Oleh :
dr. Afifah Preyanka Dumi
Pendamping :
dr. H. Ryan Ramdhan
1.2. Anamnesis
Autoanamnesis dan alloanamnesis di IGD RSUD Kab.Bekasi pada tanggal 10 Oktober 2018 pukul
15.45 WIB.
2
dikatakan ada usus yang turun ke kantong buah zakar. Pasien kemudian dirujuk ke RSUD
Kabupaten Bekasi karena keterbatasan fasilitas.
Status Generalis:
Kepala : mesosefal, turgor dahi cukup
Mata : konjungtiva palpebra pucat (-/-), mata cowong (+/+), sklera ikterik (-/-)
RC +/+, pupil isokor Ø 3mm/3mm
Telinga : discharge (-/-)
Hidung : napas cuping (-), discharge (-/-)
Mulut : bibir kering (+), sianosis (-)
Tenggorok : T1-1, faring hiperemis (-)
Leher : simetris, trakea di tengah, pembesaran nnl (-/-)
3
Dada : retraksi (-)
Thorak : Jantung : I : ictus cordis tak tampak
Pa: ictus cordis teraba di SIC V 2 cm medial LMCS
Pe: konfigurasi jantung dalam batas normal
Au: HR reguler, bunyi jantung I-II reguler, bising (-),gallop (-)
Paru : I : simetris saat statis dan dinamis
Pa: stem fremitus kanan = kiri
Pe: sonor seluruh lapangan paru
Au: suara dasar vesikuler (+/+), wheezing (-), ronkhi (-)
Abdomen : I : cembung, venektasi (-)
Au : bising usus (+) menurun, metallic sound (-)
Pa : tegang, distensi (+), nyeri tekan (+) seluruh lapangan abdomen, defans
muskuler (+), hepar dan lien tidak teraba
Pe : hipertimpani, pekak sisi (+) normal, pekak alih (-), pekak hepar (+)
Ekstremitas : superior inferior
Edema -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Capillary refill <2” <2”
Status Lokalis
Regio scrotalis
Inspeksi : Tampak massa bentuk agak bulat, ukuran + 15x15x10 cm3, warna kemerahan
Palpasi : Teraba massa, permukaan rata, teraba kenyal, nyeri tekan (+), fluktuasi (-), tidak
bisa dimasukkan kembali, testis tidak teraba
Auskultasi: Bising usus (-)
4
1.4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium (10 Juli 2018)
1.5. Diagnosis
- Hernia scrotalis strangulata dd/ tumor testis
- Peritonitis
1.6. Penatalaksanaan
Tatalaksana IGD:
- O2 nasal canul 3 lpm
- IVFD Asering 500 cc / 6 jam
- Inj. Ranitidin 50 mg i.v.
- Pasang DC
- Pasang NGT dekompresi
5
- Inj. Ceftriaxon 1 gr/12 jam i.v.
- Inj. Metronidazol 500 mg/8 jam i.v.
- Inj. Ketorolac 3 x 30 mg i.v.
- Inj. Ranitidin 2 x 50 mg i.v.
1.8 Prognosis
Quo Ad Vitam : Dubia Admalam
Quo Ad Functionam : Dubia Admalam
Quo Ad Sananctionam : Dubia Admalam
6
1.9 Follow Up
Tanggal Pemeriksaan Fisik dan Problem Terapi dan Program
11/10/2018 S : nyeri perut (+) (VAS: 4) hilang timbul TERAPI :
pukul 07.30 O : Ku/Kes : tss, Composmentis E4V5M6 : 15 Lanjut
TTV : TD 128/80 mmHg S 36,2 0C MONITORING :
N 112 x/menit RR 22x/menit • TTV dan KU
Kepala : Mesosefal • Produksi NGT
Mata : CA -/-, Sklera ikterik -/-, RC +/+ • Produksi urin
∅ 3mm/3mm • USG testis
Thorax : P : SD vesikuler +/+, rhonki -/-,
wheezing -/-
C : S1>S2, reguler, murmur (-),
gallop (-)
Abdomen : tegang, distensi (+), hipertimpani
Extremitas : akral hangat, edema -/-
7
Tanggal Pemeriksaan Fisik dan Problem Terapi dan Program
11/10/2018 S : nyeri perut (+) (VAS: 4) hilang timbul, TERAPI :
pukul 14.00 muntah (+) warna coklat kehitaman Lanjut
O : Ku/Kes : tss, Composmentis E4V5M6 : 15 MONITORING :
TTV : TD 120/80 mmHg S 36,3 0C • TTV dan KU
N 110 x/menit RR 22x/menit • Produksi NGT
Kepala : Mesosefal • Produksi urin
Mata : CA -/-, Sklera ikterik -/-, RC +/+
∅ 3mm/3mm
Thorax : P : SD vesikuler +/+, rhonki -/-,
wheezing -/-
C : S1>S2, reguler, murmur (-),
gallop (-)
Abdomen : tegang, distensi (+), hipertimpani
Extremitas : akral hangat, edema -/-
8
Tanggal Pemeriksaan Fisik dan Problem Terapi dan Program
11/10/2018 S : penurunan kesadaran (+) TERAPI :
pukul 14.30 O : Ku/Kes : tsb / E1V2M1 : 4 Dokter Jaga:
TTV : TD 82/45 mmHg S 38,4 0C • O2 NRM 10 lpm
N 150 x/menit RR 36x/menit • IVFD loading Asering
SpO2: 77% dengan nasal canul 3 lpm • Cek AGD
Kepala : Mesosefal • Pro ICU
Mata : CA -/-, Sklera ikterik -/-, RC +/+ • Lapor dr. Nanang, SpB
∅ 3mm/3mm, mata cowong +/+ • Informed consent keluarga
Thorax : P : SD vesikuler +/+, rhonki -/-,
wheezing -/- MONITORING :
C : S1>S2, reguler, murmur (-), • TTV dan KU
gallop (-)
• Produksi NGT
Abdomen : tegang, distensi (+), hipertimpani
• Produksi urin
Extremitas : akral hangat, edema -/-
Produksi NGT: feses, 500 cc
9
Tanggal Pemeriksaan Fisik dan Problem Terapi dan Program
USG Testis: Kesan:
Tampak gambaran loop usus pada scrotum dextra
10
Tanggal Pemeriksaan Fisik dan Problem Terapi dan Program
11/10/2018 S : penurunan kesadaran (+) TERAPI :
pukul 15.30 O : Ku/Kes : tsb / E1V2M1 : 4 • Lanjut
TTV : TD 90/50 mmHg S 37 0C dr. Gunawan, SpAn:
N 130 x/menit RR 34x/menit • Acc operasi cito
SpO2: 97% dengan NRM 10 lpm • Informed consent keluarga
Kepala : Mesosefal • Post op rawat ICU
Mata : CA -/-, Sklera ikterik -/-, RC +/+
∅ 3mm/3mm, mata cowong +/+ MONITORING :
Thorax : P : SD vesikuler +/+, rhonki -/-, • TTV dan KU
wheezing -/- • Produksi NGT
C : S1>S2, reguler, murmur (-), • Produksi urin
