Anda di halaman 1dari 18

Resusitasi Cairan pada Pasien Trauma

Oleh:

Anita Hartono

Pembimbing:

J Iswanto Hendrawijaya

Laboratorium / SMF Ilmu Bedah

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / RSUD Dr. Soetomo

Surabaya

2014

1  
 
LEMBAR PENGESAHAN

Telah menyetujui dan mengesahkan Karya Ilmiah:

Judul : Resusitasi Cairan pada Pasien Trauma

Jenis : Referat

Penyusun : Anita Hartono

Disetujui oleh:

Pembimbing

J Iswanto Hendrawijaya

2  
 
Resusitasi Cairan pada Pasien Trauma
Anita Hartono*, Juventus Iswanto Hendrawijaya**

PENDAHULUAN

Trauma merupakan penyebab kematian tertinggi pada kelompok usia dibawah 40


tahun.(1,2,3) Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, kecelakaan di Indonesia selama tahun
2008-2012 menyebabkan kematian sebesar 25.04-34.12% dan luka berat sebesar 32.47-
39.62%.(4) Penyebab utama kematian pada pasien trauma adalah cedera kepala,
kehilangan darah, dan MODS (multiorgan dysfunction syndrome) pada fase lanjut.(5)

Acute Early Late


(< 48 jam) (48 jam – 7 hari) (> 7 hari)
CNS injury 40% 64% 39%
Blood loss 55% 9% 0%
MODS 1% 18% 61%
Tabel 1. Penyebab mortalitas pasien trauma.(5)

Resusitasi cairan yang adekuat dapat menurunkan angka preventable death pada
fase acute dan early. Penelitian prospektif (Revell M et al, 2002) pada 111 pasien yang
meninggal di rumah sakit karena trauma, penyebab terbanyak adalah karena resusitasi
cairan yang tidak adekuat. Pemilihan, penghitungan, dan metode pemberian cairan
merupakan komponen penting resusitasi cairan pasien trauma untuk mengurangi
terjadinya koagulopati dan MODS(6).

* Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Bedah


** Staf SMF / Lab. Ilmu Bedah Digestif
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / RSUD Dr. Soetomo Surabaya

3  
 
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Syok
Syok adalah perfusi jaringan yang inadekuat dimana terdapat ketidakseimbangan
antara supply dan demand O2 pada tingkat seluler untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme aerobik.(7)

Klasifikasi Syok
Penyebab syok dibagi menjadi syok kardiogenik, obstruktif, hipovolemik, dan
distributif. Pada pasien trauma didapatkan syok hipovolemik karena perdarahan (= syok
hemoragis), syok kardiogenik karena trauma langsung pada jantung, syok obstruktif
karena tamponade jantung atau tension pneumothorax, dan syok sepsis (distributif) pada
fase lanjut.(8)

American College of Surgeons membagi 4 kategori syok hemoragis berdasarkan


volume darah yang hilang, manifestasi klinis, dan jenis cairan pengganti yang disarankan
(Tabel 2).

Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV


Kehilangan darah* (mL) < 750 750 – 1500 1500 – 2000 > 2000
Kehilangan darah < 15 15 – 30 30 – 40 > 40
(% volume darah)
Nadi (/menit) < 100 100 – 120 > 120 > 140
CRT Normal > 2 detik > 2 detik Tak terdeteksi
Tekanan darah sistolik Normal Normal ↓ ↓↓
Tekanan darah diastolik Normal ↓ ↓ Tidak terukur
Tekanan nadi Normal / Menurun Menurun Menurun
Meningkat
Frekuensi nafas (x/menit) 14 – 20 20 – 30 30 – 40 > 35
Produksi urin (mL/jam) > 30 20 – 30 5 – 15 <5
Ekstrimitas Normal Pucat Pucat Basah, dingin
Status mental Slightly Mildly Anxious, Confused,
anxious anxious confused lethargic
Cairan pengganti Kristaloid Kristaloid Kristaloid Kristaloid dan
(3:1)** dan darah darah
*
Untuk manusia dengan berat badan 70 kg.
**
3:1 adalah penggantian 300 mL cairan elektrolit setiap kehilangan darah 100 mL.
CRT= capillary refill time
Tabel 2. Klasifikasi dan gejala syok hemoragis.(9,10)

Perkiraan jumlah perdarahan perlu diperhatikan pada penderita usia lanjut,


pengkonsumsi obat, hamil, dan atlit. Pada pasien tua mungkin tidak menunjukkan
takikardia karena terbatasnya respon jantung terhadap stimulasi katekolamin atau
penggunaan obat-obatan seperti β-blocker adrenergis. Kemampuan untuk mempercepat

4  
 
detak jantung mungkin juga terbatas karena ada pacemaker (alat pacu jantung). Adanya
penyakit aterosklerotik, turunnya compliance jantung (tidak mampu meningkatkan
kontraktilitas dan denyut jantung), menyebabkan pasien tua tidak mampu mentoleransi
perdarahan.
Pasien muda dan sehat mentoleransi kehilangan volume yang lebih besar dengan
gejala klinis minimal. Seorang atlit tetap dengan nadi < 100 kali/menit meski kehilangan
darah 15-20% EBV (estimated blood volume)(9,10).

