Anda di halaman 1dari 52

Raha, 13 Januari 2023

LAPORAN KASUS

DIABETES MELITUS TIPE 2 + TUBERKULOSIS PARU

OLEH :

dr. Rakhniati, S.Ked

DPJP Kasus : dr. La Ode Ahmad Wahid, Sp.PD, FINASIM

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS INTERNSIP

RSUD dr. H. L.M. BAHARUDDIN., M.Kes

2023

1
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandangan di bawah ini menyatakan bahwa :

Nama : dr. Rakhniati, S.Ked

Judul : Diabetes Melitus Tipe II dan TB Paru

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka Internsip di RSUD dr. H.


L.M.Baharuddin., M.Kes tahun 2023.

Raha, Januari 2023

DPJP Kasus

dr. La Ode Ahmad Wahid, Sp.PD, FINASIM

2
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. Wa. K
Umur : 62 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : IRT
Alamat : Desa Kontukowuna
Nama RS : RSUD dr. H. L.M. Bahauddin., M.Kes
No.RM : 02xx86
Tgl. MRS : 19 September 2022
Pukul : 08.30 WITA
Perawatan : Melati III
DPJP : dr. La Ode Ahmad Wahid, Sp.PD, FINASIM

ANAMNESIS
KU : Sesak
Anamnesis :
Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan sesak yang dirasakan sejak
≥ 1 bulan yang lalu dan memberat 2 hari terakhir. Sesak tidak dipengaruhi
oleh aktivitas. Keluhan disertai dengan batuk kering kadang berdahak
sejak ±3 minggu terakhir, disertai dengan riwayat demam (+), keringat
malam (+), penurunan berat badan (+), lemas(+).
Mual (+), muntah (-), nyeri ulu hati +, penurunan nafsu makan (+).
Beart badan turun (+), BAK sering, dipopok karena pasien tidak lagi dapat
berjalan jauh untuk ke toilet. BAB dalam batas normal.
Riw HT(-), DM disangkal. Riwayat kontak dengan penderita batuk
lama (TBC) (-)

3
PEMERIKSAAN FISIS
1) STATUS PRESENT

Status generalis : Sakit Sedang /Compos mentis GCS 15 (E4V5M6)


Tanda Vital
 TD : 150/100 mmHg
 Nadi : 132 x/menit
 Pernapasan : 34x/menit
 Suhu : 36,50C (suhu axilla)
 SpO2 : 92-94%
2) PEMERIKSAAN FISIS
 Kepala
Normocephal
 Mata
Eksoptalmus/enoptalmus : (-)
Gerakan : ke segala arah
Kelopak mata : dalam batas normal
Kongjungtiva : anemis (-/-)
Skelera : ikterik (-/-)
 Telinga
Tidak tampak kelainan
 Hidung
Tidak tampak kelainan
 Mulut
Bibir : kering (-), sianosis (-), pucat (-)
Gigi geligi : normal
Gusi : perdarahan (-)
Lidah : kotor (-),
 Leher dan tenggorokan
Faring : Hiperemis (-)
Tonsil : T2-T2

4
Stomatitis : (-)
Kelenjar getah bening : tidak ada pembesaran
Kelenjar gondok : tidak ada pembesaran
 Thorax
Inspeksi:
Bentuk : simetris kiri=kanan
Sela iga : semetris kiri=kanan
Lain-lain : (-)
 Paru-paru
Palpasi:
Nyeri tekan : (-)
Perkusi:
Paru : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi:
Bunyi pernapasan : Bronkial, Rhonki+/+ nyaring, Wheezing -/-
 Punggung:
Palpasi : nyeri tekan (-), massa teraba (-),
Perkusi : nyeri ketok (-)
Auskultasi : Rhonki+/+, Wheezing -/-
Lain-lain : (-)
 Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : pekak, batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : bunyi jantung I/II murni regular, bising (-)

 Abdomen
Inspeksi : cembung, ikut gerak napas
Auskultasi : peristaltic (+) kesan normal
Palpasi : nyeri tekan epigastrium (+)

5
Hati : tidak teraba
Limpa : tidak teraba
Perkusi : tympani, ascites (-)
 Alat kelamin : tidak dilakukan pemeriksaan
 Anus dan rectum : tidak dilakukan pemeriksaan
 Ekstremitas : akral hangat, edema pretibial -/-, dorsum pedis -/-,
pembesaran KGB (-)

3) PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Laboratorium (26/08/2022)

DARAH RUTIN
WBC 12.100 /uL
RBC 4.710.000/uL
HGB 13.7 g/dL
HCT 37.4 %
MCH 24.9 pg
PLT 315.000 /uL
NET. SEGMEN 71.9 %
LIMFOSIT 20.5 %
MONOSIT 7.8 %

KIMIA DARAH
GDS 109 mg/dL
Ureum 30
Creatinin 0,7 mg/dL
SGOT 28 u/L
HBA1C 9,5

 TCM :

6
Kesan: MTB Non Detected
 Foto Thorax (2/11/ 2021)
Kesan : Pneumonia Bilateral; Pendapat dr wahid. Sp.PD: dd TB
Paru Lesi Luas Aktif

4) DIAGNOSIS
 Diabetes Melitus Tipe 2
 TB Paru Rontgen (+)
5) PENATALAKSANAAN AWAL
 O2 3-4 LPM
 IVFD NaCl 0,9% 28 Tpm
 Nebu Ventolin 2,5cc/8J/inhalasi
 Ranitidin 50mg/12J/iv
 Paracetamol 500 mg/8J/drips/KP
 Ceftriaxone 2gr/24J/IV skin Test
 Ambroxol 30 mg 3x1

6) PROGNOSIS
Dubia ad Bonam
7) RESUME
Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan sesak yang dirasakan sejak
≥1 bulan dan memberat 2 hari terakhir. Sesak tidak dipengaruhi oleh
aktivitas. Keluhan disertai dengan batuk kering kadang berdahak sejak 3
minggu terakhir, disertai dengan riwayat demam (+), keringat malam (+),
penurunan berat badan (disangkal), lemas(+).
Mual (+), muntah (-), nyeri ulu hati +, penurunan nafsu makan (+).
BAK sering, BAB dalam batas normal.
Riw HT(-), DM disangkal. Riwayat kontak dengan penderita batuk
lama (TBC) (-)

7
Pemeriksaan tanda vital didapatkan Tekanan darah 120/80, Takipneu,
taki kardia, dan suhu afebris. SPO2 94%. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan bunyi napas bronchial dengan bunyi tambahan ronki nyaring
pada kedua lapang paru +/+, Wh-/-, Bunyi Jantung I/II murni regular
cepat, bunyi tambahan (-), nyeri tekan eigastrium (+), tanda-tanda
dehidrasi +, tanpa disertai edema tungkai-/-.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis (12.100), Hb
13,7, Trombosit 315.000, GDS 109, Creatinin 0,7, Ureum 30, SGOT 28,
dan HBA1c: 9,5. Rapid test antigen negative, Peeriksaan TCM: MTP non
detected. Pada pemeriksaan ECG didapatkan sinus rhytm, HR 88 BPM,
Norma ECG. Pada pemeriksaan CXR didapatkan Pneumonia bilateral dan
pendapat DPJP diferential diagnose TB Paru lesi luas Aktif.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, awal pasien didiagnosa
sebagai CAP, dan pada perkembangan perawatan pasien dilakukan
pemeriksaan HBA1c diagnose ditambahkan menjadi Diabetes mellitus
type 2 dan CAP dd TBC paru.
Penatalaksanaan awal pasien ini diberikan berupa oksgien 3-4 LPM,
pemberian cairan, nebulasi ventolin, pemberian H2 reseptor antagonis,
Pemberian antibiotik Ceftiaxone 2gr/hari, dan pengencer dahak. Dalam
perkembangan perawatan, pasien dilakukan pemeriksaan HBA1c dan
mendapatkan terapi sansulin 10 unit malam. Dan berdasarkan
pertimbangan DPJP pasien diberikan terapi OAT lini 1.

