Anda di halaman 1dari 68

GAMBARAN JUMLAH LEUKOSIT PADA PASIEN

APENDISITIS AKUT DAN APENDISITIS PERFORASI


DI RSUD ABDUL MANAP KOTA JAMBI
PERIODE 1 JANUARI 2014 HINGGA 31 DESEMBER 2015

SKRIPSI
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
mencapai derajat Sarjana Kedokteran
pada Program Studi kedokteran
Universitas Jambi

Disusun Oleh :
MUHAMMAD ARIAL FIKRI
G1A112045

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2017

i
PERSETUJUAN SKRIPSI

GAMBARAN JUMLAH LEUKOSIT PADA PASIEN


APENDISITIS AKUT DAN APENDISITIS PERFORASI
DI RSUD ABDUL MANAP KOTA JAMBI
PERIODE 1 JANUARI 2014 HINGGA 31 DESEMBER 2015

Disusun Oleh :
MUHAMMAD ARIAL FIKRI
G1A112045

Telah disetujui Dosen Pembimbing Skripsi


Pada November 2017

Pembimbing Substansi Pembimbing Metodologi

dr. Dennison,Sp.B dr.Fahrurrazi,M,Kes


NIP: 19610219198903100 NIP: 196410221988021001

ii
PENGESAHAN SKRIPSI

GAMBARAN JUMLAH LEUKOSIT PADA PASIEN


APENDISITIS AKUT DAN APENDISITIS PERFORASI
DI RSUD ABDUL MANAP KOTA JAMBI
PERIODE 1 JANUARI 2014 HINGGA 31 DESEMBER 2015
Disusun oleh :
MUHAMMAD ARIAL FIKRI
G1A112054

Pembimbing Substansi Pembimbing Metodologi

dr.Dennison,Sp.B dr.Fahrurrazi,M.Kes
NIP : 197706162014121001 NIP :196410221988021001

Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu persyaratan


untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran
Tanggal 10 November 2017

Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan


Universitas Jambi

Dr. dr. Herlambang, Sp.OG. KFM


NIP : 196901182000121001

iii
GAMBARAN JUMLAH LEUKOSIT PADA PASIEN
APENDISITIS AKUT DAN APENDISITIS PERFORASI
DI RSUD ABDUL MANAP KOTA JAMBI
PERIODE 1 JANUARI 2014 HINGGA 31 DESEMBER 2015

Disususn oleh

MUHAMMAD ARIAL FIKRI

G1A112045

Telah dipertahankan dan dinyatakan lulus di depan Tim Penguji

Pada tanggal 10 November 2016

Pembimbing I : dr. Dennison, Sp.B

Pembimbing II : dr.Fahrurazi, M.Kes

Penguji I : dr. Hiratna, SpPK

Penguji II : Dr. dr. Fairuz Sp.PA, M.Kes

iv
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Muhammad Arial Fikri

NIM : G1A112045

Program Studi : Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran dan Ilmu


kesehatan Universitas Jambi
Judul Skripsi : Gambaran Jumlah Leukosit Pada Pasien Apendisitis Akut
dan Apendisitis Perforasi di RSUD Abdul Manap Kota
Jambi Periode 1 Januari 2014 Hingga 31 Desember 2015

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tugas akhir skripsi yang saya tulis ini
benar-benar karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau
pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri. Apabila
dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa tugas akhir skripsi ini adalah hasil
jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut

Jambi, November 2017

Yang membuat pernyataan

Muhammad Arial Fikri

NIM. G1A112045

v
KATA PENGAN TAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
atas segala berkat dan karuniaNya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi
ini yang berjudul “Gambaran Jumlah Leukosit Pada Pasien Apendisitis Akut dan
Apendisitis Perforasi di RSUD Abdul Manap Kota Jambi Periode 1 Januari 2014
Hingga 31 Desember 2015”.

Skripsi ini untuk memenuhi dan melengkapi salah satu persyaratan untuk
memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas jambi. Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan
serta dorongan dari berbagai pihak, maka sebagai ungkapan hormat dan
penghargaan penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof.Johni Najwan,SH,MH,Ph.D selaku rektor Universitas Jambi


2. Dr. dr. Herlambang, Sp.OG. KFM sebagai dekan Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Jambi
3. dr. Raihanah Suzan sebagai pembimbing akademik yang telah membimbing
dan memotivasi belajar kepada penulis selama ini
4. dr. Dennison, Sp.B selaku pembimbing substansi atas segala bimbingan,
saran, waktu yang telah di berikan selama penulisan proposal ini
5. dr.Fahrurrazi,M.Kes selaku pembimbing metodologi yang telah banyak
memberikan bimbingan, masukan serta motivasi kepada penulis
6. dr.Hiratna,SpPK selaku penguji dalam seminar proposal serta ujian skripsi,
yang telah banyak memberikan masukan yang baik dalam skripsi ini
7. Orang tua tercinta, Maryani dan Metti Astuti atas dukungan, pengorbanan
dan kesabaran serta selalu mendoakan sekaligus memberikan dorongan dan
semangat yang tiada henti selama penulis mengikuti perkuliahan di Program
Studi Kedokteran Universitas Jambi dan menyelesaikan skripsi ini.
8. Saudara dan saudariku tersayang Adika perdana dan Salsa Azura Adiba
yang selalu memberikan do’a, dorongan dan semangat kepada penulis

vi
selama penulis mengikuti perkuliahan di Program Studi Kedokteran
Universitas Jambi dan menyelesaikan skripsi ini.
9. Zaujah Nurhanni Zulaisa yang selalu memberika semangat, dukungan dan
keceriaan yang telah diberikan selama penulisan skripsi ini
10. Dosen-dosen pengajar yang selalu memberikan motivasi dan masukan
dalam skripsi ini.
11. Keluarga besar angkatan 2012 yang selalu memberikan arahan yang baik,
motivasi, serta membantu dalam proses penyusunan skripsi ini

Semoga Tuhan Yang Maha Esa, memberikan balasan atas kebaikan yang
telah diberikan kepada penulis. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya konstruktif sangat
diharapkan oleh penulis, semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pihak yang
lain amin.

Jambi, November 2017

Penulis

vii
DAFTAR ISI

Halaman Judul.............................................................................................. i
Persetujuan Skripsi ...................................................................................... ii
Pengesahan Skripsi .................................................................................... iii
Halaman Pernyataan.................................................................................... v
Kata Pengantar ........................................................................................... vi
Daftar Isi................................................................................................... viii
Daftar Gambar ........................................................................................... xii
Daftar Tabel ............................................................................................. xiii
Daftar Bagan ............................................................................................ xiv
Daftar Lampiran ........................................................................................ xv
Riwayat Hidup Penulis............................................................................. xvi
Abstract ................................................................................................... xvii
Abstrak ................................................................................................... xviii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ............................................................................. 3
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................. 3
1.3.1 Tujuan Umum ............................................................................ 3
1.3.2 Tujuan Khusus ........................................................................... 3
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Pengertian Gagal Ginjal ....................................................................... 5
2.1.1 Anatomi Ginjal ........................................................................... 5
2.1.2 Fungsi Ginjal .............................................................................. 8
2.1.3 Perjalanan Klinis Gangguan Fungsi Ginjal ................................ 8
2.1.4 Epidemiologi Gagal Ginjal ...................................................... 10
2.1.5 Klasifikasi Gagal Ginjal ........................................................... 10

viii
2.1.5.1 Gagal Ginjal Akut ....................................................... 10
2.1.5.2 Gagal Ginjal Kronis .................................................... 11
2.1.6 Etiologi Gagal Ginjal Kronis ................................................... 13
2.1.7 Epidemiologi Gagal Ginjal Kronis........................................... 14
2.1.8 Patofisiologi Gagal Ginjal Kronis ............................................ 14
2.1.9 Tatalaksana Gagal Ginjal Kronis ............................................. 15
2.1.10 Tindakan Hemodialisis Pada Gagal Ginjal Kronis ................ 16
2.2 Depresi ............................................................................................... 16
2.2.1 Definisi Depresi ....................................................................... 16
2.2.2 Klasifikasi Depresi ................................................................... 17
2.2.3 Etiologi Depresi ....................................................................... 18
2.2.4 Gejala Klinis Depresi ............................................................... 19
2.2.5 Pengukuran Tingkat Depresi .................................................... 19
2.3 Hubungan Depresi Dengan Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani
Hemodialisis....................................................................................... 20
2.3.1 Karakteristik Pasien Depresi pada Gagal Ginjal Kronis yang
Menjalani Hemodialisis ........................................................... 24
2.3.2 Hubungan Depresi dengan Ketidakpatuhan Berobat Pada
Pasien Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisis ...... 25
2.3.3 Terapi Depresi pada Pasien Gagal Ginjal Kronis yang
Menjalani Hemodialisis ........................................................... 26
2.4 Kerangka Teori................................................................................... 31
2.5 Kerangka Konsep ............................................................................... 32

BAB III METODE PENELITIAN


3.1 Jenis Penelitian ................................................................................... 33
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................ 33
3.3 Populasi dan Sampel .......................................................................... 33
3.3.1 Populasi .................................................................................... 33
3.3.2 Sampel ...................................................................................... 33
3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi.............................................................. 34
3.4.1 Kriteria Inklusi .......................................................................... 34

ix
3.4.2 Kriteria Ekslusi ........................................................................ 35
3.5 Metode Pengumpulan Data ................................................................ 35
3.5.1 Jenis Data ................................................................................. 35
3.5.2 Sumber Data ............................................................................. 35
3.6 Definisi Operasional........................................................................... 36
3.7 Pengolahan dan Analisis Data............................................................ 38
3.7.1 Pengolahan Data ...................................................................... 38
3.7.2 Analisis Data ............................................................................ 38
3.8 Etika Penelitian .................................................................................. 39
3.9 Alur Penelitian ................................................................................... 40

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Hasil ................................................................................................... 41
4.1.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian ........................................ 41
4.1.2 Gambaran Tingkat Depresi Pada Pasien Gagal Ginjal Kronis
yang Menjalani Hemodialisis ................................................... 43
4.1.3 Gambaran Depresi Pada Pasien Gagal Ginjal Kronis yang
Menjalani Hemodialisis Berdasarkan Kelompok Umur ......... 43
4.1.4 Gambaran Depresi Pada Pasien Gagal Ginjal Kronis yang
Menjalani Hemodialisis Berdasarkan Jenis Kelamin ............... 44
4.1.5 Gambaran Depresi Pada Pasien Gagal Ginjal Kronis yang
Menjalani Hemodialisis Berdasarkan Tingkat Pendidikan ...... 45
4.1.6 Gambaran Depresi Pada Pasien Gagal Ginjal Kronis yang
Menjalani Hemodialisis Berdasarkan Status Pekerjaan ........... 46
4.1.7 Gambaran Depresi Pada Pasien Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani
Hemodialisis Berdasarkan Lama Menjalani Hemodialisis ...... 46
4.2 Pembahasan ........................................................................................ 47
4.2.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian ........................................ 47
4.2.2 Gambaran Tingkat Depresi pada Pasien Gagal Ginjal Kronis
yang Menjalani Hemodialisis ................................................... 49
4.2.3 Gambaran Depresi Pada Pasien Gagal Ginjal Kronis yang
Menjalani Hemodialisis Berdasarkan Kelompok Umur .......... 50

x
4.2.4 Gambaran Depresi Pada Pasien Gagal Ginjal Kronis yang
Menjalani Hemodialisis Berdasarkan Jenis Kelamin ............... 51
4.2.5 Gambaran Depresi Pada Pasien Gagal Ginjal Kronis yang
Menjalani Hemodialisis Berdasarkan Tingkat Pendidikan ...... 51
4.2.6 Gambaran Depresi Pada Pasien Gagal Ginjal Kronis yang
Menjalani Hemodialisis Berdasarkan Status Pekerjaan ........... 52
4.2.7 Gambaran Depresi Pada Pasien Gagal Ginjal Kronis yang
Menjalani Hemodialisis Berdasarkan Lama Menjalani
Hemodialisis............................................................................. 53

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Simpulan ............................................................................................ 54
5.2 Saran ................................................................................................... 55
5.3 Keterbatasan Penelitian ...................................................................... 56

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 57

xi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Anatomi Ginjal ........................................................................ 7

xii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kategori Fungsi Ginjal ................................................................ 9