Patofisiologi Syok pada Pasien Trauma


Kehilangan darah akut pada pasien trauma menimbulkan respon kardiovaskular,
neuroendokrin, dan imunologis untuk mencukupi perfusi jaringan. Cedera sel karena syok
dapat disebabkan karena efek langsung hipoperfusi pada sel dan jaringan, atau karena
respon adaptif tubuh terhadap proses syok tersebut. Efek dan respon terhadap syok sesuai
dengan durasi dan derajat syok yang terjadi, berupa instabilitas hemodinamik, disfungsi
organ, hingga kematian(11).

Syok yang terjadi mengirimkan impuls aferen dari perifer yang diproses dalam
sistem saraf pusat (SSP), sehingga menimbulkan impuls eferen untuk meningkatkan
volume plasma, perfusi perifer, dan oksigenasi jaringan untuk menjaga homeostasis.
Impuls aferen tersebut berasal dari(8,10,12):
-­‐ Rasa nyeri dari jaringan yang terluka (melalui traktus spinotalamikus mengaktivasi
hypothalamic-pituitary-adrenal axis / HPA-axis, melalui sistem saraf otonom
langsung pada medula adrenal untuk melepaskan katekolamin).
-­‐ Volume reseptor pada atrium jantung. Reseptor tersebut sensitif pada perdarahan
(volume) dalam jumlah kecil atau penurunan tekanan atrium kanan.
-­‐ Baroreseptor dan kemoreseptor pada arkus aorta dan carotid body. Kedua reseptor ini
aktif pada perubahan tekanan dan volume darah intravaskular. Selain itu kedua
reseptor tersebut sensitif terhadap perubahan tekanan O2, konsentrasi H+, dan CO2
dalah darah.

5  
 
Impuls aferen yang diterima tersebut akan menimbulkan berbagai respon untuk
mempertahankan hemodinamik(8):

a. Respon Kardiovaskular

Stimulasi simpatis pada jantung mengaktivasi reseptor β1 (denyut jantung dan


kontraktilitas) untuk meningkatkan cardiac output. Peningkatan kerja miokard ini
meningkatkan pula konsumsi O2 oleh miokard, sehingga oksigenasi miokard harus tetap
dijaga untuk mencegah terjadinya iskemia miokard. Perlu diperhatikan pada pasien yang
mengkonsumsi obat kronotropik negatif (β-blocker) tidak dapat meningkatkan denyut
jantungnya saat terjadi perdarahan (masking effect)(9,10).

Stimulasi simpatis pada sirkulasi perifer melalui aktivasi reseptor α1 menyebabkan


vasokontstriksi yang meningkatkan tahanan vaskular sistemik dan tekanan darah.
Vasokonstriksi ini terjadi secara selektif, yaitu darah pada intestinal, ginjal, dan kulit
dialirkan ke organ yang lebih penting yaitu otak dan jantung. Pada sistem vena, stimulasi
simpatis menyebabkan venokonstriksi sehingga menurunkan kapasitas sistemik, dan
mempercepat aliran vena ke sirkulasi sistemik(7,8).

Perubahan mikrosirkulasi pada syok hemoragis terjadi vasokonstriksi arteriol


besar karena stimulasi simpatis, dan vasodilatasi arteriol kecil karena mekanisme lokal.
Pada tingkat kapiler terjadi pembengkakan sel endotel dan agregasi leukosit yang
menurunkan perfusi kapiler selama syok dan resusitasi, sehingga menyebabkan disfungsi
organ. Agregasi neutrofil pada mikrosirkulasi menambah hipoperfusi (karena syok) dan
langsung menyebabkan cedera sel melalui produk toksik neutrofil seperti radikal oksigen
atau enzim proteolitik.

Penurunan perfusi mikrosirkulasi dan kapiler menyebabkan tekanan hidrostatik


kapiler turun sehingga cairan ekstraseluler atau ekstravaskuler masuk kapiler untuk
meningkatkan volume intravaskuler. Hal ini ditambah dengan pembengkakan sel (karena
influx Na+ dan air) akan menambah defisit cairan ekstraseluler. Resusitasi cairan untuk
mengembalikan defisit volume ekstraseluler berkaitan dengan perbaikan outcome pasien
syok(8,10).

Rangsang simpatis menyebabkan pelepasan katekolamin dari medulla adrenal,


yang mencapai puncak 24-48 jam setelah trauma. Epinefrin diproduksi oleh medulla
adrenal, sedangkan norepinefrin berasal dari sinaps sistem saraf simpatis. Katekolamin
menstimulasi hepar untuk glikogenolisis, glukoneogenesis dan ketogenesis,

6  
 
meningkatkan glikogenolisis pada otot lurik, menekan pelepasan insulin, meningkatkan
pelepasan glukagon, dan lipolisis. Respon tersebut mengakibatkan mobilisasi glukosa,
hiperglikemia, utilisasi protein, keseimbangan nitrogen negatif, lipolisis, dan resistensi
insulin selama syok. Resistensi insulin perifer ini ditujukan untuk menyediakan glukosa
bagi organ yang bergantung-hanya pada oksigen seperti jantung dan otak(8).

