Anda di halaman 1dari 38

TUBERKULOSIS

Diusulkan Sebagai Salah Satu Tugas dalam Menjalani Program Internship di RS


Djatiroto, Lumajang

Disusun oleh:
dr. Damar Gumilar

Pembimbing:
dr. Trisasongko Budisatrio, Sp P
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : dr. Litani

No. STR : 35.11.100.1.21.236446

Fakultas : Kedokteran Universitas Hang Tuah Surabaya

Tingkat : Program Dokter Internsip

Bagian : Rawat Inap

Bidang Pendidikan : Penyakit Dalam

Periode Internsip : 24 mei– 24 April 2022

Judul Laporan Kasus : Tuberkulosis

Telah diperiksa dan disetujui tanggal :

Bagian ilmu penyakit paru

RSU Djatiroto Lumajang, Jawa Timur

Mengetahui,

Kepala Rumah Sakit RSU Djatiroto Lumajang

Dokter Pendamping Internsip Pembimbing,

(dr. Dyah Ayu Retno Palupi) (dr. Trisasongko Budi Satrio, Sp.P)
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas Laporan Kasus yang berjudul ”Tuberkulosis “
Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW yang telah
membimbing umat manusia dari alam kegelapan ke alam yang penuh dengan ilmu
pengetahuan.
Penyusunan laporan kasus ini merupakan salah satu tugas dalam menjalani program
Internship di RS Djatiroto, Lumajang. Penulis menyadari bahwa penyusunan tugas laporan
kasus ini tidak terwujud tanpa ada bantuan dan bimbingan serta dukungan dari dosen
pembimbing. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan
terimakasih kepada dr. Trisasongko Budi Satrio, Sp.P yang telah membimbing penulis
dalam menyelesaikan tugas laporan kasus ini.
Penulis telah berusaha melakukan yang terbaik dalam penulisan tugas laporan kasus ini,
namun penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan. Segala kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat diharapkan untuk penyempurnaan tulisan ini. Akhir kata penulis berharap
semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pihak khususnya di bidang
kedokteran serta dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi pihak yang membutuhkan.

Jatiroto, Agustus 2021

Penulis
BAB I
LAPORAN KASUS

Identitas Pasien
Nama : Tn. W
Umur : 59 tahun
No. RM : 21005402
Alamat : Dsn KRAJAN RT 003 RW 001, Jatiroto, Sumber Baru, Kab Jember
Pekerjaan :
Pendidikan terakhir : SD
Agama : Islam
Masuk RS : 12 Juli 2020 (pukul 10.45)
Subyektif
 Keluhan utama: Sesak
 Riwayat penyakit sekarang:
Tn W datang ke IGD dengan keluhan sesak, sesak dirasakan sejak 3 hari, namun memberat sejak
pagi hari sebelum masuk RS. Pasien juga mengeluhkan Demam (+) menggigil, batuk darah (+),
pilek (-), mual (+), nafsu makan berkurang (+), muntah (-), Nyeri perut (-), anosmia (-), nyeri telan
(-), BAB & BAK dalam batas normal. Riwayat bepergian (-), riwayat kontak dengan pasien covid
19 (-).

 Riwayat penyakit dahulu


a. Riwayat hipertensi : Disangkal
b. Riwayat diabetes melitus : Disangkal
c. Riwayat TBC : (+) pernah dirawat inap di RS Paru Jember tahun 1995
dengan diagnose Tuberkulosis dan pengobatan tuntas (+)
 Riwayat penyakit di keluarga:
a. Riwayat hipertensi : Tidak diketahui
b. Riwayat diabetes melitus : Tidak ada
c. Riwayat TBC : Tidak ada

Objektif
Hasil pemeriksaan fisik didapatkan:
Tanda-tanda Vital :
Keadaan Umum : sakit lemah
Kesadaran : compos mentis (GCS 15)
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 121 kali/menit
Pernapasan : 34 kali/menit
Suhu : 37 oC
Saturasi oksigen : 93% tanpa oksigen -> 99% setelah pemberian oksigen nasal canule 3-4
lpm

Status Generalis :
Kepala : dalam batas normal
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil bulat, isokor (3mm/3mm),
refleks cahaya +/+
THT : dalam batas normal
Leher : JVP R±2 cm H2O
Thorax : Inspeksi: pergerakan dada asimetris, perbesaran KGB (-)
Paru : Palpasi: Fremitus Taktil dan Vokal sama pada paru kanan dan kiri
Perkusi: Perkusi sonor pada seluruh lapang paru kanan dan kiri
Auskultasi: sonor +/+, bunyi napas vesikuler/vesikuler menurun pada sisi
lapang paru kiri, rhonki basah kasar +/+, wheezing +/+
Jantung : bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : Soepel, Tidak ada deformitas,
Auskultasi : Bising usus (+) normal,
Palpasi : Hepar dan Lien tidak teraba,
Perkusi : Timpani
Ekstremitas : akral hangat, CRT <2 detik, edema -/-/-/-

Pemeriksaan penunjang :
1. Laboratorium RS Djatiroto (12-7-2021):

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal


Darah Rutin
Hemoglobin 14,1 g/dl 11,5 – 16,0
Eritrosit 5,24 106/µL 3,0 – 6,0
Hematokrit 42,8 % 35 – 47
Trombosit 392 103/µL 150 – 450
Leukosit 18,8 103/µL 3,3 – 10,3
Kmia Darah
Ureum 29,4 mg/dl 10 – 50
Creatinine 0,96 mg/dl 0,5 – 1,2
SGOT 34 U/I 0 – 37
SGPT 24 U/I 0 – 40
Imunologi
Rapid Test Covid19 Non Reaktif Non Reaktif
CRP Positif/ +24 Negatif

3. Rontgen Thorax (12/10/2020)

EKG (12 Juli 2020)


Assessment
Obs dypsneu dengan Hemoptosis
Plan
- O2 nasal canule 4 lpm
- IVFD NS 1000cc/ 24 jam
- Injeksi Ranitidin 50mg/12 jam
- Injeksi Paracetamol 1g/8jam
- Injeksi Ondancentron 4mg/8jam kp
- Injeksi Kalnex 500mg/12jam
- p.o Codein 3x10mg
1
- p.o Retaphyl SR 2x tab prn sesak
2
- p.o Sucralfat syr 3x c 1 a.c.

