Anda di halaman 1dari 25

PRESENTASI KASUS BEDAH PLASTIK

SEORANG PEREMPUAN 40 TAHUN DENGAN KELOID


REGIO THORAX

Oleh:
Pieter Reinaldo G99152005

Periode: 02 - 08 Oktober 2017

Pembimbing :

dr. Amru Sungkar, SpB, SpBP (K) RE

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI

SURAKARTA

2017
STATUS PASIEN

I. Anamnesis
A. Identitas pasien
Nama : Ny. L
Umur : 40 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
No. RM : 01386xxx
Alamat : Keloran, Selogiri, Wonogiri
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status : Menikah
MRS : 3 Oktober 2017
Tanggal Periksa : 5 Oktober 2017

B. KeluhanUtama
Benjolan di dada sebelah kanan

C. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan benjolan pada dada sebelah kanan
yang semakin membesar. Benjolan mulai dirasakan tumbuh sejak 10 tahun
yang lalu, setelah operasi benjolan pada payudara kanan. Benjolan awal
mula kecil, lama kelamaan membesar. Pasien sebelumnya juga pernah
jatuh dari motor 9 tahun yang lalu, dan dari luka bekas jatuh tersebut juga
tumbuh benjolan pada dada kanan bagian atas. Pasien sebelumnya belum
pernah menjalani operasi pengambilan benjolan, pasien pernah mondok
sebelumnya di RSUD Dr. Moewardi untuk operasi pengambilan benjolan,
namun saat itu operasi dibatalkan dan pasien mengaku hanya disuntik saja.
Saat ini pasien merasa benjolan semakin membesar dan kadang terasa
nyeri dari benjolan tersebut
Tidak ada riwayat berat badan turun. BAB dan BAK tidak ada
keluhan. Pasien tidak mengeluh dadanya berdebar-debar atau sesak.
Pasien menyangkal adanya riwayat hipertensi, sakit gula, asma dan
jantung.

D. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat sakit liver : disangkal
Riwayat sakit ginjal : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat mondok : September 2017, dengan keluhan serupa
Riwayat operasi : 2007, pengangkatan benjolan di payudara
kanan

E. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat sakit serupa : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes melitus : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat operasi : disangkal

Riwayat kebiasaan
Makan Pasien mengaku makan 3 kali sehari. porsi untuk
sekali makan + 10-12 sendok makan dengan
dengan lauk tahu, tempe, telur, daging dan sayur.
Merokok Disangkal
Alkohol Disangkal
Minum jamu Disangkal
Obatbebas Disangkal
Memasak dengan Disangkal
kayu bakar

F. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga. Pasien tinggal
bersama suami dan dua anaknya. Pasien berobat dengan fasilitas BPJS.
II. Anamnesis sistemik
Mata : mata kuning (-), mata kemerahan (-), mata bengkak
(-/-) pada regio palpebra inferior
Telinga : darah (-), lendir (-), cairan (-), pendengaran
berkurang (-)
Mulut : darah (-), gusi berdarah (-), maloklusi (-), gigi
tanggal (-), benjolan (-)
Hidung : penciuman menurun (-), darah (-), sekret (-)
Sistem Respirasi : sesak nafas (-), suara sengau (-), sering tersedak (-)
Sistem Kardiovaskuler : nyeri dada (-), sesak saat aktivitas (-)
Sistem Gastrointestinal : mual (-), muntah (-), nyeri perut (-), diare(-)
Sistem Muskuloskeletal : nyeri tekan (-), nyeri sendi (-)
Sistem Genitourinaria : nyeri BAK (-), kencing darah (-)

III. Pemeriksaan Fisik


A. Primary Survey
1. Airway : Bebas
2. Breathing Inspeksi : pengembangan dada kanan = kiri,
pernafasan 20x/menit
Palpasi : krepitasi (-/-)
Perkusi : sonor/ sonor
Auskultasi : SDV (+/+), ST (-/-)
3. Circulation : Tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 89x/menit, CRT
< 2s
4. Disability : GCS E4V5M6, reflek cahaya (+/+), pupil isokor
(3mm/3mm)
5. Exposure : suhu 36.7 C

