Disusun oleh:
dr. Damar Gumilar
Pembimbing:
dr. Trisasongko Budisatrio, Sp P
LEMBAR PENGESAHAN
Mengetahui,
(dr. Dyah Ayu Retno Palupi) (dr. Trisasongko Budi Satrio, Sp.P)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas Laporan Kasus yang berjudul ”Tuberkulosis “
Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW yang telah
membimbing umat manusia dari alam kegelapan ke alam yang penuh dengan ilmu
pengetahuan.
Penyusunan laporan kasus ini merupakan salah satu tugas dalam menjalani program
Internship di RS Djatiroto, Lumajang. Penulis menyadari bahwa penyusunan tugas laporan
kasus ini tidak terwujud tanpa ada bantuan dan bimbingan serta dukungan dari dosen
pembimbing. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan
terimakasih kepada dr. Trisasongko Budi Satrio, Sp.P yang telah membimbing penulis
dalam menyelesaikan tugas laporan kasus ini.
Penulis telah berusaha melakukan yang terbaik dalam penulisan tugas laporan kasus ini,
namun penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan. Segala kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat diharapkan untuk penyempurnaan tulisan ini. Akhir kata penulis berharap
semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pihak khususnya di bidang
kedokteran serta dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi pihak yang membutuhkan.
Penulis
BAB I
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama : Tn. W
Umur : 59 tahun
No. RM : 21005402
Alamat : Dsn KRAJAN RT 003 RW 001, Jatiroto, Sumber Baru, Kab Jember
Pekerjaan :
Pendidikan terakhir : SD
Agama : Islam
Masuk RS : 12 Juli 2020 (pukul 10.45)
Subyektif
Keluhan utama: Sesak
Riwayat penyakit sekarang:
Tn W datang ke IGD dengan keluhan sesak, sesak dirasakan sejak 3 hari, namun memberat sejak
pagi hari sebelum masuk RS. Pasien juga mengeluhkan Demam (+) menggigil, batuk darah (+),
pilek (-), mual (+), nafsu makan berkurang (+), muntah (-), Nyeri perut (-), anosmia (-), nyeri telan
(-), BAB & BAK dalam batas normal. Riwayat bepergian (-), riwayat kontak dengan pasien covid
19 (-).
Objektif
Hasil pemeriksaan fisik didapatkan:
Tanda-tanda Vital :
Keadaan Umum : sakit lemah
Kesadaran : compos mentis (GCS 15)
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 121 kali/menit
Pernapasan : 34 kali/menit
Suhu : 37 oC
Saturasi oksigen : 93% tanpa oksigen -> 99% setelah pemberian oksigen nasal canule 3-4
lpm
Status Generalis :
Kepala : dalam batas normal
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil bulat, isokor (3mm/3mm),
refleks cahaya +/+
THT : dalam batas normal
Leher : JVP R±2 cm H2O
Thorax : Inspeksi: pergerakan dada asimetris, perbesaran KGB (-)
Paru : Palpasi: Fremitus Taktil dan Vokal sama pada paru kanan dan kiri
Perkusi: Perkusi sonor pada seluruh lapang paru kanan dan kiri
Auskultasi: sonor +/+, bunyi napas vesikuler/vesikuler menurun pada sisi
lapang paru kiri, rhonki basah kasar +/+, wheezing +/+
Jantung : bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : Soepel, Tidak ada deformitas,
Auskultasi : Bising usus (+) normal,
Palpasi : Hepar dan Lien tidak teraba,
Perkusi : Timpani
Ekstremitas : akral hangat, CRT <2 detik, edema -/-/-/-
Pemeriksaan penunjang :
1. Laboratorium RS Djatiroto (12-7-2021):
Follow Up
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PENDAHULUAN
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Mycobacterium Tuberculosis. Kuman batang tahan asam ini merupakan organisme
patogen maupun saprofit. Ada beberapa mikrobakteria patogen, tetapi hanya strain
bovin dan human yang patogenik terhadap manusia. Basil tuberkel ini berukuran
panjang 1- 10 µm, lebar 0,2 – 0,6 µm, ukuran ini lebih kecil dari satu sel darah merah.
Kuman tersebut dapat menyerang bagian-bagian tubuh seperti tulang, sendi, usus,
kelenjar limfe, selaput otak dan terutama paru-paru.
