Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN KASUS PORTOFOLIO

DOKTER INTERNSHIP

DYSPEPSIA

Disusun Oleh :

dr. Ahmad Sabiq

Dokter Pembimbing :

dr. Sri Ningsih Lubis, M.Ked (PD), Sp. PD

Dokter Pendamping :

dr. Hj. Elly Surmaita, MKT

dr. Hj. Nelly Astuti

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR H KUMPULAN PANE


KOTA TEBING TINGGI
2020
Nama Peserta : dr. Ahmad Sabiq
Nama Wahana : RSUD Dr. H Kumpulan Pane Tebing Tinggi
Topik : Ilmu Penyakit Dalam
Tanggal (kasus) : 28-10-2020
Nama Pasien : Tn. S (Laki-laki) No. RM : 12-42-87
Tanggal Presentasi : 12 November 2020 Nama Pendamping :
dr. Hj. Elly Surmaita, MKT
dr. Hj. Nelly Astuti

Tempat Presentasi : RSUD Dr. H Kumpulan Pane Tebing Tinggi


Objektif Presentasi :

Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka


v
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi:

Seorang laki-laki, 23 tahun datang ke IGD RSUD H. Kumpulan Pane dengan keluhan Mual dan
Muntah disertai Nyeri di Ulu Hati. Hal ini sudah dirasakan os sejak ± 3 hari sebelum masuk RS.
Nyeri dirasakan pertama kali sejak 1 tahun yang lalu namun hanya sesekali dan semakin
sering sejak 1 bulan terahir saat pasien terlambat makan. Nyeri menjalar ke bahu dan
tembus kebelakang disangkal. Nyeri di daerah lain disangkal. Pasien merasakan lemas
yang dirasakan secara terus menerus. Pasien mengaku mengalami penurunan nafsu makan
tetapi tanpa disertai penurunan berat badan. Sesekali pasien muntah bila nyeri tak
tertahankan. Riwayat mengonsumsi obat antinyeri dan penambah darah disangkal. Riwayat
mengonsumsi makanan tidak matang disangkal. Riwayat muntah darah disangkal. Diketahu
pasien Makan hanya 2 kali sehari, keseringan pasien terlambat makan karena sering
bermain game online dengan teman-temannya. Kebiasaan ini sudah terjadi sejak
semester 2 saat menjadi mahasiswa dulu. Pasien tidak mengeluhkan batuk dan demam.
Riwayat merokok disangkal. Riwayat bepergian ke luar kota disangkal. Riwayat menderita
penyakit pernafasan disangkal. Riwayat menderita penyakit lambung sebelumnya tidak
dijumpai. Riwayat penyakit hati disangkal. Riwayat penyakit ginjal disangkal. Riwayat penyakit
gula disangkal. Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama disangkal. Riwayat mengonsumsi
alkohol disangkal. Riwayat minum jamu, hubungan seksual bebas, penggunaan tato, transfusi
darah disangkal. Riwayat keluarga dengan keluhan serupa disangkal. BAK normal, riwayat nyeri
dan berpasir saat berkemih disangkal os. Pasien mengaku nyeri tidak berkurang dengan BAB,
BAB berwarna hitam disangkal. OS mengaku BAB berwarna kecoklatan, dan frekwensi BAB
1x/hari.
Tujuan :
 Untuk menegakkan diagnosis
 Manajemen penatalaksanaan
Bahan bahasan Tinjauan pustaka Riset Kasus Audit
Cara membahas Diskusi Presentasi & diskusi Email Pos

