Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN KASUS

BENIGNA PROSTAT HYPERPLASIA

DISUSUN OLEH

dr. Ikrima
STASE BANGSAL
29 NOVEMBER 2019 – 20 MARET 2020

PENDAMPING
dr. Indriantoro Haditomo

PROGRAM INTERNSIP
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH TEGAL
2019/2020

1
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS
BENIGNA PROSTAT HYPERPLASIA
Diajukan untuk memenuhi syarat program internsip
Di Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah Tegal

Disusun oleh :
dr. Ikrima

Tegal,

dr. Indriantoro Haditomo


.................................

2
PRESENTASI KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. T
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 61 tahun
No. CM : 972xxx
Alamat : Tegal Timur
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Tanggal masuk : 6 Februari 2020, Pukul 11.00 WIB

II. ANAMNESA
- Diperoleh dari : Pasien sendiri (autoanamnesis)
- Keluhan Utama : Sulit buang air kecil
- Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke RSUD Kardinah dengan keluhan sulit buang air kecil
sejak 2 hari SMRS. Pasien mengeluh harus mengedan agar air kencingnya
keluar, selain itu pasien merasakan buang air kecil tidak tuntas atau tidak
puas. Pasien menyatakan gejala yang dirasakan menjadi bertambah,
pasien merasa BAK menjadi lebih sering, tidak bisa menahan saat ingin
BAK dan air kencing yang keluar menetes dan terasa sakit di perut bawah.
Air kencing warna kuning agak keruh, tanpa disertai dengan demam,
keluhan lain disangkal.

- Riwayat Penyakit Dahulu :


 Pasien pernah mengalami keluhan yang sama 6 bulan yang lalu
 Riwayat pernah kencing mengeluarkan batu disangkal

3
 Riwayat pernah nyeri buang air kecil disertai buang air kecil berwarna
kemerahan disangkal
 Riwayat Hipertensi disangkal
 Riwayat DM dan jantung disangkal

- Riwayat Penyakit Keluarga :


- Riwayat Penyakit serupa : disangkal
- Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
- Riwayat Tekanan Darah Tinggi : disangkal
- Riwayat Penyakit gula (DM) : disangkal

- Riwayat Pribadi
Pasien adalah seorang petani, memiliki riwayat suka menahan BAK.

III. PEMERIKSAAN FISIK (6/2/2020)

 Kesan umum : Tampak lemas


 Kesadaran :Compos Mentis
 Vital sign : TD: 130/70 mmHG
N : 78 kali/menit
RR : 20 kali/menit
Suhu : 36,5 ˚C
Berat Badan 82 kg
Tinggi Badan 171 cm
 Kepala : Mesochepal
 Mata : Conjungtiva anemis negatif, sklera ikterik
negatif, edema palpebra negatif, lagoftalmus
negatif, ptosis negatif.
 Hidung : Sekret negatif
 Telinga :Sekret negatif
 Mulut : Oral hygiene baik
4
 Leher : JVP tidak meningkat, pembesaran limfonodi
negatif
 Thoraks
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Teraba ictus cordis
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung S1-S2 reguler

Paru
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Pengembangan dinding dada simetris
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (positif/ positif)
ronkhi negatif, wheezing negatif
 Abdomen

Inspeksi : Supel
Auskultasi : Bising usus positif, tidak meningkat
Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, tidak teraba perbesaran hepar dan
lien, tidak ada nyeri tekan
 Extremitas : Akral hangat nadi teraba kuat angkat,
regular, simetris, oedem negatif, capillary refill time <
2 detik.

5
Status Lokalis
Regio Costovertebra
- Inspeksi : Bentuk pinggang simetris, benjolan (-)
- Palpasi : Bimanual Ballotement ginjal (-)
- Perkusi : Nyeri Ketok (-)

Regio Supra Pubis


- Inspeksi : Tidak ada benjolan, VU distensi
- Palpasi : Nyeri Tekan (+), Defance Muscular (-)

Regio Genetalia Eksterna


- Inspeksi : Orifisium uretra eksterna baik, terpasang DC,
urine kuning agak keruh
- Palpasi : Testis teraba dua buah, kanan dan kiri. Konsistensi
Kenyal.

Regio Anal
- Inspeksi : Bentuk Normal, benjolan(-)
- Rectal Toucher : Tidak dilakukan pemeriksaan

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Laboratorium
Hematologi (6/2/2020, pukul 14.11):
 Hb : 11,0 gr/dl
 Leu : 7.800 /uL
 Ht : 34 %
 Tro : 364.000 /uL
 Eritrosit : 4,55 juta/uL
 RDW : 14,3 %
 MCV : 81 U
6
 MCH : 29 pcg
 MCHC : 33,2 g/dl
 Elektrolit :
 Natrium : 140,9 mmol/L
 Kalium : 3,81 mmol/L
 Klorida : 104,6 mmol/L
 APTT : 32,6 detik
 PT : 10,2 detik
 INR : 0,82
 SGOT : 15,5 U/L
 SGPT : 15,3 U/L
 Ureum : 27,3 mg/dL
 Creatinin : 1,04 mg/Dl
 Tumor marker, PSA : 20,04 ng/mL (H)
 USG ABDOMEN : pembesaran prostat (volume : 35,6 ml)

V. DAFTAR MASALAH
 Anamnesis
- Sulit BAK
- BAK mengedan, tidak tuntas/puas
- BAK lebih sering, tidak bisa menahan BAK
- Air kencing yang keluar menetes dan terasa sakit
 Pemeriksaan fisik
- VU distensi
- Nyeri tekan suprapubic
 Pemeriksaan penunjang
- PSA : 20,04 ng/mL
- USG abdomen : pembesaran prostat (volume : 35,6 ml)

7
VI. DIAGNOSIS
Benigna Prostat Hyperplasia

VII. PENATALAKSANAAN
Non-medikamentosa :
 Rawat inap
 Pasang FC 22 fr 3 way
 Edukasi :
- Mengurangi konsumsi cairan, terutama beberapa jam sebelum tidur.
- Mengurangi konsumsi minuman yang dapat memicu diuresis seperti
kafein dan alkohol.
- Membiasakan diri untuk miksi ganda, yaitu menunggu beberapa saat
setelah berkemih dan mencoba mulai berkemih kembali.
- Menghindari kebiasaan mengejan saat miksi.
- Konsumsi daging merah dan sayuran dapat menurunkan risiko benign
prostatic hyperplasia simtomatik. Melakukan pemeriksaan paling tidak 6
bulan sekali untuk pasien risiko tinggi dan melakukan skrining untuk
kanker prostat paling tidak 12 bulan sekali.