Tuberkulosis (TB) adalah pembunuh nomor satu di antara penyakit menular
dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit
pernapasan akut pada seluruh kalangan usia. Karena besarnya angka kematian akibat
TB, maka peranan diagnosis dan perawatan menjadi sangat penting. Pemeriksaan
mikroskopik bakteriologi masih merupakan cara rutin yang digunakan, yaitu dengan
menemukan Bakteri Tahan Asam (BTA) untuk menegakkan diagnosis penderita TB
paru, khususnya di negara-negara yang sedang berkembang. Pemeriksaan 3 spesimen
dahak (Sewaktu – Pagi – Sewaktu / SPS) secara mikroskopis langsung menjadi
pilihan, karena nilainya setara dengan pemeriksaan dahak dengan metode kultur yang
relatif lebih mahal dan memerlukan waktu lebih lama.
Banyak hal yang mempengaruhi kepositifan BTA dalam pemeriksaan apusan
langsung antara lain kualitas specimen dahak, jumlah atau konsentrasi kuman, luas
lesi di paru, dan teknik pemeriksaan. Untuk mendapatkan hasil positif BTA dalam
sputum, maka di dalam sediaan tersebut harus terkandung 5.000 kuman TB/mL
dahak. Banyak pemeriksaan mikrobiologi yang telah diperkenalkan, tetapi
pemeriksaan deteksi antigen kuman TB melalui kultur atau molekuler (Polymerase
Chain Reactions/PCR) merupakan baku emas. Pemeriksaan lain seperti fluoresensi,
Rapid Diagnostic Test dan lain-lain mempunyai keunggulan sendiri-sendiri.
Pemeriksaan fluorosensi dapat memeriksa 15 kali lebih banyak sediaan dalam waktu
yang sama dan memperoleh hasil positif. Pemeriksaan dengan ICT TB merupakan uji
serologi dengan teknik imunodiagnosis. Uji ini dikembangkan untuk mendeteksi
respon antibodi yang signifikan terhadap antigen Mycobacterium Tuberculosis
(metode ini sekarang tidak direkomen oleh Kemenkes).
B. EPIDEMIOLOGI
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan yang penting di dunia ini.
Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan
tuberkulosis sebagai Global Emergency. Pada tahun 2011, diperkirakan 8,7 juta kasus
insiden TB secara keseluruhan, sama dengan 125 kasus TB/100.000 penduduk. Kasus
yang terbanyak terdapat di Asia (59%) dan Afrika (26%). Diperkirakan angka
kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2-3 juta setiap tahun.1
TB di Indonesia masih merupakan masalah utama penyakit infeksi di
komunitas, dengan sekurang-kurangnya ditemukan 429.730 kasus baru dan 66.000
kematian tiap tahun akibat TB. Menurut Global TB Report WHO 2011, Indonesia
berada pada urutan ke empat negara dengan beban penderita TB yang tinggi di dunia
setelah China, India, dan Afrika selatan.
Namun Negara kita berhasil mencapai target Millenium Development Goals
(MDGs) untuk TB di tahun 2006, yaitu 70% penemuan kasus baru BTA positif dan
85% kesembuhan. Meskipun program pengendalian TB Nasional telah berhasil
mencapai target MDGs, akan tetapi di sebagian besar rumah sakit, klinik dan praktek
swasta penatalaksanaan TB belum sesuai dengan strategi DOTS ataupun Standar
Pelayanan sesuai International Standards for Tuberculosis Care (ISTC).2,3
Pengendalian TB dipersulit dengan munculnya Multi Drug-Resistant
Tuberkulosis (MDR-TB) atau bahkan Extremely Drug-Resistant TB (XDR-TB).
C. ETIOLOGI
Mycobacterium Tuberculosis adalah basil gram positif, hidup secara obligat
aerob, tidak berspora dan tidak bergerak. Berukuran panjang 1- 10 µm, lebar 0,2 – 0,6
µm, memiliki dinding sel kaya lipid yang dapat melindungi bakteri dari serangan
antibodi dan komplemen. Tumbuh sangat pelan, butuh sekitar 3-6 minggu untuk
mengisolasi bakteri dari spesimen klinis di agar Lowenstein Jensen, Ogawa. Tahan
terhadap suhu rendah, sehingga dapat hidup dalam jangka waktu lama pada suhu
antara 4oC sampai -70oC. Sangat peka terhadap panas, sinar matahari, dan sinar UV.
