Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN PRESENTASI KASUS

Seorang Laki-laki 56 Tahun dengan Hernia Scrotalis Strangulata + Peritonitis


(Laporan Kematian)

Oleh :
dr. Afifah Preyanka Dumi

Pendamping :
dr. H. Ryan Ramdhan

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
KABUPATEN BEKASI
01 Juni 2018 s/d 31 Mei 2018
BAB I
ILUSTRASI KASUS

1.1. Identitas pasien


Nama : Tn. N
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir/Usia : 56 tahun
Alamat : Cikarang Barat, Bekasi
Pekerjaan : Buruh
Agama : Islam
Rekam Medis : 133028
Tanggal Masuk IGD : 10 Oktober 2018
DPJP IGD : dr. Harry Agung
DPJP Spesialis : dr. Nanang, SpB dan dr. Dhani, SpU

1.2. Anamnesis
Autoanamnesis dan alloanamnesis di IGD RSUD Kab.Bekasi pada tanggal 10 Oktober 2018 pukul
15.45 WIB.

Keluhan Utama : Buah zakar membesar

Riwayat Penyakit Sekarang :


± 3 tahun sebelum masuk RS mengeluhkan adanya benjolan di buah zakarnya, benjolan keluar
masuk. Awalnya benjolan sebesar telur bebek di lipat sebelah kanan, kemudian makin lama
benjolan semakin membesar bahkan sampai ke kantung buah zakar. Benjolan dapat digerakkan,
dapat dimasukkan kembali, nyeri (-), kemerahan (-), tegang (-). Riwayat mengangkat beban berat
(+).
± 7 hari sebelum masuk RS pasien mengeluhkan benjolan tidak bisa dimasukkan kembali,
nyeri (+), tampak kemerahan (+). Pasien juga mengeluh perut kembung (+), tidak bisa BAB sejak
7 hari SMRS, dan tidak buang angin sejak 2 hari SMRS. BAK sedikit, mual (+), muntah (+) berupa
air, demam (-). + 5 jam sebelum masuk RS, pasien memeriksakan diri di RS Karya Medika,

2
dikatakan ada usus yang turun ke kantong buah zakar. Pasien kemudian dirujuk ke RSUD
Kabupaten Bekasi karena keterbatasan fasilitas.

Riwayat Penyakit Dahulu :


- Riwayat operasi disangkal
- Riwayat hipertensi disangkal
- Riwayat kencing manis disangkal
- Riwayat alergi obat disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga :


- Keluarga tidak ada yang sakit seperti ini

1.3. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik pada tanggal 10 Oktober 2018 pukul 15.50 WIB.
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis, GSC E4V5M6=15
Tanda Vital : Tensi : 131 / 82 mmHg
Nadi : 100x/menit, reguler
RR : 22x/menit, napas kusmaul (-).
t : 36,50C
SpO2: 99%
BB : 60 kg

Status Generalis:
Kepala : mesosefal, turgor dahi cukup
Mata : konjungtiva palpebra pucat (-/-), mata cowong (+/+), sklera ikterik (-/-)
RC +/+, pupil isokor Ø 3mm/3mm
Telinga : discharge (-/-)
Hidung : napas cuping (-), discharge (-/-)
Mulut : bibir kering (+), sianosis (-)
Tenggorok : T1-1, faring hiperemis (-)
Leher : simetris, trakea di tengah, pembesaran nnl (-/-)

3
Dada : retraksi (-)
Thorak : Jantung : I : ictus cordis tak tampak
Pa: ictus cordis teraba di SIC V 2 cm medial LMCS
Pe: konfigurasi jantung dalam batas normal
Au: HR reguler, bunyi jantung I-II reguler, bising (-),gallop (-)
Paru : I : simetris saat statis dan dinamis
Pa: stem fremitus kanan = kiri
Pe: sonor seluruh lapangan paru
Au: suara dasar vesikuler (+/+), wheezing (-), ronkhi (-)
Abdomen : I : cembung, venektasi (-)
Au : bising usus (+) menurun, metallic sound (-)
Pa : tegang, distensi (+), nyeri tekan (+) seluruh lapangan abdomen, defans
muskuler (+), hepar dan lien tidak teraba
Pe : hipertimpani, pekak sisi (+) normal, pekak alih (-), pekak hepar (+)
Ekstremitas : superior inferior
Edema -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Capillary refill <2” <2”

Status Lokalis
Regio scrotalis
Inspeksi : Tampak massa bentuk agak bulat, ukuran + 15x15x10 cm3, warna kemerahan
Palpasi : Teraba massa, permukaan rata, teraba kenyal, nyeri tekan (+), fluktuasi (-), tidak
bisa dimasukkan kembali, testis tidak teraba
Auskultasi: Bising usus (-)

4
1.4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium (10 Juli 2018)

Nilai Normal Hasil pemeriksan


Hematologi
Hemoglobin 14.0-16.0 g/dl 16,7
Leukosit 3.500-10.000/mm3 9.100
LED <10 96 (↑)
Diff count 0/0/1/81/7/11
Eritrosit 3,8-5,8jt/mm3 5,3
Hematokrit 35-50 46,1
Trombosit 150-400 ribu/mm3 306.000
Elektrolit
Natrium 136-145 135
Kalium 3,3-5,1 4,5
Chlorida 98-106 98
Kimia Klinik
GDS <170 127
Ureum 15-45 mg/ dL 97 (↑)
Kreatinin 0,7-1,2 mg/dL 1,2
SGOT <38 U/L 18
SGPT <41 U/L 11

1.5. Diagnosis
- Hernia scrotalis strangulata dd/ tumor testis
- Peritonitis

1.6. Penatalaksanaan
Tatalaksana IGD:
- O2 nasal canul 3 lpm
- IVFD Asering 500 cc / 6 jam
- Inj. Ranitidin 50 mg i.v.
- Pasang DC
- Pasang NGT dekompresi

Advice dr.Nanang, SpB:


- Puasa
- IVFD Asering 1000 cc/24 jam + IVFD Aminofluid 1000 cc/24 jam

5
- Inj. Ceftriaxon 1 gr/12 jam i.v.
- Inj. Metronidazol 500 mg/8 jam i.v.
- Inj. Ketorolac 3 x 30 mg i.v.
- Inj. Ranitidin 2 x 50 mg i.v.

Advice dr.Dhani, SpU:


- USG testis

1.8 Prognosis
Quo Ad Vitam : Dubia Admalam
Quo Ad Functionam : Dubia Admalam
Quo Ad Sananctionam : Dubia Admalam

6
1.9 Follow Up
Tanggal Pemeriksaan Fisik dan Problem Terapi dan Program
11/10/2018 S : nyeri perut (+) (VAS: 4) hilang timbul TERAPI :
pukul 07.30 O : Ku/Kes : tss, Composmentis E4V5M6 : 15 Lanjut
TTV : TD 128/80 mmHg S 36,2 0C MONITORING :
N 112 x/menit RR 22x/menit • TTV dan KU
Kepala : Mesosefal • Produksi NGT
Mata : CA -/-, Sklera ikterik -/-, RC +/+ • Produksi urin
∅ 3mm/3mm • USG testis
Thorax : P : SD vesikuler +/+, rhonki -/-,
wheezing -/-
C : S1>S2, reguler, murmur (-),
gallop (-)
Abdomen : tegang, distensi (+), hipertimpani
Extremitas : akral hangat, edema -/-

Ass : 1. Hernia scrotalis strangulata dd/ tumor testis


2. Peritonitis

7
Tanggal Pemeriksaan Fisik dan Problem Terapi dan Program
11/10/2018 S : nyeri perut (+) (VAS: 4) hilang timbul, TERAPI :
pukul 14.00 muntah (+) warna coklat kehitaman Lanjut
O : Ku/Kes : tss, Composmentis E4V5M6 : 15 MONITORING :
TTV : TD 120/80 mmHg S 36,3 0C • TTV dan KU
N 110 x/menit RR 22x/menit • Produksi NGT
Kepala : Mesosefal • Produksi urin
Mata : CA -/-, Sklera ikterik -/-, RC +/+
∅ 3mm/3mm
Thorax : P : SD vesikuler +/+, rhonki -/-,
wheezing -/-
C : S1>S2, reguler, murmur (-),
gallop (-)
Abdomen : tegang, distensi (+), hipertimpani
Extremitas : akral hangat, edema -/-