Data Pasien: Nama: Tn. S Nomor Registrasi: 12-42-87


Nama RS: Telp : - Terdaftar sejak : 28 Oct 2020
RSUD Dr. H Kumpulan
Pane Tebing Tinggi
Data utama untuk bahan diskusi
1. Diagnosis/Gambaran Klinis
Seorang laki-laki, 23 tahun datang ke IGD RSUD H. Kumpulan Pane dengan keluhan
Mual dan Muntah disertai Nyeri di Ulu Hati. Hal ini sudah dirasakan os sejak ± 3
hari sebelum masuk RS. Nyeri dirasakan pertama kali sejak 1 tahun yang lalu
namun hanya sesekali dan semakin sering sejak 1 bulan terahir saat pasien
terlambat makan. Nyeri menjalar ke bahu dan tembus kebelakang
disangkal. Nyeri di daerah lain disangkal. Pasien merasakan lemas yang
dirasakan secara terus menerus. Pasien mengaku mengalami penurunan nafsu
makan tetapi tanpa disertai penurunan berat badan. Sesekali pasien muntah bila
nyeri tak tertahankan. Riwayat mengonsumsi obat antinyeri dan penambah darah
disangkal. Riwayat mengonsumsi makanan tidak matang disangkal. Riwayat
muntah darah disangkal. Diketahu pasien Makan hanya 2 kali sehari,
keseringan pasien terlambat makan karena sering bermain game online
dengan teman-temannya. Kebiasaan ini sudah terjadi sejak semester 2 saat
menjadi mahasiswa dulu. Pasien tidak mengeluhkan batuk dan demam. Riwayat
merokok disangkal. Riwayat bepergian ke luar kota disangkal. Riwayat menderita
penyakit pernafasan disangkal. Riwayat menderita penyakit lambung sebelumnya
tidak dijumpai. Riwayat penyakit hati disangkal. Riwayat penyakit ginjal disangkal.
Riwayat penyakit gula disangkal. Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama
disangkal. Riwayat mengonsumsi alkohol disangkal. Riwayat minum jamu,
hubungan seksual bebas, penggunaan tato, transfusi darah disangkal. Riwayat
keluarga dengan keluhan serupa disangkal. BAK normal, riwayat nyeri dan berpasir
saat berkemih disangkal os. Pasien mengaku nyeri tidak berkurang dengan BAB,
BAB berwarna hitam disangkal. OS mengaku BAB berwarna kecoklatan, dan
frekwensi BAB 1x/hari.
2. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat sakit seperti ini tidak dijumpai
Riwayat hipertensi tidak dijumpai
Riwayat diabetes mellitus disangkal
Riwayat Sakit jantung disangkal
Riwayat Alergi obat disangkal
Riwayat Trauma disangkal
3. Riwayat Keluarga
Riwayat sakit serupa disangkal
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat sakit asam urat disangkal
Riwayat DM disangkal
Riwayat Sakit Jantung disangkal
4. Riwayat pekerjaan dan pendidikan
Pasien tidak bekerja. Pendidikan terakhir pasien adalah S1 Jurusan Teknik. Biaya
pengobatan tidak ditanggung oleh BPJS Kesehatan.
5. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum: sakit sedang
b. Kesadaran: compos mentis
c. Tanda vital:
 Tekanan darah: 120/90 mmHg
 Nadi: 101 x/menit
 Respirasi: 20 x/menit
 Suhu : 36,60C
 Berat Badan : 60 kg
 Tinggi Badan : 168 cm
 IMT: 21,3 (Normal)
d. Kepala: Normochepali
e. Mata: Konjungtiva palpebra anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), Pupil isokor
kiri kanan
f. Leher: Kelenjar getah bening dan tiroid tidak membesar
g. Paru: Suara dasar vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
h. Jantung: Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop(-)
i. Abdomen: di status lokalisata
j. Ekstremitas: Edema (-), akral hangat, capillary refill <2”, eritema palmaris
(-), flapping tremor (-)
6. Status Lokalisata
Regio : Abdomen
Inspeksi : Simetris, Vena kolateral (-), spider nevi (-)
Palpasi : Soepel, Nyeri tekan (+) Epigastrium, Hepar/Lien/Renal: Tidak teraba
Perkusi : Pekak Beralih (-)
Auskultasi : Normoperistaltik
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium (28/10/2020) :
Darah Rutin
WBC : 10,0*109 /L 4-10
Lymph% : 4,9 % 20-40
Mid% : 6,7 % 3-15
Gran% : 88,4 % 50-70
Hb : 15,6 g/dL 12-16
PLT : 167*103 /µL 150.000-400.000
Ht : 42,9 % 40-54
MCV : 84,4 fL 80-100
MCH : 30,8 pg 27-31

MCHC : 36,5 g/dL 32-37


Kesan :
Dalam batas normal
Imunoserologi
Dengue Anti NS1 : Negatif Negatif

Rapid Covid : IgG Non reaktif IgM Non reaktif


b. Foto X-Ray (28/10/2020):
- Cor dan Pulmonal dalam batas normal
8. Diagnosa Kerja
- Dyspepsia fungsional tipe EPS
9. Diagnosis Banding
- Dyspepsia fungsional tipe PP
- Ulkus Duodenum
- Ulkus Peptikum
- GERD
- Gastropharesis
- Pancreatitis
- Gastric cancer
10. Penatalaksanaan
Terapi IGD
- Diet MII
- IVFD NaCl 0,9 gtt/i
- Inj Omeprazole 1 amp/12jam
- Domperidon 3x10 mg
- Sucralfat Syr 3xCI
11. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam

12. Follow up
Tanggal Follow up Terapi
28/10/20 S: Nyeri dibagian ulu hati mulai - IVFD NaCl 0,9 gtt/i
berkurang, Mual dan - Inj Omeprazole 1 amp/12jam
muntah mulai berkurang, - Domperidon 3x10mg

badan masih dirasa lemas, - Sucralfat Syr 3xCI

Selera makan masih sedikit.


O: Sens : CM
TD : 120/80 mmHg
HR : 85x/i
RR : 20x/i
T : 36,0ºC
A : Dyspepsia
29/10/20 S: Nyeri dibagian ulu hati - IVFD NaCl 0,9 gtt/i
berkurang, Mual masih - Inj Omeprazole 1 amp/12jam
sesekali dan muntah sudah - Domperidon 3x10mg
tidak ada, Nafsu makan - Sucralfat Syr 3xCI

mulai membaik, Badan


mulai bertenaga.
O: Sens : CM
TD : 110/80 mmHg
HR : 85x/i
RR : 20x/i
T : 36,5ºC
A: Dyspepsia
30/10/20 S: Nyeri sudah tidak ada, Mual - PBJ
dan muntah sudah tidak - Sucralfat Syr 3xC1
ada, badan tampak bugar, - Omeprazole 2x20 mg

