Anda di halaman 1dari 34

PORTOFOLIO

TETANUS

Oleh:

dr. Rudolph Muliawan Putera

Pembimbing: dr. Irawan, Sp.S

Pendamping: dr. Maya Dewi H.

dr.Ifadatul Waro

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

RSUD DR. SOEGIRI LAMONGAN

2018
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

TETANUS

Mengetahui :

dr. Maya Dewi H. dr. Ifadatul Waro

dr. Irawan, Sp.S

i
DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ............................................................................................. i


Daftar isi ............................................................................................................... ii
BAB I Laporan Kasus ........................................................................................ 1
BAB II Tinjauan Pustaka .................................................................................... 18
BAB III Pembahasan ............................................................................................ 27
BAB IV Kesimpulan ............................................................................................ 29
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 30

ii
Nama Peserta: dr. Rudolph Muliawan Putera
Nama Wahana : RSUD Dr. Soegiri Lamongan
Topik : Tetanus
Pendamping : Pembimbing :
dr. Maya Dewi H. dr. Irawan, Sp.S
Tanggal Presentasi : 16 November 2018 Tempat Presentasi : Komite Medik
Objektif Presentasi :
□ Keilmuan □ Ketrampilan □ Penyegaran □Tinjauan Pustaka
□ Diagnostik □ Manajemen □ Masalah □ Istimewa
□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja □ □ Lansia □ Bumil
Dewasa
Bahan Bahasan : □ Tinjauan Pustaka □ Riset □ Kasus □ Audit

Cara Membahas : □ Diskusi □ Presentasi dan Diskusi □ Email □ Pos

Data Pasien : Nama : Tn. S No. Registrasi : 273482

Nama Klinik :- Telp : - Terdaftar: -

BAB I
LAPORAN KASUS

Identitas Pasien
Nama pasien : Tn. S
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 54 Tahun
Alama : Kedungpring, Lamongan
Pekerjaan : Petani
Suku : Jawa
Tgl. MRS : 9 Oktober 2018
No. Register : 273482

ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : Kaku seluruh badan
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD dr. Soegiri dengan kaku seluruh badan
sejak 2 hari sebelum MRS. Awalnya, pasien merasa kaku pada rahang sejak
4 hari sebelum MRS, disertai kaku leher dan punggung terasa sakit dan kaku.

1
Pasien juga mengeluh sulit menelan sehingga nafsu makan pasien menurun.
Kaku dirasakan semakin parah ketika terkena rangsangan cahaya atau
sentuhan. Selama kejang pasien sadar dan bisa diajak komunikasi.
Pasien sempat mengeluhkan sakit gigi 1 tahun sebelum MRS, tapi
keluhan hilang sendiri dalam beberapa minggu sehingga pasien tidak
berobat ke dokter gigi. Demam disangkal, luka pada tangan, kaki atau bagian
tubuh lain disangkal.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Caries 1 tahun lalu
Trauma (-), stroke (-), infeksi telinga (-), epilepsi (-), DM (-), HT (-).
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang mengalami sakit seperti pasien.
5. Riwayat Pengobatan
Tidak pernah berobat. Riwayat imunisasi tidak diketahui.
6. Riwayat Sosial
Pasien bekerja sebagai petani dan selalu menggunakan sepatu boot saat
bekerja di sawah.

Pemeriksaan fisik
Status Generalis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : GCS 456
Berat Badan : 60 kg
Vital sign
 Nadi : 100x/ menit
 Respiration Rate : 28x/ menit
 Suhu : 37,50C
 Tekanan Darah : 180/100 MmHg
 SpO2 : 99% dengan O2 nasal 3 lpm
Status Interna
Kepala
 Mata: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
isokor

2
 Hidung: sekret (-/-), darah (-/-), deviasi septum (-/-)
 Mulut: trismus 2cm, risus sardonicus +, karies gigi molar,
premolar atas bawah, gigi (+), ulkus (-), lidah kotor (-)
 Telinga: sekret (-/-), darah (-/-)
Leher
 Kaku kuduk +
 Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening dan kelenjar thyroid
 Peningkatan JVP (-), deviasi trakea (-)
Thorak
 Cor
 Inspeksi: iktus kordis tidak tampak
 Palpasi: iktus kordis tidak teraba
 Perkusi: batas jantung dalam batas normal
 Auskultasi: S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop
(-)
 Pulmo
 Inspeksi: hemitoraks kanan dan kiri simetris, retraksi
(-/-)
 Palpasi: fremitus raba hemitoraks kanan dan kiri
sama
 Perkusi: sonor pada hemitoraks kanan dan kiri
 Auskultasi: suara dasar vesikuler di kedua lapang
paru, wheezing (-/-), rhonki (-/-)
Abdomen
 Inspeksi: datar
 Auskultasi : bising usus (+) dbn
 Palpasi: kaku seperti papan, nyeri tekan (+), hepar dan lien
tidak teraba
 Perkusi: timpani
Punggung: opistotonus +
Ekstremitas
 Superior : Akral Hangat (+/+), Edema (-/-), motorik 5/5
 Inferior : Akral Hangat (+/+), Edema (-/-), motorik 5/5