B. Secondary Survey
1. Kepala : bentuk mesocephal, rambut warna hitam, mudah rontok
(-), alopesia (-) luka (-), atrofi m. temporalis(-)
2. Mata : Mata cekung (-/-), konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik
(-/-), perdarahan subkonjugtiva (-/-), pupil isokor dengan
diameter ( mm/3 mm), reflek cahaya (+/+), edema palpebra
(-/-), strabismus (-/-)
3. Telinga : sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-),
4. Hidung : bentuk simetris, napas cuping hidung (-), sekret (-), keluar
darah (-)
5. Mulut : Sianosis (-), gusi berdarah (-), papil lidah atrofi(-), gusi
berdarah (-), luka pada sudut bibir (-), oral thrush (-),
mukosa bibir basa(+), benjolan di labium inferior
6. Leher : JVP R+2 cmH2O pembesaran tiroid (-), pembesaran
limfonodi (-), nyeri tekan (-)
7. Thorak : lihat status lokalis
8. Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V linea midcalvicularis
sinistra tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, regular,bising
(-)
9. Pulmo
Inspeksi : normochest, pengembangan dada kanan sama
dengan kiri
Palpasi : fremitus raba kanan sama dengan kiri, nyeri tekan
(-/-)
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+) normal, suara tambahan
(-/-)
10. Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dari dinding thorak, sikatrik
(-), striae (-), caput medusae (-), ikterik (-),
Auskultasi : bising usus (+) 10x/ menit normal
Perkusi : timpani
Palpasi :supel, nyeri tekan (-), defans muscular (-), hepar
tidak teraba, lien tidak teraba
11. Genitourinaria : BAK normal, BAK darah (-), BAK nanah (-), nyeri
BAK (-)
12. Ekstremitas : nyeri tekan (-)
Akral dingin Oedema

- - - -
- - - -

C. Status Lokalis
Regio Thorax
Inspeksi : tampak keloid pada regio hemithorax dextra ukuran 12 cm
x 6 cm, dan ukuran 9 cm x 4 cm
Palpasi : konsistensi lunak, berbenjol-benjol kecil, dapat digerakkan,
nyeri tekan (-)
IV. Assesment I
Keloid regio hemithorax dextra
V. Plan I
1. Mondok bangsal pro eksisi Keloid
2. Infus NaCl 0.9% 20 tpm
3. Cek darah rutin, HbsAg, PT/APTT/INR

VI. Pemeriksaan Penunjang

A. Laboratorium darah (05/10/2017)

Pemeriksaan Nilai Satuan Rujukan

Hb 10,6 g/dl 12,0 15,8

Hct 37 % 33 45

AE 4,86 106 / L 4,10 5,10

AL 8,4 103 / L 4,5 11,0

AT 402 103/ L 150 450


PT 14,5 detik 10,0 15,0

APTT 27,5 detik 20,0 40,0

INR 1,210

GDS 104 Mg/dl 60 140

Creatinine 0,8 Mg/dl 0,6 1,1

Ureum 26 Mg/dl <50

Natrium Darah 140 Mmol/L 136 145

Kalium Darah 4,4 Mmol/L 3,3 5,1

Chlorida Darah 103 Mmol/L 98 106

HBsAg Rapid Nonreactive Nonreactive

VII. Assessment II
Keloid regio hemithorax dextra
VIII. Plan II
1. Pro eksisi keloid
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. KELOID

A. Definisi

Keloid adalah pembentukan jaringan parut berlebihan (pertumbuhan


proliferatif) diatas permukaan kulit yang disebabkan oleh trauma atau
luka dan bekas operasi karena sintesis dan deposisi yang tidak terkontrol
dari jaringan kolagen pada dermis.3,4

Gambar 1. Keloid.
Luka pada kulit seperti luka bakar, insisi pembedahan, ulkus dan
lain-lain diperbaiki melalui deposisi dari komponen yang akan
membentuk kulit baru. Komponen tersebut meliputi pembuluh darah,
saraf, serat elastin (memberelastisitas kulit), serat kolagen (memberi
ketegangan kulit), dan gliko-saminoglikan yang membentuk matriks di
mana serat-serat struktural, saraf dan pembuluh darah berada.3,4
Pada beberapa orang, jaringan parut yang terbentuk akibat proses
penyembuhan luka tumbuh secara abnormal menghasilkan jaringan parut
hipertrofik atau keloid. Jaringan parut abnormal tersebut dapat
menyebabkan gangguan psikis dan fungsional pada pasien dan
penatalaksanaannya relatif sulit.3,4

B. Etiologi
Selain trauma, faktor penyebab yang mungkin untuk terjadinya
keloid masih belum bisa dijelaskan. Keloid biasanya berhubungan
dengan faktor penyembuhan luka yang tidak baik seperti infeksi, luka
bakar, inflamasi kronis, penutupan luka yang tidak adekuat, tegangan
yang berlebihan, benda asing dan trauma berulang, namun dapat muncul
pada luka yang bersih. Beberapa faktor lain yang diketahui berpengaruh
adalah herediter dan ras, umur dan faktor endokrin, jenis luka dan lokasi
trauma seperti yang telah dijelaskan diatas

C. Patogenesis

Secara umum, keloid timbul setelah cedera atau inflamasi kulit pada
individu yang beresiko. Keloid dapat terjadi dalam jangka waktu satu
bulan sampai satu tahun setelah trauma atau inflamasi. Trauma kulit pada
dermis retikuler atau lapisan kulit lebih dalam lagi cenderung berpotensi
menjadi parut hipertrofik dan keloid. Beberapa penyebab keloid yang
sering dilaporkan adalah: akne, folikulitis, varicella, vaksinasi, tindik
telinga, luka robek dan luka operasi. Luka kecil sekalipun, bahkan bintil
bekas gigitan serangga dapatmenjadi keloid. Injeksi menggunakan jarum
ukuran kecil, seperti injeksi anestesi lokal, biasanya tidak menimbulkan
keloid.