Batuk dan demam sudah


tidak ada.
O: Sens : CM
TD : 110/80 mmHg
HR : 85x/i
RR : 20x/i
T : 36,0ºC
A: Dyspepsia
Daftar Pustaka:
1. Abdullah, M. dan Gunawan, J. 2012. Dispepsia. Jakarta: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Divisi Gastroenterologi, 39(9).
2. Rani AA, Fauzi A. 2006. Infeksi Helicobacter pyloridan penyakit gastro-duodenal. In:
Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. p. 331-6
3. Hidayati PS, Iswan Abbas Nusi IA, Maimunah U. 2013. Hubungan seropositivitas
CagA H. pyloridengan derajat keparahan gastritis pada pasien dispepsia. Divisi
Gastroenterohepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR – RSU Dr
Soetomo Surabaya.
4. Ghoshal,U.C., Singh, R., Young, F.C., Xiaohua, H., Chun, B.Y., Kachintorn, U. 2011.
Epidemiology of uninvestigated and functional dyspepsia in asia: facts and fiction.
Journal of Neurogastroenterology and Motility, 17(3): 235.
5. Kandulski, A., Venerito, M., Malfertheine, P. 2011. Therapeutic Approach in
Functional (Nonulcer) Dispepsia. In: Duvnjak M, editor. Dispepsia in Clinical Practice.
New York: Springer Science+Business Media. p. 143-151.
6. Kumar, A., Jignesh, P., Prabha, S. 2012. Epidemiology of functional dispepsia. J Assoc
Physicians India, 60: 9-12.
7. Purnomo HD. Pengelolaan perdarahan akut saluran cerna bagian atas. Dalam: Suharti
C, Sugiri, Gasem MH, editor. Pertemuan ilmiah tahunan XIV PAPDI; 2010 24-26
sept. Semarang (Indonesia): Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2010:45-55.
8. Loyd, R. A. & McClelan, D. A. 2011. Update on the Evaluation and Management of
Functional Dispepsia. American Academy of Family Physicians. Texas A&M Health
Science Center College of Medicine, Bryan, Texas. Retreved Mei 15, 2015, Availlable
from.www.aafp.org/afp.
9. Nwokediuko, C.S., Ijoma, U., Obienu, O. 2012. Functional dyspepsia: subtypes, risk
factors, and overlap with irritable bowel syndrome in a population of african
patients. Nigeria: University of Nigeria Teaching Hospital.
10. Randall, C.W., Zaga-Galante, J., Vergara-Suarez, A. 2014. Non-Ulcer Dispepsia: A
Review of the Pathophysiology, Evaluation, and Current Management Strategies.
Retreved Mei 15, 2015, Availablle on http://dx.doi.org/10.4172/2165-8048.S1-002.
Hasil Pembelajaran :
1. Dyspepsia
a. Definisi
b. Epidemiologi
c. Patofisiologi
d. Manifestasi Klinis
e. Diagnosis
f. Tatalaksana

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio :


1. Subyektif
Seorang laki-laki, 23 tahun datang ke IGD RSUD H. Kumpulan Pane dengan keluhan
Mual dan Muntah disertai Nyeri di Ulu Hati. Hal ini sudah dirasakan os sejak ± 3 hari
sebelum masuk RS. Nyeri dirasakan pertama kali sejak 1 tahun yang lalu namun hanya
sesekali dan semakin sering sejak 1 bulan terahir saat pasien terlambat makan. Nyeri
menjalar ke bahu dan tembus kebelakang disangkal. Nyeri di daerah lain
disangkal. Pasien merasakan lemas yang dirasakan secara terus menerus. Pasien
mengaku mengalami penurunan nafsu makan tetapi tanpa disertai penurunan berat badan.
Sesekali pasien muntah bila nyeri tak tertahankan. Riwayat mengonsumsi obat antinyeri
dan penambah darah disangkal. Riwayat mengonsumsi makanan tidak matang disangkal.
Riwayat muntah darah disangkal. Diketahu pasien Makan hanya 2 kali sehari,
keseringan pasien terlambat makan karena sering bermain game online dengan
teman-temannya. Kebiasaan ini sudah terjadi sejak semester 2 saat menjadi
mahasiswa dulu. Pasien tidak mengeluhkan batuk dan demam. Riwayat merokok
disangkal. Riwayat bepergian ke luar kota disangkal. Riwayat menderita penyakit
pernafasan disangkal. Riwayat menderita penyakit lambung sebelumnya tidak dijumpai.
Riwayat penyakit hati disangkal. Riwayat penyakit ginjal disangkal. Riwayat penyakit
gula disangkal. Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama disangkal. Riwayat
mengonsumsi alkohol disangkal. Riwayat minum jamu, hubungan seksual bebas,
penggunaan tato, transfusi darah disangkal. Riwayat keluarga dengan keluhan serupa
disangkal. BAK normal, riwayat nyeri dan berpasir saat berkemih disangkal os. Pasien
mengaku nyeri tidak berkurang dengan BAB, BAB berwarna hitam disangkal. OS
mengaku BAB berwarna kecoklatan, dan frekwensi BAB 1x/hari.
2. Obyektif
Pemeriksaan fisik didapatkan :
Keadaan umum : Sakit sedang
Tekanan darah: 120/85 mmHg Respirasi: 20x/menit
Nadi: 101 x/menit Suhu : 36,60C
Berat badan : 60 kg Tinggi badan : 168 cm
Status Lokalisata :
Regio : Abdomen
Inspeksi : Simetris, Vena kolateral (-)
Palpasi : Soepel, nyeri tekan (+) epigastrium, H/L/R: Tidak teraba
Perkusi : Pekak Beralih (-)
Auskultasi : Normoperistaltik
Pemeriksaan darah rutin :
Leukosit : 10,0 (N : 4000-10.000)
Hemoglobin : 15,6 (N : 12-16)
Hematokrit : 42,9 (N : 40-54)
MCV : 84,4 (N : 80-100)
MCH : 30,8 (N : 27-31)
MCHC : 36,5 (N : 32-37)
Anti NS1: Negatif
Rapid Covid-19: Non reaktif