3
Diagnosis
Tetanus generalisata

Planning
Planning dx: DL, LFT, RFT, GDA, SE, EKG
Planning tx:
 O2 nasal 3 lpm
 IVFD asering : futrolit 1:2 dalam 24 jam
 Diazepam pump 0,3cc/jam
 Metronidazole 3x500mg iv
 Ceftriaxone 2x1g iv
 Tetagam 3000IU IM
 Ranitidine 2x50mg iv
 Antrain 3x1g iv
 Pasang NGT
 Pasang DC
 Oral hygiene

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


9/10/2018
Hematologi
Hemoglobin 15.2 11.7 – 15.5 g/dL
Lekosit 8370 3.600- 11.000 µL
LED 15-26 10-20/jam Jam
Trombosit 234.000 150.000- 103 µL
440.000
Diff count 4-0-0-74-13- 2-4/0-1/50-
9 70/25-40/2-8
Fungsi Hati
SGOT 23 < 37 uL
SGPT 28 <39 uL
Glukosa Darah

4
Glukosa 95 <200 mg/dL
Sewaktu

Fungsi Ginjal
Urea 40 10-50 mg/dl
Serum Kreatinin 0.88 0.50 – 1.10 mg/dL
Asam Urat 4.3 1.9-7.9 mg/dL
Elektrolit
Natrium 144 136 – 144 meq/l
Kalium 3.8 3.8 – 5.0 meq/l
Clorida 144 94 - 111 meq/l

Hasil EKG:
Kesimpulan: normal, sinus rhythm

FOLLOW UP
10 Oktober 2018
S : mulut sulit dibuka, badan kaku, perut seperti papan, punggung kaku.
O: Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis, GCS 456
Vital sign
 Nadi : 88x/ menit
 Respiration Rate : 17x/ menit
 Suhu : 36.70C
 TD : 140/97 MmHg
 SpO2 : 100%

5
K/L : a/i/c/d = -/-/-/-
Risus sardonicus +, trismus 3cm, kaku kuduk +
Thorax :
Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : ves/ves, rhonki -/- , wheezing -/-
Abdomen : flat, kaku seperti papan, nyeri tekan +, timpani, BU(+)N
Opistotonus +
Ekstremitas : Akral Hangat (+/+), Edema (-/-)
A: Tetanus generalisata
P:
 O2 nasal 3 lpm
 IVFD aminofluid:asering 2:2 dalam 24 jam
 Inj. Omeprazole 2x40mg iv
 Inj. Antrain 3x1g iv
 Inj. Metronidazole 3x500mg
 Inj. Ceftriaxone 2x2g
 Diazepam pump 0,3cc/jam
 Sonde 6x100
 Pro ICU
 Monitor vital sign, balance cairan, kejang
 Oral hygiene

11 Oktober 2018
S : nyeri kepala +, kaku +, kejang
O: Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis, GCS 456
Vital sign
 Nadi : 96x/ menit
 Respiration Rate : 28x/ menit
 Suhu : 36.70C
 TD : 150/88 MmHg
 SpO2 : 100%
K/L : a/i/c/d = -/-/-/-

6
Risus sardonicus +, trismus 2cm, kaku kuduk +
Thorax :
Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : ves/ves, rhonki -/- , wheezing -/-
Abdomen : flat, kaku seperti papan, nyeri tekan +, timpani, BU(+)N
Opistotonus +
Ekstremitas : Akral Hangat (+/+), Edema (-/-)
Intake cairan: 3500cc
Urin: 1450cc
A: Tetanus generalisata
P:
 O2 NRM 10 lpm
 IVFD aminofluid : asering 2:1 dalam 24 jam
 Inj. Omeprazole 2x40mg iv
 Inj. Antrain 3x1g iv
 Inj. Metronidazole 3x500mg
 Inj. Ceftriaxone 2x2g
 Diazepam pump 0,3cc/jam
 Inj. Furosemide 1 amp
 Sonde 6x200
 Monitor vital sign, balance cairan, kejang
 Oral hygiene