Keloid dapat terjadi pada injeksi yang memprovokasi inflamasi, seperti


vaksinasi. Penelitian di Taiwan mendapatkan bahwa 10% remaja
mendapat keloid pada tempat bekas injeksi vaksin Bacil Calmette Guerin
(BCG). Setelah terjadi trauma/luka, pada lokasi luka terjadi degranulasi
platelet, aktifasifaktor pembekuan dan komplemen, mengakibatkan
pembentukan bekuan fibrin untuk hemostasis. Bekuan ini selanjutnya
berperan sebagai rangka untuk penyembuhan luka. Degranulasi platelet
menyebabkan pelepasan dan aktifasi sitokin poten
termasuk transforming growth factor- (TGF-), epidermal growth
factor (EGF), insulin like growth factor-1 (IGF-1) dan platelet-derived
growth factor (PDGF). Growth factor berfungsi merekrut dan
mengaktifkan sel netrofil, epitel, endotel makrofag, sel mast dan fibroblas.
4

Penelitian lain tentang patogenesis keloid mendapatkan bahwa pada


keloid terjadi down-regulation gen yang terkait apoptosis. Selain itu pada
biakan fibroblas keloid didapatkan produksi kolagen dan matriks
metalloproteinase lebih besar dibandingkan fibroblas dermal normal.
Berikut beberapa teori yang sering dianggap sebagai patogenesis keloid:

Aktifitas Fibroblas Abnormal

Fibroblas yang terdapat pada keloid memproduksi type I


procollagen secara berlebihan. Secara in vitro, fibroblas keloid juga
mengekspresikan lebih banyak vascular endothelial growth
factor (VEGF), transforming growth factor-(TGF-)1/2,
reseptor platelet derived growth factor (PDGF-) dan mengalami
penurunan kebutuhan growth factor . Ladin dkk melaporkan bahwa
fibroblas keloid mengalami penurunan frekuensi apoptosis.

Fibroblas keloid (FK) menghasilkan kolagen dalam jumlah banyak.


Selain itu FK juga menghasilkan elastin, fibronektin, dan proteoglikan
serta chondroitin 4 sulfat (C4S)lebih banyak dibanding fibroblas normal.
Fibroblas keloid menghasilkan kolagen tipe I dan memiliki kapasitas
untuk berproliferasi 20 kali lebih besar dibandingkan dengan fibroblas
normal.

Reaksi Imunitas Abnormal

Beberapa teori menyatakan bahwa keloid disebabkan oleh reaksi


imun spesifik. Immunoglobin (Ig) yang meningkat pada keloid, adalah:
IgA, IgG dan IgM. Pelepasan produk sel mast yang dimediasi oleh IgE juga
berperan pada pembentukan keloid. Histamin berhubungan dengan sintesis
kolagen karena menghambat enzim lysil oksidase kolagen yang berperan
terhadap cross-linking kolagen, sehingga mengakibatkan peningkatan
jumlah kolagen pada keloid. Aktifitas metabolik sel mast juga berperan
dan mendasari terjadinya rasa gatal yang sering menyertai kondisi ini.
Peningkatan Produksi Asam Hyaluronat

Asam hyaluronat merupakan glikosaminoglikan yang terikat pada


reseptor di permukaan fibroblas dan memiliki peranan penting dalam
mempertahankan sitokin tetap terlokalisir dalam sel. Salah satu sitokin
yang dimaksud adalah TGF-1. Produksi asam hyaluronat meningkat
pada fibroblas keloid, dan kadarnya kembali normal setelah pengobatan
dengan triamsinolon. Beberapa peneliti tidak setuju dengan teori
ini, berdasarkan temuan kadar asam hyaluronat yang lebih rendah dalam
dermis keloidal dibandingkan dermis normal.7

Pengaruh Melanin terhadap Reaksi Kolagen-kolagenase

Peningkatan kadar melanin berpengaruh terhadap terjadinya


akumulasi kolagen melalui mekanisme penurunan pH menjadi lebih
asam sehingga kemampuan enzim kolagenase mendegradasi kolagen
menjadi berkurang. Penelitian ini juga menjelaskan kejadian keloid pada
kulit berwarna disebabkan karena keberadaan melanin yang lebih banyak
akan mengganggu keseimbangan sintesis dan degradasi kolagen pada
penyembuhan luka.6