Follow Up

Tanggal Data Subjektif, Objektif, Asesmen Perencanaan (P)


(SOA)
12-10-2020 S/ Pasien masih mengeluhkan sesak. Batuk P/
Isolasi TB (+), mual (+), muntah (-), demam (-). - 02 nasal canule 4 lpm
15.30 O/ TD: 130/80 mmHg, N: 121 x/menit, - IVFD NS 1000cc/24 jam
RR: 38 x/menit, T: 37 °C - Inj. Levofloxacin 1x750mg
SpO2 99% dengan O2 nasal (hari ke-1 dan 2)
Mata : Anemis -/-, Ikterik -/- - Inj Ranitidine 50mg/12 jam
THT : DBN - Injeksi Methylprednisolon
Thorax: Simetris, ves +/+, Rh +/+, Wh +/+ 2x62,5 mg
Cor : bunyi jantung I dan II reguler, - Asam Tranexamat kp batuk
murmur (-), gallop (-)
darah
Abdomen : flat, Soepel, Bising Usus (+)
- Seretide 2x1
normal, nyeri tekan (-)
1
Extremitas : Edema -/-/-/-, Pucat -/- - PO Retaphil SR 2X tab
2
- PO Kodein 3x10 mg
A/ Obs dypsneu + Sequalae TB
- Sputum TCM TB

13-7-2021 S/ Pasien masih mengeluhakn sesak. Batuk P/


Isolasi TB (+), mual (+), muntah (-), demam (-). - 02 nasal canule 4 lpm
09.00 - IVFD NS 1000cc/24 jam
O/ TD: 120/70 mmHg, N: 80 x/menit,
- Inj. Levofloxacin 1x750mg
RR: 26 x/menit, T: 36,8 °C
(hari ke-1 dan 2)
SpO2 99% dengan O2 nasal
- Inj Ranitidine 50mg/12 jam
Mata : Anemis -/-, Ikterik -/-
- Injeksi Methylprednisolon
THT : DBN
2x62,5 mg
Thorax: Simetris, ves +/menurun, Rh +/+
- Asam Tranexamat kp batuk
berkurang, Wh +/+ berkurang
darah
Cor : bunyi jantung I dan II reguler,
- Seretide 2x1
murmur (-), gallop (-)
1
Abdomen : Soepel, Bising Usus (+) - PO Retaphil SR 2X tab
2
normal, nyeri tekan (-) - PO Kodein 3x10 mg
Extremitas : Edema -/-/-/-, Pucat -/-
A/ Obs dypsneu + Sequalae TB
14-7-2021 S/ Sesak pasien sudah mulai berkurang, P/
ISOLASI Demam (-), mual (-), muntah (-), BAB dan - 02 nasal canule 4 lpm
TB BAK tidak ada keluhan. - IVFD NS 1000cc/24 jam
09.00 - Inj Ranitidine 50mg/12 jam
O/ K/U: cukup - Injeksi Methylprednisolon
TD: 120/90 mmHg, N: 85 x/menit, 2x62,5 mg
RR: 24 x/menit, T: 36,8 °C - Asam Tranexamat kp batuk
SaO2: 99 % dengan O2 nasal
darah
Mata : Anemis -/-, Ikterik -/-
- Seretide 2x1
THT : DBN
1
Thorax: Simetris, ves +/+, Rh -/-, Wh -/- - PO Retaphil SR 2X tab
2
Cor : bunyi jantung I dan II reguler, - PO Kodein 3x10 mg
murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Soepel, Bising Usus (+)
normal, nyeri tekan (-)
Extremitas : Edema -/-/-/-, Pucat -/-

A/ Obs dypsneu + Sequalae TB


15-7-2021 S/ Sesak pasien sudah mulai berkurang, - Drip Aminophilin 1 amp
Isolasi TB Demam (-), mual (-), muntah (-), BAB dan dalam larutan NS 100ml habis
09.00 BAK tidak ada keluhan. dalam 30 menit, lanjut Drip
Aminophilin 1 amp dalam
O/ K/U: cukup larutan NS 500ml 14tpm
TD: 120/70 mmHg, N: 97 x/menit, - P.O Lactulosa syr 2x cth II
RR: 22 x/menit, T: 36,3 °C - OAT Kategori 2 di Puskesmas
SaO2: 98 % tanpa oksigen
- Inj. Ceftriaxon 2x1
Mata : Anemis -/-, Ikterik -/-
THT : DBN
Thorax: Simetris, ves +/+, Rh -/-, Wh -/-
Cor : bunyi jantung I dan II reguler,
murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Soepel, Bising Usus (+)
normal, nyeri tekan (-)
Extremitas : Edema -/-/-/-, Pucat -/-

A/ TB Paru kasus kambuh


16-7-2021 S/ Pasien mengatakan tidak sesak. Demam - P.O Cefixime 2x100mg
Isolasi TB (-), mual (-), muntah (-), BAB dan BAK - P.O Lansoprazole 1x1 tab
10.00 tidak ada keluhan. Pasien rencana KRS 1
- P.O Retaphil 2x tab
hari ini 2
- P.O Curcuma 2x1
O/ K/U: cukup
TD: 120/70 mmHg, N: 97 x/menit,
RR: 22 x/menit, T: 36,3 °C
SaO2: 98 % tanpa oksigen
Mata : Anemis -/-, Ikterik -/-
THT : DBN
Thorax: Simetris, ves +/+, Rh -/-, Wh -/-
Cor : bunyi jantung I dan II reguler,
murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Soepel, Bising Usus (+)
normal, nyeri tekan (-)
Extremitas : Edema -/-/-/-, Pucat -/-