12 Oktober 2018
S : nyeri kepala +, kaku semakin hebat, kejang
O: Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis, GCS 456
Vital sign
 Nadi : 100x/ menit
 Respiration Rate : 25x/ menit
 Suhu : 36.70C
 TD : 147/94 MmHg
 SpO2 : 100%

7
K/L : a/i/c/d = -/-/-/-
Risus sardonicus +, trismus 2cm, kaku kuduk +
Thorax :
Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : ves/ves, rhonki -/- , wheezing -/-
Abdomen : flat, kaku seperti papan, nyeri tekan +, timpani, BU(+)N
Opistotonus +
Ekstremitas : Akral Hangat (+/+), Edema (-/-)
Intake cairan: 3000
Urin: 2750
A: Tetanus generalisata
P:
 O2 NRM 10 lpm
 IVFD aminofluid : asering 2:1 dalam 24 jam
 Inj. Omeprazole 2x40mg iv
 Inj. Antrain 3x1g iv
 Inj. Metronidazole 3x500mg
 Inj. Ceftriaxone 2x2g
 Diazepam pump 0,7cc/jam
 Sonde 6x200
 Monitor vital sign, balance cairan, kejang
 Oral hygiene

13 Oktober 2018
S : kaku +, kejang +
O: Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis, GCS 456
Vital sign
 Nadi : 115x/ menit
 Respiration Rate : 20x/ menit
 Suhu : 36.70C
 TD : 169/95 MmHg
 SpO2 : 99%

8
K/L : a/i/c/d = -/-/-/-
Risus sardonicus +, trismus 2cm, kaku kuduk +
Thorax :
Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : ves/ves, rhonki -/- , wheezing -/-
Abdomen : flat, kaku seperti papan, nyeri tekan +, timpani, BU(+)N
Opistotonus +
Ekstremitas : Akral Hangat (+/+), Edema (-/-)
Intake cairan: 3000cc, urin: 1750cc
A: Tetanus generalisata
P:
 O2 NRM 10 lpm
 IVFD aminofluid : asering 2:1 dalam 24 jam
 Inj. Omeprazole 2x40mg iv
 Inj. Antrain 3x1g iv
 Inj. Metronidazole 3x500mg
 Inj. Ceftriaxone 2x2g
 Diazepam pump 0,7cc/jam
 Midazolam pump 1cc/jam
 Sonde 6x200
 Monitor vital sign, balance cairan, kejang
 Oral hygiene

14 Oktober 2018
S : kaku berkurang
O: Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis, GCS 456
Vital sign
 Nadi : 77x/ menit
 Respiration Rate : 22x/ menit
 Suhu : 36.70C
 TD : 145/96 MmHg
 SpO2 : 99%

9
K/L : a/i/c/d = -/-/-/-
Risus sardonicus -, trismus 4cm, kaku kuduk +
Thorax :
Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : ves/ves, rhonki -/- , wheezing -/-
Abdomen : flat, kaku seperti papan, nyeri tekan +, timpani, BU(+)N
Opistotonus -
Ekstremitas : Akral Hangat (+/+), Edema (-/-)
Intake cairan: 3000cc, urin: 2250cc
A: Tetanus generalisata
P:
 O2 NRM 10 lpm
 IVFD aminofluid : asering 2:1 dalam 24 jam
 Inj. Omeprazole 2x40mg iv
 Inj. Antrain 3x1g iv
 Inj. Metronidazole 3x500mg
 Inj. Ceftriaxone 2x2g
 Diazepam pump 0,7cc/jam
 Midazolam pump 1cc/jam
 Sonde 6x200
 Monitor vital sign, balance cairan, kejang
 Oral hygiene

15 Oktober 2018
S : kaku berkurang
O: Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis, GCS 456
Vital sign
 Nadi : 97x/ menit
 Respiration Rate : 20x/ menit
 Suhu : 36.70C
 TD : 133/80 MmHg
 SpO2 : 99%

