Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS DAN REFERAT

GIGITAN ULAR BERBISA

Disusun oleh:
Muhammad Reza M (1102016136)
Pembimbing:
Dr. dr. Rika Bur, Sp.PD-KPTI, FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK  RS YARSI


STASE ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 25 APRIL – 25 JUNI 2022

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dan referat yang berjudul “ Gigitan Ular Berbisa ”.
Laporan kasus dan Referat ini disusun untuk memenuhi syarat mengikuti ujian kepaniteraan klinik di
bagian Ilmu.
Penyusunan referat dan kasus ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak.
Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. dr. Rika Bur, Sp.PD-KPTI atas
bimbingnnya selama penulis menyelesaikan referat ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada teman sejawat atas dukungan yang telah diberikan.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan materi penulisan dan menambah
wawasan penulis.
Semoga tinjauan pustaka ini dapat berguna bagi kita semua, khususnya pembaca dan rekan-
rekan sejawat.

Jakarta, 13 Juni 2022

2
BAB I
LAPORAN KASUS

I. 1 IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Tn. AR
Usia : 29 tahun
Tanggal Lahir : 14 Juni 1990
No. Rekam Medis : 6523xx
Agama : Islam
Alamat : Jakarata
Tanggal Masuk : 10 juni 2020, jam 19.22 WIB

I.2 ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Nyeri pada kaki kiri sejak 6,5 jam yang lalu.

b. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RS Yarsi dengan keluhan nyeri pada kaki kiri setelah
digigit ular sejak 6,5 jam yang lalu sepulang dari sawah. Pasien tidak
mengetahui secara pasti jenis ular apa, namun disebutkan ciri-ciri ular
berwarna kuning, dengan panjang ± 30 cm dan kepala berbentuk lancip,
kecil. Pasien mengaku digigit ular sebanyak 1 kali. Tidak lama setelah
digigit ular, timbul rasa nyeri yang hebat disertai rasa panas, kemerahan,
bengkak dan terasa tebal pada daerah sekitar luka gigitan ular.
Keluhan juga disertai mual, muntah sebanyak 4 kali dan pusing
sempoyongan seperti tidak seimbang. Keluhan lain seperti gangguan
penglihatan, gejala kardiovaskular (berdebar-debar, hipotensi), gejala pada
sistem pernapasan (sulit bernapas), dan gejala lain seperti demam,
kelemahan otot, serta hipersalivasi, disangkal oleh pasien. Buang air besar
dan buang air kecil tidak ada keluhan (tidak mengeluarkan darah).

3
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pasien tidak didapatkan riwayat asma, alergi obat, alergi makanan,
kejang, perdarahan yang sukar berhenti dan tidak ada riwayat biru-biru pada
tubuh pasien. Pasien belum pernah digigit binatang berbisa dan belum
pernah mendapat antiracun sebelumnya.

d. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluhan yang sama seperti pasien disangkal. Riwayat hipertensi (-),
penyakit jantung (-), diabetes melitus (-), asma (-), alergi (-), gangguan
pembekuan darah (-), gangguan kelainan darah (-).

I.3 PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan umum : Sakit sedang, kesadaran compos mentis (GCS 15)
Tekanan Darah : 137/83 mmHg
Frekuensi Nadi : 84 x/menit
Frekuensi Napas : 20 x/menit
Suhu : 36,8°C
Saturasi Oksigen : 99%
Status Gizi : BB 68 kg, TB 170 cm, IMT 23,5 (Normoweight)

A. STATUS GENERALIS
Kepala
Mata : Pupil isokor Ø 3mm/3mm, refleks cahaya (+/+), konjungtiva
pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
THT : Tidak ada tanda perdarahan
Leher : Peningkatan JVP -, pembesaran KGB -/-, pembesaran tiroid (-)
Thoraks
Inspeksi : Simetris (+/+), retraksi intercostal -/-, ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Vokal fremitus simetris kanan = kiri
Perkusi : Sonor (+/+), batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-), S1/S2 reguler,
murmur (-), gallop (-)

4
Abdomen
Inspeksi : Datar, tidak tampak massa tumor
Auskultasi : Peristaltik (+), kesan bising usus dalam batas normal
Palpasi : Soefl, massa tumor (-), nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani
Ekstremitas
Superior
Look : Deformitas -/-, edema -/-, sianosis -/-
Feel : Nyeri tekan -/-, krepitasi -/-, turgor kulit baik +/+, CRT <2s +/+
Move : Gerak aktif dan pasif tidak terhambat +/+
Inferior
Look : Deformitas -/-, edema -/+, sianosis -/-
Feel : Nyeri tekan -/+, krepitasi -/-, turgor kulit baik +/+, CRT <2s +/+
Move : Gerak aktif dan pasif terhambat -/+

B. STATUS LOKALIS
At regio cruris sinistra
Look : Tampak fang marks (+), hiperemis (+), slightly edema (+),
ekimosis (-), kehitaman (-), bullae (-)
Feel : Nyeri tekan (+) (VAS 3), akral hangat (+), CRT <2”, sensorik <<
Pembesaran pada kelenjar getah bening setempat (-)

II.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium Darah
Waktu pemeriksaan : 15 Januari 2020
Tempat pemeriksaan : RSUD Dr. Moh. Saleh Kota Probolinggo

Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Pasien


Hematologi Hasil Nilai rujukan
Hemoglobin 16,8 13 – 18 g/dL
Leukosit 18.830 (H) 4.000 – 11.000/µL
Trombosit 332.000 150.000 – 450.000 /µL

5
Kimia Darah
BUN 10,7 10 – 20 mg/dL
Creatinin 0,9 0,5 – 1,7 mg/dL
GDS 113
SGOT 37 (H) < 31 U/l
SGPT 30 < 31 U/l
Faal Hemostatis
APTT 30,5 35 – 45 detik
PT 12,6 10 – 15 detik

II.5 DIAGNOSIS
Vulnus morsum serpentum et causa Snake bite grade 2 at regio cruris sinistra.