Ass : 1. Hernia scrotalis strangulata dd/ tumor testis


2. Peritonitis

8
Tanggal Pemeriksaan Fisik dan Problem Terapi dan Program
11/10/2018 S : penurunan kesadaran (+) TERAPI :
pukul 14.30 O : Ku/Kes : tsb / E1V2M1 : 4 Dokter Jaga:
TTV : TD 82/45 mmHg S 38,4 0C • O2 NRM 10 lpm
N 150 x/menit RR 36x/menit • IVFD loading Asering
SpO2: 77% dengan nasal canul 3 lpm • Cek AGD
Kepala : Mesosefal • Pro ICU
Mata : CA -/-, Sklera ikterik -/-, RC +/+ • Lapor dr. Nanang, SpB
∅ 3mm/3mm, mata cowong +/+ • Informed consent keluarga
Thorax : P : SD vesikuler +/+, rhonki -/-,
wheezing -/- MONITORING :
C : S1>S2, reguler, murmur (-), • TTV dan KU
gallop (-)
• Produksi NGT
Abdomen : tegang, distensi (+), hipertimpani
• Produksi urin
Extremitas : akral hangat, edema -/-
Produksi NGT: feses, 500 cc

Ass : 1. Hernia scrotalis strangulata dd/ tumor testis


2. Peritonitis
3. Dehidrasi berat dd/ syok sepsis
Analisa Gas Darah: Kesan: Alkalosis respiratorik terkompensasi
pH : 7,554 (↑)
pCO2 : 14,5 (↓)
pO2 : 82,5
HCO3 : 12,9 (↓)
Total CO2 : 13,4 (↓)
Base excess : -9,6 (↓)
O2 saturation : 97,8
Standard HCCO3 : 20,1 (↓)
Standard base excess : -5,3

9
Tanggal Pemeriksaan Fisik dan Problem Terapi dan Program
USG Testis: Kesan:
Tampak gambaran loop usus pada scrotum dextra

11/10/2018 S : penurunan kesadaran (+) TERAPI :


pukul 15.00 O : Ku/Kes : tsb / E1V2M1 : 4 dr. Nanang, SpB:
TTV : TD 100/50 mmHg S 38 0C • Pro ICU
N 140 x/menit RR 34x/menit • Pro operasi laparotomi cito
SpO2: 97% dengan NRM 10 lpm • Puasa
Kepala : Mesosefal • Informed consent keluarga
Mata : CA -/-, Sklera ikterik -/-, RC +/+ • Terapi lain lanjut
∅ 3mm/3mm, mata cowong +/+
Thorax : P : SD vesikuler +/+, rhonki -/-, MONITORING :
wheezing -/- • TTV dan KU
C : S1>S2, reguler, murmur (-), • Produksi NGT
gallop (-)
• Produksi urin
Abdomen : tegang, distensi (+), hipertimpani
Extremitas : akral dingin, edema -/-
Produksi NGT: feses, 700 cc

Ass : 1. Hernia scrotalis strangulata


2. Peritonitis
3. Dehidrasi berat dd/ syok sepsis

10
Tanggal Pemeriksaan Fisik dan Problem Terapi dan Program
11/10/2018 S : penurunan kesadaran (+) TERAPI :
pukul 15.30 O : Ku/Kes : tsb / E1V2M1 : 4 • Lanjut
TTV : TD 90/50 mmHg S 37 0C dr. Gunawan, SpAn:
N 130 x/menit RR 34x/menit • Acc operasi cito
SpO2: 97% dengan NRM 10 lpm • Informed consent keluarga
Kepala : Mesosefal • Post op rawat ICU
Mata : CA -/-, Sklera ikterik -/-, RC +/+
∅ 3mm/3mm, mata cowong +/+ MONITORING :
Thorax : P : SD vesikuler +/+, rhonki -/-, • TTV dan KU
wheezing -/- • Produksi NGT
C : S1>S2, reguler, murmur (-), • Produksi urin
gallop (-)
Abdomen : tegang, distensi (+), hipertimpani
Extremitas : akral dingin, edema -/-
Produksi NGT: feses, 700 cc

Ass : 1. Hernia scrotalis strangulata


2. Peritonitis
3. Dehidrasi berat dd/ syok sepsis

11
Tanggal Pemeriksaan Fisik dan Problem Terapi dan Program
11/10/2018 S : Gelisah (+), penurunan kesadaran (+) TERAPI :
pukul 16.00 O : Ku/Kes : tsb, GCS E1V1M1 : 3 • Informed consent keluarga
0
TTV : TD tidak terukur S 36,4 C • Lakukan bantuan napas
N 60 x/menit, lemah RR Apneu → Respon (-)
Extremitas : akral dingin

Ass : 1. Hernia scrotalis strangulata


2. Peritonitis
3. Dehidrasi berat dd/ syok sepsis
4. Episodic apneu
11/10/2018 S : Gelisah (+), penurunan kesadaran (+) TERAPI :
pukul 16.05 O : Ku/Kes : tsb, GCS E1V1M1 : 3 • Informed consent keluarga
0
TTV : TD tidak terukur S 36,4 C • Resusitasi
N tidak teraba RR Apneu RJP 5 siklus
Extremitas : akral dingin Inj. Epinefrin 1 amp
RJP 5 siklus
Ass : 1. Hernia scrotalis strangulata → Respon (-)
2. Peritonitis
3. Dehidrasi berat dd/ syok sepsis
4. Cardiac arrest
11/10/2018 S:- -
pukul 16.26 O : Ku/Kes : -
TTV : TD tidak terukur S tidak terukur
N tidak teraba RR tidak terukur
EKG : flat
Pupil : midriasis maksimal
Reflek cahaya : (-/-)
Ass : Pasien dinyatakan meninggal dunia

12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hernia
Hernia merupakan penonjolan isi rongga melalui defek atau bagian lemah dari dinding rongga
bersangkutan. Kata hernia berasal dari bahasa Yunani (Hernios) dengan definisi tunas. Sejak
jaman Mesir (1500 SM) dan jaman Yunani kuno (400 SM) hernia sudah dapat didiagnosis. Selama
periode-periode tersebut berbagai alat dan teknik operasi telah dilakukan. Pada periode tersebut
operasi hernia biasa disertai dengan pengebirian dan strangulasi merupakan hal yang tidak bisa
diobati.

2.1.1 Epidemiologi hernia


Hernia lebih sering terjadi pada pria dibandingkan dengan wanita (8:1). Usia rata-rata pada
penderita hernia berbeda untuk pria dan wanita. Usia rata-rata penderita hernia pada laki-laki
adalah usia 50-69 tahun, sedangkan usia rata-rata penderita hernia pada wanita adalah usia 60-79
tahun. Hernia lebih sering terjadi pada ras orang kulit putih.Insidens hernia meningkat dengan
bertambahnya umur karena meningkatnya penyakit yang meninggikan tekanan intraabdomen dan
jaringan penunjang berkurang kekuatannya.

2.1.2 Etiologi hernia


Secara umum hernia terjadi disebabkan oleh dua faktor, yakni adanya peningkatan tekanan
intraabdomen dan adanya kelemahan dinding abdomen. Peningkatan tekanan intraabdomen terjadi
karena :
1. Riwayat pekerjaan yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan intraabdominal secara
persisten, misalkan kuli angkut, pemain saxophone
2. Batuk kronis, misalnya pada pasien dengan bronkitis kronis, asma, emfisema, dan PPOK
3. Adanya tahanan saat miksi, misalnya pada pasien dengan BPH atau karsinoma prostat.
4. Adanya tahanan saat defekasi, misalnya pada konstipasi atau obstruksi usus besar
5. Distensi abdomen yang mungkin mengindikasikan adanya gangguan intraabdomen
6. Perubahan isi abdomen, misal adanya asites, tumor jinak atau ganas, kehamilan, obesitas.
7. Sedangkan kelemahan dinding abdomen terjadi karena:

13
a. Umur yang semakin bertambah
b. Malnutrisi, baik makronutrien (protein, karbohidrat) atau mikronutrien (misalnya:
Vitamin C)
c. Kerusakan atau paralisis dari saraf motorik
d. Abnormalitas metabolisme kolagen.
Seringkali, berbagai faktor terlibat. Sebagai contoh, adanya kantung kongenital yang telah
terbentuk sebelumnya mungkin tidak menyebabkan hernia sampai kelemahan dinding abdomen
akuisita atau kenaikan tekanan intraabdomen menyebabkan isi abdomen memasuki kantong
tersebut.