A/ TB Paru kasus kambuh

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. PENDAHULUAN
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Mycobacterium Tuberculosis. Kuman batang tahan asam ini merupakan organisme
patogen maupun saprofit. Ada beberapa mikrobakteria patogen, tetapi hanya strain
bovin dan human yang patogenik terhadap manusia. Basil tuberkel ini berukuran
panjang 1- 10 µm, lebar 0,2 – 0,6 µm, ukuran ini lebih kecil dari satu sel darah merah.
Kuman tersebut dapat menyerang bagian-bagian tubuh seperti tulang, sendi, usus,
kelenjar limfe, selaput otak dan terutama paru-paru.
Tuberkulosis (TB) adalah pembunuh nomor satu di antara penyakit menular
dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit
pernapasan akut pada seluruh kalangan usia. Karena besarnya angka kematian akibat
TB, maka peranan diagnosis dan perawatan menjadi sangat penting. Pemeriksaan
mikroskopik bakteriologi masih merupakan cara rutin yang digunakan, yaitu dengan
menemukan Bakteri Tahan Asam (BTA) untuk menegakkan diagnosis penderita TB
paru, khususnya di negara-negara yang sedang berkembang. Pemeriksaan 3 spesimen
dahak (Sewaktu – Pagi – Sewaktu / SPS) secara mikroskopis langsung menjadi
pilihan, karena nilainya setara dengan pemeriksaan dahak dengan metode kultur yang
relatif lebih mahal dan memerlukan waktu lebih lama.
Banyak hal yang mempengaruhi kepositifan BTA dalam pemeriksaan apusan
langsung antara lain kualitas specimen dahak, jumlah atau konsentrasi kuman, luas
lesi di paru, dan teknik pemeriksaan. Untuk mendapatkan hasil positif BTA dalam
sputum, maka di dalam sediaan tersebut harus terkandung 5.000 kuman TB/mL
dahak. Banyak pemeriksaan mikrobiologi yang telah diperkenalkan, tetapi
pemeriksaan deteksi antigen kuman TB melalui kultur atau molekuler (Polymerase
Chain Reactions/PCR) merupakan baku emas. Pemeriksaan lain seperti fluoresensi,
Rapid Diagnostic Test dan lain-lain mempunyai keunggulan sendiri-sendiri.
Pemeriksaan fluorosensi dapat memeriksa 15 kali lebih banyak sediaan dalam waktu
yang sama dan memperoleh hasil positif. Pemeriksaan dengan ICT TB merupakan uji
serologi dengan teknik imunodiagnosis. Uji ini dikembangkan untuk mendeteksi
respon antibodi yang signifikan terhadap antigen Mycobacterium Tuberculosis
(metode ini sekarang tidak direkomen oleh Kemenkes).
B. EPIDEMIOLOGI
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan yang penting di dunia ini.
Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan
tuberkulosis sebagai Global Emergency. Pada tahun 2011, diperkirakan 8,7 juta kasus
insiden TB secara keseluruhan, sama dengan 125 kasus TB/100.000 penduduk. Kasus
yang terbanyak terdapat di Asia (59%) dan Afrika (26%). Diperkirakan angka
kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2-3 juta setiap tahun.1
TB di Indonesia masih merupakan masalah utama penyakit infeksi di
komunitas, dengan sekurang-kurangnya ditemukan 429.730 kasus baru dan 66.000
kematian tiap tahun akibat TB. Menurut Global TB Report WHO 2011, Indonesia
berada pada urutan ke empat negara dengan beban penderita TB yang tinggi di dunia
setelah China, India, dan Afrika selatan.
Namun Negara kita berhasil mencapai target Millenium Development Goals
(MDGs) untuk TB di tahun 2006, yaitu 70% penemuan kasus baru BTA positif dan
85% kesembuhan. Meskipun program pengendalian TB Nasional telah berhasil
mencapai target MDGs, akan tetapi di sebagian besar rumah sakit, klinik dan praktek
swasta penatalaksanaan TB belum sesuai dengan strategi DOTS ataupun Standar
Pelayanan sesuai International Standards for Tuberculosis Care (ISTC).2,3
Pengendalian TB dipersulit dengan munculnya Multi Drug-Resistant
Tuberkulosis (MDR-TB) atau bahkan Extremely Drug-Resistant TB (XDR-TB).

C. ETIOLOGI
Mycobacterium Tuberculosis adalah basil gram positif, hidup secara obligat
aerob, tidak berspora dan tidak bergerak. Berukuran panjang 1- 10 µm, lebar 0,2 – 0,6
µm, memiliki dinding sel kaya lipid yang dapat melindungi bakteri dari serangan
antibodi dan komplemen. Tumbuh sangat pelan, butuh sekitar 3-6 minggu untuk
mengisolasi bakteri dari spesimen klinis di agar Lowenstein Jensen, Ogawa. Tahan
terhadap suhu rendah, sehingga dapat hidup dalam jangka waktu lama pada suhu
antara 4oC sampai -70oC. Sangat peka terhadap panas, sinar matahari, dan sinar UV.
Dalam dahak pada suhu 30-37oC akan mati dalam waktu kurang lebih 1 minggu. Uji
sensitivitas obat membutuhkan 4 minggu. Ciri khas bakteri ini adalah tahan asam,
yaitu kemampuan membentuk kompleks mikolat berwarna kemerahan bila diwarnai
dengan pewarna arilmetan dan mempertahankan warnanya walau dicuci dengan
etanol.1,4
Mycobacterium Tuberculosis merupakan penyebab penyakit tuberkulosis (TB),