gallop (-)
Abdomen : tegang, distensi (+), hipertimpani
Extremitas : akral dingin, edema -/-
Produksi NGT: feses, 700 cc
11
Tanggal Pemeriksaan Fisik dan Problem Terapi dan Program
11/10/2018 S : Gelisah (+), penurunan kesadaran (+) TERAPI :
pukul 16.00 O : Ku/Kes : tsb, GCS E1V1M1 : 3 • Informed consent keluarga
0
TTV : TD tidak terukur S 36,4 C • Lakukan bantuan napas
N 60 x/menit, lemah RR Apneu → Respon (-)
Extremitas : akral dingin
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hernia
Hernia merupakan penonjolan isi rongga melalui defek atau bagian lemah dari dinding rongga
bersangkutan. Kata hernia berasal dari bahasa Yunani (Hernios) dengan definisi tunas. Sejak
jaman Mesir (1500 SM) dan jaman Yunani kuno (400 SM) hernia sudah dapat didiagnosis. Selama
periode-periode tersebut berbagai alat dan teknik operasi telah dilakukan. Pada periode tersebut
operasi hernia biasa disertai dengan pengebirian dan strangulasi merupakan hal yang tidak bisa
diobati.
13
a. Umur yang semakin bertambah
b. Malnutrisi, baik makronutrien (protein, karbohidrat) atau mikronutrien (misalnya:
Vitamin C)
c. Kerusakan atau paralisis dari saraf motorik
d. Abnormalitas metabolisme kolagen.
Seringkali, berbagai faktor terlibat. Sebagai contoh, adanya kantung kongenital yang telah
terbentuk sebelumnya mungkin tidak menyebabkan hernia sampai kelemahan dinding abdomen
akuisita atau kenaikan tekanan intraabdomen menyebabkan isi abdomen memasuki kantong
tersebut.
14
2.1.4 Klasifikasi hernia
Hernia dapat dibagi menjadi beberapa tipe. Hernia dibedakan berdasarkan dari awal
mulaterjadinya hernia, gambaran klinis hernia, dan arah penonjolan hernia.
Berdasarkan awal mula terjadinya, hernia dibagi atas:
a. Hernia bawaan atau kongenital
Pada hernia kongenital sebelumnya telah terbentuk kantong yang terjadi sebagai akibat dari
gangguan proses perkembangan intrauterine. Salah satu contohnya adalah paten prosesus
vaginalis.
b. Hernia dapatan atau akuisita
Terdapat dua tipe hernia akuisita:
• Hernia primer : terjadi pada titik lemah yang terjadi alamiah, seperti pada :
- Struktur yang menembus dinding abdomen → pada pembuluh darah femoralis yang
melalui kanalis femoralis.
- Otot dan aponeurosis yang gagal untuk saling menutup secara normal → pada regio
lumbal
- Jaringan fibrosa yang secara normal berkembang untuk menutup defek → pada
umbilikus
• Hernia sekunder : terjadi pada tempat pembedahan atau trauma pada dinding abdomen,
seperti pada laparatomi dan trauma tembus.
Berdasarkan gambaran klinis dan komplikasi yang terjadi, hernia terbagi atas:
a. Hernia reponibel
Hernia dikatakan reponibel apabila isi hernia dapat keluar masuk, tetapi kantungnya
menetap.Isinya tidak serta merta muncul secara spontan, namun terjadi bila disokong gaya
gravitasi atau tekanan intraabdominal yang meningkat.Usus keluar jika berdiri atau
mengedan dan masuk lagi jika berbaring atau didorong masuk perut. Tidak ada keluhan
nyeri, gejala obstruksi usus, ataupun gejala toksik. Terapi operasi pada hernia reponibel
merupakan tindakan elektif.
b. Hernia ireponibel
Hernia ireponibel bila isi kantong tidak dapat direposisi kembali kedalam rongga perut. Hal
ini biasanya disebabkan oleh perlekatan isi kantong pada peritoneum kantong hernia.
15
Hernia ini disebut hernia akreta. Tidak ada keluhan rasa nyeri, sumbatan usus, ataupun
gejala toksik. Hernia ireponibel mempunyai resiko yang lebih besar untuk terjadi obstruksi
dan strangulasi daripada hernia reponibel. Tetapi terapi pembedahan pada kasus ini masih
merupakan terapi operasi elektif.
c. Hernia obstruksi
Hernia obstruksi berisi usus, di mana lumennya tertutup. Biasanya obstruksi terjadi pada
leher kantong hernia. Jika obstruksi terjadi pada kedua tepi usus, cairan berakumulasi di
dalamnya dan terjadi distensi (closed loop obstruction). Biasanya suplai darah masih baik,
tetapi lama kelamaan dapat terjadi strangulasi.Istilah ’inkarserata’ terkadang dipakai untuk
menggambarkan hernia yang ireponibel tetapi tidak terjadi strangulasi. Oleh sebab itu,
hernia ireponibel yang mengalami gangguan pasase atau obstruksi dapat juga disebut
dengan hernia inkarserata. Pada hernia tipe ini terdapat keluhan nyeri tetapi tidak ada gejala
toksik. Nyeri yang dirasakan merupakan nyeri ringan-sedang (mild-moderate) dan
merupakan nyeri visceral karena regangan pada mesenterium sewaktu satu segmen usus
halus masuk ke dalam kantong hernia.Nyeri yang disertai mual atau muntah baru timbul
kalau terjadi inkarserasi karena ileus atau strangulasi karena nekrosis atau
gangrene.Walaupun terdapat nyeri, terapi operasi masih merupakan terapi elektif.
d. Hernia strangulata
Hernia strangulata terjadi apabila suplai darah untuk isi hernia terputus. Kejadian patologis
selanjutnya adalah oklusi vena dan limfe, akumulasi cairan jaringan (edema) menyebabkan
pembengkakan lebih lanjut, dan sebagai konsekuensinya peningkatan tekanan vena.
