Anda di halaman 1dari 6

JMU ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 9 NO.

7,JULI, 2020

Jurnal medika udayana

Diterima:17-07-202 Revisi:21-07-2020 Accepted: 23-07-2020

DESKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PENOLAKAN OTOPSI


PADA KASUS KEMATIAN YANG DIDUGA TIDAK WAJAR

Putu Pradnyasanti Laksmi1, IB Putu Alit2, Henky2


1
Program Studi Sarjana Kedokteran dan Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
2
Instalasi Kedokteran Forensik RSUP Sanglah Denpasar
Koresponden : Putu Pradnyasanti Laksmi
Email: imogenkida@gmail.com

ABSTRAK

Dalam mencari penyebab kematian pada kasus kematian tidak wajar, maka pihak yang berwenang
dapat meminta bantuan dokter forensik untuk melakukan pemeriksaan jenazah (otopsi). Namun pada
pelaksanaannya, otopsi mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Adapun beberapa alasan terkait
penolakan otopsi tersebut, dapat dilihat dari faktor internal, eksternal, maupun impersonal. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi penolakan otopsi pada kasus
kematian yang diduga tidak wajar tersebut. Penelitian ini menggunakan metode cross-sectional
melalui wawancara yang dilakukan terhadap keluarga dari jenazah yang dapat dihubungi dengan
keterangan diperlukan pemeriksaan luar (PL), yang diambil dari buku register Instalasi Kedokteran
Forensik RSUP Sanglah pada periode Agustus 2018 sampai Februari 2019. Dari 89 responden
penelitian ini, didapatkan sebanyak 87,6% menolak untuk dilakukan otopsi, dan 88,5% dari jumlah
tersebut juga menolak untuk melanjutkan ke jenjang hukum apabila sewaktu-waktu dipanggil.

Kata kunci: Kematian tidak wajar, otopsi, penolakan otopsi

ABSTRACT

In searching for the cause of death in cases of unnatural death, the authorities might request for the
assistance of forensic doctor to carry out an examination (autopsy). But during its implementation,
autopsy had decreased from year to year. As for several reasons related to the autopsy refusal, it could
be examined through the internal, external and impersonal factors. The aim of this study was to
determine the factors that plays important role in autopsy refusal in these allegedly unnatural cases of
death. This study used a cross-sectional method through interviews conducted with the family of the
deaths whom could be contacted with information on the need for an external examination (PL), taken
through the registration data of Forensic Medicine Installation of Sanglah Hospital from August 2018
to February 2019. Out of the 89 respondents involved in this study, it was found that 87.6% had
refused to perform an autopsy, and 88.5% of that number also refused to proceed to the level of law if
at any time called.

Keywords: Unnatural death, autopsy, autopsy refusal

https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum 86
doi:10.24843.MU.2020.V9.i7.P16
DESKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI,. Putu Pradnyasanti Laksmi1, IB Putu Alit2, Henky2

