Infeksi bakteri : Campilobacter Jejuni, Mycoplasma Pneumonie.
c. Pascah pembedahan dan Vaksinasi.
d. 50% dari seluruh kasus terjadi sekitar 1-3 minggu setelah terjadi penyakit
Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) dan Infeksi Saluran Pencernaan.
II.1.7 Diagnosis
Gangguan autonom terlihat pada lebih dari 50%, gangguan otonomik
biasanya bermanifestasi sebagai takikardia tetapi bisa menjadi gangguan yang
lebih serius yaitu adanya disfungsi saraf otonom.termasuk aritmia, hipotensi,
hipertensi, dan dismotilitas Gastrointestinal.
Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute
of Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu:
a. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis:
1) Terjadinya kelemahan yang progresif
2) Hiporefleksi
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Pada fase akut khas tampak disosiasi albumin, yaitu tingginya kadar
protein( protein > 0.5 g/L) tanpa disertai peningkatan jumlah leukosit pada
CSS. Jumlah monosit biasanya <10/mm3 dan tidak terjadi pleositosis.
Pemeriksaan serial CSS dengan hasil disosiasi albumin yang konsisten
adalah diagnostikkuat pada SGB, namum biasanya baru terlihat 1-2
minggu setelah paralisis terjadi. Pasien SGB dan infeksi HIV akan
mengalami pleositosis pada CSS disamping peningkatan kadar protein,
sehingga dosisiasi albumin tidak khas5.
2. Pemeriksaan EMG
AIDP adalah bentuk SGB yang paling sering ditemukan, akan
menunjukkan gambaran EMG yang tipikal pada demielinisasi neuoran
berupa kecepatan konduksi yang berkurang, blockade konduksi atau
disperse response, gelombang F menghilang atau pemanjanan fase latensi
terminal.
Perubahan konduksi ini harus ditemukan pada minimal dua neuron
dalma satu region seperti di lengan, tungkai atau wajah. Pada beberapa
keadaan, gambaran EMG dapat normal karena demielinisasi terjadi pada
otot paling proksimal sehingga tidak dapat inilai oleh EMG.
3. Serologi dan Kultur
Sebagian pendukung diagnosis, bukti infeksi C. jejuni dapat
diperoleh melalui pemeriksaan serologi maupun kultur feses . namun
kultur feses sering negative karena infeksi mikroorganisme biasanya
berlangsung singkat. Ditemukan maupun tidak C. jejunitidak mengubah
terapi dan tidak memerlukan antibiotic tambahan karena infeksi bersifat
self limting disease5
II.1.8 Tatalaksana 4
a. Sistem pernapasan
Gagal nafas merupakan penyebab utama kematian pada penderita SGB.
Pengobatan lebih ditujukan pada tindakan suportif dan fisioterapi. Bila perlu
dilakukan tindakan trakeostomi, penggunaan alat Bantu pernapasan (ventilator)
bila vital capacity turun dibawah 50%.
b. Fisioterapi
Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps
paru. Gerakan pasif pada kaki yang lumpuh mencegah kekakuan sendi. Segera
setelah penyembuhan mulai (fase rekonvalesen), maka fisioterapi aktif dimulai
untuk melatih dan meningkatkan kekuatan otot.(2)
c. Imunoterapi
Tujuan pengobatan SGB ini untuk mengurangi beratnya penyakit dan
mempercepat kesembuhan ditunjukan melalui system imunitas.
a. Plasma exchange therapy (PE)
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan
faktor autoantibodi yang beredar. Pemakaian plasmaparesis pada SGB
memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat,
penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang
lebih pendek. Waktu yang paling efektif untuk melakukan PE adalah dalam
2 minggu setelah munculnya gejala. Jumlah plasma yang dikeluarkan per
exchange adalah 40-50 ml/kg dalam waktu 7-10 hari dilakukan empat
sampai lima kali exchange.
b. Imunoglobulin IV
Intravenous inffusion of human Immunoglobulin (IVIg) dapat
menetralisasi autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto
antibodi tersebut. Pengobatan dengan gamma globulin intravena lebih
menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek
samping/komplikasi lebih ringan. Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2
minggu setelah gejala muncul dengan dosis 0,4 g / kgBB /hari selama 5 hari.
c. Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat
steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.
II.1.9 Prognosis
Pada umumnya penderita mempunyai prognosis yang baik, tetapi pada
sebagian kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. Penderita
SGB dapat sembuh sempurna (75-90%) atau sembuh dengan gejala sisa berupa
dropfoot atau tremor postural (25-36%). Penyembuhan dapat memakan waktu
beberapa minggu sampai beberapa tahun.