Dalam dahak pada suhu 30-37oC akan mati dalam waktu kurang lebih 1 minggu. Uji
sensitivitas obat membutuhkan 4 minggu. Ciri khas bakteri ini adalah tahan asam,
yaitu kemampuan membentuk kompleks mikolat berwarna kemerahan bila diwarnai
dengan pewarna arilmetan dan mempertahankan warnanya walau dicuci dengan
etanol.1,4
Mycobacterium Tuberculosis merupakan penyebab penyakit tuberkulosis (TB),
1. Gejala respiratorik
a) Batuk > 2 minggu
b) Batuk darah dapat terjadi akibat banyak hal yaitu: tuberkulosis, brokiektasis,
abses paru, ca paru, dan bronchitis kronik. Namun diantara banyak penyebab,
yang paling sering adalah tuberculosis. Adanya infeksi pada paru dapat
menyebabkan nekrosis pada parenkim paru yang akan menimbulkan proses
perkejuan. Apabila dibatukkan, bahan cair dari perkejuan tersebut akan keluar
dan meninggalkan lubang yang disebut kavitas. Kavitas ini lama-lama akan
menebal karena infiltrasi jaringan fibroblas dalam jumlah besar dan terjadilah
sklerotik. Jika terjadi peradangan arteri di dinding kavarne akan
mengakibatkan pecahnya vasa darah. Jika vasa darah pecah maka darah akan
dibatukkan keluar dan terjadilah hemoptisis. (1-6)
c) Sesak napas
d) Nyeri dada
Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis
pada saat
medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien
mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus,
dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar. (1-6)
2. Gejala sistemik
a) Demam merupakan salah satu tanda inflamasi. Demam pada penyakit
tuberculosis biasanya hilang timbul, biasanya muncul pada sore hari.
Mekanisme demam sendiri yaitu mikroorganisme yang masuk ke dalam
jaringan atau darah akan difagositosis oleh leukosit darah, makrofag, dan sel
mast. Setelah memfagositosis, sel ini akan mengeluarkan IL-1 ke dalam cairan
tubuh disebut sebagai pirogen endogen. IL-1 menginduksi pembentukan
prostaglandin akan menstimulus hipotalamus sebagai pusat termoregulator
untuk meningkatkan temperatur tubuh dan terjadi demam atau panas. (1-6)
b) Gejala sistemik lain adalah malaise, keringat malam, anoreksia dan berat
badan menurun. Keringat malam ini kemungkinan disebabkan oleh karena
kuman yang menginfeksi penderita, misalnya kuman Mycobacterium
Tuberculosis, mengadakan metabolisme seperti pembelahan didalam tubuh
penderita sehingga terjadilah manifestasi keringat. Sebenarnya, keringat yang
disebut disini tidak hanya terjadi pada malam hari saja tetapi juga terjadi setiap
saat. Namun, pada pagi dan siang hari umumnya penderita melakukan
aktivitas fisik jadi keringat akibat metabolisme kuman tersebut menjadi samar.
3. Gejala tuberkulosis ekstraparu
Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat,
misalnya pada limfadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran yang lambat
dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosis akan
terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosis terdapat gejala
sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat
cairan.
F. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan
sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala
respiratorik (gejala lokal sesuai organ yang terlibat).
Gejala respiratorik
- Batuk > 2 minggu
- Batuk darah
- Sesak napas
- Nyeri dada
Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala
yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat
medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien
mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi
bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
Gejala sistemik
- Demam
- Gejala sistemik lain adalah malaise, keringat malam, anoreksia dan berat
badan menurun
Gejala tuberkulosis ekstraparu
Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada
limfadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri
dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosis akan terlihat gejala
meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosis terdapat gejala sesak napas dan
kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang
terlibat.
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan
struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak
(atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak
di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan
S2), serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan dapat ditemukan
antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah,
tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.
Pada pleuritis tuberkulosis, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari
banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada
auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang
terdapat cairan.
Pada limfadenitis tuberkulosis, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,
tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-
kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi cold
abscess.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan meliputi darah perifer lengkap, laju endap darah dan gula darah.
Lekosit darah tepi sering meningkat (10.000-20.000 sel/mm). Sering
ditemukan hiponatremia dan hipokloremia karena sekresi antidiuretik hormon
yang tidak adekuat.