2.1.3 Struktur hernia


Bagian-bagian hernia secara umum antara lain meliputi:
1. Kantong hernia
Pada hernia abdominalis berupa peritoneum parietalis. Tidak semua hernia memiliki
kantong, misalnya hernia insisional, hernia adipose, hernia interstitialis.
2. Isi hernia
Berupa organ atau jaringan yang keluar melalui kantong hernia, misalnya usus, ovarium
dan jaringan penyangga usus (omentum).
3. Pintu hernia
Merupakan bagian locus minoris resistance yang dilalui kantong hernia.
4. Leher hernia
Bagian tersempit kantong hernia yang sesuai dengan kantong hernia.
5. Locus minoris resistence (LMR)

Gambar. Struktur hernia

14
2.1.4 Klasifikasi hernia
Hernia dapat dibagi menjadi beberapa tipe. Hernia dibedakan berdasarkan dari awal
mulaterjadinya hernia, gambaran klinis hernia, dan arah penonjolan hernia.
Berdasarkan awal mula terjadinya, hernia dibagi atas:
a. Hernia bawaan atau kongenital
Pada hernia kongenital sebelumnya telah terbentuk kantong yang terjadi sebagai akibat dari
gangguan proses perkembangan intrauterine. Salah satu contohnya adalah paten prosesus
vaginalis.
b. Hernia dapatan atau akuisita
Terdapat dua tipe hernia akuisita:
• Hernia primer : terjadi pada titik lemah yang terjadi alamiah, seperti pada :
- Struktur yang menembus dinding abdomen → pada pembuluh darah femoralis yang
melalui kanalis femoralis.
- Otot dan aponeurosis yang gagal untuk saling menutup secara normal → pada regio
lumbal
- Jaringan fibrosa yang secara normal berkembang untuk menutup defek → pada
umbilikus
• Hernia sekunder : terjadi pada tempat pembedahan atau trauma pada dinding abdomen,
seperti pada laparatomi dan trauma tembus.
Berdasarkan gambaran klinis dan komplikasi yang terjadi, hernia terbagi atas:
a. Hernia reponibel
Hernia dikatakan reponibel apabila isi hernia dapat keluar masuk, tetapi kantungnya
menetap.Isinya tidak serta merta muncul secara spontan, namun terjadi bila disokong gaya
gravitasi atau tekanan intraabdominal yang meningkat.Usus keluar jika berdiri atau
mengedan dan masuk lagi jika berbaring atau didorong masuk perut. Tidak ada keluhan
nyeri, gejala obstruksi usus, ataupun gejala toksik. Terapi operasi pada hernia reponibel
merupakan tindakan elektif.
b. Hernia ireponibel
Hernia ireponibel bila isi kantong tidak dapat direposisi kembali kedalam rongga perut. Hal
ini biasanya disebabkan oleh perlekatan isi kantong pada peritoneum kantong hernia.

15
Hernia ini disebut hernia akreta. Tidak ada keluhan rasa nyeri, sumbatan usus, ataupun
gejala toksik. Hernia ireponibel mempunyai resiko yang lebih besar untuk terjadi obstruksi
dan strangulasi daripada hernia reponibel. Tetapi terapi pembedahan pada kasus ini masih
merupakan terapi operasi elektif.
c. Hernia obstruksi
Hernia obstruksi berisi usus, di mana lumennya tertutup. Biasanya obstruksi terjadi pada
leher kantong hernia. Jika obstruksi terjadi pada kedua tepi usus, cairan berakumulasi di
dalamnya dan terjadi distensi (closed loop obstruction). Biasanya suplai darah masih baik,
tetapi lama kelamaan dapat terjadi strangulasi.Istilah ’inkarserata’ terkadang dipakai untuk
menggambarkan hernia yang ireponibel tetapi tidak terjadi strangulasi. Oleh sebab itu,
hernia ireponibel yang mengalami gangguan pasase atau obstruksi dapat juga disebut
dengan hernia inkarserata. Pada hernia tipe ini terdapat keluhan nyeri tetapi tidak ada gejala
toksik. Nyeri yang dirasakan merupakan nyeri ringan-sedang (mild-moderate) dan
merupakan nyeri visceral karena regangan pada mesenterium sewaktu satu segmen usus
halus masuk ke dalam kantong hernia.Nyeri yang disertai mual atau muntah baru timbul
kalau terjadi inkarserasi karena ileus atau strangulasi karena nekrosis atau
gangrene.Walaupun terdapat nyeri, terapi operasi masih merupakan terapi elektif.
d. Hernia strangulata
Hernia strangulata terjadi apabila suplai darah untuk isi hernia terputus. Kejadian patologis
selanjutnya adalah oklusi vena dan limfe, akumulasi cairan jaringan (edema) menyebabkan
pembengkakan lebih lanjut, dan sebagai konsekuensinya peningkatan tekanan vena.
Terjadi perdarahan venadengan pembengkakan akhirnya mengganggu aliran arteri.
Jaringannya mengalami iskemi dan nekrosis. Gangguan vaskularisasi dapat berupa
nyeri(severe pain) yang hebat, menetap, dan tidak mereda, nyeri seperti ini disebut juga
sebagai nyeri iskemik.Jika isi hernia abdominal bukan usus, misalnya omentum, nekrosis
yang terjadi bersifat steril. Tetapi strangulasi usus paling sering terjadi dibandingkan
strangulasi omentum dan sebagai akibatnya dapat menyebabkan nekrosis yang terinfeksi
(gangren). Mukosa usus terlibat dan dinding usus menjadi permeabel terhadap bakteri,
yang bertranslokasi dan masuk ke dalam kantong dan dari sana menuju pembuluh darah.
Usus yang infark dan rentan, mengalami perforasi (biasanya pada leher pada kantong
hernia) dan cairan lumen yang mengandung bakteri keluar menuju rongga peritonial

16
menyebabkan peritonitis. Jika sudah demikian, akan terjadi syok sepsis dengan gagal
sirkulasi dan berakhir dengan kematian. Hal ini akan menimbulkan obstruksi usus dan
gejala toksik, seperti demam tinggi, menggigil, gelisah hingga penurunan kesadaran,
frekuensi nadi yang meningkat namun lemah, penurunan tekanan darah, dan terdapat
leukositosis.. Oleh sebab itu terapi operasi pada hernia strangulata merupakan operasi
gawat darurat atau cito.
Terapi
Jenis Hernia Reponibel Nyeri Obstruksi Toksik
operasi
Reponible + - - - Elektif
Ireponible - - - - Elektif
Inkaserata - + + - Elektif
Strangulata - ++ + ++ Cito
Tabel. Perbedaan hernia reponible, ireponible, inkarserata, dan strangulata

Berdasarkan arah dan letak, hernia terbagi atas:


a. Hernia eksterna
Hernia eksterna adalah hernia yang penonjolannya dapat dilihat dari luar karena menonjol
ke arah luar, misalnya pada hernia ingunalis medialis (15 %), hernia inguinalis lateralis
(60%), hernia femoralis, hernia umbilikalis, hernia epigastrika, hernia lumbalis, hernia
obturatoria, hernia semilunaris, hernia perinealis, dan hernia ischiadika.
b. Hernia interna
Hernia interna terjadi jika isi hernia masuk ke dalam rongga lain, misalnya ke dalam cavum
thorax, bursa omentalis, atau masuk ke dalam reccessus dalam cavum abdomen.Contoh
hernia interna pada cavum abdominalis adalah hernia epiploica Winslowi, hernia bursa
omentalis, hernia mesenterika, dan hernia retroperitonealis.Contoh hernia interna pada
cavum thorax adalah hernia diafragmatica traumatica, hernia diafragmatica non-
traumatica, kongenital (misalnya pada hernia Bochdalek dan hernia Morgagni), dan
akuisita (misalnya pada hernia hiatus esofagus)

2.1.5 Hernia inguinalis


Hernia inguinalis merupakan hernia yang terjadi pada daerah inguinal. Diperkirakan sebanyak
75% dari kasus hernia merupakan hernia inguinalis. Hernia inguinalis dapat terjadi karena anomali
kongenital atau karena sebab yang didapat. Hernia inguinalis timbul paling sering pada pria dan

17
lebih sering pada sisi kanan dibandingkan pada sisi kiri. Alasannya adalah karena testis kiri lebih
dulu turun dari retroperitonel ke skrotum dibanding testis kanan, sehingga obliterasi canalis
inguinalis kanan terjadi lebih akhir. Faktor paling kausal yaitu adanya proses vaginalis (kantong
hernia) yang terbuka, peningkatan tekanan intra abdomen, dan kelemahan otot dinding perut
karena usia.
Hernia ingunalis dibagi menjadi dua yaitu:
1. Hernia inguinalis medialis (direct)
Hernia inguinalis direct, disebut juga hernia inguinalis medialis, karena melewati dinding
inguinal posterior yaitu di daerah medial pembuluh darah epigastrika inferior, yang
berbatasan dengan trigonum Hesselbach. Disebut direct karena langsung menonjol melalui
segitiga Hesselbach. Hernia inguinalis direct jarang, bahkan hampir tidak mengalami
inkarserasi dan strangulasi.
2. Hernia inguinalis lateralis(indirect)
Hernia inguinalis lateralis (indirect) adalah hernia yang melalui anulus inguinalis internus
yang terletak di sebelah lateral vasa epigastrika inferior, menyusuri kanalis inguinalis dan
keluar ke rongga perut melalui anulus inguinalis eksternus. Disebut hernia inguinalis
lateralis karena menonjol dari perut di lateral dari pembuluh epigastrika inferior. Disebut
indirect karena keluar melalui dua pintu dan saluran, yaitu annulus dan kanalis
inguinalis.Selain hernia indirect nama yang lain adalah hernia oblique yang artinya kanal
yang berjalan miring dari lateral atas ke medial bawah. Apabila hernia ini berlanjut,
tonjolan akan sampai ke skrotum, ini disebut hernia skrotalis.