Tabel 2.2 Stadium Acute Kidney Injury (AKI) ........................................ 10
Tabel 2.3 Stadium Gagal Ginjal Kronis .................................................... 12
Tabel 4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian Meliputi, Kelompok Umur,
Jenis Kelamin, Tingkat Pendidikan, Status Pekerjaan dan Lama
Menjalani Hemodialisis ............................................................ 42
Tabel 4.2 Tingkat Depresi Pada Pasien Gagal Ginjal Kronis yang menjalani
Hemodialisis ............................................................................ 43
Tabel 4.3 Gambaran Depresi Pada Pasien Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani
Hemodialisis Berdasarkan Kelompok Umur ............................ 44
Tabel 4.4 Gambaran Depresi Pada Pasien Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani
Hemodialisis Berdasarkan Jenis Kelamin ................................ 44
Tabel 4.5 Gambaran Depresi Pada Pasien Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani
Hemodialisis Berdasarkan Tingkat Pendidikan ........................ 45
Tabel 4.6 Gambaran Depresi Pada Pasien Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani
Hemodialisis Berdasarkan Status Pekerjaan............................. 46
Tabel 4.3 Gambaran Depresi Pada Pasien Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani
Hemodialisis Berdasarkan Lama Menjalani Hemodialisis....... 47

xiii
DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Kerangka Teori ........................................................................ 31


Bagan 2.2 Kerangka Konsep ..................................................................... 32
Bagan 3.1 Alur Penelitian ......................................................................... 40

xiv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Izin Penelitian


Lampiran 2. Surat Selesai Penelitian
Lampiran 3. Kartu Bimbingan Skripsi
Lampiran 4. Lembar Informed Consent dan Soal Beck Depression Inventory (BDI-
II)
Lampiran 5. Data Hasil Penelitian Pada Pasien Hemodialisis di RSUD Raden
Mattaher Jambi 2016
Lampiran 6. Hasil Analisis SPSS
Lampiran 7. Jurnal Asli (BDI-II)
Lampiran 8. Jurnal Validitas (BDI-II)

xv
RIWAYAT HIDUP PENULIS

Muhammad Arial Fikri, lahir di Kota Jambi 09 Juli 1995, sebagai anak
Kedua Bapak Maryani dan Ibu Metti Astuti. Bertempat tinggal di Jln Tp Sriwijaya
Komplek Beliung Indah Blok H No 1 RT 11 Kelurahan Beliung, Kecamatan
Alambarajo, Pendidikan yang ditempuh penulis antara lain SD Al-Falah Kota
Jambi, SMPN 7 Kota Jambi dan SMAN 1 Kota Jambi. Pada tahun 2012 penulis
diterima di Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Jambi. Sampai dengan penulisan skripsi ini penulis masih
terdaftar sebagai mahasiswa program S-1 Program Studi Kedokteran di Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi.

xvi
ABSTRACT

Background: Acute appendicitis is one of the most common acute abdominal pain.
A late of check up and diagnosis could bring harms which is turning into perforated
appendicitis. Leukocyte count is a laboratory collation that is generous and quick
to diagnose the acute appendicitis and perforated appendicitis, however there’s no
certain limit of the leukocytes count to recognize whether it is acute appendicitis or
perforated appendicitis.

Methods: The research used observational research type with descriptive research
design, conducted in medical record of RSUD Abdul Manap period January 2014 -
December 2015. The research sample with 93 patients fulfilled inclusion criteria
taken using the method of using total sampling.

Results: There were 64 samples (68,81%), male 28 samples (43,19%) and female
36 samples (56,6%) and perforated appendicitis were 29 samples (31,18%) , 17
male samples (58.6%) and female 12 samples (41.4%). Based on age, acute
appendicitis is most common in the 10-20 year age group of 26 samples (40.6%)
where as in perforated appendicitis is most common in the 20-30 year age group of
10 samples (34.5%). Patients diagnosed with acute appendicitis with leukocytosis
were 29 (51.8%), normal leukocyte was 34 (97.1%) and leukopenia was 1 (50%)
patients. While patients diagnosed with perforated appendicitis with leukocytosis
state were 27 (48.2%), normal leukocyte state was 1 (2.9%) and leukopenia was 1
(50%) patients

Keywords: Acute appendicitis, perforated appendicitis, leukocytes amount.

xvii
ABSTRAK

Latar Belakang: Apendisitis akut merupakan nyeri akut abdomen yang sering
terjadi saat ini. Pemeriksaan dan diagnosis yang terlambat dapat mengakibatkan
risiko terjadinya apendisitis perforasi. Pemeriksaan jumlah leukosit darah
merupakan pemeriksaan laboratorium yang cepat dan murah untuk mendiagnosis
apendisitis akut dan apendisitis perforasi, akan tetapi belum diketahui batas yang
pasti jumlah leukosit darah dalam membedakan antara apendisitis akut dengan
apendisitis perforasi.

Metode: Penelitian ini menggunakan jenis penelitian observasional dengan design


penelitian deskriptif, dilakukan di rekam medik RSUD Abdul Manap periode
Januari 2014 – Desember 2015. Sampel penelitian berjumlah 93 pasien yang
memenuhi kriteria inklusi yang diambil digunakan menggunak metode total
sampling.

Hasil: Dari 93 sample didapatkan apendisitis akut sejumlah 64 sample (68,81%) ,


laki-laki 28 sample (43,19%) dan perempuan 36 sample (56,6%) dan pada
apendisitis perforasi sejumlah 29 sample (31,18%), laki – laki 17 sample (58,6%)
dan perempuan 12 sample (41,4%). Berdasarkan usia, apendisitis akut paling sering
terjadi pada rentan usia 10-20 tahun sejumlah 26 sample (40,6%) sedangkan pada
apendisitis perforasi paling sering terjadi pada rentan usia 20-30 tahun sejumlah 10
sample (34,5%). Pasien yang terdiagnosis apendisitis akut dengan keadaan
leukositosis berjumlah 29 (51,8%), keadaan leukosit normal berjumlah 34 (97,1%)
pasien dan keadaan leukopenia berjumlah 1 (50%) pasien. Sedangkan pasien yang
terdiagnosis apendisitis perforasi dengan keadaan leukositosis berjumlah 27
(48,2%), keadaan leukosit normal berjumlah 1 (2,9%) pasien dan keadaan
leukopenia berjumlah 1 (50%) pasien
Kata Kunci: Apendisitis akut, apendisitis perforasi, jumlah leukosit darah.

xviii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Apendisitis akut merupakan peradangan akut pada apendiks vermiformis.


Apendiks vermiformis memiliki panjang yang bervariasi dari 7 sampai 15 cm.
Apendisitis merupakan penyebab nyeri abdomen akut yang paling sering ditemukan
dan memerlukan tindakan bedah mayor segera untuk mencegah komplikasi yang
umumnya berbahaya. Sedangkan batasan apendisitis akut adalah apendisitis yang
terjadi secara akut yang memerlukan intervensi bedah.1 Apendisitis akut umumnya
memiliki durasi tidak lebih dari 48 jam. Ditandai dengan nyeri abdomen kuadran
kanan bawah dengan nyeri tekan lokal dan nyeri alih, nyeri otot yang ada diatasnya,
dan hiperestesia kulit.2
Apendisitis akut merupakan salah satu kasus tersering dalam bidang bedah
abdomen. Rata-rata 7% populasi di dunia menderita apendisitis dalam hidupnya.
Selain itu, juga di laporkan hasil survey angka insidensi apendisitis, dimana terdapat
11 kasus apendisitis pada setiap 1000 orang di Amerika. Menurut WHO (World
Health Organization), insidensi apendisitis di Asia pada tahun 2004 adalah 4,8%
penduduk dari total populasi.2
Apendisitis yang tidak segera ditatalaksana akan menimbulkan komplikasi.
Salah satu komplikasi yang paling membahayakan adalah perforasi. Pada
apendisitis perforasi, adanya fekalit di dalam lumen, umur (orang tua atau anak
kecil ) dan keterlambatan diagnosis, merupakan faktor yang berperanan dalam
terjadinya perforasi appendiks. Dilaporkan insiden perforasi 60% pada penderita di
atas usia 60 tahun. Faktor yang mempengaruhi tingginya insiden perforasi pada
orang tua adalah gejalanya yang memengaruhi tingginya insiden perforasi pada
orang tua adalah gejalanya yang samar, keterlambatan berobat, adanya perubahan
anatomi appendiks berupa penyempitan lumen, dan arteriosklerosis. Insidens tinggi
pada anak disebabkan oleh dinding appendiks yang masih tipis, anak kurang
komunikatif sehingga memperpanjang waktu

1
diagnosis dan pendindingan kurang sempurna akibat perforasi yang berlangsung
cepat dan omentum anak yang belum berkembang. Perforasi apendisitis
berhubungan dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Pasien yang mengalami
apendisitis akut angka kematiannya hanya 1,5%, tetapi ketika telah mengalami
perforasi angka ini meningkat mencapai 20%-35%.3

Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur, tetapi umumnya terjadi pada
dewasa dan remaja muda, yaitu pada umur 10-30 tahun dan insiden tertinggi pada
kelompok umur 20-30 tahun. Apendisitis akut sama-sama dapat terjadi pada laki-
laki maupun perempuan, tetapi insidensi pada laki-laki umumnya lebih banyak dari
perempuan terutama pada usia 20-30 tahun hal ini juga bisa dilihat pada penelitian
Haider Kamran di Ayub Teaching Hospital Pakistan, menunjukkan dari 100 pasien
apendisitis akut, 58% adalah laki-laki dan 42% adalah perempuan. Selain itu,
penelitian dari Rafael Nunes Goulart di Rumah Sakit Regional de Sao Jose Brazil
menunjukkan bahwa 60,9% pasien apendisitis akut adalah laki-laki.2
Pada pasien yang masih anak-anak dan orang tua akan lebih cepat mengalami
perforasi. Penelitian yang dilakukan di salah satu rumahsakit di kota Taipei, Taiwan
menemukan, dari 173 pasien anak-anak yang mengalami apendisitis, 91 pasien
mengalami apendisitis perforasi. Dalam penelitian itu disebutkan kesalahan
diagnosis pada anak yang mengalami apendisitis meningkatkan persentase
perforasi mencapai 73,1%.3
Tujuh persen penduduk di negara Barat menderita apendisitis dan terdapat
lebihdari 200.000 apendektomi dilakukan di Amerika Serikat setiap tahunnya.4
WHO (World Health Organization) menyebutkan insidensi apendisitis di Asia dan
Afrika pada tahun 2004 adalah 4,8% dan 2,6% penduduk dari total populasi.5
Menurut Departemen Kesehatan RI padatahun 2006, apendisitis menempati urutan
keempat penyakit terbanyak di Indonesia setelah dispepsia, gastritis dan duodenitis,
dan penyakit sistem cerna lain dengan jumlah pasien rawat inap sebanyak 28.040.6
Gejala dan tanda apendisitis yang tidak khas akan menyulitkan dokter dalam
menegakkan diagnosis, sehingga dokter akan melakukan pemeriksaan penunjang
untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan laboratorium yang dapat digunakan
dalam mendiagnosis apendisitis akut yaitu C-reactive protein, jumlah sel leukosit,

2
dan hitung jenis sel neutrofil (differential count) merupakan petanda yang sensitive
terhadap proses inflamasi.7
Dalam mendiagnosis apendisitis, anamnesis dan pemeriksaan memegang
peranan utama dengan akurasi 76-80%, tetapi dalam mencegah pasien agar tidak
terjadi perforasi tidaklah cukup hanya dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan jumlah leukosit darah merupakan salah satu pemeriksaan
laboratorium yang cepat dan murah untuk dapat menentukan diagnose apendisitis
akut dan apendisitis perforasi. Biasanya ditemukan leukositosis pada pemeriksaan
laboratorium dan sering ditemukan pada kasus dengan komplikasi berupa perforasi.
Dilaporkan bahwa insiden perforasi sekitar 60% terdapat pada 3 penderita diatas
usia 60 tahun. Adanya perubahan anatomi apendiks vermiformis berupa
penyempitan lumen, gejala yang tidak khas, terlambat berobat, dan arteriosklerosis
merupakan faktor – faktor yang mempengaruhi tinggi nya insiden apendisitis
perforasi. Nilai leukosit darah meningkat>10.000/mm3 dan hitung jenis leukosit
darah terdapat pergeseran kekiri pada pasien apendisitis akut. Sedangkan penelitian
yang dilakukan oleh John H dkk, menyatakan bahwa leukositosis lebihdari 13.000
/ mm3 adalah indikasi apendisitis akut. Pemeriksaan jumlah leukosit darah
memiliki sensitivitas, dan spesifisitas masing-masing yaitu 97,82% dan
55,55%.Pada pasien dengan jumlah leukosit darah yang meningkat >18.000
sel/mm3 menyebabkan kemungkinan terjadinya apendisitis perforasi.Sedangkan
pada penelitian yang dilakukan oleh Goulart RN dkk, dikatakan bahwa sebanyak
57% pasien dengan apendisitis perforasi memiliki jumlah leukosit darah lebih dari
atau sama dengan 20.000 sel/mm3.8

Berdasarkan data rekam medis di bangsal rawat inap bedah RSUD Raden
Mattaher yang merupakan rumah sakit rujukan Provinsi Jambi tahun 2014 pasien
apendisits berjumlah 49 orang dan padatahun 2015 berjumlah 77 orang. Sementara
Di Kota Jambi belum pernah dilakukan penelitian sehingga peneliti merasa perlu
untuk melakukan penelitian tentang gambaran jumlah leukosit pada penderita
appendisitis akut dan apendisitis perforasi di RSUD Abdul Manap Kota Jambi

3
dengan tujuan untuk mengetahui gambaran jumlah leukosit pada penderita
appendisitis akut dan apendisitis perforasi di RSUD Abdul Manap Kota Jambi
berdasarkan jenis kelamin dan kelompok umur.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah
dalam penelitian ini adalah “Bagaimana gambaran jumlah leukosit pada pasien
apendisitis di RSUD Abdul Manap Kota jambi periode 1 Januari 2014 hingga
31 Desember 2015” .

