Oleh:
Anita Hartono
Pembimbing:
J Iswanto Hendrawijaya
Surabaya
2014
1
LEMBAR PENGESAHAN
Jenis : Referat
Disetujui oleh:
Pembimbing
J Iswanto Hendrawijaya
2
Resusitasi Cairan pada Pasien Trauma
Anita Hartono*, Juventus Iswanto Hendrawijaya**
PENDAHULUAN
Resusitasi cairan yang adekuat dapat menurunkan angka preventable death pada
fase acute dan early. Penelitian prospektif (Revell M et al, 2002) pada 111 pasien yang
meninggal di rumah sakit karena trauma, penyebab terbanyak adalah karena resusitasi
cairan yang tidak adekuat. Pemilihan, penghitungan, dan metode pemberian cairan
merupakan komponen penting resusitasi cairan pasien trauma untuk mengurangi
terjadinya koagulopati dan MODS(6).
3
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Syok
Syok adalah perfusi jaringan yang inadekuat dimana terdapat ketidakseimbangan
antara supply dan demand O2 pada tingkat seluler untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme aerobik.(7)
Klasifikasi Syok
Penyebab syok dibagi menjadi syok kardiogenik, obstruktif, hipovolemik, dan
distributif. Pada pasien trauma didapatkan syok hipovolemik karena perdarahan (= syok
hemoragis), syok kardiogenik karena trauma langsung pada jantung, syok obstruktif
karena tamponade jantung atau tension pneumothorax, dan syok sepsis (distributif) pada
fase lanjut.(8)
4
detak jantung mungkin juga terbatas karena ada pacemaker (alat pacu jantung). Adanya
penyakit aterosklerotik, turunnya compliance jantung (tidak mampu meningkatkan
kontraktilitas dan denyut jantung), menyebabkan pasien tua tidak mampu mentoleransi
perdarahan.
Pasien muda dan sehat mentoleransi kehilangan volume yang lebih besar dengan
gejala klinis minimal. Seorang atlit tetap dengan nadi < 100 kali/menit meski kehilangan
darah 15-20% EBV (estimated blood volume)(9,10).
Syok yang terjadi mengirimkan impuls aferen dari perifer yang diproses dalam
sistem saraf pusat (SSP), sehingga menimbulkan impuls eferen untuk meningkatkan
volume plasma, perfusi perifer, dan oksigenasi jaringan untuk menjaga homeostasis.
Impuls aferen tersebut berasal dari(8,10,12):
-‐ Rasa nyeri dari jaringan yang terluka (melalui traktus spinotalamikus mengaktivasi
hypothalamic-pituitary-adrenal axis / HPA-axis, melalui sistem saraf otonom
langsung pada medula adrenal untuk melepaskan katekolamin).
-‐ Volume reseptor pada atrium jantung. Reseptor tersebut sensitif pada perdarahan
(volume) dalam jumlah kecil atau penurunan tekanan atrium kanan.
-‐ Baroreseptor dan kemoreseptor pada arkus aorta dan carotid body. Kedua reseptor ini
aktif pada perubahan tekanan dan volume darah intravaskular. Selain itu kedua
reseptor tersebut sensitif terhadap perubahan tekanan O2, konsentrasi H+, dan CO2
dalah darah.
5
Impuls aferen yang diterima tersebut akan menimbulkan berbagai respon untuk
mempertahankan hemodinamik(8):
a. Respon Kardiovaskular
6
meningkatkan glikogenolisis pada otot lurik, menekan pelepasan insulin, meningkatkan
pelepasan glukagon, dan lipolisis. Respon tersebut mengakibatkan mobilisasi glukosa,
hiperglikemia, utilisasi protein, keseimbangan nitrogen negatif, lipolisis, dan resistensi
insulin selama syok. Resistensi insulin perifer ini ditujukan untuk menyediakan glukosa
bagi organ yang bergantung-hanya pada oksigen seperti jantung dan otak(8).
b. Respon Neuroendokrin(8-10)
7
3. Regulasi hepatoselular dengan meningkatkan glukoneogenesis dan glikolisis
pada hepar.
-‐ Sistem renin-angiotensin teraktivasi pada kondisi syok. Pelepasan renin dari sel
juxtaglomerular disebabkan oleh penurunan perfusi arteri renalis, stimulasi β-
adrenergik, dan peningkatan konsentrasi Na+ di tubulus renalis. Renin mengkatalisa
angiotensinogen (diproduksi oleh hepar) menjadi angiotensin I, dan oleh angiotensin-
converting-enzyme (ACE, diproduksi paru) dikonversi menjadi angiotensin II.