Terjadi perdarahan venadengan pembengkakan akhirnya mengganggu aliran arteri.
Jaringannya mengalami iskemi dan nekrosis. Gangguan vaskularisasi dapat berupa
nyeri(severe pain) yang hebat, menetap, dan tidak mereda, nyeri seperti ini disebut juga
sebagai nyeri iskemik.Jika isi hernia abdominal bukan usus, misalnya omentum, nekrosis
yang terjadi bersifat steril. Tetapi strangulasi usus paling sering terjadi dibandingkan
strangulasi omentum dan sebagai akibatnya dapat menyebabkan nekrosis yang terinfeksi
(gangren). Mukosa usus terlibat dan dinding usus menjadi permeabel terhadap bakteri,
yang bertranslokasi dan masuk ke dalam kantong dan dari sana menuju pembuluh darah.
Usus yang infark dan rentan, mengalami perforasi (biasanya pada leher pada kantong
hernia) dan cairan lumen yang mengandung bakteri keluar menuju rongga peritonial
16
menyebabkan peritonitis. Jika sudah demikian, akan terjadi syok sepsis dengan gagal
sirkulasi dan berakhir dengan kematian. Hal ini akan menimbulkan obstruksi usus dan
gejala toksik, seperti demam tinggi, menggigil, gelisah hingga penurunan kesadaran,
frekuensi nadi yang meningkat namun lemah, penurunan tekanan darah, dan terdapat
leukositosis.. Oleh sebab itu terapi operasi pada hernia strangulata merupakan operasi
gawat darurat atau cito.
Terapi
Jenis Hernia Reponibel Nyeri Obstruksi Toksik
operasi
Reponible + - - - Elektif
Ireponible - - - - Elektif
Inkaserata - + + - Elektif
Strangulata - ++ + ++ Cito
Tabel. Perbedaan hernia reponible, ireponible, inkarserata, dan strangulata
17
lebih sering pada sisi kanan dibandingkan pada sisi kiri. Alasannya adalah karena testis kiri lebih
dulu turun dari retroperitonel ke skrotum dibanding testis kanan, sehingga obliterasi canalis
inguinalis kanan terjadi lebih akhir. Faktor paling kausal yaitu adanya proses vaginalis (kantong
hernia) yang terbuka, peningkatan tekanan intra abdomen, dan kelemahan otot dinding perut
karena usia.
Hernia ingunalis dibagi menjadi dua yaitu:
1. Hernia inguinalis medialis (direct)
Hernia inguinalis direct, disebut juga hernia inguinalis medialis, karena melewati dinding
inguinal posterior yaitu di daerah medial pembuluh darah epigastrika inferior, yang
berbatasan dengan trigonum Hesselbach. Disebut direct karena langsung menonjol melalui
segitiga Hesselbach. Hernia inguinalis direct jarang, bahkan hampir tidak mengalami
inkarserasi dan strangulasi.
2. Hernia inguinalis lateralis(indirect)
Hernia inguinalis lateralis (indirect) adalah hernia yang melalui anulus inguinalis internus
yang terletak di sebelah lateral vasa epigastrika inferior, menyusuri kanalis inguinalis dan
keluar ke rongga perut melalui anulus inguinalis eksternus. Disebut hernia inguinalis
lateralis karena menonjol dari perut di lateral dari pembuluh epigastrika inferior. Disebut
indirect karena keluar melalui dua pintu dan saluran, yaitu annulus dan kanalis
inguinalis.Selain hernia indirect nama yang lain adalah hernia oblique yang artinya kanal
yang berjalan miring dari lateral atas ke medial bawah. Apabila hernia ini berlanjut,
tonjolan akan sampai ke skrotum, ini disebut hernia skrotalis.
Hubungan Dibungkus
Onset
dg vasa oleh fascia
Tipe Deskripsi biasanya
epigastrica spermatica
pada waktu
inferior interna
Hernia Penojolan melewati cincin Lateral Ya Congenital
ingunalis inguinal dan biasanya merupakan
Dan bisa
lateralis kegagalan penutupan cincin
pada waktu
ingunalis interna pada waktu
dewasa.
embrio setelah penurunan testis
Hernia Keluarnya langsung menembus Medial Tidak Dewasa
ingunalis fascia dinding abdomen
medialis
Tabel. Perbedaan hernia inguinalis lateralis dan medialis
18
2.1.6 Manifestasi klinis
Pasien mengeluh ada tonjolan di lipat paha, pada beberapa orang adanya nyeri dan
membengkak pada saat mengangkat atau ketegangan. Seringnya hernia ditemukan pada saat
pemeriksaan fisik misalnya pemeriksaan kesehatan sebelum masuk kerja. Beberapa pasien
mengeluh adanya sensasi nyeri yang menyebar biasanya pada hernia ingunalis lateralis, perasaan
nyeri yang menyebar hingga ke scrotum. Dengan bertambah besarnya hernia maka diikuti rasa
yang tidak nyaman dan rasa nyeri, sehingga pasien berbaring untuk menguranginya. Pada
umumnya hernia direct akan memberikan gejala yang sedikit dibandingkan hernia ingunalis
lateralis, dan juga kemungkinannya lebih berkurang untuk menjadi inkarserasi atau strangulasi.
19
Hiperperistaltis didapatkan pada auskultasi abdomen pada hernia yang mengalami obstruksi
usus (hernia inkarserata)
Tiga teknik pemeriksaan sederhana untuk menentukan jenis hernia yaitu finger test,
Ziemen test dan Thumb test. Cara pemeriksaannya sebagai berikut:
• Pemeriksaan Finger Test :
- Menggunakan jari ke 2 atau jari ke 5
- Dimasukkan lewat skrotum melalui anulus eksternus ke kanal inguinal
- Penderita disuruh batuk:
✓ Bila impuls di ujung jari berarti Hernia Inguinalis Lateralis.