10
K/L : a/i/c/d = -/-/-/-
Risus sardonicus -, trismus 4cm, kaku kuduk +
Thorax :
Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : ves/ves, rhonki -/- , wheezing -/-
Abdomen : flat, kaku seperti papan, nyeri tekan +, timpani, BU(+)N
Opistotonus -
Ekstremitas : Akral Hangat (+/+), Edema (-/-)
Intake cairan: 3000cc, urin: 2500cc
A: Tetanus generalisata
P:
 O2 NRM 10 lpm
 IVFD aminofluid : asering 2:1 dalam 24 jam
 Inj. Omeprazole 2x40mg iv
 Inj. Antrain 3x1g iv
 Inj. Metronidazole 3x500mg
 Inj. Ceftriaxone 2x2g
 Diazepam pump 0,7cc/jam
 Midazolam pump 1cc/jam
 Sonde 6x200
 Monitor vital sign, balance cairan, kejang
 Oral hygiene

16 Oktober 2018
S : kaku berkurang
O: Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis, GCS 456
Vital sign
 Nadi : 102x/ menit
 Respiration Rate : 20x/ menit
 Suhu : 36.70C
 TD : 176/70 MmHg
 SpO2 : 99%

11
K/L : a/i/c/d = -/-/-/-
Risus sardonicus -, trismus 6cm, kaku kuduk +
Thorax :
Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : ves/ves, rhonki -/- , wheezing -/-
Abdomen : flat, kaku seperti papan, nyeri tekan +, timpani, BU(+)N
Ekstremitas : Akral Hangat (+/+), Edema (-/-)
Intake cairan: 3000cc, urin: 3300cc
A: Tetanus generalisata
P:
 O2 NRM 10 lpm
 IVFD aminofluid : asering 2:1 dalam 24 jam
 Inj. Omeprazole 2x40mg iv
 Inj. Antrain 3x1g iv
 Inj. Metronidazole 3x500mg
 Inj. Ceftriaxone 2x2g
 Diazepam pump 0,7cc/jam
 Midazolam pump 1cc/jam
 Sonde 6x200
 Monitor vital sign, balance cairan, kejang
 Oral hygiene

17 Oktober 2018
S : kaku berkurang
O: Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis, GCS 456
Vital sign
 Nadi : 112x/ menit
 Respiration Rate : 20x/ menit
 Suhu : 36.70C
 TD : 156/70 MmHg
 SpO2 : 99%
K/L : a/i/c/d = -/-/-/-

12
Risus sardonicus -, trismus, kaku kuduk -
Thorax :
Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : ves/ves, rhonki -/- , wheezing -/-
Abdomen : flat, kaku seperti papan, nyeri tekan +, timpani, BU(+)N
Ekstremitas : Akral Hangat (+/+), Edema (-/-)
Intake cairan: 2610cc, urin: 1900cc
A: Tetanus generalisata
P:
 O2 NRM 10 lpm
 IVFD aminofluid : asering 2:1 dalam 24 jam
 Inj. Omeprazole 2x40mg iv
 Inj. Antrain 3x1g iv
 Inj. Metronidazole 3x500mg
 Inj. Ceftriaxone 2x2g
 Diazepam pump 0,5cc/jam
 Midazolam pump 1cc/jam
 Sonde 6x200
 Monitor vital sign, balance cairan, kejang
 Oral hygiene

18 Oktober 2018
S : kaku berkurang
O: Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis, GCS 456
Vital sign
 Nadi : 98x/ menit
 Respiration Rate : 20x/ menit
 Suhu : 36.70C
 TD : 146/70 MmHg
 SpO2 : 99%
K/L : a/i/c/d = -/-/-/-
Trismus +

13
Thorax :
Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : ves/ves, rhonki -/- , wheezing -/-
Abdomen : flat, kaku seperti papan, nyeri tekan +, timpani, BU(+)N
Ekstremitas : Akral Hangat (+/+), Edema (-/-)
Intake cairan: 2600cc, urin: 1650cc
A: Tetanus generalisata
P:
 O2 NRM 10 lpm
 IVFD aminofluid : asering 2:1 dalam 24 jam
 Inj. Omeprazole 2x40mg iv
 Inj. Antrain 3x1g iv
 Inj. Metronidazole 3x500mg
 Inj. Ceftriaxone 2x2g
 Diazepam pump 0,5cc/jam
 Midazolam pump 1cc/jam
 Sonde 6x200
 Monitor vital sign, balance cairan, kejang
 Oral hygiene
 Cek ulang DL, SE, RFT