8) FOLLOW UP
Tanggal Subjective, Objective, Instruksi / Implementasi
Assesment, Planning
20/09/2022 S/ Sesak+, Batuk+, pusing(-)  O2 3-4 LPM
(Hari – 2) Demam (-)  IVFD RL 28 Tpm,
Mual-, Muntah-, lemas (+).  Nebu Ventolin

8
BAB dan BAK dbn 2,5cc/8J/Nebu
 Ranitidin 1A/12J/Iv
O/ TD : 150/100 mmHg  Ceftriaxone 2gr/24J/IV
N: 99 x/m  Ambroxol 30 mg 3x1
P: 28 x/m
S; 36.6 oC
Paru: simetris ka=ki, retraksi
(+), sub sterna, BP
Bronkial+/+, Rh+/+
Nyaring, wh -/-

A/ - Dyspneu ec CAP
21/09/2022 S/ Sesak+, Batuk+, pusing(-)  O2 3-4 LPM
(Hari – 3) Demam (-)  IVFD RL 28 Tpm,
Mual-, Muntah-, lemas (+).  Nebu Ventolin
BAB dan BAK dbn 2,5cc/8J/Nebu
 Ranitidin 1A/12J/Iv
O/ TD : 110/80 mmHg  Ceftriaxone 2gr/24J/IV
N: 88 x/m
 Ambroxol 30 mg 3x1
P: 28 x/m
S; 36.6 oC
Paru: simetris ka=ki, retraksi
(+), sub sterna, BP
Bronkial+/+, Rh+/+
Nyaring, wh -/-

A/ - Dyspneu ec CAP
22/09/2022 S/ Sesak berkurang, Batuk  O2 3-4 LPM
(Hari – 4) berkurang, pusing(+),  IVFD RL 28 Tpm,
nyeri kepala kiri seperti  Nebu Ventolin
berdenyut

9
Demam (-) 2,5cc/8J/Nebu
Mual-, Muntah-, lemas (+).  Ranitidin 1A/12J/Iv
BAB dan BAK dbn  Paracetamol 500
mg/8J/drips K/P
O/ TD : 120/90 mmHg  Levofloxacin 750 mg 1x1
N: 72 x/m  Ambroxol 30 mg 3x1
P: 24 x/m  Flunarizin 5 mg 2x1
S; 36.7 C
o

Paru: simetris ka=ki, retraksi


(+), sub sterna, BP
Bronkial+/+, Rh+/+
Nyaring, wh -/-

A/ - Dyspneu ec CAP
23/09/2022 S/ Sesak berkurang, Batuk  O2 3-4 LPM
(Hari – 5) berkurang, pusing(+) dan  IVFD RL 28 Tpm,
nyeri kepala berkurang  Nebu Ventolin
Demam (-) 2,5cc/8J/Nebu
Mual-, Muntah-, lemas (+).  Ranitidin 1A/12J/Iv
BAB dan BAK dbn  Paracetamol 500
mg/8J/drips K/P
O/ TD : 120/90 mmHg
 Levofloxacin 750 mg 1x1
N: 72 x/m
 Ambroxol 30 mg 3x1
P: 24 x/m
 Flunarizin 5 mg 2x1
S; 36.7 oC
 CEK HbA1c
Paru: simetris ka=ki, retraksi
 Cek EKG
(+), sub sterna, BP
 Cek Genexpert Sampel
Bronkial+/+, Rh+/+
dahak
Nyaring, wh -/-
 Sansulin 10 U pukul 22.00
HbA1c: 9,5
EKG

10
A/ - Dyspneu ec CAP
-Diabetes Melitus Type 2
24/09/2022 S/ Sesak berkurang, Batuk  O2 3-4 LPM
(Hari – 6) berkurang, pusing(+) dan  IVFD RL 28 Tpm,
nyeri kepala berkurang  Nebu Ventolin
Demam (-) 2,5cc/8J/Nebu
Mual-, Muntah-, lemas (+).  Ranitidin 1A/12J/Iv
BAB dan BAK dbn  Paracetamol 500
mg/8J/drips K/P
O/ TD : 120/90 mmHg
 Levofloxacin 750 mg 1x1
N: 72 x/m
 Ambroxol 30 mg 3x1
P: 24 x/m
 Flunarizin 5 mg 2x1
S; 36.7 oC
 Sansulin 10 U pukul 22.00
Paru: simetris ka=ki, retraksi
 Start OAT Kategori 1
(+), sub sterna, BP
Bronkial+/+, Rh+/+
Nyaring, wh -/-
HbA1c: 9,5
Genexpert: MTP non Detected
A/ - Dyspneu ec CAP
-Diabetes Melitus Type 2
25/09/2022 S/ Sesak (-), Batuk  O2 3-4 LPM
(Hari – 7) berkurang, pusing(-) dan  IVFD RL 28 Tpm,
nyeri kepala (-)  Nebu Ventolin
Demam (-) 2,5cc/8J/Nebu
Mual-, Muntah-, lemas (-).  Ranitidin 1A/12J/Iv
BAB dan BAK dbn  Paracetamol 500
mg/8J/drips K/P
O/ TD : 120/90 mmHg
 Levofloxacin 750 mg 1x1
N: 72 x/m
 Ambroxol 30 mg 3x1

11
P: 24 x/m  Flunarizin 5 mg 2x1
S; 36.7 oC  Sansulin 10 U pukul 22.00
Paru: simetris ka=ki, retraksi  OAT Kategori 1
(+), sub sterna, BP
Bronkial+/+, Rh-/-
Nyaring, wh -/-
A/ - Dyspneu ec CAP dd TB
Paru
-Diabetes Melitus Type 2
26/09/2022 S/ Sesak (-), Batuk Boleh Pulang dan Rawat Jalan
(Hari – 8) berkurang, pusing(-) dan di Poli dengan obat pulang:
nyeri kepala (-)
 Levofloxacin 750 mg 1x1
Demam (-)
 Ambroxol 30 mg 3x1
Mual-, Muntah-, lemas (-).
 Ranitidin 2x1
BAB dan BAK dbn
 Flunarizin 5 mg 2x1

O/ TD : 120/90 mmHg  Sansulin 10 U pukul 22.00

N: 72 x/m  OAT Kategori 1


P: 24 x/m
S; 36.7 oC
Paru: simetris ka=ki, retraksi
(+), sub sterna, BP
Bronkial+/+, Rh-/-
Nyaring, wh -/-
A/ - Dyspneu ec CAP dd TB
Paru
-Diabetes Melitus Type 2

12
TINJAUAN PUSTAKA

 DIABETES MELITUS TIPE II

A. Definisi
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada
diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau
kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan
pembuluh darah.1
B. Epidemiologi
Estimasi International Diabetes federation (IDF), terdapat 382 juta
orang yang hidup dengan diabetes didunia pada tahun 2013. Pada tahun
2035 jumlah tersebut diperkirakan akan meningkat menjadi 592 juta
orang. Diperkirakan dari 382 juta orang tersebut, 175 juta di antaranya
belum terdiagnosis, sehingga terancam berkembang progresif menjadi
komplikasi tanpa disadari dan tanpa pencegahan.2
Data dari berbagai studi global menyebutkan bahwa penyakit DM
adalah masalah kesehatan yang besar. Hal ini dikarenakan adanya
peningkatan jumlah penderita diabetes dari tahun ke tahun. Pada tahun
2015 menyebutkan sekitar 415 juta orang dewasa memiliki diabetes,
kenaikan 4 kali lipat dari 108 juta di tahun 1980an. Apabila tidak ada
tindakan pencegahan maka jumlah ini akan terus meningkat tanpa ada
penurunan. Diperkirakan pada tahun 2040 meningkat menjadi 642 juta
penderita.3
Menurut Riskesdas 2013 bahwa jumlah absolut penderita diabetes
melitus di Indonesia adalah sekitar 12 juta, TGT sekitar 15 juta dan GDP
terganggu sekitar 64 juta. Padatahun 2013 jumlah DM di Indonesia dengan
usia diatas 15 tahun sebesar 6,9%.Proporsi penderita diabetes melitus dan
TGT lebih tinggi pada wanita, sedangkan GDP terganggu lebih tinggi pada
laki-laki. Berdasarkan tingkat pendidikan proporsi penderita diabetes

13
melitus, TGT dan GDP terganggu cenderung lebih tinggi pada kelompok
dengan pendidikan lebih rendah.2
C. Etiologi
Ada bukti yang menunjukkan bahwa etiologi diabetes melitus
bermacam-macam. Meskipun berbagai lesi dengan jenis yang berbeda
akhirnya akan mengarah pada insufisiensi insulin, tetapi determinan
genetik biasanya memegang peranan penting pada mayoritas penderita
diabetes melitus.4
Pada pasien-pasien dengan diabetes melitus tipe 2, penyakitnya
mempunyai pola familial yang kuat. Risiko berkembangnya diabetes tipe 2
pada saudara kandung mendekati 40% dan 33% untuk anak cucunya. Jika
orang tua menderita diabetes melitus tipe 2, rasio diabetes dan nondiabetes
pada anak adalah 1:1, dan sekitar 90% pasti pembawa (carrier) diabetes
tipe 2. Diabetes tipe 2 ditandai dengan kelainan sekresi insulin, serta kerja
insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran
terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada
reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi
intraselular yang menyebabkan mobilisasi pembawa GLUT 4 glukosa dan
meningkatkan transpor glukosa menembus membran sel. Pada pasien-
pasien dengan diabetes tipe 2 terdapat kelainan dalam pengikatan insulin
dengan reseptor. Kelainan ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah
tempat reseptor pada membran sel yang selnya responsif terhadap insulin
atau akibat ketidaknormalan reseptor insulin intrinsik. Akibatnya, terjadi
penggabungan abnormal antara kompleks reseptor insulin dengan sistem
transpor glukosa. Ketidak normalan postreseptor dapat menggangu kerja
insulin. Pada akhirnya, timbul kegagalan sel beta dengan menurunnya
jumlah insulin yang beredar. Sekitar 80% pasien diabetes tipe 2
mengalami obesitas. Karena obesitas berkaitan resistensi insulin, maka
kelihatannya akan timbul kegagalan toleransi glukosa yang menyebabkan
diabetes melitus tipe 2. Pengurangan berat badan sering kali dikaitkan

