DOKTER INTERNSHIP
DYSPEPSIA
Disusun Oleh :
Dokter Pembimbing :
Dokter Pendamping :
Seorang laki-laki, 23 tahun datang ke IGD RSUD H. Kumpulan Pane dengan keluhan Mual dan
Muntah disertai Nyeri di Ulu Hati. Hal ini sudah dirasakan os sejak ± 3 hari sebelum masuk RS.
Nyeri dirasakan pertama kali sejak 1 tahun yang lalu namun hanya sesekali dan semakin
sering sejak 1 bulan terahir saat pasien terlambat makan. Nyeri menjalar ke bahu dan
tembus kebelakang disangkal. Nyeri di daerah lain disangkal. Pasien merasakan lemas
yang dirasakan secara terus menerus. Pasien mengaku mengalami penurunan nafsu makan
tetapi tanpa disertai penurunan berat badan. Sesekali pasien muntah bila nyeri tak
tertahankan. Riwayat mengonsumsi obat antinyeri dan penambah darah disangkal. Riwayat
mengonsumsi makanan tidak matang disangkal. Riwayat muntah darah disangkal. Diketahu
pasien Makan hanya 2 kali sehari, keseringan pasien terlambat makan karena sering
bermain game online dengan teman-temannya. Kebiasaan ini sudah terjadi sejak
semester 2 saat menjadi mahasiswa dulu. Pasien tidak mengeluhkan batuk dan demam.
Riwayat merokok disangkal. Riwayat bepergian ke luar kota disangkal. Riwayat menderita
penyakit pernafasan disangkal. Riwayat menderita penyakit lambung sebelumnya tidak
dijumpai. Riwayat penyakit hati disangkal. Riwayat penyakit ginjal disangkal. Riwayat penyakit
gula disangkal. Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama disangkal. Riwayat mengonsumsi
alkohol disangkal. Riwayat minum jamu, hubungan seksual bebas, penggunaan tato, transfusi
darah disangkal. Riwayat keluarga dengan keluhan serupa disangkal. BAK normal, riwayat nyeri
dan berpasir saat berkemih disangkal os. Pasien mengaku nyeri tidak berkurang dengan BAB,
BAB berwarna hitam disangkal. OS mengaku BAB berwarna kecoklatan, dan frekwensi BAB
1x/hari.
Tujuan :
Untuk menegakkan diagnosis
Manajemen penatalaksanaan
Bahan bahasan Tinjauan pustaka Riset Kasus Audit
Cara membahas Diskusi Presentasi & diskusi Email Pos
12. Follow up
Tanggal Follow up Terapi
28/10/20 S: Nyeri dibagian ulu hati mulai - IVFD NaCl 0,9 gtt/i
berkurang, Mual dan - Inj Omeprazole 1 amp/12jam
muntah mulai berkurang, - Domperidon 3x10mg
3. Assessment
DYSPEPSIA
A. Definisi1
Kata dispepsia berasal dari Bahasa Yunani dys (bad = buruk) dan peptein (digestion=
pencernaan). Jika digabungkan dispepsia memiliki arti indigestion yang berarti sulit
atau ketidaksanggupan dalam mencerna. Jadi dispepsia didefinisikan sebagai kesulitan
dalam mencerna yang ditandai oleh rasa nyeri atau terbakar di epigastrium yang
persisten atau berulang atau rasa tidak nyaman dari gejala yang berhubungan dengan
makan (rasa penuh setelah makan atau cepat kenyang – tidak mampu menghabiskan
makanan dalam porsi normal). Pada dispepsia organik ditemukan adanya suatu
kelainan struktural setelah dilakukan pemeriksaan endoskopi, Sedangkan definisi
dispepsia fungsional berdasarkan konsensus kriteria Roma III, harus memenuhi satu
atau lebih gejala tersebut, serta tidak ada bukti kelainan struktural melalui
pemeriksaan endoskopi, yang berlangsung sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan
awal gejala sedikitnya timbul 6 bulan sebelum diagnosis 2,3. Definisi lain dari dispepsia
fungsional adalah penyakit yang bersifat kronik, gejala yang berubah-ubah,
mempunyai riwayat gangguan psikiatrik, nyeri yang tidak responsif dengan obat-
obatan, dapat ditunjukkan letaknya oleh pasien, serta secara klinis pasien tampak
sehat, berbeda dengan dispepsia organik yang gejala cenderung menetap, jarang
mempunyai riwayat gangguan psikiatri, serta secara klinis pasien tampak kesakitan.
Menurut Kriteria Roma III dispepsia fungsional dibagi menjadi 2 klasifikasi 4,5,6, yakni
postprandial distres syndrome dan epigastric pain syndrome. Postprandial distres
syndrome mewakili kelompok dengan perasaan “begah” setelah makan dan perasaan
cepat kenyang sedangkan epigastric pain syndrome merupakan rasa nyeri yang lebih
konstan dirasakan dan tidak begitu terkait dengan makan seperti halnya postprandial
distress syndrome.