✓ Bila impuls di samping jari Hernia Inguinnalis Medialis.
20
• Pemeriksaan Thumb Test :
- Anulus internus ditekan dengan ibu jari dan penderita disuruh mengejan
✓ Bila keluar benjolan berarti Hernia Inguinalis medialis.
✓ Bila tidak keluar benjolan berarti Hernia Inguinalis Lateralis
21
ml medium kontras iodine positif dimasukkan dalam wadah peritoneal dengan
menggunakan jarum yang lembut.Pasien berbaring dengan kepala terangkat dan
membentuk sudut kira-kira 25 derajat. Tempat yang kontras di daerah inguinalis yang diam
atau bergerak dari sisi satu ke sisi lain akan mendorong terwujudnya kolam kecil pada
daerah inguinal. Tiga fossa inguinal adalah suprapubik, medial, dan lateral.Pada umunya
fossa inguinal tidak mencapai ke seberang pinggir tulang poinggang agak ke tengah dan
dinding inguinal posterior. Hernia tak langsung muncul dari fossa lateral yang menonjol
dari fissa medial ayau hernia langsung medial yang menonjol dari fossa suprapubik.
Diagnosis
Diagnosis hernia inguinalis strangulata dilakukan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang benar. Anamnesis yang ditanyakan mengenai berapa lama nyeri dirasakan, apakah ada yang
memperingan atau memperburuk nyeri dan benjolan, apakah batuk atau bersin membuat benjolan
semakin besar, apakah posisi berbaring membuat benjolan mengecil, apakah benjolan dapat
22
didorong masuk kembali dengan tangan, apakah terdapat kesulitan saat mendorong benjolan
masuk, dan apakah pernah memiliki riwayat operasi hernia pada sisi lainnya.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Pada
inspeksi dapat ditemukan adanya benjolan pada lipat paha yang tidak dapat mengecil atau masuk
kembali. Dapat ditemukan kemerahan pada benjolan tersbut. Pada auskultasi ditemukan bising
usus meningkat, hal ini menunjukkan adanya obstruksi pada usus. Pada perkusi didapatkan hasil
hipertimpani. Pada palpasi dapat diperiksa hangat/tidak benjolannya, konsistensi, dan nyeri tekan.
Diagnosis hernia inguinalis dapat dibuktikan dengan pemeriksaan fisik dengan sensitifitas 74,5-
92% dan spesifiksitas sebesar 93%.
Pemeriksaan penunjang tidak digunakan untuk menegakkan diagnosis hernia inguinalis
strangulata. CT scan memiliki spesifiksitas yang rendah tapi membantu jika kasus tersebut
melibatkan kandung kemih. MRI memiliki sensitivitas 94,5% dan spesifiksitas 96,3%.
Herniography juga aman dan dapat dilakukan dengan sensitifitas 100% dan spesifiksitas 98-100%.
Pemeriksaan laboratorium tidak berguna untuk menegakan diagnosis hernia inguinalis strangulata.
Hemokonsentrasi dan leukositosis dapat menunjukan obstruksi usus dan strangulasi. Diagnosis
definitif hanya dapat dilakukan dengan operasi. Kombinasi anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang diperlukan untuk menentukan diagnosis.
2.1.10 Tatalaksana
Penanganan di IGD
Penatalaksanaan hernia yang bisa dilakukan di IGD meliputi:
• Memberikan sedasi yang adekuat dan analgetik untuk mencegah nyeri
• Pasien harus istirahat agar tekanan intraabdominal tidak meningkat
• Menurunkan tegangan otot abdomen. Posisikan pasien berbaring terlentang dengan bantal
di bawah lutut. Pasien pada posisi Trendelenburg dengan sudut sekitar 15-20°.
• Kompres dengan kantung dingin untuk mengurangi pembengkakan dan menimbulkan
proses analgesia selama 20-30 menit
• Posisikan kaki ipsilateral dengan rotasi eksterna dan posisi fleksi unilateral (seperti kaki
kodok)
• Rencanakan operasi
23
Pada pasien geriatri sebaiknya dilakukan operasi elektif agar kondisi kesehatan saat dilakukan
operasi dalam keadaan optimal dan anestesi dapat dilakukan. Operasi yang cito mempunyai resiko
yang besar pada pasien geriatri. Jika pasien menderita hiperplasia prostat, maka akan lebih baik
jika dilakukan penanganan terlebih dahulu terhadap hiperplasia prostatnya mengingat tingginya
resiko infeksi traktus urinarius dan retensi urin pada saat operasi hernia. Pada saat operasi harus
dilakukan eksplorasi abdomen untuk memastikan usus masih hidup dan ada tidaknya tanda-tanda
leukositosis.
24
Komponen utama dari teknik ini adalah :
▪ Membelah aponeurosis otot obliquus abdominis eksternus dikanalis inguinalis
hingga ke cincin eksternal.
▪ Memisahkan otot kremaster dengan cara reseksi untuk mencari hernia indirect
sekaligus menginspeksi dasar dari kanalis inguinal untuk mencari hernia direct.
▪ Memisahkan bagian dasar atau dinding posterior kanalis inguinalis (fascia
transversalis)
▪ Melakukan ligasi kantong hernia seproksimal mungkin.
▪ Rekonstruksi dinding posterior dengan menjahit fascia transversalis, otot
transversalis abdominis dan otot abdominis internus ke ligamentum inguinalis
lateral.
Teknik kelompok ini berbeda dalam pendekatan mereka dalam rekonstruksi, tetapi
semuanya menggunakan jahitan permanen untuk mengikat fascia disekitarnya dan
memperbaiki dasar dari kanalis inguinalis. Kelemahannya adalah tegangan yang terjadi
akibat jahitan tersebut, selain dapat menimbulkan nyeri juga dapat terjadi nekrosis otot
yang akan menyebabkan jahitan terlepas dan mengakibatkan kekambuhan.
b. Kelompok 2 : Open Posterior Repair
Posterior repair (iliopubic repair dan teknik Nyhus) dilakukan dengan membelah lapisan
dinding abdomen superior hingga ke cincinluar dan masuk ke properitoneal space.