II.6 PLANNING
a. Non medikamentosa
1. Observasi keadaan umum dan tanda vital
2. Bersihkan bagian yang terluka dengan cairan fisiologis
a) Untuk mengidentifikasi bekas gigitan yang disebabkan ular berbisa
atau bukan
b) Untuk mengurangi infeksi sekunder dan iritatif dari bisa ular
3. Imobilisasi luka untuk memperlambat penyebaran bisa ular

b. Medikamentosa
1. IVFD RL 14 tpm
2. Drip serum anti bisa ular (SABU) 1 fls dalam PZ 100cc (15menit)
3. Inj Tetagram 1 x 250 IU
4. Inj Ceftriakson 2 x 1 gram
5. Inj Pantoprazol 2 x 40mg
6. Inj Ketorolac 3 x 30mg
7. Inj Methylprednisolone 125mg

6
I.7 PROGNOSIS
a. Quo ad vitam : ad bonam
b. Quo ad Funcionam : ad bonam
c. Quo ad sanationam : dubia ad bonam

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 DEFINISI
Ular merupakan jenis hewan melata yang banyak terdapat di Indonesia.
Spesies ular dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak berbisa. Ular berbisa
memiliki sepasang taring pada bagian rahang atas. Pada taring tersebut terdapat
saluran bisa untuk menginjeksikan bisa ke dalam tubuh mangsanya secara
subkutan atau intramuskular.
Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan
mangsa dan sekaligus berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa ular terdiri atas
20 atau lebih komponen terutama protein (90%), yang memiliki aktivitas
enzimatik, mempunyai efek fisiologik yang luas atau bervariasi dan
mempengaruhi sistem multiorgan, terutama sistem neurologik, kardiovaskuler dan
sistem pernapasan. Bisa tersebut merupakan ludah yang termodifikasi, dihasilkan
oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu
modifikasi kelenjar ludah parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi kepala
di belakang mata.
Gigitan ular merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering terjadi di
negara tropis dan subtropis. Pada tahun 2009, World Health Organization (WHO)
memasukkan gigitan ular dalam daftar neglected tropical disease dan sampai
sekarang tetap sebagai masalah kesehatan masyarakat global.1,2

II.2 EPIDEMIOLOGI
Diperkirakan setidaknya 421.000 kasus envenomasi (injeksi bisa terhadap
korban melalui sengatan/ gigitan oleh hewan berbisa) dan 20.000 kematian timbul
setiap tahunnya di seluruh dunia akibat gigitan ular. Sebagian besar perkiraan
kejadian gigitan ular dijumpai di Asia Selatan dan Asia Tenggara, Sub-Sahara
Afrika, Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Kasus gigitan ular yang bervariasi
secara geografik dan musiman, terutama pada daerah pedesaan tropikal dimana
pelaporan dan pendataan masih kurang. Masalah mendasar yang dijumpai pada

8
kebanyakan adalah pengobatan gigitan ular masih menganut paham tradisional dan
herbal, maka sebagian besar korban gigitan ular tidak tercatat pada rumah sakit.3,4

Gambar 1. Perkiraan envenomasi gigitan ular pada 2007 berdasarkan regional3

Gambar 2. Perkiraan kematian akibat gigitan ular berdasarkan regional3

Untuk negara-negara di Asia Tenggara, WHO memberikan perhatian-


perhatian khusus yang didefinisikan sebagai berikut:

9
a. Kategori 1: Kepentingan medis tertinggi
Ular yang sangat berbisa, sering atau tersebar luas dan menyebabkan banyak
kasus gigitan, menimbulkan tingginya tingkat morbiditas, disabilitas, dan
mortalitas.
b. Kategori 2: Kepentingan medis sekunder
Ular yang sangat berbisa, dapat menyebabkan morbiditas, disabilitas, atau
mortalitas, tetapi (1) kekurangan data epidemiologis dan klinis yang pasti
atau
(2) lebih jarang berpengaruh karena sifat alamiahnya, pilihan habitat atau
dijumpai pada area yang jauh dari populasi besar manusia.4
Beberapa jenis ular berdasarkan kategori WHO yang dapat dijumpai di
Indonesia.4
a. Daerah Sumatera, Jawa, Borneo, Sulawesi dan sebagian pulau-pulau Sunda
tetapi terletak di barat garis Wallace :
Kategori 1 - Elapidae : Bungarus candidus (Sumatera dan Jawa), Naja
sputatrix (Jawa dan sebagian pulau-pulau Sunda), Naja
sumatrana (Sumatera dan Borneo).
- Viperidae: Calloselasma
Kategori 2 - Elapidae : Bungarus fasciatus, Bungarus flaviceps (Sumatera
dan Borneo), Calliophis bivirgatus, Ophiophagus Hannah
(Sumatera, Borneo dan Jawa).
- Viperidae: Cryptelytrops insularis, Cryptelytrops
purpureomaculatus (Sumatera).

b. Daerah timur garis Wallace seperti Papua Barat dan Maluku :


Kategori 1 - Elapidae: Acanthophis laevis
Kategori 2 - Elapidae: Acanthophis rugosus, Micropechis ikaheka,
Oxyuranus scutellatus,

Mayoritas penduduk Indonesia bekerja dibidang pertanian dianggap sebagai


populasi berisiko tinggi untuk terkena gigitan ular.2 Di Indonesia tidak ada laporan
epidemiologi nasional yang tersedia, disebabkan oleh sistem pelaporan yang
kurang akurat.5 Data epidemiologi kasus gigitan ular hanya dari laporan rumah
sakit. Hanya ada 42 kasus gigitan ular yang diobati pada antara tahun 2004 dan
2009.2 Wanita
10
lebih jarang digigit ular dibandingkan pria, kecuali pekerjaan didominasi oleh
wanita. Anak-anak dan dewasa muda merupakan puncak usia yang sering digigit
ular.6,7