D. Manifestasi Klinis

Secara klinis keloid merupakan nodul fibrosa, papul atau plak, keras,
elastis, berkilat, tidak teratur, berbatas tegas, terdapat telangiektasis dan
berwarna merah muda, merah sampai coklat gelap.4,5 Pasien sering
mengeluhkan rasa gatal dan nyeri.5,7 Keloid cenderung tumbuh lambat
lebih dari beberapa bulan sampai tahun. Secara histopatologis
menunjukkan adanya hialinisasi serabut kolagen yang tersusun
melingkar. Keloid biasanya diagnosis banding dengan parut hipertrofi,
dermatofibroma dan dermatofibrosarkoma protuberans.4 Parut hipertrofi
sama dengan keloid, namun secara klinis tinggi parutnya tidak tumbuh
melebihi batas dari lukanya.5
Keloid tidak mengalami resolusi spontan, tetapi dengan pengobatan
yang sesuai progresinya dapat dihambat. Keloid dapat menyebabkan
terganggunya pasien secara fisik maupun psikologis dan menyebabkan
dampak negatif pada kualitas hidupnya.4
Walaupun prevalensi keloid ini tinggi pada populasi umum, namun
masih menjadi tantangan bagi dermatolog untuk menanganinya karena
kekambuhan sering terjadi setelah penanganan. Penanganan kombinasi
sepertinya merupakan stategi yang optimal.6 Terdapat beberapa
penanganan pada keloid. Namun, tidak ada penanganan keloid yang
dinyatakan 100% efektif.5 Ada beberapa penanganan keloid seperti
kompresi, kortikosteroid intralesi, penggunaan silikon, vitamin dan
bahan farmakologi secara topikal, pembedahan, bedah beku, laser,
radioterapi, penanganan kombinasi dan beberapa penanganan keloid
lainnya.3,5
E. Penatalaksanaan

1) Konservatif

a) Kortikosteroid Intralesi

Kortikosteroid intralesi telah lama digunakan untuk terapi keloid


karena memiliki respon yang baik, mudah digunakan dan efek
samping yang rendah. Kortikosteroid intralesi menginhibisi
pertumbuhan fibroblas dan produksi mediator inflamasi,
mengurangi sintesis kolagen dan mengubah sintesis
glykosaminoglikan sehingga mengurangi jumlah kolagen pada
keloid. Secara klinis mengurangi rasa gatal, melembutkan dan
meratakan lesi. Keloid yang besar memiliki respon yang baik
dengan penanganan triamsinolon asetonid intralesi. Dapat
dikombinasi dengan terapi lain untuk meningkatkan respon dan
efikasi terapi. Kekambuhan sering dan dapat muncul dalam
beberapa bulan atau tahun. Dosis triamsinolon asetonid yang
diperlukan untuk terapi keloid lebih tinggi daripada untuk penyakit
lain. Robles menganjurkan dosis yang digunakan untuk
kotikosteroid intralesi 10-40 mg/mL dengan interval 4-6 minggu dan
batas dosis perbulan dari triamsinolon asetonid adalah 20 mg,
tergantung dari ukuran, lokasi dan respons keloid. Injeksi KIL
menyebabkan keloid jadi mendatar, lebih lunak dan meringankan
gejala nyeri dan gatal. Efek samping kortikosteroid intralesi yang
bisa muncul termasuk hiper-hipopigmentasi, atropi, dan
telangiektasi. Sedangkan efek samping sistemik jarang muncul pada
kortikosteroid intralesi. Namun injeksi kostikosteroid ini sering
tidak nyaman bagi pasien, tidak praktis dan sulit dilakukan pada
keloid yang besar dan atau keras juga multipel.5

b) 5-Fluorouracil

5-Fluorouracil (5-FU), merupakan analog pirimidin yang


banyak digunakan dalam pengobatan kanker dan glaukoma. Dalam
sel 5-FU dikonversikan menjadi substrat aktif yang menghambat
sintesis DNA dengan cara kompetitif terhadap penggabungan urasil.
Penelitian terbaru mendapatkan bahwa 5-FU memiliki efikasi yang
baik untuk menangani keloid. Kemampuan 5-FU untuk untuk
mengganggu TGF-b signaling merupakan dasar penggunaan 5-FU
untuk menghambat pembentukan keloid. Teknik yang digunakan
dalam penelitian efikasi 5-FU terhadap keloid adalah dengan injeksi
intralesi atau menempatkan kain yang sebelumnya direndam dengan
5-FU selama 5 menit sebelum luka ditutup. Efek samping yang
sering terjadi adalah nyeri di lokasi injeksi, ulserasi dan rasa
terbakar.
Penelitian Kontochristopoulos dkk menggunakan injeksi 5-FU
intralesi dengan interval 1 pekan, sebanyak 6 kali, mendapatkan
hasil yang baik. Perbaikan secara klinis dibuktikan juga dengan
temuan histopatologi berupa; berkurangnya jumlah hyalinized
collagen fibers, berkurangnya prominent vascularity, pendataran
papila dermis tanpa tanda atrofi, pigmentary incontinence,
penurunan ekspresi Ki-67 dan penurunan ekspresi TGF-b. Ki-67
adalah petanda proliferasi sel. Fitzpatrick juga melaporkan
perbaikan klinis pada keloid yang diterapi dengan injeksi intralesi 5-
FU, walaupun bukan sebagai terapi tunggal.3
Karena terapi 5-FU sistemik dihubungkan dengan anemia,
leukopenia dan trombositopenia, maka pasien harus dimonitor
gambaran darah tepinya secara ketat. Terapi menggunakan 5-FU
juka tidak dianjurkan untuk wanita hamil atau menyusui dan pada
pasien dengan bone marrow suppression.
2) Penggunaan Silicone Gel Sheeting