Diseksi kemudian diperdalam kesemua bagian kanalis inguinalis. Perbedaan utama
antara teknik ini dan teknik open anterior adalah rekonstruksi dilakukan dari bagian
dalam. Posterior repair sering digunakan pada hernia dengan kekambuhan karena
menghindari jaringan parut dari operasi sebelumnya. Operasi ini biasanya dilakukan
dengan anastesi regional atau anastesi umum.
c. Kelompok 3: Tension-free repair with Mesh
Kelompok 3 operasi hernia (teknik Lichtenstein dan Rutkow) menggunakan pendekatan
awal yang sama dengan teknik open anterior. Akan tetapi tidak menjahit lapisan fascia
untuk memperbaiki defek, tetapi menempatkan sebuah prostesis, yaitu Mesh yang tidak
diserap. Mesh ini dapat memperbaiki defek hernia tanpa menimbulkan tegangan dan
ditempatkan di sekitar fascia. Hasil yang baik diperoleh dengan teknik ini dan angka
kekambuhan dilaporkan kurang dari 1 persen. Beberapa ahli bedah meragukan
25
keamanan jangka panjang penggunaan implant prosthesis, khususnya kemungkinan
infeksi atau penolakan. Akan tetapi pengalaman yang luas dengan mesh telah mulai
menghilangkan anggapan ini, dan teknik ini terus populer. Teknik ini dapat dilakukan
dengan anastesi lokal, regional atau general.
d. Kelompok 4 : Laparoscopic
Operasi hernia laparoscopic makin populer dalam beberapa tahun terakhir, tetapi juga
menimbulkan kontroversi. Pada awal pengembangan teknik ini, hernia diperbaiki
dengan menempatkan potongan mesh yang besar di regio inguinal diatas peritoneum.
Teknik ini ditinggalkan karena potensi obstruksi usus halus dan pembentukan fistel
karena paparan usus terhadap mesh. Saat ini kebanyakan teknik laparoscopic
herniorhappies dilakukan menggunakan salah satu pendekatan transabdominal
preperitoneal (TAPP) atau total extraperitoneal (TEP). Pendekatan TAPP dilakukan
dengan meletakkan trokar laparoskopik dalam cavum abdomen dan memperbaiki regio
inguinal dari dalam. Ini memungkinkan mesh diletakkan dan kemudian ditutupi dengan
peritoneum. Sedangkan pendekatan TEP adalah prosedur laparokopik langsung yang
mengharuskan masuk ke cavum peritoneal untuk diseksi. Konsekuensinya, usus atau
pembuluh darah bisa cedera selama operasi.
2.1.12 Komplikasi
Hernia strangulata dapat menimbulkan gejala obstruksi usus yang sederhana. Sumbatan dapat
terjadi total atau parsial seperti pada hernia Richter. Jepitan cincin hernia akan menyebabkan
gangguan perfusi jaringan isi hernia. Pada permulaan terjadi bendungan vena sehingga terjadi
udem organ atau struktur di dalam hernia dan transudasi ke dalam kantong hernia. Timbulnya
udem menyebabkan jepitan pada cincin hernia makin bertambah sehingga akhirnya peredaran
darah jaringan terganggu. Isi hernia menjadi nekrosis dan kantong hernia akan berisi transudat
26
berupa cairan serosanguinus. Kalau isi hernia terdiri atas usus, dapat terjadi perforasi yang
akhirnya dapat menimbulkan abses lokal, fistel, atau peritonitis jika terjadi hubungan dengan
rongga perut.
Gambaran klinis hernia inkarserata yang mengandung usus dimulai dengan gambaran
obstruksi usus dengan gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa. Bila telah terjadi
strangulasi karena gangguan vaskularisasi, terjadi keadaan toksik akibat gangren dan gambaran
klinis menjadi kompleks dan sangat serius. Penderita mengeluh nyeri lebih berat di tempat hernia.
Nyeri akan menetap karena rangsangan peritoneal.
Pada pemeriksaan lokal ditemukan benjolan yang tidak dapat dimasukkan kembali disertai
nyeri tekan dan, tergantung keadaan isi hernia, dapat dijumpai tanda peritonitis atau abses lokal.
Hernia strangulata merupakan keadaan gawat darurat. Oleh karena itu, perlu mendapat pertolongan
segera.
2.1.13 Prognosis
Prognosis untuk perbaikan hernia umumnya baik dengan diagnosis dan perbaikan. Prognosis
tergantung pada jenis dan ukuran hernia juga pada kemampuan untuk mengurangi faktor risiko
yang berkaitan dengan perkembangan hernia.
Usia yang lebih tua, lebih lama hernia, dan irreducibility yang lebih lama dianggap faktor risiko
komplikasi akut seperti penjepitan dan obstruksi usus. Sekitar 5% dari primer perbaikan hernia
inguinalis dilaksanakan sebagai keadaan darurat.
Jika didiagnosis awal masa kanak-kanak, prognosis untuk anak-anak yang telah mengalami
operasi hernia inguinalis diperbaiki sangat baik. Kadang-kadang ada komplikasi berhubungan
dengan hernia inguinalis termasuk kematian, tetapi ini jarang terjadi.
2.2 Peritonitis
Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum (lapisan serosa yang menutupi rongga abdomen
dan organ-organ abdomen di dalamnya). Suatu bentuk penyakit akut, dan merupakan kasus bedah
darurat. Dapat terjadi secara lokal maupun umum, melalui proses infeksi akibat perforasi usus,
misalnya pada ruptur appendiks atau divertikulum kolon, maupun non infeksi, misalnya akibat
keluarnya asam lambung pada perforasi gaster, keluarnya asam empedu pada perforasi kandung
empedu. Pada wanita peritonitis sering disebabkan oleh infeksi tuba falopi atau ruptur ovarium.
27
2.2.1 Klasifikasi dan etiologi
Kelainan dari peritoneum dapat disebabkan oleh bermacam hal, antara lain:
1. Perdarahan, misalnya pada ruptur lien, ruptur hepatoma, kehamilan ektopik terganggu
2. Asites, yaitu adanya timbunan cairan dalam rongga peritoneal sebab obstruksi vena porta
pada sirosis hati, malignitas.
