Disusun oleh :
dr. Faradhia Zauhara
Pembimbing:
dr. Eko Chris B, Sp. S
dr. Bondhan Prajati
dr. Iik Rachmawati
LAPORAN KASUS
Generalized Tetanus Grade II
Disusun oleh:
dr. Faradhia Zauhara
Pembimbing DPJP:
1.2 ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara auto-anamnesis dengan pasien dan heteroanamnesis
pada keluarga pasien pada tanggal 08 Juli 2019 pukul 14.05 WIB, di IGD RSUD Balaraja.
Keluhan Utama : kejang
Keluhan Tambahan : mulut tidak bisa dibuka
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUD Balaraja dengan keluhan kejang. Pasien mengatakan
kedua paha dan perut tiba – tiba tidak bisa digerakkan. Kedua paha terasa kaku dan menekuk
setelah itu kembali lagi, dirasakan sebanyak >5 kali sejak kurang lebih 1 minggu yang lalu
dan semakin memberat pada 3 hari sebelum MRS. Pasien juga mengatakan bahwa mulutnya
sulit untuk dibuka dirasakkan bersamaan dengan keluhan pada kedua pahanya. Mulut hanya
bisa dibuka sebesar 2cm. Pasien mengaku sebelumnya mengeluh gigi nya sakit karena ada
yang berlubang serta ada luka pada gusinya. Pasien mengatakan bahwa giginya tiba – tiba
copot kurang lebih 1 bulan ini. Riwayat luka (-), riwayat tertusuk duri atau paku (-).
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang serupa seperti ini sebelumnya. Pasien
mengaku tidak ada riwayat alergi makanan ataupun obat. Riwayat penyakit paru-paru,
penyakit jantung, penyakit darah tinggi dan kencing manis di keluarga disangkal.
Status Generalis
Kepala : Normosefali
Rambut : Hitam tidak mudah dicabut
Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
Hidung : Bentuk normal, deformitas (-), deviasi (-), sekret (-/-), nafas cuping
hidung (-)
Telinga : Normotia, discharge (-/-)
Mulut : Bibir kering (-), bibir sianosis (-)
Leher : Simetris, tidak terdapat pembesaran KGB, kaku (+).
Thorax :
o Inspeksi : bentuk dada simetris kanan – kiri. Retraksi supraklavikula dan
epigastrium (-). Gerak nafas simetris, tidak ada hemithorax yang tertinggal.
o Palpasi : simetris, tidak ada yang tertinggal.
o Perkusi : sonor pada kedua hemithoraks
o Auskultasi : suara nafas vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-).
Abdomen :
o Inspeksi : datar, simetris
o Asukultasi : bising usus (+)
o Palpasi : supel, distensi (-), hepar dan lien tidak membesar, asites (-),
defans muskukar (+)
o Perkusi : timpani di 4 kuadran
Genitalia : tidak ada kelainan, jenis kelamin laki – laki.
Anorektal : tidak ada kelainan.
Ekstremitas :
Superior Inferior
Deformitas -/- -/-
Akral Dingin -/- -/-
Akral Sianosis -/- -/-
CRT < 2” < 2”
Oedem -/- -/-
Tonus Otot Normotonus Normotonus
Trofi Otot Normotrofi Normotrofi
Status Neurologis
Tanda Rangsang Meningeal : Kaku kuduk (-), Brudzinski I dan II
(-/-), Laseque (-/-), kernig (-/-)
Nervus V (Trigeminus), VII (Fasialis) : dalam batas normal
Reflek fisiologis dan patologis : dalam batas normal
Motorik : 4/4
4/4
1.6 DIAGNOSIS
Tetanus generalized Grade II
1.7 PENATALAKSANAAN
a. Non medikamentosa
- Pro rawat inap
- Edukasi kepada pasien dan keluarga tentang penyakit yang diderita
b. Medikamentosa
- IVFD Nacl 500cc/8jam
- Omeprazole 40mg
- Ceftriaxone 2gr
Setelah konsul dr.Eko, Sp.S
- Tetagam 5000u IM
- Tetanus Toxoid 0,5cc IM
- Metronidazole 3 x 500mg
- Diazepam 4 x 1 amp IV Bolus pelan
- Infus RL 1000cc dan D5 1000cc bergantian
1.8 PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
1.9 FOLLOW UP
Keteranga 09 Juli 2019 10 Juli 2019
n
Kaku seluruh tubuh Kaku di perut dan tungkai berkurang
S Sesak (-) Demam (-)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Tetanus adalah penyakit pada system saraf yang disebabkan oleh tetanospasmin.