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai
arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis.
- Bahan untuk pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal dari dahak, cairan
pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan
biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH).
- Cara pengumpulan dan pengiriman bahan, cara pengambilan dahak 3 kali
(SPS): Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan pertama), pagi (keesokan
harinya), sewaktu/spot (pada saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap pagi 3
hari berturut-turut. Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan
dikumpulkan/ditampung dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm
atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila
ada fasilitas, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek
(difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium. Bahan pemeriksaan hasil BJH,
dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek, atau untuk kepentingan biakan
dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke
laboratorium. Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek
dimasukkan ke dalam kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus
dipastikan telah tertulis identitas pasien yang sesuai dengan formulir
permohonan pemeriksaan laboratorium. Bila lokasi fasilitas laboratorium
berada jauh dari klinik/tempat pelayanan pasien, spesimen dahak dapat dikirim
dengan kertas saring melalui jasa pos. (6)
- Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring:
o Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat
bagian tengahnya dahak yang representatif diambil dengan lidi,
diletakkan di bagian tengah dari kertas saring sebanyak ± 1ml.
o Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada
satu ujung yang tidak mengandung bahan dahak.
o Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang
aman, misal di dalam dus bahan dahak dalam kertas saring yang kering
dimasukkan dalam kantong plastik kecil.
o Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan
melidahapikan sisi kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi.
o Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal
pengambilan dahak, dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui
jasa pos ke alamat laboratorium.
- Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain.
Pemeriksaan bakteriologi dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura,
liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, bronchoalveolar
lavage/BAL, urin, feses dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan
dengan cara: (6)
MIKROSKOPIK
Biakan
Pemeriksaan mikroskopik:
Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
Mikroskopik fluoresens : pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya
untuk screening)
lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila:
o 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif ® BTA positif
o 1 kali positif, 2 kali negatif ® ulang BTA 3 kali, kemudian
o bila 1 kali positif, 2 kali negatif ® BTA positif
o bila 3 kali negatif ® BTA negatif
Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD
(rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease):
RADIOLOGI
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto
lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks,
tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).6
Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif:
o Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas
paru dan segmen superior lobus bawah.
o Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan
atau nodular. Bayangan bercak milier.
o Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif:
o Fibrotik
o Kalsifikasi
o Schwarte atau penebalan pleura
Luluh Paru (destroyed Lung ) :
Gambaran radiologi yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat,
biasanya secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologi luluh paru
terdiri dari atelektasis, ektasis/ multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit
untuk menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya perlu dilakukan pemeriksaan
bakteriologi untuk memastikan aktiviti proses penyakit. (6)
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat
dinyatakan sebagai berikut (terutama pada kasus BTA negatif) :
o Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru
dengan luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di
atas chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus
dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5), serta tidak
dijumpai kaviti
o Lesi luas: Bila proses lebih luas dari lesi minimal.
PEMERIKSAAN KHUSUS
Dosis
Harian 3x/ minggu
OAT
Kisaran dosis Maksimum Kisaran dosis Maksimum
(mg/kgBB) (mg) (mg/kgBB) (mg)
Isoniazid (H) 5 (4-6) 300 10 (8-12) 900
Catatan:
o Pemberian streptomosin untuk pasien yang berumur >60 tahun atau pasien
dengan berat badan <50 kg mungkin tidak dapat mentoleransi dosis
>500mg/hari. Beberapa buku rujukan menganjurkan penurunan dosis
menjadi 10mg/kgBB/hari.
Panduan OAT yang digunakan di Indonesia
Panduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di
Indonesia (sesuai rekomendasi WHO dan ISTC) adalah:
o Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3
o Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
o Kategori anak: 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZA(S)/4-10HR
o Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resisten obat di
indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamisin, Kapreomisin,
Levofloksasin, Etionamide, Sikloserin, Moksifloksasin dan PAS, serta
obat lini 1, yaitu pirazinamid etambutol.2,5
Paduan OAT Kategori-1 dan Kategori-2 disediakan dalam bentuk paket obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau
4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien.
Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
Paket Kombipak. Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini
disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang terbukti
mengalami efek samping pada pengobatan dengan OAT KDT sebelumnya.
Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan
untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas)
pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa
pengobatan.