Pemberian silikon gel sheeting secara topikal merupakan


alternatif lain untuk penanganan keloid. Silikon ini dapat
melembutkan dan menurunkan pruritus, merah dan nyeri.6
Penggunaan silikon sedikitnya 12 jam perhari atau dua kali sehari
dalam beberapa bulan agar efektif. Dapat digunakan sebagai terapi
tambahan seperti pada terapi pembedahan, kortikosteroid intralesi
dan laser. Silokon gel sheet ini merupakan campuran dan kombinasi
dari beberapa ekstrak herbal dan derivate silicone. Oleh ahli
international merekomendasikan silikon gel ini sebagai profilaksis
lini pertama setelah bedah eksisi. Namun, ada sebuah penelitian
lanjutan yang dilakukan oleh seorang ahli dari Thailand Muangman
dkk tahun 2001, tentang pengunaan gel ini sebagai penanganan
keloid.6
Cybele Scagel adalah kombinasi dari ekstrak herbal dan
turunan silicon dalam bentuk preparat gel yang terdiri dari 12% A.
cepa (0nion extract), 1% allantoin, asiaticoline (ekstrak daun gotu
kola), ekstrak lidah buaya (Aloe barbadensis), Kazinol F (ekstrak
paper mulberry), ekstrak tamarind, dan nano hydroxyproline C yang
dibuat untuk mengobati parut hipertrofik. Pada penelitian
sebelumnya telah dilaporkan bahwa penggunaan obat topkal ini
dapat mengurangi rasa nyeri dan gatal-gatal setelah epitelisasi pada
luka bakar dan dapat mencegah terbentuknya parut hipertrofik
setelah luka bakar (Muangman dkk., 2011). Penelitian ini dirancang

untuk menilai manfaat dan potensi Cybele Scagel dalam
pencegahan parut hipertrofik dan keloid.6 Sampai saat ini tidak
ditemukan ada efek samping dalam penggunaan gel ini.
3) Pembedahan