14
dengan perbaikan dalam sensitivitas insulin dan pemulihan toleransi
glukosa. 4
D. Patofisiologi
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta
pankreas telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM
tipe2. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti: jaringan lemak
(meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha
pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa),
dan otak (resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dalam
menimbulkan terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DMtipe-2.5

Gambar 1. Organ yang berperan pada patogenesis hiperglikemia DM tipe


2

Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal


berikut:

1. Kegagalan sel beta pancreas:


Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah
sangat berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini
adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-1agonis dan DPP-4 inhibitor.5
2. Liver:

15
Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan
memicu gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan
basal oleh liver (HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat
yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang menekan
proses glukoneogenesis.5
3. Otot:
Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang
multiple diintra mioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin
sehingga timbul gangguan transport glukosa dalam sel otot,
penurunan sintesis glikogen,dan penurunan oksidasi glukosa. Obat
yang bekerja di jalur ini adalah metformin,dan tiazolidindion.5
4. Sel lemak:
Sel lemak yang resisten terhadap efek anti lipolisis dari insulin,
menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak
bebas (FFA= Free Fatty Acid) dalam plasma. Peningkatan FFA akan
merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi
insulin diliver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin.
Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai
lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidindion.5
5. Usus:
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar
dibanding kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal
sebagai efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-
like polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent insulin otrophic
polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada
penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten
terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecaholeh
keberadaan enzim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa
menit. Obat yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah
kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan juga mempunyai
peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja enzim alfa-

16
glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang
kemudian diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa
darah setelah makan. Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja
enzimalfa-glukosidase adalah akarbosa.5
6. Sel Alpha Pancreas:
Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam
hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi dalam
sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya didalam
plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam
keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding individu yang
normal. Obat yang menghambat sekresi glukagon atau menghambat
reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis, DPP-4 inhibitor dan
amylin.5
7. Ginjal:
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis
DM tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari.
Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap
kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucoseco- Transporter)
pada bagian convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya
akan diabsorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan
asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada
penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang
menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan
kembali glukosa ditubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan
lewat urine. Obat yang bekerja dijalur ini adalah SGLT-2 inhibitor.
Dapaglifozin adalah salah satu contoh obatnya.5
8. Otak:
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu
yang obes baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiper
insulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi
insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru meningkat akibat

17
adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang bekerja
dijalur Ini adalah GLP-1 agonis, amylin dan bromokriptin.5
E. Faktor risiko
Peningkatan jumlah penderita DM yang sebagian besar DM tipe 2,
berkaitan dengan beberapa faktor yaitu faktor risiko yang tidak dapat
diubah, faktor risiko yang dapat diubah dan faktor lain. Menurut American
Diabetes Association (ADA) bahwa DM berkaitan dengan faktor risiko
yang tidak dapat diubah meliputiriwayat keluarga dengan DM (first degree
relative), umur ≥45 tahun, etnik, riwayat melahirkan bayi dengan berat
badan lahir bayi >4000 gram atau riwayat pernah menderita DM
gestasional dan riwayat lahir dengan beratbadan rendah (<2,5 kg). Faktor
risiko yang dapat diubah meliputi obesitas berdasarkan IMT ≥25kg/m2
atau lingkar perut ≥80 cm pada wanita dan ≥90 cm pada laki-laki,
kurangnya aktivitas fisik, hipertensi, dislipidemi dan diet tidak sehat.6
Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes adalah penderita sindrom
metabolik memiliki riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau
glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya, memiliki riwayat
penyakit kardiovaskuler seperti stroke, PJK, atau Peripheral Arterial
Diseases (PAD), konsumsi alkohol,faktor stres, kebiasaan merokok, jenis
kelamin,konsumsi kopi dan kafein.6
1. Obesitas (kegemukan)
Terdapat korelasi bermakna antara obesitas dengan kadar glukosa
darah, pada derajat kegemukan dengan IMT > 23 dapat menyebabkan
peningkatan kadar glukosa darah menjadi 200mg%.6
2. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah pada hipertensi berhubungan erat dengan
tidak tepatnya penyimpanan garam dan air, atau meningkatnya tekanan
dari dalam tubuh pada sirkulasi pembuluh darah perifer.6
3. Riwayat Keluarga Diabetes Mellitus
Seorang yang menderita Diabetes Mellitus diduga mempunyai gen
diabetes. Diduga bahwa bakat diabetes merupakan gen resesif. Hanya

18
orang yang bersifat homozigot dengan gen resesif tersebut yang
menderita Diabetes Mellitus.6
4. Dislipedimia
Adalah keadaan yang ditandai dengan kenaikan kadar lemak darah
(Trigliserida > 250 mg/dl). Terdapat hubungan antara kenaikan plasma
insulin dengan rendahnya HDL (< 35 mg/dl) sering didapat pada pasien
Diabetes.6
5. Umur
Berdasarkan penelitian, usia yang terbanyak terkena Diabetes Mellitus
adalah > 45 tahun.6
6. Riwayat persalinan
Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau berat badan bayi
> 4000gram.6
7. Faktor Genetik
DM tipe 2 berasal dari interaksi genetis dan berbagai faktor mental
Penyakit ini sudah lama dianggap berhubungan dengan agregasi
familial. Risiko emperis dalam hal terjadinya DM tipe 2 akan
meningkat dua sampai enam kali lipat jika orang tua atau saudara
kandung mengalami penyakitini.6
8. Alkohol dan Rokok
Perubahan-perubahan dalam gaya hidup berhubungan dengan
peningkatan frekuensi DM tipe 2. Walaupun kebanyakan peningkatan
ini dihubungkan dengan peningkatan obesitas dan pengurangan ketidak
aktifan fisik, faktor-faktor lain yang berhubungan dengan perubahan
dari lingkungan tradisional kelingkungan kebarat-baratan yang meliputi
perubahan-perubahan dalam konsumsi alkohol dan rokok, juga
berperan dalam peningkatan DM tipe 2. Alkohol akan menganggu
metabolisme gula darah terutama pada penderita DM, sehingga akan
mempersulit regulasi gula darah dan meningkatkan tekanan
darah.Seseorang akan meningkat tekanan darah apabila mengkonsumsi

19
etil alkohol lebih dari 60ml/hari yang setara dengan 100 ml proof wiski,
240 ml wine atau 720 ml.6

Faktor resiko penyakit tidak menular, termasuk DM Tipe 2 dibedakan


menjadi dua. Yang pertama adalah faktor risiko yang tidak dapat berubah
misalnya umur, faktor genetik, pola makan yang tidak seimbang jenis
kelamin, status perkawinan, tingkat pendidikan, pekerjaan, aktivitas fisik,
kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, Indeks Masa Tubuh.6
F. Manifestasi Klinik
Gejala khas DM terdiri dari poliuria, polidipsia, polifalgia,
penurunan berat badan yang tidak diketahui penyebabnya. Sedangkan
gejala tidak khas DM di antaranya lemas, kesemutan, luka yang sulit
sembuh, gatal, penglihatan kabur, disfungsi ereksi pada pria, dan pruritus
vulva pada wanita. Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan
glukosa darah abnormal hanya satu kali sudah cukup untuk menegakkan
diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka
diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal.7
G. Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa
darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.
Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang
dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan
darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (wholeblood), vena,
ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-
angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO.
Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan
dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer.1

20
Gambar 2. Langkah-Langkah Diagnostik DM dan Toleransi Glukosa
Terganggu

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan


adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di
bawah ini: Keluhan klasik DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain
dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.1

21
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui cara:
a. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dL (11,1
mmol/L)Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat
pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir
b. Gejala klasik DM+Kadar glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL (7.0
mmol/L)Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan
sedikitnya 8 jam
c. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO ≥200 mg/dL (11,1
mmol/L)TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan
beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang
dilarutkan ke dalam air.1
d. Pemeriksaan HbA1c ≥ 6,5% dengan menggunakan metode High-
Performance Liquid Chromatography (HPLC) yang terstandarisasi
oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP).
Cara pelaksanaan TTGO:
a. Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan seperti kebiasaan
sehari-hari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan
kegiatan jasmani seperti biasa
b. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum
pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan
c. Diperiksa kadar glukosa darah puasa
d. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB
(anak-anak), dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5
menit
e. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk
pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai
f. Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa
g. Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan
tidak merokok.1