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket KDT mempunyai
beberapa keuntungan dalam pengobatan TB, yaitu:
a. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin
efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
b. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya
resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep.
c. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi
sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien.
Paduan OAT KDT Lini Pertama dan Peruntukannya.
a. Kategori-1 : 2(HRZE) / 4(HR)3
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis
Pasien TB paru terdiagnosis klinis
Pasien TB ekstra paru
Tabel 3. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3
Catatan:
Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB pada keadaan khusus.
Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan
aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).
Berat badan pasien ditimbang setiap bulan dan dosis pengobatan harus
disesuaikan apabila terjadi perubahan berat badan. ( ² )
Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya
kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada
pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh
lebih rendah daripada OAT lini pertama. Disamping itu dapat juga
meningkatkan risiko terjadinya resistensi pada OAT lini kedua.
OAT lini kedua disediakan di Fasyankes yang telah ditunjuk guna
memberikan pelayanan pengobatan bagi pasien TB yang resistan obat.
Tabel 7. OAT yang digunakan pada pengobatan TB MDR
Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk
menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (multidrug resistant tuberculosis).
Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan prioriti
utama WHO. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD)
dan WHO menyarakan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi
dosis tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998.
H. KOMPLIKASI
Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum
pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan.
Beberapa komplikasi yang mungikin timbul adalah: batuk darah, pneumotoraks, gagal
napas, gagal jantung dan efusi pleura.1,3
I. PROGNOSIS
Prognosis sangat bergantung pada deteksi dini kasus TB secara cepat dan tepat,
serta sarana laboratorium untuk evaluasi pola kepekaan M. tuberculosis terhadap
OAT.
BAB III
PEMBAHASAN
TEORI PEMBAHASAN
Gejala Klinis :
Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi
menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan
gejala sistemik.
a. Gejala lokal: batuk > 2 minggu,
sesak napas, nyeri dada
b. Gejala sistemik: demam pada
penyakit tuberculosis biasanya
hilang timbul, biasanya muncul pada
sore hari. Gejala sistemik lain adalah
malaise, keringat malam, anoreksia
dan berat badan menurun
Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang akan Pada pemeriksaan fisik pasien, ditemukan
dijumpai tergantung dari organ yang terlibat. kesadaran pasien composmentis, kesan umum
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang tampak sakit, tekanan darah 130/80, nadi 121
didapat tergantung luas kelainan struktur kpm, respirasi 34 kpm, temperatur 37,1ºc,
paru. Pada permulaan (awal) perkembangan demam pada pasien naik turun, saat datang
penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) dalam keadaan demam. Pada pemeriksaan
menemukan kelainan. Kelainan paru pada thorax, auskultasi pada pulmo
umumnya terletak di daerah lobus superior didapatkan suara dasar vesikuler, suara
terutama daerah apeks dan segmen posterior tambahan (+/+) rhonki basah kasar pada apeks
(S1 dan S2), serta daerah apeks lobus dan medial paru kanan, rhonki basah pada
inferior (S6). Pada pemeriksaan dapat apeks dan basal paru kiri.
ditemukan antara lain suara napas bronkial,
amforik, suara napas melemah, ronki basah,
tanda- tanda penarikan paru, diafragma dan
mediastinum.
Pada pleuritis tuberkulosis, kelainan
pemeriksaan fisik tergantung dari
banyaknya cairan di rongga pleura. Pada
perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi
suara napas yang melemah sampai tidak
terdengar pada sisi yang terdapat cairan.
Pada limfadenitis tuberkulosis, terlihat
pembesaran kelenjar getah bening, tersering
di daerah leher (pikirkan kemungkinan
metastasis tumor), kadang-kadang di daerah
ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat
menjadi cold abscess.
KESIMPULAN
1
17. Sato T. Differential Diagnosis of Pleural Effusions. JMAJ 2006 Vol
49;9:10
18. Syahrudin E, dkk, 2012, Efusi Pleura Ganas Pada Kanker Paru, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia Depok.
19. Tobing EMS, Widiraharjo. 2011. Karakteristik penderita efusi pleura di
RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2011. E-jurnal FK USU volume 1 no
2.
20. Yataco JC, Dweik RA. 2005. Pleural effusions : evaluation and
management. Cleveland clinic journal of medicine, vol 72, No 10.
21. Yu H. Management of Pleural Effusion, Empyema, and Lung Abscess .
Semin Intervent Radiol 2011;28:75-86