b. Respon Neuroendokrin(8-10)

-­‐ Syok merangsang hipotalamus mengeluarkan corticotropin releasing hormone


(CRH) untuk meningkatkan pelepasan adrenocorticotropin hormone (ACTH) oleh
hipofisis, dimana ACTH akan merangsang korteks kelenjar adrenal untuk
melepaskan kortisol. Kurangnya produksi kortisol pada critical illness atau post-
trauma (insufisiensi adrenal primer atau sekunder) menyebabkan instabilitas
hemodinamik. Fungsi kortisol adalah:
1. Bersama dengan epinefrin, glukagon, dan antidiuretic hormone (ADH)
menginduksi keadaan katabolik.
2. Menstimulasi glukoneogenesis dan resistensi insulin, menyebabkan
hiperglikemia.
3. Memecah protein pada otot lurik dan lipolisis, sebagai substrat glukoneogenesis
oleh hepar. Ketiga fungsi tersebut adalah untuk menyediakan glukosa sebagai
sumber energi utama untuk jantung dan otak.
4. Retensi natrium dan air di ginjal untuk mengembalikan volume sistemik.
-­‐ Hipofisis melepaskan vasopresin (= ADH) sebagai respon terhadap hipovolemia
(dirasakan oleh baroreseptor dan reseptor regang pada atrium kiri), dan peningkatan
osmolalitas plasma (terdeteksi oleh osmoreseptor pada hipotalamus). Epinefrin,
angiotensin II, nyeri, dan hiperglikemia juga meningkatkan produksi ADH. Kadar
ADH tinggi hingga 1 minggu post-trauma, tergantung derajat dan durasi syok yang
terjadi. Fungsi ADH ini adalah:
1. Bekerja pada tubulus distal dan duktus koligentes untuk meningkatkan
permeabilitas air, sehingga menurunkan kehilangan air dan natrium untuk
mencukupi volume intravaskular.
2. Dikenal juga sebagai arginine vasopresin, bekerja sebagai vasokonstriktor
mesenterik yaitu menurunkan aliran darah splanchnic selama hipovolemia, yang
dapat menyebabkan iskemi intestinal dan disfungsi barier mukosa intestinal.

7  
 
3. Regulasi hepatoselular dengan meningkatkan glukoneogenesis dan glikolisis
pada hepar.
-­‐ Sistem renin-angiotensin teraktivasi pada kondisi syok. Pelepasan renin dari sel
juxtaglomerular disebabkan oleh penurunan perfusi arteri renalis, stimulasi β-
adrenergik, dan peningkatan konsentrasi Na+ di tubulus renalis. Renin mengkatalisa
angiotensinogen (diproduksi oleh hepar) menjadi angiotensin I, dan oleh angiotensin-
converting-enzyme (ACE, diproduksi paru) dikonversi menjadi angiotensin II.
Angiotensin I tidak memiliki fungsi signifikan, sedangkan angiotensin II merupakan
vasokonstriktor poten untuk aliran darah perifer dan splanchnic, dan dapat
menstimulasi sekresi aldosterone, ACTH, dan ADH. Aldosteron adalah suatu
mineralokortikoid yang bekerja pada nefron untuk meningkatkan reabsorpsi Na+
(beserta air) yang ditukar dengan K+ dan H+ untuk dibuang bersama urin(7,8).

c. Respon Imunologis dan Inflamasi

Aktivasi proinflamatori terjadi terutama pada syok sepsis, namun produksi sitokin
inflamasi dan pelepasan mediator juga terjadi pada syok jenis lain. Sitokin adalah
polipeptida dan glikoprotein kecil yang bekerja secara parakrin, menyebabkan febris,
leukositosis, takikardi, takipnea, dan peningkatan sitokin lain (upregulation). Kadar
sitokin ini meningkat pada syok, terutama pada disfungsi multiorgan.

Tumor necrosis factor-α (TNF-α) merupakan sitokin proinflamatori yang paling


awal dikeluarkan oleh monosit, makrofag, dan sel T saat trauma. Endotoksin merupakan
penginduksi primer pelepasan sitokin, dimana pada trauma endotoksin berasal dari
translokasi bakteri pada iskemia intestinal karena syok. Peningkatan kadar TNF-α pada
syok hemoragis berkorelasi dengan mortalitas pada hewan coba. Pada pasien dengan syok
hemoragis terjadi peningkatan kadar TNF-α, interleukin-6 (IL-6), dan IL-8 namun tidak
setinggi pada syok sepsis(8,9). Efek TNF-α adalah:

-­‐ vasodilatasi perifer - induksi aktivitas prokoagulan


-­‐ aktivasi pelepasan sitokin lain: IL-1β, IL-6 - aktivasi makrofag
-­‐ memecah protein otot lurik yang menyebabkan kakeksia
-­‐ melawan infeksi bakterial. Penelitian pada hewan coba dengan peritonitis dan
pnemonia, dengan menetralisir TNF-α meningkatkan mortalitas.