3. Assessment
DYSPEPSIA

Gambar 1; Anatomi gaster

A. Definisi1

Kata dispepsia berasal dari Bahasa Yunani dys (bad = buruk) dan peptein (digestion=
pencernaan). Jika digabungkan dispepsia memiliki arti indigestion yang berarti sulit
atau ketidaksanggupan dalam mencerna. Jadi dispepsia didefinisikan sebagai kesulitan
dalam mencerna yang ditandai oleh rasa nyeri atau terbakar di epigastrium yang
persisten atau berulang atau rasa tidak nyaman dari gejala yang berhubungan dengan
makan (rasa penuh setelah makan atau cepat kenyang – tidak mampu menghabiskan
makanan dalam porsi normal). Pada dispepsia organik ditemukan adanya suatu
kelainan struktural setelah dilakukan pemeriksaan endoskopi, Sedangkan definisi
dispepsia fungsional berdasarkan konsensus kriteria Roma III, harus memenuhi satu
atau lebih gejala tersebut, serta tidak ada bukti kelainan struktural melalui
pemeriksaan endoskopi, yang berlangsung sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan
awal gejala sedikitnya timbul 6 bulan sebelum diagnosis 2,3. Definisi lain dari dispepsia
fungsional adalah penyakit yang bersifat kronik, gejala yang berubah-ubah,
mempunyai riwayat gangguan psikiatrik, nyeri yang tidak responsif dengan obat-
obatan, dapat ditunjukkan letaknya oleh pasien, serta secara klinis pasien tampak
sehat, berbeda dengan dispepsia organik yang gejala cenderung menetap, jarang
mempunyai riwayat gangguan psikiatri, serta secara klinis pasien tampak kesakitan.

Menurut Kriteria Roma III dispepsia fungsional dibagi menjadi 2 klasifikasi 4,5,6, yakni
postprandial distres syndrome dan epigastric pain syndrome. Postprandial distres
syndrome mewakili kelompok dengan perasaan “begah” setelah makan dan perasaan
cepat kenyang sedangkan epigastric pain syndrome merupakan rasa nyeri yang lebih
konstan dirasakan dan tidak begitu terkait dengan makan seperti halnya postprandial
distress syndrome.

Klasifikasi Dispepsia Fungsional menurut Roma III


Postprandial Distres Syndrome
Kriteria diagnostik terpenuhi bila 2 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:
1. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, terjadi setelah makan dengan
porsi biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu
2. Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu menghabiskan porsi
makan biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu
Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan
terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.
Kriteria penunjang
1. Adanya rasa kembung di daerah perut bagian atas atau mual setelah makan atau
bersendawa yang berlebihan
2. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom nyeri epigastrium.
Epigastric Pain Syndrome

Kriteria diagnostik terpenuhi bila 5 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:


1. Nyeri atau rasa terbakar yang terlokalisasi di daerah epigastrium dengan
tingkat keparahan moderat/sedang, paling sedikit terjadi sekali dalam
seminggu
2. Nyeri timbul berulang
3. Tidak menjalar atau terlokalisasi di daerah perut atau dada selain daerah
perut bagian atas/epigastrium
4. Tidak berkurang dengan BAB atau buang angin
5. Gejala-gejala yang ada tidak memenuhi kriteria diagnosis kelainan kandung
empedu dan sfingter Oddi
Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan
terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum
diagnosis.
Kriteria penunjang
1. Nyeri epigastrium dapat berupa rasa terbakar, namun tanpa menjalar ke daerah
retrosternal
2. Nyeri umumnya ditimbulkan atau berkurang dengan makan, namun mungkin
timbul saat puasa
3. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom distres setelah makan.