PENDAHULUAN berlanjut pada tahun berikutnya, sekalipun


jumlahnya bervariasi di tiap negara. Seperti contoh
Kematian tidak wajar adalah kematian di Indonesia, khususnya di Bali. Meskipun jumlah
yang terjadi akibat suatu peristiwa seperti bunuh pasti untuk masalah penolakan terhadap otopsi
diri,pembunuhan maupun kecelakaan. Termasuk di belum tercatat, namun sumber lain mengatakan di
dalamnya kematian akibat dari tindak kekerasan Denpasar pada awal semester tahun 2005, 69 dari
maupun keracunan. Di Indonesia, terjadinya total 2.068 angka kematian yang ada dianggap
kematian menyebabkan timbulnya rangkaian tidak wajar. Atas dasar hukum dasar tertulis yang
pengurusan terhadap jenazah oleh penyidik dan diberlakukan di Indonesia, maka kasus kriminal
atau penyelidik terkait untuk membantu mencari yang berujung kematian tidak wajar tersebut wajib
penyebab kematian. Dalam hal ini, pihak dilaporkan pada pihak berwenang dimana nanti
berwenang terkait dapat meminta bantuan oleh ahli akan diproses lebih lanjut melalui proses yang
yang dalam hal ini salah satunya merupakan dokter berlaku dan berlanjut ke pemeriksaan post-mortem.
forensik untuk melakukan pemeriksaan pada Berawal dari pemeriksaan fisik/luar, sampai
jenazah. Baik hanya pemeriksaan fisik (luar) pemeriksaan dalam atau otopsi.
maupun hingga pembedahan atau otopsi Salah satu dari sekian banyaknya faktor
sebagaimana yang dituliskan pada pasal 133 ayat yang menyebabkan mengapa pihak keluarga
(1) dan (2) KUHAP. Salah satu contoh dimana cenderung menolak untuk melaksanakan
otopsi harus dilakukan yakni pada kasus diadakannya pemeriksaan bedah jenazah seperti
pembunuhan. Dimana pada kasus tersebut, otopsi adalah, pihak keluarga cenderung merasa
pemeriksa dalam melakukan pemeriksaan mencoba kasihan dan duka apabila jenazah tersebut
mencari metode pembunuhan dengan melihat ‘dibongkar’ untuk diperiksa. Faktor lain juga
adanya tanda-tanda luka fisik; baik yang termasuk didalamnya kepercayaan serta tradisi
disebabkan oleh senjata api, senjata tajam, bekas yang menyebabkan adanya konflik terhadap adanya
jeratan, adanya jejak racun maupun zat kimia, pembedahan jenazah tersebut. Kebudayaan
maupun memar akibat hantaman oleh benda masyarakat di Timur yang notabene sangat
tumpul. berpegang kuat terhadap kepercayaan dan kukuh
Otopsi, berasal dari bahasa Yunani terhadap tradisi lama lebih cenderung menolak
Autopsia yang berarti ‘melihat dengan mata otopsi dibandingkan dengan mereka yang tinggal di
sendiri’, dalam hal ini lebih dikenal sebagai bagian Barat; yang dimana cenderung lebih terbuka