II.3 JENIS ULAR


Gigitan ular berbahaya jika ularnya tergolong jenis berbisa. Efek toksik bisa
ular pada saat menggigit mangsanya tergantung pada spesies, ukuran ular, jenis
kelamin, usia, dan efisiensi mekanik gigitan (apakah hanya satu atau kedua taring
menusuk kulit), serta banyaknya serangan yang terjadi. Sebenarnya dari kira – kira
ratusan jenis ular yang diketahui hanya sedikit sekali yang berbisa, dan dari
golongan ini hanya beberapa yang berbahaya bagi manusia. Berdasarkan
morfologi gigi taringnya, ular berbisa dapat diklasifikasikan ke dalam 4 familli
utama yaitu:
a. Famili Elapidae memiliki taring pendek dan tegak permanen didepan
(proteroglyph), bersifat sangat neurotoksik. Contohnya adalah ular cabai
(Maticora intestinalis), ular weling (Bungarus candidus), ular sendok (Naja
sumatrana), dan ular king kobra (Ophiophagus hannah). Elapidae secara
relatif merupakan ular yang cukup panjang, kurus, memiliki warna seragam
dengan sisik simetrikal besar halus pada puncak kepala. Beberapa kobra,
meninggikan bagian depan tubuhnya dari tanah dan melebar dan merata dari
leher untuk membentuk kerudung. Beberapa spesies kobra dapat
meludahkan bisanya hingga 1 meter atau lebih terhadap mata korbannya.
b. Familli Viperidae memiliki taring yang panjang (solenogyph) yang secara
normal menempel pada rahang atas, tapi jika ular menggigit, taring tersebut
akan berdiri tegak. Jenis ini dibagi menjadi dua yaitu Viperinae dan
Crotalinae. Viperidae merupakan ular yang relatif pendek, bertubuh tebal
dengan banyak sisik kasar pada puncak kepala dan pola warna yang khas
pada permukaan dorsal tubuh. Crotalinae memiliki organ untuk mendeteksi
mangsa berdarah panas (pit organ), yang terletak di antara lubang hidung
dan mata. Contohnya adalah ular bandotan (Vipera russelli), ular tanah
(Calloselasma rhodostoma), dan ular bangkai laut (Trimeresurus
albolabris).

11
Bisa ular famili ini bersifat sitolitik yang menyebabkan nekrosis jaringan,
kebocoran vaskular dan terjadi koagulopati. Komponen dari bisa ular jenis
ini mempunyai dampak hampir pada semua sistem organ.
c. Familli Hydrophidae, misalnya ular laut, memiliki ekor yang lebar seperti
padel dan skala ventral mengecil atau hilang. Bersifat sangat neurotoksik,
dan mempunyai dampak memblok neurotransmiter pada neuromuscular
junction. Aliran dari bisa ular di dalam tubuh, tergantung dari dalamnya
taring ular tersebut masuk ke dalam jaringan tubuh.
d. Familli Colubridae, umumnya bisa yang dihasilkannya bersifat lemah dan
ular berbisa kebanyakan termasuk dalam famili ini. Contohnya adalah ular
sapi (Zaocys carinatus), ular tali (Dendrelaphis pictus), ular tikus atau ular
jali (Ptyas korros), dan ular serasah (Sibynophis geminatus). Dua spesies
penting yang telah diidentifikasi pada regional Asia Tenggara adalah
Rhabdophis subminiatus berleher merah dan Rhabdophis triginus. Piton
besar (Boidae), merupakan Python reticularis di Indonesia, pernah
dilaporkan menyerang dan menelan manusia, yang biasanya petani.4,6,8

Tabel 3. Ular berbisa yang biasa dijumpai di dunia8

Untuk menduga jenis ular yang mengigit adalah ular berbisa atau tidak dapat
dipakai rambu – rambu bertolak dari bentuk kepala ular dan luka bekas gigitan
sebagai berikut:

12
a. Ciri – ciri ular tidak berbisa:
1. Bentuk kepala segi empat panjang
2. Gigi taring kecil
3. Bekas gigitan, luka halus berbentuk lengkung
b. Ciri – ciri ular berbisa:
1. Kepala segi tiga
2. Dua gigi taring besar di rahang atas
3. Dua luka gigitan utama akibat gigi taring
4. Pupil elips

Gambar 3. Bekas gigitan ular (A) Tidak berbisa, (B) Ular berbisa dengan taring dibelakang,
(C) Ular berbisa dengan taring didepan, (D) Ular berbisa dengan taring didepan agak kesamping

Gambar 4. Ciri ular tidak berbisa dan ular berbisa

Jenis ular berbisa berdasarkan dampak yang ditimbulkannya yang banyak


dijumpai di Indonesia adalah jenis ular :

13
a. Hematotoksik, seperti Trimeresurus albolais (ular hijau), Ankistrodon
rhodostoma(ular tanah), aktivitas hemoragik pada bisa ular Viperidae
menyebabkan perdarahan spontan dan kerusakan endotel (racun
prokoagulan memicu kaskade pembekuan)
b. Neurotoksik, Bungarus fasciatus (ular welang), Naya Sputatrix (ular
sendok), ular kobra, ular laut.
Neurotoksin pascasinaps seperti α-bungarotoxin dan cobrotoxin terikat pada
reseptor asetilkolin pada motor end-plate sedangkan neurotoxin prasinaps
seperti β-bungarotoxin, crotoxin, taipoxin dan notexin merupakan
fosfolipase-A2 yang mencegah pelepasan asetilkolin pada neuromuscular
junction.9