Medikamentosa :
 IVFD RL 20 TPM
 Inj. Ceftriaxone 1 gr extra premedikasi
 Inj. Ketorolac 2 x 30 mg
 Inj. Ranitidine 2 x 1 amp
Operatif : TURP

VIII. PROGNOSIS
Ad vitam : Ad bonam
Ad fungsionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam

8
IX. FOLLOW UP

Tgl. S O A P
7-2- BAK warna TD 130/70 mmHg BPH Infus RL 20tpm
2020 kuning agak keruh, N 82 x/menit Inj. Ceftriaxone 1 gr extra
nyeri perut bawah RR 22 x/menit Inj. Ketorolac 2 x 30 mg
S 36,3 S Inj. Ranitidin 2 x 1 amp
Thoraks : TURP hari ini
Cor BJ I-II regular
Pulmo vesikuler +/+
Abdomen :
VU distensi
berkurang, nyeri
tekan (+)
Ekstremitas : akral
hangat
Urine kuning agak
keruh ± 550 cc

8-2- Tidak ada keluhan TD 120/80mmHg BPH Infus RL 20tpm


2020 N 88 x/menit Inj. Ketorolac 2 x 30 mg
RR 22 x/menit Inj. Ranitidin 2 x 1 amp
S 36,5 C Inj. Vit K 3 x 1
Thoraks : Inj. Asam traneksamat 3 x
Cor BJ I-II regular 500 mg
Pulmo vesikuler +/+
Abdomen :
Supel, nyeri tekan
9
(-)
Ekstremitas : akral
hangat
Urine kuning agak
keruh ± 300 cc

9-2- Tidak ada keluhan TD 145/70 mmHg BPH Infus RL 20tpm


2020 N 84x/menit Inj. Ketorolac 2 x 30 mg
RR 21x/menit Inj. Ranitidin 2 x 1 amp
S 36,4 C Inj. Vit K 3 x 1
Thoraks : Inj. Asam traneksamat 3 x
Cor BJ I-II regular 500 mg
Pulmo vesikuler +/+
Abdomen :
Supel, nyeri tekan
(-)
Ekstremitas : akral
hangat
Urine kuning agak
keruh ± 475 cc

BAB II
10
TINJAUAN PUSTAKA

Pendahuluan

Kelenjar prostat merupakan organ tubuh pria yang paling sering


mengalami pembesaran, baik jinak maupun ganas. Dengan bertambahnya usia,
kelenjar prostat juga mengalami pertumbuhan, sehingga menjadi lebih besar. Pada
tahap usia tertentu banyak pria mengalami pembesaran prostat yang disertai
gangguan buang air kecil. Gejala ini merupakan tanda awal Benign Prostatic
Hyperplasia (BPH).
Pembesaran kelenjar prostat mempunyai angka morbiditas yang bermakna
pada populasi pria lanjut usia. Hiperplasia prostat sering terjadi pada pria diatas
usia 50 tahun (50-79tahun) dan menyebabkan penurunan kualitas hidup
seseorang. Sebenarnya perubahan-perubahan kearah terjadinya pembesaran
prostat sudah dimulai sejak dini, dimulai pada perubahan-perubahan mikroskopik
yang kemudian bermanifestasi menjadi kelainan makroskopik (kelenjar
membesar) dan kemudian bermanifes dengan gejala klinik.
Dengan adanya hiperplasia ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi
saluran kemih dan untuk mengatasi obstruksi ini dapat dilakukan berbagai cara
mulai dari tindakan yang paling ringan yaitu secara konservatif (non operatif)
sampai tindakan yang paling berat yaitu operasi.

I. Definisi
Benign Prostate Hyperplasia (BPH) sebenarnya adalah suatu
keadaan dimana kelenjar periuretral prostat mengalami hiperplasia yang
akan mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai
bedah.

11
II. Anatomi dan Fisiologi
Anatomi
Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi

oleh kapsul fibromuskuler, yang terletak di sebelah inferior vesika


urinaria, mengelilingi bagian proksimal uretra (uretra pars prostatika) dan
berada disebelah anterior rektum. Bentuknya sebesar buah kenari dengan
berat normal pada orang dewasa kurang lebih 20 gram, dengan jarak basis
ke apex kurang lebih 3 cm, lebar yang paling jauh 4 cm dengan tebal 2,5
cm.
Kelenjar prostat terbagi menjadi 5 lobus :
1. lobus medius
2. lobus lateralis (2 lobus)
3. lobus anterior
4. lobus posterior 

Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior, lobus

posterior akan menjadi satu dan disebut lobus medius saja. Pada

penampang, lobus medius kadang-kadang tak tampak karena terlalu kecil

12
dan lobus lain tampak homogen berwarna abu-abu, dengan kista kecil

berisi cairan seperti susu, kista ini disebut kelenjar prostat.

Mc Neal (1976) membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona,


antara lain adalah: zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona
fibromuskuler anterior, dan zona periuretral. Sebagian besar hiperplasia
prostat terdapat pada zona transisional yang letaknya proksimal dari
sfincter eksternus di kedua sisi dari verumontanum dan di zona periuretral.
Kedua zona tersebut hanya merupakan 2% dari seluruh volume prostat.
Sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer.

13
Prostat mempunyai kurang lebih 20 duktus yang bermuara di kanan
dari verumontanum dibagian posterior dari uretra pars prostatika. Di
sebelah depan didapatkan ligamentum pubo prostatika, di sebelah bawah
ligamentum triangulare inferior dan di sebelah belakang didapatkan fascia
denonvilliers.
Fascia denonvilliers terdiri dari 2 lembar, lembar depan melekat

erat dengan prostat dan vesika seminalis, sedangkan lembar belakang

melekat secara longgar dengan fascia pelvis dan memisahkan prostat

dengan rektum. Antara fascia endopelvic dan kapsul sebenarnya dari

prostat didapatkan jaringan peri prostat yang berisi pleksus

prostatovesikal.

Pada potongan melintang kelenjar prostat terdiri dari :


1. Kapsul anatomis sebagai jaringan ikat yang mengandung otot polos
yang membungkus kelenjar prostat.
2. Jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler
3. Jaringan kelenjar yang terbagi atas 3 kelompok bagian:
1. Bagian luar disebut glandula principalis atau kelenjar prostat
sebenarnya yang menghasilkan bahan baku sekret.
2. Bagian tengah disebut kelenjar submukosa, lapisan ini disebut juga
sebagai adenomatous zone
14
3. Di sekitar uretra disebut periurethral gland atau glandula mukosa
yang merupakan bagian terkecil. Bagian ini serinng membesar atau
mengalami hipertrofi pada usia lanjut.

Pada BPH, kapsul pada prostat terdiri dari 3 lapis :


1. kapsul anatomis
2. kapsul chirurgicum, ini terjadi akibat terjepitnya kelenjar prostat yang
sebenarnya (outer zone) sehingga terbentuk kapsul
3. kapsul yang terbentuk dari jaringan fibromuskuler antara bagian dalam
(inner zone) dan bagian luar (outer zone) dari kelenjar prostat.

BPH sering terjadi pada lobus lateralis dan lobus medialis karena

mengandung banyak jaringan kelenjar, tetapi tidak mengalami pembesaran

pada bagian posterior daripada lobus medius (lobus posterior) yang

merupakan bagian tersering terjadinya perkembangan suatu keganasan

15
prostat. Sedangkan lobus anterior kurang mengalami hiperplasi karena

sedikit mengandung jaringan kelenjar.

Secara histologis, prostat terdiri atas kelenjar-kelenjar yang dilapisi


epitel thoraks selapis dan di bagian basal terdapat juga sel-sel kuboid,
sehingga keseluruhan epitel tampak menyerupai epitel berlapis.