22
Pemeriksaan penyaring
Pemeriksaan penyaring dilakukan pada mereka yang mempunyai risiko
DM namun tidak menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan penyaring
bertujuan untuk menemukan pasien dengan DM, TGT, maupun GDPT,
sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan
GDPT juga disebut sebagai intoleransiglukosamerupakan tahapan
sementara menuju DM. Kedua keadaan tersebut juga merupakan faktor
risiko untuk terjadinya DM dan penyakitkardiovaskular dikemudian
hari.Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar
glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa.1
Tabel 1. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan
penyaring dan diagnosis DM (mg/dl)

Bukan DM Belum pasti DM DM

Kadar glukosa darah Plasma vena <100 100-199 ≥200


sewaktu (mg/dl)
Darah kapiler <90 90-199 ≥200

Kadar glukosa darah Plasma vena <100 100-125 ≥126


puasa (mg/dl)
Darah kapiler <90 90-99 ≥100

Catatan :Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan


hasil, dilakukan ulangan tiap tahun. Bagi mereka yang berusia >45 tahun
tanpa faktor risiko lain, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3
tahun.
H. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas
hidup penyandang diabetes. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu
dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan
profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara komprehensif.5

1. Penatalaksanaan Non Farmakologi

23
1) Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan
sebagai bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang
sangat penting dari pengelolaan DM secara holistik.5
a. Materi edukasi tingkat awal dilaksanakan dipelayanan
kesehatan primer yang meliputi
a) Materi tentang perjalanan penyakit DM
b) Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM
secaraberkelanjutan
c) Penyulit DM dan risikonya
d) Intervensi non farmakologis dan farmakologis serta target
pengobatan
e) Interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik, dan obat
hiperglikemia oral atau insulin serta obat-obatan lain
f) Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil
glukosa darah
g) Mengenal gejala dan penanganan awal hipoglikemi
h) Pentingnya latihan jasmani yang teratur
i) Pentingnya perawatan kaki
j) Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan
b. Materi edukasi pada tingkat lanjut dilaksanakan dipelayanan
kesehatan sekunder dan atau tersier yang meliputi
a) Mengenal dan mecegah penyulit akut DM
b) Pengetahuan mengenai penyulit menahun DM
c) Penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain
d) Rencana untuk kegiatan khusus (contoh: olahraga)
e) Kondisi khusus yang dihadapi {contoh : hamil, puasa, hari-
hari sakit
f) Pemeliharaan/perawatan kaki
Perilaku hidup sehat bagi penyandang Diabetes Melitus adalah
memenuhi anjuran :

24
a. Mengikuti pola makan sehat
b. Meningkatkan kegiatan jasmani dan latihan jasmani yang
teratur
c. Menggunakan obat DM dan obat lainnya pada keadaan khusus
secara aman dan teratur
d. Melakukan pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dan
memanfaatkan hasil pemantauan untuk menilai keberhasilan
pengobatan
e. Melakukan perawatan kaki secara berkala
f. Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi
keadaan sakit akut dengan tepat
g. Mempunyai keterampilan mengatasi masalah yang sederhana,
dan mau bergabung dengan kelompok penyandang diabetes
serta mengajak keluarga untuk mengerti pengelolaan
penyandang DM
h. Mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada
2) Terapi Nutrisi Medis (TNM)
Komposisi makanan yang dianjurkan bagi penyandang DM terdiri
dari
a. Karbohidrat
a) Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan
energi. Terutama karbohidrat yang berserat tinggi
b) Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan
c) Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang
diabetes dapat makan sama denagan makanan keluarga
yang lain
d) Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi
e) Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula,
asal tidak melebihi batas aman konsumsi harian

25
f) Dianjurkan makan tiga kali sehari dan bila perlu dapat
diberikan makanan selingan seperti buah atau maknan lain
sebagai bagiandari kebutuhan kalori sehari
b. Lemak
a) Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori
dan tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan energi
b) Komposisi yang dianjurkan : lemak jenuh < 7% kebutuhan
kalori, lemak tidak jenuh ganda <10%, dan selebihnya dari
lemak tidak jenuh tunggal
c) Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak
mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain:
daging berlamak dan susu fullcream
d) Konsumsi kolesterol dianjurkan <200 mg/hari
c. Protein
a) Kebutuhan protein sebesar 10-20% total asupan energi
b) Sumber protein yang baik adalah ikan, udang, cumi, daging
tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak,
kacang-kacangan, tahu dan tempe
c) Pada pasien dengan nefropati diabetik perlu penurunan
asupan protein menjadi 0,8 g/kg BB perhai atau 10% dari
kebutuhan energi
d. Natrium
a) Anjuran asupan natrium untuk penyandang DM sama
dengan orang sehat yaitu <2300 mg perhari
b) Penyandang DM yang juga menderita hipertensi perlu
dilakukan pengurangan natrium secara individual
c) Sumber natrium antara lain garam dapur, vetsin, soda dan
bahan pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit
e. Serat

26
a) Penyandang DM dianjurkan mengkonsumsi serta dari
kacang-kacangan, buah dan sayuran serta sumber
karbohidrat yang tinggi serat
b) Anjuran konsumsi serta adalah 20-35 g/hari yang berasal
dari berbagai sumber bahan makanan
f. Pemanis Alternatif
a) Pemanis alternatif aman digunakan sepanjang tidak
melebihi batas aman
b) Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang DM
karena dapat meningkatkan kadar LDL, namun tidak ada
alasan menghindari makanan seperti buah dan sayuran yang
mengandung fruktosa alami.
g. Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani dilakukan
secara teratur sebanyak 3-5 kali perminggu selama sekitar 30-
45 menit, dengan total 150 menit perminggu. Jeda antar latihan
tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. Dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan glukosa darah sebelum latihan
jasmani. Apabila kadar glukosa darah <100 mg/dL pasien harus
mengkonsumsi karbohidrat terlebih dahulu dan bila >250
mg/dL dianjurkan untuk menunda latihan jasmani.5
2. Terapi Farmakologis
1) Obat anti hiperglikemi Oral
Berdasarkan cara kerjanya obat antihiperglikemia oral dibagi
menjadi 5 golongan :
a. Pemacu sekresi insulin (Insulin Secretagogue)
a) Sulfonilurea
Mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh
sel beta pankreas. Efek samping utama adalah hipoglikemia
dan peningkatan berat badan. Hati-hati menggunakan

27
sulfonilurea pada pasien dengan risiko tinggi hipoglikemia
(orang tua, gangguan faal hati, dan ginjal).5
b) Glinid
Obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama.
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid
(derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin).
Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara
oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat
mengatasi hiperglikemia post prandial. Efek samping yang
mungkin terjadi adalah hipoglikemia.5
b. Peningkat sensitivitas terhadap insulin
a) Metformin
Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi
glukosa hati (glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan
glukosa dijaringan perifer. Metformin merupakan pilihan
pertama pada sebagian besar kasur DMT2. Dosis
metformin diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi
hati. Metformin tidak boleh diberikan pada beberapa
keadaan seperti : adanya gangguan hati berat serta pasien-
pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya
penyakit cerebrovaskular, sepsis, renjatan, PPOK, gagal
jantung (NHYA FC III-IV). Efek samping berupa gangguan
saluran pencernaan seperti halnya gejala dyspepsia.5
b) Tiazolidindion (TZD)
Mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa,
sehingga meningkatkan ambilan glukosa dijaringan perifer.
Tiazolidindion meningkatkan retensi cairan tubuh sehingga
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung
(NHYA FC III-IV) karena dapat memperberat

28
edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan faal hati, dan
bila diberikan perlu pemantauan faal hati secara berkala.5
c. Penghambat absorpsi glukosa di saluran pencernaan
a) Penghambat Glukosidase Alfa
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbs glukosa
dalam usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan
kadar glukosa darah sesudah makan. Efek samping yang
mungkin terjadi berupa bloating (penumpukan gas dalam
usus) sehingga sering menimbulkan flatus. Guna
mengurangi efek samping pada awalnya diberikan dengan
dosis kecil. Contoh obat golongan ini adalah Acarbose.5
b) Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)
Obat ini menghambat kerja enzim DPP-IV sehingga GLP-1
(Glukose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang
tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk
meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi
glucagon bergantung kadar glukosa darah. Contoh obat
golongan ini adalah Sitagliptin dan Linagliptin.5
c) Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2)
Merupakan obat anti diabetes oral jenis baru yang
menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal
ginjal dengan cara menghambat kinerja transporter glukosa
SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini yaitu
Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin.5
2). Obat Anti Hiperglikemi Suntik
a. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan :
a) HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolic
b) Penurunan berat badan yang cepat
c) Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
d) Krisis hiperglikemia