pemeriksaan post-mortem dimana dalam dengan kemajuan zaman dan ilmu pengetahuan.
terminologi ilmu kedokteran berarti pemeriksaan Selain itu, kurangnya informasi mengenai tujuan
terhadap jenazah. Termasuk organ tubuh dan otopsi di masyarakat juga merupakan faktor yang
susunannya. Baik untuk tujuan kepentingan ilmu berpengaruh. Sehingga dalam hal ini terdapat
kedokteran, maupun membantu dalam proses kesenjangan terhadap aspek medikolegal antara hak
tindakan kriminal.1 Dilaksanakannya tindakan asasi dari individu serta hak asasi dari kebijakan
otopsi medikolegal apabila dalam suatu kasus yang berwenang, yang dimana dalam hal ini adalah
terdapat kematian yang tergolong; 1) akibat dari keadilan dan kebijakan hukum.
suatu tindak kekerasan; 2) mendadak atau tidak
terprediksi; 3) memicu kecurigaan publik; 4) BAHAN DAN METODE
kondisi tubuh yang tidak memungkinkan untuk
dilakukan hanya pemeriksaan fisik; 5) jenazah yang Penelitian ini merupakan penelitian
akan dikremasi; 6) merupakan ancaman kesehatan deskriptif dengan pendekatan cross-sectional.
masyarakat.2 Otopsi dilakukan apabila dalam kasus Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini
kematian yang dianggap tidak wajar dan bersifat adalah consecutive sampling, yakni metode
mendadak tersebut penyebabnya masih dirasa pemilihan sampel dimana setiap responden yang
ganjil sehingga pihak berwenang merasa memenuhi kriteria dimasukkan dalam penelitian
diperlukan adanya pemeriksaan lebih lanjut. sampai kurun waktu tertentu, sehingga jumlah
Adapun sebelum dilakukan pemeriksaan lanjutan sampel yang diperlukan terpenuhi. Kriteria inklusi
terhadap jenazah, penyidik diwajibkan untuk pada penelitian ini adalah; 1) Keluarga yang
menjelaskan kepada pihak keluarga perihal maksud bersedia untuk mengisi kuesioner; 2) Merupakan
dan tujuan diadakannya pemeriksaan bedah jenazah wali pengampu dari pengambil keputusan
sebagaimana yang tertulis dalam pasal 134 (surrogate decision makers); 3) Mengetahui
KUHAP. kondisi terakhir jenazah. Sedangkan kriteria
Sekalipun otopsi sudah dirasa memiliki eksklusi adalah; 1) Warga negara asing; 2) Usia
fungsi yang jelas serta merupakan proses wajib responden <24 tahun; 3) Keluarga tidak dapat
dalam tindakan hukum, namun tingkat pelaksanaan dihubungi.
pemeriksaan jenazah khususnya otopsi mengalami Total sampel pada penelitian ini yang
penury dari tahun ke tahun hingga mencapai hanya dipilih dengan metode consecutive sampling
15% dari total angka kematian.3 Hal ini terus berjumlah 89 orang, dengan rincian sesuai dengan