B. Epidemiologi4,6,8,10

Dispepsia merupakan masalah umum yang sering ditemukan pada klinik pengobatan.
Ketika pasien selama pengobatan mempunyai gejala tanpa penyebab yang jelas sering
didiagnosa non-ulcer dispepsia. Beberapa laporan menyebutkan presentase dispepsia
karena kelainan organik sekitar 25%-33% dan 67%-75% tanpa penyebab yang jelas. Di
seluruh dunia mempunyai prevalensi sekitar 10%- 40%. Hal itu menunjukan bahwa
diagnosis dan evaluasi harus segera dilakukan. Keterlambatan diagnosis akan
menyebabkan pasien dalam penderitaan dan peningkatan biaya pemeliharaan kesehatan.
Prevalensi dispepsia fungsional bervariasi mulai 7%-45% di seluruh dunia dan semua
penelitian epidemiologi selalu mengacu pada klasifikasi kriteria Roma III. Menurut
studi berbasiskan populasi pada tahun 2007, ditemukan peningkatan prevalensi dispepsia
fungsional dari 1,9% pada tahun 1988 menjadi 3,3% pada tahun 2003. Sedangkan pada
tahun 2010, dispepsia fungsional dilaporkan memiliki tingkat prevalensi tinggi, yakni 5%
dari seluruh kunjungan ke sarana layanan kesehatan primer.
Beberapa penelitian yang dilakukan dalam beberapa populasi hasilnya menunjukkan
perbandingan wanita lebih banyak menderita dispepsia fungsional daripada laki-laki yaitu
1,4 : 1 di Hongkong, 1,12 : 1,04 di Korea, 1,35 : 1,15 di Malaysia dan 1,16 : 1,01 di
Singapura. Sedangkan pada ulkus peptikum perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1.
Insiden ulkus meningkat pada usia pertengahan. Namun, suatu penelitian di Jepang
menunjukkan perbandingan prevalensi lebih besar pada laki-laki daripada wanita yaitu
2:1.. Prevalensi dispepsia fungsional berdasarkan kriteria umur ditemukan meningkat
secara signifikan yaitu : 7,7% pada umur 15-17 tahun, 17,6% pada umur 18-24 tahun,
18,3% pada umur 25-34 tahun, 19,7% pada umur 35-44 tahun, 22,8% pada umur 45-54
tahun, 23,7% pada umur 55-64 tahun, dan 24,4% pada umur di atas 65 tahun. Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Ambarwati (2005), di FKUI-RSCM ditemukan bahwa
rentang umur kunjungan pasien ke Poliklinik Penyakit Dalam adalah 15 sampai 70 tahun.
Variabel demografik seperti tingkat sosial atau derajat urbanisasi tidak mempengaruhi
prevalensi dispepsia . Berdasarkan data dari berbagai rumah sakit di Indonesia frekwensi
dispepsia fungsional sekitar 60%-70% dari seluruh pasien yang masuk ke Bagian
Gastroenterology-hepatology.

C. Patofisiologi1,2,7
Mekanisme patofisiologi timbulnya dispepsia fungsional atau ulkus peptikium masih
belum seluruhnya dapat diterangkan secara pasti. Hal ini menunjukan bahwa dispepsia
fungsional merupakan sekelompok gangguan yang heterogen, namun sudah terdapat
banyak bukti dari hasil penelitian para ahli yang dapat dijadikan pegangan. Beberapa
studi menghubungkan mekanisme patofisiologi dispepsia fungsional dengan terjadinya
infeksi H. Pylori, ketidaknormalan motilitas, gangguan sensori visceral, faktor
psikososial, dan perubahan-perubahan fisiologi tubuh yang meliputi gangguan pada
sistem saraf otonom vegetatif, sistem neuroendokrin, serta sistem imun tubuh.
Sedangkan Patofisiologi ulkus peptikum diperkirakan akibat ketidak seimbangan antara
tekanan agresif (HCL dan pepsin) yang menyebabkan ulserasi dan tekanan defensif
yang melindungi lambung ( barier mukosa lambung, barier mukus lambung, sekresi
HCO3). Patofisiologi dispepsia fungsional dapat diterangkan melalui beberapa teori
dibawah ini :
a. Infeksi H. Pylori2

Peranan infeksi H. Pylori dengan timbulnya dispepsia fungsional sampai saat ini
masih terus diselidiki dan menjadi perdebatan dikalangan para ahli Gastrohepatologi.
Studi populasi yang besar telah menunjukan peningkatan insiden infeksi H. Pylori
pada pasien dengan dispepsia fungsional. Beberapa ahli berpendapat H. Pylori akan
menginfeksi lambung jika lambung dalam keadaan kosong pada jangka waktu yang
cukup lama. Infeksi H. Pylori menyebabkan penebalan otot dinding lambung yang
selanjutnya meningkatkan massa otot sehingga kontraksi otot bertambah dan
pengosongan lambung akan semakin cepat. Pengosongan lambung yang cepat akan
membuat lambung kosong lebih lama dari biasanya dan H. Pylori akan semakin
menginfeksi lambung tersebut, dan bisa sebagai predictor timbulnya ulkus peptikum.