II.4 PATOFISIOLOGI
Bisa diproduksi dan disimpan pada sepasang kelenjar di bawah mata. Bisa
ini disimpan di bawah gigi taring pada rahang atas. Rahang dapat bertambah
sampai 20 mm pada ular berbisa yang besar. Dosis racun pergigitan bergantung
pada waktu yang yang terlewati setelah gigitan yang terakhir, derajat ancaman dan
ukuran mangsa. Respon lubang hidung untuk pancaran panas dari mangsa
memungkinkan ular untuk mengubah-ubah jumlah racun yang dikeluarkan.
Sedangkan, jumlah bisa, efek letal dan komposisinya bervariasi tergantung dari
spesies dan usia ular. Bisa ular bersifat stabil dan resisten terhadap perubahan
temperatur.6,8
Komposisi bisa ular 90% terdiri dari protein. Masing-masing bisa memiliki
lebih dari ratusan protein berbeda: enzim, toksin polipeptida non-enzimatik, dan
protein non-toksik, seperti faktor pertumbuhan saraf. Protein enzim pada racun
mempunyai sifat merusak, kerusakan pada sel-sel endotel dinding pembuluh
darah, sehingga menyebabkan kerusakan membran plasma. Komponen peptida
bisa ular dapat berikatan dengan reseptor-reseptor yang ada pada tubuh korban.
Protease, kolagenase dan L-arginine esterase telah teridentifikasi pada racun ular
berbisa. Bradikinin, serotonin dan histamin adalah sebagian hasil reaksi yang
terjadi akibat bisa ular. Diketahui beberapa enzim diantaranya adalah:
a. Hyaluronidase, bagian dari racun dimana merusak jaringan ikat dengan
menghancurkan mukopolisakarida.

14
b. Phospholipase A2 (lechitinase), memainkan peran penting yaitu merusak
mitokondria, hemolisis sekunder untuk efek eritrolisis pada membran sel
darah merah, leukosit dan trombosit, menyebabkan nekrosis otot,
menyebabkan pelepasan histamin dan antikoagulan.
c. Enzim trombogenik menyebabkan pembentukan klot fibrin, yang akan
mengaktivasi plasmin dan menghasilkan koagulopati yang merupakan
konsekuensi hemoragik.
d. L-arginine esterase menyebabkan pelepasan bradikinin, sehingga
menimbulkan rasa nyeri, hipotensi, mual dan muntah serta seringkali
menimbulkan keluarnya keringat yang banyak setelah terjadi gigitan.4,6,10

Tabel 4. Protein pada bisa ular yang mempengaruhi sistem hemostasis11

Beberapa korban yang digigit oleh ular dapat mengalami simptom dan
gejala yang khas. Hal ini diakibatkan dari ketakutan yang tidak dipahami dari
konsekuensi gigitan ular berbisa. Korban cemas dapat hiperventilasi, sehingga
mengalami sensasi kebas dan ditusuk-tusuk pada ekstremitas, spasme tangan
dan kaki, dan

15
pusing. Korban lainnya dapat mengalami syok vasovagal setelah gigitan, dengan
kolaps disertai penurunan denyut jantung yang berat. Tampilan klinis korban
gigitan ular bervariasi sesuai umur dan ukuran tubuh, spesies ular, jumlah dan
lokasi gigitan, serta kuantitas dan toksisitas bisa. Morbiditas dan mortalitas
bergantung pada umur dan ukuran tubuh korban, disertai kondisi komorbiditas.12

Tabel 5. Faktor yang mempengaruhi keparahan dan hasil akhir gigitan ular12
Faktor Efeknya terhadap hasil akhir
Semakin besar ukuran, hasil akhir semakin baik karena jumlah
Ukuran tubuh korban
toksin yang lebih sedikit per kg berat badan.
Komorbiditas Predisposisi terhadap efek membahayakan bisa ular.
Gigitan pada tubuh, wajah, dan secara langsung ke aliran darah
Lokasi gigitan
memiliki prognosis buruk.
Latihan fisik setelah gigitan ular memiliki hasil akhir buruk
Latihan fisik
karena peningkatan absorpsi sistemik toksin.
Sensitivitas individual terhadap bisa mempengaruhi gambaran
Sensitivitas individual
klinis.
Jumlah; kedalaman; “gigitan kering”; gigitan melalui pakaian,
sepatu, atau perlindungan lain; jumlah bisa yang diinjeksi;
Karakteristik gigitan
kondisi gigi taring; dan durasi ular melekat pada korban
mempengaruhi hasil akhir.
Spesies yang berbeda memiliki dosis, periode mematikan dan
Spesies ular
agresifitas berbeda.
Infeksi sekunder Ada atau tidaknya organisme patogenik pada mulut ular.
Adanya bantuan dasar diberikan dan waktu yang berlalu
Pengobatan
sebelum dosis pertama antivenom.

II.5 MANIFESTASI KLINIS


Diagnosis gigitan ular berbisa tergantung pada keadaan bekas gigitan atau
luka yang terjadi dan memberikan gejala lokal dan sistemik sebagai berikut:
a. Gejala lokal, yaitu nyeri tekan pada luka gigitan, perdarahan lokal, edema,
eritema, rasa panas, ptekie, ekimosis, bula (dalam 30 menit – 24 jam)
b. Gejala sistemik, yaitu hipotensi, kelemahan otot, berkeringat, mengigil,
mual, muntah, hipersalivasi, nyeri kepala, nyeri perut dan pandangan kabur

16
c. Gejala khusus gigitan ular berbisa :
1. Hematotoksik: perdarahan di tempat gigitan, biasanya dapat terjadi di
organ paru dengan gejala hemoptoe, jantung, ginjal, peritoneum, otak,
gusi, dapat terjadi hematemesis dan melena, pada perdarahan kulit terjadi
petekie dan ekimosis, hematuri, koagulasi intravaskular diseminata
(KID).
2. Neurotoksik: hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernapasan, ptosis
oftalmoplegi, paralisis otot laring, reflek abdominal, kejang dan koma.
3. Kardiotoksik: hipotensi, koma, henti jantung.
4. Sindrom kompartemen: edema tungkai dengan tanda – tanda 5P (pain,
pallor, paresthesia, paralysis pulselesness).13