Mycobacterium Leprae menyebabkan penyakit kusta, Mycobacterium Avium-


intercellulare (M. Avium Complex atau MAC) dan mycobacterium atipik lainnya
sering menginfeksi penderita AIDS, menjadi patogen oportunistik pada pasien dengan
sistem imun yang rendah (immunocompromised), meskipun kadangkala menyebabkan
infeksi juga pada pasien dengan sistem imun yang normal. Terdapat lebih dari 50
spesies Mycobacterium, banyak diantaranya bersifat saprofit.
D. PATOGENESIS
Paru merupakan port de entre lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman TB
dalam droplet berukuran panjang 1- 10 µm, lebar 0,2 – 0,6 µm terhirup dan masuk ke
dalam alveolus. Pada sebagian kasus kuman TB akan dihancurkan sepenuhnya oleh
mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respon imunologis spesifik.
Akan tetapi pada sebagian besar kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat dihancurkan.
Pada kasus ini, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar
dihancurkan, akan tetapi sebagian kecil kuman yang tidak dapat dihancurkan akan
terus berkembang biak didalam makrofag yang kemudian akan menyebabkan lisis
makrofag, lalu kuman TB akan membentuk lesi pada tempat tersebut, yang
dinamakan fokus primer (fokus Ghon). 1,2,3
Dari fokus primer, kuman TB menyebar secara limfogen, penyebaran ini
menyebabkan terjadinya inflamasi saluran limfe (limfangitis) dan dikelenjar limfe
(limfadenitis) yang terkena. Jika focus primer terletak di lobus bawah/tengah, kelenjar
limfe yang terlibat adalah kelenjar limfe perihiler, sedangkan jika focus primer
terletak di apeks paru yang terlibat adalah kelenjar paratrakheal. Gabungan antara
focus primer, limfadenitis, dan limfangitis dinamakan kompleks primer. 1,2,3
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB sampai terbentuknya
kompleks primer disebut masa inkubasi yang terjadinya bervariasi selama 2-12
minggu, seringnya berlangsung selama 4-8 minggu, selama masa ini kuman
berkembang biak mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk
merangsang respon imunitas seluler. 1,2,3
Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan terjadi.
Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB telah terbentuk,
yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap protein tuberkel.
Selama masa inkubasi uji tuberkulin negatif. Jika imunitas selular telah terbentuk,
kuman TB yang masuk ke dalam alveolus akan segera dimusnahkan oleh imunitas
selular spesifik. 1,2,3
Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer dijaringan paru biasanya akan
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
terjadi
nekrosis perkejuan dan enkapulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami
fibrosis dan enkapulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus
primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-
tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB. 1,2,3
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru atau
kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan
pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkejuan yang berat, bagian
tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga
di jaringan paru (kavitas). 1,2,3
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara
limfohematogen. Penyebaran hematogen langsung adalah saat kuman masuk ke dalam
sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah
yang menyebabkan TB disebut penyakit sistemik. 1,2,3
Penyebaran hematogen yang sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB
menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala
klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ diseluruh tubuh,
bersarang pada organ yang memilki vaskularisasi dengan baik, seperti apeks paru,
limpa dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu dapat juga bersarang di organ lain
seperti otak, hati, tulang, ginjal dan lainnya. Pada umumnya kuman disarang tersbut
masih hidup tetapi tidak aktif (tenang), demikian pula dengan proses patologiknya.
Sarang di apeks paru disebut fokus simons, yang dikemudian hari dapat mengalami
reaktivasi dan terjadi TB paru saat dewasa.1,2,3
Bentuk penyebaran hematogen lainnya adalah penyebaran hematogenik
generalisata (acute generalized hematogenic spread) yang menyebabkan kuman TB
masuk dan beredar didalam darah ke seluruh tubuh. Hal ini menyebabkan timbulnya
manifestasi klinis penyakit secara akut, yang disebut TB diseminata, timbul pada
waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulanya penyakit tergantung pada jumlah
virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran.
Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya system imun pejamu (host)
dalam mengatasi infeksi TB. 1,2,3
Bentuk penyebaran yang sering terjadi adalah protacted hematogenic spread,
yang terjadi bila suatu focus perkejuan pecah dan menyebar ke seluruh tubuh,
sehingga sebagian besar kuman TB akan beredar didalam darah, secara klinis tidak
dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenis spread.
E. MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal
dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala
respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat). (1-6)

1. Gejala respiratorik
a) Batuk > 2 minggu
b) Batuk darah dapat terjadi akibat banyak hal yaitu: tuberkulosis, brokiektasis,
abses paru, ca paru, dan bronchitis kronik. Namun diantara banyak penyebab,
yang paling sering adalah tuberculosis. Adanya infeksi pada paru dapat
menyebabkan nekrosis pada parenkim paru yang akan menimbulkan proses
perkejuan. Apabila dibatukkan, bahan cair dari perkejuan tersebut akan keluar
dan meninggalkan lubang yang disebut kavitas. Kavitas ini lama-lama akan
menebal karena infiltrasi jaringan fibroblas dalam jumlah besar dan terjadilah
sklerotik. Jika terjadi peradangan arteri di dinding kavarne akan
mengakibatkan pecahnya vasa darah. Jika vasa darah pecah maka darah akan
dibatukkan keluar dan terjadilah hemoptisis. (1-6)
c) Sesak napas
d) Nyeri dada
Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis
pada saat
medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien
mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus,
dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar. (1-6)
2. Gejala sistemik
a) Demam merupakan salah satu tanda inflamasi. Demam pada penyakit
tuberculosis biasanya hilang timbul, biasanya muncul pada sore hari.
Mekanisme demam sendiri yaitu mikroorganisme yang masuk ke dalam
jaringan atau darah akan difagositosis oleh leukosit darah, makrofag, dan sel
mast. Setelah memfagositosis, sel ini akan mengeluarkan IL-1 ke dalam cairan
tubuh disebut sebagai pirogen endogen. IL-1 menginduksi pembentukan
prostaglandin akan menstimulus hipotalamus sebagai pusat termoregulator
untuk meningkatkan temperatur tubuh dan terjadi demam atau panas. (1-6)
b) Gejala sistemik lain adalah malaise, keringat malam, anoreksia dan berat
badan menurun. Keringat malam ini kemungkinan disebabkan oleh karena
kuman yang menginfeksi penderita, misalnya kuman Mycobacterium
Tuberculosis, mengadakan metabolisme seperti pembelahan didalam tubuh
penderita sehingga terjadilah manifestasi keringat. Sebenarnya, keringat yang
disebut disini tidak hanya terjadi pada malam hari saja tetapi juga terjadi setiap
saat. Namun, pada pagi dan siang hari umumnya penderita melakukan
aktivitas fisik jadi keringat akibat metabolisme kuman tersebut menjadi samar.
3. Gejala tuberkulosis ekstraparu
Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat,
misalnya pada limfadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran yang lambat
dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosis akan
terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosis terdapat gejala
sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat
cairan.
F. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan
sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala
respiratorik (gejala lokal sesuai organ yang terlibat).
 Gejala respiratorik
- Batuk > 2 minggu
- Batuk darah
- Sesak napas
- Nyeri dada
Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala
yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat
medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien
mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi
bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
 Gejala sistemik
- Demam
- Gejala sistemik lain adalah malaise, keringat malam, anoreksia dan berat
badan menurun
 Gejala tuberkulosis ekstraparu
Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada
limfadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri
dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosis akan terlihat gejala
meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosis terdapat gejala sesak napas dan
kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang
terlibat.
 Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan
struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak
(atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak
di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan
S2), serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan dapat ditemukan
antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah,
tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.
 Pada pleuritis tuberkulosis, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari
banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada
auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang
terdapat cairan.
 Pada limfadenitis tuberkulosis, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,
tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-
kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi cold
abscess.
3. Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan meliputi darah perifer lengkap, laju endap darah dan gula darah.
Lekosit darah tepi sering meningkat (10.000-20.000 sel/mm). Sering
ditemukan hiponatremia dan hipokloremia karena sekresi antidiuretik hormon
yang tidak adekuat.
 Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai
arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis.
- Bahan untuk pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal dari dahak, cairan
pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan
biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH).
- Cara pengumpulan dan pengiriman bahan, cara pengambilan dahak 3 kali
(SPS): Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan pertama), pagi (keesokan
harinya), sewaktu/spot (pada saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap pagi 3
hari berturut-turut. Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan
dikumpulkan/ditampung dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm
atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila
ada fasilitas, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek
(difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium. Bahan pemeriksaan hasil BJH,
dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek, atau untuk kepentingan biakan
dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke
laboratorium. Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek
dimasukkan ke dalam kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus
dipastikan telah tertulis identitas pasien yang sesuai dengan formulir
permohonan pemeriksaan laboratorium. Bila lokasi fasilitas laboratorium
berada jauh dari klinik/tempat pelayanan pasien, spesimen dahak dapat dikirim
dengan kertas saring melalui jasa pos. (6)
- Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring:
o Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat
bagian tengahnya dahak yang representatif diambil dengan lidi,
diletakkan di bagian tengah dari kertas saring sebanyak ± 1ml.
o Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada
satu ujung yang tidak mengandung bahan dahak.
o Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang
aman, misal di dalam dus bahan dahak dalam kertas saring yang kering
dimasukkan dalam kantong plastik kecil.
o Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan
melidahapikan sisi kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi.
o Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal
pengambilan dahak, dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui
jasa pos ke alamat laboratorium.
- Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain.
Pemeriksaan bakteriologi dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura,
liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, bronchoalveolar
lavage/BAL, urin, feses dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan
dengan cara: (6)