3. Adhesi, yaitu adanya perlekatan yang dapat disebabkan oleh corpus alienum, misalnya kain
kassa yang tertinggal saat operasi, perforasi, radang, trauma
4. Radang, yaitu pada peritonitis
Peritonitis diklasifikasikan menjadi:
A. Menurut agens
1. Peritonitis kimia, misalnya peritonitis yang disebabkan karena asam lambung, cairan
empedu, cairan pankreas yang masuk ke rongga abdomen akibat perforasi.
2. Peritonitis septik, merupakan peritonitis yang disebabkan kuman. Misalnya karena ada
perforasi usus, sehingga kuman-kuman usus dapat sampai ke peritonium dan
menimbulkan peradangan.
B. Menurut sumber kuman
1. Peritonitis primer, merupakan peritonitis yang infeksi kumannya berasal dari
penyebaran secara hematogen. Sering disebut juga sebagai Spontaneous Bacterial
Peritonitis (SBP). Peritonitis ini bentuk yang paling sering ditemukan dan disebabkan
oleh perforasi atau nekrose (infeksi transmural) dari kelainan organ visera dengan
inokulasi bakterial pada rongga peritoneum. Kasus SBP disebabkan oleh infeksi
monobakterial terutama oleh bakteri gram negatif ( E.coli, klebsiella pneumonia,
pseudomonas, proteus) , bakteri gram positif ( streptococcus pneumonia,
staphylococcus).
Peritonitis primer dibedakan menjadi:
- Spesifik: Peritonitis yang disebabkan infeksi kuman yang spesifik, misalnya kuman
tuberkulosa.
- Non- spesifik: Peritonitis yang disebabkan infeksi kuman yang non spesifik,
misalnya kuman penyebab pneumonia yang tidak spesifik.
28
2. Peritonitis sekunder, peritonitis ini bisa disebabkan oleh beberapa penyebab utama,
diantaranya adalah:
- Invasi bakteri oleh adanya kebocoran traktus gastrointestinal atau traktus
genitourinarius ke dalam rongga abdomen, misalnya pada : perforasi appendiks,
perforasi gaster, perforasi kolon oleh divertikulitis, volvulus, kanker, strangulasi
usus, dan luka tusuk.
- Iritasi peritoneum akibat bocornya enzim pankreas ke peritoneum saat terjadi
pankreatitis, atau keluarnya asam empedu akibat trauma pada traktus biliaris.
- Benda asing, misalnya peritoneal dialisis catheters.
Komplikasi yang dapat terjadi pada peritonitis sekunder antara lain adalah syok septik,
abses, perlengketan intraperitoneal.
3. Peritonitis tersier, biasanya terjadi pada pasien dengan Continuous Ambulatory
Peritoneal Dialysis (CAPD), dan pada pasien imunokompromise. Organisme penyebab
biasanya organisme yang hidup di kulit, yaitu coagulase negative Staphylococcus,
S.Aureus, gram negative bacili, dan candida, mycobacteri dan fungus. Gambarannya
adalah dengan ditemukannya cairan keruh pada dialisis. Biasanya terjadi abses,
phlegmon, dengan atau tanpa fistula. Pengobatan diberikan dengan antibiotika IV atau
ke dalam peritoneum, yang pemberiannya ditentukan berdasarkan tipe kuman yang
didapat pada tes laboratorium. Komplikasi yang dapat terjadi diantaranya adalah
peritonitis berulang, abses intraabdominal. Bila terjadi peritonitis tersier ini sebaiknya
kateter dialisis dilepaskan.
29
- colitis ulseratif / chron’s disease
- trauma
- CAPD (Continous Ambulatory Peritoneal Dyalisis)
- pankreatitis
2.2.3 Patofisiologi
Peritonitis merupakan komplikasi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen,
ruptur saluran cerna, atau luka tembus abdomen. Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh
bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa, kantong-kantong nanah (abses) terbentuk diantara
perlekatan fibrinosa yang membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi
menghilang, tetapi dapat menetap sehingga menimbulkan obstruksi usus.
Dapat terjadi secara terlokalisasi, difus, atau generalisata. Pada peritonitis lokal dapat terjadi
karena adanya daya tahan tubuh yang kuat serta mekanisme pertahanan tubuh dengan melokalisir
sumber peritonitis dengan omentum dan usus. Pada peritonitis yang tidak terlokalisir dapat terjadi
peritonitis difus, kemudian menjadi peritonitis generalisata dan terjadi perlengketan organ-organ
intra abdominal dan lapisan peritoneum viseral dan parietal. Timbulnya perlengketan ini
menyebabkan aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik. Cairan dan elektrolit
hilang ke dalam usus mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria.
Pada keadaan lanjut dapat terjadi sepsis, akibat bakteri masuk ke dalam pembuluh darah.
30
- Distensi abdomen dengan penurunan bising usus sampai tidak terdengar bising usus
- Rigiditas abdomen atau sering disebut ’perut papan’, terjadi akibat kontraksi otot dinding
abdomen secara volunter sebagai respon/antisipasi terhadap penekanan pada dinding
abdomen ataupun involunter sebagai respon terhadap iritasi peritoneum
- Nyeri tekan dan nyeri lepas (+)
- Takikardi, akibat pelepasan mediator inflamasi
- Tidak dapat buang angin /BAB
31
1. Lekositosis ( lebih dari 11.000 sel/...L ) dengan pergeseran ke kiri pada hitung jenis. Pada
pasien dengan sepsis berat, pasien imunokompromais dapat terjasi lekopenia.
2. Asidosis metabolik dengan alkalosis respiratorik.
3. Pada foto polos abdomen didapatkan:
- Bayangan peritoneal fat kabur karena infiltrasi sel radang
- Pada pemeriksaan rontgen tampak udara usus merata, berbeda dengan gambaran ileus
obstruksi
- Penebalan dinding usus akibat edema
- Tampak gambaran udara bebas
- Adanya eksudasi cairan ke rongga peritoneum, sehingga pasien perlu dikoreksi cairan,
elektrolit, dan asam basanya agar tidak terjadi syok hipovolemik
4. Pemeriksaan penunjang lain yang bisa dilakukan adalah dengan USG abdomen, CT scan,
dan MRI.