Vaskularisasi
Vaskularisasi kelenjar prostat yanng utama berasal dari a. vesikalis
inferior (cabang dari a. iliaca interna), a. hemoroidalis media (cabang dari
a. mesenterium inferior), dan a. pudenda interna (cabang dari a. iliaca
interna). Cabang-cabang dari arteri tersebut masuk lewat basis prostat
di Vesico Prostatic Junction. Penyebaran arteri di dalam prostat dibagi
menjadi 2 kelompok , yaitu:
1. Kelompok arteri urethra, menembus kapsul di postero lateral darivesico
prostatic junction dan memberi perdarahan pada leher buli-buli dan
kelompok kelenjar periurethral.
2. Kelompok arteri kapsule, menembus sebelah lateral dan memberi

beberapa cabang yang memvaskularisasi kelenjar bagian perifer


(kelompok kelenjar paraurethral).

Aliran Limfe
Aliran limfe dari kelenjar prostat membentuk plexus di peri prostat

yang kemudian bersatu untuk membentuk beberapa pembuluh utama, yang


menuju ke kelenjar limfe iliaca interna , iliaca eksterna, obturatoria dan
sakral.

Persarafan
Sekresi dan motor yang mensarafi prostat berasal dari plexus
simpatikus dari Hipogastricus dan medula sakral III-IV dari plexus sakralis.

16
Fisiologi
Prostat adalah kelenjar sex sekunder pada laki-laki yang
menghasilkan cairan dan plasma seminalis, dengan perbandingan cairan
prostat 13-32% dan cairan vesikula seminalis 46-80% pada waktu
ejakulasi. Kelenjar prostat dibawah pengaruh Androgen Bodiesdan dapat
dihentikan dengan pemberian Stilbestrol.

III. Epidemiologi
Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang
ditemukan sebelum usia 40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami
peningkatan ukuran yang lambat dari lahir sampai pubertas, waktu itu ada
peningkatan cepat dalam ukuran, yang kontinyu sampai usia akhir 30-an.
Pertengahan dasawarsa ke-5, prostat bisa mengalami perubahan
hyperplasia.
Pada usia lanjut beberapa pria mengalami pembesaran prostat
benigna. Keadaan ini dialami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan
kurang lebih 80% pria yang berusia 80 tahun.

IV. Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab

terjadinya hiperplasia prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan

bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan

kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua).

Beberapa teori atau hipotesis yang diduga sebagai penyebab


timbulnya hiperplasia prostat adalah:
1. Teori Hormonal

17
Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan
hormonal, yaitu antara hormon testosteron dan hormon estrogen.
Karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron
menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer dengan pertolongan
enzim aromatase, dimana sifat estrogen ini akan merangsang terjadinya
hiperplasia pada stroma, sehingga timbul dugaan bahwa testosteron
diperlukan untuk inisiasi terjadinya proliferasi sel tetapi kemudian
estrogenlah yang berperan untuk perkembangan stroma. Kemungkinan
lain ialah perubahan konsentrasi relatif testosteron dan estrogen akan
menyebabkan produksi dan potensiasi faktor pertumbuhan lain yang
dapat menyebabkan terjadinya pembesaran prostat.
Pada keadaan normal hormon gonadotropin hipofise akan
menyebabkan produksi hormon androgen testis yang akan mengontrol
pertumbuhan prostat. Dengan makin bertambahnya usia, akan terjadi
penurunan dari fungsi testikuler (spermatogenesis) yang akan
menyebabkan penurunan yang progresif dari sekresi androgen. Hal ini
mengakibatkan hormon gonadotropin akan sangat merangsang produksi
hormon estrogen oleh sel sertoli. Dilihat dari fungsional histologis,
prostat terdiri dari dua bagian yaitu sentral sekitar uretra yang bereaksi
terhadap estrogen dan bagian perifer yang tidak bereaksi terhadap
estrogen.

2. Teori Growth Factor (Faktor Pertumbuhan)


Peranan dari growth factor ini sebagai pemacu pertumbuhan
stroma kelenjar prostat. Terdapat empat  peptic growth factor
yaitu: basic transforming growth factor, transforming growth
factor 1, transforming growth factor 2, dan epidermal growth
factor.

3. Teori peningkatan lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya


sel yang mati
18
4. Teori Sel Stem (stem cell hypothesis)
Seperti pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periuretral
pada seorang dewasa berada dalam keadaan keseimbangan “steady
state”, antara pertumbuhan sel dan sel yang mati, keseimbangan ini
disebabkan adanya kadar testosteron tertentu dalam jaringan prostat
yang dapat mempengaruhi sel stem sehingga dapat berproliferasi. Pada
keadaan tertentu jumlah sel stem ini dapat bertambah sehingga terjadi
proliferasi lebih cepat. Terjadinya proliferasi abnormal sel stem
sehingga menyebabkan produksi atau proliferasi sel stroma dan sel
epitel kelenjar periuretral prostat menjadi berlebihan.

5. Teori Dehidrotestosteron (DHT)
Dehidrotestosteron adalah metabolit androgen yang sangat penting
pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron
didalam sel prostat oleh enzim 5α-reduktase dengan bantuan koenzim
NADPH.

Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH


tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya pada
BPH, aktivitas enzim 5α-reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih
banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih
sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi
dibandingkan dengan prostat normal.
19
Testosteron yang dihasilkan oleh sel leydig pada testis (90%) dan
sebagian dari kelenjar adrenal (10%) masuk dalam peredaran darah dan
98% akan terikat oleh globulin menjadi sex hormon binding
globulin (SHBG). Sedang hanya 2% dalam keadaan testosteron bebas.
Testosteron bebas inilah yang bisa masuk ke dalam “target cell” yaitu
sel prostat melewati membran sel langsung masuk kedalam sitoplasma,
di dalam sel, testosteron direduksi oleh enzim 5 alpha
reductase menjadi 5 dehidrotestosteron yang kemudian bertemu dengan
reseptor sitoplasma menjadi “hormone receptor complex”. Kemudian
“hormone receptor complex” ini mengalami transformasi reseptor,
menjadi “nuclear receptor” yang masuk kedalam inti yang kemudian
melekat pada chromatin dan menyebabkan transkripsi m-RNA. RNA ini
akan menyebabkan sintese protein menyebabkan terjadinya
pertumbuhan kelenjar prostat.