1.3 TujuanPenelitian
1.3.1 TujuanUmum
Mengetahui gambaran jumlah leukosit pada pasien apendisitis di RSUD
Abdul Manap Kota Jambi periode 1 Januari 2014 hingga 31 Desember
2015
1.3.2 TujuanKhusus
1. Mengetahui gambaran jumlah kejadian apendisitis akut dan
perforasi di RSUD Abdul Manap Jambi periode 1 Januari 2014
hingga 31 Desember 2015
2. Mengetahui gambaran jumlah kejadian apendisitis akut dan
perforasi di RSUD Abdul Manap Jambi berdasarkan jenis kelamin
periode 1 Januari 2014 hingga 31 Desember 2015

3. Mengetahui gambaran jumlah kejadian apendisitis akut dan


perforasi di RSUD Abdul Manap Jambi berdasarkan umur periode
1 Januari 2014 hingga 31 Desember 2015
4. Mengetahui gambaran jumlah leukosit pada pasien apendisitis akut
dan perforasi di RSUD Abdul Manap Jambi periode 1 Januari 2014
hingga 31 Desember 2015

4
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Instansi RSUD Abdul Manap Kota Jambi
Hasil penelitian yang dilaksanakan diharapkan akan menambah
informasi, dan referensi tentang penyakit apendisitis akut dan
apendisitis perforasi.

1.4.2 Bagi Tenaga Kesehatan


Menambah informasi bagi dokter dan perawat tentang manfaat
pemeriksaan penunjang laboratorium untuk meningkatkan akurasi
diagnostik apendisitis akut dan apendisitis perforasi.

1.4.3 Bagi Peneliti


Menambah pengetahuan dan wawasan tentang tentang apendisitis akut
dan apendisitis perforasi baik dari segi klinis dan dari penegakan
diagnosa.

1.4.4 Bagi Peneliti Selanjutnya


Penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai dasar bagi penelitian
selanjutnya.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Apendiks Vermiformis


2.1.1. Anatomi
Saluran pencernaan (traktus digestivus) pada dasarnya adalah suatu saluran
(tabung) dengan panjang sekitar 30 kaki (9m) yang berjalan melalui bagian tengah
tubuh dari mulut sampai ke anus (sembilan meter adalah panjang saluran
pencernaan pada mayat, panjangnya pada manusia hidup sekitar separuhnya karena
kontraksi terus menerus dinding otot saluran). Saluran pencernaan mencakup
organ-organ berikut: mulut, faring, esophagus, lambung, usus halus, (terdiri dari
duodenum, jejunum, dan ileum), usus besar (terdiri dari sekum, apendiks, kolon dan
rectum), dan anus.9,10,11

Gambar 2.1 Anatomi Usus Besar

sumber: Mc kinley et al

Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm


(kisaran 3-15 cm), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal

6
dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk
kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit pada ujungnya. Keadaan ini
mungkin menjadi sebab rendahnya insiden apendisitis pada usia itu. Pada 65%
kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks
bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks
penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di
belakang sekum, di belakang kolon asendens, atau di tepi lateral kolon asendens.
Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak apendiks.9,10,11
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti
a.mesenterika superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal
dari n.torakalis X. oleh karena itu, nyeri visceral pada apendisitis bermula di sekitar
umbilikus.Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri
tanpa kolateral. Jika arteri in tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi,
apendiks akan mengalami gangrene.10,11

2.1.2 Histologi
Appendiks merupakan divertikulum kecil langsing dan buntu yang bersal dari
sekum, lebih kurang 25 cm di bawah katup ileosekal. Dalam potongan melintang,
lumennya sempit dan biasanya dengan batas yang tidak teratur, sering mengandung
debris sel, dan dapat menyumbat seluruh lumen apendiks. Vili tidak ada dan
kelenjar intestinal jumlahnya sedikit dan panjangnya tidak teratur. Epitel
mukosanya adalah tersusun dari epitel selapis torak yang mempunya sel piala yang
sangat banyak. Bagian usus ini tidak mempunya vilus, yang ada hanya kriptus
Lieberkuhn saja. Di dalam kriptus terdapat sedikit sel paneth, dan banyak sel
enteroendokrin. Lamina propria ditempati oleh suatu massa jaringan limfoid yang
banyak nodulus limfatikus memenuhi sekeliling dindingnya, serupa dengan yang
ada pada tonsila palatina. Muskularis mukosa biasanya tidak sempurna. Submukosa
tebal dan mengandung pumbuluh darah dan saraf, dan berupa jaringan ikat longgar
tanpa kelenjar dan terdapat banyak sebukan limfosit yang berasal dari lamina
propria. Tunika muskularisnya tipis tetapi masih memperlihatkan kedua lapisan.
Tunika serosa identik dengan yang meliputi usus lainnya.12,13,14

7
Apendiks yang muncul dari ujung buntu sekum. Dindingnya mempunyai semua
lapisan khas dinding usus halus, namun menebal oleh akumulasi jaringan limfoid
yang membentuk lapis hampir utuh terdiri atas limfonoduli besar dan kecil.
Jaringan limfatik appendiks, seperti halnya pada tonsila, sering menampakkan
perubahan radang menahun. Lumen kecil appendiks mempunyai garis batas
segitiga pada potongan melintang dan sering dipenuhi sel-sel mati dan debris. Sulit
untuk membedakan struktur normal appendiks dari keadaan patologik umum pada
organ rudimenter ini. Umumnya tidak ada vili. Kripti lieberkuhn berbentuk tidak
teratur dan sebagian besar terbenam dalam jaringan limfoid dibawahnya. Epitel
kelenjar hanya mengandung beberapa sel goblet dan terutama terdiri atas sel-sel
kolumnar dengan brush border. Zona sel-sel aktif secara mitotik di dalam kriptus
lebih pendek daripada usus halus. Sel enteroendokrin dan sel paneth secara tetap
ditemukan pada bagian kriptus. Yang terakhir ini lebih banyak daripada kriptus
usus halus dan dapat ditemukan 5 sampai 10 buah dalam satu kelenjar. Muskularis
mukosa kurang berkembang dan submukosa adalah lapis yang relatif tebal dengan
pembuluh darah, saraf, dan kadang-kadang lobul jaringan lemak. Muskularis
eksterna berkurang tebalnya, namun kedua lapisnya masih dapat dikenali.
Serosanya sama seperti yang menutupi usus bagian lainnya.13

2.1.2. Fisiologi
Apendiks menghasilkan lendir 1-2ml per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan
ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di
muara apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis apendisitis.
Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid
tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA.
Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun
demikian, pengangkatan apendik tidak memengaruhi system imun tubuh karena
jumlah jaringan limfe di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di
saluran cerna dan di seluruh tubuh. Istilah usus buntu yang dikenal di masyarakat
awam adalah kurang tepat karena usus yang buntu sebenarnya adalah sekum.
Apendiks diperkirakan ikut serta dalam sistem imun sekretorik di saluran

8
pencernaan, namun pengangkatan apendiks tidak menimbulkan defek fungsi sistem
imun yang jelas.10,15,16

2.2 Apendisitis
2.2.1 Definisi
Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing
(apendiks). Infeksi ini bisa mengakibatkan pernanahan, bila infeksi bertambah
parah, apendiks itu bisa pecah. Apendiks merupakan saluran usus yang ujungnya
buntu dan menonjol dari bagian awal usus besar atau sekum (cecum). Apendisitis
akut adalah peradangan dari apendiks yaitu organ seperti kantung yang tak
berfungsi pada bagian inferior dari caecum dan merupakan penyebab paling umum
inflamasi akut pada kuadran kanan bawah rongga abdomen serta penyebab paling
umum untuk bedah abdomen darurat. Pada perjalanan penyakitnya, apendisitis akut
dapat mengalami komplikasi berupa perforasi. Untuk apendisitis kronik diagnosis
baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya riwayat nyeri perut kanan bawah lebih
dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara makroskopis dan mikroskopis.
Sedangkan apendisitis rekurent merupakan apendisitis yang memiliki riwayat
serangan nyeri berulang di perut kanan bawah yang medorong dilakukannya
apendiktomi, dan hasil patologi menunjukkan peradangan akut.15,16

2.2.2 Epidemiologi
Insiden apendisitis di negara maju lebih tinggi dari pada di negara berkembang.
Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu
tahun jarang terjadi. Insiden tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun. Insidens
pada pria dengan perbandingan 1,4 lebih banyak dari pada wanita. Penelitian
Omran et al (2003) di Kanada pada 65.675 penderita apendisitis didapat 38.143
orang (58%) laki-laki dan 27.532 orang (42%) perempuan. Penelitian Khanal
(2004) di Rumah Sakit Tribhuvan Nepal pada 99 penderita apendisitis didapat 76
orang (76,8%) laki-laki dan 23 orang (23,2%) perempuan, serta kelompok umur 15-
24 tahun 41 orang (41,4%), 25-34 tahun 38 orang (38,4%), 35-44 tahun 15 orang
(15,2%), 45-54 tahun 3 orang (3,0%), 55-64 tahun 1 orang (1,0%), dan 65-74 tahun
1 orang (1,0%).11

9
Penelitian Dombal (1994) di Amerika Serikat terjadi penurunan kasus
apendisitis dari 100 menjadi 52 per 100.000 penduduk periode tahun 1975-1991.
Penelitian Walker (1995) di Afrika Selatan terjadi peningkatan kasus apendisitis
dari 8,2 menjadi 9,5 per 100.000 penduduk periode tahun 1987-1994. Penelitian
Bisset (1997) di Skotlandia terjadi penurunan kasus apendisitis dari 19,7 menjadi
9,6 per 10.000 penduduk periode tahun 1973-1993.36 Penelitian Ballester et al
(2003) di Spanyol terjadi peningkatan kasus appendicitis dari 11,7 menjadi 13,2 per
10.000 penduduk periode tahun 1998-2003.7

Jika pada keadaan apendisitis akut terjadi perforasi. Hal ini akan sangat
berbahaya. Insidens perforasi pada penderita di atas usia 60 tahun dilaporkan sekitar
60%. Faktor yang mempengaruhi tingginya insidens perforasi pada orang tua
adalah gejalanya yang samar, keterlambatan berobat, adanya perubahan anatomi
apendiks berupa penyempitan lumen, dan arterosklerosis. Insidens tinggi pada anak
disebabkan oleh dinding apendiks yang masih tipis, anak kurang komunikatif
sehingga memperpanjang waktu diagnosis, dan proses pendidingan kurang
sempurna akibat perforasi yang berlangsung cepat dan omentum anak belum
berkembang.16

2.2.3 Klasifikasi
a. Apendisitis Akut Sederhana (Cataral Appendicitis)
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan submukosa disebabkan obstruksi.
Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi peningkatan
tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa apendiks jadi
menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah
umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise, dan demam ringan. Pada cataral
appendicitisterjadi leukositosis dan apendiks terlihat normal, hiperemia, edema,
dan tidak ada eksudat serosa.15,16

b. Apendisitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis)


Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan
terbendungnya aliran vena pada dinding apendiks dan menimbulkan trombosis.