5. Diagnosis Peritoneal Lavage (DPL)
Teknik ini digunakan untuk mengevaluasi pasien dengan cedera intra abdomen setelah
trauma tumpul yang disertai dengan kondisi: hilangnya kesadaran, intoksikasi alkohol,
perubahan sensori, misalnya pada cedera medula spinalis, cedera pada costae atau
processus transversus vertebra. Teknik ini adalah suatu tindakan melakukan bilasan
rongga perut dengan memasukkan cairan garam fisiologis sampai 1.000 ml melalui kanul,
setelah sebelumnya pada pengisapan tidak ditemukan darah atau cairan.
Pada DPL dilakukan analisis cairan kualitatif dan kuantitatif, hal-hal yang perlu dianalisis
antara lain: kadar pH, glukosa, protein, LDH, hitung sel, gram stain, serta kultur kuman
aerob dan anaerob. Pada peritonitis bakterialis, cairan peritonealnya menunjukkan kadar
pH ≤ 7 dan glukosa kurang dari 50 mg/dL dengan kadar protein dan LDH yang
meningkat.
Teknik ini dikontraindikasikan pada kehamilan, obesitas, koagulopati dan hematom yang
signifikan dengan dinding abdomen
2.2.7 Tatalaksana
Peritonitis adalah suatu kondisi yang mengancam jiwa, yang memerlukan pengobatan medis
sesegera mungkin. Prinsip utama terapi pada infeksi intra abdomen adalah:
32
1. Mengontrol sumber infeksi
2. Mengeliminasi bakteri dan toksin
3. Mempertahankan fungsi sistem organ
4. Mengontrol proses inflamasi
Terapi antibiotik
Pada SBP (Spontaneus Bacterial Peritonitis), pemberian antibiotik terutama adalah dengan
Sefalosporin gen-3, kemudian diberikan antibiotik sesuai dengan hasil kultur. Penggunaan
aminolikosida sebaiknya dihindarkan terutama pada pasien dengan gangguan ginjal kronik karena
efeknya yang nefrotoksik. Lama pemberian terapi biasanya 5-10 hari.
Pada peritonitis sekunder dan tersier, terapi antibiotik sistemik ada pada urutan ke-dua. Untuk
infeksi yang berkepanjangan, antibiotik sistemik tidak efektif lagi, namun lebih berguna pada
infeksi akut.
Pada infeksi inta-abdominal berat, pemberian imipenem, piperacilin/tazobactam dan
kombinasi metronidazol dengan aminoglikosida.
33
Intervensi non-operatif
Dapat dilakukan drainase percutaneus abses abdominal dan ekstraperitoneal. Keefektifan
teknik ini dapat menunda pembedahan sampai proses akut dan sepsis telah teratasi, sehingga
pembedahan dapat dilakukan secara elektif. Hal-hal yang menjadi alasan ketidakberhasilan
intervensi non-operatif ini antara lain fistula enteris, keterlibatan pankreas, abses multipel. Terapi
intervensi non-operatif ini umumnya berhasil pada pasien dengan abses peritoneal yang
disebabkan perforasi usus (misalnya apendisitis, divertikulitis).
Teknik ini merupakan terapi tambahan. Bila suatu abses dapat di akses melalui drainase
percutaneus dan tidak ada gangguan patologis dari organ intraabdomen lain yang memerlukan
pembedahan, maka drainase perkutaneus ini dapat digunakan dengan aman dan efektif sebagai
terapi utama. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain perdarahan, luka dan erosi, fistula.
Terapi operatif
Cara ini adalah yang paling efektif. Pembedahan dilakukan dengan dua cara, pertama, bedah
terbuka, dan kedua, laparoskopi.
2.2.8 Prognosis
Tergantung dari umur penderita, penyebab, ketepatan dan keefektifan terapi. Prognosa baik
pada peritonitis lokal dan ringan. Prognosa buruk pada peritonitis general.
34
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Anamnesis
Pasien datang dengan keluhan buah zakar membesar. Awalnya benjolan kecil dan dapat
dimasukkan kembali. Sejak 7 hari SMRS, benjolan membesar dan tidak dimasukkan kembali.
Pasien juga mengeluh buah zakar nyeri, tampak kemerhan, perut kembung, tidak bisa BAB dan
flatus, serta mual dan muntah. Pasien memiliki riwayat mengangkat beban berat.
Berdasarkan anamnesis gejala pasien mengarah ke hernia scrotalis dengan tanda-tanda
gangguan vaskulasrisasi dan gangguan pasase usus. Ditunjang dengan riwayat mengangkat beban
sebagai faktor risiko.
35
3.3 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium:
▪ Ur/Cr : 97 / 1,2
▪ pH : 7,554
▪ PCO2 : 14,5
▪ PO2 : 82,5
▪ HCO3 : 12,9
▪ Total CO2 : 13,4
▪ Base Excess : -9,6
▪ Standard HCO3 : 20,1
Hasil Fungsi ginjal mengarah ke AKI akibat dehidrasi. AGD menunjukkan adanya alkalosis
respiratorik terkompensasi.
USG scrotum: tampak gambaran loop usus pada scrotum → mendukung diagnosa hernia
scrotalis.
3.4 Diagnosis
▪ Hernia scrotalis strangulata
▪ Peritonitis
▪ Dehidrasi berat dd/ syok sepsis.
3.5 Penatalaksanaan
Tatalaksana Hernia Strangulata di IGD:
1. Memberikan sedasi yang adekuat dan analgetik untuk mencegah nyeri
2. Pasien harus istirahat agar tekanan intraabdominal tidak meningkat
3. Menurunkan tegangan otot abdomen. Posisikan pasien berbaring terlentang dengan
bantal di bawah lutut. Pasien pada posisi Trendelenburg dengan sudut sekitar 15-20°.
4. Kompres dengan kantung dingin untuk mengurangi pembengkakan dan menimbulkan
proses analgesia selama 20-30 menit
5. Posisikan kaki ipsilateral dengan rotasi eksterna dan posisi fleksi unilateral (seperti kaki
kodok)
6. Rencanakan operasi cito
36
Tatalaksana Peritonitis:
1. Terapi medis dengan antibiotik.
2. Intervensi non-operatif, termasuk di dalamnya drainase abses percutaneus dan
percutaneus and endoscopic stent placement.