B. Epidemiologi4,6,8,10
Dispepsia merupakan masalah umum yang sering ditemukan pada klinik pengobatan.
Ketika pasien selama pengobatan mempunyai gejala tanpa penyebab yang jelas sering
didiagnosa non-ulcer dispepsia. Beberapa laporan menyebutkan presentase dispepsia
karena kelainan organik sekitar 25%-33% dan 67%-75% tanpa penyebab yang jelas. Di
seluruh dunia mempunyai prevalensi sekitar 10%- 40%. Hal itu menunjukan bahwa
diagnosis dan evaluasi harus segera dilakukan. Keterlambatan diagnosis akan
menyebabkan pasien dalam penderitaan dan peningkatan biaya pemeliharaan kesehatan.
Prevalensi dispepsia fungsional bervariasi mulai 7%-45% di seluruh dunia dan semua
penelitian epidemiologi selalu mengacu pada klasifikasi kriteria Roma III. Menurut
studi berbasiskan populasi pada tahun 2007, ditemukan peningkatan prevalensi dispepsia
fungsional dari 1,9% pada tahun 1988 menjadi 3,3% pada tahun 2003. Sedangkan pada
tahun 2010, dispepsia fungsional dilaporkan memiliki tingkat prevalensi tinggi, yakni 5%
dari seluruh kunjungan ke sarana layanan kesehatan primer.
Beberapa penelitian yang dilakukan dalam beberapa populasi hasilnya menunjukkan
perbandingan wanita lebih banyak menderita dispepsia fungsional daripada laki-laki yaitu
1,4 : 1 di Hongkong, 1,12 : 1,04 di Korea, 1,35 : 1,15 di Malaysia dan 1,16 : 1,01 di
Singapura. Sedangkan pada ulkus peptikum perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1.
Insiden ulkus meningkat pada usia pertengahan. Namun, suatu penelitian di Jepang
menunjukkan perbandingan prevalensi lebih besar pada laki-laki daripada wanita yaitu
2:1.. Prevalensi dispepsia fungsional berdasarkan kriteria umur ditemukan meningkat
secara signifikan yaitu : 7,7% pada umur 15-17 tahun, 17,6% pada umur 18-24 tahun,
18,3% pada umur 25-34 tahun, 19,7% pada umur 35-44 tahun, 22,8% pada umur 45-54
tahun, 23,7% pada umur 55-64 tahun, dan 24,4% pada umur di atas 65 tahun. Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Ambarwati (2005), di FKUI-RSCM ditemukan bahwa
rentang umur kunjungan pasien ke Poliklinik Penyakit Dalam adalah 15 sampai 70 tahun.
Variabel demografik seperti tingkat sosial atau derajat urbanisasi tidak mempengaruhi
prevalensi dispepsia . Berdasarkan data dari berbagai rumah sakit di Indonesia frekwensi
dispepsia fungsional sekitar 60%-70% dari seluruh pasien yang masuk ke Bagian
Gastroenterology-hepatology.
C. Patofisiologi1,2,7
Mekanisme patofisiologi timbulnya dispepsia fungsional atau ulkus peptikium masih
belum seluruhnya dapat diterangkan secara pasti. Hal ini menunjukan bahwa dispepsia
fungsional merupakan sekelompok gangguan yang heterogen, namun sudah terdapat
banyak bukti dari hasil penelitian para ahli yang dapat dijadikan pegangan. Beberapa
studi menghubungkan mekanisme patofisiologi dispepsia fungsional dengan terjadinya
infeksi H. Pylori, ketidaknormalan motilitas, gangguan sensori visceral, faktor
psikososial, dan perubahan-perubahan fisiologi tubuh yang meliputi gangguan pada
sistem saraf otonom vegetatif, sistem neuroendokrin, serta sistem imun tubuh.
Sedangkan Patofisiologi ulkus peptikum diperkirakan akibat ketidak seimbangan antara
tekanan agresif (HCL dan pepsin) yang menyebabkan ulserasi dan tekanan defensif
yang melindungi lambung ( barier mukosa lambung, barier mukus lambung, sekresi
HCO3). Patofisiologi dispepsia fungsional dapat diterangkan melalui beberapa teori
dibawah ini :
a. Infeksi H. Pylori2
Peranan infeksi H. Pylori dengan timbulnya dispepsia fungsional sampai saat ini
masih terus diselidiki dan menjadi perdebatan dikalangan para ahli Gastrohepatologi.