Angiotensin I tidak memiliki fungsi signifikan, sedangkan angiotensin II merupakan
vasokonstriktor poten untuk aliran darah perifer dan splanchnic, dan dapat
menstimulasi sekresi aldosterone, ACTH, dan ADH. Aldosteron adalah suatu
mineralokortikoid yang bekerja pada nefron untuk meningkatkan reabsorpsi Na+
(beserta air) yang ditukar dengan K+ dan H+ untuk dibuang bersama urin(7,8).
Aktivasi proinflamatori terjadi terutama pada syok sepsis, namun produksi sitokin
inflamasi dan pelepasan mediator juga terjadi pada syok jenis lain. Sitokin adalah
polipeptida dan glikoprotein kecil yang bekerja secara parakrin, menyebabkan febris,
leukositosis, takikardi, takipnea, dan peningkatan sitokin lain (upregulation). Kadar
sitokin ini meningkat pada syok, terutama pada disfungsi multiorgan.
8
IL-1β memiliki efek serupa dengan TNF-α, dan dapat menyebabkan instabilitas
hemodinamik dan vasodilatasi. Fungsi IL-1β antara lain adalah sebagai berikut:
Interaksi endothel dan leukosit penting pada inisiasi respon inflamasi. Endothel
vaskular meregulasi aliran darah, perlekatan (adherence) leukosit, dan aktivasi kaskade
koagulasi. Interaksi antara protein pada permukaan leukosit dan endothel vaskular
menyebabkan neutrofil yang teraktivasi marginasi ke jaringan untuk menelan organisme
asing. Namun migrasi neutrofil teraktivasi pada jaringan ini dapat menyebabkan
neutrophil-mediated cytotoxicity, kerusakan mikrovaskular, dan cedera jaringan, yang
berakhir dengan MODS(8-10).
d. Efek Seluler
Respon sel terhadap trauma berupa adaptasi, disfungsi, cedera, atau kematian sel.
Metabolisme sel secara anaerobik berakibat turunnya fosforilasi oksidatif sehingga
produksi adenosine triphosphate (ATP) turun. Penurunan ATP pada sel hipoksia
mengganggu aktivitas membran sel Na+-K+-ATPase, sehingga Na+ terakumulasi intrasel
dan K+ bocor ke ekstrasel, gangguan kontraktilitas miosit, sinyal sel, dan regulasi
9
konsentrasi Ca2+ intrasel. Peningkatan Na+ intrasel disertai air sehingga sel bengkak
diikuti deplesi cairan ekstrasel. Pembengkakan sel akan diikuti ruptur membran sel atau
lisosom, dan berakhir pada nekrosis sel(7,8).
Asidosis intrasel dapat menjadi asidosis metabolik sistemik karena produk akhir
glikolisis anaerobik keluar dari sel ke sistemik. Pada kondisi asidosis, supply O2 ke
jaringan terganggu sehingga kurva disosiasi oxyhemoglobin bergeser ke kanan.
Penurunan afinitas Hb terhadap O2 pada eritrosit mengakibatkan peningkatan pelepasan
O2 ke jaringan serta ekstraksi O2 oleh jaringan. Ditambah peningkatan produksi eritrosit
2,3-DPG (2,3-diphosphoglycerate) pada kondisi hipoksia juga menggeser kurva disosiasi
oxyhemoglobin bergeser ke kanan sehingga meningkatkan ketersediaan O2 selama syok.
10
mengembalikan volume intravaskular dan interstisial. Beberapa peneliti menemukan
bahwa pemberian cairan secara agresif sebelum perdarahan terkontrol, dapat
meningkatkan komplikasi berupa koagulopati dilusional, bertambahnya perdarahan
karena lepasnya clot yang sudah terbentuk, asidosis, hipotermi, odem cerebri, odem paru,
abdominal compartment syndrome, dan iskemia gastrointestinal(10,14). Sejak pertengahan
tahun 2000 dikenal damage control resuscitation yang meliputi: 1) damage control
surgery, 2) haemostatic resuscitation, 3) hypotensive resuscitation, disertai pembatasan
penggunaan kristaloid, prevensi hipotermia, hipokalsemia, dan asidosis.(14-16) Damage
control surgery sendiri diperkenalkan oleh Stone et al tahun 1983 saat mencoba
menghentikan perdarahan pada pasien dengan koagulopati.(28)
Permissive Hypotension(16)
Adalah resusitasi cairan untuk mencapai tekanan minimal yang cukup untuk
perfusi jaringan. Dikenal juga dengan hypotensive resuscitation, restrained resuscitation,
dan low-volume resuscitation. Merupakan bagian dari damage control resuscitation, dan
haemostatic resuscitation. Digunakan pada syok hemoragis karena trauma tembus,
dimana resusitasi cairan secara agresif ditunda hingga perdarahan dapat dikontrol.