29
e) Stress berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard
akut, stroke)
f) Kehamilan dengan DM/Diabetes mellitus gestasional yang
tidak terkendali dengan perencanaan makan
g) Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Efek samping terapi insulin :
a) Efek samping utama adalah terjadinya hipoglikemia
b) Reaksi alergi terhadap insulin
b. Agonis GLP-1/Increatin Mimetic
Obat ini dapat bekerja pada sel beta sehingga terjadi
peningkatan pelepasan insulin, mempunyai efek menurunkan
berat badan, menghabat pelepasan glucagon, dan menghambat
nafsu makan. Dapat digunakan pada pasien DM dengan
obesitas. Efek samping yang timbul pada obat ini adalah rasa
sebah dan muntah. Obat yang termasuk golongan ini adalah
Liraglutide, Exenatide, Albiglutide dan
Lixisenatide.Liraglutide telah beredar di Indonesia sejak April
2015, tiapberisi 18 mg dalam 3 ml. Dosis awal 0,6 mg perhari
yang dapat dinaikkan ke 1,2 mg setelah satu minggu untuk
mendapatkan efek glikemik yang diharapkan. Dosis bias
dinaikkan sampai dengan 1,8 mg. dosis harian lebih dari 1,8
mg tidak direkomendasikan.5
3. Terapi Kombinasi
Pemberian obat antihiperglikemia oral maupun insulin selalu
dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara
bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah. Terapi
kombinasi obat antihiperglikemia oral, baik secara terpisah ataupun
fixed dose combination, harus menggunakan dua macam obat
dengan mekanisme kerja yang berbeda. Pada keadaan tertentu
apabila sasaran kadar glukosa darah yang belum dicapai dengan
kombinasi dua macam obat, dapat diberikan kombinasi dua obat

30
antihiperglikemia dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan
alas an klinis dimana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai,
terapi dengan kombinasi tiga obat antihiperglikemia oral.5
Kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan insulin dimuali
dengan pemberian insulin basal (insulin kerja menengah atau
insulin kerja panjang). Insulin kerja menengah harus diberikan jam
10 malam menjelang tidur, sedangkan insulin kerja panjang dapat
diberikan sejak sore sampai sebelum tidur. Pendekatan terapi
tersebut pada umumnya dapat mencapai kendali glukosa darah
yang baikdengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin
basal untuk kombinasi adalah 6-10 unit. Kemudian dilakukan
evaluasi dengan mengukur kadar glukosa darah puasa keesokan
harinya. Dosis insulin dinaikkan secara perlahan (pada umumnya 2
unit) apabila kadar glukosa darah belum mencapai target. Pada
keadaan dimana kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak
terkendali meskipun sudah mendapat insulin basal, maka perlu
diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial, dan
pemberian obat antiglikemia oral dihentikan dengan hati-hati.5

31
I. Komplikasi
DM tipe 2 yang tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan berbagai
komplikasi yaitu komplikasi akut dan komplikasi kronik. Komplikasi
kronis DM tipe 2 dapat berupa komplikasi mikrovaskular dan
makrovaskular yang dapat menurunkan kualitas hidup penderita. Penyebab
utama kematian penyandang DM tipe 2 adalah komplikasi makrovaskular.
Komplikasi makrovaskular melibatkan pembuluh darah besar yaitu
pembuluh darah koroner, pembuluh darah otak dan pembuluh darah
perifer. Mikrovaskular merupakan lesispesifik diabetes yang menyerang
kapiler dan arteriola retina (retinopati diabetik), glomerulus ginjal
(nefropati diabetik) dan saraf-saraf perifer (neuropati diabetik).8
Komplikasi diabetes melitus dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu
komplikasi metabolik akut dan komplikasi vaskular jangka panjang.
1. Komplikasi metabolik akut
Hiperglikemia hiperosmolar koma nonketotik (HHNK) adalah
komplikasi metabolik akut dari penderita diabetes melitus tipe 2 yang
lebih tua. Bukan karena defisiensi insulin absolut, namun relatif,

32
hiperglikemia muncul tanpa ketosis. Hiperglikemi berat dengan kadar
glukosa serum lebih besar dari 600mg/dl. Hiperglikemia meyebabkan
hiperosmolalitas, diuresis osmotik, dan dehidras berat. Pasien dapat
menjadi tidak sadar dan meninggal bila keadaan ini tidak segera
ditangani. Pengobatan HHNK adalah rehidrasi, penggantian elektrolit,
dan insulin regular.4
Komplikasi metabolik lain adalah hipoglikemia. Pasien diabetes
dependen insulin mungkin suatu saat menerima insulin yang
jumlahnya lebih banyak daripada yang dibutuhkannya untuk
mempertahankan kadar glukosa normal yang mengakibatkan terjadi
hipoglikemi. Gejala-gejala hipoglikemi disebabkan oleh pelepasan
epinefrin (berkeringat, gemetar, sakit kepala, dan palpitasi), juga akibat
kekurangan glukosa dalam otak (tingkah laku yang aneh, sensorium
yang tumpul, dan koma).4
2. Komplikasi kronik jangka panjang
Komplikasi vaskular jangka panjang dari diabetes melibatkan
pembuluh-pembuluh kecil (mikroangiopati) dan pembuluh-pembuluh
sedang dan besar (makroangiopati). Mikroangiopati merupakan lesi
spesifik diabetes yang meyerang kapiler dan arteriola retina (retinopati
diabetik), glomerulus ginjal (nefropati diabetik) dan saraf-saraf perifer
(neuropati diabetik), otot-otot serta kulit.4
Ada kaitan yang kuat anatar hiperglikemia dengan insiden dan
berkembangnya retinopati. Manifestasi dini retinopati berupa
mikroaneurisma dari arteriola retina. Akibatnya terjadi perdarahan,
neovaskularisasi dan jaringan parut retina dapat mengakibatkan
kebutaan. Manifestasi dini nefropati diabetik berupa protenuria dan
hipertensi. Jika hilangnya fungsi nefron terus berlanjut, pasien akan
menderita insufisiensi ginjal dan uremia. Nefropati dan katarak
disebabkan oleh gangguan jalur poliol (glukosa-sorbitol-fruktosa)
akibat kekurangan insulin. Terdapat penimbunan sorbitol dalam lensa
sehingga mengakibatkan pembentukan katarak dan kebutaan. Pada

33
jaringan saraf, terjadi penimbunan sorbitol dan fruktosan serta
penurunan kadar mioinositol yang menimbulkan neuropati. Perubahan
biokimia dalam jaringan saraf akan mengganggu kegiatan metabolik
sel-sel Schwann dan meyebabkan hilangnya akson. Kecepatan
konduksi motorik akan berkurang pada tahap dini perjalanan
neuropati. Selanjutnya timbul nyeri, parestesi, berkurangnya sensasi
getar dan proprioseptik, dan gangguan motorik yang disertai hilangnya
refleks-refleks tendon dalam, kelemahan otot dan atrofi. Neuropati
dapat menyerang saraf-saraf perifer, saraf-saraf kranial atau sistem
saraf otonom. Pasien dengan neuropati otonom diabetik dapat
menderita infark miokardial akut tanpa nyeri. Pasien ini dapat
kehilangan respons katekolamin terhadap hipoglikemia dan tidak
menyadari reaksi-reaksi hipoglikemia.4
Makroangiopati diabetik mempunyai gambaran histopatologis berupa
aterosklerosis. Gabungan dari gangguan biokimia yang disebabkan
oleh insufisiensi insulin dapat menjadi penyebab jenin penyakit
vaskular ini. Gangguan-gangguan ini berupa : (1) penimbunan sorbitol
dalam intima vaskular, (2) hiperlipoproteinemia, dan (3) kelainan
pembekuan darah. Pada akhirnya kelainan makroangiopati diabetik ini
akan mengakibatkan penyumbatan vaskular. Jika mengenai arteri-arteri
perifer, maka dapat mengakibatkan insufisiensi vaskular perifer yang
disertai klaudikasio intermiten dan gangren pada ekstremitas serta
insufisiensi sebral dan stroke. Jika yang terkena adalah arteri koronaria
dan aorta maka dapat mengakibatkan angina dan infark miokardium.4

 TUBERCULOSIS PARU
A. PENDAHULUAN
TB sampai dengan saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat di dunia walaupun upaya pengendalian dengan strategi DOTS
telah diterapkan di banyak negara sejak tahun 1995. TB tetap merupakan salah
satu penyebab tingginya angka kesakitan dan kematian, baik di negara

34
berkembang maupun di negara maju. Di Indonesia maupun di berbagai
belahan dunia, TB merupakan penyakit menular yang kejadiannya paling
tinggi dijumpai di Cia sebanyak 2 juta orang, urutan kedua dijumpai di India
yang mencapai 1,5 juta orang, dan Indonesia menduduki urutan ketiga degan
penderita 583.000 orang9

B. DEFINISI
Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh basil
Mycobacterium tuberculosis kompleks yang secara khas ditandai oleh
pembentukan granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan. Tuberkulosis
paru merupakan salah satu penyakit saluran pernapasan bagian bawah.9