Tabel 6. Klasifikasi snake bite berdasarkan Schwartz14


Luka
Derajat Venerasi gigitan Nyeri Edema/eritema Tanda sistemik

0 - + +/- < 3 cm/ 12 jam -

3 – 12 cm/
I +/- + + -
12 jam
Neurotoksik, mual,
> 12 – 25 cm/
II + + +++ pusing, tanda dan
12 jam
gejala syok
Gejala derajat II +
> 25 cm/ 12 syok dan perdarahan
III ++ + +++
jam pada kulit (ptekia,
ekimosis)
Gejala derajat III +
gangguan fungsi
IV +++ + +++ > extremitas
ginjal, perdarahan
s/d
koma

17
Tabel 7. Klasifikasi snake bite berdasarkan jenis ular15,16
Famili Crotalide Famili Elapidae

II.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah
a. Pemeriksaan darah: pemeriksaan darah rutin, renal function test, liver
function test, elektrolit, waktu perdarahan dan pembekuan darah, waktu
protombin, fibrinogen, APTT, D-dimer, golongan darah dan uji cocok
silang. Pemeriksaan laboratorium biasanya menunjukkan peningkatan
hemoglobin atau hematokrit yang
mengindikasikan hemokonsentrasi diakibatkan peningkatan
permeabilitas kapiler (seperti pada gigitan viper Russell), sedangkan
penurunannya akan mengindikasikan kehilangan darah yang diakibatkan
hemolisis intravascular.4,12
Kemudian dapat terjadi peningkatan jumlah leukosit neutrofil, limfopenia,
sebagai penanda envenomasi sistemik dari spesies ular. Koagulopati dengan
PT dan PTT memanjang, serta penurunan jumlah fibrinogen. Kadar
kreatinin kinase serum normal pada hari pertama dan kedua setelah
perawatan.

18
Mioglobin plasma dan kadar kreatinin mempunyai korelasi yang kuat,
karena kadarnya akan meningkat bila dijumpai kerusakan otot lokal yang
berat.4,17
b. Pemeriksaan urinalisis
Pada pemeriksaan urinalisis dapat terjadi proteinuria (83%), serta hematuria
mikroskopik (50,9%). Hemoglobinuria dan mioglobinuria umumnya dapat
dideteksi dan dapat terjadi leukosituria (56,4%).17
c. Elektroensefalogram
Hasil EEG abnormal ditemukan pada 96% dan berhubungan dengan ukuran
ular, tetapi tidak berhubungan dengan derajat beratnya penyakit di lokasi
gigitan, adanya manifestasi neurologis atau keadaan gagal ginjal. Perubahan
EEG segera terjadi setelah gigitan dan akan kembali normal dalam 1-2
minggu.18
d. Elektrokardiogram
Pada pemeriksaan EKG, umumnya terjadi kelainan seperti bradikardia dan
inversi septal gelombang T. Hasil EKG yang abnormal termasuk tanda-
tanda utama gejala gigitan ular berbisa, selain perdarahan, koagulopati dan
paralisis.17
Diagnosis definitif gigitan ular berbisa ditegakkan berdasarkan identifikasi
ular yang menggigit dan adanya manifestasi klinis. Ular yang menggigit
sebaiknya dibawa dalam keadaan hidup atau mati, baik sebagian atau seluruh
tubuh ular. Perlu juga dibedakan apakah gigitan berasal dari ular yang tidak
berbisa atau binatang lain, dari pemeriksaan fisik pada luka gigitan yang
ditinggalkan. Bila tidak dapat mengidentifikasi ular yang menggigit, manifetasi
klinis menjadi hal yang utama dalam menegakkan diagnosis.8

II.7 PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan pada kasus gigitan ular berbisa adalah:
a. Menghalangi/ memperlambat absorbsi bisa ular
b. Menetralkan bisa ular yang sudah masuk kedalam sirkulasi darah
c. Mengatasi efek lokal dan sistemik
Tindakan penatalaksanaan yang dilakukan:
a. Pertolongan pertama

19
Tujuan pertolongan pertama :
1. Penghambatan penyerapan sistemik bisa ular,
2. Pencegahan komplikasi sebelum pasien mendapatkan perawatan medis
(di fasilitas kesehatan lanjut),
3. Kontrol awal gejala berbahaya dan keracunan,
4. Persiapan transportasi untuk mendapatkan pertolongan medis
Pertolongan pertama yang direkomendasikan
1. Menenangkan pasien yang mungkin cemas,
2. Penderita diistirahatkan dalam posisi horizontal terhadap luka gigitan,
3. Imobilisasi daerah gigitan dengan balut bidai,
4. Pertimbangkan tekanan imobilisasi untuk beberapa gigitan Elapidae,
5. Hindari intervensi pada luka karena dapat menyebabkan infeksi,
perdarahan local, dan absorpsi bisa ular,
6. Apabila gejala timbul secara cepat, sementara belum tersedia serum anti
bisa ular (SABU), dapat dilakukan balut atau pemasangan tourniket
mengelilingi daerah gigitan, dimulai dari bagian distal sampai dengan
beberapa sentimeter di proksimal gigitan atau di proksimal
pembengkakan yang terlihat, untuk mendapatkan balutan yang kuat.
Kegiatan mengikat ini kurang berguna jika dilakukan lebih dari 30 menit
pasca gigitan. Tujuan ikatan adalah untuk menahan aliran limfe, bukan
menahan aliran vena atau arteri. Tekanan dipertahankan dalam dua jam.
Penderita diistirahatkan supaya aliran darah terpacu. Dalam 12 jam
pertama, masih ada pengaruh bila bagian yang tergigit direndam dalam
air es atau didinginkan dengan es.18
b. Assesmen klinis dan resusitasi
1. Penatalaksanaan jalan nafas dan fungsi pernafasan
Bila terjadi kelumpuhan pernapasan dilakukan intubasi, dilanjutkan
dengan memasang respirator untuk ventilasi.
2. Penatalaksanaan sirkulasi, pemasangan dua jalur intravena untuk
memasukkan cairan infus dan jalur yang lain disiapkan untuk keadaan
darurat. Berikan infus dalam cairan kristaloid.

20
3. Beri pertolongan pertama pada luka gigitan: verban ketat dan luas diatas
luka, imobilisasi dengan bidai.