6. Teori Reawakening
Mc Neal tahun 1978 menulis bahwa lesi pertama bukan
pembesaran stroma pada kelenjar periuretral (zone transisi) melainkan
suatu mekanisme “glandular budding” kemudian bercabang yang
menyebabkan timbulnya alveoli pada zona preprostatik. Persamaan
epiteleal budding dan “glandular morphogenesis” yang terjadi pada
embrio dengan perkembangan prostat ini, menimbulkan perkiraan
adanya “reawakening” yaitu jaringan kembali seperti perkembangan
pada masa tingkat embriologik, sehingga jaringan periuretral dapat
tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya. 
Selain teori-teori di atas masih banyak lagi teori yang menerangkan
tentang penyebab terjadinya BPH seperti; teori tumor jinak, teori rasial
dan faktor sosial, teori infeksi dari zat-zat yang belum diketahui, teori
yang berhubungan dengan aktifitas hubungan seks, teori peningkatan
kolesterol, dan Zn yang kesemuanya tersebut masih belum jelas
hubungan sebab-akibatnya.
20
V. Patofisiologi
Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk
terjadinya gejala yaitu komponen mekanik dan komponen dinamik.
Komponen mekanik ini berhubungan dengan adanya pembesaran kelenjar
periuretra yang akan mendesak uretra pars prostatika sehingga terjadi
gangguan aliran urine (obstruksi infra vesikal) sedangkan komponen
dinamik meliputi tonus otot polos prostat dan kapsulnya, yang merupakan
alpha adrenergik reseptor. Stimulasi pada alpha adrenergik reseptor akan
menghasilkan kontraksi otot polos prostat ataupun kenaikan tonus.
Komponen dinamik ini tergantung dari stimulasi syaraf simpatis, yang
juga tergantung dari beratnya obstruksi oleh komponen mekanik.
Berbagai keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan dan
resistensi uretra. Selanjutnya hal ini akan menyebabkan sumbatan aliran
kemih. Untuk mengatasi resistensi uretra yang meningkat, otot-otot
detrusor akan berkontraksi untuk mengeluarkan urine. Kontraksi yang
terus-menerus ini menyebabkan perubahan anatomik dari buli-buli berupa
hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan
divertikel buli-buli. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase
kompensasi.
Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai
keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract
symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala-gejala prostatismus.
Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor
masuk ke dalam fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk
berkontraksi sehingga terjadi retensi urin. Tekanan intravesikal yang
semakin tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali
pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat
menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks
vesico-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan

21
hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal
ginjal.

VI. Gambaran Klinis


Gejala hiperplasia prostat dapat menimbulkan keluhan pada
saluran kemih maupun keluhan di luar saluran kemih.

1. Gejala pada saluran kemih bagian bawah


Keluhan pada saluran kemih sebelah bawah (LUTS) terdiri atas
gejala obstruktif dan gejala iritatif. Gejala obstruktif disebabkan oleh
karena penyempitan uretara pars prostatika karena didesak oleh prostat
yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup
kuat dan atau cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus.
Gejalanya ialah :
1. Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistancy)
2. Pancaran miksi yang lemah (weak stream)
3. Miksi terputus (Intermittency)
4. Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)
5. Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder
emptying).

Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat


masih tergantung tiga faktor, yaitu :
1. Volume kelenjar periuretral
2. Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
3. Kekuatan kontraksi otot detrusor

Tidak semua prostat yang membesar akan menimbulkan gejala


obstruksi, sehingga meskipun volume kelenjar periurethral sudah
membesar dan elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
22
menurun, tetapi apabila masih dikompensasi dengan kenaikan daya
kontraksi otot detrusor maka gejala obstruksi belum dirasakan.

Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaria


yang tidak sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh hipersensitifitas
otot detrusor karena pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada
vesica, sehingga vesica sering berkontraksi meskipun belum penuh.
Gejalanya ialah :
1. Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency)
2. Nokturia
3. Miksi sulit ditahan (Urgency)
4. Disuria (Nyeri pada waktu miksi)

Gejala-gejala tersebut diatas sering disebut sindroma prostatismus. Secara


klinis derajat berat gejala prostatismus itu dibagi menjadi :
Grade I : Gejala prostatismus + sisa kencing
Grade II : Gejala prostatismus + sisa kencing > 50 ml
Grade III : Retensi urin dengan sudah ada gangguan saluran kemih b
bagian atas + sisa urin > 150 ml.

Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih


sebelah bawah, WHO menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat

23
gangguan miksi yang disebut Skor Internasional Gejala Prostat atau I-
PSS (International Prostatic Symptom Score). Sistem skoring I-PSS terdiri
atas tujuh pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan miksi (LUTS)
dan satu pertanyaan yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien.
Setiap pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan miksi diberi nilai 0
sampai dengan 5, sedangkan keluhan yang menyangkut kualitas hidup
pasien diberi nilai dari 1 hingga 7.
Dari skor I-PSS itu dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat,
yaitu:
- Ringan : skor 0-7
- Sedang : skor 8-19
- Berat : skor 20-35
Timbulnya gejala LUTS merupakan menifestasi kompensasi otot
vesica urinaria untuk mengeluarkan urin. Pada suatu saat otot-otot vesica
urinaria akan mengalami kepayahan (fatique) sehingga jatuh ke dalam fase
dekompensasi yang diwujudkan dalam bentuk retensi urin akut.
Faktor pencetus
Kompensasi Dekompensasi
(LUTS) Retensi urin
Inkontinensia paradoksa
International Prostatic Symptom Score

Pertanyaan Jawaban dan skor

Keluhan pada bulan Tidak Hampir


<20% <50% 50% >50%
terakhir sekali selalu

a. Adakah anda merasa


buli-buli tidak kosong 0 1 2 3 4 5
setelah berkemih

24
b. Berapa kali anda
berkemih lagi dalam 0 1 2 3 4 5
waktu 2 menit

c. Berapa kali terjadi arus


urin berhenti sewaktu 0 1 2 3 4 5
berkemih

d. Berapa kali anda tidak


dapat menahan untuk 0 1 2 3 4 5
berkemih

e. Beraapa kali terjadi arus


lemah sewaktu memulai 0 1 2 3 4 5
kencing

f. Berapa keli terjadi


bangun tidur anda
0 1 2 3 4 5
kesulitan memulai untuk
berkemih

g. Berapa kali anda


bangun untuk berkemih di 0 1 2 3 4 5
malam hari

Jumlah nilai :
0 = baik sekali 3 = kurang
1 = baik 4 = buruk

25
2 = kurang baik 5 = buruk sekali

Timbulnya dekompensasi vesica urinaria biasanya didahului oleh


beberapa faktor pencetus, antara lain:
 Volume vesica urinaria tiba-tiba terisi penuh yaitu pada cuaca
dingin, menahan kencing terlalu lama, mengkonsumsi obat-obatan
atau minuman yang mengandung diuretikum (alkohol, kopi) dan
minum air dalam jumlah yang berlebihan
 Massa prostat tiba-tiba membesar, yaitu setelah melakukan
aktivitas seksual atau mengalami infeksi prostat akut

 Setelah mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan


kontraksi otot detrusor atau yang dapat mempersempit leher vesica

urinaria, antara lain: golongan antikolinergik atau alfa adrenergik.

2. Gejala pada saluran kemih bagian atas


Keluhan akibat penyulit hiperplasi prostat pada saluran kemih bagian
atas berupa gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan di pinggang
(yang merupakan tanda dari hidronefrosis)., atau demam yang merupakan
tanda dari infeksi atau urosepsis.

3. Gejala di luar saluran kemih


Tidak jarang pasien berobat ke dokter karena mengeluh adanya hernia

inguinalis atau hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering

mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan

intraabdominal.

VII. Diagnosis
a. Anamnesis : gejala obstruktif dan gejala iritatif
b. Pemeriksaan Fisik

26
Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran tentang
keadaan tonus spingter ani, reflek bulbo cavernosus, mukosa rektum,
adanya kelainan lain seperti benjolan di dalam rektum dan tentu saja
teraba prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan :
1. Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya
kenyal)
2. Adakah asimetris
3. Adakah nodul pada prostate
4. Apakah batas atas dapat diraba
5. Sulcus medianus prostate
6. Adakah krepitasi
Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan prostat teraba
membesar, konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung hidung,
permukaan rata, lobus kanan dan kiri simetris, tidak didapatkan nodul,
dan menonjol ke dalam rektum. Semakin berat derajat hiperplasia
prostat, batas atas semakin sulit untuk diraba. Sedangkan pada
carcinoma prostat, konsistensi prostat keras dan atau teraba nodul dan
diantara lobus prostat tidak simetris. Sedangkan pada batu prostat akan
teraba krepitasi.