3. Terapi operatif
Pada pasien ini sudah dilakukan tatalaksana pemberian analgetik dengan inj. Ketorolac 3x30
mg iv; terapi antibiotik dengan kombinasi inj. Ceftriaxon 1 gr/12 jam i.v. dan inj. Metronidazol
500 mg/8 jam i.v. Pasien dipuaskaan dan dilakukan pemasangan NGT dan DC untuk dekompresi
abdomen. Pasien juga direncanakan dilakukan operasi laparotomi cito saat di rawat inap.
3.6 Prognosis
Quo Ad Vitam : Dubia Admalam
Quo Ad Functionam : Dubia Admalam
Quo Ad Sananctionam : Dubia Admalam
37
BAB IV
DISKUSI KASUS
1. dr. Ryan: Bagaimana kriteria diagnosis sepsis? Pemeriksaan penunjang apa saja sebagai
penegakkan diagnosis sepsis?
Sepsis ditegakkan bila curiga atau terbukti bakteremia pada pasien-pasien dengan SIRS
(systemic inflamatory response syndrome).
SIRS, minimal memenuhi 2 dari 4 kriteria berikut:
- Suhu tubuh > 38°C atau < 36°C
- Frekuensi nadi > 90 kali/menit
- Frekuensi napas > 20 kali/menit atau PaCO2 < 32 mmHg
- Jumlah hitung leukosit > 12.000/mm3, atau < 4.000/mm3, atau jumlah neutrofil batang
>10%
Sepsis: SIRS dengan penemuan atau kecurigaan bakteremia.
Sepsis berat: Sepsis dengan disfungsi organ, hipotensi, atau hipoperfusi. Kriteria ini juga
mencakup sepsis dengan:
- Asidosis laktat
- Oliguria (keluaran urin < 0,5 ml/kgBB/jam selama > 2 jam meski telah diberi resusitasi
cairan secara adekuat)
- Acute lung injury (ALI) dengan PaO2/FiO2 < 200 (bila tidak ada pneumonia), atau
PaO2/FiO2 < 250 (bila ada keterlibatan pneumonia)
- Kreatinin serum > 2,0 mg/dL
- Bilirubin > 2 mg/dL
- Hitung trombosit < 100.000/mm3
- Koagulopati (INR > 1,5)
Syok sepsis: Sepsis dengan kelainan hipotensi yang tidak membaik dengan resusitasi cairan
awal.
Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS): Adanya gangguan fungsi organ-organ tubuh
secara akut sehingga homeostasis yang tidak dapat dipertahankan tanpa intervensi.
38
2. dr. Jafar: Apa yang dimaksud qSOFA? Apa saja indikatornya?
Skor qSOFA ditujukan untuk mengidentifikasi pasien dewasa dengan curiga infeksi yang
memiliki kecenderungan memperoleh outcome yang buruk. Parameter ini berguna bagi klinisi
untuk secara cepat 24 mengidentifikasi disfungsi organ serta memberikan terapi yang tepat dan
sesegera mungkin. Skor qSOFA > 2 merupakan salah satu dasar untuk mendiagnosis apakah
pasien dengan kecurigaan infeksi mengalami sepsis atau tidak, sehingga diperkirakan skor
tersebut dapat menjadi prediktor mortalitas pada sepsis dan syok sepsis.
Indikator qSOFA adalah sebagai berikut:
39
BAB V
KESIMPULAN
Hernia merupakan penonjolan isi rongga melalui defek atau bagian lemah dari dinding rongga
bersangkutan. Komplikasi paling berat pada hernia adalah strangulata, di mana hal ini terjadi pada
1-3% kasus hernia inguinalis. Hernia strangulata adalah hernia yang terjadi pada daerah inguinalis
dan suplai darah ke daerah hernia tersebut berkurang. Hernia strangulata dapat terjadi karena
hernia inguinalis inkaserata yang tidak mendapatkan tatalaksana yang tepat.
Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum (lapisan serosa yang menutupi rongga abdomen
dan organ-organ abdomen di dalamnya). Suatu bentuk penyakit akut, dan merupakan kasus bedah
darurat. Dapat terjadi secara lokal maupun umum, melalui proses infeksi akibat perforasi usus,
misalnya pada ruptur appendiks atau divertikulum kolon, maupun non infeksi, misalnya akibat
keluarnya asam lambung pada perforasi gaster, keluarnya asam empedu pada perforasi kandung
empedu.
Hernia strangulata dan peritonitis merupakan kasus kegawatdaruratan abdomen yang
membutuhkan penanganan segera.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, didapatkan diagnosa
hernia scrotalis strangulata dan peritonitis, dengan komplikasi berupa dehidrasi berat dd/ syok
sepsis. Pada pasien sudah diberikan terapi analgetik untuk mengurangi nyeri, antibiotik kombinasi
Ceftriaxon dan Metronidazol untuk sebagai antibiotik empiris, terpasang NGT dan DC untuk
dokompresi, serta direncanakan dilakukan operasi laparotomi.
40
DAFTAR PUSTAKA
1. Warsinggih. Bahan Ajar Peritonitis dan Ileus DR.dr. Warsinggih, Sp.B-KBD. [internet]. 2016.
2. Sjamsuhidajat R, Jong D. Buku Ajar Ilmu Bedah. 3rd ed. (Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W,
Prasetyono TO., Rudiman R, eds.). Jakarta: EGC; 2007.
3. Mansjoer, Suprohaita, W.K. Wardhani, W. Setiowulan. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi IV,
Jilid II. Penerbit Media Aesculapius, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2014.
4. Kingsnorth AN, LeBlanc KA, editors. Management of Abdominal Hernias. London: Springer.
2013.
5. Misiakos EP, Bagis G, Zavras N, Tzanetis P, Patapis P, Machairas A. Strangulated Inguinal
Hernia. London: Intech. 2014.
6. Snell, Richard S. Anatomi Klinik untuk mahasiswa kedokteran; alih bahasa: Liliana
Sugiharto, edisi ke-6. Jakarta: EGC. 2006.
7. Bland, Kirby I. Inguinal Hernias. The Practice of General Surgery. New York: WB Saunders
Company. 2002.
41