MIKROSKOPIK

Biakan
Pemeriksaan mikroskopik:
Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
Mikroskopik fluoresens : pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya
untuk screening)
lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila:
o 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif ® BTA positif
o 1 kali positif, 2 kali negatif ® ulang BTA 3 kali, kemudian
o bila 1 kali positif, 2 kali negatif ® BTA positif
o bila 3 kali negatif ® BTA negatif
Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD
(rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease):

o Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif


o Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman
yang ditemukan
o Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)
o Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)
o Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)

Pemeriksaan biakan kuman:

Pemeriksaan biakan M. tuberculosis dengan metode konvensional ialah


dengan cara :

o Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh


o Agar base media : Middle brook
Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan
dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other
than tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan
beberapa cara, baik dengan melihat cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji
nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran dengan cyanogen bromide serta
melihat pigmen yang timbul.

RADIOLOGI

Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto
lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks,
tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).6
Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif:
o Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas
paru dan segmen superior lobus bawah.
o Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan
atau nodular. Bayangan bercak milier.
o Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif:
o Fibrotik
o Kalsifikasi
o Schwarte atau penebalan pleura
Luluh Paru (destroyed Lung ) :
Gambaran radiologi yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat,
biasanya secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologi luluh paru
terdiri dari atelektasis, ektasis/ multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit
untuk menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya perlu dilakukan pemeriksaan
bakteriologi untuk memastikan aktiviti proses penyakit. (6)
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat
dinyatakan sebagai berikut (terutama pada kasus BTA negatif) :
o Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru
dengan luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di
atas chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus
dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5), serta tidak
dijumpai kaviti
o Lesi luas: Bila proses lebih luas dari lesi minimal.

PEMERIKSAAN KHUSUS

Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya


waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara
konvensional. Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik yang lebih baru
yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat. (6,7)
o Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode
radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian
menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini.
Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat
untuk membantu menegakkan diagnosis dan melakukan uji kepekaan. Bentuk
lain teknik ini adalah dengan menggunakan Mycobacteria Growth Indicator
Tube (MGIT). (6,7)
o Polymerase chain reaction (PCR):
Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi
DNA, termasuk DNA M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan
teknik ini adalah kemungkinan kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup
banyak dipakai, kendati masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya.
(6,7)
Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis
sepanjang pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai
standar internasional. Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data
lain tidak ada yang menunjang ke arah diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak
dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis TB. Pada pemeriksaan deteksi
M.tb tersebut diatas, bahan / spesimen pemeriksaan dapat berasal dari paru
maupun ekstraparu sesuai dengan organ yang terlibat. (6,7)
o Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda:
 Enzym linked immunosorbent assay (ELISA). Teknik ini merupakan salah
satu uji serologi yang dapat mendeteksi respons humoral berupa proses
antigen-antibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara
lain adalah kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama.
(6,7)