https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum 87
doi:10.24843.MU.2020.V9.i7.P16
DESKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI

lokasi penelitian yang dilaksanakan di Instalasi oleh karena berdasarkan informasi yang didapatkan
Kedokteran Forensik RSUP Sanglah. Penelitian ini bahwa, seringkali pada kasus kematian yang diduga
telah dinyatakan laik etik oleh persetujuan dari tidak wajar, SPV datang terlambat.
Komisi Etik Penelitian (KEP) FK Unud/RSUP
Sanglah Denpasar dengan nomor 2018.01.01.1103. Tabel 2. Alasan Keluarga Jenazah Menolak Otopsi
Variabel Frekuensi Presentase
HASIL (n = 78*) (%)
Alasan menolak otopsi
Karakteristik responden pada penelitian Menghabiskan 13 14,6
berikut dipaparkan berdasarkan hubungan banyak waktu
responden terhadap jenazah, bagaimana cara Adanya 9 11,5
kematian berdasarkan catatan register Instalasi kepercayaan yang
Kedokteran Forensik RSUP Sanglah, serta apakah melarang
responden mengizinkan otopsi atau tidak. Usia jenazah 26 33,3
Termasuk di dalamnya apakah dalam prosesnya, Pandangan 9 11,5
terdapat surat permintaan visum (SPV) dari pihak masyarakat
yang berwajib. Kurang memahami 20 25,6
otopsi beserta
Tabel 1. Karakteristik Responden/Sampel prosedurnya
Variabel Frekuensi Presentase Lain-lain 1 1,3
(n = 89) (%)
Hubungan responden dengan jenazah Berdasarkan keterangan dari tabel di atas,
Pasangan 13 14,6 telah diambil 78 data dari 89 kuesioner yang telah
Anak 40 44,9 diolah berdasarkan jumlah yang menolak untuk
Orang tua 4 4,5 diberlakukannya otopsi. Sebanyak 13 responden
Saudara kandung 32 36 atau 14,6% dari total 78 responden menyatakan
Cara kematian berdasarkan catatan register menolak otopsi dengan alasan karena dirasa terlalu
Death on arrival 7 7,9 menghabiskan banyak waktu, sehingga dapat
Trauma 20 22,5 menghambar proses penguburan jenazah. Sebanyak
Datang meninggal 42 47,2 9 atau 11,5% lainnya menolak dikarenakan
Titip jenazah 11 12,4 larangan dari kepercayaan yang dianut. Sebanyak
Titipan RS lain 1 1,1 26 atau 33,3% beralasan bahwa usia jenazah yang
Apakah mengizinkan otopsi terlalu muda atau cenderung tua menjadi alasan
Ya 11 12,4 yang memberatkan karena merasa kasihan.
Tidak 78 87,6 Sebanyak 9 atau 11,5% lainnya merasa malu sebab
Apakah terdapat SPV masyarakat di lingkungan sekitar tempat tinggal
Ya 18 20,2 masih memiliki pandangan yang negatif serta
Tidak 6 6,7 pengetahuan minim terhadap otopsi. Sebanyak 20
Tanpa keterangan 65 73 atau 25,6% menyatakan belum sepenuhnya
memahami otopsi serta prosedurnya serta 1 atau
Tabel 1 menunjukan, dari total 89 1,3% responden memilih ikhlas sehingga merasa
responden, sebanyak 40 diantaranya merupakan otopsi sudah tidak diperlukan lagi.
anak kandung dari jenazah. Sedangkan sebanyak Kemudian oleh sebab itu, dari jumlah
13 orang lainnya merupakan pasangan 4 orang di tersebut ditanyakan pula ketersediaan responden
antaranya merupakan orang tua, serta 32 orang apabila kedepannya diminta untuk melanjutkan ke
lainnya merupakan saudara kandung. Berdasarkan jenjang hukum sebagaimana yang disebutkan
catatan register yang didapatkan dari Instalasi dalam Undang-Undang tentang penolakan otopsi
Kedokteran Forensik RSUP Sanglah, sebanyak 7 pada kasus kematian yang pada keadaannya
jenazah DOA, 20 jenazah meninggal akibat trauma, mendapatkan SPV, maka didapatkan hasil sebagai
42 jenazah dinyatakan datang meninggal, 11 berikut.
jenazah merupakan jenazah yang dititipkan oleh
keluarga, sedangkan 1 jenazah merupakan titipan Tabel 3. Kebersediaan Keluarga untuk
dari Rumah Sakit lain. Adapun dari total 89 Melanjutkan ke Jenjang Hukum
responden, sebanyak 11 di antaranya mengizinkan Variabel Frekuensi Presentase
untuk melakukan otopsi, sedangkan sebanyak 78 (n = 78) (%)
orang lainnya menolak. Serta dilihat pula dari total Kebersediaan melanjutkan ke jenjang hukum
89 responden, dari keterangan catatan register Ya 9 10,1
Instalasi Kedokteran Forensik, sebanyak 18 Tidak 69 77,5
kematian terdapat SPV, sebanyak 6 lainnya tidak
terdapat SPV, serta 65 sisanya tanpa keterangan