Tetanospasmin adalah neurotoksin yang disebabkan oleh Clostridium tetani, ditandai dengan
spasme tonik persisten disertai dengan serangan yang jelas dan keras. Spasme hampir selalu
terjadi pada otot leher dan rahang menyebabkan penutupan rahang (trismus, lockjaw), serta
melibatkan tidak hanya otot ekstrimitas, tapi juga otot – otot batang tubuh1.
2.2 EPIDEMIOLOGI
Data epidemiologi tetanus dari WHO pada tahun 2016 menunjukkan ada 13.502 laporan
kasus tetanus2. Di negara maju seperti Amerika Serikat, hanya sekitar 233 kasus tetanus yang
dilaporkan sejak tahun 2001-20083. Di negara maju lainnya seperti Inggris, hanya 7 kasus tetanus
dilaporkan selama bulan Januari – Desember tahun 20134. Secara global selama tahun 2011-2016
laporan kasus tetanus selalu kurang dari 20.000 kasus per tahun. Di Inggris kasus tetanus yang
ditemukan antara bulan Januari sampai Desember 2017 berjumlah 5 kasus. Dari 5 kasus tersebut
usia pasien berkisar antara 26 hingga 81 tahun. Semua pasien memiliki riwayat luka baru, yang
didapat dari tempat yang bervariasi (rumah, kebun, di jalan, pantai) 5. Di tahun 2017, WHO
melaporkan insidensi tetanus neonatorum di Indonesia sebanyak 25 kasus, dan insidensi tetanus
secara keseluruhan adalah 506 kasus6. Angka mortalitas tetanus menurun sejak dilakukan
pencegahan melalui vaksinasi tetanus toxoid. Pada tahun 2006, diperkirakan sekitar 290.000
orang meninggal akibat tetanus, kebanyakan berasal dari Asia, Afrika, dan Amerika Selatan.
Jumlah kematian tersebut menurun pada tahun 2015, yakni diperkirakan sekitar 56.743 kematian
akibat tetanus. Di antaranya 19.937 adalah kematian pada neonatus dan 36.806 adalah kematian
yang terjadi pada anak-anak dan dewasa.
2.3 ETIOLOGI
Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif, Clostridium Tetani. Bakteri ini berspora,
dijumpai di tinja binatang terutama kuda, juga bisa pada manusia dan juga pada tanah yang
terkontaminasi dengan tinja binatang tersebut. Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan
beberapa tahun, jika ia menginfeksi luka seseorang atau bersamaan dengan benda daging atau
bakteri lain, ia akan memasuki tubuh penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang bernama
tetanospasmin7.
2.4 PATOGENESIS
Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme, bekerja pada beberapa level
dari susunan syaraf pusat, dengan cara :
c. Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral ganglioside.
d. Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous System (ANS ) dengan
gejala : berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti takikhardia, aritmia jantung, peninggian
cathecholamine dalam urine.
Kerja dari tetanospamin analog dengan strychninee, dimana ia mengintervensi fungsi dari arcus
refleks yaitu dengan cara menekan neuron spinal dan menginhibisi terhadap batang otak7.
Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau lebih lama 3 atau beberapa
minggu)9. Ada tiga bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni Localited tetanus ( Tetanus
Lokal ), Cephalic Tetanus, Generalized tetanus (Tctanus umum). Selain itu ada lagi pembagian
berupa neonatal tetanus.
• Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5 -7 hari.
• Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik keatas, sudut mulut
tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat .
• Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus, tungkai dengan
• Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis, retensi urin, bahkan
dapat terjadi fraktur collumna vertebralis ( pada anak ).
Tetanus berat berkaitan dengan hyperkinesia sirkulasi, terutama bila spasme otot tidak
terkontrol baik. Gangguan otonom biasanya mulai beberapa hari setelah spasme dan berlangsung
1-2 minggu. Meningkatnya tonus simpatis biasanya dominan menyebabkan periode
vasokonstriksi, takikardia dan hipertensi. Autonomic storm berkaitan dengan peningkatan kadar
katekolamin. Keadaan ini silih berganti dengan episode hipotensi, bradikardia dan asistole yang
tiba – tiba. Gambaran gangguan otonom lain meliputi salivasi, berkeringat, meningkatnya sekresi
bronkus, hiperpireksia, stasis lambung dan ileus11.
Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi berkisar 1 –2
hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di India ), luka pada daerah muka
dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam rongga hidung12.
Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi yang tidak
dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-diam. Trismus merupakan
gejala utama yang sering dijumpai ( 50 %), yang disebabkan oleh kekakuan otot-otot masseter,
bersamaan dengan kekakuan otot leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan
menelan. Gejala lain berupa Risus Sardonicus (Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka,
opistotonus ( kekakuan otot punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot
pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia. Bisa terjadi disuria dan
retensi urine,kompressi frak tur dan pendarahan didalam otot. Kenaikan temperatur biasanya
hanya sedikit, tetapi begitupun bisa mencapai 40 C. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi,
tekanan darah tidak stabil dan dijumpai takhikardia, penderita biasanya meninggal. Diagnosa
ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis.
Biasanya disebabkan infeksi C. tetani, yang masuk melalui tali pusat sewaktu proses
pertolongan persalinan. Spora yang masuk disebabkan oleh proses pertolongan persalinan yang
tidak steril, baik oleh penggunaan alat yang telah terkontaminasi spora C.tetani, maupun
penggunaan obat-obatan Wltuk tali pusat yang telah terkontaminasi. Kebiasaan menggunakan
alat pertolongan persalinan dan obat tradisional yang tidak steril,merupakan faktor yang utama
dalam terjadinya neonatal tetanus.
a. Kriteria 1 : rahang kaku, spasme terbatas, disfagia dan kekuatan otot tulang belakang
b. Kriteria 2 : spasme, tanpa mempertimbangkan frekuensi maupun derajat keparahan
c. Kriteria 3 : masa inkubasi ≤7 hari
d. Kriteria 4 : waktu onset ≤48 jam
e. Kriteria 5 : peningkatan temperature rektal 40 c, dan aksila 37,6 c
Grading
2.7 KOMPLIKASI
a. Saluran Nafas : dapat terjadi asfiksia, aspirasi pneumonia, atelectasis akibat obstruksi
oleh secret, pneumotoraks dan mediastinal emfisema biasanya terjadi akibat dilakukannya
trakeostomi
b. Kardiovaskuler : komplikasi berupa aktivitas simpatis yang meningkat antara lain berupa
takikardia, hipertensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan miokardium
c. Tulang dan Otot : pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan
dalam otot. Pada tulang dapat terjadi fraktura kolumna vertebralis akibaat kejang yang terus
menerus terutama pada anak dan orang dewasa
d. Komplikasi lain : laserasi lidah akibat kejang, decubitus karena penderita berbaring dalam
satu posisi saja, panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang menyebar luas dan
mengganggu pusat pengatur suhu.
2.9 PROGNOSIS
Case Fatality Rate (CFR) tetanus berkisar 44-55%, sedangkan tetanus neonatorum >
60%13.
2.10 TATALAKSANA
A. UMUM
Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan peredaran toksin,
mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pernafasan sampai pulih. Dan tujuan tersebut
dapat diperinci sebagai berikut :
1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa: membersihkan luka, irigasi luka,
debridement luka (eksisi jaringan nekrotik), membuang benda asing dalam luka serta kompres
dengan H202, dalam hal ini penatalaksanaan terhadap luka tersebut dilakukan 1 -2 jam setelah
ATS dan pemberian Antibiotika sekitar luka disuntik ATS.
2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut dan
menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan personde atau parenteral.
3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap penderita
Antibiotika
Diberikan parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10 hari, IM. Sedangkan tetanus
pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit / KgBB/ 12 jam secara IM diberikan
selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti
tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam
dosis terbagi (4 dosis). Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan dosis 200.000
unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari. Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh
bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya
komplikasi pemberian antibiotika broad spektrum dapat dilakukan14.
Antitoksin
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin (TIG) dengan dosis 3000-
6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh diberikan secara intravena karena TIG
mengandung "anti complementary aggregates of globulin ", yang mana ini dapat mencetuskan
reaksi allergi yang serius. Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan tetanus antitoksin,
yang berawal dari hewan, dengan dosis 40.000 U, dengan cara pemberiannya adalah : 20.000 U
dari antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaC1 fisiologis dan diberikan secara
intravena, pemberian harus sudah diselesaikan dalam waktu 30-45 menit. Setengah dosis yang
tersisa (20.000 U) diberikan secara IM pada daerah pada sebelah luar.