Bedah eksisi merupakan cara penanganan keloid yang pertama


kali dikenal. Pertama kali dilakukan oleh Druit di tahun 1844 dan
disempurnakan oleh De Costa pada tahun 1903. Secara umum
pembedahan diperlukan sebagai terapi lini kedua untuk lesi yang
tidak berespon terhadap terapi lain. Selain itu bedah eksisi juga
dilakukan pada lesi keloid yang luas sehingga membutuhkan
debulking lebih dahulu sebelum terapi lain dilakukan.
Bedah eksisi merupakan lini kedua dalam penanganan keloid.
Penanganan ini bukan hanya invasif tetapi juga memiliki angka
kekambuhan yang tinggi yaitu sekitar 50%. Pada keloid yang kecil
dapat langsung ditutup dan pada keloid yang besar dapat
menggunakan skin graf namun dapat menyebabkan keloid pada
daerah donor. Untuk menghindarinya dapat digunakan autograf.
Pada metode ini menggunakan kulit dari keloid untuk menutupi
defek setelah dilakukan pembedahan debulking.5
Banyak teknik yang berkembang untuk debulking ini, seperti
penggunaan suction-assisted lipectomy, aspirator bedah ultrasonik
dan rekonstruksi bedah mikro dengan menggunakan arthroscopic
shaver. Bedah eksisi merupakan prosedur yang sering digunakan
untuk tindakan debulking.5 Pada bedah eksisi dapat dilakukan
debulking parsial untuk mengurangi ketebalan dari tumor. Kuretase
sebagai prosedur pada tindakan debulking baik untuk mengangkat
massa tumor nodular yang lembut, namun tidak efektif dilakukan
untuk mengangkat tumor apabila didapati jaringan tumor dan
fibrosis bersama-sama. Kuretase jarang dilakukan sebagai prosedur
debulking sedangkan debulking eksisi dilakukan lebih dari 90%
pada tumor.
Tindakan debulking digunakan pada tumor yang terlihat oleh
mata. Setelah dilakukan tindakan debulking maka penyuntikan
kortikosteroid intralesi akan lebih mudah dan waktu penyuntikan
yang diperlukan pun akan lebih singkat. Tidak ada komplikasi yang
terjadi seperti nekrosis flap, infeksi, bentuk yang irregular, seroma
atau hematoma pada salah satu penelitian dengan penggunaan teknik
debulking. Terapi tambahan setelah operasi seperti injeksi steroid
sebaiknya dipertimbangkan.5 Kombinasi tindakan debulking dengan
injeksi kortikosteroid intralesi beberapa waktu setelah pembedahan
menjamin tidak terganggunya penutupan defek dan resolusi yang
cepat dibandingkan bila penggunaan teknik secara sendiri-sendiri.
Injeksi triamsinolon asetonid dapat dilakukan 3-4 minggu setelah
operasi. Dari kebanyakan penelitian didapati bedah eksisi
dikombinasi dengan injeksi steroid menunjukkan kekambuhan
kurang dari 50%.
Bedah eksisi merupakan cara penanganan keloid yang pertama
kali dikenal. Pertama kali dilakukan oleh Druit di tahun 1844 dan
disempurnakan oleh De Costa pada tahun 1903. Secara umum
pembedahan diperlukan sebagai terapi lini kedua untuk lesi yang
tidak berespon terhadap terapi lain. Selain itu bedah eksisi juga
dilakukan pada lesi keloid yang luas sehingga membutuhkan
debulking lebih dahulu sebelum terapi lain dilakukan.
Bedah eksisi merupakan lini kedua dalam penanganan keloid.
Penanganan ini bukan hanya invasif tetapi juga memiliki angka
kekambuhan yang tinggi yaitu sekitar 50%. Pada keloid yang kecil
dapat langsung ditutup dan pada keloid yang besar dapat
menggunakan skin graf namun dapat menyebabkan keloid pada
daerah donor. Untuk menghindarinya dapat digunakan autograf.
Pada metode ini menggunakan kulit dari keloid untuk menutupi
defek setelah dilakukan pembedahan debulking.5
Banyak teknik yang berkembang untuk debulking ini, seperti
penggunaan suction-assisted lipectomy, aspirator bedah ultrasonik
dan rekonstruksi bedah mikro dengan menggunakan arthroscopic
shaver. Bedah eksisi merupakan prosedur yang sering digunakan
untuk tindakan debulking.5 Pada bedah eksisi dapat dilakukan
debulking parsial untuk mengurangi ketebalan dari tumor. Kuretase
sebagai prosedur pada tindakan debulking baik untuk mengangkat
massa tumor nodular yang lembut, namun tidak efektif dilakukan
untuk mengangkat tumor apabila didapati jaringan tumor dan
fibrosis bersama-sama. Kuretase jarang dilakukan sebagai prosedur
debulking sedangkan debulking eksisi dilakukan lebih dari 90%
pada tumor.
Tindakan debulking digunakan pada tumor yang terlihat oleh
mata. Setelah dilakukan tindakan debulking maka penyuntikan
kortikosteroid intralesi akan lebih mudah dan waktu penyuntikan
yang diperlukan pun akan lebih singkat. Tidak ada komplikasi yang
terjadi seperti nekrosis flap, infeksi, bentuk yang irregular, seroma
atau hematoma pada salah satu penelitian dengan penggunaan teknik
debulking. Terapi tambahan setelah operasi seperti injeksi steroid
sebaiknya dipertimbangkan.5 Kombinasi tindakan debulking dengan
injeksi kortikosteroid intralesi beberapa waktu setelah pembedahan
menjamin tidak terganggunya penutupan defek dan resolusi yang
cepat dibandingkan bila penggunaan teknik secara sendiri-sendiri.
Injeksi triamsinolon asetonid dapat dilakukan 3-4 minggu setelah
operasi. Dari kebanyakan penelitian didapati bedah eksisi
dikombinasi dengan injeksi steroid menunjukkan kekambuhan
kurang dari 50%.
4) Bedah Beku

Bedah beku atau cryotherapy menggunakan refrigerant, sebagai


terapi tunggal atau dikombinasi dengan injeksi KIL telah lama
digunakan sebagai terapi keloid. Metoda aplikasi cryotherapy
adalah dengan cara ditempelkan, disemprotkan, dan disuntikkan
intralesi.4,5 Kelebihan dari bedah beku ini secara langsung
menyebabkan stasis dan pembentukan trombus sehingga terjadi
nekrosis serta perlunakan dan pendataran keloid. Secara in vitro,
cryotherapy mampu mengubah sintesis kolagen dan differensiasi
keloidal collagen menjadi normal. Kelemahan dari bedah beku
cryotherapy adalah nyeri yang ditimbulkan cukup berat danwaktu
penyembuhan yang lama, sehingga pasien sering tidak datang
kembali. Metoda inimemerlukan kombinasi dengan cara pengobatan
lain. Pada pasien dengan warna kulitgelap dapat terjadi efek
hipopigmentasi, yang dapat menimbulkan masalah baru.6

5) Laser

Laser memiliki harapan baik untuk penanganan terhadap keloid.