10
Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang
ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding apendiks menimbulkan infeksi serosa
sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada apendiks
dan mesoapendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat
fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan,
nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan
pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan
tanda-tanda peritonitis umum.15,16

c. Apendisitis Akut Gangrenosa


Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu
sehingga terjadi infrak dan ganggren. Selain didapatkan tanda-tanda supuratif,
apendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding apendiks berwarna
ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman. Pada apendisitis akut gangrenosa
terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen.15,16

d. Apendisitis Infiltrat
Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang penyebarannya dapat
dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga
membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang
lainnya.15,16

e. Apendisitis Abses
Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus),
biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal, subcaecal, dan
pelvic.15,16

f. Apendisitis Perforasi
Appendisitis perforasi adalah pecahnya appendiks yang sudah ganggren yang
menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum.
Pada dinding appendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan
nekrotik.15,16

11
g. Apendisitis Kronis
Apendisitis kronis merupakan lanjutan apendisitis akut supuratif sebagai proses
radang yang persisten akibat infeksi mikroorganisme dengan virulensi rendah,
khususnya obstruksi parsial terhadap lumen. Diagnosa apendisitis kronis baru dapat
ditegakkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah lebih
dari dua minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik.
Secara histologis, dinding apendiks menebal, submukosa dan muskularis propia
mengalami fibrosis. Terdapat infiltrasi sel radang limfosit dan eosinofil pada
submukosa, muskularis propia, dan serosa. Pembuluh darah serosa tampak
dilatasi.15,16

2.2.4 Etiologi
Etiologi dari apendisitis akut berifat multi faktorial. Berbagai hal berperan
sebagai faktor pencetusnya diantaranya sebagai berikut15,16
a. Peranan Lingkungan, Diet, dan Higiene
Kebiasaan makan makanan rendah serat serta konstipasi berperan terhadap
kejadian apendisitis. Konstipasi akan meningkatkan tekanan intrasekal yang
berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya
pertumbuhan flora normal kolon. Diet menjadi peranan utama pada
pembentukan sifat fese yang mempengaruhi pembentukan fecalit. Diet
tinggi serat menghasilkan konstitesi fese lebih lembek, sedangkan diet
rendah serat dan menghasilkan fese dengan konstitensi keras. Semuanya ini
memudahkan timbulnya apendisitis.15,16
b. Peranan Obstruksi
Obstruksi lumen merupakan faktor penyebab dominan dalam apendisitis
akut. Penyebab obstruksi antara lain timbunan fecalit, hiperplasia jaringan
limfoid. Fecalit adalah penyebab obstruksi lumen apendiks pada 20% anak
appendisitis. Fecalit terdapat pada 40% kasus apendisitis akut, 65% pada
apendisitis gangren dan 90% pada apendisitis perforasi. Jaringan limfoid
pada bagian submukosa apendiks yang mengalami edema dan hipertrofi
sebagai respon infeksi virus di sistem gastrointestinal atau sistem

12
respiratorius, dapat menyebabkan obstruksi lumen apendiks. Megakolon
congenital yaitu obtruksi pada kolon bagian distal yang diteruskan ke dalam
lumen apendiks merupakan salah satu alasan terjadinya apendisitis pada
neonatus.15,16
c. Peranan Flora Bakterial
Ditemukannya beragam bakteri aerob dan anaerob pada kasus apendisitis
menunjukkan bakteri yang terlibat dalam apendisitis sama dengan penyakit
kolon lainnya. Kultur bakteri dari cairan peritoneal biasanya negatif pada
tahap appendisitis akut tanpa komplikasi. Namun, pada apendisitis
supurativa, banyak ditemukan bakteri aerob terutama Escheria coli, dan saat
gejala semakin berat banyak organisme seperti Proteus, Klebsiella,
Streptococcus dan Pseudomonas dapat ditemukan. Sebagian besar penderita
apendisitis ganrenosa atau perforasi banyak ditemukan bakteri anaerob
terutama Bacteroides fragilis. Penyebab lain yang mungkin adalah erosi
mukosa apendiks karena parasit seperti Entamuba histolitica dan benda
asing mungkin tersangkut di apendiks dalam jangka waktu lama tanpa
menimbulkan gejala, namun dapat menimbulkan risiko terjadinya
perforasi.15,16
Sedangkan apendisitis perforasi disebabkan adanya fekalit di dalam lumen,
umur (orang tua atau anak kecil), dan keterlambatan diagnosis, merupakan
faktor yang berperan dalam terjadinya perforasi appendiks. Abses rongga
peritoneum juga dapat terjadi bila pus yang menyebar terlokalisasi di suatu
tempat, paling sering di rongga pelvis dan subdiafragma. Adanya massa
intraabdomen yang nyeri disertai demam harus dicurigai sebagai abses.
Ultrasonofgrafi dapat membantu mendeteksi adanya kantong nanah. Abses
subdiafragma harus dibedakan dengan abses hati, pneumonia basal, atau
efusi pleura. Ultrasonofgrafi dan foto rontgen dada akan membantu
membedakannya.15, 16

13
2.2.5 Patofisiologi dan Patogenesis
Apendisitis akut pada dasarnya adalah suatu proses obstuksi (hyperplasia
Lnn.submucosa, fecolith, benda asing, strieture, tumor). Kemudian disusul dengan
proses infeksi sehingga gejalanya adalah mula-mula suatu obstruksi ileus ringan
yakni: Kolik, mual, muntah, anoreksia dan sebagainya yang kemudian mereda
karena sudah jadi paralitik ileus. Kemudian disusul oleh gejala peradangan yakni:
nyeri tekan, defans muscular, subfebril dan sebagainya.15, 16

Faktor obstruksi pada anak-anak terutama hyperplasia dari kelenjar limfa


submukosal.Pada orang tua adalah fecolit, dan sedikit corpus alineum, strictura dan
tumor. Tumor pada orang muda adalah cacinoid dan pada orang tua adalah Ca
caecum. Fecolith diduga terbentuk bila ada serabut sayuran terperangkap masuk ke
dalam apendiks, sehingga keluar mukus berlebihan.15, 16

Cairan mukus ini mengandung banyak calcium sehingga bahan tersebut


mengeras dan dapat menimbulkan obstruksi dan peregangan lumen apendiks,
hambatan venous return dan aliran limfa yang berakibat edema apendiks dimulai
dengan diapedesis dan gambaran ulkus mukosa. Hal ini merupakan tahap dari akut
fokal apendisitis.karena apendiks dan usus halus mempunyai tekanan intra luminal
dengan akibat obstruksi vena dan thrombosis sehingga terjadi edema dan iskemik
apendiks. Invasi bakteri malalui dinding apendiks. Fase ini disebut akut supuratif
apendisitis. Lapisan serosa apendiks berhubungan dengan peritoneum parictalis.15,
16

Nyeri somatis timbul dari peritoneum karena terjadi kontak dengan apendiks
yang meradang, dan ini tampak sebagai perubahan yang klasik dalam bentuk nyeri
yang terlokalisir di kwadran kanan bawah perut. Seterusnya proses patologis
mungkin mengenal sistim arterial apendiks. Apendiks dengan vaskularisasi yang
sangat kurang akan mengalami gangren dan terlihat. Sekresi yang terus menerus
dari mukosa apendiks yang masih baik serta peningkatan intra luminal berakibat
perforasi melalui gangrenous infark. Timbul perforasi apendisitis.15, 16

14
Jika apendisitis tidak terjadi secara progressive, terbentuk perlekatan pada
lubang usus, peritoneum dan omentum yang mengelilingi apendiks. Kecepatan
rentetan peristiwa tersebut tentunya tergantung pada: virulensi mikroorganisme,
daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks, omentum, usus yang lain,
peritoneum parietale bahkan organ lain seperti buli-buli, uterus, tuba, mencoba
membatasi dan melokalisir proses keradangan ini. Bila proses melokalisir ini belum
dan sudah terjadi perforasi maka timbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir
sudah selesai tetapi belum cukup kuat menahan tarikan/tegangan dalam cavum
abdominalis, karena itu pasien harus benar-benar bedrest.15, 16

Kadang-kadang apendisitis akut terjadi tanpa adanya obstruksi, ia terjadi karena


adanya penyebaran infeksi dari organ lain secara hematogen ke apendiks. Terjadi
multiple abses kecil pada apendiks dan pembesaran mesentrica regional. Karena
terjadi tanpa obstruksi maka gambaran klinis tentunya berbeda dengan gejala
obstruksi tersebut diatas.15, 16

2.2.6 Gejala klinis


Apendisitis memiliki gejala kombinasi yang khas, yang terdiri dari: Mual,
muntah dan nyeri yang hebat di perut kanan bagian bawah. Nyeri bisa secara
mendadak dimulai diperut sebelah atas atau di sekitar pusar, lalu timbul mual dan
muntah. Setelah beberapa jam, rasa mual hilang dan nyeri berpindah ke perut kanan
bagian bawah. Jika dokter menekan daerah ini, penderita merasakan nyeri tumpul
dan jika penekanan ini dilepaskan, nyeri bisa bertambah tajam.15, 16
Gejala apendisitis akut pada anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya
rewel dan tidak mau makan, Demam bisa mencapai 37,8 - 38,8° Celsius. Pada bayi
dan anak-anak, nyerinya bersifat menyeluruh, di semua bagian perut. Anak sering
tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Dalam beberapa jam kemudian akan timbul
muntah-muntah dan anak menjadi lemah dan letargik. Karena gejala yang tidak
khas tadi, sering apendisitis diketahui setelah perforasi. Pada bayi, 80-90%
apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi.16

15
Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit di diagnosis sehingga tidak
ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Misalnya, pada orang berusia
lanjut yang gejalanya sering samar-samar saja sehingga lebih dari separuh penderita
baru dapat didiagnosis setelah perforasi.16

Pada kehamilan, keluhaan utama apendisitis adalah nyeri perut, mual, dan
muntah. Yang perlu diperhatikan ialah, pada kehamilan trimester pertama sering
juga terjadi mual dan muntah. Pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks
terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah
tetapi lebih ke regio lumbal kanan.16

Timbulnya perforasi akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai


dengan demam tinggi, nyeri makin hebat meliputi seluruh perut, dan perut menjadi
tegang dan kembang. Nyeri tekan dan defans muskuler terjadi di seluruh perut,
mungkin disertai dengan pungtum maksimum di regio iliaka kanan. Peristalsis usus
dapat menurun sampai menghilang akibat adanya ileus paralitik. Abses rongga
peritoneum dapat terjadi bila pus yang menyebar terlokalisasi di suatu tempat,
paling sering di rongga pelvis dan sub diafragma. Adanya massa intraabdomen
yang nyeri disertai demam harus dicurigai sebagai abses. Ultrasonografi dapat
membantu mendeteksi adanya kantong nanah. Abses subdiafragma harus
dibedakan dengan abses hati, pneumonia basal, atau efusi pleura. Ultrasonografi
dan foto rontgen dada akan membantu membedakannya.16

16
Tabel 2.1 Hubungan patofisiologi dan manifestasi klinis appendisitis

Sumber : Riwanto, Ign. Usus Halus, Appendiks, Kolon dan Rektum dalam Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2, editor
R.Sjamsuhidajat, Wim de Jong dan John Pieter. Jakarta : EGC. 200

2.2.7 Diagnosis Apendisitis


2.2.7.1 Anamnesis
a. Nyeri perut
Gejala khas dari keluhan utama ini adalah, nyeri awal di perut bagian tengah atau
epigastrium dan intensitasnya meningkat pada 24 jam pertama, berpindah dan
menetap di kuadran kanan bawah tepatnya di titik McBurney. Nyeri pertama kali
merupakan nyeri alih akibat inervasi visceral dari usus tengah yang terjadi
karena hiperperistaltik akibat obstruksi, hal ini dapat terjadi pada seluruh saluran
cerna, sehingga nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut. Nyeri juga timbul
karena kontraksi apendiks, distensi lumen apendiks ataupun karena tarikan
dinding apendiks meradang. Nyeri lokal di perut kanan bawah disebabkan oleh
peradangan sekitar 4-6 jam dan iritasi langsung peritoneum parietalis akibat
peradangan lanjut.Biasanya penderita dapat menunjukkan letak nyeri, karena

17
bersifat somatik, lebih tajam, terlokalisir, dan lebih hebat bila batuk ataupun
berjalan kaki.16
b. Mual dan muntah
Muntah terjadi akibat rangsangan terhadap nervus vagus.Rasa mual, muntah dan
anoreksia terjadi pada 50-60 % kasus dan terjadi setelah nyeri muncul. Hampir
75% penderita disertai dengan muntah, namun jarang berlanjut menjadi berat
dan kebanyakan muntah hanya sekali atau dua kali. Muntah yang berat mungkin
menandakan onset awal peritonitis generalisata akibat perforasi apendiks.
Sebaliknya muntah jarang dijumpai pada apendiks non perforasi.16
c. Obstipasi
Obstipasi biasanya terjadi karena penderita takut mengejan.Keluhan obstipasi
biasanya muncul sebelum rasa nyeri dan beberapa penderita sebaliknya dapat
mengalami diare. Terkadang, tidak dirasakan adanya nyeri di daerah
epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan
obat pencahar. Tindakan ini dianggap berbahaya karena bisa mempermudah
terjadinya perforasi.16
d. Panas (infeksi akut)
Terkadang apendisitis juga disertai dengan demam derajat rendah. Suhu tubuh
sedikit naik, kira-kira 37,2-38 oC, bila suhu tubuh diatas 38 oC dapat menjadi
pertanda perforasi.16

2.2.7.2 Pemeriksaan Fisik15


1. Inspeksi
Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan
memegang perut.Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak
ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita
dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat
pada massa atau abses apendikuler.