27
Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus
urinaria bagian atas kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila
sudah terjadi pielonefritis akan disertai sakit pinggang dan nyeri ketok
pada pinggang. Vesica urinaria dapat teraba apabila sudah terjadi retensi
total, daerah inguinal harus mulai diperhatikan untuk mengetahui
adanya hernia. Genitalia eksterna harus pula diperiksa untuk melihat
adanya kemungkinan sebab yang lain yang dapat menyebabkan
gangguan miksi seperti batu di fossa navikularis atau uretra anterior,
fibrosis daerah uretra, fimosis, condiloma di daerah meatus.
Pada pemeriksaan abdomen ditemukan kandung kemih yang terisi
penuh dan teraba masa kistus di daerah supra simfisis akibat retensio
urin dan kadang terdapat nyeri tekan supra simfisis.

c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium berperan dalam menentukan ada
tidaknya komplikasi.
1. Darah
 Ureum dan Kreatinin
 Elektrolit
 Blood urea nitrogen
 Prostate Specific Antigen (PSA)
 Gula darah

2. Urin :
 Kultur urin + sensitifitas test
 Urinalisis dan pemeriksaan mikroskopik
 Sedimen
Sedimen urin diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya proses
infeksi atau inflamasi pada saluran kemih. Pemeriksaan kultur urine
berguna dalam mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi dan

28
sekaligus menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa
antimikroba yang diujikan.
Faal ginjal diperiksa untuk mengetahui kemungkinan adanya
penyulit yang mengenai saluran kemih bagian atas. Sedangkan gula
darah dimaksudkan untuk mencari kemungkinan adanya penyakit
diabetes mellitus yang dapat menimbulkan kelainan persarafan pada
vesica urinaria.

d. Pemeriksaan pencitraan
1. Foto polos abdomen (BNO)
BNO berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran
kemih, adanya batu/kalkulosa prostat dan kadangkala dapat
menunjukkan bayangan vesica urinaria yang penuh terisi urin,
yang merupakan tanda dari suatu retensi urine. Selain itu juga bisa
menunjukkan adanya hidronefrosis, divertikel kandung kemih atau
adanya metastasis ke tulang dari carsinoma prostat.

2. Pielografi Intravena (IVP)

29
Pemeriksaan IVP dapat menerangkan kemungkinan adanya:
1. kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter atau
hidronefrosis
2. memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan oleh
adanya indentasi prostat (pendesakan vesica urinaria oleh
kelenjar prostat) atau ureter di sebelah distal yang berbentuk
seperti mata kail atauhooked fish
3. penyulit yang terjadi pada vesica urinaria yaitu adanya
trabekulasi, divertikel, atau sakulasi vesica urinaria
4. foto setelah miksi dapat dilihat adanya residu urin

3. Sistogram retrograd
Apabila penderita sudah dipasang kateter oleh karena
retensi urin, maka sistogram retrograd dapat pula memberi
gambaran indentasi.

4.  USG secara transrektal (Transrectal Ultrasonography = TURS)


Untuk mengetahui besar atau volume kelenjar prostat,
adanya kemungkinan pembesaran prostat maligna, sebagai
petunjuk untuk melakukan biopsi aspirasi prostat, menentukan
volume vesica urinaria dan jumlah residual urine, serta mencari
kelainan lain yang mungkin ada di dalam vesica urinaria seperti
batu, tumor, dan divertikel.

5. Pemeriksaan Sistografi
Dilakukan apabila pada anamnesis ditemukan hematuria
atau pada pemeriksaan urine ditemukan mikrohematuria. Sistografi
dapat memberikan gambaran kemungkinan tumor di dalam vesica
urinaria atau sumber perdarahan dari atas bila darah datang dari
muara ureter, atau batu radiolusen di dalam vesica. Selain itu juga
memberi keterangan mengenai basar prostat dengan mengukur
30
panjang uretra pars prostatika dan melihat penonjolan prostat ke
dalam uretra.

6. MRI atau CT jarang dilakukan


Digunakan untuk melihat pembesaran prostat dan dengan
bermacam – macam potongan.

e. Pemeriksaan Lain
1. Uroflowmetri
Untuk mengukur laju pancaran urin miksi. Laju pancaran
urin ditentukan oleh :
 daya kontraksi otot detrusor
 tekanan intravesica
 resistensi uretra
Angka normal laju pancaran urin ialah 10-12 ml/detik
dengan puncak laju pancaran mendekati 20 ml/detik. Pada
obstruksi ringan, laju pancaran melemah menjadi 6 – 8 ml/detik
dengan puncaknya sekitar 11 – 15 ml/detik. Semakin berat derajat
obstruksi semakin lemah pancaran urin yang dihasilkan.

2. Pemeriksaan Tekanan Pancaran (Pressure Flow Studies)


Pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar
pemeriksaan uroflowmetri tidak dapat membedakan apakah
penyebabnya adalah obstruksi atau daya kontraksi otot detrusor
yang melemah. Untuk membedakan kedua hal tersebut dilakukan
pemeriksaan tekanan pancaran dengan menggunakan Abrams-
Griffiths Nomogram. Dengan cara ini maka sekaligus tekanan
intravesica dan laju pancaran urin dapat diukur.

31
3. Pemeriksaan Volume Residu Urin
Volume residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan
dengan cara sangat sederhana dengan memasang kateter uretra dan
mengukur berapa volume urin yang masih tinggal atau ditentukan
dengan pemeriksaan ultrasonografi setelah miksi, dapat pula
dilakukan dengan membuat foto post voiding pada waktu membuat
IVP. Pada orang normal sisa urin biasanya kosong, sedang pada
retensi urin total sisa urin dapat melebihi kapasitas normal
vesika. Sisa urin lebih dari 100 cc biasanya dianggap sebagai batas
indikasi untuk melakukan intervensi pada penderita prostat
hipertrofi.

VIII. Kriteria Pembesaran Prostat


Untuk menentukan kriteria prostat yang membesar dapat dilakukan
dengan beberapa cara, diantaranya adalah :
1. Rektal grading
Berdasarkan penonjolan prostat ke dalam rektum :
 derajat 1 : penonjolan 0-1 cm ke dalam rektum
 derajat 2 : penonjolan 1-2 cm ke dalam rektum
 derajat 3 : penonjolan 2-3 cm ke dalam rektum
 derajat 4 : penonjolan > 3 cm ke dalam rektum

2. Berdasarkan jumlah residual urine


 derajat 1 : <50 ml
 derajat 2 : 50-100 ml
 derajat 3 : >100 ml
 derajat 4 : retensi urin total

3. Intra vesikal grading


 derajat 1 : prostat menonjol pada bladder inlet

32
 derajat 2 : prostat menonjol diantara bladder inlet dengan muara
ureter
 derajat 3 : prostat menonjol sampai muara ureter
 derajat 4 : prostat menonjol melewati muara ureter

4. Berdasarkan pembesaran kedua lobus lateralis yang terlihat pada


uretroskopi
 derajat 1 : kissing 1 cm
 derajat 2 : kissing 2 cm
 derajat 3 : kissing 3 cm

 derajat 4 : kissing >3 cm

IX. Diagnosis Banding


Pada pasien dengan keluhan obstruksi saluran kemih di antaranya:
1. Struktur uretra
2. Batu buli-buli kecil
3. Kanker prostat
4. Kelemahan detrusor, misalnya pada penderita asma kronik yang
menggunakan obat-obat parasimpatolitik.