https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum 88
doi:10.24843.MU.2020.V9.i7.P16
Putu Pradnyasanti Laksmi1, IB Putu Alit2, Henky2

Berdasarkan keterangan pada tabel dari tahun ke tahun. Pada penelitian ini, didapatkan
tersebut, dapat diketahui bahwa sebanyak 9 sebanyak 12,4% dari total kasus yang mengizinkan
responden atau sekitar 10,1% dari jumlah yang untuk diberlakukannya otopsi terhadap jenazah,
menolak menyatakan bersedia untuk melanjutkan sedangkan 87,6% lainya menolak. Angka ini lebih
ke jenjang hukum, namun 69 atau sekitar 77,5% tinggi dibandingkan penelitian yang dilakukan di
sisanya menolak. Belanda dengan hasil sebanyak 81%.5 Hal ini,
tentunya bertentangan dengan ketentuan hukum
Tabel 4. Alasan Menolak Melanjutkan ke Jenjang yang berlaku di Indonesia, dimana Visum et
Hukum Repertum menjadi termasuk sebagai alat bukti sah
Variabel Frekuensi Presentase seperti yang disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1)
(n = 69) (%) sub. B dan sub. E KUHAP.6 Dalam kasus kematian
Alasan menolak melanjutkan ke jenjang hukum yang diduga tidak wajar serta diperlukannya Visum
Kendala proses 13 14,6 et Repertum oleh pihak yang berwajib, maka dapat
hukum dijatuhkan pula sanksi terhadap pihak keluarga
Biaya 14 15,7 yang menolak otopsi, sebagaimana yang tercantum
Non-litigasi 25 28,1 pada pasal 222 KUHP karena dianggap
Pandangan 4 4,5 menghalang-halangi pemeriksaan jenazah.
masyarakat Dalam penelitian ini, terdapat beberapa
Lain-lain 13 14,6 alasan yang menjadi faktor pemberat pihak
keluarga untuk mengizinkan otopsi. Sebanyak
Berdasarkan dari keterangan pada tabel di 14,6% menganggap pelaksanaan otopsi membuang
atas, dari total 69 responden yang menolak untuk waktu yang dapat menghambat proses pemakaman
melanjutkan hukum, telah diberikan pertanyaan jenazah. Dimana dalam beberapa kepercayaan
lanjutan mengenai alasan yang membuat mereka memiliki aturan bahwa proses penguburan jenazah
memilih menolak. tidak boleh ditunda kecuali dalam batas kebutuhan
Maka, sebanyak 13 atau 14,6% menolak mengurusnya, atau menunggu datang kerabat
diakibatkan oleh adanya kekhawatiran terhadap dan/atau tetangganya yang tidak terlalu lama
adanya kendala yang menjadikan proses hukum menurut pandangan umum.7 Lebih lanjut, sebanyak
menjadi lebih panjang. Sebanyak 14 atau 15,7% 11,5% jenazah percaya bahwa dalam kepercayaan
mengaku takut apabila memerlukan biaya yang yang dianut, adalah dilarang untuk dilakukan otopsi
banyak apabila diperlukan dalam prosesnya . pada jenazah, sebab keluarga masih berpegang
Sebanyak 25 atau 28,1% memilih proses hukum pada keyakinan terhadap larangan untuk melukai
diselesaikan secara adat atau kekeluargaan. maupun menghancurkan tubuh sekalipun orang
Sebanyak 4 atau 4,5% merasa malu pada tersebut sudah meninggal.8 Jumlah ini lebih rendah
masyarakat sekitar apabila didatangi polisi serta dari penelitian yang dilakukan di Nigeria pada
sebanyak 13 atau 14,6% memilih oleh karena tahun 2009 dengan jumlah penolakan sebanyak
keluarga sudah merasa ikhlas terhadap kepergian 25,3%.9 Adapun terhadap permasalahan otopsi
alm./almh. Sehingga tidak merasa perlu untuk tersebut, dalam hukum agama tersebut
melanjutkan proses hukum, namun menyatakan mengajarkan untuk menghormati orang yang sudah
siap apabila sewaktu-waktu harus memenuhi meninggal dan larangan menyakiti tubuh jenazah.
panggilan. Namun, disebutkan pula bahwa otopsi dapat
dan/atau bahkan wajib dilakukan apabila dalam
PEMBAHASAN keadaan darurat dan menyangkut kemaslahatan
manusia dengan kewajiban untuk mengembalikan
Pada kasus kematian yang diduga tidak jenazah dalam keadaan seperti semula dan semua
wajar, otopsi atau pemeriksaan post-mortem potongan dari organ atau jasad mayat harus
merupakan proses yang wajib dalam tindakan dikubur.
hukum. Pernyataan ini, didukung oleh hukum yang Sebanyak 33,3% menolak dengan alasan
tertulis sebagaimana yang tercantum dalam usia jenazah yang dianggap terlalu tua sehingga
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 pihak keluarga memilih mengikhlaskan, sedangkan
Tahun 2009 tentang Kesehatan pada pasal 122 ayat apabila usia jenazah terlalu muda, pihak keluarga
(1) disebutkan bahwa, “Untuk kepentingan merasa kasihan apabila dalam prosesnya jenazah
penegakan hukum dapat dilakukan bedah mayat akan rusak.9
forensik sesuai dengan ketentuan peraturan Di sisi lain, sebanyak 25,6% menolak
perundang-undangan.” Yang kemudian didukung otopsi dengan alasan bahwa masih kurangnya
oleh pasal 133 KUHAP ayat (1) dan (2) pengetahuan lebih lanjut mengenai otopsi. Dimana
sehubungan dengan tindakan otopsi.4 jumlah ini lebih tinggi apabila dibandingkan
Namun, sekalipun sudah memiliki fungsi dengan penelitian yang dilakukan di Belanda
yang jelas, tingkat pelaksanaan pemeriksaan dengan jumlah 0,6%.5 Hal ini menyebabkan
jenazah khususnya otopsi mengalami penurunan sulitnya untuk mengurus administrasi serta dalam