18
2. Auskultasi
Didapat peristaltik normal. Auskultasi tidak banyak membantu dalam
menegakkan diagnosis apendisitis, tetapi kalau sudah terjadi peritonitis
maka tidak terdengar bunyi peristaltik usus.
3. Palpasi
Di daerah titik Mc. Burney didapatkan tanda-tanda peritonitis lokal, yaitu:
a. Nyeri tekan di Mc. Burney: Nyeri tekan perut kanan bawah
merupakan kunci diagnosis dari apendisitis.
b. Nyeri lepas : Pada perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa
nyeri, serta saat tekanan dilepas juga akan terasa nyeri
c. Defans muscularlokal: Defends muscular menunjukkan adanya
rangsangan peritoneum parietal. Pada appendiks letak
retroperitoneal, defans muscular mungkin tidak ada, yang ada nyeri
pinggang.
d. Rovsing Sign : Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan
nyeri pada perut kanan
e. Blumberg Sign: Apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga
terasa nyeri pada perut kanan.
f. Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam,
berjalan, batuk, mengedan.
4. Perkusi : Saat dilakukan perkusi biasa pasien merasa nyeri
5. Rectal Touche
Merupakan kunci diagnosis pada apendisitis pelvika. Jika saat dilakukan
colok dubur terasa nyeri, kemungkinan apendiks yang meradang terletak
didaerah pelvis.
6. Uji psoas
Dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul
kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan.
Nyeri akan terasa bila apendiks yang meradang menempel di m. psoas
mayor.

19
f. Uji obturator
Dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi
terlentang, nyeri akan terasa bila apendiks yang meradang kontak dengan
m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil.

2.2.7.3 Pemeriksaan Penunjang15


a. Pemeriksaan Laboratorium
Jumlah leukosit berkisar antara 10.000 dan 16.000/mm dengan pergeseran ke
kiri (lebih dari 75 persen neutrofil) pada 75 persen kasus yang ada.96 persen
diantaranya leukositosis atau hitung jenis sel darah putih yang abnormal.Tetapi
beberapa pasien dengan apendisitis memiliki jumlah leukosit yang normal.Pada
urinalisis tampak sejumlah kecil eritrosit atau leukosit.
Beberapa penulis menekankan bahwa leukosit darah polimorfik merupakan
fitur penting dalm mendiagnosis apendisitis akut. Leukositosis ringan, mulai dari
10.000 – 20.000 sel/mm3 dengan peningkatan jumlah neutrofil, biasanya terdapat
pada pasien apendisitis akut. Namun, peningkatan jumlah leukosit darah berbeda
pada setiap pasien apendisitis. Apabila jumlah leukosit darah meningkat >20.000
sel/mm3 menyebabkan kemungkinan terjadinya komplikasi berupa perforasi dan
gangren.17

b. Foto sinar-X
Tak tampak kelainan spesifik pada foto polos abdomen. Barium enema
mungkin dapat untuk diagnosis tetapi tundakan ini dicadangkan untuk kasus
yangmeragukan.15

c. Apendikogram
Apendikogram dilakukan dengan cara pemberian kontras BaSO4 serbuk
halus yang diencerkan dengan perbandingan 1:3 secara peroral dan diminum
sebelum pemeriksaan kurang lebih 8-10 jam untuk anak-anak atau 10-12 jam
untuk dewasa, hasil apendikogram diexpertise oleh dokter spesialis radiologi.

20
d. Skor Alvarado
Skor Alvarado telah banyak dikemukakan cara untuk menurunkan insidensi
apendektomi negatif, salah satunya adalah dengan instrumen skor Alvarado.
Alfredo Alvarado tahun 1986 membuat sistem skor yang didasarkanpada tiga
gejala, tiga tanda dan dua temuan laboratorium. Klasifikasi ini berdasarkan pada
temuan pra operasi dan untuk menilai derajat keparahan apendisitis

Keterangan:
a) Dinyatakan apendisitis akut bila > 7 poin
b) Modified Alvarado score:
2 – 4 dipertimbangkan apendisitis akut (observasi)
5 – 6 mungkin apendisitis, tidak perlu operasi (antibiotik)
7 – 9 apendisitis akut perlu pembedahan (operasi)

2.2.7.4 Karakteristik penderita apendisitis


Insiden tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun.Insiden
pada laki-laki dan perempuan umunya sebanding, kecuali pada umur 20- 30 tahun,
insinden lelaki lebih tinggi.15

21
2.2.7.5Diagnosa Banding
Penegakan diagnosis apendisitis yang klasik sekalipun sangat rumit, karena
banyak gangguan lain yang juga memberikan gaambaran klinis abdomen akut yang
harus dibedakan dari apendisitis akut. Beberapa keadaan ini adalah
a. Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual, muntah, dan diare mendahului rasa sakit.
Sakit perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistalsis sering
ditemukan. Panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan
apendisitis akut.
2. Limfadenitis mesenterika
Limfadenitis mesenterica yang biasa didahului oleh enteritis atau
gastroenteritis ditandai dengan nyeri perut, terutama kanan disertai
dengan perasaan mual, nyeri tekan perut samar, terutama kanan.
3. Kelainan ovulasi
Folikel ovarium yang pecah (ovulasi) mungkin memberikan nyeri perut
kanan bawah pada pertengahan siklus menstruasi. Ada anamnesis, nyeri
yang sama pernah timbul lebih dahulu. Tidak ada tanda radang dan nyeri
biasa hilang dalam waktu 24 jam, tetapi mungkin dapat mengganggu
selama dua hari.
4. Infeksi panggul
Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Suhu
biasanya lebih tinggi daripada apendisitis dan nyeri perut bagian bawah
perut lebih difus. Infeksi panggul pada wanita biasanya disertai
keputihan dan infeksi urin. Pada colok vagina, akan timbul nyeri hebat
di panggul jika uterus diayunkan. Pada gadis dapat dilakukan colok
dubur jika perlu untuk diagnosis banding.
5. Kehamilan diluar kandungan
Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak
menentu. Jika ada ruptur tuba atau abortus kehamilan di luar rahim
dengan pendarahan, akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah
pelvis dan mungkin terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan vaginal

22
didapatkan nyeri dan penonjolan rongga douglas dan pada kuldosentesis
didaptkan darah.
6. Endometrium eksterna
Endometrium di luar rahim akan memberikan keluhan nyeri di tempat
endometriosis berada, dan darah menstruasi terkumpul di tempat itu
karena tidak ada jalan keluar.
7. Urolitiasis pielum/ureter kanan
Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan
merupakan gambaran yang khas. Eritrosituria sering ditemukan. Foto
polos abdomen atau urografi intravena dapat memastikan penyakit
tersebut. Pielonefritis sering disertai dengan demam tinggi, menggigil,
nyeri kostovertebral disebelah kanan dan piuria.16, 18

2.2.7.6 Pengobatan apendisitis


Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satu-
satunya pilihan yang baik adalah apendektomi. Pada apendisitis tanpakomplikasi
biasanya tidak diperlukan pemberian antibiotik, kecuali pada apendisitis
gangrenosa atau apendisitis perforasi. Penundaan tindak bedah sambil memberikan
antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi.15
Apendektomi bisa dilakukan secara terbuka ataupun dengan cara laparskopi.
Bila apendektomi terbuka, insisi McBurney paling banyak dipilih oleh ahli
bedah.Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan observasi
terlebih dahulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan bila
dalam observasi masih terdapat keraguan. Bila tersedia laparoskop, tindakan
laparoskopi diagnostic pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan
dilakukan operasi atau tidak.15 Sedangkan pada apendisitis perforasi tindakan yang
dilakukan ialah perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian antibiotik untuk
kuman Gram negatif dan positif serta kuman anaerob, dan pemasangan pipa
nasogastrik perlu dilakukan sebelum pembedahan. Perlu dilakukan laparatomi
dengan insisi yang panjang, supaya dapat dilakukan pencucian rongga

23
peritoneumdari pus maupun pengeluaran fibrin yang adekuat secara mudah serta
pembersihan kantong nanah. Akhir-akhir ini mulai banyak dilaporkan pengelolaan
apendisitis perforasi secara laparoskopi apendektomi. Pada prosedur ini, rongga
abdomen dapat dibilas dengan mudah. Hasilnya dilaporkan tidak berbeda jauh
dibandingkan dengan laparatomi terbuka, tetapi keuntungannya adalah lama rawat
lebih pendek secara kosmetik lebih baik.16,17,18

2.3. Leukosit
Leukosit adalah sel darah yang mengandung inti, disebut juga sel darah putih.
Rata-rata jumlah leukosit dalam darah manusia normal adalah 5000-9000/mm3, bila
jumlahnya lebih dari 10.000/mm3, keadaan ini disebut leukositosis, bila kurang dari
5000/mm3 disebut leukopenia. Leukosit terdiri dari dua golongan utama, yaitu
agranular dan granular. Leukosit agranular mempunyai sitoplasma yang tampak
homogen, dan intinya berbentuk bulat atau berbentuk ginjal. Leukosit granular
mengandung granula spesifik (yang dalam keadaan hidup berupa tetesan setengah
cair) dalam sitoplasmanya dan mempunyai inti yang memperlihatkan banyak
variasi dalam bentuknya. Terdapat 2 jenis leukosit agranular yaitu, limfosit yang
terdiri dari sel-sel kecil dengan sitoplasma sedikit, dan monosit yang terdiri dari sel-
sel yang agak besar dan mengandung sitoplasma lebih banyak. Terdapat 3 jenis
leukosit granular yaitu neutrofil, basofil, dan asidofil (eosinofil).19

Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humoral organisme


terhadap zat-zat asingan. Leukosit dapat melakukan gerakan amuboid dan melalui
proses diapedesis leukosit dapat meninggalkan kapiler dengan menerobos antara
sel-sel endotel dan menembus kedalam jaringan penyambung. Jumlah leukosit per
mikroliter darah, pada orang dewasa normal adalah 5000-9000/mm3, waktu lahir
15000-25000/mm3, dan menjelang hari ke empat turun sampai 12000, pada usia 4
tahun sesuai jumlah normal.19

24
2.3.1 Jenis Sel Darah Putih
2.3.1.1 Granula
a. Neutrofil
Neutrofil (Polimorf), sel ini berdiameter 12–15 µm memilliki inti yang khas
padat terdiri atas sitoplasma pucat di antara 2 hingga 5 lobus dengan rangka
tidak teratur dan mengandung banyak granula merah jambu (azuropilik)
atau merah lembayung. Granula terbagi menjadi granula primer yang
muncul pada stadium promielosit, dan sekunder yang muncul pada stadium
mielosit dan terbanyak pada neutrofil matang. Kedua granula berasal dari
lisosom, yang primer mengandung mieloperoksidase, fosfatase asam dan
hidrolase asam lain, yang sekunder mengandung fosfatase lindi dan
lisosom.20

b. Eosinofil
Sel ini serupa dengan neutrofil kecuali granula sitoplasmanya lebih kasar
dan berwarna lebih merah gelap (karena mengandung protein basa) dan
jarang terdapat lebih dari tiga lobus inti.Mielosit eosinofil dapat dikenali
tetapi stadium sebelumnya tidak dapat dibedakan dari prekursor
neutrofil.Waktu perjalanan dalam darah untuk eosinofil lebih lama daripada
untuk neutropil. Eosinofil memasuki eksudat peradangan dan nyata
memainkan peranan istimewa pada respon alergi, pada pertahanan melawan
parasit dan dalam pengeluaran fibrin yang terbentuk selama peradangan.20

c. Basofil
Basofil hanya terlihat kadang-kadang dalam darah tepi normal. Diameter
basofil lebih kecil dari neutrofil yaitu sekitar 9-10 µm. Jumlahnya 1% dari
total sel darah putih. Basofil memiliki banyak granula sitoplasma yang
menutupi inti dan mengandung heparin dan histamin.Dalam jaringan,
basofil menjadi “mast cells”.Basofil memiliki tempat-tempat perlekatan
IgG dan degranulasinya dikaitan dengan pelepasan histamin. Fungsinya
berperan dalam respon alergi.20