Studi populasi yang besar telah menunjukan peningkatan insiden infeksi H. Pylori
pada pasien dengan dispepsia fungsional. Beberapa ahli berpendapat H. Pylori akan
menginfeksi lambung jika lambung dalam keadaan kosong pada jangka waktu yang
cukup lama. Infeksi H. Pylori menyebabkan penebalan otot dinding lambung yang
selanjutnya meningkatkan massa otot sehingga kontraksi otot bertambah dan
pengosongan lambung akan semakin cepat. Pengosongan lambung yang cepat akan
membuat lambung kosong lebih lama dari biasanya dan H. Pylori akan semakin
menginfeksi lambung tersebut, dan bisa sebagai predictor timbulnya ulkus peptikum.
b. Ketidaknormalan Motilitas
Dengan studi Scintigraphic Nuclear dibuktikan lebih dari 50% pasien dispepsia
fungsional mempunyai keterlambatan pengosongan makanan dalam lambung.
Demikian pula pada studi Monometrik didapatkan gangguan motilitas antrum
postprandial. Penelitian terakhir menunjukan bahwa fundus lambung yang “kaku”
bertanggung jawab terhadap sindrom dispepsia. Pada keadaan normal seharusnya
fundus lambung relaksasi, baik saat mencerna makanan maupun bila terjadi distensi
duodenum. Pengosongan makanan bertahap dari corpus lambung menuju ke bagian
fundus lambung dan duodenum diatur oleh refleks vagal. Pada beberapa pasien
dispepsia fungsional, refleks ini tidak berfungsi dengan baik sehingga pengisian
bagian antrum terlalu cepat. Bila berlangsung lama bisa sebagai predictor ulkus
peptikum.
c. Gangguan Sensori Visceral
Lebih 50% pasien dispepsia fungsional menunjukan sensitifitas terhadap distensi
lambung atau intestinum, oleh karena itu mungkin akibat : makanan yang sedikit
mengiritasi seperti makanan pedas, distensi udara, gangguan kontraksi lambung
intestinum atau distensi dini bagian antrum postprandial dapat menginduksi nyeri
pada bagian ini.
d. Faktor Psikososial
Faktor psikis dan stresor seperti depresi, cemas, dan stres ternyata memang dapat
menimbulkan peningkatan hormon kortisol yang berakibat kepada gangguan
keseimbangan sistem saluran cerna, sehingga terlihat bahwa pada hormon kortisol
yang tinggi ternyata memberikan manifestasi klinik dispepsia yang lebih berat. Jadi
semakin tinggi nilai kortisol akan menyebabkan semakin beratnya klinis dispepsia.
Begitu juga dengan perubahan gaya hidup seperti kurang olahraga, merokok, dan
gangguan tidur juga memiliki efek terhadap peningkatan asam lambung dan
perubahan aktivitas otot dinding lambung yang meningkatkan kemungkinan
terjadinya dyspepsia.
e. Gangguan Keseimbangan Neuroendokrin
Gangguan sekresi pada lambung dapat terjadi karena gangguan jalur endokrin
melalui poros hipotalamus – pituitary – adrenal ( HPA axis). Pada keadaan ini terjadi
peningkatan kortisol dari korteks adrenal akibat rangsangan dari korteks serebri
diteruskan ke hipofisis anterior sehingga terjadi pengeluaran hormone kortikotropin.
Peningkatan kortisol ini akan merangsang produksi asam lambung.
f. Gangguan Keseimbangan Sistem Saraf Otonom Vegetatif
Pada keadaan ini konflik emosi yang timbul diteruskan melalui korteks serebri ke
sistem limbik kemudian ke hipotalamus dan akhirnya ke sistem saraf otonom
vegetatif. Sistem saraf otonom terdiri dari dua subsistem yaitu sistem saraf simpatis
dan sistem saraf parasimpatis. Konflik emosi akan meningkatkan pelepasan
neurotransmitter acetylcholine oleh Sistem saraf simpatis yang mengakibatkan
peningkatan peristaltik dan sekresi asam lambung. Sedangkan sistem saraf
parasimpatis hampir 75% dari seluruh serabut sarafnya didominasi oleh nervus vagus
(saraf kranial X). saraf dari parasimpatik meninggalkan sistem saraf pusat melalui
nervus vagus menuju organ yang dipersarafi secara langsung yaitu : mempersarafi
lambung dengan cara merangsang sekresi asetilkolin, gastrin, dan histamine yang
akhirnya memunculkan keluhan dispepsia bila terjadi difungsi persarafan vagal.