8  
 
IL-1β memiliki efek serupa dengan TNF-α, dan dapat menyebabkan instabilitas
hemodinamik dan vasodilatasi. Fungsi IL-1β antara lain adalah sebagai berikut:

-­‐ aktivasi prostaglandin di hipotalamus posterior menyebabkan febris


-­‐ aktivasi pusat kenyang (satiety center) menyebabkan anoreksia
-­‐ meningkatkan sekresi ACTH, glukokortikoid, β-endorphin
-­‐ bersama dengan TNF-α menginduksi pelepasan sitokin lain (IL-2, IL-4, IL-6, IL-8,
GM-CSF, interferon-γ). Penurunan IL-2 berhubungan dengan imunosupresi transien
pada pasien trauma. IL-6 mengakibatkan kerusakan paru yang diperantarai-neutrofil
hingga kerusakan alveolar difus dan ARDS. IL-6 dan IL-1β adalah mediator fase akut
hepar terhadap trauma, yang meningkatkan ekspresi dan aktivitas komplemen, C-
reactive protein, fibrinogen, haptoglobin, amyloid A, dan α-antitrypsin.

Aktivasi kaskade komplemen pada pasien syok menyebabkan aktivasi


proinflamatori. Aktivasi komplemen tersebut proporsional dengan beratnya trauma,
menyebabkan disfungsi organ (ARDS dan MODS), dan dapat digunakan sebagai marker
derajat keparahan trauma (kadar C3a, ratio C3a/C3, dan neutrofil elastase). Komplemen
C3a, C4a, dan C5a merupakan mediator poten untuk permeabilitas vaskular, kontraksi sel
otot polos, pelepasan histamine, sintesa hasil akhir asam arakidonat, dan pelekatan
neutrofil ke endotel vaskular(7).

Interaksi endothel dan leukosit penting pada inisiasi respon inflamasi. Endothel
vaskular meregulasi aliran darah, perlekatan (adherence) leukosit, dan aktivasi kaskade
koagulasi. Interaksi antara protein pada permukaan leukosit dan endothel vaskular
menyebabkan neutrofil yang teraktivasi marginasi ke jaringan untuk menelan organisme
asing. Namun migrasi neutrofil teraktivasi pada jaringan ini dapat menyebabkan
neutrophil-mediated cytotoxicity, kerusakan mikrovaskular, dan cedera jaringan, yang
berakhir dengan MODS(8-10).

d. Efek Seluler

Respon sel terhadap trauma berupa adaptasi, disfungsi, cedera, atau kematian sel.
Metabolisme sel secara anaerobik berakibat turunnya fosforilasi oksidatif sehingga
produksi adenosine triphosphate (ATP) turun. Penurunan ATP pada sel hipoksia
mengganggu aktivitas membran sel Na+-K+-ATPase, sehingga Na+ terakumulasi intrasel
dan K+ bocor ke ekstrasel, gangguan kontraktilitas miosit, sinyal sel, dan regulasi

9  
 
konsentrasi Ca2+ intrasel. Peningkatan Na+ intrasel disertai air sehingga sel bengkak
diikuti deplesi cairan ekstrasel. Pembengkakan sel akan diikuti ruptur membran sel atau
lisosom, dan berakhir pada nekrosis sel(7,8).

Metabolisme anaerobik juga menghasilkan laktat dan fosfat inorganik


menyebabkan asidosis metabolik intrasel. Asidosis metabolik intrasel menyebabkan
terganggunya aktivitas enzim intrasel (ekspresi gen sel, jalur metabolik sel, pertukaran
ion pada membran sel), metabolisme Ca2+, sinyal sel yang diperantarai-Ca2+ yang
berakibat kerusakan dan kematian sel(7,8).

Asidosis intrasel dapat menjadi asidosis metabolik sistemik karena produk akhir
glikolisis anaerobik keluar dari sel ke sistemik. Pada kondisi asidosis, supply O2 ke
jaringan terganggu sehingga kurva disosiasi oxyhemoglobin bergeser ke kanan.
Penurunan afinitas Hb terhadap O2 pada eritrosit mengakibatkan peningkatan pelepasan
O2 ke jaringan serta ekstraksi O2 oleh jaringan. Ditambah peningkatan produksi eritrosit
2,3-DPG (2,3-diphosphoglycerate) pada kondisi hipoksia juga menggeser kurva disosiasi
oxyhemoglobin bergeser ke kanan sehingga meningkatkan ketersediaan O2 selama syok.

Hipoperfusi jaringan menurunkan supply substrat metabolik dan akumulasi hasil


akhir metabolik (oksigen radikal, ion organik) yang toksik untuk sel, sehingga dapat
menyebabkan kematian sel secara apoptosis. Apoptosis ditemukan pada pasien trauma
dengan iskemia dan cedera reperfusi. Apoptosis limfosit dan sel epithel intestinal terjadi
dalam 3 jam pertama post-trauma. Apoptosis limfosit ini menyebabkan imunosupresi,
sedangkan apoptosis sel epitel intestinal menurunkan fungsi barrier intestinal,
menyebabkan translokasi bakteri dan endotoksin ke sirkulasi portal(8,10).