C. EPIDEMIOLOGI
Sepertiga dari populasi dunia sudah terinfeksi oleh kuman tuberkulosis.
Laporan WHO tahun 2011 menyatakan bahwa terdapat 9,4 juta kasus baru
tuberkulosis, dan 1,7 juta meninggal karena tuberkulosis pada tahun 2009.
Sebanyak 75% dari invidu yang terinfeksi kuman tuberkulosis berada dalam
kelompok 15-24 tahun9
Laporan World Health Organization (WHO) pada tahun 2009 angka
kejadian tuberkulosis di seluruh dunia 9,4 juta (8,9 juta hingga 9,9 juta jiwa)
dan meningkat terus menerus perlahan pada setiap waktunya dan menurun
lambat seiring didapati peningkatan per kapita. 9
Pada tahun 2011, diperkirakan ada 8,7 juta kasus kejadian tuberkulosis
paru secara global, setara dengan 125 kasus 100.000 penduduk. Lima negara
dengan jumlah terbesar kasus insiden pada tahun 2011 adalah India, Cina
Afrika Selatan, Indonesia, dan Pakistan 9

F. ETIOLOGI
Penyakit tuberkulosis disebabkan Mycobacterium tuberculosis. Penyakit
ini terutama menyerang paru-paru, namun dapat juga menimbulkan kelainan
di organ tubuh yang lain 9
1. Mycobacterium Tuberculosis (MTB)

35
Mycobacterium berbentuk batang, tidak bergerak dan tidak memiliki
spora, berukuran panjang 1-10 µm (biasanya 0,2-0,6 µm). Setengah berat
keringnya terdiri dari lipid yang berfungsi sebagai cadangan energi,
membuatnya bersifat sangat hidrofobik, resisten terhadap jejas, termasuk
berbagai golongan antibiotika, bersifat tahan asam dan pertumbuhan yang
lambat. MTB dapat hidup intraseluler dalam makrofag atau ekstraseluler
pada kavitas. Kuman Tuberkulosis cepat mati oleh sinar matahari
langsung, tetapi dapat juga bertahan hidup beberapa jam di tempat yang
gelap dan lembab. Didalam jaringan tubuh, kuman ini dapat dormant
selama beberapa tahun 9
2. Struktur dinding sel
Bagian dalam dari dinding sel mikobakteria terdiri dari lapisan
peptidoglikan. Terikat secara kovalen pada peptidoglikan tersebut adalah
arabinogalaktan (suatu polisakarida) yang memiliki ujung luar
teresterifikasi oleh suatu molekul asam lemak yang disebut asam mukolik.
Terdapat struktur-struktur yang tertancap secara transversal pada seluruh
bungkus (envelope) mulai dari membran plasma sampai bagian luar
dinding yaitu suatu glikopod seperti fosfatidil mioinositol manosida,
limpanan (LM) dan arabinomanan (LAM) 9
3. Pertumbuhan
MTB membelah setiap 12-24 jam pada keadaan optimal. Waktu yang
sangat lambat bila dibandingkan bakteri lain yang berduplikasi dalam 15
menit sampai 1 jam. Pertumbuhan ini diakibatkan impermeabilitas dinding
sel terhadap asupan nutrien. Hal ini memperjelas keadaan subakut dari
perjalanan alami penyakit tuberkulosis dan waktu yang diperlukan untuk
menumbuhkannya pada media. Harshey dan Ramakrishnan menemukan
bahwa sintesis RNA menjadi berhasil memperlihatkan bukti bahwa rasio
RNA terhadap DNA dengan laju elongasi rantai RNA sepuluh kali lambat
jika dibandingkan E.Coli 9

G. PATOFISIOLOGI

36
Patogenesa tuberkulosis terbagi dua yaitu tuberkulosis primer dan
tuberkulosis post-primer
1. Tuberkulosis Primer
Kuman tuberkulosis terhirup masuk ke saluran napas sampai
alveoli, ia akan ditelan oleh makrofag dan berkembang biak di dalamnya.
Dari sini kuman dapat terbawa masuk ke organ lain. Kuman yang
bersarang di jaringan paru akan membentuk sarang tuberkulosis kecil atau
sarang pneumonia yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang
primer ini dapat timbul di bagian manapun di dalam paru. Akibat
pembentukan sarang primer tersebut dapat menimbulkan proses
peradangan pada saluran getah bening sekitar afek primer menuju hilus
(terjadi limfangitis lokal), kemudian diikuti dengan pembesaran getah
bening hilus (terjadi limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama
dengan limfangitis lokal dan limfadenitis regional disebut sebagai
kompleks primer. Kompleks primer ini selanjutnya dapat mengalami
keadaan sebagai berikut:
a. Sembuh sempurna tanpa meninggalkan cacat.
b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas, dapat berupa garis
fibrotik , kalsifikasi di hilus atau kompleks Ghon.
c. Mengalami komplikasi dan menyebar secara perkontinuitatum
(menyebar ke sekitarnya), bronkogen (pada proses ini kuman dapat
tertelan dan bersarang dalam usus), limfogen dan hematogen.
d. Penyebaran secara limfogen dan hematogen berkaitan dengan daya
tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan
dapat sembuh spontan tetapi tidak dapat imunitas yang adekuat dapat
menimbulkan kelainan yang gawat seperti tuberkulosis milier dan
meningitis tuberkulosis. Penyebaran ini memungkinkan tuberkulosis
pada organ lain seperti ginjal, tulang, genitalia, dan sebagainya.
Komplikasi penyebaran ini dapat berakhir sembuh dengan sekuele atau
meninggal 9
2. Tuberkulosis Post Primer

37
Kuman yang dorman dapat bangkit kembali bertahun-tahun kemudian
setelah infeksi primer oleh karena sesuatu hal, seperti daya tahan tubuh
menurun, infeksi virus maupun penyakit kronik lainnya menjadi
tuberkulosis postprimer. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi
masalah kesehatan masyarakat karena dapat menjadi sumber penularan.
Dimulai dari sarang primer umumnya terletak di segmen apikal lobus
superior maupun lobus inferior (region atas paru), mengadakan invasi ke
parenkim dan tidak ke hilus paru.
Sarang primer ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni kecil,
kemudian akan berubah tergantung dari jumlah dan virulensi kuman
menjadi:
a. Mengalami resopsi kembali dan sembuh tanpa cacat.
b. Mula-mula meluas tetapi segera terjadi proses penyembuhan dengan
serbukan jaringan fibrosis, ada yang membungkus diri lebih keras
dan sembuh dalam bentuk perkapuran.

Meluas dimana jaringan granuloma berkembang menghancurkan jaringan


di sekitarnya membentuk jaringan keju (perkejuan) yang akan menjadi
kaviti bila dibatukkan keluar. Kaviti mula-mula berdinding tipis lama
kelamaan sklerotik. Kaviti dapat meluas dan menimbulkan diri menjadi
tuberkuloma atau bersih dan menyembuh disebut open healed cavity 9

H. GEJALA KLINIS
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis,
pemeriksaan fisis, pemeriksaan bakteriologis, radiologis, dan pemeriksaan
penunjang lainnya.
Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala
utama dan gejala tambahan:
1. Gejala Utama
 batuk berdahak  2 minggu
2. Gejala Tambahan
 batuk berdahak  2 minggu

38
 batuk darah
 sesak napas
 badan lemas
 penurunan nafsu makan
 penurunan berat badan yang tidak disengaja
 malaise
 berkeringat di malam hari tanpa kegiatan fisik
 demam subfebris lebih dari satu bulan
 nyeri dada
Gejala di atas dapat tidak muncul secara khas pada pasien dengan
koinfeksi HIV. Selain gejala tersebut, perlu digali riwayat lain untuk
menentukan faktor risiko seperti kontak erat dengan pasien TB, lingkungan
tempat tinggal kumuh dan padat penduduk, dan orang yang bekerja di
lingkungan berisiko menimbulkan pajanan infeksi paru, misalnya tenaga
kesehatan atau aktivis TB. Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari
organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosis akan terjadi
pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada
meningitis tuberkulosis akan terlihat gejala meningitis, sementara pada
pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada
sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan. 10
Pada pemeriksaan fisis kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ
yang terlibat.
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan
struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak
(atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak
di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan
S2), serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisis dapat
ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah,
ronki basah kasar/halus, dan/atau tanda-tanda penarikan paru, diafragma, dan
mediastinum.