Pada pasien dengan keluhan iritatif saluran kemih, dapat disebabkan oleh :
1. Instabilitas detrusor
2. Infeksi saluran kemih
3. Prostatitis
4. Batu ureter distal
5. Batu vesika kecil.

X. Komplikasi
Hiperplasia prostat dapat menimbulkan komplikasi sebagai berikut :

a. Inkontinensia Paradoks
33
b. Batu Kandung Kemih
c. Hematuria
d. Sistitis
e. Pielonefritis
f. Retensi Urin Akut Atau Kronik
g. Hidroureter
h.  Hidronefrosis
i. Gagal Ginjal

XI. Penatalaksanaan
Hiperplasi prostat yang telah memberikan keluhan klinik biasanya
akan menyebabkan penderita datang kepada dokter. Derajat berat gejala
klinik dibagi menjadi empat gradasi berdasarkan penemuan pada colok
dubur dan sisa volume urin, yaitu:
 Derajat satu, apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok
dubur ditemukan penonjolan prostat, batas atas mudah diraba dan sisa
urin kurang dari 50 ml.
 Derajat dua, apabila ditemukan tanda dan gejala sama seperti pada
derajat satu, prostat lebih menonjol, batas atas masih dapat teraba dan
sisa urin lebih dari 50 ml tetapi kurang dari 100 ml.
 Derajat tiga, seperti derajat dua, hanya batas atas prostat tidak teraba
lagi dan sisa urin lebih dari 100 ml
 Derajat empat, apabila sudah terjadi retensi urin total.
Organisasi kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi

untuk menentukan berat gangguan miksi yang disebut WHO PSS

(WHOProstate Symptom Score). Skor ini berdasarkan jawaban penderita

atas delapan pertanyaan mengenai miksi. Terapi non bedah dianjurkan bila
WHO PSS tetap dibawah 15. Untuk itu dianjurkan melakukan kontrol
dengan menentukan WHO PSS. Terapi bedah dianjurkan bila WHO PSS
25 ke atas atau bila timbul obstruksi.
34
Pembagian derajat beratnya hiperplasia prostat derajat I-IV
digunakan untuk menentukan cara penanganan, yaitu :
 Derajat satu biasanya belum memerlukan tindakan operatif, melainkan
dapat diberikan pengobatan secara konservatif.
 Derajat dua sebenarnya sudah ada indikasi untuk melakukan
intervensi operatif, dan yang sampai sekarang masih dianggap sebagai
cara terpilih ialah trans uretral resection (TUR). Kadang-kadang
derajat dua penderita masih belum mau dilakukan operasi, dalam
keadaan seperti ini masih bisa dicoba dengan pengobatan konservatif.
 Derajat tiga, TUR masih dapat dikerjakan oleh ahli urologi yang
cukup berpengalaman biasanya pada derajat tiga ini besar prostat
sudah lebih dari 60 gram. Apabila diperkirakan prostat sudah cukup
besar sehingga reseksi tidak akan selesai dalam satu jam maka
sebaiknya dilakukan operasi terbuka.

 Derajat empat tindakan pertama yang harus segera dikerjakan ialah

membebaskan penderita dari retensi urin total, dengan jalan

memasang kateter atau memasang sistostomi setelah itu baru

dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi diagnostik,

kemudian terapi definitif dapat dengan TURP atau operasi terbuka.

Terapi sedini mungkin sangat dianjurkan untuk mengurangi gejala,


meningkatkan kualitas hidup dan menghindari komplikasi akibat obstruksi
yang berkepanjangan. Tindakan bedah masih merupakan terapi utama
untuk hiperplasia prostat (lebih dari 90% kasus). Meskipun demikian pada
dekade terakhir dikembangkan pula beberapa terapi non-bedah yang
mempunyai keunggulan kurang invasif dibandingkan dengan terapi bedah.
Mengingat gejala klinik hiperplasia prostat disebabkan oleh 3 faktor yaitu
pembesaran kelenjar periuretral, menurunnya elastisitas leher vesika, dan
berkurangnya kekuatan detrusor, maka pengobatan gejala klinik ditujukan
untuk :

35
1. Menghilangkan atau mengurangi volume prostat
2. Mengurangi tonus leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
3. Melebarkan uretra pars prostatika, menambah kekuatan detrusor 
Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah
menghilangkan obstruksi pada leher vesica urinaria. Hal ini dapat dicapai
dengan cara medikamentosa, pembedahan, atau tindakan endourologi yang
kurang invasif.

Pilihan Terapi pada Hiperplasi Prostat Benigna

Observasi Medikamentosa Operasi Invasif Minimal

Penghambat Prostatektomi TUMT


Watchfull waiting
adrenergik α terbuka TUBD

Penghambat Endourologi Strent uretra


reduktase α 1. TURP dengan prostacath
Fitoterapi 2. TUIP TUNA
Hormonal 3. TULP (laser)

Terapi Konservatif Non Operatif


1. Observasi (Watchful waiting)
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Nasihat
yang diberikan adalah mengurangi minum setelah makan malam untuk
mengurangi nokturia, menghindari obat-obatan dekongestal
(parasimpatolitik), mengurangi minum kopi, dan tidak diperbolehkan
minuman alkohol agar tidak sering miksi. Setiap 3 bulan lakukan

36
kontrol keluhan (sistem skor), sisa kencing dan pemeriksaan colok
dubur.

2. Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah untuk:
1. mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan
golongan  blocker (penghambat alfa adrenergik)
2. menurunkan volume prostat dengan cara menurunkan kadar
hormon testosteron/dehidrotestosteron (DHT)

Obat Penghambat adrenergik 
Dasar pengobatan ini adalah mengusahakan agar tonus otot
polos di dalam prostat dan leher vesica berkurang dengan menghambat
rangsangan alpha adrenergik. Seperti diketahui di dalam otot polos
prostat dan leher vesica banyak terdapat reseptor alpha adrenergik.
Obat-obatan yang sering digunakan prazosin, terazosin, doksazosin, dan
alfuzosin. Obat penghambat alpha adrenergik yang lebih selektif
terhadap otot polos prostat yaitu α1a (tamsulosin), sehingga efek
sistemik yang tak diinginkan dari pemakai obat ini dapat dikurangi.
Dosis dimulai 1 mg/hari sedangkan dosis tamzulosin 0,2-0,4 mg/hari.
Penggunaan antagonis alpha 1 adrenergik untuk mengurangi obstruksi
pada vesica tanpa merusak kontraktilitas detrusor.
Obat-obatan golongan ini memberikan perbaikan laju pancaran
urine, menurunkan sisa urine dan mengurangi keluhan. Obat-obat ini
juga memberi penyulit hipotensi, pusing, mual, lemas, dan meskipun
sangat jarang bisa terjadi ejakulasi retrograd, biasanya pasien mulai
merasakan berkurangnya keluhan dalam waktu 1-2 minggu setelah
pemakaian obat.