Resusitasi pada Syok Hemoragis(13)


Pada perdarahan terjadi kehilangan eritrosit sehingga DO2 (oxygen delivery)
turun, OER (oxygen extraction ratio) meningkat, dan cardiac output meningkat. Dimana
OER adalah rasio VO2 (oxygen consumption) terhadap DO2. Pemberian kristaloid / koloid
dapat mengembalikan volume intravaskular, namun pada syok kelas III-IV dibutuhkan
transfusi darah yang memiliki oxygen carrying capacity.

Rekomendasi ATLS adalah pemberian kristaloid 20 mL/kgBB hingga 3x pada


pasien trauma dengan hipotensi, dengan tujuan mengembalikan tekanan darah ke nilai
normal untuk mencukupi perfusi jaringan(9,19). Pemberian kristaloid ini dapat

10  
 
mengembalikan volume intravaskular dan interstisial. Beberapa peneliti menemukan
bahwa pemberian cairan secara agresif sebelum perdarahan terkontrol, dapat
meningkatkan komplikasi berupa koagulopati dilusional, bertambahnya perdarahan
karena lepasnya clot yang sudah terbentuk, asidosis, hipotermi, odem cerebri, odem paru,
abdominal compartment syndrome, dan iskemia gastrointestinal(10,14). Sejak pertengahan
tahun 2000 dikenal damage control resuscitation yang meliputi: 1) damage control
surgery, 2) haemostatic resuscitation, 3) hypotensive resuscitation, disertai pembatasan
penggunaan kristaloid, prevensi hipotermia, hipokalsemia, dan asidosis.(14-16) Damage
control surgery sendiri diperkenalkan oleh Stone et al tahun 1983 saat mencoba
menghentikan perdarahan pada pasien dengan koagulopati.(28)

Permissive Hypotension(16)

Adalah resusitasi cairan untuk mencapai tekanan minimal yang cukup untuk
perfusi jaringan. Dikenal juga dengan hypotensive resuscitation, restrained resuscitation,
dan low-volume resuscitation. Merupakan bagian dari damage control resuscitation, dan
haemostatic resuscitation. Digunakan pada syok hemoragis karena trauma tembus,
dimana resusitasi cairan secara agresif ditunda hingga perdarahan dapat dikontrol.

Tekanan sistolik dipertahankan rendah supaya bekuan darah tidak lepas namun
cukup untuk mempertahankan perfusi organ. Tujuan utama adalah kontrol perdarahan
(hemostasis dan operasi), dan resusitasi dilakukan setelah perdarahan terkontrol. Belum
ada penelitian in vivo berapa MAP atau tekanan sistolik yang harus dicapai pada
permissive hypotension ini.

Pada low-volume resuscitation digunakan koloid, namun pada beberapa penelitian


tidak didapatkan penurunan mortalitas dan peningkatan survival, dibalik mahalnya harga
koloid(11). Penggunaan hypertonic saline untuk low-volume resuscitation dapat
mengembalikan perfusi mikrovaskular, menurunkan edema jaringan, dan menghambat
respon inflamasi, namun penggunaannya masih dalam penelitian.(17)

Permissive hypotension ini terbatas untuk pasien cedera kepala dimana


dibutuhkan CPP > 60 mmHg (cerebral perfusion pressure). Trauma tembus di regio
thoraks perlu diperhatikan etiologi hipotensi yang bukan karena perdarahan seperti
tension pneumothorax dan tamponade perikardium. Pasien dengan hipertensi kronis
memerlukan tekanan sistolik yang lebih tinggi untuk mempertahankan perfusi organ.

11  
 
Bickell membandingkan immediate versus delayed resuscitation pada pasien
hipotensi karena trauma tembus abdomen. Didapatkan survival yang lebih tinggi pada
grup delayed resuscitation (70%) dibandingkan immediate resuscitation (62%). Bickell
menyimpulkan bahwa penundaan resusitasi cairan hingga intervensi bedah terlaksana
dapat meningkatkan outcome.(18)

Haemostatic Resuscitation

Adalah resusitasi menggunakan komponen darah yang menyerupai whole blood.


Tujuannya untuk mempertahankan volume darah, menekan on going loss, menghindari
koagulopati, hipotermia, asidosis, dan komplikasi karena resusitasi kristaloid secara
agresif.

Diberikan komponen darah dengan rasio 1 atau 2 PRC : 1 FFP : 1 TC.


Perbandingan rasio ini masih dalam penelitian. Pada Australian National Guideline
ditambahkan asam traneksamat 1 g intravena bolus (dalam 10 menit), dilanjutkan 1 g
selama 8 jam, dan pertimbangan pemberian cryoprecipitate.

Hipotermia menyebabkan penurunan respon trombosit, peningkatan sekuestrasi


trombosit di hepar dan lien, penurunan fungsi faktor XI dan XII, dan mengganggu
fibrinolisis. Sedangkan asidosis menyebabkan gangguan fungsi faktor V, VIIa, dan X,
menghambat pembentukan thrombin, menurunkan kontraktilitas miokard (sehingga
terjadi penurunan CO), vasodilatasi dan hipotensi, bradikardia dan disritmia.

Keuntungan haemostatic resuscitation ini adalah volume yang diberikan lebih


sedikit daripada kristaloid, memiliki oxygen-carrying capacity, dan meminimalisir
koagulopati.