Gambar 5. Imobilisasi dengan bidai

4. Ambil 5-10 mL darah untuk pemeriksaan laboratorium darah seperti:


darah rutin, PT, APTT, Ddimer, fibrinogen, renal function test, elektrolit,
CK dan myoglobin, periksa waktu pembekuan, jika >10 menit,
menunjukkan kemungkinan adanya koagulopati.
5. Eksisi dan penghisapan bisa tidak dianjurkan bila dalam 45 menit pasien
dapat sampai di rumah sakit.7
c. Terapi serum anti bisa ular (SABU)
Untuk menetralisir bisa ular, dilakukan penyuntikan SABU secara intravena
atau intraarteri yang memvaskularisasi daerah yang bersangkutan. Serum
polivalen ini dibuat dari serum kuda yang merupakan imunoglobulin yang
mengikat secara langsung dan menetralkan protein dari bisa ular.
Tiap 1mL SABU dapat menetralisir
1. 10 - 15 Lethal Dosage50 bisa ular tanah (Ankystrodon rhodostoma)
2. 25 - 50 Lethal Dosage50 bisa ular belang (Bungarus fasciatus)

21
3. 25 - 50 Lethal Dosage50 bisa ular kobra (Naja sputatrix)
Dalam keadaan darurat, tidak perlu dilakukan uji sensitivitas (infiltrasi
lokal) lebih dahulu karena bahanya bisa lebih besar dari pada bahaya syok
anafilaksis.
SABU bila terpapar pada pasien dalam jumlah besar dapat menyebabkan
reaksi hipersensitifitas tipe cepat dan tipe III. Reaksi akut berupa reaksi
anafilaktik dapat terjadi pada 20-25% pasien, bahkan dapat terjadi kematian
karena hipotensi dan bronkospasme. Reaksi tipe lambat dapat terjadi pada
50- 75% pasien dengan gejala serum sickness seperti demam, ruam yang
difus, urtikaria, artralgia, hematuria dan dapat bertahan dalam beberapa hari.
Reaksi yang paling sering terjadi adalah urtikaria, namun efek samping yang
serius jarang terjadi.7,19
Teknik pemberian SABU adalah 2 vial (1 vial= 5 mL) IV dalam 500 mL
NaCl 0,9% atau dextrose 5% dengan kecepatan 40-80 tetes/ menit.
Maksimal 100 mL (20 vial). Indikasi SABU adalah:
1. Pengobatan terhadap gigitan ular berbisa.
2. Abnormalitas pada sistem hemostatik: ditemukan perdarahan spontan,
waktu pembekuan darah memanjang dan meningkatnya FDP dan D-
Dimer, serta trombositopenia.
3. Abnormalitas pada otot jantung: seperti ditemukan hipotensi, syok,
gambaran EKG yang abnormal, dan aritimia jantung.
4. Gejala neurotoksisitas seperti paralisis dan fasikulasi
5. Rabdmiolisis umum.13

Tabel 8. Pemberian SABU berdasarkan derajat snake bite

22
Tabel 9. Pemberian SABU berdasarkan evenomasi (menurut Luck)

d. Terapi suportif
Terapi suportif lainnya pada keadaan :
1. Gangguan koagulopati berat: berikan fresh-frozen plasma
2. Perdarahan: lakukan transfusi darah atau berikan komponen darah,
fibrinogen, vitamin K, jika perlu tranfusi trombosit
3. Hipotensi: berikan infus cairan kristaloid
4. Rabdomiolisis: berikan cairan dan natrium bikarbonat
5. Monitor pembengkakan lokal dengan lilitan lengan atau anggota badan
6. Fasciotomy hanya dilakukan bila ada indikasi, yaitu edema yang makin
luas dan terjadi compartment syndrome (keadaan iskemik berat pada
tungkai yang mengalami revaskularisasi dan menimbulkan edema,
disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler dan keadaan hyperemia)

23
7. Gangguan neurologik: beri neostigmin (asetilkolinesterase), diawali
dengan sulfas atropine.
8. Nekrotomi dikerjakan bila telah tampak jelas batas kematian jaringan,
kemudian dilanjutkan dengan cangkok kulit atau skin graft.7
e. Terapi profilaksis
1. Pemberian suntikan anti-tetanus, atau bila korban pernah mendapatkan
toksoid, maka diberikan satu dosis toksoid tetanus.
2. Pemberian suntikan penisilin kristal sebanyak 2 juta unit secara
intramuskular atau antibiotika broad spectrum. Kuman terbanyak yang
dijumpai adalah Pseudomonas aerugenosa, Proteus sp., Clostridium sp.
3. Pemberian kortikosteroid (masih diperdebatkan), bertujuan untuk
mengurangi reaksi yang terjadi akibat SABU pada 12,5-30% kasus.
4. Pemberian sedasi atau analgesik untuk menghilangkan rasa sakit atau rasa
cemas/panik.9

24
Bagan 1. Algoritma diagnosis dan penatalaksanaan gigitan ular berbisa

II.8 PENCEGAHAN
a. Penduduk di daerah dimana ditemukan banyak ular berbisa dianjurkan
untuk memakai sepatu dan celana berkulit sampai sebatas paha, sebab lebih
dari 50% kasus gigitan ular terjadi pada daerah paha bagian bawah sampai
tungkai kaki.
b. Ketersedian SABU untuk daerah di mana sering terjadi kasus gigitan ular
c. Hindari berjalan pada malam hari terutama di daerah berumput dan bersemak
d. Apabila mendaki tebing berbatu harus mengamati sekitar dengan teliti
e. Jangan mencoba untuk membunuh ular bila tidak terpaksa, sebab banyak
penderita yang tergigit akibat kejadian semacam itu.