39
Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisis tergantung dari
banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan redup atau pekak,
pada auskultasi ditemukan suara napas yang melemah sampai tidak terdengar
pada sisi yang terdapat cairan.
Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,
tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-
kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold
abscess” 10

I. PEMERIKSAAN PENUNJANG10
1. Pemeriksaan Bakteriologis
a. Bahan Pemeriksaan
Pemeriksaan bakteriologis untuk menemukan bakteri tuberkulosis
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis.
Bahan untuk pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal dari dahak,
cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung,
kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, feses,
dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)
b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 2 kali dengan minimal satu kali dahak pagi
hari. Untuk pemeriksaan TCM, pemeriksaan dahak cukup satu kali.
Bahan pemeriksaan hasil BJH (Biopsi Jarum Halus) dapat dibuat
menjadi sediaan apus kering di gelas objek. Untuk kepentingan kultur
dan uji kepekaan dapat ditambahkan NaCl 0.9% 3-5 ml sebelum
dikirim ke laboratorium mikrobiologi dan patologi anatomi.
c. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain
Pemeriksaan bakteriologi dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan
pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung,
kurasan bronkoalveolar /BAL, urin, feses, dan jaringan biopsi,
termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara:
 Mikroskopis

40
 Biakan
d. Pemeriksaan mikroskopis
Mikroskopis biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
Mikroskopis fluoresens : pewarnaan auramin-rhodamin
Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD
(rekomendasi WHO).
Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung
Disease) :
 Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut
negatif.
 Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah
basil yang ditemukan.
 Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+).
 Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+).
 Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+).
e. Pemeriksaan biakan bakteri TB
Pemeriksaan biakan bakteri merupakan baku emas (gold standard)
dalam mengidentifikasi M.tuberculosis. Biakan bakteri untuk
kepentingaan klinis umum dilakukan menggunakan dua jenis medium
biakan, yaitu:
 Media padat (Lowenstein-Jensen).
Pada identifikasi Mycobacterium tuberculosis, pemeriksaan
dengan media biakan lebih sensitif dibandingkan dengan
pemeriksaan mikroskopis. Pemeriksaan biakan dapat mendeteksi
10 – 1000 mycobacterium/ml. Media biakan terdiri dari media
padat dan media cair. Media Lowenstein-Jensen adalah media
padat yang menggunakan media berbasis telur. Media ini pertama
kali dibuat oleh Lowenstein yang selanjutnya dikembangkan oleh
Jensen sekitar tahun 1930an, bahkan saat ini media ini terus
dikembangkan oleh peneliti lain misalnya Ogawa, Kudoh, Gruft,
Wayne dan Doubek dan lain-lain. Media Lowenstein-Jensen

41
digunakan untuk isolasi dan pembiakan Mycobacteria species.
Pemeriksaan identifikasi M. tuberculosis dengan media
LowensteinJensen ini memberikan sensitivitas dan spesifisitas
yang tinggi dan dipakai sebagai alat diagnostik pada program
penanggulangan tuberkulosis.
 Media cair (Mycobacteria Growth Indicator Tube/MGIT).
menggunakan sensor fluorescent yang ditanam dalam bahan dasar
silicon sebagai indikator pertumbuhan mikobakterium tersebut.
Tabung tersebut mengandung 4 ml kaldu 7H9 Middlebrook yang
ditambahkan 0.5 ml suplemen nutrisi dan 0.1 ml campuran
antibiotik untuk supresi pertumbuhan basil kontaminasi.
Mikobakterium yang tumbuh akan mengkonsumsi oksigen
sehingga sensor akan menyala. Sensor tersebut akan dilihat
menggunakan lampu ultraviolet dengan panjang 365 nm. Dari
beberapa pustakaan didapatkan rerata waktu yang dibutukan untuk
mendeteksi pertumbuhan basil dengan menggunakan metode
MGIT adalah 21.2 hari (kisaran 4-53 hari) sedangkan dengan
metode konvensional LowensteinJensen membutuhkan rerata
waktu 40.4 hari (kisaran 30-56 hari). Dari beberapa penelitian
juga didapatkan bahwa metode MGIT merupakan cara yang
mudah, praktis dan cost-effective untuk biakan MTB.
Jika terjadi pertumbuhan koloni pada biakan, maka dilanjutkan
dengan identifikasi spesies M. Tuberculosis dengan Rapid Test TB
Ag MPT64. Hasil biakan positif juga dapat dilanjutkan dengan uji
resistensi terhadap OAT lini 1 dan 2
f. Tes Cepat Molekular
Uji tes cepat molekular (TCM) dapat mengidentifikasi MTB dan
secara bersamaan melakukan uji kepekaan obat dengan mendeteksi
materi genetik yang mewakili resistensi tersebut. Uji TCM yang
umum digunakan adalah GeneXpert MTB/RIF (uji kepekaan untuk

42
Rifampisin). Saat ini mulai umum dikenal uji TCM lain meskipun
belum dikenal secara luas.
Xpert MTB/RIF adalah uji diagnostic cartridge-based, automatis,
yang dapat mengidentifikasi MTB dan resistensi terhadap Rifampisin.
Xpert MTB/RIF berbasis Cepheid GeneXPert platform, cukup
sensitive, mudah digunakan dengan metode nucleic acid amplification
test (NAAT). Metode ini mempurifikasi, membuat konsentrat dan
amplifikasi (dengan real time PCR) dan mengidentifikasi sekuenses
asam nukleat pada genom TB. Lama pengelolaan uji sampai selesai
memakan waktu 1- 2 jam. Metode ini akan bermanfaat untuk
menyaring kasus suspek TB-RO secara cepat dengan bahan
pemeriksaan dahak. Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan
spesifisitas sekitar 99%.
g. Uji molekular lainnya:
 MTBDRplus (uji kepekaan untuk R dan H)
 MTBDRsl (uji kepekaan untuk etambutol, aminoglikosida, dan
florokuinolon)
 Molecular beacon testing (uji kepekaan untuk R)
 PCR-Based Methods of IS6110 Genotyping
 Spoligotyping
 Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP)
 MIRU / VNTR Analysis
 PGRS RFLP
 Genomic Deletion Analysis
 Genoscholar:
 PZA TB II (uji kepekaan untuk Z)
 NTM+MDRTB II (uji kepekaan untuk identifikasi spesies
Mycobacterium dan uji kepekaan H + R)
 FQ+KM-TB II (uji kepekaan florokuinolon dan kanamisin)

43
2. Pemeriksaan Radiologi10
Pemeriksaan radiologi standar pada TB paru adalah foto toraks
dengan proyeksi postero anterior (PA). Pemeriksaan lain atas indikasi
klinis misalnya foto toraks proyeksi lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan.
Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat menghasilkan gambaran
bermacam-macam bentuk (multiform).
Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif adalah:
 Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior
 lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah.
 Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan
 opak berawan atau nodular.
 Bayangan bercak milier.
 Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).
Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif:
 Fibrotik
 Kalsifikasi
 Schwarte atau penebalan pleura
Luluh paru (destroyed lung ):
 Gambaran radiologi yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang
berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru. Gambaran radiologi
luluh paru terdiri dari atelektasis, multikavitas, dan fibrosis parenkim
paru. Sulit untuk menilai aktivitas lesi atau penyakit hanya
berdasarkan gambaran radiologi tersebut.
 Perlu dilakukan emeriksaan bakteriologi untuk memastikan aktivitas
proses penyakit

J. DIAGNOSA10
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis,
pemeriksaan fisis, pemeriksaan bakteriologis, radiologis, dan pemeriksaan
penunjang lainnya. 10

44
K. PENATALAKSANAAN10
Tujuan pengobatan TB adalah:
 Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas
hidup.
 Mencegah kematian dan/atau kecacatan karena penyakit TB atau efek
lanjutannya.
 Mencegah kekambuhan.
 Menurunkan risiko penularan TB
 Mencegah terjadinya resistensi terhadap obat anti tuberkulosis (OAT) serta
penularannya.
1. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Regimen pengobatan TB-SO
Paduan OAT untuk pengobatan TB-SO di Indonesia adalah:
2RHZE / 4 RH
Pada fase intensif pasien diberikan kombinasi 4 obat berupa
Rifampisin (R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z), dan Etambutol (E) selama
2 bulan dilanjutkan dengan pemberian Isoniazid (H) dan Rifampisin (R)
selama 4 bulan pada fase lanjutan. Pemberianobat fase lanjutan diberikan
sebagai dosis harian (RH) sesuai dengan rekomendasi WHO.
Pasien dengan TB-SO diobati menggunakan OAT lini pertama.
Dosis OAT lini pertama yang digunakan dapat dilihat pada tabel:

Untuk menunjang kepatuhan berobat, paduan OAT lini pertama


telah dikombinasikan dalam obat Kombinasi Dosis Tetap (KDT). Satu
tablet KDT RHZE untuk fase intensif berisi Rifampisin 150 mg, Isoniazid

45
75 mg, Pirazinamid 400 mg, dan Etambutol 275 mg. Sedangkan untuk fase
lanjutan yaitu KDT RH yang berisi Rifampisin 150 mg + Isoniazid 75 mg
diberikan setiap hari. Jumlah tablet KDT yang diberikan dapat disesuaikan
dengan berat badan pasien. Secara ringkas perhitungan dosis pengobatan
TB menggunakan OAT KDT dapat dilihat pada Tabel:

Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal


yang penting untuk menyembuhkan pasien dan mencegah terjadi TB-RO.
Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan
prioritas utama WHO. International Union Against Tuberculosis and Lung
Disease (IUALTD) dan WHO menyarankan untuk menggantikan paduan
obat tunggal/lepasan dengan Kombinasi Dosis Tetap dalam pengobatan
TB primer sejak tahun 1998.