Hubungan Dibungkus
Onset
dg vasa oleh fascia
Tipe Deskripsi biasanya
epigastrica spermatica
pada waktu
inferior interna
Hernia Penojolan melewati cincin Lateral Ya Congenital
ingunalis inguinal dan biasanya merupakan
Dan bisa
lateralis kegagalan penutupan cincin
pada waktu
ingunalis interna pada waktu
dewasa.
embrio setelah penurunan testis
Hernia Keluarnya langsung menembus Medial Tidak Dewasa
ingunalis fascia dinding abdomen
medialis
Tabel. Perbedaan hernia inguinalis lateralis dan medialis

18
2.1.6 Manifestasi klinis
Pasien mengeluh ada tonjolan di lipat paha, pada beberapa orang adanya nyeri dan
membengkak pada saat mengangkat atau ketegangan. Seringnya hernia ditemukan pada saat
pemeriksaan fisik misalnya pemeriksaan kesehatan sebelum masuk kerja. Beberapa pasien
mengeluh adanya sensasi nyeri yang menyebar biasanya pada hernia ingunalis lateralis, perasaan
nyeri yang menyebar hingga ke scrotum. Dengan bertambah besarnya hernia maka diikuti rasa
yang tidak nyaman dan rasa nyeri, sehingga pasien berbaring untuk menguranginya. Pada
umumnya hernia direct akan memberikan gejala yang sedikit dibandingkan hernia ingunalis
lateralis, dan juga kemungkinannya lebih berkurang untuk menjadi inkarserasi atau strangulasi.

2.1.7 Pemeriksaan fisik


• Inspeksi
✓ Hernia inguinalis :
- Lateralis : muncul benjolan di regio inguinalis yang berjalan dari lateral ke medial,
tonjolan berbentuk lonjong;
- Medialis : tonjolan biasanya terjadi bilateral, berbentuk bulat.
• Palpasi
✓ Titik tengah antar SIAS dengan tuberkulum pubicum (AIL) ditekan lalu pasien disuruh
mengejan. Jika terjadi penonjolan di sebelah medial maka dapat diasumsikan bahwa itu
hernia inguinalis medialis.
✓ Titik yang terletak di sebelah lateral tuberkulum pubikum (AIM) ditekan lalu pasien
disuruh mengejan jika terlihat benjolan di lateral titik yang kita tekan maka dapat
diasumsikan sebagai hernia inguinalis lateralis.
✓ Titik tengah antara kedua titik tersebut di atas (pertengahan canalis inguinalis) ditekan
lalu pasien disuruh mengejan jika terlihat benjolan di lateralnya berarti hernia inguinalis
lateralis jika di medialnya hernia inguinalis medialis.
• Perkusi
Bila didapatkan perkusi perut hipertimpani maka harus dipikirkan kemungkinan hernia
strangulata.
• Auskultasi

19
Hiperperistaltis didapatkan pada auskultasi abdomen pada hernia yang mengalami obstruksi
usus (hernia inkarserata)
Tiga teknik pemeriksaan sederhana untuk menentukan jenis hernia yaitu finger test,
Ziemen test dan Thumb test. Cara pemeriksaannya sebagai berikut:
• Pemeriksaan Finger Test :
- Menggunakan jari ke 2 atau jari ke 5
- Dimasukkan lewat skrotum melalui anulus eksternus ke kanal inguinal
- Penderita disuruh batuk:
✓ Bila impuls di ujung jari berarti Hernia Inguinalis Lateralis.
✓ Bila impuls di samping jari Hernia Inguinnalis Medialis.

Gambar. Finger Test


• Pemeriksaan Ziemen Test :
- Posisi berbaring, bila ada benjolan masukkan dulu (biasanya oleh penderita).
- Hernia kanan diperiksa dengan tangan kanan.
- Penderita disuruh batuk, bila rangsangan pada :
✓ jari ke 2 : Hernia Inguinalis Lateralis.
✓ jari ke 3 : Hernia Ingunalis Medialis.
✓ jari ke 4 : Hernia Femoralis.

Gambar. Ziemen Test

20
• Pemeriksaan Thumb Test :
- Anulus internus ditekan dengan ibu jari dan penderita disuruh mengejan
✓ Bila keluar benjolan berarti Hernia Inguinalis medialis.
✓ Bila tidak keluar benjolan berarti Hernia Inguinalis Lateralis

Gambar. Thumb test

2.1.8 Pemeriksaan penunjang


➢ Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang mendukung penegakan diagnosis hernia yakni sebagai
berikut.
- Leukositosis dengan shift to the left, menandakan kecenderungan terdapat hernia
strangulasi;
- Elektrolit, BUN, dan kadar kreatinin, digunakan untuk menilai ada tidaknya dehidrasi;
- Tes urinalisis, digunakan untuk menyingkirkan adanya masalah dari traktus
genitourinarius, yang merupakan diagnosis banding hernia
➢ Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis tidak diperlukan pada pemeriksaan rutin hernia. Ultrasonografi
dapat digunakan untuk membedakan adanya massa pada lipat paha atau dinding abdomen
dan juga membedakan penyebab pembengkakan testis.Pada pemeriksaan radiologis
kadang terdapat suatu yang tidak biasa terjadi, yaitu adanya suatu gambaran massa.
Gambaran ini dikenal dengan Spontaneous Reduction of Hernia En Masse, adalah suatu
keadaan dimana berpindahnya secara spontan kantong hernia beserta isinya ke rongga
extraperitoneal. Ada 4 tipe pembagian reduction of hernia en masse : retropubic, intra
abdominal, pre peritoneal, dan pre peritoneal locule.Herniografi dilakukan dengan 50-80

21
ml medium kontras iodine positif dimasukkan dalam wadah peritoneal dengan
menggunakan jarum yang lembut.Pasien berbaring dengan kepala terangkat dan
membentuk sudut kira-kira 25 derajat. Tempat yang kontras di daerah inguinalis yang diam
atau bergerak dari sisi satu ke sisi lain akan mendorong terwujudnya kolam kecil pada
daerah inguinal. Tiga fossa inguinal adalah suprapubik, medial, dan lateral.Pada umunya
fossa inguinal tidak mencapai ke seberang pinggir tulang poinggang agak ke tengah dan
dinding inguinal posterior. Hernia tak langsung muncul dari fossa lateral yang menonjol
dari fissa medial ayau hernia langsung medial yang menonjol dari fossa suprapubik.

2.1.9 Hernia inguinalis strangulata


Hernia inguinalis strangulata adalah hernia yang terjadi pada daerah inguinalis dan suplai
darah ke daerah hernia tersebut berkurang. Hernia inguinalis strangulata merupakan
kegawatdaruratan dalam ilmu bedah. Komplikasi paling berat pada hernia adalah strangulata, di
mana hal ini terjadi pada 1-3% kasus hernia inguinalis. Hernia strangulata dapat terjadi karena
hernia inguinalis inkaserata yang tidak mendapatkan tatalaksana yang tepat. Kasus hernia
inguinalis inkaserata diperkirakan terjadi sebanyak 10% yang dapat berlanjut menjadi obstruksi
intestinal dan strangulasi.

Gejala dan tanda hernia inguinalis strangulata


Gejala dan tanda hernia inguinalis strangulata adalah adanya benjolan di daerah lipat paha
yang tidak dapat tereduksi, konstipasi atau diare, mual, muntah, demam, peningkatan denyut nadi,
nyeri mendadak yang meningkat intensitasnya, kemerahan pada daerah benjolan, dan
ketidakmampuan untuk BAB ataupun kentut. Durasi dari tanda dan gejala ini dapat dirasakan
beberapa jam hingga beberapa hari sebelum pasien masuk ke rumah sakit.

Diagnosis
Diagnosis hernia inguinalis strangulata dilakukan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang benar. Anamnesis yang ditanyakan mengenai berapa lama nyeri dirasakan, apakah ada yang
memperingan atau memperburuk nyeri dan benjolan, apakah batuk atau bersin membuat benjolan
semakin besar, apakah posisi berbaring membuat benjolan mengecil, apakah benjolan dapat

22
didorong masuk kembali dengan tangan, apakah terdapat kesulitan saat mendorong benjolan
masuk, dan apakah pernah memiliki riwayat operasi hernia pada sisi lainnya.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Pada
inspeksi dapat ditemukan adanya benjolan pada lipat paha yang tidak dapat mengecil atau masuk
kembali. Dapat ditemukan kemerahan pada benjolan tersbut. Pada auskultasi ditemukan bising
usus meningkat, hal ini menunjukkan adanya obstruksi pada usus. Pada perkusi didapatkan hasil
hipertimpani. Pada palpasi dapat diperiksa hangat/tidak benjolannya, konsistensi, dan nyeri tekan.
Diagnosis hernia inguinalis dapat dibuktikan dengan pemeriksaan fisik dengan sensitifitas 74,5-
92% dan spesifiksitas sebesar 93%.
Pemeriksaan penunjang tidak digunakan untuk menegakkan diagnosis hernia inguinalis
strangulata. CT scan memiliki spesifiksitas yang rendah tapi membantu jika kasus tersebut
melibatkan kandung kemih. MRI memiliki sensitivitas 94,5% dan spesifiksitas 96,3%.
Herniography juga aman dan dapat dilakukan dengan sensitifitas 100% dan spesifiksitas 98-100%.
Pemeriksaan laboratorium tidak berguna untuk menegakan diagnosis hernia inguinalis strangulata.
Hemokonsentrasi dan leukositosis dapat menunjukan obstruksi usus dan strangulasi. Diagnosis
definitif hanya dapat dilakukan dengan operasi. Kombinasi anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang diperlukan untuk menentukan diagnosis.