25
II.9 PROGNOSIS
Gigitan ular berbisa berpotensi menyebabkan kematian dan keadaan yang
berat, sehingga perlu pemberian SABU yang tepat untuk mengurangi gejala.
Ekstremitas atau bagian tubuh yang mengalami nekrosis pada umumnya akan
mengalami perbaikan, fungsi normal, dan hanya pada kasus-kasus tertentu
memerlukan skin graft.6

26
BAB III
PEMBAHASAN

Pasien datang ke IGD RSUD Dr. Moh. Saleh dengan keluhan nyeri pada
kaki kiri setelah digigit ular sejak 6,5 jam yang lalu sepulang dari sawah. Dari
anamnesis diketahui bahwa pasien tidak mengetahui secara pasti jenis ular apa,
namun disebutkan ciri-ciri ular berwarna kuning, dengan panjang ± 30 cm dan
kepala berbentuk lancip, kecil. Walaupun begitu, informasi tersebut masih belum
dapat memastikan bahwa pasien terpapar bisa ular. Sebagian ular tidak berbisa
dapat memiliki ciri yang sama, selain itu, ular berbisa juga dapat menggigit tanpa
mengeluarkan bisa (dry bite).
Untuk memastikan adanya paparan bisa dan menentukan derajat penyakit
harus diperhatikan adanya gejala lokal dan sistemik. Derajat berat kasus gigitan
ular berbisa umumnya dibagi menjadi 4 skala, yaitu derajat 1 = tidak ada gejala
(minor), derajat 2 = gejala lokal (moderate), derjat 3 = gejala berkembang ke
daerah regional (severe), derajat 4 = gejala sistemik (major)
Tidak lama setelah digigit ular, ditemukan gejala lokal yaitu timbul rasa
nyeri yang hebat disertai rasa panas, kemerahan, bengkak dan terasa tebal pada
daerah sekitar luka gigitan ular, serta gejala sistemik, berupa gejala sistem
neurologis (pusing sempoyongan) dan gejala sistem pencernaan (mual dan muntah
sebanyak 4 kali). Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum dan tanda vital tidak
tampak adanya masalah, pernafasan pasien dalam batas normal (20 kali/menit), hal
ini menandakan tidak terjadi komplikasi paralisis otot-otot pernafasan akibat
pengaruh bisa neurotoksik. Pada pemeriksaan status lokalis, didapatkan fang marks
(+), hiperemis (+), slightly edema (+), dengan nyeri tekan (+) pada daerah sekitar
luka gigitan, sensorik << pada ekstremitas yang terkena (at regio cruris sinistra),
keluhan ini merupakan efek sitotoksik dan neurotoksik bisa ular pada daerah gigitan.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien meliputi pemeriksaan
laboratorium darah rutin, GDS, RFT, LFT dan faal hemostasis (PT/APTT).
Tampak kelainan hanya pada leukosit (leukositosis 18.830) dan SGPT (37,
meningkat sedikit), sedangkan pemeriksaan lain dalam batas normal, termasuk
faal

27
hemostasis, tidak terjadi koagulopati karena PT/APTT tidak memanjang. Pada
kasus gigitan ular berbisa, walaupun pada awalnya gejala yang timbul ringan,
harus tetap dilakukan skrining untuk menyingkirkan komplikasi pada sistem lain.
Berdasarkan data anamnesis yang didapatkan mengenai jenis ular dan bekas
gigitan yang terlihat pada pasien, dicurigai bahwa pasien mengalami gigitan ular
berbisa. Bila dilihat dari bentuk ular yang menggigit dan manifestasi klinis yang
timbul, yaitu bisa ular bersifat sitotoksik. Selain itu gejala lokal yang terjadi
mendukung bahwa pasien telah terpapar bisa ular. Karena telah terdapat bukti
keterlibatan sistemik, gigitan ular berbisa pada pasien masuk dalam derajat II
(sedang) dimana pasien membutuhkan terapi Serum Anti Bisa Ular (SABU) untuk
mencegah kerusakan jaringan lebih lanjut, akibat toksin bisa ular yang menyebar
dengan cepat, apalagi pada pasien ini tidak dilakukan kontrol lokal terlebih dulu
(imobilisasi ekstremitas). Selain itu pasien juga memerlukan pemantauan ketat
terhadap terjadinya komplikasi sistemik lainnya karena gejala akibat gigitan ular
dapat terjadi 12 jam pertama.
Pada pasien diperlukan pemantauan ketat terhadap tanda vital, serta
perburukan gejala lokal dan sistemik. Untuk memastikan adanya komplikasi
akibat perburukan derajat penyakit seiring dengan kerusakan jaringan yang
meluas akibat toksin yang tidak ternetralisir pada sistem lain, perlu dilakukan
pemeriksaan fungsi ginjal (RFT), fungsi hati (LFT), serta pemeriksaan urin
lengkap. Secara garis besar, didapatkan hasil yang baik pada pemeriksaan RFT
dan LFT. Tidak dilakukan pemeriksaan urinalisa, hal ini seharusnya dilakukan
untuk menilai adakah hemoglobinuria, mioglobinuria atau leukosituria yang
umumnya dapat terjadi pada 56,4% kasus.
Sejak pasien datang, penatalaksanaan awal yang harus dilakukan adalah
wound toilet dan imobilisasi ekstremitas yang terkena untuk mencegah
penyebaran toksin. Tindakan mengeluarkan bisa tidak dianjurkan karena dapat
memperburuk nekrosis jaringan dan mempercepat penyebaran toksin. Jalan napas
harus dipastikan bebas. Jalur intravena harus segera diaplikasikan pada
ekstremitas yang tidak terkena gigitan. Pada kasus derajat 2 (Moderate)
seharusnya diberikan 3-4 vial SABU (menurut Sudoyo) atau 10 vial SABU
(menurut Luck) tergantung pada perburukan gejala. Serum anti bisa ular
(SABU) adalah serum polivalen yang