25
2.3.1.2 Tidak Bergranula
a. Monosit
Rupa monosit bermacam-macam, dimana ia biasanya lebih besar daripada
leukosit darah tepi yaitu diameter 16-20 µm dan memiliki inti besar di
tengah oval atau berlekuk dengan kromatin mengelompok. Sitoplasma
yang melimpah berwarna biru pucat dan mengandung banyak vakuola
halus sehingga memberi rupa seperti kaca.Granula sitoplasma juga sering
ada. Prekursor monosit dalam sumsum tulang (monoblas dan promonosit)
sukar dibedakan dari mieloblas dan monosit.20
b. Limfosit
Sebagian besar limfosit yang terdapat dalam darah tepi merupakan sel
kecil yang berdiameter kecil dari 10µm. Intinya yang gelap berbentuk
bundar atau agak berlekuk dengan kelompok kromatin kasar dan tidak
berbatas tegas.Nukleoli normal terlihat.Sitoplasmanya berwarna biru-
langit dan dalam kebanyakan sel, terlihat seperti bingkai halus sekitar
inti.Kira-kira 10% limfosit yang beredar merupakan sel yang lebih besar
dengan diameter 12-16µm dengan sitoplasma yang banyak yang
mengandung sedikit granula azuropilik.Bentuk yang lebih besar ini
dipercaya telah dirangsang oleh antigen, misalnya virus atau protein
asing.20

2.3.2. Reaksi Inflamasi


Inflamasi adalah reaksi tubuh terhadap masuknya benda asing, invasi
mikroorganisma atau kerusakan jaringan. Dalam usaha pertama untuk
menghancurkan benda asing dan mikroorganisma serta membersihkan jaringan
yang rusak, maka tubuh akan mengerahkan elemen-elemen sistem imun ke tempat
masuknya benda asing dan mikroorganisma atau jaringan yang rusak.21

Fagositosis merupakan komponen penting pada inflamasi. Dalam proses


inflamasi ada 3 hal yang terjadi sebagai berikut:
i) Peningkatan peredaran darah ke tempat benda asing, mikroorganisma
atau jaringan yang rusak.

26
ii) Peninggian permeabilitas kapiler yang ditimbulkan oleh pengerutan
sel endotel. Hal tersebut memungkinkan molekul yang lebih besar
seperti antibodi dan fagosit bergerak ke luar pembuluh darah dan
sampai di tempat benda asing, mikroorganisme atau jaringan rusak.
iii) Peningkatan leukosit terjadi terutama apabila fagosit
polimorfonuklear dan makrofag dikerahkan dari sirkulasi dan
bergerak ke tempat benda asing, mikroorganisma atau jaringanyang
rusak. Hal tersebut dipermudah dengan pelepasan C3a dan C5a pada
aktivasi komplemen yang bersifat kemotaksis. Dalam proses tersebut
banyak leukosit dihancurkan. Kemudian makrofag lain yang
memasuki daerah tersebut akan mengakhiri inflamasi.21

Ketiga kejadian di atas disebut inflamasi. C3a dan C5a merupakan nafilatoksin
yang dapat melepaskan histamin melalui degranulasi mastosit dan basofil yang juga
mempunyai sifat biologik. Selain C3a dan C5a pada aktivasi komplemen dilepas
bahan-bahan lain yang berperanan pada inflamasi.21

Fagosit akhirnya memakan benda asing, mikroorganisma atau jaringan yang


rusak. Selama proses tersebut enzim lisosom dilepaskan oleh makrofag ke luar sel,
sehingga hal itu dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan sekitarnya. Jelas
bahawa sistem imun nonspesifik dan sistem imun spesifik bekerja sama dalam
usaha untuk mengembalikan keseimbangan badan dan bahawa dalam usaha
tersebut, hal-hal yang tidak menyenangkan untuk tubuh seperti panas, bengkak,
sakit dan kerusakan jaringan dapat terjadi. Sel polimorfonuklear lebih sering
ditemukan pada inflamasi akut, sedangkan proliferasi monosit ditemukan pada
inflamasi kronik.21

2.4 Hubungan Nilai Leukosit Dengan Apendisitis Akut

Pemeriksaan laboratorium merupakan alat bantu diagnosis yang masih


merupakan bagian penting untuk menilai awal keluhan nyeri kwadran kanan bawah
dalam menegakkan diagnosis apendisitis akut. Pada pasien dengan apendisitis akut,

27
70-90% hasil laboratorium nilai leukosit akan meningkat, walaupun hal ini bukan
hasil yang karakteristik. Penyakit infeksi pada pelvis terutama pada wanita akan
memberikan gambaran laborotorium yang terkadang sulit dibedakan dengan
apendisitis akut.22

Jumlah leukosit memberikan informasi berharga mengenai apendisitis. Telah


banyak penelitian yang melakukan penelitian mengenai manfaat hitung jumlah
leukosit dalam menegakkan diagnosis apendisitis. Penelitian Lateefdi Rumah Sakit
Allied Pakistan, menunjukan adanya peningkatan jumlahleukosit pada 79,6%
pasien apendisitis dan menyimpulkan bahwa jumlah leukosit merupakan kriteria
penting dalam diagnosis apendisitis. Penelitian yang dilakukan oleh Kamran di
Pakistan, menyimpulkan bahwa jumlah leukosit dapat membantu dokter dalam
mendiagnosis apendisitis. Penelitian yang dilakukan oleh Krishnandi Rumah Sakit
Umum Pusat Haji Adam Malik Medan, menunjukan terdapat leukositosis pada
73,7% pasien apendisitis.22

Pada pasien dengan keluhan dan pemeriksaan fisik yang karakteristik


apendisitis akut, akan ditemukan pada pemeriksaan darah adanya lekositosis
10.000-18.000/mm3. Menurut Raffensperger, jika jumlah lekosit lebih dari
18.000/mm3 maka umumnya sudah terjadi perforasi dan peritonitis.Jenis leukosit
yang paling berperan menjadi penanda adanya appendisitis akut adalah netrofil
segmen. Dalam keadaan normal, jumlah netrofil berkisar antara 50-65 % atau 2.5-
6.5 x10^3/mmk.22

2.5 Hubungan Apendisitis Akut dengan Umur dan Jenis Kelamin


Appendisitis akut memiliki hubungan yang erat dengan umur dan jenis kelamin.
Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur, tetapi umumnya terjadi pada dewasa
dan remaja muda, yaitu pada umur 10-30 tahun dan insiden tertinggi pada kelompok
umur 20-30 tahun.Berdasarkan pada penelitian yang dilakukan elyn pada tahun
2009 di RSCM, dimana umur dewasa lebih banyak ditemukan menderita
appendisitis akut dibandingkan anak anak dengan jumlah penderita sebanyak 414

28
orang dari 584 orang, sedangkan anak anak sebanyak 170 orang dengan rentang
umur tebanyak yaitu umur 21 – 30 tahun.23

Untuk jenis kelamin juga memiliki hubungan dengan kejadian appendisitis


akut. Berdasarkan penelitian yang juga dilakukan oleh elyn jenis kelamin terbanyak
yang menderita appendisits akut yaitu perempuan sebesar 409 orang dibandingkan
laki laki yaitu sebesar 373 orang. Apendisitis akut sama-sama dapat terjadi pada
laki-laki maupun perempuan, tetapi insidensi pada laki-laki umumnya lebih banyak
dari perempuan terutama pada usia 20-30 tahun (Sjamsuhidajat, 2010), hal ini juga
bisa dilihat pada penelitian Haider Kamran di Ayub Teaching Hospital Pakistan,
menunjukkan dari 100 pasien apendisitis akut, 58% adalah laki-laki dan 42% adalah
perempuan. Selain itu, penelitian dari Rafael Nunes Goulart di Rumah Sakit
Regional de Sao Jose Brazil menunjukkan bahwa 60,9% pasien apendisitis akut
adalah laki-laki. Tetapi, penelitian dari Anggi Patranita Nasution di RSU Dokter
Soedarso Pontianak menunjukkan bahwa dari 100 penderita apendisitis paling
banyak ditemukan pada perempuan yaitu sebanyak 54 orang ( 54%) dan laki-laki
sebanyak 46 orang (46%). Selain itu, penelitian dari Marisa di RSUD Tugurejo
Semarang menunjukkan bahwa apendisitis akut lebihbanyak pada perempuan yaitu
64,2%, sedangkan pada apendisitis perforasilebih sering pada laki-laki yaitu
55,4%.23

29
2.6 Kerangka Teori

Faktor Lingkungan, Faktor Obstruksi Faktor Flora


Diet dan Higene Bakterial

Bendungan Cairan dan Sekresi Appendiks

Peningkatan Tekanan Intraluminer dan Iskemik


Arteri Appendiks

Inflamasi & Infeksi


Appendiks

Nyeri Epigastrium / Mc Peningkatan Leukosit


Burney / seluruh perut

Appendisitis Appendisitis
akut perforasi

Gambar 2.2 Kerangka Teori

30
2.7 Kerangka Konsep

Jenis Kelamin
Appendisitis Akut Peningkatan Leukosit
dan perforasi
Usia

Gambar 2.3 Kerangka Konsep

31
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian


Jenis penelitian yang digunakana dalam penelitian ini adalah penelitian
observasional dengan jenis deskriptif retrospektif dimana dilakukan melaui data
rekam medis dari Instalasi Rekam Medis Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Manap
Kota Jambi.

3.2 Tempatdan Waktu Penelitian


3.2.1 Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Instalasi Rekam Medis RSUD Abdul
Manap Kota Jambi.
3.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian akan dilakukan pada bulan Maret 2017.

3.3 Subjek Penelitian


3.3.1 Populasi
Populasi penelitian ini adalah semua pasien dengan diagnosa Apendisitis
Akut dan Apendisitis Perforasi yang tercatat di Instalasi Rekam Medis RSUD
Abdul Manap Kota Jambi periode1 januari 2014–31 Desember 2015.
3.3.2 Sampel Penelitian dan Besar Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah semua pasien dengan diagnosa
apendisitis akut dan apendisitis perforasi di RSUD Abdul Manap Kota Jambi
priode 1 Januari 2014 – 31 Desember 2015 yang memenuhi criteria inklusi
dan eksklusi.
3.3.3 Metode Pengambilan Sampel
Metode pengambilan sampel menggunakan teknik“total sampling”yaitu
keseluruhan dari anggota populasi merupakan responden atau sample
penelitian.

32
3.4 Kriteria Inklusi dan Ekslusi
3.4.1 Kriteria Inklusi
1. Pasien dengan diagnosis Appendisitis Akut oleh dokter Spesialis
Bedah.
2. Pasien dengan diagnosis Spendisitis Perforasi oleh dokter
Spesialis Bedah.
3. Pasien yang dirawat inap di bangsal bedah dilihat dari data
rekam medik RSUD Abdul Manap Kota Jambi periode 1 januari
2014 – 31 Desember 2015.
3.4.2 Kriteria Ekslusi
1. Pasien Apendisitis akut dan apendisitis perforasi dengan
diagnosis penyakit lain.
2. Pasien dengan data rekam medis yang tidak lengkap

33
3.5 Definisi Operasional
Variabel DefinisiOperasional Cara Alat HasilUkur Skala
Ukur Ukur Ukur
Appendisitis Akut Peradangan akibat infeksi Melihat data Data 1. Ya Nominal
pada usus buntu atau umbai rekam medis rekam 2. Tidak
cacing (apendiks) di RSUD medic
Abdul Manap Kota Jambi
Apendisitis Pasien yang telah didiagnosis Melihat data Data 1. Ya Nominal
Perforasi menderita apendisitis rekam medis rekam 2. Tidak
perforasi dan pemeriksaan medik
jumlah leukosit kurang dari
24 jam pertama oleh dokter
yang tercatat di rekam medis.

Umur Lamanya responden hidup Melihat data Data 1. 0-10 tahun Ordinal
dalam tahun sampai saat rekam medis rekam 2. 11-20 tahun
dilakukan penelitian. medis 3. 21-30 tahun
4. 31-40 tahun
5. > 50 tahun
Jenis kelamin Istilah yang membedakan Melihat data Data 1.Laki-laki Nominal
antara laki-laki dan rekam medis rekam 2.Perempuan
perempuan secara biologis. medis

Jumlah Leukosit Jumlah leukosit pada darah Melihat data Data 1.Kadar Ordinal
pasien yang mengalami rekam medis rekam leukosit>
appendicitis akut medis 10.000/mm3
(leukositosis).
2.Kadar leukosit
5000-9000/mm3.
(normal)
3. Kadar
Leukosit kurang
dari 5000 mm3
(leukopenia)

34
3.6 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar
observasi yang dibuat oleh peneliti untuk mempermudah dalam pengumpulan data
yang diambil di rekam medis RSUD Abdul Manap Kota Jambi.