Tekanan sistolik dipertahankan rendah supaya bekuan darah tidak lepas namun
cukup untuk mempertahankan perfusi organ. Tujuan utama adalah kontrol perdarahan
(hemostasis dan operasi), dan resusitasi dilakukan setelah perdarahan terkontrol. Belum
ada penelitian in vivo berapa MAP atau tekanan sistolik yang harus dicapai pada
permissive hypotension ini.
11
Bickell membandingkan immediate versus delayed resuscitation pada pasien
hipotensi karena trauma tembus abdomen. Didapatkan survival yang lebih tinggi pada
grup delayed resuscitation (70%) dibandingkan immediate resuscitation (62%). Bickell
menyimpulkan bahwa penundaan resusitasi cairan hingga intervensi bedah terlaksana
dapat meningkatkan outcome.(18)
Haemostatic Resuscitation
12
MTP dipertimbangkan untuk diberikan pada pasien dengan multitrauma, TDS <
90 mmHg, dan defisit basa lebih besar dari -10. Dikatakan hanya 2% dari pasien trauma
yang memerlukan MTP.(11)
Kekurangan MTP ini adalah efek samping pemberian FFP, dan ketersediaannya.
Resiko TRALI (transfusion related acute lung injury) meningkat pada pemberian
komponen darah, terutama plasma.
Transfusi Emergensi
Kristaloid
Jenis kristaloid yang sering dipakai adalah ringer laktat (RL) dan normal saline
0.9% (NS). Kristaloid memiliki komposisi elektrolit dan osmolalitas yang menyerupai
plasma, namun RL memiliki komposisi yang lebih mirip dengan komposisi cairan
ekstraseluler. RL lebih dipilih daripada NS karena memiliki konsentrasi Na+ dan Cl– lebih
rendah, menurunkan resiko terjadinya asidosis hiperkloremik pada pasien syok.
Kedua kristaloid tersebut bertahan di intravaskular selama 30-60 menit. Lebih dari
60% kristaloid yang diberikan menempati kompartmen interstisial (ekstravaskular),
sehingga dibutuhkan paling sedikit 3x perkiraan perdarahan untuk mencapai
13
normovolemi. Hal ini membatasi penggunaan kristaloid pada syok hemoragis klas 3 dan
4, dimana pemberian kristaloid > 5 liter menyebabkan edema interstisial.(18)
Koloid
Adalah cairan isotonik dengan molekul besar yang dapat tinggal di intravaskular
hingga dimetabolisme. Pada kondisi normal, koloid akan bertahan di intravaskular.
Sedangkan cedera pada pasien trauma yang menyebabkan peningkatan permeabilitas
kapiler akan menyebabkan bocornya koloid ke ekstravaskular. Koloid yang tertimbun di
rongga interstisial akan diserap oleh sistem limfatik atau akan meningkatkan tekanan
onkotik intertisial yang akan menarik cairan dari intravaskular. Ditambah dengan
penyerapan koloid yang lebih lambat daripada kristaloid di rongga interstisial, makin
meningkatkan edema interstisial.
Koloid bisa berupa derivat protein plasma (albumin 5%, human plasma protein
fraction), atau plasma substitute (gelatin, dekstran, hydroxyethyl starch).
Gelatin diperoleh dari proses hidrolisa alkalin kolagen bovine. Berat molekulnya
30-35.000 dalton, dengan T½ 2-4 jam dalam sirkulasi sebelum di filtrasi oleh glomerulus
14
ginjal dan dimetabolisme di hepar. Kalsium dalam gelatin menyebabkan penggumpalan
eritrosit bila diberikan bersama dengan darah.
Dekstran adalah suatu polisakarida yang di produksi dalam berbagai macam berat
molekul. Contoh dekstran-70 (berat molekul 70.000 dalton), memiliki T½ 6 jam di
intravaskular. Dextran mengganggu proses cross-matching, sehingga penggunaannya
terbatas pada resusitasi pasien trauma.