b. Ketidaknormalan Motilitas
Dengan studi Scintigraphic Nuclear dibuktikan lebih dari 50% pasien dispepsia
fungsional mempunyai keterlambatan pengosongan makanan dalam lambung.
Demikian pula pada studi Monometrik didapatkan gangguan motilitas antrum
postprandial. Penelitian terakhir menunjukan bahwa fundus lambung yang “kaku”
bertanggung jawab terhadap sindrom dispepsia. Pada keadaan normal seharusnya
fundus lambung relaksasi, baik saat mencerna makanan maupun bila terjadi distensi
duodenum. Pengosongan makanan bertahap dari corpus lambung menuju ke bagian
fundus lambung dan duodenum diatur oleh refleks vagal. Pada beberapa pasien
dispepsia fungsional, refleks ini tidak berfungsi dengan baik sehingga pengisian
bagian antrum terlalu cepat. Bila berlangsung lama bisa sebagai predictor ulkus
peptikum.
c. Gangguan Sensori Visceral
Lebih 50% pasien dispepsia fungsional menunjukan sensitifitas terhadap distensi
lambung atau intestinum, oleh karena itu mungkin akibat : makanan yang sedikit
mengiritasi seperti makanan pedas, distensi udara, gangguan kontraksi lambung
intestinum atau distensi dini bagian antrum postprandial dapat menginduksi nyeri
pada bagian ini.
d. Faktor Psikososial
Faktor psikis dan stresor seperti depresi, cemas, dan stres ternyata memang dapat
menimbulkan peningkatan hormon kortisol yang berakibat kepada gangguan
keseimbangan sistem saluran cerna, sehingga terlihat bahwa pada hormon kortisol
yang tinggi ternyata memberikan manifestasi klinik dispepsia yang lebih berat. Jadi
semakin tinggi nilai kortisol akan menyebabkan semakin beratnya klinis dispepsia.
Begitu juga dengan perubahan gaya hidup seperti kurang olahraga, merokok, dan
gangguan tidur juga memiliki efek terhadap peningkatan asam lambung dan
perubahan aktivitas otot dinding lambung yang meningkatkan kemungkinan
terjadinya dyspepsia.
e. Gangguan Keseimbangan Neuroendokrin
Gangguan sekresi pada lambung dapat terjadi karena gangguan jalur endokrin
melalui poros hipotalamus – pituitary – adrenal ( HPA axis). Pada keadaan ini terjadi
peningkatan kortisol dari korteks adrenal akibat rangsangan dari korteks serebri
diteruskan ke hipofisis anterior sehingga terjadi pengeluaran hormone kortikotropin.
Peningkatan kortisol ini akan merangsang produksi asam lambung.
f. Gangguan Keseimbangan Sistem Saraf Otonom Vegetatif
Pada keadaan ini konflik emosi yang timbul diteruskan melalui korteks serebri ke
sistem limbik kemudian ke hipotalamus dan akhirnya ke sistem saraf otonom
vegetatif. Sistem saraf otonom terdiri dari dua subsistem yaitu sistem saraf simpatis
dan sistem saraf parasimpatis. Konflik emosi akan meningkatkan pelepasan
neurotransmitter acetylcholine oleh Sistem saraf simpatis yang mengakibatkan
peningkatan peristaltik dan sekresi asam lambung. Sedangkan sistem saraf
parasimpatis hampir 75% dari seluruh serabut sarafnya didominasi oleh nervus vagus
(saraf kranial X). saraf dari parasimpatik meninggalkan sistem saraf pusat melalui
nervus vagus menuju organ yang dipersarafi secara langsung yaitu : mempersarafi
lambung dengan cara merangsang sekresi asetilkolin, gastrin, dan histamine yang
akhirnya memunculkan keluhan dispepsia bila terjadi difungsi persarafan vagal.
Disfungsi nervus vagal akan menimbulkan kegagalan relaksasi bagian proksimal
lambung sewaktu menerima makanan, sehingga menimbulkan gangguan akomodasi
lambung dan rasa cepat kenyang. Serat-serat saraf simpatis maupun parasimpatis
juga mensekresikan neurotransmiter sinaps yaitu asetilkolin atau norepinefrin. Kedua
neurotransmitter tersebut akan mengaktivasi atau menginhibisi presinap maupun
postsinap saraf simpatik dan parasimpatik sehingga menimbulkan efek eksitasi pada
beberapa organ tetapi menimbulkan efek inhibisi pada organ lainnya salah satunya
adalah organ lambung. Terjadinya ketidakseimbangan eksitasi maupun inhibisi pada
kedua neurotransmitter menyebabkan perubahan-perubahan aktivitas pada organ
lambung yang dipersarafinya baik peningkatan maupun penurunan aktivitas,
sehingga bisa memunculkan keluhan dispepsia.

g. Perubahan Dalam Sistem Imun


Faktor psikis dan stresor akan mempengaruhi sistem imun dengan menerima
berbagai input, termasuk input dari stresor yang mempengaruhi neuron bagian
Medial Paraventriculer Hypothalamus melalui pengaktifan sistem endokrin
hypothalamus-pituitary axis (HPA), bila terjadi stres yang berulang atau kronis,
maka akan terjadi disregulasi dari sistem endokrin hypothalamus-pituitary axis
(HPA) melalui kegagalan dari mekanisme umpan balik negative. Faktor psikis dan
stres juga mempengaruhi sistem imun melalui mengaktivasi sistem noradrenergik di
otak, tepatnya di locus cereleus yang menyebabkan peningkatan pelepasan
ketekolamin dari sistem saraf otonom. Selain itu akibat pelepasan neuropeptida dan
adanya reseptor neuropeptida pada limfosit B dan Limfosit T, dan terjadi
ketidakcocokan neuropeptida dan reseptornya akan menyebabkan stres dan dapat
mempengaruhi kualitas sistem imun seseorang, yang pada akhirnya akan muncul
keluhan-keluhan psikosomatik salah satunya pada organ lambung dengan manifestasi
klinis berupa keluhan dispepsia. Bila keluhan somatik ini berlangsung lama, bisa
juga sebagai prediktor timbulnya dispepsia organik berupa ulkus peptikum atau
duodenum.