Pulsed-dye laser (PDL) memberikan angka respon yang baik dan
menurunkan kekambuhan. Mekanisme kerjanya masih belum jelas.
Diketahui PDL 585 nm memiliki target pembuluh darah yang
menyebabkan fototermolisis selektif. Sehingga pembuluh darah
yang berlebihan pada keloid dapat dihancurkan, selanjutnya terjadi
hipoksia lokal. Hasilnya peningkatan asam laktat yang menstimulasi
kolagenase dan penghancuran kolagen.5 Dapat dikombinasi dengan
injeksi kortikosteroid.6 Laser karbondioksida (CO2) merupakan
salah satu jenis laser yang pertama kalidigunakan untuk terapi
keloid. Pada tahun 1982 continous wave CO2 laser sukses dalameksisi
keloid. Keuntungan laser adalah bersifat non traumatik dan memiliki
efek antiinflamasi. Namun selanjutnya didapat bahwa eksisi keloid
menggunakan continous wave CO2 laser yang dilanjutkan dengan
penyembuhan luka sekunder, gagal menekan pertumbuhan dan
mencegah rekurensi keloid. Saat ini laser CO2 digunakan
untuk debulking keloid berukuran besar, sebelum terapi lain dimulai.4

6) Radioterapi

Penanganan keloid hanya menggunakan radioterapi dinyatakan


tidak dapat dipercaya. Hasil yang lebih baik didapati bila
dikombinasi dengan pembedahan dengan tingkat kekambuhan yang
lebih rendah dan merupakan salah satu cara yang efektif. Radiasi
dilakukan segera setelah pembedahan. Pada salah satu penelitian,
pasien mendapat radiasi 1500-2000 rad. Hati-hati penggunaan luas
dari radiasi ini, karena ditakutkan efek karsinogenesisnya. Efek
samping yang sering terjadi adalah transient erythema dan
hiperpigmentasi. Terapi radiasi memiliki resiko karsinogenesis,
sehingga walaupun resiko ini kemungkinan kecil terjadi pada keloid,
pasien harus tetap diberitahu agar waspada karena secara teori hal itu
mungkin terjadi.4
7) Neodermis

Berdasarkan jurnal dari Spencer dan Rod, 2012 mereka


melakukan rekonstruksi keloid yang besar dalam tiga tahap dengan
tahap pertama eksisi jaringan keloid hingga mencapai subkutan
kemudian Integra Bilayer Matrix Wound di tempatkan sebagai dasar
pelapis dengan staples dengan hati hati tidak sampai melukai
epidermis. Tahap kedua setelah kira-kira 4 minggu lembaran silicon
yang melapisi integra di lepas dan ditutupi dengan graft kulit (0.006
inci). Antara 6 sampai 9 bulan, tepian luka dieksisi dan injeksi setiap
jangka 10 cm dari luka dengan 5-fuorouracil (50 mg/cc) sebanyak 1
cc dan kenalog 40 sebanyak 1 cc. kemudian luka ini di radiasi
menggunakan 1200 cGy dibagi menjadi tiga fraksi yang sama dalam
48 jam.

Gambar 2. Seorang laki-laki yang


memiliki keloid dan menjalani terapi
Neodermis gambar kiri sebelum dan
kanan sesudah terapi.
8) Obat yang Dibantu Laser

Terdapat penelitian yang melakukan sebuah inovasi yaitu


dengan terapi laser yang dengan segera disusul dengan penggunaan
triamcinolone acetonide (10-20 mg/mL berdasarkan lokasi dan
ketebalan dari keloid). Pasien menjalani 3 sampai 5 kali pengobatan
dalam 2-3 bulan. Pada akhir penelitian terdapat hasil yang
memuaskan seperti gambar berikut

Gambar 3. Pasien laki laki usia 6 tahun yang


menjalani terapi obat dibantu penetrasinya dengan
Laser. A sebelum terapi dan B sesudah terapi
DAFTAR PUSTAKA
1. OBrien L, Jones DJ (2013). Silicone gel sheeting for preventing and
treating hypertrophic and keloid scars (Review). The Cochrane
Collaboration

2. Viera MH, Vivas AC, dan Berman B (2012). Update on keloid


management: clinical and basic science advances. Advances in wound care.
1:200-206.

3. Krakowski AC, Totri CR, Donelan MB, et al. Scar Management in the
Pediatric and Adolesent Populations. Pediatrics. 2016; 137(2): e20142065.

4. Acosta S, Ureta E, Yanez R, Olivia N, Searle S, Guerra C. Effectiveness of


Intralesional Triamcinolone in the Treatment of Keloids in Children
Pediatric Dermatology Vol. 33 No. 1 75-79, 2016.

5. Leeuwen et al. entitled High-Dose-Rate Brachy-therapy for the Treatment


of Recalcitrant Keloids: A Unique, Effective Treatment Protocol.

6. Clayman MA, Clayman SM, Mozingo DW. The use of


collagenglycosaminoglycancopolymer (Integra) for the repair of
hypertrophic scars and keloids. J Burn Care Res. 2006;27:404409.

7. Ogawa R, Huang C, Akaishi S, et al. Analysis of surgical treatments for


earlobe keloids: Analysis of 174 lesions in 145 patients. Plast Reconstr
Surg. 2013;132: 818e825e.