Massive Transfusion Protocol (MTP)

Adalah pemberian transfusi dini secara agresif untuk mencegah terjadinya


koagulopati dilusional pada pasien syok hemoragis. Riskin membuktikan penurunan
mortalitas yang signifikan setelah pemberian MTP.(11) MTP ini harus didukung oleh
ketersediaan PRC golongan O dan FFP golongan AB di ruang emergensi supaya dapat
diberikan bersamaan.

12  
 
MTP dipertimbangkan untuk diberikan pada pasien dengan multitrauma, TDS <
90 mmHg, dan defisit basa lebih besar dari -10. Dikatakan hanya 2% dari pasien trauma
yang memerlukan MTP.(11)

Kekurangan MTP ini adalah efek samping pemberian FFP, dan ketersediaannya.
Resiko TRALI (transfusion related acute lung injury) meningkat pada pemberian
komponen darah, terutama plasma.

Transfusi Emergensi

Pada situasi emergensi terkadang diperlukan pemberian transfusi darah namun


tidak tersedia waktu yang cukup (40-60 menit) untuk melakukan crossmatch. Sediaan
darah partially crossmatched, type specific, dan uncrossmatched group-O
direkomendasikan pada situasi tersebut. Sel darah merah golongan-O sedikit memiliki
antigen A dan B, sehingga pemberiannya memiliki resiko rendah terhadap hemolisis.
Namun plasma darah golongan-O tersebut memiliki titer anti-A dan anti-B yang tinggi,
yang dapat menyebabkan hemolisis sel darah marah resipien. Maka dianjurkan pemberian
darah golongan-O berupa PRC, bukan WB (whole blood). Untuk menghindari sensitisasi
Rh-negatif pada wanita usia produktif, PRC golongan-O Rh-negatif sebaiknya diberikan
pada wanita usia < 40 tahun, dan selain itu dapat diberikan PRC golongan-O Rh-
positif.(18)

Jenis Cairan Resusitasi(2,10,15,17,19-21)

Kristaloid

Jenis kristaloid yang sering dipakai adalah ringer laktat (RL) dan normal saline
0.9% (NS). Kristaloid memiliki komposisi elektrolit dan osmolalitas yang menyerupai
plasma, namun RL memiliki komposisi yang lebih mirip dengan komposisi cairan
ekstraseluler. RL lebih dipilih daripada NS karena memiliki konsentrasi Na+ dan Cl– lebih
rendah, menurunkan resiko terjadinya asidosis hiperkloremik pada pasien syok.

Kedua kristaloid tersebut bertahan di intravaskular selama 30-60 menit. Lebih dari
60% kristaloid yang diberikan menempati kompartmen interstisial (ekstravaskular),
sehingga dibutuhkan paling sedikit 3x perkiraan perdarahan untuk mencapai

13  
 
normovolemi. Hal ini membatasi penggunaan kristaloid pada syok hemoragis klas 3 dan
4, dimana pemberian kristaloid > 5 liter menyebabkan edema interstisial.(18)

Kelebihan kristaloid adalah komposisi elektrolitnya sesuai tubuh manusia,


memiliki kapasitas buffer, tidak ada resiko anafilaksis, berpengaruh kecil pada
hemostasis, meningkatkan diuresis, dan murah. Kekurangannya adalah tidak dapat
bertahan di intravaskular, dibutuhkan dalam jumlah besar, meningkatkan resiko
hipotermia, menurunkan tekanan onkotik plasma, dan menyebabkan edema jaringan.(22,23)

Koloid

Adalah cairan isotonik dengan molekul besar yang dapat tinggal di intravaskular
hingga dimetabolisme. Pada kondisi normal, koloid akan bertahan di intravaskular.
Sedangkan cedera pada pasien trauma yang menyebabkan peningkatan permeabilitas
kapiler akan menyebabkan bocornya koloid ke ekstravaskular. Koloid yang tertimbun di
rongga interstisial akan diserap oleh sistem limfatik atau akan meningkatkan tekanan
onkotik intertisial yang akan menarik cairan dari intravaskular. Ditambah dengan
penyerapan koloid yang lebih lambat daripada kristaloid di rongga interstisial, makin
meningkatkan edema interstisial.

Velanovich (1989) pada penelitiannya yang membandingkan resusitasi kristaloid


dan koloid pada pasien trauma dan non-trauma, didapatkan mortalitas lebih rendah pada
pasien trauma yang di-resusitasi dengan kristaloid, dan pasien non-trauma yang di-
resusitasi menggunakan koloid. (29) Dikatakan bahwa pada pasien yang menjalani operasi
elektif, kebocoran kapiler hanya terjadi pada surgical site, sehingga koloid lebih efektif
dalam meningkatan volume intravaskular.(18)

Kelebihan koloid adalah efektif meningkatkan volume intravaskular, kebutuhan


cairan lebih sedikit, mempertahankan tekanan onkotik plasma, dan menurunkan resiko
edema jaringan. Kekurangannya adalah adanya resiko anafilaktik, gangguan hemostasis,
dan mahal.