D. Manifestasi Klinis 1,2,3,6


Manifestasi klinis pada sindrom dispepsia antara lain rasa nyeri atau ketidaknyamanan di
perut, rasa penuh di perut setelah makan, kembung, rasa kenyang lebih awal, mual,
muntah, atau bersendawa. Pada dispepsia organik, kecenderungkan keluhan tersebut
menentap, disertai rasa kesakitan dan jarang memiliki riwayat psikiatri sebelumnya.
Sedangkan pada dispepsia fungsional terdapat dua pola yang telah ditentukan adalah: a)
postprandial distres syndrome, dan b) epigastric pain syndrome.
Kriteria Roma III menjelaskan dua pola dispepsia yang berbeda tergantung pada apakah
gejala tersebut terutama berkaitan dengan asupan makanan dan atau berkaitan dengan
ketidakmampuan untuk menyelesaikan makan (postprandial distres syndrome) atau lebih
didominasi oleh rasa sakit (epigastric pain syndrome).
Sementara pola ini dikembangkan lebih berdasarkan kepada pendapat ahli daripada bukti
klinis, beberapa data yang mendukung relevansi klinis untuk perbedaan ini mulai muncul
dengan satu penelitian misalnya, menunjukkan bahwa kecemasan berhubungan dengan
postprandial distres syndrome tetapi tidak berhubungan dengan epigastric pain syndrome
dan yang lain menunjukkan bahwa genetik berhubungan dengan epigastric pain
syndrome dan tidak berhubungan dengan postprandial distres syndrome.

E. Kriteria Diagnosis 1,2,3


Keluhan utama yang menjadi kunci untuk mendiagnosis dispepsia adalah adanya nyeri
dan atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas. Apabila ditemukan adanya kelainan
organik atau struktural organ lambung, perlu dipikirkan kemungkinan diagnosis dispepsia
organik, sedangkan bila tidak ditemukan kelainan organik apa pun, dipikirkan kecurigaan
ke arah dispepsia fungsional. Penting diingat bahwa dispepsia fungsional merupakan
diagnosis by exclusion, sehingga idealnya terlebih dahulu harus benar-benar dipastikan
tidak ada kelainan yang bersifat organik pada pemeriksaan endoskopi.
Roma III memberikan kriteria diagnostik untuk dispepsia fungsional seperti berikut:
Memenuhi salah satu gejala atau lebih dari:
 Rasa penuh setelah makan yang mengganggu.
 Rasa cepat kenyang.
 Nyeri epigastrium.
 Rasa terbakar di epigastrium. dan
 Tidak ada bukti kelainan struktural (termasuk hasil endoskopi saluran cerna
bagian atas) yang mungkin dapat menjelaskan timbulnya gejala.
Kriteria terpenuhi selama minimal 3 bulan, dengan onset gejala minimal 6 bulan sebelum
diagnosis.

F. Penatalaksanaan 7,8,9
Penatalaksanaan dispepsia awal terdiri dari pengkajian riwayat penyakit untuk
mengetahui semua gejala dispepsia sangat penting untuk mengetahui apa masalah utama
dari pasien. Hal ini penting karena penatalaksanaan dispepsia bertujuan untuk
mengendalikan gejala daripada pengobatan permanen penyakitnya. Pemeriksaan fisik
yang lengkap untuk menyingkirkan adanya gangguan struktural seperti pemeriksaan
endoskopi sangatlah diperlukan. Langkah selanjutnya adalah menentukan tujuan dari
terapi. Langkah ini harus memperhatikan tujuan dasar dilakukannya pengobatan yaitu
tidak hanya mencegah kematian, tetapi juga menolong kehidupan. Tujuan terapi pada
pasien dispepsia fungsional adalah bagaimana pasien mampu mengelola kekhawatiran
terhadap penyakitnya dan mampu meningkatkan kualitas kesehatannya. Dalam Ilmu
Kesehatan Jiwa atau Ilmu Psikiatri terdapat subspesialisasi Consultation Liaison
Psychiatry (CLP) yang mempunyai peranan menjembatani Bagian Psikiatri dengan
Bagian Spesialisasi lainnya atau sebaliknya. CLP bertujuan memberikan pelayanan yang
holistik, tidak hanya kesembuhan penyakit secara fisik namun juga meliputi kesehatan
mental serta kualitas hidup pasien.
Secara umum pengobatan gangguan dispepsia fungsional dengan pendekatan CLP dibagi
menjadi 3 golongan besar, yaitu : somatoterapi, psikoterapi, manipulasi lingkungan dan
sosioterapi. Pembagian tersebut hanyalah merupakan bentuk karya ilmu yang
dipergunakan untuk mempermudah pemikiran. Manusia sebagai makhluk Bio-Psiko-
Sosial- Spiritual yang tidak dapat terpisahkan menuntut ketiga golongan penatalaksanaan
tersebut untuk dilakukan secara bersamaan dan komprehensif.
A. Consultation Liaison Psychiatry (CLP)
Consultation Liaison Psychiatry (CLP) merupakan subspesialis dari psikiatri yang
berperan sebagai penghubung yang memungkinkan kerja sama antara psikiater
dengan spesialis medis lain. Dalam CLP seorang psikiater berperan sebagai penyalur
keahlian psikiatri dengan disiplin ilmu lainnya yaitu : Ilmu Penyakit Dalam untuk
membantu penanganan komorbiditas psikologik, psikiatrik, dan psikofisiologik pada
pasien yang mengalami keluhan dispepsia. Jadi CLP meliputi pelajaran, pelatihan,
pengajaran komorbiditas medik (Aksis III) dan Psikiatrik (Aksis I dan II). Seorang
psikiater Consultation Liaison harus mempunyai tehnik komunikasi yang baik, ilmu
pengetahuan yang luas dalam hal interaksi antara obat psikotropik dan medis lainnya.
CLP didasarkan pada enam prinsip dalam penanganan dispepsia fungsional:
 Hubungan kerja yang erat antara psikiater dan internist. Hubungan ini menjadi
lebih penting dari pada permintaan konsultasi tertulis dan bentuk dasar dari
laporan pribadi antara dokter selama proses konsultasi.
 Keterlibatan psikiater sejak awal perjalanan terapi pasien, terutama setelah
dilakukan pemeriksaan endoskopi dan tidak ditemukan adanya suatu kelainan
structural.
 Keterlibatan dalam seluruh team medis pada terapi pasien dispepsia.melalui
kerjasama yang erat dengan tenaga kesehatan sosial dan keperawatan, psikiater
dapat memperluas perannya termasuk pengawasan terhadap orang yang terlibat
dalam perjalanan diagnosis dan perawatan dari pasien dispepsia
 Komitmen untuk mengikuti perjalanan dari pasien dispepsia. Konsultasi yang
sederhana tidak cukup. Setelah saran untuk terapi diberikan, CLP harus
mengikuti seluruh perjalanan di rumah sakit, bahkan setelah pemutusan
hubungan dilakukan.
 Pemahaman terhadap konflik utama intrapsikis dan intrakeluarga.