2.1.10 Tatalaksana
Penanganan di IGD
Penatalaksanaan hernia yang bisa dilakukan di IGD meliputi:
• Memberikan sedasi yang adekuat dan analgetik untuk mencegah nyeri
• Pasien harus istirahat agar tekanan intraabdominal tidak meningkat
• Menurunkan tegangan otot abdomen. Posisikan pasien berbaring terlentang dengan bantal
di bawah lutut. Pasien pada posisi Trendelenburg dengan sudut sekitar 15-20°.
• Kompres dengan kantung dingin untuk mengurangi pembengkakan dan menimbulkan
proses analgesia selama 20-30 menit
• Posisikan kaki ipsilateral dengan rotasi eksterna dan posisi fleksi unilateral (seperti kaki
kodok)
• Rencanakan operasi

23
Pada pasien geriatri sebaiknya dilakukan operasi elektif agar kondisi kesehatan saat dilakukan
operasi dalam keadaan optimal dan anestesi dapat dilakukan. Operasi yang cito mempunyai resiko
yang besar pada pasien geriatri. Jika pasien menderita hiperplasia prostat, maka akan lebih baik
jika dilakukan penanganan terlebih dahulu terhadap hiperplasia prostatnya mengingat tingginya
resiko infeksi traktus urinarius dan retensi urin pada saat operasi hernia. Pada saat operasi harus
dilakukan eksplorasi abdomen untuk memastikan usus masih hidup dan ada tidaknya tanda-tanda
leukositosis.

Terapi hernia operatif


- Anak-anak : Herniotomy
Karena masalahnya pada kantong hernia, maka dilakukan pembebasan kantong hernia sampai
dengan lehernya, dibuka dan dibebaskan isi hernia, jika ada perlekatan lakukan reposisi,
kemudian kantong hernia dijahit setinggi-tinggi mungkin lalu dipotong. Karena herniotomi
pada anak-anak sangat cepat dan mudah, maka kedua sisi dapat direparasi sekaligus jika
hernia terjadi bilateral
- Dewasa : Herniorafi
Herniorafi merupakan operasi hernia yang terdiri dari operasi herniotomi dan hernioplasti.
Herniotomi adalah tindakan membuka kantong hernia, memasukkan kembali isi kantong
hernia ke rongga abdomen, serta mengikat dan memotong kantong hernia. Sedangkan
hernioplasti adalah tindakan memperkuat daerah defek, misalnya pada hernia inguinalis,
tindakannya memperkuat cincin inguinalis internal dan memperkuat dinding posterior
kanalisinguinalis.
Berdasarkan pendekatan operasi, teknik herniorafi dapat dikelompokkan dalam 4 kategori
utama:
a. Kelompok 1 : Open Anterior Repair
Kel. 1 operasi hernia (teknik Bassini, McVay dan Shouldice) melibatkan pembukaan
aponeurosis otot obliquus abdominis eksternus dan membebaskan funnikulus
spermatikus. Fascia transversalis kemudian dibuka, dilakukan inspeksi kanalis spinalis,
celah direct dan indirect. Kantung hernia diligasi dan dasar kanalis spinalis di
rekonstruksi.
- Teknik Bassini

24
Komponen utama dari teknik ini adalah :
▪ Membelah aponeurosis otot obliquus abdominis eksternus dikanalis inguinalis
hingga ke cincin eksternal.
▪ Memisahkan otot kremaster dengan cara reseksi untuk mencari hernia indirect
sekaligus menginspeksi dasar dari kanalis inguinal untuk mencari hernia direct.
▪ Memisahkan bagian dasar atau dinding posterior kanalis inguinalis (fascia
transversalis)
▪ Melakukan ligasi kantong hernia seproksimal mungkin.
▪ Rekonstruksi dinding posterior dengan menjahit fascia transversalis, otot
transversalis abdominis dan otot abdominis internus ke ligamentum inguinalis
lateral.
Teknik kelompok ini berbeda dalam pendekatan mereka dalam rekonstruksi, tetapi
semuanya menggunakan jahitan permanen untuk mengikat fascia disekitarnya dan
memperbaiki dasar dari kanalis inguinalis. Kelemahannya adalah tegangan yang terjadi
akibat jahitan tersebut, selain dapat menimbulkan nyeri juga dapat terjadi nekrosis otot
yang akan menyebabkan jahitan terlepas dan mengakibatkan kekambuhan.
b. Kelompok 2 : Open Posterior Repair
Posterior repair (iliopubic repair dan teknik Nyhus) dilakukan dengan membelah lapisan
dinding abdomen superior hingga ke cincinluar dan masuk ke properitoneal space.
Diseksi kemudian diperdalam kesemua bagian kanalis inguinalis. Perbedaan utama
antara teknik ini dan teknik open anterior adalah rekonstruksi dilakukan dari bagian
dalam. Posterior repair sering digunakan pada hernia dengan kekambuhan karena
menghindari jaringan parut dari operasi sebelumnya. Operasi ini biasanya dilakukan
dengan anastesi regional atau anastesi umum.
c. Kelompok 3: Tension-free repair with Mesh
Kelompok 3 operasi hernia (teknik Lichtenstein dan Rutkow) menggunakan pendekatan
awal yang sama dengan teknik open anterior. Akan tetapi tidak menjahit lapisan fascia
untuk memperbaiki defek, tetapi menempatkan sebuah prostesis, yaitu Mesh yang tidak
diserap. Mesh ini dapat memperbaiki defek hernia tanpa menimbulkan tegangan dan
ditempatkan di sekitar fascia. Hasil yang baik diperoleh dengan teknik ini dan angka
kekambuhan dilaporkan kurang dari 1 persen. Beberapa ahli bedah meragukan

25
keamanan jangka panjang penggunaan implant prosthesis, khususnya kemungkinan
infeksi atau penolakan. Akan tetapi pengalaman yang luas dengan mesh telah mulai
menghilangkan anggapan ini, dan teknik ini terus populer. Teknik ini dapat dilakukan
dengan anastesi lokal, regional atau general.
d. Kelompok 4 : Laparoscopic
Operasi hernia laparoscopic makin populer dalam beberapa tahun terakhir, tetapi juga
menimbulkan kontroversi. Pada awal pengembangan teknik ini, hernia diperbaiki
dengan menempatkan potongan mesh yang besar di regio inguinal diatas peritoneum.
Teknik ini ditinggalkan karena potensi obstruksi usus halus dan pembentukan fistel
karena paparan usus terhadap mesh. Saat ini kebanyakan teknik laparoscopic
herniorhappies dilakukan menggunakan salah satu pendekatan transabdominal
preperitoneal (TAPP) atau total extraperitoneal (TEP). Pendekatan TAPP dilakukan
dengan meletakkan trokar laparoskopik dalam cavum abdomen dan memperbaiki regio
inguinal dari dalam. Ini memungkinkan mesh diletakkan dan kemudian ditutupi dengan
peritoneum. Sedangkan pendekatan TEP adalah prosedur laparokopik langsung yang
mengharuskan masuk ke cavum peritoneal untuk diseksi. Konsekuensinya, usus atau
pembuluh darah bisa cedera selama operasi.

2.1.11 Diagnosis banding


Diagnosis banding pada hernia inguinalis adalah undescended testis, hernia femoralis,
aneurisma femoralis, limfadenitis, psoas abses, saphena varix, hydrocele, dan lipoma pada
spermatic cord. Diagnosis banding ini dapat disingkirkan dengan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang seperti MRI, CT Scan, maupun USG.