 ICT Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah


uji serologi untuk mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam serum. Uji
ICT merupakan uji diagnostik TB yang menggunakan 5 antigen spesifik
yang berasal dari membran sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen
M.tb 38 kDa. Ke 5 antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis
melintang pada membran immunokromatografik (2 antigen diantaranya
digabung dalam 1 garis) disamping garis kontrol. Serum yang akan
diperiksa sebanyak 30 ml diteteskan ke bantalan warna biru, kemudian
serum akan berdifusi melewati garis antigen. Apabila serum mengandung
antibodi IgG terhadap M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan
dengan antigen dan membentuk garis warna merah muda. Uji dinyatakan
positif bila setelah 15 menit terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari
empat garis antigen pada membran. 6,7
 Mycodot Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh
manusia. Uji ini menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang
direkatkan pada suatu alat yang berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini
kemudian dicelupkan ke dalam serum pasien, dan bila di dalam serum
tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam jumlah yang memadai
sesuai dengan aktiviti penyakit, maka akan timbul perubahan warna pada
sisir dan dapat dideteksi dengan mudah. 6,7
 Uji peroksidase anti peroksidase (PAP). Uji ini merupakan salah satu jenis
uji yang mendeteksi reaksi serologi yang terjadi. Dalam menginterpretasi
hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh, para klinisi harus hati hati
karena banyak variabel yang mempengaruhi kadar antibodi yang
terdeteksi. 6,7
 Uji serologi yang baru / IgG TB. Uji IgG adalah salah satu pemeriksaan
serologi dengan cara mendeteksi antibodi IgG dengan antigen
spesifik untuk Mycobacterium tuberculosis. Uji IgG berdasarkan antigen
mikobakterial rekombinan seperti 38 kDa dan 16 kDa dan kombinasi
lainnya akan menberikan tingkat sensitiviti dan spesifisiti yang dapat
diterima untuk diagnosis. Di luar negeri, metode imunodiagnosis ini lebih
sering digunakan untuk mendiagnosis TB ekstraparu, tetapi tidak cukup
baik untuk diagnosis TB pada anak.6,7
G. TATALAKSANA
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam pengobatan
TB. Pengobatan TB adalah merupakan salah satu upaya paling efisien untuk
mencegah penyebaran lebih lanjut dari kuman TB. Pengobatan yang adekuat harus
memenuhi prinsip:
1. Pengobatan diberikan dalam bentuk pengobatan OAT yang tepat mengandung
minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi
2. Diberikan dalam dosis yang tepat
3. Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas Menelan
Obat) sampai pengobatan selesai
4. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap awal
serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan
Pengobatan TB harus meliputi pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan
dengan maksud:
o Tahap Awal: Pengobatan diberikan setiap hari. Panduan pengobatan pada tahap
ini adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada
dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang
mungkin sudah resisten sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan.
Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus diberikan selama 2 bulan.
Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya
penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2 minggu.
o Tahap Lanjutan: Pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang paling
penting untuk membunuh sisa-sisa kuman yang masih ada dalam tubuh khususnya
kuman persister sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya
kekambuhan.

Tabel 1. OAT Lini Pertama

Jenis Sifat Efek samping

Isoniazid (H) Bakterisidal Neuropati perifer, psikosis toksik, gangguan


fungsi hati, kejang
Rifampisin (R) Bakterisidal Flu syndrome, gangguan gastrointestinal, urin
berwarna merah, gangguan fungsi hati,
trombositopeni, demam, skin rash, sesak nafas,
anemia hemolitik

Pirazinamid (Z) Bakterisidal Gangguan gastrointestinal, gangguan fungsi hati,


gout artritis

Etambutol (E) Bakterisidal Gangguan penglihatan, buta warna, neuritis


perifer

Streptomisin (S) Bakterisidal Nyeri ditempat suntikan, gangguan


keseimbangan dan pendengaran, renjatan
anafilaktik, anemia, agranulositosis,
trombositopeni

Tabel 2. Kisaran dosis OAT lini pertama bagi pasien dewasa

Dosis
Harian 3x/ minggu
OAT
Kisaran dosis Maksimum Kisaran dosis Maksimum
(mg/kgBB) (mg) (mg/kgBB) (mg)
Isoniazid (H) 5 (4-6) 300 10 (8-12) 900

Rifampisin (R) 10 (8-12) 600 10 (8-12) 600


Pirazinamid (Z) 25 (20-30) - 35 (30-40)
Etambutol (E) 15 (15-20) - 30 (25-35)

Streptomisin (S) 15 (12-18) - 15 (12-18) 1000

Catatan:
o Pemberian streptomosin untuk pasien yang berumur >60 tahun atau pasien
dengan berat badan <50 kg mungkin tidak dapat mentoleransi dosis
>500mg/hari. Beberapa buku rujukan menganjurkan penurunan dosis
menjadi 10mg/kgBB/hari.
Panduan OAT yang digunakan di Indonesia
Panduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di
Indonesia (sesuai rekomendasi WHO dan ISTC) adalah:
o Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3
o Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
o Kategori anak: 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZA(S)/4-10HR
o Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resisten obat di
indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamisin, Kapreomisin,
Levofloksasin, Etionamide, Sikloserin, Moksifloksasin dan PAS, serta
obat lini 1, yaitu pirazinamid etambutol.2,5
Paduan OAT Kategori-1 dan Kategori-2 disediakan dalam bentuk paket obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau
4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien.
Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.

Paket Kombipak. Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini
disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang terbukti
mengalami efek samping pada pengobatan dengan OAT KDT sebelumnya.

Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan
untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas)
pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa
pengobatan.

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket KDT mempunyai
beberapa keuntungan dalam pengobatan TB, yaitu:
a. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin
efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
b. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya
resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep.
c. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi
sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien.
Paduan OAT KDT Lini Pertama dan Peruntukannya.
a. Kategori-1 : 2(HRZE) / 4(HR)3
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
 Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis
 Pasien TB paru terdiagnosis klinis
 Pasien TB ekstra paru
Tabel 3. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3

Tabel 4. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 1: 2HRZE/4H3R3

Kategori -2: 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati sebelumnya
(pengobatan ulang):
 Pasien kambuh
 Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya
 Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up)

Tabel 5. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3


Tabel 6. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 2: 2HRZES/HRZE/ 5H3R3E3

Catatan:
 Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB pada keadaan khusus.
 Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan
aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).
 Berat badan pasien ditimbang setiap bulan dan dosis pengobatan harus
disesuaikan apabila terjadi perubahan berat badan. ( ² )
 Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya
kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada
pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh
lebih rendah daripada OAT lini pertama. Disamping itu dapat juga
meningkatkan risiko terjadinya resistensi pada OAT lini kedua.
 OAT lini kedua disediakan di Fasyankes yang telah ditunjuk guna
memberikan pelayanan pengobatan bagi pasien TB yang resistan obat.
Tabel 7. OAT yang digunakan pada pengobatan TB MDR

Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk
menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (multidrug resistant tuberculosis).
Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan prioriti
utama WHO. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD)
dan WHO menyarakan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi
dosis tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998.
H. KOMPLIKASI
Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum
pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan.
Beberapa komplikasi yang mungikin timbul adalah: batuk darah, pneumotoraks, gagal
napas, gagal jantung dan efusi pleura.1,3
I. PROGNOSIS
Prognosis sangat bergantung pada deteksi dini kasus TB secara cepat dan tepat,
serta sarana laboratorium untuk evaluasi pola kepekaan M. tuberculosis terhadap
OAT.
BAB III
PEMBAHASAN
TEORI PEMBAHASAN

 Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi Ditemukan gejala berupa batuk berdahak ± 3


yang disebabkan oleh Mycobacterium hari, batuk berdarah, demam naik turun ± 3
Tuberculosis. Kuman batang tahan asam ini hari, nafsu makan berkurang, mual tapi tidak
merupakan organisme patogen maupun muntah, BAB encer namun tidak disertai
saprofit. Basil tuberkel ini berukuran lendir maupun darah. Warna feses
panjang 1- 10 µm, lebar 0,2 – 0,6 µm, kekuningan dengan frekuensi 1-2x/hari.
ukuran ini lebih kecil dari satu sel darah Pasien memiliki riwayat penyakit tuberkulosis
merah. Kuman ini dapat menyerang bagian- pada tahun 1995
bagian tubuh seperti tulang, sendi, usus,
kelenjar limfe, selaput otak dan terutama
paru-paru. .

 Gejala Klinis :
Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi
menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan
gejala sistemik.
a. Gejala lokal: batuk > 2 minggu,
sesak napas, nyeri dada
b. Gejala sistemik: demam pada
penyakit tuberculosis biasanya
hilang timbul, biasanya muncul pada
sore hari. Gejala sistemik lain adalah
malaise, keringat malam, anoreksia
dan berat badan menurun
Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang akan Pada pemeriksaan fisik pasien, ditemukan
dijumpai tergantung dari organ yang terlibat. kesadaran pasien composmentis, kesan umum
 Pada tuberkulosis paru, kelainan yang tampak sakit, tekanan darah 130/80, nadi 121
didapat tergantung luas kelainan struktur kpm, respirasi 34 kpm, temperatur 37,1ºc,
paru. Pada permulaan (awal) perkembangan demam pada pasien naik turun, saat datang
penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) dalam keadaan demam. Pada pemeriksaan
menemukan kelainan. Kelainan paru pada thorax, auskultasi pada pulmo
umumnya terletak di daerah lobus superior didapatkan suara dasar vesikuler, suara
terutama daerah apeks dan segmen posterior tambahan (+/+) rhonki basah kasar pada apeks
(S1 dan S2), serta daerah apeks lobus dan medial paru kanan, rhonki basah pada
inferior (S6). Pada pemeriksaan dapat apeks dan basal paru kiri.
ditemukan antara lain suara napas bronkial,
amforik, suara napas melemah, ronki basah,
tanda- tanda penarikan paru, diafragma dan
mediastinum.
 Pada pleuritis tuberkulosis, kelainan
pemeriksaan fisik tergantung dari
banyaknya cairan di rongga pleura. Pada
perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi
suara napas yang melemah sampai tidak
terdengar pada sisi yang terdapat cairan.
 Pada limfadenitis tuberkulosis, terlihat
pembesaran kelenjar getah bening, tersering
di daerah leher (pikirkan kemungkinan
metastasis tumor), kadang-kadang di daerah
ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat
menjadi cold abscess.

 Pemeriksaan meliputi darah perifer lengkap, Pemeriksaan Penunjang


laju endap darah dan gula darah. Lekosit
Laboratorium : Tidak menunjukkan hal yang
darah tepi sering meningkat (10.000-20.000
bermakna dalam mendiagnosis tuberkulosis.
sel/mm). Sering ditemukan hiponatremia
Pemeriksaan leukosit menunjukkan leukosit
dan hipokloremia karena sekresi antidiuretik
normal dengan angka 18,8 ribu/ul yang
hormon yang tidak adekuat.
menandakan adanya infeksi bakteri.
 Pemeriksaan bakteriologi dapat berasal dari
dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal,
bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/
BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi
(termasuk biopsi jarum halus/BJH). Cara
pengumpulan dan pengiriman bahan, cara
pengambilan dahak 3 kali (SPS):
Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat
kunjungan pertama), pagi (keesokan
harinya), sewaktu (pada saat mengantarkan
dahak pagi) atau setiap pagi 3 hari berturut-
turut. lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak
dari 3 kali pemeriksaan ialah bila:
o 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali
negatif ® BTA positif
o 1 kali positif, 2 kali negatif ® ulang BTA
3 kali, kemudian
o bila 1 kali positif, 2 kali negatif ® BTA
positif
o bila 3 kali negatif ® BTA negatif
Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca
dengan skala IUATLD (rekomendasi
WHO). Skala IUATLD (International
Union Against Tuberculosis and Lung
Disease):
o Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang
pandang, disebut negatif
o Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang
pandang, ditulis jumlah kuman yang
ditemukan
o Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang
pandang disebut + (1+)
o Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang
pandang, disebut ++ (2+)
o Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang
pandang, disebut +++ (3+)
 Pemeriksaan radiologi standar ialah foto
toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi:
foto lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan.
Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis
dapat memberi gambaran bermacam-macam
bentuk (multiform).
Gambaran radiologi yang dicurigai
sebagai lesi TB aktif:
o Bayangan berawan / nodular di segmen
apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah.
o Kaviti, terutama lebih dari satu,
dikelilingi oleh bayangan opak berawan
atau nodular. Bayangan bercak milier.
o Efusi pleura unilateral (umumnya) atau
bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi
TB inaktif:
o Fibrotik
o Kalsifikasi
o Schwarte atau penebalan pleura
Luluh Paru (destroyed Lung): Gambaran
radiologi yang menunjukkan kerusakan
jaringan paru yang berat, biasanya secara
klinis disebut luluh paru . Gambaran
radiologi luluh paru terdiri dari atelektasis,
ektasis/ multikaviti dan fibrosis parenkim
paru. Sulit untuk menilai aktiviti lesi atau
penyakit hanya perlu dilakukan pemeriksaan
bakteriologi untuk memastikan aktiviti
proses penyakit.
 Panduan OAT yang digunakan oleh O2 NK 4 lpm Infus
Program Nasional Pengendalian RL 1000cc/24jam
Tuberkulosis di Indonesia (sesuai
Inj Levofloxacine
rekomendasi WHO dan ISTC) adalah:
1x750mg
o Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3
Inj Ranitidine 50mg/12
o Kategori 2:
2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 jam/IV
o Kategori anak: 2(HRZ)/4(HR) atau Inj Paracetamol 1g/8jam
2HRZA(S)/4-10HR Codein 3x10mg PO
Obat yang digunakan pada TB resisten obat di 1
Retaphil SR 2x tab PO
indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu 2
Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin, Obat Anti Tuberkulosis (OAT) kategori II
Etionamide, Sikloserin, Moksifloksasin dan
PAS, serta obat lini 1 yaitu pirazinamid
etambutol.
BAB IV