Hubungan psikoterapi antara pasien dan psikiater dapat mempertimbangkan


keuntungan bagi pasien dan keluarga.
 Perhatian terhadap fungsi dari “medical ombudsman.” Psikiater liaison dapat
menolong penerimaan terhadap teknologi dan badan pelayanan kesehatan
mutakhir
B. Penanganan Secara Farmakologi
Setelah penerapan CLP dapat dijalankan dengan baik, penanganan gangguan
dispepsia fungsional dapat diberikan secara farmakologi berdasarkan disiplin Ilmu
Penyakit Dalam dan Ilmu Psikiatri. Beberapa terapi farmakologi yang bisa
diberikan pada pasien dispepsia fungsional : antasida, Histamine H2 receptor
antagonists (H2RA), Proton pump inhibitors (PPI), Cytoprotective or
mucoprotective agents, Prokinetic agents, obat-obat anti H. Pylori, dan obat-obat
psikotropik antara lain : antipsikotik, antidepressant, antianxiety, mood stablizer.
Walaupun pada pemeriksaan endoskopi tidak ditemukan adanya suatu kelainan
struktural, tetapi pemberian farmakologi masih termasuk didalam penanganan
gangguan dispepsia fungsional. Penanganan ini lebih dikenal dengan nama
Somatoterapi.
C. Penanganan Secara Psikoterapi
Penanganan selanjutnya sebagai bagian dari CLP adalah psikoterapi, ada beberapa
langkah yang bisa ditempuh. Pertama, terangkan pasien, yakinkan bahwa tidak
terdapat gangguan organik pada diri pasien, bila perlu lakukan pemeriksaan fisik
yang teliti disertai tes laboratorium. Beri kesempatan pasien untuk bertanya dan
terangkan mekanisme fisiologi serta keterangan tentang gejala-gejala. Kedua, beri
penjelasan kepada pasien bahwa keluhannya dapat dimengerti dan gejala tersebut
juga dijumpai pada orang lain yang pernah berobat. Bantu pasien mengenali
permasalahannya dan arahkan ke pola yang lebih sehat yang akan bermanfaat.
Beritahu bahwa gejala tersebut timbul karena kecemasan dan ketegangan psikis
namun dapat diobati setelah beberapa waktu. Terapi cognitive-Behavior terbukti
efektif pada pasien dengan dispepsia fungsional. Terapi ini membantu pasien secara
sadar mengenali gejala nyeri pada daerah episgastrium dan keluhan cepat kenyang,
mengubah cara berpikir mengenai ide- ide penyebab nyeri dengan pola pikir yang
lebih realitas, memberikan tehnik relaksasi dan melakukan pengalihan perhatian
(Soo dkk, 2004).
D. Penanganan Secara Manipulasi Lingkungan dan Sosioterapi
Terapi selanjutnya dalam penanganan dispepsia fungsional sebagai bagian dari CLP
adalah manipulasi lingkungan dan sosioterapi. Pada terapi ini akan melibatkan
orang-orang terdekat yang berpengaruh kepada pasien seperti pasangan, keluarga
dan kerabat untuk membantu mewujudkan pola therapeutic community (Soo dkk,
2004).
E. Kepribadian
Kepribadian berasal dari kata latin yaitu persona yang berarti sebuah topeng yang
biasa digunakan dalam sebuah petunjukan drama atau teaterikal, yang digunakan
para aktor romawi kuno dalam menjalankan perannya. Namun seiring berjalannya
waktu, kepribadian adalah pola sifat yang relatif permanen dan mempunyai
karakteristik yang unik yang secara konsisten mempengaruhi perilakunya (Feist &
Feist, 2009).

Larsen dan Buss mendefinisikan kepribadian adalah seperangkat sifat-sifat


psikologikal dan mekanisme di dalam diri individu yang diatur yang relatif
menetap dan dapat mempengaruhi interaksi individu dengan yang lain serta untuk
beradaptasi dengan lingkungan baik intrafisik, fisik, dan lingkungan sosial. Trait
digambarkan sebagai karakteristik yang mendiskripskan kebiasaan dimana setiap
orang berbeda dengan yang lain (Larsen & Buss, 2002) Penelitian lainnya,
mendefinisikan kepribadian sebagai jumlah total dari cara seseorang untuk bereaksi
dan berinteraksi dengan orang lain

Anda mungkin juga menyukai