2.1.12 Komplikasi
Hernia strangulata dapat menimbulkan gejala obstruksi usus yang sederhana. Sumbatan dapat
terjadi total atau parsial seperti pada hernia Richter. Jepitan cincin hernia akan menyebabkan
gangguan perfusi jaringan isi hernia. Pada permulaan terjadi bendungan vena sehingga terjadi
udem organ atau struktur di dalam hernia dan transudasi ke dalam kantong hernia. Timbulnya
udem menyebabkan jepitan pada cincin hernia makin bertambah sehingga akhirnya peredaran
darah jaringan terganggu. Isi hernia menjadi nekrosis dan kantong hernia akan berisi transudat

26
berupa cairan serosanguinus. Kalau isi hernia terdiri atas usus, dapat terjadi perforasi yang
akhirnya dapat menimbulkan abses lokal, fistel, atau peritonitis jika terjadi hubungan dengan
rongga perut.
Gambaran klinis hernia inkarserata yang mengandung usus dimulai dengan gambaran
obstruksi usus dengan gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa. Bila telah terjadi
strangulasi karena gangguan vaskularisasi, terjadi keadaan toksik akibat gangren dan gambaran
klinis menjadi kompleks dan sangat serius. Penderita mengeluh nyeri lebih berat di tempat hernia.
Nyeri akan menetap karena rangsangan peritoneal.
Pada pemeriksaan lokal ditemukan benjolan yang tidak dapat dimasukkan kembali disertai
nyeri tekan dan, tergantung keadaan isi hernia, dapat dijumpai tanda peritonitis atau abses lokal.
Hernia strangulata merupakan keadaan gawat darurat. Oleh karena itu, perlu mendapat pertolongan
segera.

2.1.13 Prognosis
Prognosis untuk perbaikan hernia umumnya baik dengan diagnosis dan perbaikan. Prognosis
tergantung pada jenis dan ukuran hernia juga pada kemampuan untuk mengurangi faktor risiko
yang berkaitan dengan perkembangan hernia.
Usia yang lebih tua, lebih lama hernia, dan irreducibility yang lebih lama dianggap faktor risiko
komplikasi akut seperti penjepitan dan obstruksi usus. Sekitar 5% dari primer perbaikan hernia
inguinalis dilaksanakan sebagai keadaan darurat.
Jika didiagnosis awal masa kanak-kanak, prognosis untuk anak-anak yang telah mengalami
operasi hernia inguinalis diperbaiki sangat baik. Kadang-kadang ada komplikasi berhubungan
dengan hernia inguinalis termasuk kematian, tetapi ini jarang terjadi.

2.2 Peritonitis
Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum (lapisan serosa yang menutupi rongga abdomen
dan organ-organ abdomen di dalamnya). Suatu bentuk penyakit akut, dan merupakan kasus bedah
darurat. Dapat terjadi secara lokal maupun umum, melalui proses infeksi akibat perforasi usus,
misalnya pada ruptur appendiks atau divertikulum kolon, maupun non infeksi, misalnya akibat
keluarnya asam lambung pada perforasi gaster, keluarnya asam empedu pada perforasi kandung
empedu. Pada wanita peritonitis sering disebabkan oleh infeksi tuba falopi atau ruptur ovarium.

27
2.2.1 Klasifikasi dan etiologi
Kelainan dari peritoneum dapat disebabkan oleh bermacam hal, antara lain:
1. Perdarahan, misalnya pada ruptur lien, ruptur hepatoma, kehamilan ektopik terganggu
2. Asites, yaitu adanya timbunan cairan dalam rongga peritoneal sebab obstruksi vena porta
pada sirosis hati, malignitas.
3. Adhesi, yaitu adanya perlekatan yang dapat disebabkan oleh corpus alienum, misalnya kain
kassa yang tertinggal saat operasi, perforasi, radang, trauma
4. Radang, yaitu pada peritonitis
Peritonitis diklasifikasikan menjadi:
A. Menurut agens
1. Peritonitis kimia, misalnya peritonitis yang disebabkan karena asam lambung, cairan
empedu, cairan pankreas yang masuk ke rongga abdomen akibat perforasi.
2. Peritonitis septik, merupakan peritonitis yang disebabkan kuman. Misalnya karena ada
perforasi usus, sehingga kuman-kuman usus dapat sampai ke peritonium dan
menimbulkan peradangan.
B. Menurut sumber kuman
1. Peritonitis primer, merupakan peritonitis yang infeksi kumannya berasal dari
penyebaran secara hematogen. Sering disebut juga sebagai Spontaneous Bacterial
Peritonitis (SBP). Peritonitis ini bentuk yang paling sering ditemukan dan disebabkan
oleh perforasi atau nekrose (infeksi transmural) dari kelainan organ visera dengan
inokulasi bakterial pada rongga peritoneum. Kasus SBP disebabkan oleh infeksi
monobakterial terutama oleh bakteri gram negatif ( E.coli, klebsiella pneumonia,
pseudomonas, proteus) , bakteri gram positif ( streptococcus pneumonia,
staphylococcus).
Peritonitis primer dibedakan menjadi:
- Spesifik: Peritonitis yang disebabkan infeksi kuman yang spesifik, misalnya kuman
tuberkulosa.
- Non- spesifik: Peritonitis yang disebabkan infeksi kuman yang non spesifik,
misalnya kuman penyebab pneumonia yang tidak spesifik.

28
2. Peritonitis sekunder, peritonitis ini bisa disebabkan oleh beberapa penyebab utama,
diantaranya adalah:
- Invasi bakteri oleh adanya kebocoran traktus gastrointestinal atau traktus
genitourinarius ke dalam rongga abdomen, misalnya pada : perforasi appendiks,
perforasi gaster, perforasi kolon oleh divertikulitis, volvulus, kanker, strangulasi
usus, dan luka tusuk.
- Iritasi peritoneum akibat bocornya enzim pankreas ke peritoneum saat terjadi
pankreatitis, atau keluarnya asam empedu akibat trauma pada traktus biliaris.
- Benda asing, misalnya peritoneal dialisis catheters.
Komplikasi yang dapat terjadi pada peritonitis sekunder antara lain adalah syok septik,
abses, perlengketan intraperitoneal.
3. Peritonitis tersier, biasanya terjadi pada pasien dengan Continuous Ambulatory
Peritoneal Dialysis (CAPD), dan pada pasien imunokompromise. Organisme penyebab
biasanya organisme yang hidup di kulit, yaitu coagulase negative Staphylococcus,
S.Aureus, gram negative bacili, dan candida, mycobacteri dan fungus. Gambarannya
adalah dengan ditemukannya cairan keruh pada dialisis. Biasanya terjadi abses,
phlegmon, dengan atau tanpa fistula. Pengobatan diberikan dengan antibiotika IV atau
ke dalam peritoneum, yang pemberiannya ditentukan berdasarkan tipe kuman yang
didapat pada tes laboratorium. Komplikasi yang dapat terjadi diantaranya adalah
peritonitis berulang, abses intraabdominal. Bila terjadi peritonitis tersier ini sebaiknya
kateter dialisis dilepaskan.

2.2.2 Faktor risiko


Faktor-faktor berikut dapat meningkatkan resiko kejadian peritonitis, yaitu:
- Penyakit hati dengan ascites
- Kerusakan ginjal
- Compromised immune system
- Pelvic inflammatory disease
- Appendisitis
- ulkus gaster
- infeksi kandung empedu

29
- colitis ulseratif / chron’s disease
- trauma
- CAPD (Continous Ambulatory Peritoneal Dyalisis)
- pankreatitis

2.2.3 Patofisiologi
Peritonitis merupakan komplikasi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen,
ruptur saluran cerna, atau luka tembus abdomen. Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh
bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa, kantong-kantong nanah (abses) terbentuk diantara
perlekatan fibrinosa yang membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi
menghilang, tetapi dapat menetap sehingga menimbulkan obstruksi usus.
Dapat terjadi secara terlokalisasi, difus, atau generalisata. Pada peritonitis lokal dapat terjadi
karena adanya daya tahan tubuh yang kuat serta mekanisme pertahanan tubuh dengan melokalisir
sumber peritonitis dengan omentum dan usus. Pada peritonitis yang tidak terlokalisir dapat terjadi
peritonitis difus, kemudian menjadi peritonitis generalisata dan terjadi perlengketan organ-organ
intra abdominal dan lapisan peritoneum viseral dan parietal. Timbulnya perlengketan ini
menyebabkan aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik. Cairan dan elektrolit
hilang ke dalam usus mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria.
Pada keadaan lanjut dapat terjadi sepsis, akibat bakteri masuk ke dalam pembuluh darah.

2.2.4 Gejala klinis


Gejala klinis peritonitis yang terutama adalah nyeri abdomen. Nyeri dapat dirasakan terus-
menerus selama beberapa jam, dapat hanya di satu tempat ataupun tersebar di seluruh abdomen.
Dan makin hebat nyerinya dirasakan saat penderita bergerak. Gejala lainnya meliputi:
- Demam: temperatur lebih dari 38°C, pada kondisi sepsis berat dapat hipotermia
- Mual dan muntah: timbul akibat adanya kelainan patologis organ visera atau akibat iritasi
peritoneum
- Adanya cairan dalam abdomen, yang dapat mendorong diafragma mengakibatkan kesulitan
bernafas
Dehidrasi dapat terjadi akibat ketiga hal diatas, yang didahului dengan hipovolemik
intravaskular. Dalam keadaan lanjut dapat terjadi hipotensi, penurunan output urin dan syok.