KESIMPULAN

Prevalensi terjadinya tuberculosis pada dewasa semakin


meningkat setiap tahunnya. Tuberkulosis merupakan penyakit
yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberculosis, yang
bersifat aerob yang terutama menyerang paru-paru dan dapat
menyebar secara limfogen dan hematogen ke daerah diluar paru
(ekstrapulmonal), dan dapat menular antar manusia melalui
droplet (udara). Gejala TB terbagi menjadi gejala local dan
sistemik berupa batuk, sesak, penurunan berat badan, demam, lesu
atau malaise yang menetap lebih dari 2 minggu dan tidak ada
perbaikan walaupun sudah diberikan pengobatan yang adekuat,
dan gejala spesifik terkait organ yang terkena (TB
ekstrapulmonal). Diagnosis TB dapat dilakukan dengan
pemeriksaan bakteriologis, pemeriksaan penunjang berupa foto
thorax serta histopatologi (PA). Pengobatan TB meliputi
pengobatan profilaksis dan pengobatan untuk sakit TB.
Pengobatan pada sakit TB dapat diberikan 4 macam OAT pada
fase inisial (3 bulan pertama), serta fase lanjutan (5 bulan
berikutnya) dengan pemberian Rifampisin dan INH.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ariyanti Tatik. 2003. Karakteristik dan penyebab efusi pleura pada


penderita yang dirawat di rumah sakit umum pusat dokter karyadi
semarang pada bulan november tahun 2002. Semarang. Universitas
Diponegoro.
2. Coley BD. Caffey’s Pediatric Diagnostic imaging 12th Edition. Elsevier-
Health Sciences Division. Philadephia. 2013.
3. Dev PS, Nascimiento B, simone C, Chien V. Chest Tube Insertion. N Eng
J Med 2007;357:15
4. Ellis SM, Flower C. The WHO Manual of Diagnostic Imaging :
Radiographic Anatomy and Interpretation of the Chest and Pulmonary
System. WHO and ISR. 2006
5. Havelock T, Teoh R, Laws D, Gleeson F. Pleural Procedures and Thoracic
Ultrasound: British Thoracic Society Pleural Disease Guideline 2010.
Thorax 2010;65(Suppl 2):ii61-ii76
6. Klopp M. Chest Tube Placement in Principles and Practice of
Interventional Pulmonology. Springer. New York. 2013. 585-
7. Lee YCG. Pleural Anatomy and Fluid Analysis in Principles and Practice
of Interventional Pulmonology. Springer. New York. 2013. 545-555
8. Light RW, Lee YCG. Textbook of Pleural Disease, Second Edition.
Hodder Arnold. 2008
9. Light RW. Pleural Effusions. Med Clin N Am. 2011;95:1055-1070
10. Liu YH, Lin YC, Liang SJ, Tu CY, Chen HC, Chen HJ, et al. Ultrasound-
Guided Pigtail Catheters for Drainage of Various Pleural Diseases.
American Journal of Emergency Medicine 2010 ;28:915-921
11. Masyhudi Akmal Nilam, 2013; The Correlation Between Drainage
Volumes of WSD with Re-expansion Pulmonary Edema In Patient With
Massive Pleural Effusion. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
12. Mayse M.L. Non Malignant Pleural Effusions, In : Fishman A.P, editor.
Fishman Pulmonary Disease and Disorders. 4th ed New York : Mc Graw
Hill, 2008;85:1487-1488
13. McGrath E, Anderson PB. Diagnosis of Pleural Effusion : a Systematic
Approach. American Journal of Critical Care. 2011. Vol 20, No. 2.
14. Porcel JM, Light RW. Pleural effusions. Dis Mon [internet]. 2013 Feb
[cited 2014 Feb 7];59(2):29-57. Available from:
http://www.ncbi.nlm.gov/pubmed/23374395
15. Roberts JR, Custalow CB, Thomsen TW and Hedges JR. Roberts and
Hedges’ Clinical Procedures in Emergency medicine, Sixth Edition.
Elsevier Saunders. Philadelpia. 2014.
16. Rubins J. 2012. Pleural effusion. Medscape reference. Tersedia pada :
http://emedicine.medscape.com/article/299959.

1
17. Sato T. Differential Diagnosis of Pleural Effusions. JMAJ 2006 Vol
49;9:10
18. Syahrudin E, dkk, 2012, Efusi Pleura Ganas Pada Kanker Paru, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia Depok.
19. Tobing EMS, Widiraharjo. 2011. Karakteristik penderita efusi pleura di
RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2011. E-jurnal FK USU volume 1 no
2.
20. Yataco JC, Dweik RA. 2005. Pleural effusions : evaluation and
management. Cleveland clinic journal of medicine, vol 72, No 10.
21. Yu H. Management of Pleural Effusion, Empyema, and Lung Abscess .
Semin Intervent Radiol 2011;28:75-86

Anda mungkin juga menyukai