28
berasal dari plasma kuda yang dikebalkan terhadap bisa ular yang mempunyai
efek neurotoksik dan hemotoksik yang ada di Indonesia. Indikasi SABU adalah
untuk pengobatan terhadap gigitan ular berbisa. Dosis dan cara pemberian yang
tepat sulit untuk ditentukan karena bergantung dari jumlah bisa ular yang masuk
ke dalam peredaran darah penderita. Biasanya diberikan dosis awal yaitu 2 vial
SABU dilarutkan dalam 500 cc NaCL 0,9% atau Dextrose 5%, dan diberikan
dengan kecepatan 40-80 tetes/menit, kemudian diulang setelah 6 jam. Apabila
diperlukan (gejala akibat bisa ular misalnya perdarahan tidak berkurang atau
bertambah) SABU dapat terus diberikan setiap 24 jam sampai maksimum (80-100
mL). Penyimpanan pada suhu 2-8oC dalam lemari es. Pada kasus ini diberikan
drip 1 vial SABU dalam 100cc larutan fisiologis NaCl 0,9%, dalam 15 menit.
Kemudian dilakukan pemberian cairan maintenance dengan RL 14 tetes/menit.
Pada pasien, diberikan terapi profilaksis berupa inj Tetagram 250 IU sebagai anti-
tetanus, inj Ceftriaxone 2x1 gram sebagai antibiotik broad spectrum untuk
mencegah infeksi sekunder yang dapat terjadi dan inj Methylprednisolone 125mg
untuk mengurangi reaksi anafilaksis yang terjadi akibat SABU (pada 12,5-30%
kasus). Terapi suportif yang diberikan adalah inj Pantoprazole 2x40mg sebagai
anti-emetik pasien dan inj Ketorolac 3x30mg sebagai analgetik untuk
menghilangkan rasa sakit yang dialami pasien.

29
BAB IV
KESIMPULAN

Telah dibahas kasus seorang laki-laki berusia 29 tahun yang didiagnosis


sebagai Vulnus morsum serpentum et causa Snake bite grade 2 at regio cruris
sinistra. Penegakkan diagnosa dan penatalaksanaan yang diterapkan pada kasus
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang sesuai
referensi yang ada. Gigitan ular berbisa berpotensi menyebabkan keadaan yang
berat hingga kematian, sehingga perlu penanganan yang tepat untuk mengurangi
gejala. Perawatan pasien korban gigitan ular berbisa melingkupi penatalakasaan
kausatif, suportif dan penanganan komplikasi.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Sutantoyo FF, Gunawan EJ, 2016, Antikolinesterase untuk gigitan ular dengan
bisa neurotoksik, Cermin Dunia Kedokteran [Accessed on February 3 2020]
Available from:
http://www.kalbemed.com/Portals/6/06_236CPD%E2%80%93Antikolinest
erase%20untuk%20Gigitan%20Ular%20dengan%20Bisa%20Neurotoksik.p
df.
2. Adiwinata R, Nelwan EJ, 2015, Snakebite in Indonesia, Acta Medica
Indonesiana.
3. Kasturiratne A, Wickremasinghe AR, de Silva N, Gunawardena NK,
Pathmeswaran A, Premaratna R, et al, 2009, The global burden of
snakebite: A literature analysis and modelling based on regional estimates
of envenoming and deaths, PLoS Med.
4. Warrell DA, 2010, Guidelines for the management of snake bites. World
Health Organization Regional Office for South-East Asia, [Accessed on
February 3 2020] Available from:
www.toxinology.org/resources/protocols/WHO- SEARO%20Snakebite
%20Guidelines%202010 %20copy.pdf
5. Simpson ID, Norris RL, 2007, Snakes of medical importance in India: is the
concept of the “Big 4” still relevant and useful?, Wilderness Environ Med.
6. Holve S, 2000, Envenomation. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson
HB, editors. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke- 16, WB Saunders
Company, Philadelphia.
7. Niasari N, Latief A, 2003, Gigitan ular berbisa, Sari Pediatri, Jakarta.
8. Gold BS, Dart RC, Barish RA, 2002, Bites of venomous snakes, N Engl J Med,
UK.
9. De Jong W, 1998, Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta.
10. Young BA, Zatin K, 2001, Venom flow in rattlesnake: mechanics and
metering, J of Exp Biol.
11. Sajevic T, Leonardi A & Krizaj I, 2011, Haemostatically active proteins
in snake venoms, Toxicon.

31
12. Ahmed SM, Ahmed M, Nadeem A, Mahajan J, Choudhary A & Pal J, 2008,
Emergency treatment of a snake bite: Pearls from literature, J Emer Trauma
Shock.
13. Sudoyo AW, 2006, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, BP FKUI, Depok.
14. Departemen Kesehatan RI, 2001, Penatalaksanaan gigitan ular berbisa,
Dalam SIKer, Dirjen POM Depkes RI. Pedoman pelaksanaan keracunan
untuk rumah sakit, DepKes RI.
15. Thomas L, Tyburn B, Bucher B, Pecout F, Ketterle J, Rieux D, et al, 1995,
Prevention of thromboses in human patients with bothrops and anceolatus
envenoming in martinique: Failure of anticoagulants and efficacy of a
monospecific antivenom, Am J Trop Med Hyg.
16. Lallo DG, Trevett AJ, Korinhona A, Nwokolo N, Laurenson IF, et al, 1995,
Snake bites by the Papuan taipan (Oxyuranus scutellatus canni): paralysis,
hemostatic and electracardiographic abnormalities, and effects of
antivenom, Am J Trop Med Hyg.
17. Ramachandran S, Ganaikabahu B, Pushparajan K, Wijesekera J, 1995,
Electroencephalographic abnormalities in patients with snake bites, Am J
Trop Med Hyg.
18. Tun-Pe, Sann-Mya, Aye-Aye-Myint, et al, 2000, Field trial of officacy of
local compression immobilization firts-aid technique in russell’s viper
(Daboia russelii siamensis) bite patients, Southeast As J Trop Med Public
Health.
19. Dart RC, Seifert SA, Boyer LV, Clark RF, Hall E, et al, 2001, A randomized
multicenter trial of crotalinae polyvalent immune Fab (ovine) antivenom for
the treatment for crotaline snakebite in the Unites States, Arch Intern Med.

32

Anda mungkin juga menyukai