https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum 89
doi:10.24843.MU.2020.V9.i7.P16
DESKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI

pembuatan Visum et Repertum yang memerlukan bersedia untuk melakukan otopsi apabila dalam
persetujuan dari pihak keluarga jenazah. proses pelaksanaannya secara hukum diwajibkan
Kurangnya pengetahuan mengenai otopsi, untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
berdampak langsung terhadap persepsi keluarga Sebanyak 7% beranggapan bahwa masyarakat
terlebih adanya rasa takut apabila jenazah akan memang diwajibkan untuk tahu, sementara
dimutilasi. sebanyak 24,4% beranggapan bahwa pengetahuan
Dengan adanya penolakan terhadap masyarakat mengenai otopsi masih dirasa belum
otopsi, maka sesuai dengan pasal 222 KUHAP terlalu baik mengingat masih adanya kepercayaan
yang menyebutkan akan adanya sanksi penjara bahwa otopsi dapat merusak jenazah, rasa takut
selama-lamanya 9 bulan karena menghalangi tentang mutilasi serta tidak lengkapnya jenazah
pemeriksaan jenazah, sebanyak 11,5% responden pada saat dikuburkan. Sementara sebanyak 18,6%
mengaku siap untuk menjalani proses hukum sisanya menganggap bahwa pemberian
apabila sewaktu-waktu diharuskan untuk pengetahuan otopsi dirasa sebagai sekedar
memenuhi pangilan, dengan 88,5% lainnya pengetahuan tambahan saja.
menolak. Dari hasil penelitian tersebut dapat
Terdapat beberapa kendala yang disimpulkan pula bahwa di tengah kehidupan
menjadikan pihak keluarga menolak untuk masyarakat, sudah terbentuk living law terkait
membawa kasus ke jenjang hukum lebih lanjut. penolakan otopsi tersebut. Dimana hukum yang
Satu diantaranya adalah dimana keluarga memilih mengatur tentang pelaksanaan otopsi dianggap
untuk menyelesaikan secara adat atau kekeluargaan sudah dirasa tidak efektif oleh karena dianggap
sebagai angka tertinggi yaitu 35,3%. Dimana tidak mengikuti kaidah sosial yang berkembang di
khususnya di Bali, terdapat tiga praktek penjatuhan masyarakat. Sehingga, diperlukan penyusunan
sanksi terhadap penyelesaian perkara di luar aturan baru mengenai pelaksanaan pemeriksaan
pengadilan yang disebut Tri Danda, yaitu; jenazah melalui Sociological Jurisprudence.11
Jiwadanda yang berupa permintaan maaf serta
dikeluarkan dari keanggotaan banjar; Arthadanda SIMPULAN
yakni membayar denda dengan uang rupiah; serta
Sangaskaradanda dimana pelanggar hukum Dalam rentang waktu dari bulan Oktober
diwajibkan untuk melaksanakan upacara mecaru 2018-Februari 2019 di Instalasi Kedokteran
sebab dianggap telah melakukan perbuatan yang Forensik RSUP Sanglah, ditemukan sebanyak
dianggap leteh (tidak suci).10 Selain itu, sebanyak 87,6% menolak otopsi dari total kasus kematian
20,6% menganggap bahwa masalah ekonomi yang diduga tidak wajar. Sebanyak 88,5% dari
menjadi Kendala. Terlebih dalam pelaksanaannya, jumlah yang menolak otopsi, menolak untuk
terdapat kekhawatiran dari pihak keluarga terhadap melanjutkan apabila diharuskan untuk melanjutkan
jumlah biaya yang diperlukan dalam proses hukum. ke jenjang hukum. Sebanyak 36,2% lebih memilih
Sebanyak 20,6% mengkhawatirkan adanya untuk menyelesaikan urusan hukum melalui proses
Kendala dalam keberlangsungan prosesnya. Di secara adat dan/atau kekeluargaan.
antaranya menolak apabila sewaktu-waktu, untuk
mengurus keberlanjutan hukum, diperlukan untuk DAFTAR PUSTAKA
dilakukannya penggalian kubur jenazah untuk
dilakukan otopsi. Terutama khusus untuk keluarga 1. Vijay F.M.I. Gobel. Bedah Mayat dalam
yang beragama Hindu, mendapatkan kendala Mengungkap Tindak Pembunuhan Menurut
apabila jenazah sudah menjalani upacara ngaben. Pasal 134 KUHAP. Lex Administratum;
Sebanyak 2,9% lainnya menolak oleh karena masih 2016; 4(3): 221-227
merasa malu apabila diketahui oleh tetangga 2. Clark, S. C., Peterson GF. History of the
maupun masyarakat di daerah sekitar apabila Development of Forensic Autopsy
sewaktu-waktu rumah didatangi oleh polisi. Dan Performance Standards. Am J Forensic Med
sebanyak 20,6% lainnya tidak memberikan alasan. Pathol;2006; 27(3):226-255
Berdasarkan data tersebut, telah diolah 3. Wilke A., French F. ATTITUDES TOWARD
kembali mengenai penting-tidaknya pemberian AUTOPSY REFUSAL BY YOUNG
pengetahuan mengenai otopsi pada masyarakat ADULTS ’. Physchol Rep. 1990; 67(1):81–
pada umumnya. Sebanyak 95,5% merasa bahwa 82.
pemberian pengetahuan dasar terhadap otopsi 4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
dirasa perlu dengan sebanyak 40,7% diantaranya 36 Tentang Kesehatan. 2009
memiliki harapan agar masyarakat memahami 5. Blokker BM, Weustink AC, Hunink MG,
tujuan serta keuntungan dari otopsi yang Oosterhuis Authopsy rates in the
sebagaimana fungsinya untuk mengetahui Netherlands:35 years of decline. JW. PLoS
penyebab kematian secara pasti. Sebanyak 9,3% ONE. 2017; 12(6): e0178200
beranggapan bahwa pentingnya pengetahuan dasar 6. Winardi M, Wahyuni T. Kedudukan Visum et
mengenai otopsi adalah agar masyarakat lebih Repertum Sebagai Alat Bukti Surat [Internet].