3.7 Metode Pengumpulan Data


Data yang digunakan pada peneltian ini berupa data sekunder yang didapat
dari rekam medis di bagian bedah RSUD Abdul Manap. Sebelum pengambilan
data,peneliti menentukan populasi subjek penelitian yaitu semua pasien yang
didiagnosis apendisitis akut dan apendisitis perforasi oleh dokter Spesialis Bedah
dan tercantum dalam data rekam medis pasien. Lalu semua data pasien yang
didiagnosisa apendisitis akut dan apendisitis perforasi tersebut yang memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan oleh penelitian akan diambil
sebagai sampel penelitian yang akan diperiksa.

3.8 Pengolahan dan Analisis Data


3.8.1 Pengolahan Data
Data yang telah diperoleh dari proses pengumpulan data, selanjutnya
diteliti ulang dan diperiksa ketepatan dan kelengkapannya. Kemudian data
tersebut dilakukan pengkodean untuk mempermudah dalam pengolahan,
dimana data yang diperoleh diklasifikasikan kedalam skor numerik atau
kategorik dan kemudian diberi kode-kode yang telah disepakati. Data tersebut
kemudian dilakukan pengoreksian kembali untuk melihat kemungkinan-
kemungkinan adanya kesalahan kode, ketidaklengkapan atau sebagainya.
Kemudian dilakukan analisis data.

3.8.2 Analisis Data


Pada penelitian ini analisis data yang digunakan adalah analisis data
univariat. Tujuan dari analisis univariat untuk mendeskripsikan karakteristik
setiap variable penelitian. Analisis ini dimulai dengan perhitungan distribusi,
frekuensi dan persentase dari tiap variabel. Kemudian hasil disajikan dalam
bentuk table maupun grafik dan dinarasikan.

35
3.9 Etika Penelitian
Sebelum proses pengambilan data ke RSUD Abdul Manap Kota Jambi,
sebelumnya peneliti telah membuat surat permohononan perizinan pengambilan
data dari Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Jambi yang ditujukan untuk
instalasi rekam medis bagian bedah RSUD Abdul Manap sebagai syarat izin
penelitian. Selain itu dalam publikasi data penelitian, peneliti menjaga kerahasiaan
identitas sampel penelitian dengan menggunakan kode inisial yang nantinya akan
terlampir pada tabel data hasil penelitian.

3.10 Keterbatasan Penelitian


Pada pelaksanaan penelitian, kualitas data yang diperoleh sangat tergantung
dari data yang tertera direkam medis. Lalu dikarenakan keterbatasan waktu dan
kemampuan, luas sampel yang diambil belum mencakup data terbaru pada tahun
2016.

3.11 Alur Penelitian

Persetujuan penelitian dari kampus

Populasi penderita apendisitis akut dan apendisitis perforasi yang


tercatat pada data rekam medis di Intalasi Rekam Medis RSUD
Raden Mattaher

Kriteria inklusi dan kriteria eksklusi penelitian

Pengumpulan data dengan melihat data rekam medis

Pengolahan data dan analisis data

Kesimpulan

Gambar 3.1 Alur Penelitian

36
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan rancangan penelitian


retrospektif, dan dilaksanakan di instalasi Rekam Medis Rumah Sakit Umum
Daerah Abdul Manap Kota Jambi pada bulan Februari 2017. Data diperoleh dari
rekam medis pasien apendisitis akut dan apendisitis perforasi selama januari 2014
– Desember 2015 di RSUD Abdul Manap Kota Jambi. Kriteria inklusi antara lain
pasien dengan diagnosis apendisitis akut dan apendisitis perforasi, mempunyai data
rekam medis yang lengkap dengan hasil laboratorium leukosit darah pre operasi.
Kriteria eksklusinya adalah Pasien Apendisitis akut dan apendisitis perforasi
dengan diagnosis penyakit lain, tidak terdapat data yang lengkap mengenai
pemeriksaan laboratorium leukosit darah pre operasi. Besar sampel yang
didapatkan sebesar 93 sampel yang terdiri dari 61 pasien apendisitis akut dan 32
pasien apendisitis perforasi.

4.1.1 Analisis Univariat

4.1.1.1 Distribusi Penyakit Apendisitis Akut dan Apendisitis Perforasi

Tabel 4.1 Distribusi Penyakit Apendisitis di RSUD Raden Mattaher Jambi

Apendisitis Frekuensi Persentase


Apendisitis Akut 64 68,81%
Apendisitis Perforasi 29 31,19%
Total 93 100%

Berdasarkan tabel diatas didapatkan pasien yang terdiagnosis apendisitis akut


sebanyak 64 (68,81%) pasien dan pasien yang terdiagnosis apendisitis perforasi
sebanyak 29 (31,18) pasien.

37
4.1.1.2 Jenis Kelamin

Tabel 4.2 Distribusi frekuensi berdasarkan jenis kelamin pada apendisitis akut dan
apendisitis perforasi

Jenis Kelamin Total


Laki-laki Perempuan
Apendisitis Akut Jumlah 28 36 64
Persentase 43,8% 56,2% 100 %
Apendisitis Perforasi Jumlah 17 12 29
Persentase 58,6% 41,4% 100%
Total Jumlah 45 48 93
Persentase 48,4% 51,6% 100%

Gambar 4.1 Distribusi frekuensi berdasarkan jenis kelamin pada apendisitis akut
dan apendisitis perforasi

Berdasarkan tabel diatas, pasien yang terdiagnosis apendisitis akut berjenis


kelamin laki-laki sebanyak 28 (43,8%) pasien dan yang berjenis kelamin
perempuan 36 (56,2%) pasien. Sedangkan pasien yang terdiagnosis apendisitis
perforasi berjenis kelamin laki-laki sebanyak 17 (58,6%) pasien dan berjenis
kelamin perempuan sebanyak 12 (41,4%) pasien.

38
4.1.1.2 Usia

Tabel 4.3 Distribusi frekuensi berdasarkan umur pada apendisitis akut dan
apendisitis perforasi

UMUR Total
0-10 10-20 20-30 30-40 >50
Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun
Apendisitis Akut 5 26 13 15 5 64
Jumlah
Persentase 7.8% 40.6% 20.3% 23.4% 7.8% 100%

Apendisitis Perforasi 3 5 10 5 6 29
Jumlah
Persentase 10.3% 17.2% 34.5% 17.2% 20.7% 100%

Total 8 31 23 20 11 93
Jumlah
Persentase 8.6% 33.3% 24.7% 21.5% 11.8% 100%

Gambar 4.2 Distribusi frekuensi berdasarkan umur pada apendisitis akut dan
apendisitis perforasi

39
Berdasarkan tabel diatas, pasien yang terdiagnois apendisitis akut berusia 0-10
tahun sebanyak 5 (7,8%) pasien, umur 10-20 tahun sebanyak 26 (40,6%)
pasien,umur 20-30 tahun sebanyak 13 (20,3%) pasien, umur 30-40 tahun sebanyak
15 (23,4%) pasien ,dan umur >50 tahun sebanyak 5 (7,8%) pasien.

Sedangkan pasien yang terdiagnosis apendisitis perforasi akut berusia 0-10


tahun sebanyak 3 (10,3%) pasien, umur 10-20 tahun sebanyak 5 (17,2%) pasien
umur 20-30 tahun sebanyak 10 (24,7%) pasien, umur 30-40 tahun, sebanyak 5
(17,2%) pasien dan umur >50 tahun sebanyak 11 (11,8%) pasien.

4.1.1.3 Gambaran Jumlah Leukosit Pada Pasien Apendisitis Akut di RSUD


Abdul Manap Jambi Periode 1 Januari 2014 Hingga 31 Desember 2015

Tabel 4.4 gambaran Distribusi frekuensi berdasarkan Jumlah Leukosit pada


apendisitis akut dan apendisitis perforasi

LEUKOSIT * AKUT DAN PERFORASI Crosstabulation

AKUT DAN PERFORASI Total

APPENDISITIS APPENDISITIS
AKUT PERFORASI

Count 29 27 56
LEUKOSITOSIS
% within LEUKOSIT 51.8% 48.2% 100.0%

Count 34 1 35
LEUKOSIT NORMAAL
% within LEUKOSIT 97.1% 2.9% 100.0%

Count 1 1 2
LEUKOPENIA
% within LEUKOSIT 50.0% 50.0% 100.0%

Count 64 29 93
Total
% within LEUKOSIT 68.8% 31.2% 100.0%

40
Gambar 4.4 Gambaran Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jumlah Leukosit Pada
Apendisitis Akut dan Apendisitis Perforasi

Berdasarkan tabel diatas, pasien yang terdiagnosis apendisitis akut dengan


keadaan leukositosis berjumlah 29 (51,8%), keadaan leukosit normal berjumlah 34
(97,1%) pasien dan keadaan leukopenia berjumlah 1 (50%) pasien. Sedangkan
pasien yang terdiagnosis apendisitis perforasi dengan keadaan leukositosis
berjumlah 27 (48,2%), keadaan leukosit normal berjumlah 1 (2,9%) pasien dan
keadaan leukopenia berjumlah 1 (50%) pasien.

41
4.2 Pembahasan

4.2.1 Karakteristik Pasien Apendisitis Berdasarkan Jenis Apendisitis

Berdasarkan jenis apendisitis, didapatkan pasien yang terdiagnosis apendisitis


akut sebanyak 64 pasien (68,81%) lebih banyak dibandingkan pasien yang
terdiagnosis apendisitis perforasi 29 pasien (31,18%).

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Anggi Patranita,
dalam penelitiannya menjelaskan bahwa diagnosis apendisitis paling banyak
terdapat di RSU Dokter Soedarso Pontianak pada tahun 2011 adalah apendisitis
akut sebanyak 60 (60%) pasien, dan diagnosis apendisitis perforasi sebanyak 40
(40%) pasien.25

4.2.2 Karakteristik Pasien Apendisitis berdasarkan Jenis Kelamin


Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pada pasien yang terdiagnosis
apendisitis akut, pasien yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 28 (43,8%) pasien
dan yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 36 (56,2%) pasien. Sedangkan
pada pasien yang terdiagnosis apendisitis.7 Perforasi yang berjenis kelamin laki-laki
sebanyak 17 (58,6%) pasien dan yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 12
(41.4%) pasien.

Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Siti Hardiyanti
Sibuea, dalam penelitiannya menjelaskan pasien apendisitis yang paling banyak
berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 86 (61,9%) pasien sedangkan pasien
berjenis kelamin perempuan sebanyak 53 (38,1%) pasien. Pada pasien apendisitis
akut yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 61 (63,5%) pasien dan berjenis
kelamin perempuan sebanyak 35 (36,5%) pasien. Pada pasien apendisitis perforasi
yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 25 (58,1%) dan berjenis kelamin
perempuan sebanyak 18 (41,9%) pasien.26

Hasil ini juga sejalan dengan penelitian elyn di Departemen Patologi Anatomi
FKUI RSUPNCM bahwa frekuensi jenis kelamin pasien kasus apendistis tersebut,

42
perempuan lebih banyak dari pada laki-laki apendisitis akut dan kronis. Pada
apendistis akut perforasi laki-laki lebih banyak sedikit dari perempuan.7

Hal ini diperkirakan karena adanya beberapa penyakit yang dialami wanita yang
memberikan gejala menyerupai apendisitis seperti penyakit infeksi pada pelvis
(Pelvic Inflamatory Disease) dan proses menstruasi. Gejala klinik apendisitis pada
wanita hamil juga dapat menyebabkan terjadinya salah diagnosis, sehingga terlihat
angka kejadian apendisitis pada perempuan lebih tinggi bila dibandingkan dengan
laki-laki.7