8. Gauglitz GG (2013). Management of keloids and hypertrophic scars:


current and emerging options. Clinical, cosmetic and investigational
dermatology. 6:103-114.
9. Huang C, Murphy GF, Akaishi S, dan Ogawa R (2013). Keloids and
hypertrophic scars: update and future directions. American society of plastic
surgeons.

10. Kokoska, Mimi. 2010. Keloid and Hypertrophic Scar. Diakses dari
www.medscapemedline.com tanggal 26 April 2011.

11. Berman, Brian. 2010. Keloid and Hypertrophic Scar. Diakses dari
www.medscapemedline.com tanggal 25 April 2011.

12. Litrowski N, Boullie MC, Dehesdin D, Barros De, Joly (2014). Treatment
of earlobe keloids by surgical excisions and cryosurgery. JEADV, 28:1324-
31.

13. Butler PD, Longaker M (2008). Current progress in keloid research and
treatment. Jamcollsurg, 12:731-5.

14. Gauglitz G (2013). Management of keloids and hypertrophic scars: current


and emerging options. Clinical, Cosmetic and Investigational
Dermatology, 6:103-114.

15. Anzarus, A., Olson, J., Singy P., Rose, B., Tredget, E. (2009). The
effectiveness of pressure garment therapy for the prevention of abnormal
scarring after burn injury: a meta-analysis. Journal of Plastic,
Reconstructive & Aesthetic Surgery, 62.77-84.

16. Durani, P., McGrouther, D.A., Ferguson, M.W.J. (2009) Current scales for
assessing human scarring: A review. Journal of Plastic, Reconstructive &
Aesthetic Surgery, 62.713-720.
17. Esselman, Peter C. (2007) Burn Rehabilitation: An Overview. Archives of
Physical Medicine and Rehabilitation, 88.2.S3-S6.

18. Rabello FP, Souza CD, Junior JA (2014). Update on Hypertrophic Scar
Treatment. CLINICS 69 (8): 565-573.

19. Perdanasari AT, Lazzeri D, Weijie S, Wenjing X, Zhang Z, Li K, Min P,


Shaoqing F, Yixin Z, Persichetti P (2014). Recent Development in the Use
of Intralesional Injections Keloid Treatment. Archives of Plastic Surgery,
41(6): 620-629.

20. Daojin Y, Bocheng Z, Haiping Y, Bin Z, Jing W ( 2014). Therapeutic


Hotline: A combination of non-operative treatment modalities used for
treatment of keloids. Dermatologic Therapy, 27: 48-51.

21. Reddy R, Harinatha S, Raghunath N (2015). The Role of Bleomycin in


Management of Hypertophic Scars and Keloids. A Clinical Trial. Our
Dermatol Online, 404-406.

22. Goyal NN, Gold MH (2014). A Novel Triple Medicine Cobination Injection
for the Resolution of Keloids and Hypertrophic Scars. The Journal of
Clinical and Aesthetic Dermatology, 7(11): 31-34.

23. Monstrey S, Middelkoop E, Vranckx JJ, Bassetto F, Ziegler UE, Meaume


S, Tot L. Updated scar management practical guidelines: non-invasive
and invasive measures. Journal of Plastic, Reconstructive & Aesthetic
Surgery. 2014 Aug 31;67(8):1017-25.

24. Gauglitz GG, Korting HC, Pavicic T, Ruzicka T, Jeschke MG.


Hypertrophic scarring and keloids: pathomechanisms and current and
emerging treatment strategies. Molecular medicine. 2011 Jan;17(1-2):113.
25. Long X, Zhang M, Wang Y, Zhao R, Wang Y, Wang X. Algorithm of
chest wall keloid treatment. Medicine. 2016 Aug;95(35).

26. Gauglitz GG, Korting HC, Pavicic T, Ruzicka T, Jeschke MG.


Hypertrophic scarring and keloids: pathomechanisms and current and
emerging treatment strategies. Molecular medicine. 2011 Jan;17(1-2):113.

27. Butler PD, Longaker MT, Yang GP. Current progress in keloid research
and treatment. Journal of the American College of Surgeons. 2008 Apr
1;206(4):731-41.

28. Durani P, Bayat A. Levels of evidence for the treatment of keloid disease.
Journal of Plastic, Reconstructive & Aesthetic Surgery. 2008 Jan
31;61(1):4-17.

29. Huang C, Murphy GF, Akaishi S, Ogawa R. Keloids and hypertrophic


scars: update and future directions. Plastic and Reconstructive Surgery
Global Open. 2013 Jul;1(4).

30. van Leeuwen MC, Bulstra AE, Ket JC, Ritt MJ, van Leeuwen PA, Niessen
FB. Intralesional cryotherapy for the treatment of keloid scars: evaluating
effectiveness. Plastic and Reconstructive Surgery Global Open. 2015
Jun;3(6).

Anda mungkin juga menyukai