30
- Distensi abdomen dengan penurunan bising usus sampai tidak terdengar bising usus
- Rigiditas abdomen atau sering disebut ’perut papan’, terjadi akibat kontraksi otot dinding
abdomen secara volunter sebagai respon/antisipasi terhadap penekanan pada dinding
abdomen ataupun involunter sebagai respon terhadap iritasi peritoneum
- Nyeri tekan dan nyeri lepas (+)
- Takikardi, akibat pelepasan mediator inflamasi
- Tidak dapat buang angin /BAB

2.2.5 Pemeriksaan fisik


Pemeriksaan fisik pada peritonitis dilakukan dengan cara yang sama seperti pemeriksaan fisik
lainnya yaitu dengan:
1. Inspeksi
- Pasien tampak dalam mimik menderita
- Tulang pipi tampak menonjol dengan pipi yang cekung, mata cekung
- Lidah sering tampak kotor tertutup kerak putih, kadang putih kecoklatan
- Pernafasan kostal, cepat dan dangkal. Pernafasan abdominal tidak tampak karena dengan
pernafasan abdominal akan terasa nyeri akibat perangsangan peritoneum.
- Distensi perut
2. Palpasi: Nyeri tekan, nyeri lepas, dan defense muskuler positif.
3. Auskultasi: Suara bising usus berkurang sampai hilang
4. Perkusi
- Nyeri ketok positif
- Hipertimpani akibat dari perut yang kembung
- Redup hepar hilang, akibat perforasi usus yang berisi udara sehingga udara akan mengisi
rongga peritoneal, pada perkusi hepar terjadi perubahan suara redup menjadi timpani
5. Pada rectal touche akan terasa nyeri di semua arah, dengan tonus muskulus sfingter ani menurun
dan ampula recti berisi udara.

2.2.6 Pemeriksaan penunjang


Pada pemeriksaan laboratorium didapat:

31
1. Lekositosis ( lebih dari 11.000 sel/...L ) dengan pergeseran ke kiri pada hitung jenis. Pada
pasien dengan sepsis berat, pasien imunokompromais dapat terjasi lekopenia.
2. Asidosis metabolik dengan alkalosis respiratorik.
3. Pada foto polos abdomen didapatkan:
- Bayangan peritoneal fat kabur karena infiltrasi sel radang
- Pada pemeriksaan rontgen tampak udara usus merata, berbeda dengan gambaran ileus
obstruksi
- Penebalan dinding usus akibat edema
- Tampak gambaran udara bebas
- Adanya eksudasi cairan ke rongga peritoneum, sehingga pasien perlu dikoreksi cairan,
elektrolit, dan asam basanya agar tidak terjadi syok hipovolemik
4. Pemeriksaan penunjang lain yang bisa dilakukan adalah dengan USG abdomen, CT scan,
dan MRI.
5. Diagnosis Peritoneal Lavage (DPL)
Teknik ini digunakan untuk mengevaluasi pasien dengan cedera intra abdomen setelah
trauma tumpul yang disertai dengan kondisi: hilangnya kesadaran, intoksikasi alkohol,
perubahan sensori, misalnya pada cedera medula spinalis, cedera pada costae atau
processus transversus vertebra. Teknik ini adalah suatu tindakan melakukan bilasan
rongga perut dengan memasukkan cairan garam fisiologis sampai 1.000 ml melalui kanul,
setelah sebelumnya pada pengisapan tidak ditemukan darah atau cairan.
Pada DPL dilakukan analisis cairan kualitatif dan kuantitatif, hal-hal yang perlu dianalisis
antara lain: kadar pH, glukosa, protein, LDH, hitung sel, gram stain, serta kultur kuman
aerob dan anaerob. Pada peritonitis bakterialis, cairan peritonealnya menunjukkan kadar
pH ≤ 7 dan glukosa kurang dari 50 mg/dL dengan kadar protein dan LDH yang
meningkat.
Teknik ini dikontraindikasikan pada kehamilan, obesitas, koagulopati dan hematom yang
signifikan dengan dinding abdomen

2.2.7 Tatalaksana
Peritonitis adalah suatu kondisi yang mengancam jiwa, yang memerlukan pengobatan medis
sesegera mungkin. Prinsip utama terapi pada infeksi intra abdomen adalah:

32
1. Mengontrol sumber infeksi
2. Mengeliminasi bakteri dan toksin
3. Mempertahankan fungsi sistem organ
4. Mengontrol proses inflamasi

Terapi terbagi menjadi:


1. Terapi medis, termasuk di dalamnya antibiotik sistemik untuk mengontrol infeksi,
perawatan intensif mempertahankan hemodinamik tubuh misalnya pemberian cairan
intravena untuk mencegah dehidrasi, pengawasan nutrisi dan keadaan metabolik,
pengobatan terhadap komplikasi dari peritonitis (misalnya insufisiensi respiratorik atau
ginjal), serta terapi terhadap inflamasi yang terjadi.
2. Intervensi non-operatif, termasuk di dalamnya drainase abses percutaneus dan
percutaneus and endoscopic stent placement.
3. Terapi operatif, pembedahan sering diperlukan untuk mengatasi sumber infeksi, misalnya
apendisitis, ruptur organ intra-abomen
Bila semua langkah-langkah terapi di atas telah dilaksanakan, pemberian suplemen, antara
lain glutamine, arginine, asam lemak omega-3 dan omega-6, vitamin A, E dan C, Zinc dapat
digunakan sebagai tambahan untuk mempercepat proses penyembuhan.

Terapi antibiotik
Pada SBP (Spontaneus Bacterial Peritonitis), pemberian antibiotik terutama adalah dengan
Sefalosporin gen-3, kemudian diberikan antibiotik sesuai dengan hasil kultur. Penggunaan
aminolikosida sebaiknya dihindarkan terutama pada pasien dengan gangguan ginjal kronik karena
efeknya yang nefrotoksik. Lama pemberian terapi biasanya 5-10 hari.
Pada peritonitis sekunder dan tersier, terapi antibiotik sistemik ada pada urutan ke-dua. Untuk
infeksi yang berkepanjangan, antibiotik sistemik tidak efektif lagi, namun lebih berguna pada
infeksi akut.
Pada infeksi inta-abdominal berat, pemberian imipenem, piperacilin/tazobactam dan
kombinasi metronidazol dengan aminoglikosida.

33
Intervensi non-operatif
Dapat dilakukan drainase percutaneus abses abdominal dan ekstraperitoneal. Keefektifan
teknik ini dapat menunda pembedahan sampai proses akut dan sepsis telah teratasi, sehingga
pembedahan dapat dilakukan secara elektif. Hal-hal yang menjadi alasan ketidakberhasilan
intervensi non-operatif ini antara lain fistula enteris, keterlibatan pankreas, abses multipel. Terapi
intervensi non-operatif ini umumnya berhasil pada pasien dengan abses peritoneal yang
disebabkan perforasi usus (misalnya apendisitis, divertikulitis).
Teknik ini merupakan terapi tambahan. Bila suatu abses dapat di akses melalui drainase
percutaneus dan tidak ada gangguan patologis dari organ intraabdomen lain yang memerlukan
pembedahan, maka drainase perkutaneus ini dapat digunakan dengan aman dan efektif sebagai
terapi utama. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain perdarahan, luka dan erosi, fistula.

Terapi operatif
Cara ini adalah yang paling efektif. Pembedahan dilakukan dengan dua cara, pertama, bedah
terbuka, dan kedua, laparoskopi.

2.2.8 Prognosis
Tergantung dari umur penderita, penyebab, ketepatan dan keefektifan terapi. Prognosa baik
pada peritonitis lokal dan ringan. Prognosa buruk pada peritonitis general.

34
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Anamnesis
Pasien datang dengan keluhan buah zakar membesar. Awalnya benjolan kecil dan dapat
dimasukkan kembali. Sejak 7 hari SMRS, benjolan membesar dan tidak dimasukkan kembali.
Pasien juga mengeluh buah zakar nyeri, tampak kemerhan, perut kembung, tidak bisa BAB dan
flatus, serta mual dan muntah. Pasien memiliki riwayat mengangkat beban berat.
Berdasarkan anamnesis gejala pasien mengarah ke hernia scrotalis dengan tanda-tanda
gangguan vaskulasrisasi dan gangguan pasase usus. Ditunjang dengan riwayat mengangkat beban
sebagai faktor risiko.