Obat Penghambat Enzim 5 Alpha Reduktase


37
Obat yang dipakai adalah finasterid (proskar) dengan dosis 1x5
mg/hari. Obat golongan ini dapat menghambat pembentukan
dehidrotestosteron sehingga prostat yang membesar dapat mengecil.
Namun obat ini bekerja lebih lambat daripada golongan alpha blocker
dan manfaatnya hanya jelas pada prostat yang sangat besar. Salah satu
efek samping obat ini adalah melemahkan libido dan ginekomastia.

Fitoterapi
Merupakan terapi alternatif yang berasal dari tumbuhan.
Fitoterapi yang digunakan untuk pengobatan BPH adalah Serenoa
repens atau Saw Palmetto dan Pumpkin Seeds. Keduanya, terutama
Serenoa repens semakin diterima pemakaiannya dalam upaya
pengendalian prostatisme BPH dalam konteks “watchfull waiting
strategy”.
Saw Palmetto menunjukkan perbaikan klinis dalam hal:
 frekuensi nokturia berkurang
 aliran kencing bertambah lancar
 volume residu di kandung kencing berkurang
 gejala kurang enak dalam mekanisme urinaria berkurang.
Mekanisme kerja obat diduga kuat:
 menghambat aktivitas enzim 5 alpha reduktase dan memblokir
reseptor androgen

 bersifat antiinflamasi dan anti oedema dengan cara menghambat

aktivitas enzim cyclooxygenase dan 5 lipoxygenase. 

Terapi Operatif
Tindakan operasi ditujukan pada hiperplasi prostat yang sudah
menimbulkan penyulit tertentu, antara lain: retensi urin, batu saluran
kemih, hematuri, infeksi saluran kemih, kelainan pada saluran kemih
bagian atas, atau keluhan LUTS yang tidak menunjukkan perbaikan setelah

38
menjalani pengobatan medikamentosa. Tindakan operasi yang dilakukan
adalah operasi terbuka atau operasi endourologi transuretra.
1. Prostatektomi terbuka
a.1. Retropubic infravesica (Terence Millin)
Keuntungan :
 Tidak ada indikasi absolut, baik untuk adenoma yang besar
pada subservikal
 Mortaliti rate rendah
 Langsung melihat fossa prostat
 Dapat untuk memperbaiki segala jenis obstruksi leher buli
 Perdarahan lebih mudah dirawat
 Tanpa membuka vesika sehingga pemasangan kateter tidak
perlu selama bila membuka vesika

Kerugian :
 Dapat memotong pleksus santorini
 Mudah berdarah
 Dapat terjadi osteitis pubis
 Tidak bisa untuk BPH dengan penyulit intravesikal
 Tidak dapat dipakai kalau diperlukan tindakan lain yang harus
dikerjakan dari dalam vesika
Komplikasi : perdarahan, infeksi, osteitis pubis, trombosis

a.2. Suprapubic Transvesica/TVP (Freeyer)


Keuntungan :
 Baik untuk kelenjar besar
 Banyak dikerjakan untuk semua jenis pembesaran prostat
 Operasi banyak dipergunakan pada hiperplasia prostat dengan
penyulit : batu buli, batu ureter distal, divertikel, uretrokel,

39
adanya sistostomi, retropubik sulit karena kelainan os pubis,
kerusakan sphingter eksterna minimal.

Kerugian :
 Memerlukan pemakain kateter lebih lama sampai luka pada
dinding vesica sembuh
 Sulit pada orang gemuk
 Sulit untuk kontrol perdarahan
 Merusak mukosa kulit
 Mortality rate 1 -5 %

Komplikasi :
 Striktura post operasi (uretra anterior 2 – 5 %, bladder
neckstenosis 4%)
 Inkontinensia (<1%)
 Perdarahan
 Epididimo orchitis
 Recurent (10 – 20%)
 Carcinoma
 Ejakulasi retrograde
 Impotensi
 Fimosis
 Deep venous trombosis

a.3. Transperineal
Keuntungan :
 Dapat langssung pada fossa prostat
 Pembuluh darah tampak lebih jelas
 Mudah untuk pinggul sempit
40
 Langsung biopsi untuk karsinoma

Kerugian :
 Impotensi
 Inkontinensia
 Bisa terkena rektum
 Perdarahan hebat

 Merusak diagframa urogenital 

b. Prostatektomi Endourologi
b.1. Trans Urethral Resection of the Prostate (TURP)
Yaitu reseksi endoskopik malalui uretra. Jaringan yang
direseksi hampir seluruhnya terdiri dari jaringan kelenjar sentralis.
Jaringan perifer ditinggalkan bersama kapsulnya. Metode ini cukup
aman, efektif dan berhasil guna, bisa terjadi ejakulasi retrograd dan
pada sebagaian kecil dapat mengalami impotensi. Hasil terbaik
diperoleh pasien yang sungguh membutuhkan tindakan bedah.
Untuk keperluan tersebut, evaluasi urodinamik sangat berguna
untuk membedakan pasien dengan obstruksi dari pasien non-
obstruksi. Evaluasi ini berperan selektif dalam penentuan perlu
tidaknya dilakukan TUR.
Saat ini tindakan TUR P merupakan tindakan operasi paling
banyak dikerjakan di seluruh dunia. Reseksi kelenjar prostat
dilakukan trans-uretra dengan mempergunakan cairan irigan
(pembilas) agar supaya daerah yang akan direseksi tetap terang dan
tidak tertutup oleh darah. Cairan yang dipergunakan adalah berupa
larutan non ionik, yang dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran

41
listrik pada saat operasi. Cairan yang sering dipakai dan harganya
cukup murah adalah H2O steril (aquades).
Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang
hipotonik sehingga cairan ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik
melalui pembuluh darah vena yang terbuka pada saat reseksi.
Kelebihan air dapat menyebabkan terjadinya hiponatremia relatif
atau gejala intoksikasi air atau dikenal dengan sindroma TUR P.
Sindroma ini ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, kesadaran
somnolen, tekanan darah meningkat, dan terdapat bradikardi.
Jika tidak segera diatasi, pasien akan mengalami edema otak
yang akhirnya jatuh dalam keadaan koma dan meninggal. Angka
mortalitas sindroma TURP ini adalah sebesar 0,99%. Karena itu
untuk mengurangi timbulnya sindroma TUR P dipakai cairan non
ionik yang lain tetapi harganya lebih mahal daripada aquades,
antara lain adalah cairan glisin, membatasi jangka waktu operasi
tidak melebihi 1 jam, dan memasang sistostomi suprapubik untuk
mengurangi tekanan air pada buli-buli selama reseksi prostat.