L. KOMPLIKASI 10
Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum
pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan.
Beberapa komplikasi yang mungkin timbul adalah :
 Batuk darah
 Pneumotoraks
 Gagal napas
 Gagal jantung
Pada keadaan komplikasi harus dirujuk ke fasilitas yang memadai.

46
47
PEMBAHASAN

Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan sesak yang dirasakan sejak 2 hari
terakhir, yang dirasakan semakin memberat. Sesak tidak dipengaruhi oleh
aktivitas. Keluhan disertai dengan batuk kering sejak 2 minggu terakhir, disertai
dengan riwayat demam (+), keringat malam (+), penurunan berat badan (+),
lemas(+).
Mual (+), muntah (-), nyeri ulu hati +, penurunan nafsu makan (+). Beart
badan turun (+), BAK sering, BAB dalam batas normal.
Riw HT(-), DM disangkal. Riwayat kontak dengan penderita batuk lama
(TBC) (-)
Pemeriksaan tanda vital didapatkan Tekanan darah 150/80, Takipneu, taki
kardia, dan suhu afebris. SPO2 92-98%. Pada pemeriksaan fisik ditemukan bunyi
napas bronchial dengan bunyi tambahan ronki nyaring pada kedua lapang paru
+/+, Wh-/-, Bunyi Jantung I/II murni regular cepat, bunyi tambahan (-), nyeri
tekan eigastrium (+), tanda-tanda dehidrasi +, tanpa disertai edema tungkai-/-.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis (12.100), Hb 13,7,
Trombosit 315.000, GDS 109, Creatinin 0,7, Ureum 30, SGOT 28, dan HBA1c:
9,5. Rapid test antigen negative, Pemeriksaan TCM: MTP non detected. Pada
pemeriksaan ECG didapatkan sinus rhytm, HR 88 BPM, Norma ECG. Pada
pemeriksaan CXR didapatkan Pneumonia bilateral dan pendapat DPJP diferential
diagnose TB Paru lesi luas Aktif.
Penatalaksanaan awal pasien ini diberikan berupa oksgien 3-4 LPM,
pemberian caira, nebulasi ventolin, pemberian H2 reseptor antagonis, Pemberian
antibiotic Ceftiaxone 2gr/hari, dan pengencer dahak. Dalam perkembangan
perawatan, pasien dilakukan pemeriksaan HBA1c dan mendapatkan terapi
sansulin 10 unit malam. Dan berdasarkan pertimbangan DPJP pasien diberikan
terapi OAT lini 1.

48
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, awal pasien didiagnosa sebagai
CAP, dan pada perkembangan perawatan pasien dilakukan pemeriksaan HBA1c
diagnosa ditambahkan menjadi Diabetes mellitus type 2 dan CAP dd TBC paru.
Pada kasus ini pasien datang dengan keluhan sesak, disertai bunyi tambahan
berupa ronkhi nyaring pada kedua lapang paru. Disertai dengan leukositosis dan
pada pemeriksaan CXR didapatkan pneumonia bilateral. Diagnosa awal CAP
ditegakan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari
bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta
menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat.
Istilah pneumonia lazim dipakai bila peradangan disebabkan oleh mikroorganisme
(bakteri, virus, jamur dan parasit) namun pneumonia juga dapat disebabkan oleh
bahan kimia ataupun karena paparan fisik seperti suhu atau radiasi. CAP biasanya
menular karena masuk melalui inhalasi atau aspirasi organisme patogen ke
segmen paru atau lobus paruparu. Pada pemeriksaan fisik sputum yang purulen
merupakan karakteristik penyebab dari tipikal bakteri, jarang terjadi mengenai
lobus atau segmen paru tetapi apabila terjadi konsolidasi akan terjadi peningkatan
taktil fremitus, napas bronkial.11
Pada perkembangan perawatan, sesak pasien tidak mengalami perbaikan, dan
setelah dilakukan pemeriksaan HBA1c dengan hasil 9,5. Kemudian pasien
ditegakan diagnosa mengalami diabetes mellitus dan mendapatkan pengobatan
Sansulin 10 Unit malam.
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Guna
penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah
pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui cara Pemeriksaan HbA1c ≥ 6,5% dengan
menggunakan metode High-Performance Liquid Chromatography (HPLC) yang
terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program
(NGSP).5
Setelah diberikan terapi insulin dan pemberian antibiotic, sesak pasien
berkurang, dan DPJP mendiagnosa pasien ini dengan TBC paru berdasarkan

49
pertimbangan klinis dan hasil pemeriksaan penunjang. Walaupun pada
pemeriksaan Genexpert didapatkan hasil MTB non detected. Pasien kemudian
diberikan terapi OAT kategori 1.
Kondisi hiperglikemia pada penderita DM yang lama dapat menyebabkan
defisiensi imunitas tubuh menyebabkan terjadinya gangguan kemotaksis,
fagositosis, dan antigen presenting oleh fagosit terhadap bakteri Mycobacterium
Tuberculosis serta menyebabkan terjadinya gangguan fungsi dari epitel
pernafasan. Akibatnya bakteri M.tuberculosis dapat menginfeksi sehingga timbul
penyakit TB. Peningkatan konsentrasi glukosa darah atau hiperglikemia
berbanding lurus dengan laju HbA1c. Beberapa penelitian mengaitkan adanya
hubungan antara kadar HbA1c pada penderita DM dengan peningkatan risiko
terjadinya TB diketahui bahwa HbA1c mempunyai hubungan erat dengan glukosa
plasma seseorang. Penelitian Dobler di Australia (2012) dan penelitian Leung di
Hongkong (2008) menemukan bahwa penderita DM dengan kadar HbA1c yang
lebih besar atau sama dengan 7% lebih banyak menderita TB.12
Kondisi hiperglikemia disebabkan karena defisiensi insulin atau resistensi
insulin pada penderita DM dengan etiologi yang berbeda menyebabkan inadekuat
dalam mengontrol kadar gula darah, pada penderita DM dengan hiperglikemik
kronis dan HbA1c tinggi menyebabkan kondisi immunosupresi. Kondisi itu,
membuat individu menjadi lebih rentan terkena infeksi salah satunya infeksi M.
Tuberculosis yang menyebabkan terjadinya TB. Gangguan kemotaksis,
fagositosis, dan antigen presenting oleh fagosit terhadap bakteri M. Tuberculosis.
Defek fungsi sel-sel imun dan mekanisme pertahanan penjamu inilah yang
menyebabkan penderita DM tidak terkontrol lebih rentan terinfeksi TB.12

50
DAFTAR PUSTAKA

1. Setiati,S dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid VI. Jakarta. Interna

Publishing

2. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2014.

3. Lathifah, N.L. 2017. Hubungan Durasi Penyakit Dan Kadar Gula Darah

Dengan Keluhan Subyektif Penderita Diabetes Melitus. Jurnal Berkala

Epidemiologi 5(2): 232

4. Price,S.A., Wilson,L.M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses

Penyakit. Jakarta. EGC.

5. Perkeni Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2015. Konsensus Pengelolaan

dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia.

6. Fatimah,R.N. 2015. Diabetes mellitus Tipe 2. Jurnal Majority 4(5) : 95-96

7. Putri,R.I. 2015. Faktor Determinan Nefropati Diabetik Pada Penderita

Diabetes Mellitus Di Rsud Dr. M. Soewandhie Surabaya. Jurnal Berkala

Epidemiologi 3(1) : 110

8. Putri,R.I. 2015. Faktor Determinan Nefropati Diabetik Pada Penderita

Diabetes Mellitus Di Rsud Dr. M. Soewandhie Surabaya. Jurnal Berkala

Epidemiologi 3(1) : 110

9. Dahlan, Z. Tatalaksana Penyakit Respirasi dan Kritis Paru. PERPARI. 2012.


10. PDPI. Tuberculosis, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.

Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2021.

11. Prawatya, dkk. Laporan Kasus: Pneumonia Lobaris Paru Dextra. Bagian Ilmu
Paru, RSUD Dr. Sayidiman Magetan. Fakultas Kedokteran, Universitas
Muhammadiyah Surakarta.

51
12. Ahmadillah Firdaus, dkk. Scoping Review: Hubungan Kadar HbA1c
Terhadap Pasien Diabetes Melitus dengan Tuberkulosis. Bandung: Prodi
Sarjana Kedokteran, Fakultas Kedokteran, Universitas Islam Bandung.
http://dx.doi.org/10.29313/kedokteran.v7i1.26341.2021

52

Anda mungkin juga menyukai