Hetastarch (6% starch dalam salin isotonik) dengan berat molekul 450.000 dalton
dapat bertahan di intravaskular lebih dari 24 jam. Pentastarch tersedia dalam persentase
6% dan 10%, memiliki berat molekul 250.000 dalton. Gelatin dan starch dikatakan
memiliki resiko alergi lebih rendah dibandingkan dekstran.(22,23)
HTS tersedia dalam konsentrasi 1.8%, 3%, 5%, 7.5%, dan 10% larutan NaCl.
Osmolalitasnya yang lebih tinggi dibandingkan cairan intrasel, menyebabkan Na+ dan Cl–
tetap tinggal di intravaskular dan menarik cairan dari intrasel ke interstisial dan
intravaskular. Sehingga HTS akan meningkatkan volume intravaskular lebih tinggi
dibandingkan kristaloid bila diberikan dalam jumlah volume yang sama.
HTS 7.5% efektif sebagai volume expander, dan meningkat efektifitasnya bila
diberikan dengan dekstran-70 yang memiliki efek hidrofilik. Pada pasien dewasa
pemberian 250 mL (4 mL/kgBB) hypertonic saline dextran (HSD) mencapai respon
hemodinamik setara dengan pemberian 3000 mL NS.
Darah
15
Koagulopati merupakan komplikasi yang sering muncul pada syok hemoragis,
sehingga memerlukan pemberian komponen darah (TC dan FFP). Faktor pencetusnya
antara lain transfusi masif, hipotermia, hemodilusi, syok, cedera jaringan karena trauma,
dan pada pasien cedera kepala. Faringer et al (1993) melaporkan angka koagulopati
mencapai 40% pada pasien trauma saat awal tiba di rumah sakit.(30)
16
Daftar Pustaka
17
16. Jackson K, Nolan J. The Role of Hypotensive Resuscitation in the Management of
Trauma. J Intensive Care Society 10(2):109–14, 2009.
17. Alam HB. An Update on Fluid Resuscitation. Scandinavian J Surg 95:136–45, 2006.
18. Crosby E. Current Issues in Fluid Resuscitation Following Trauma.
http://www.anesthesia.org/winterlude/wl95/wl95_2.html.
19. Alam HB, Rhee P. New Developments in Fluid Resuscitation. Surg Clin N Am 87:55–72,
2007. doi:10.1016/j.suc.2006.09.015.
20. Cotton BA, Jerome R, Collier BR, Khetarpal S, Holevar M, Tucker B, et al. Guidelines
for Prehospital Fluid Resuscitation in the Injured Patient. J Trauma 67(2):389–402, 2009.
doi:10.1097/TA.0b013e3181a8b26f.
21. Schott C. Fluid Resuscitation: 0.9% Normal Saline vs Lactated Ringer’s vs Albumin.
EVMS, J Club Review 25, 2010.
22. Perel P, Roberts I, Pearson M. Colloids versus Crystalloids for Fluid Resuscitation in
Critically Ill Patients (Review). Cochrane Database of Systematic Reviews 4, 2007.
doi:10.1002/14651858.CD000567.pub3.
23. Rizoli SB. Crystalloids and Colloids in Trauma Resuscitation: A Brief Overview of the
Current Debate. J Trauma 54:S82–8, 2003.
24. Crookes BA, Cohn SM, Block S, et al. Can Near-Infrared Spectroscopy Identify the
Severity of Shock in Trauma Patients? J Trauma 58:806, 2005.
25. Sturgess DJ, Morgan TJ. Haemodynamic Monitoring. In: Bersten AD, Soni N. Oh’s
Intensive Care Manual 6th ed. China: Elsevier; 2009. pg.105–122.
26. Tisherman SA et al. Clinical Practice Guideline: Endpoints of Resuscitation. J Trauma
57:898–912, 2004. doi: 10.1097/01.TA.0000133577.25793.E5.
27. McKinley BA, Marvin RG, Cocanour CS, et al. Tissue Hemoglobin O2 Saturation during
Resuscitation of Traumatic Shock Monitored using Near-Infrared Spectroscopy. J
Trauma 48:637, 2000.
28. Stone HH, Strom PR, Mullins RJ. Management of the Major Coagulopathy with Onset
During Laparotomy. Ann Surg 197:532, 1983.
29. Velanovich V. Crystalloid versus Colloid Fluid Resuscitation: A Meta-Analysis of
Mortality. Surg 105:65-71, 1989.
30. Faringer PD, Mullins RJ, Johnson RL, Trunkey DD. Blood Component Supplementation
during Massive Transfusion of AS-1 Red Cells in Trauma Patients. J Trauma 34:481-7,
1993.
18