4.2.3 Karakteristik Pasien Apendisitis berdasarkan Usia


Pada penelitian ini didapatkan hasil berupa 0-10 tahun sebanyak 5 (7,8%)
pasien, umur 10-20 tahun sebanyak 26 (40,6%) pasien,umur 20-30 tahun sebanyak
13 (20,3%) pasien,umur 30-40 tahun sebanyak 15(23,4%) pasien ,dan umur >50
tahun sebanyak 5 (7,8%) pasien. Sedangkan pasien yang terdiagnosis apendisitis
perforasi akut berusia 0-10 tahun sebanyak 3 (10,3%) pasien, umur 10-20 tahun
sebanyak 5 (17,2%) pasien,umur 20-30 tahun sebanyak 10 (24,7%) pasien,umur
30-40 tahun,sebanyak 5 (17,2%) pasien dan umur >50 tahun sebanyak 11 (11,8%)
pasien. Hal ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh eylin dkk dimana dari
584 pasien yang didiagnosis appendicitis akut, jumlah pasien dewasa adalah 414 (
70,9 %) dan pasien anak berjumlah 170 orang ( 29,1%).7 Sedangkan pada penelitian
lain yang dilakukan oleh Pauline calista dkk usia 26-35 tahun pada kategori dewasa
awal sebanyak 26.32 % dan tidak ditemukan kasus pada kategori balita rentang usia
0 - 5 tahun (0%). Apendisitis akut dapat ditemukan pada semua umur, jarang
dilaporkan pada anak kurang dari sau tahun. Insidensi tertinggi kelompok usia 20 -
30 tahun.27

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Elyn di
Departemen Patologi Anatomi FKUI RSUPNCM antara tahun 2003-2007 bahwa
kasus apendisitis akut bahwa pasien dewasa lebih banyak ditemukan daripada
pasien anak, dari 584 pasien yang didignosis apendisitis akut, jumlah pasien dewasa
414 (70,9%), dan pasien anak 170 (29,1%). Pada decade ketiga (21-30 tahun) paling

43
banyak ditemukan pasien yang menderita apendisitis akut yaitu 29,5% dari 584
pasien yang diadiagnosis apendisitis akut.7

Hal ini dipengaruhi oleh pola makan yang kurang baik pada usia tersebut.
Memang hal ini tidak terjadi pada setiap orang, tapi seperti kita ketahui bahwa usia
20 tahun dikategorikan sebagai usia yang banyak sekali melakukan kegiatan. Hal
ini menyebabkan orang tersebut mengabaikan nutrisi makanan yang
dikonsumsinya. Kebanyakan orang memakan makanan cepat saji agar tidak
mengganggu waktunya, padahal makanan cukup. Akibatnya terjadi kesulitan buang
air besar yang akan menyebabkan peningkatan tekanan pada rongga usus dan pada
akhinya menyebabkan sumbatan pada saluran apendiks.7

4.2.4 Karakteristik Pasien Apendisitis Akut dan Perforasi Berdasarkan Kadar


Leukosit
Pada penelitian ini didapatkan hasil berupa pasien yang terdiagnosis apendisitis
akut dengan keadaan leukositosis berjumlah 29 (51,8%), keadaan leukosit normal
berjumlah 34 (97,1%) pasien dan keadaan leukopenia berjumlah 1 (50%) pasien.
Sedangkan pasien yang terdiagnosis apendisitis perforasi dengan keadaan
leukositosis berjumlah 27 (48,2%), keadaan leukosit normal berjumlah 1 (2,9%)
pasien dan keadaan leukopenia berjumlah 1 (50%) pasien. Hal ini sesuai dengan
penelitian anggi dimana pada penelitian ini didapatkan 38 (63.3%) orang dengan
jumlah leukosit 10.000 – 18.000 (leukositotsis), dan didapatkan jumlah leukosit >
18.000 berjumlah 27 (42,5%) orang. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Sofii22 di Rumah Sakit Sardjito Yogyakarta, yang mengatakan
bahwa terdapat hubungan antara nilai leukosit dengan apendisitis akut sederhana
dan apendisitis komplikatif, selain itu nilai leukosit juga dapat membedakan antara
apendisitis akut sederhana dan komplikatif. Penelitian Salmaan28 mengatakan
bahwa peningkatan jumlah leukosit dapat menentukan tingkat keparahan
apendisitis. Penelitian yang dilakukan oleh Beltran et al29 di Rumah Sakit De Ovalle
Chili, menyimpulkan bahwa jumlah leukosit dapat membantu menegakkan
diagnosis apendisitis. Beberapa jam setelah terjadi proses peradangan dalam tubuh,
leukosit akan dikeluarkan dari pembuluh darah menuju jaringan yang meradang.

44
Peningkatan jumlah leukosit dikarenakan dilepaskannya mediator-mediator
kimiawi dan faktor penginduksi leukositosis secara bersamaan dari jaringan yang
meradang. Faktor-faktor ini akan masuk kedalam pembuluh darah dan merangsang
pelepasan leukosit yang terdapat didalam sumsum tulang menuju tempat yang
terinflamasi. Sehingga saat dilakukan pemeriksaan hitung jumlah leukosit pada
pasien apendisitis akan ditemukan leukositosis. 23

45
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan tentang Perbedaan Jumlah Rata-Rata
Lekosit Pada Pasien Apendisitis Akut dan Apendisitis Perforasi di RSUD Raden Abdul
Manap Kota Jambi Periode 2014-2015 dapat disimpulkan hal sebagai berikut:
1. Pasien yang mengalami apendisitis akut yang berada di RSUD Abdul Manap
adalah 64 pasien sendangkan pasien yang mengalami apendisitis perforasi di
RSUD Abdul Manap Kota Jambi adalah 29 pasien.
2. Pasien apendisitis akut yang berjenis kelamin perempuan lebih besar 36
(56,2%) pasien dibandingkan yang berjenis kelamin laki-laki 28 (43,8%)
pasien. Sendangkan pasien apendisitis perforasi yang berjenis kelamin laki-laki
lebih besar 17 (58,6%) pasien dibandingkan pasien yang berjenis kelamin
perempuan 12 (42,4%) pasien.
3. Jumlah pasien yang mengalami appendicitis akut berjumlah 0-10 tahun
sebanyak 5 (7,8%) pasien, umur 10-20 tahun sebanyak 26 (40,6%) pasien,umur
20-30 tahun sebanyak 13 (20,3%) pasien,umur 30-40 tahun sebanyak
15(23,4%) pasien ,dan umur >50 tahun sebanyak 5 (7,8%) pasien
4. Pasien yang terdiagnosis apendisitis akut dengan keadaan leukositosis
berjumlah 29 (51,8%), keadaan leukosit normal berjumlah 34 (97,1%) pasien
dan keadaan leukopenia berjumlah 1 (50%) pasien. Sedangkan pasien yang
terdiagnosis apendisitis perforasi dengan keadaan leukositosis berjumlah 27
(48,2%), keadaan leukosit normal berjumlah 1 (2,9%) pasien dan keadaan
leukopenia berjumlah 1 (50%) pasien

46
5.2 Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka saran yang dapat diberikan peneliti
antara lain yaitu:
1. Bagi RSUD Abdul Manap Kota Jambi
Adanya penelitian ini dapat memberikan informasi tentang perbedaan jumlah
leukosit darah pada pasien apendisitis akut dan perforasi kepada dokter dalam
menegakkan diagnosis terutama dalam pemeriksaan penunjang darah leukosit
untuk menentukan pasien yang mengalami apendisitis akut dan pasien yang
mengalami apendisitis perforasi
2. Bagi Masyarakat
Bagi masyarakat terutama pasien apendisitis diharapkan dapat meningkatkan
kewaspadaan terhadap terjadinya apendisitis perforasi dan mengurangi angka
kesakitan pada apendisitis perforasi.
3. Bagi Peneliti Lain
Dengan adanya penelitian ini diharapkan bagi peneliti selanjutnya dapat
mengembangkan penelitian dalam pembantuan penegakkan diagnosis untuk
menentukan pasien mengalami apendisitis akut atau apendisitis perforasi.

47
DAFTAR PUSTAKA

1. Dorland WA, Newman. Kamus Kedokteran Dorland edisi 31. Jakarta: EGC.
2010.
2. Sandy C. Acute appendicitis. New York: Emedicine. 2010. Diakses 28
November 2016 dari http://www.emedicine.com/ emerg/topik41.html.
3. Rahmatu shubhan. Hubungan Usia Dengan Kejadian Apendisitis Perforasi Di
RSUP DR. M. Djamil Tahun 2013. Padang: Universitas Andalas. 2016.
4. Silen W. Acute appendicitis an peritonitis. Dalam: Kasper DL, Fauci AS,
Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, editor. Harrisons’s principles
of internal medicine. Edisi ke-16. New York: The McGraw Hill companies;
2005.
5. Doherty GM, Way LW. Current surgical diagnosis and treatment. Edisi ke-12.
New York: The McGraw Hill.2006.
6. WHO. Globlal burden disease. 2004. Diakses 3 Januari 2013 dari
http://www.who.int/healthinfo/global_burden_disease/BD_report_2004update
_ AnnexA.pdf
7. Eylin. Karakteristik Pasien dan Diagnosis Histologi pada Kasus Apendisitis
Berdasarkan Data Registrasi di Departemen Patologi Anatomi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto
Mangunkusumo pada Tahun 2003-2007 [Skripsi]. Jakarta: Universitas
Indonesia. Fakultas Kedokteran; 2009
8. Sibuea, Siti Hardiyanti dan Budiono,B. Parish dan Margawati ,Ani. Perbedaan
Antara Jumlah Leukosit Darah Pada Pasien Apendisitis Akut dengan Perforasi
Di RSUP DR> KARIADI Semarang. Semarang: Universitas Diponegoro. 2014
9. Kamran H, Naveed D, Nazir A, Hameed M, Ahmed M, Khan U. Role of total
leukocyte count in diagnosis of acute appendicitis. J Ayub Med Coll
Abbottabad 2008; 20:70-71.

48
10. Scanlon V, Sanders T. Buku ajar anatomi&fisiologi. Edisi ke-3.
Jakarta:EGC;2007
11. Omar F, David M. At a glance: Anatomi. Jakarta: Erlangga medical series; 2003
12. Dudek R. Intisari histologi. Jakarta: Hipokrates; 1997
13. WonodireksoSugito. Penuntunpratikumhistologi. Dian rakyat: Jakarta; 2003
14. Bloom, Fawcet. Buku ajar histologi. Edisi ke-12. Jakarta: EGC; 2002
15. Sherwood L.FisiologiManusia. 2nd Edition. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
2001
16. Sjamsuhidayat R, Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, Jakarta :
EGC.2004
17. Tanto Chris. Kapita selekta kedokteran. Edisi- 4. Media Aesculapius: Jakarta.
2014
18. Price SA, Loraine MW. Patofisiologi: konsepklinis proses-proses penyakit,
edisi ke-6 vol.1. Jakarta: EGC; 2006
19. Schrock, Theodore R., Jawetz E, Flora DJ. Infeksi Bedah. Dalam: Handbook
of Surgery/Theodore R. ed. 7., Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1991
20. Effendi Z. Peranan Leukosit sebagai Anti Inflamasi Alergik dalam Tubuh.
Fakultas Kedokteran : Universitas Sumatera Utara. 2003
21. Hoffbrand, AV, Pettit JE. Kapita Selekta: Hematologi (Essential
Haematology). Edisi II. Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 2013.
22. Handayani W dan Haribowo AS. Buku ajar asuhan keperawatan pada klien
dengan gangguan siste mhematologi. Salemba medika: jakarta; 2008
23. Guyton, Arthur C. Buku ajar fisiologikedokteran. EGC: Jakarta; 199
24. Berger DH, Jaffe BM. The appendix. Dalam: Brunicardi FC, Andersen DK,
Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Pallock RE, editor. Schwartz’s manual of
surgery. Edisi ke-8. New York: The McGraw Hill companies; 2006. hal.784-
799.

49
25. Anggi Patranita Nasution. Hubungan antara jumlah leukosit dengan apendisitis
akut dan apendisitis perforasi di RSU Dokter Soedarso Pontianak tahun 2011
(Skripsi). Pontianak: Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura; 2013
26. Siti Hardiyanti Sibuae. Perbedaan antara jumlah leukosit pada pasien
apendisitis akut dengan apendisitis perforasi di RSUP DR. Kariadi Semarang
(skripsi). Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro; 2014
27. Brian KS.Acute Appendicitis. Dalam: Allan BW et al. Clinical Practice of
Emergency Medicine Ed.5. 2009
28. Salmaan, Guyara SY, Al-Tuwaijri TA, Khairy GA, Murshid KR. Validity of
leukocyte count to predict the severity of acute appendicitis. Saudi Med J 2005;
26:1945-1950.
29. Beltran MA, Almonacid J, Vicencio A, Gutierrez J, Cruces KS, Cumsille MA.
Predictive value of white blood cell count and c-reactive protein in children
with appendicitis. Journal of Pediatric Surgery 2007; 42:12081214. [Diakses
22 November 2017]. Tersedia pada: http://www.elseiver.com/ locate/jpedsurg

50

Anda mungkin juga menyukai