https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum 90
doi:10.24843.MU.2020.V9.i7.P16
Putu Pradnyasanti Laksmi1, IB Putu Alit2, Henky2

Jurnal.hukum.uns.ac.id. 2015 [cited 25


January 2018]. Available from:
http://jurnal.hukum.uns.ac.id/index.php/verste
k/article/viewFile/678/633
7. Cassum, L. A. Refusal to Autopsy : A
Societal Practice in Pakistan Context. Journal
of Clinical Research & Bioethics. 2014; 5(5):
4-6
8. Muhammad, I. and Eko, H. Tata Cara
Mengurus Jenazah Muslim dan Menguburnya.
[online] D1.islamhouse.com. 2011; 1(1):h.6-
11.
9. Olayiwola Abideen Oluwasola, Olufunmilayo
I. Fawole, Abiodun Jesse Otegbayo, Gabriel
Olabiyi Ogun, Clement A. Adebamowo, and
Afolabi Elijah Bamigboye (2009) The
Autopsy: Knowledge, Attitude, and
Perceptions of Doctors and Relatives of the
Deceased. Archives of Pathology &
Laboratory Medicine: Januari 2009; 133(1)
:78-82
10. Windia P Wayan. Danda Pacamil : Catatan
Populer Istilah Hukum Adat Bali, Denpasar.
2004; (1) Hal. 30.
11. Henky. Pelaksanaan Autopsi di Indonesia
Ditilik dari Segi Sosiologi Hukum. Scientific
News Magazine; 2016; 3(1): Hal.3

https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum 91
doi:10.24843.MU.2020.V9.i7.P16

Anda mungkin juga menyukai