Disfungsi nervus vagal akan menimbulkan kegagalan relaksasi bagian proksimal
lambung sewaktu menerima makanan, sehingga menimbulkan gangguan akomodasi
lambung dan rasa cepat kenyang. Serat-serat saraf simpatis maupun parasimpatis
juga mensekresikan neurotransmiter sinaps yaitu asetilkolin atau norepinefrin. Kedua
neurotransmitter tersebut akan mengaktivasi atau menginhibisi presinap maupun
postsinap saraf simpatik dan parasimpatik sehingga menimbulkan efek eksitasi pada
beberapa organ tetapi menimbulkan efek inhibisi pada organ lainnya salah satunya
adalah organ lambung. Terjadinya ketidakseimbangan eksitasi maupun inhibisi pada
kedua neurotransmitter menyebabkan perubahan-perubahan aktivitas pada organ
lambung yang dipersarafinya baik peningkatan maupun penurunan aktivitas,
sehingga bisa memunculkan keluhan dispepsia.
F. Penatalaksanaan 7,8,9
Penatalaksanaan dispepsia awal terdiri dari pengkajian riwayat penyakit untuk
mengetahui semua gejala dispepsia sangat penting untuk mengetahui apa masalah utama
dari pasien. Hal ini penting karena penatalaksanaan dispepsia bertujuan untuk
mengendalikan gejala daripada pengobatan permanen penyakitnya. Pemeriksaan fisik
yang lengkap untuk menyingkirkan adanya gangguan struktural seperti pemeriksaan
endoskopi sangatlah diperlukan. Langkah selanjutnya adalah menentukan tujuan dari
terapi. Langkah ini harus memperhatikan tujuan dasar dilakukannya pengobatan yaitu
tidak hanya mencegah kematian, tetapi juga menolong kehidupan. Tujuan terapi pada
pasien dispepsia fungsional adalah bagaimana pasien mampu mengelola kekhawatiran
terhadap penyakitnya dan mampu meningkatkan kualitas kesehatannya. Dalam Ilmu
Kesehatan Jiwa atau Ilmu Psikiatri terdapat subspesialisasi Consultation Liaison
Psychiatry (CLP) yang mempunyai peranan menjembatani Bagian Psikiatri dengan
Bagian Spesialisasi lainnya atau sebaliknya. CLP bertujuan memberikan pelayanan yang
holistik, tidak hanya kesembuhan penyakit secara fisik namun juga meliputi kesehatan
mental serta kualitas hidup pasien.
Secara umum pengobatan gangguan dispepsia fungsional dengan pendekatan CLP dibagi
menjadi 3 golongan besar, yaitu : somatoterapi, psikoterapi, manipulasi lingkungan dan
sosioterapi. Pembagian tersebut hanyalah merupakan bentuk karya ilmu yang
dipergunakan untuk mempermudah pemikiran. Manusia sebagai makhluk Bio-Psiko-
Sosial- Spiritual yang tidak dapat terpisahkan menuntut ketiga golongan penatalaksanaan
tersebut untuk dilakukan secara bersamaan dan komprehensif.
A. Consultation Liaison Psychiatry (CLP)
Consultation Liaison Psychiatry (CLP) merupakan subspesialis dari psikiatri yang
berperan sebagai penghubung yang memungkinkan kerja sama antara psikiater
dengan spesialis medis lain. Dalam CLP seorang psikiater berperan sebagai penyalur
keahlian psikiatri dengan disiplin ilmu lainnya yaitu : Ilmu Penyakit Dalam untuk
membantu penanganan komorbiditas psikologik, psikiatrik, dan psikofisiologik pada
pasien yang mengalami keluhan dispepsia. Jadi CLP meliputi pelajaran, pelatihan,
pengajaran komorbiditas medik (Aksis III) dan Psikiatrik (Aksis I dan II). Seorang
psikiater Consultation Liaison harus mempunyai tehnik komunikasi yang baik, ilmu
pengetahuan yang luas dalam hal interaksi antara obat psikotropik dan medis lainnya.
CLP didasarkan pada enam prinsip dalam penanganan dispepsia fungsional:
Hubungan kerja yang erat antara psikiater dan internist. Hubungan ini menjadi
lebih penting dari pada permintaan konsultasi tertulis dan bentuk dasar dari
laporan pribadi antara dokter selama proses konsultasi.
Keterlibatan psikiater sejak awal perjalanan terapi pasien, terutama setelah
dilakukan pemeriksaan endoskopi dan tidak ditemukan adanya suatu kelainan
structural.
Keterlibatan dalam seluruh team medis pada terapi pasien dispepsia.melalui
kerjasama yang erat dengan tenaga kesehatan sosial dan keperawatan, psikiater
dapat memperluas perannya termasuk pengawasan terhadap orang yang terlibat
dalam perjalanan diagnosis dan perawatan dari pasien dispepsia
Komitmen untuk mengikuti perjalanan dari pasien dispepsia. Konsultasi yang
sederhana tidak cukup. Setelah saran untuk terapi diberikan, CLP harus
mengikuti seluruh perjalanan di rumah sakit, bahkan setelah pemutusan
hubungan dilakukan.
Pemahaman terhadap konflik utama intrapsikis dan intrakeluarga.