Tetanus Toksoid
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama, dilakukan bersamaan dengan pemberian
antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan
secara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai.
Penyebab utama kematian pada tetanus neonatorum adalah kejang klonik yang hebat,
muscular dan laryngeal spasm beserta komplikaisnya. Dengan penggunaan obat – obatan
sedasi/muscle relaxans, diharapkan kejang dapat diatasi15.
Dosis diazepam pada saat dimulai pengobatan (setelah kejang terkontrol) adalah 20
mg/kgBB/hari, dibagi dalam 8 kali pemberian (pemberian dilakukan tiap 3 jam). Kemudian
dilakukan evaluasi terhadap kejang, bila kejang masih terus berlangsung dosis diazepam dapat
dinaikkan secara bertahap sampai kejang dapat teratasi. Dosis maksimum adalah 40
mg/kgBB/hari (dosis maintenance). Bila dosis optimum telah didapat, maka skedul pasti telah
dapat dibuat, dan ini dipertahan selama 2-3 hari, dan bila dalam evaluasi berikutnya tidak
dijumpai adanya kejang, maka dosis diazepam dapat diturunkan secara bertahap, yaitu 10 - 15 %
dari dosis optimum tersebut. Penurunan dosis diazepam tidak boleh secara drastis, oleh karena
bila terjadi kejang, sangat sukar untuk diatasi dan penaikkan dosis ke dosis semula yang efektif
belum tentu dapat mengontrol kejang yang terjadi. Bila dengan penurunan bertahap dijumpai
kejang, dosis harus segera dinaikkan kembali ke dosis semula. Sedangkan bila tidak terjadi
kejang dipertahankan selama 2- 3 hari dan diturunkan lagi secara bertahap, hal ini dilakukan
untuk selanjutnya. Bila dalam penggunaan diazepam, kejang masih terjadi, sedang dosis
maksimal telah tercapai, maka penggabungan dengan anti kejang lainnya harus dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Panduan Praktik Klinis Neurologi:2016
2. WHO. Tetanus.
http://www.who.int/immunization/monitoring_surveillance/burden/vpd/surveillance_type/
passive/tetanus/en/
3. Tetanus Surveillance United States, 2001-2008. MMWR Morb Mortal Wkly Rep.
2011;60(12):365-369
4. Public Health England. Research and analysis tetanus in England and Wales: 2013.
https://www.gov.uk/government/publications/tetanus-in-england-and-wales-2013/tetanus-
in-england-and-wales-2013
5. Public Health England. Tetanus in England:2017.
https://assets.publishing.service.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_d
ata/file/711458/hpr1818_ttns17.pdf
6. WHO. WHO vaccine-preventable disease monitoring system global summary.
http://apps.who.int/immunization_monitoring/globalsummary/incidences?c=IDN
7. Adams. R.D,et al : Tetanus in :Principles of New'ology,McGraw-Hill,ed 1997, 1205-
1207.
8. Gilroy, John MD, et al :Tetanus in : Basic Neurology, ed.1.982, 229-230
9. Krugman Saaul, Katz L.. Samuel, Gerhson AA, Wilfert C ; Infectious diiseases of
children, ed. 9 th, St Louis, Mosby, 1992, 487-490
10. Peter. G. Red Book, Report of the committee on infectious diseases, ed.24 th, American
Academy of Pediatrics, 1997, 518-519
11. Thwaites CL, Yen LM. Tetanus. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL, Kochanek PM,
editors. Textbook of Critical Care. 5 ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2005.p.1401-4.
12. Menkes, JH: Textbook of child Neurology, in Tetanus Neonatorun, ed. 3 th, Lea and
Frebringer, Philadelphia, 1985, 521-522.
13. Behrman.E.Richard : Tetanus, chapter 193, edition 15 th, Nelson, W.B.Saunders
Company, 1996, 815 -817.
14. Hamid,E.D, Daulay, AP, Lubis, CP, Rusdidjas, Siregar H : Tetanus Neonatorum in babies
Delivered by Traditional Birth Attendance in Medan, Vol. 25, Paeditrica Indonesiana,
Departement of Child Health, Medical School University of lndonesia, Sept-Okt 1985,
167 -174.
15. Srikiatkhachord Anaan, dkk ; Tetanus , Arbor Publishing Coorp. Neurobase,1993, 1- 13.