Keuntungan :
 Luka incisi tidak ada
 Lama perawatan lebih pendek
 Morbiditas dan mortalitas rendah
42
 Prostat fibrous mudah diangkat
 Perdarahan mudah dilihat dan dikontrol

Kerugian :
 Teknik sulit
 Resiko merusak uretra
 Intoksikasi cairan
 Trauma sphingter eksterna dan trigonum
 Tidak dianjurkan untuk BPH yang besar
 Alat mahal
 Ketrampilan khusus

Komplikasi:
 Selama operasi: perdarahan, sindrom TURP, dan perforasi
 Pasca bedah dini: perdarahan, infeksi lokal atau sistemik
 Pasca bedah lanjut: inkontinensia, disfungsi ereksi, ejakulasi
retrograd, dan striktura uretra.

b.2. Trans Urethral Incision of Prostate (TUIP)


Metode ini di indikasikan untuk pasien dengan gejala
obstruktif, tetapi ukuran prostatnya mendekati normal.Pada
hiperplasia prostat yang tidak begitu besar dan pada pasien yang
umurnya masih muda umumnya dilakukan metode tersebut atau
incisi leher buli-buli atau bladder neck incision (BNI) pada jam 5
dan 7. Terapi ini juga dilakukan secara endoskopik yaitu dengan
menyayat memakai alat seperti yangg dipakai pada TUR P tetapi
memakai alat pemotong yang menyerupai alat penggaruk, sayatan
dimulai dari dekat muara ureter sampai dekat ke verumontanum
dan harus cukup dalam sampai tampak kapsul prostat.

43
Kelebihan dari metode ini adalah lebih cepat daripada TUR dan
menurunnya kejadian ejakulasi retrograde dibandingkan dengan
cara TUR.

b.3. Trans Urethral Laser of the Prostate (Laser prostatectomy)


Oleh karena cara operatif (operasi terbuka atau TUR P) untuk
mengangkat prostat yang membesar merupakan operasi yang
berdarah, sedang pengobatan dengan TUMT dan TURF belum
dapat memberikan hasil yang sebaik dengan operasi maka dicoba
cara operasi yang dapat dilakukan hampir tanpa perdarahan.
Waktu yang diperlukan untuk melaser prostat biasanya sekitar
2-4 menit untuk masing-masing lobus prostat (lobus lateralis
kanan, kiri dan medius). Pada waktu ablasi akan ditemukan pop
corn effect sehingga tampak melalui sistoskop terjadi ablasi pada
permukaan prostat, sehingga uretra pars prostatika akan segera
menjadi lebih lebar, yang kemudian masih akan diikuti efek ablasi
ikutan yang akan menyebabkan “laser nekrosis” lebih dalam
setelah 4-24 minggu sehingga hasil akhir nanti akan terjadi rongga
didalam prostat menyerupai rongga yang terjadi sehabis TUR.
Keuntungan bedah laser ialah :
 Tidak menyebabkan perdarahan sehingga tidak mungkin terjadi
retensi akibat bekuan darah dan tidak memerlukan transfusi
 Teknik lebih sederhana
 Waktu operasi lebih cepat
 Lama tinggal di rumah sakit lebih singkat
 Tidak memerlukan terapi antikoagulan
 Resiko impotensi tidak ada
 Resiko ejakulasi retrograd minimal

Kerugian :

44
Penggunaan laser ini masih memerlukan anestesi (regional).

3. Invasif Minimal
1. Trans Urethral Microwave Thermotherapy (TUMT)
Cara memanaskan prostat sampai 44,5C – 47C ini mulai
diperkenalkan dalam tiga tahun terakhir ini. Dikatakan dengan
memanaskan kelenjar periuretral yang membesar ini dengan
gelombang mikro (microwave) yaitu dengan gelombang ultarasonik
atau gelombang radio kapasitif akan terjadi vakuolisasi dan nekrosis
jaringan prostat, selain itu juga akan menurunkan tonus otot polos
dan kapsul prostat sehingga tekanan uretra menurun sehingga
obstruksi berkurang. lanjut mengenai cara kerja dasar klinikal,
efektifitasnya serta side efek yang mungkin timbul.
Cara kerja TUMT ialah antene yang berada pada kateter
dapat memancarkan microwave kedalam jaringan prostat. Oleh
karena temperatur pada antene akan tinggi maka perlu dilengkapi
dengan surface costing agar tidak merusak mucosa ureter. Dengan
proses pendindingan ini memang mucosa tidak rusak tetapi penetrasi
juga berkurang.
Cara TURF (trans Uretral Radio Capacitive Frequency)
memancarkan gelombang “radio frequency” yang panjang
gelombangnya lebih besar daripada tebalnya prostat juga arah dari
gelombang radio frequency dapat diarahkan oleh elektrode yang
ditempel diluar (pada pangkal paha) sehingga efek panasnya dapat
menetrasi sampai lapisan yang dalam. Keuntungan lain oleh karena
kateter yang ada alat pemanasnya mempunyai lumen sehingga
pemanasan bisa lebih lama, dan selama pemanasan urine tetap dapat
mengalir keluar.

2. Trans Urethral Ballon Dilatation (TUBD)

45
Dilatasi uretra pars prostatika dengan balon ini mula-mula
dikerjakan dengan jalan melakukan commisurotomi prostat pada jam
12.00 dengan jalan melalui operasi terbuka (transvesikal).
Prostat di tekan menjadi dehidrasi sehingga lumen uretra melebar.
Mekanismenya :
1. Kapsul prostat diregangkan
2. Tonus otot polos prostat dihilangkan dengan penekanan tersebut
3. Reseptor alpha adrenergic pada leher vesika dan uretra pars
prostatika dirusak

3. Trans Urethral Needle Ablation (TUNA)


Yaitu dengan menggunakan gelombang radio frekuensi tinggi
untuk menghasilkan ablasi termal pada prostat. Cara ini mempunyai
prospek yang baik guna mencapai tujuan untuk menghasilkan
prosedur dengan perdarahan minimal, tidak invasif dan mekanisme
ejakulasi dapat dipertahankan.
4. Stent Urethra
Pada hakekatnya cara ini sama dengan memasang kateter uretra,
hanya saja kateter tersebut dipasang pada uretra pars prostatika.
Bentuk stent ada yang spiral dibuat dari logam bercampur emas yang
dipasang diujung kateter (Prostacath). Stents ini digunakan sebagai
protesis indwelling permanen yang ditempatkan dengan bantuan
endoskopi atau bimbingan pencitraan. Untuk memasangnya, panjang
uretra pars prostatika diukur dengan USG dan kemudian dipilih alat
yang panjangnya sesuai, lalu alat tersebut dimasukkan dengan kateter
pendorong dan bila letak sudah benar di uretra pars prostatika maka
spiral tersebut dapat dilepas dari kateter pendorong. Pemasangan stent
ini merupakan cara mengatasi obstruksi infravesikal yang juga kurang
invasif, yang merupakan alternatif sementara apabila kondisi
penderita belum memungkinkan untuk mendapatkan terapi yang lebih
invasif. 
46
DAFTAR PUSTAKA

1. Mahummad A., 2008., Benigna Prostate


Hiperplasia., http://ababar.blogspot .com/2008/12/benigna-prostate-
hyperplasia.html., 3 Maret 2009
2.  Purnomo, Basuki B. Hiperplasia prostat dalam: Dasar – dasar urologi.,
Edisi ke – 2. Jakarta: Sagung Seto. 2003. p. 69 – 85
3. Sjamsuhidayat R, Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi 2. Jakarta :
EGC, 2004. pp. 782-786

47

Anda mungkin juga menyukai