3.2 Pemeriksaan Fisik


Saat datang ke IGD:
▪ GCS E4M6V5, tanda-tanda vital dalam batas normal.
▪ Pemeriksaan abdomen: Inspeksi: cembung; Auskultasi: bising usus (+) menurun;
Palpasi: tegang, distensi (+), nyeri tekan (+) seluruh lapangan abdomen, defans
muskuler (+); Perkusi: hipertimpani → mengarah ke tanda gangguan pasase usus dan
peritonitis.
▪ Status lokalis regio scrotalis: Inspeksi: Tampak massa bentuk agak bulat, ukuran +
15x15x10 cm3, warna kemerahan; Palpasi: Teraba massa, permukaan rata, teraba
kenyal, nyeri tekan (+), fluktuasi (-), tidak bisa dimasukkan kembali, testis tidak teraba;
Auskultasi: Bising usus (-) → tanda klinis hernia scrotalis dengan diagnosis banding
tumor testis
Di ruang rawat inap:
▪ Pasien mengalami penurunan kesadaran GCS E1M1V2
▪ Produksi NGT feses 700 cc → perberatan gangguan pasase usus
▪ TTV : TD 82/45 mmHg S 38,4 0C
N 150 x/menit RR 36x/menit
→TTV mengarah ke tanda klinis sepsis

35
3.3 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium:
▪ Ur/Cr : 97 / 1,2
▪ pH : 7,554
▪ PCO2 : 14,5
▪ PO2 : 82,5
▪ HCO3 : 12,9
▪ Total CO2 : 13,4
▪ Base Excess : -9,6
▪ Standard HCO3 : 20,1
Hasil Fungsi ginjal mengarah ke AKI akibat dehidrasi. AGD menunjukkan adanya alkalosis
respiratorik terkompensasi.
USG scrotum: tampak gambaran loop usus pada scrotum → mendukung diagnosa hernia
scrotalis.

3.4 Diagnosis
▪ Hernia scrotalis strangulata
▪ Peritonitis
▪ Dehidrasi berat dd/ syok sepsis.

3.5 Penatalaksanaan
Tatalaksana Hernia Strangulata di IGD:
1. Memberikan sedasi yang adekuat dan analgetik untuk mencegah nyeri
2. Pasien harus istirahat agar tekanan intraabdominal tidak meningkat
3. Menurunkan tegangan otot abdomen. Posisikan pasien berbaring terlentang dengan
bantal di bawah lutut. Pasien pada posisi Trendelenburg dengan sudut sekitar 15-20°.
4. Kompres dengan kantung dingin untuk mengurangi pembengkakan dan menimbulkan
proses analgesia selama 20-30 menit
5. Posisikan kaki ipsilateral dengan rotasi eksterna dan posisi fleksi unilateral (seperti kaki
kodok)
6. Rencanakan operasi cito

36
Tatalaksana Peritonitis:
1. Terapi medis dengan antibiotik.
2. Intervensi non-operatif, termasuk di dalamnya drainase abses percutaneus dan
percutaneus and endoscopic stent placement.
3. Terapi operatif
Pada pasien ini sudah dilakukan tatalaksana pemberian analgetik dengan inj. Ketorolac 3x30
mg iv; terapi antibiotik dengan kombinasi inj. Ceftriaxon 1 gr/12 jam i.v. dan inj. Metronidazol
500 mg/8 jam i.v. Pasien dipuaskaan dan dilakukan pemasangan NGT dan DC untuk dekompresi
abdomen. Pasien juga direncanakan dilakukan operasi laparotomi cito saat di rawat inap.

3.6 Prognosis
Quo Ad Vitam : Dubia Admalam
Quo Ad Functionam : Dubia Admalam
Quo Ad Sananctionam : Dubia Admalam

37
BAB IV
DISKUSI KASUS

1. dr. Ryan: Bagaimana kriteria diagnosis sepsis? Pemeriksaan penunjang apa saja sebagai
penegakkan diagnosis sepsis?
Sepsis ditegakkan bila curiga atau terbukti bakteremia pada pasien-pasien dengan SIRS
(systemic inflamatory response syndrome).
SIRS, minimal memenuhi 2 dari 4 kriteria berikut:
- Suhu tubuh > 38°C atau < 36°C
- Frekuensi nadi > 90 kali/menit
- Frekuensi napas > 20 kali/menit atau PaCO2 < 32 mmHg
- Jumlah hitung leukosit > 12.000/mm3, atau < 4.000/mm3, atau jumlah neutrofil batang
>10%
Sepsis: SIRS dengan penemuan atau kecurigaan bakteremia.
Sepsis berat: Sepsis dengan disfungsi organ, hipotensi, atau hipoperfusi. Kriteria ini juga
mencakup sepsis dengan:
- Asidosis laktat
- Oliguria (keluaran urin < 0,5 ml/kgBB/jam selama > 2 jam meski telah diberi resusitasi
cairan secara adekuat)
- Acute lung injury (ALI) dengan PaO2/FiO2 < 200 (bila tidak ada pneumonia), atau
PaO2/FiO2 < 250 (bila ada keterlibatan pneumonia)
- Kreatinin serum > 2,0 mg/dL
- Bilirubin > 2 mg/dL
- Hitung trombosit < 100.000/mm3
- Koagulopati (INR > 1,5)
Syok sepsis: Sepsis dengan kelainan hipotensi yang tidak membaik dengan resusitasi cairan
awal.
Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS): Adanya gangguan fungsi organ-organ tubuh
secara akut sehingga homeostasis yang tidak dapat dipertahankan tanpa intervensi.

38
2. dr. Jafar: Apa yang dimaksud qSOFA? Apa saja indikatornya?
Skor qSOFA ditujukan untuk mengidentifikasi pasien dewasa dengan curiga infeksi yang
memiliki kecenderungan memperoleh outcome yang buruk. Parameter ini berguna bagi klinisi
untuk secara cepat 24 mengidentifikasi disfungsi organ serta memberikan terapi yang tepat dan
sesegera mungkin. Skor qSOFA > 2 merupakan salah satu dasar untuk mendiagnosis apakah
pasien dengan kecurigaan infeksi mengalami sepsis atau tidak, sehingga diperkirakan skor
tersebut dapat menjadi prediktor mortalitas pada sepsis dan syok sepsis.
Indikator qSOFA adalah sebagai berikut:

3. dr.Yuti: Komplikasi apa yang dapat terjadi pada peritonitis?


Peritonitis yang tidak terlokalisir dapat menyebabkan terjadinya peritonitis difus, kemudian
menjadi peritonitis generalisata dan terjadi perlengketan organ-organ intra abdominal dan
lapisan peritoneum viseral dan parietal. Timbulnya perlengketan ini menyebabkan aktivitas
peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam usus
mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Pada keadaan lanjut dapat
terjadi sepsis, akibat bakteri masuk ke dalam pembuluh darah.

39
BAB V
KESIMPULAN

Hernia merupakan penonjolan isi rongga melalui defek atau bagian lemah dari dinding rongga
bersangkutan. Komplikasi paling berat pada hernia adalah strangulata, di mana hal ini terjadi pada
1-3% kasus hernia inguinalis. Hernia strangulata adalah hernia yang terjadi pada daerah inguinalis
dan suplai darah ke daerah hernia tersebut berkurang. Hernia strangulata dapat terjadi karena
hernia inguinalis inkaserata yang tidak mendapatkan tatalaksana yang tepat.
Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum (lapisan serosa yang menutupi rongga abdomen
dan organ-organ abdomen di dalamnya). Suatu bentuk penyakit akut, dan merupakan kasus bedah
darurat. Dapat terjadi secara lokal maupun umum, melalui proses infeksi akibat perforasi usus,
misalnya pada ruptur appendiks atau divertikulum kolon, maupun non infeksi, misalnya akibat
keluarnya asam lambung pada perforasi gaster, keluarnya asam empedu pada perforasi kandung
empedu.
Hernia strangulata dan peritonitis merupakan kasus kegawatdaruratan abdomen yang
membutuhkan penanganan segera.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, didapatkan diagnosa
hernia scrotalis strangulata dan peritonitis, dengan komplikasi berupa dehidrasi berat dd/ syok
sepsis. Pada pasien sudah diberikan terapi analgetik untuk mengurangi nyeri, antibiotik kombinasi
Ceftriaxon dan Metronidazol untuk sebagai antibiotik empiris, terpasang NGT dan DC untuk
dokompresi, serta direncanakan dilakukan operasi laparotomi.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Warsinggih. Bahan Ajar Peritonitis dan Ileus DR.dr. Warsinggih, Sp.B-KBD. [internet]. 2016.
2. Sjamsuhidajat R, Jong D. Buku Ajar Ilmu Bedah. 3rd ed. (Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W,
Prasetyono TO., Rudiman R, eds.). Jakarta: EGC; 2007.
3. Mansjoer, Suprohaita, W.K. Wardhani, W. Setiowulan. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi IV,
Jilid II. Penerbit Media Aesculapius, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2014.
4. Kingsnorth AN, LeBlanc KA, editors. Management of Abdominal Hernias. London: Springer.
2013.
5. Misiakos EP, Bagis G, Zavras N, Tzanetis P, Patapis P, Machairas A. Strangulated Inguinal
Hernia. London: Intech. 2014.
6. Snell, Richard S. Anatomi Klinik untuk mahasiswa kedokteran; alih bahasa: Liliana
Sugiharto, edisi ke-6. Jakarta: EGC. 2006.
7. Bland, Kirby I. Inguinal Hernias. The Practice of General Surgery. New York: WB Saunders
Company. 2002.

41

Anda mungkin juga menyukai