Koloid bisa berupa derivat protein plasma (albumin 5%, human plasma protein
fraction), atau plasma substitute (gelatin, dekstran, hydroxyethyl starch).

Gelatin diperoleh dari proses hidrolisa alkalin kolagen bovine. Berat molekulnya
30-35.000 dalton, dengan T½ 2-4 jam dalam sirkulasi sebelum di filtrasi oleh glomerulus

14  
 
ginjal dan dimetabolisme di hepar. Kalsium dalam gelatin menyebabkan penggumpalan
eritrosit bila diberikan bersama dengan darah.

Dekstran adalah suatu polisakarida yang di produksi dalam berbagai macam berat
molekul. Contoh dekstran-70 (berat molekul 70.000 dalton), memiliki T½ 6 jam di
intravaskular. Dextran mengganggu proses cross-matching, sehingga penggunaannya
terbatas pada resusitasi pasien trauma.

Hetastarch (6% starch dalam salin isotonik) dengan berat molekul 450.000 dalton
dapat bertahan di intravaskular lebih dari 24 jam. Pentastarch tersedia dalam persentase
6% dan 10%, memiliki berat molekul 250.000 dalton. Gelatin dan starch dikatakan
memiliki resiko alergi lebih rendah dibandingkan dekstran.(22,23)

Hypertonic Saline (HTS)

HTS tersedia dalam konsentrasi 1.8%, 3%, 5%, 7.5%, dan 10% larutan NaCl.
Osmolalitasnya yang lebih tinggi dibandingkan cairan intrasel, menyebabkan Na+ dan Cl–
tetap tinggal di intravaskular dan menarik cairan dari intrasel ke interstisial dan
intravaskular. Sehingga HTS akan meningkatkan volume intravaskular lebih tinggi
dibandingkan kristaloid bila diberikan dalam jumlah volume yang sama.

Kelebihan HTS adalah efektif meningkatkan volume intravaskular, meningkatkan


aliran darah ke mikrosirkulasi, mengurangi edema endotel, dan menurunkan tekanan
intrakranial melalui efek osmotik. HSD baik digunakan pada pasien dengan cedera
kepala, namun penelitiannya masih terbatas. Kekurangan HTS adalah defek neurologis
karena hipernatremia.(18)

HTS 7.5% efektif sebagai volume expander, dan meningkat efektifitasnya bila
diberikan dengan dekstran-70 yang memiliki efek hidrofilik. Pada pasien dewasa
pemberian 250 mL (4 mL/kgBB) hypertonic saline dextran (HSD) mencapai respon
hemodinamik setara dengan pemberian 3000 mL NS.

Darah

Diberikan bila perdarahan mencapai 30-40% EBV, untuk mempertahankan


oxygen-carrying capacity. Pemberian darah golongan O rhesus negatif diperbolehkan
pada kasus emergensi, tanpa menunggu cross-match. Darah dihangatkan untuk mencegah
hipotermia, dikatakan 500 mL darah dengan suhu 40C menurunkan suhu tubuh 0.50C(10).

15  
 
Koagulopati merupakan komplikasi yang sering muncul pada syok hemoragis,
sehingga memerlukan pemberian komponen darah (TC dan FFP). Faktor pencetusnya
antara lain transfusi masif, hipotermia, hemodilusi, syok, cedera jaringan karena trauma,
dan pada pasien cedera kepala. Faringer et al (1993) melaporkan angka koagulopati
mencapai 40% pada pasien trauma saat awal tiba di rumah sakit.(30)

End Points of Resuscitation in the Trauma Patient(8,24-26)

Tujuan resusitasi adalah mengembalikan perfusi jaringan, fungsi sel, dan


mencegah kerusakan organ. Resusitasi tercapai apabila metabolisme sel secara aerobik,
asidosis terkoreksi, dan oxygen debt terpenuhi. Penilaian keberhasilan resusitasi dinilai
secara sistemik dan regional. Parameter sistemik berupa DO2, SvO2 (mixed venous
oxygen saturation), defisit basa, dan kadar laktat. SvO2 menggambarkan kecukupan DO2
untuk jaringan, penggunaan kedua parameter ini masih terbatas penelitiannya pada pasien
trauma. Dan parameter yang paling prediktif adalah penurunan kadar laktat.(8) Parameter
regional berupa pHi, pO2 dan pCO2 jaringan yang diukur dengan near infrared
spectroscopy.(27)

Waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan perfusi jaringan merupakan


penentu survival pada syok hemoragis, karena hipoperfusi jaringan yang berkelanjutan
mengakibatkan oxygen-debt meningkat, dan semakin besar pula resiko MODS.

16  
 
Daftar Pustaka

1. Aldemir M, Tacyildiz I, Girgin S. Predicting Factors for Mortality in the Penetrating


Abdominal Trauma. Acta Chir Belg 104:429-34, 2004.
2. Boldt J. Fluid Choice for Resuscitation in Trauma. International Trauma Care (ITACCS)
18(1):57–65, 2008.
3. Deakin CD. Resuscitation of the Patient with Major Trauma. In: Colquhoun MC, Handley
AJ, Evans TR. ABC of Resuscitation 5th ed. London: BMJ Publishing Group; 2004.
pg.63–71.
4. http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&id_subyek=17&notab=14
5. Sauaia A, et al. Epidemiology of Trauma Deaths: A Reassessment. J Trauma
Feb;38(2):185-93, 1995.
6. Revell M, Porter K, Greaves I. Fluid Resuscitation in Prehospital Trauma Care: A
Consensus View. Emerg Med J 19:494–8, 2002.
7. Guyton AC, Hall JE. Circulatory Shock and Physiology of Its Treatment. In: Guyton AC,
Hall JE. Textbook of Medical Physiology 11th ed. Elsevier 2006;pg.278-88.
8. Harbrecht BG, Forsythe RM, Peitzman AB. Management of Shock. In: Feliciano DV,
Mattox KL, Moore EE. Trauma 6th ed. McGraw-Hill; 2008. pg.214–34.
9. American Coll of Surg. Shock. In: Advanced Trauma Life Support 7th ed. Jakarta:
IKABI; 2004. pg.73–92.
10. McCluskey A. Shock. In: Colquhoun MC, Handley AJ, Evans TR. ABC of Resuscitation
5th ed. BMJ Books: 2004. pg.78–105.
11. Miller TE. New Evidence in Trauma Resuscitation – is 1:1:1 the Answer? Perioperative
Medicine 2(13):1–7, 2013.
12. http://www.cardiac-ecc.com/html/cardiovascular_reflexes.html
13. Holcomb JB. Fluid Resuscitation in Modern Combat Casualty Care: Lessons Learned
from Somalia. J Trauma 54:S46–51, 2003. doi:10.1097/01.TA.0000051936.91915.A2.
14. Durusu M, Eryilmaz M, Öztürk G, Mentes Ö, Özer T, Deniz T. Comparison of
Permissive Hypotensive Resuscitation, Low-Volume Fluid Resuscitation, and Aggressive
Resuscitation Therapy Approaches in an Experimental Uncontrolled Hemorrhagic Shock
Model. Ulus Travma Acil Cerrahi Derg 16(3):191–197, 2010.
15. Diez C, Varon AJ. Airway Management and Initial Resuscitation of the Trauma Patient.
Current Opinion in Critical Care 15:542–7, 2009.

17  
 
16. Jackson K, Nolan J. The Role of Hypotensive Resuscitation in the Management of
Trauma. J Intensive Care Society 10(2):109–14, 2009.
17. Alam HB. An Update on Fluid Resuscitation. Scandinavian J Surg 95:136–45, 2006.
18. Crosby E. Current Issues in Fluid Resuscitation Following Trauma.
http://www.anesthesia.org/winterlude/wl95/wl95_2.html.
19. Alam HB, Rhee P. New Developments in Fluid Resuscitation. Surg Clin N Am 87:55–72,
2007. doi:10.1016/j.suc.2006.09.015.
20. Cotton BA, Jerome R, Collier BR, Khetarpal S, Holevar M, Tucker B, et al. Guidelines
for Prehospital Fluid Resuscitation in the Injured Patient. J Trauma 67(2):389–402, 2009.
doi:10.1097/TA.0b013e3181a8b26f.
21. Schott C. Fluid Resuscitation: 0.9% Normal Saline vs Lactated Ringer’s vs Albumin.
EVMS, J Club Review 25, 2010.
22. Perel P, Roberts I, Pearson M. Colloids versus Crystalloids for Fluid Resuscitation in
Critically Ill Patients (Review). Cochrane Database of Systematic Reviews 4, 2007.
doi:10.1002/14651858.CD000567.pub3.
23. Rizoli SB. Crystalloids and Colloids in Trauma Resuscitation: A Brief Overview of the
Current Debate. J Trauma 54:S82–8, 2003.
24. Crookes BA, Cohn SM, Block S, et al. Can Near-Infrared Spectroscopy Identify the
Severity of Shock in Trauma Patients? J Trauma 58:806, 2005.
25. Sturgess DJ, Morgan TJ. Haemodynamic Monitoring. In: Bersten AD, Soni N. Oh’s
Intensive Care Manual 6th ed. China: Elsevier; 2009. pg.105–122.
26. Tisherman SA et al. Clinical Practice Guideline: Endpoints of Resuscitation. J Trauma
57:898–912, 2004. doi: 10.1097/01.TA.0000133577.25793.E5.
27. McKinley BA, Marvin RG, Cocanour CS, et al. Tissue Hemoglobin O2 Saturation during
Resuscitation of Traumatic Shock Monitored using Near-Infrared Spectroscopy. J
Trauma 48:637, 2000.
28. Stone HH, Strom PR, Mullins RJ. Management of the Major Coagulopathy with Onset
During Laparotomy. Ann Surg 197:532, 1983.
29. Velanovich V. Crystalloid versus Colloid Fluid Resuscitation: A Meta-Analysis of
Mortality. Surg 105:65-71, 1989.
30. Faringer PD, Mullins RJ, Johnson RL, Trunkey DD. Blood Component Supplementation
during Massive Transfusion of AS-1 Red Cells in Trauma Patients. J Trauma 34:481-7,
1993.

18  
 

Anda mungkin juga menyukai