19 Oktober 2018
S : kaku berkurang
O: Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis, GCS 456
Vital sign
 Nadi : 86x/ menit
 Respiration Rate : 20x/ menit
 Suhu : 36.70C
 TD : 156/70 MmHg
 SpO2 : 99%
K/L : a/i/c/d = -/-/-/-
Trismus +

14
Thorax :
Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : ves/ves, rhonki -/- , wheezing -/-
Abdomen : flat, kaku seperti papan, nyeri tekan +, timpani, BU(+)N
Ekstremitas : Akral Hangat (+/+), Edema (-/-)
Intake cairan: 2700cc, urin: 1850cc

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


18/10/2018
Hematologi
Hemoglobin 14.2 11.7 – 15.5 g/dL
Lekosit 8100 3.600- 11.000 µL
LED 30-50 10-20/jam Jam
Trombosit 312.000 150.000- 103 µL
440.000
Diff count 0-0-0-83-17- 2-4/0-1/50-
0 70/25-40/2-8
Fungsi Ginjal
Urea 30 10-50 mg/dl
Serum Kreatinin 0.79 0.50 – 1.10 mg/dL
Elektrolit
Natrium 143 136 – 144 meq/l
Kalium 4.4 3.8 – 5.0 meq/l
Clorida 103 94 - 111 meq/l

A: Tetanus generalisata
P:
 O2 nasal 3 lpm
 IVFD aminofluid : asering 2:1 dalam 24 jam
 Inj. Omeprazole 2x40mg iv
 Inj. Antrain 3x1g iv
 Inj. Metronidazole 3x500mg
 Inj. Ceftriaxone 2x2g
 Diazepam pump 0,3cc/jam
 Midazolam pump 0,5cc/jam
 Sonde 6x200

15
 Monitor vital sign, balance cairan, kejang
 Oral hygiene
 Pro pindah ruangan

20 Oktober 2018
S : kaku -
O: Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis, GCS 456
Vital sign
 Nadi : 80x/ menit
 Respiration Rate : 20x/ menit
 Suhu : 36.70C
 TD : 120/70 MmHg
 SpO2 : 99%
K/L : a/i/c/d = -/-/-/-
Trismus +
Thorax :
Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : ves/ves, rhonki -/- , wheezing -/-
Abdomen : flat, kaku, nyeri tekan +, timpani, BU(+)N
Ekstremitas : Akral Hangat (+/+), Edema (-/-)
A: Tetanus generalisata
P:
 O2 nasal 3 lpm
 IVFD aminofluid : asering 2:1 dalam 24 jam
 Inj. Omeprazole 2x40mg iv
 Inj. Antrain 3x1g iv
 Inj. Metronidazole 3x500mg
 Inj. Ceftriaxone 2x2g
 Diazepam tab 3x5mg

16
 Midazolam stop
 Sonde 6x200

21 Oktober 2018
S : kaku -
O: Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis, GCS 456
Vital sign
 Nadi : 70x/ menit
 Respiration Rate : 20x/ menit
 Suhu : 36.70C
 TD : 120/80 MmHg
 SpO2 : 99%
K/L : a/i/c/d = -/-/-/-
Trismus +
Thorax :
Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : ves/ves, rhonki -/- , wheezing -/-
Abdomen : flat, kaku, nyeri tekan +, timpani, BU(+)N
Ekstremitas : Akral Hangat (+/+), Edema (-/-)
A: Tetanus generalisata
P:
 O2 nasal 3 lpm
 IVFD aminofluid : asering 2:1 dalam 24 jam
 Inj. Omeprazole 2x40mg iv
 Inj. Antrain 3x1g iv
 Inj. Metronidazole 3x500mg
 Inj. Ceftriaxone 2x2g
 Diazepam tab 3x5mg
 Sonde 6x200
 Pro KRS besok

17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Tetanus adalah penyakit infeksi akut yang ditandai dengan gangguan
neuromuskuler akut berupa spasme otot skeletal dan gangguan saraf otonom.
Tetanus disebabkan oleh eksotoksin spesifik (tetanospasmin) dari kuman
anaerob Clostridium tetani (Setiati, dkk., 2014; Kasper et al., 2015).

2.2 Etiologi
Tetanus disebabkan oleh infeksi bakteri Clostridium tetani yang memiliki
karakteristik bakteri Gram positif, berbentuk batang, motil dan bersifat obligat
anaerob. Bakteri ini juga mampu membentuk spora, yang memberikan gambaran
khas pada pewarnaan HE, yaitu drumstick appearance. Spora ini dapat bertahan
terhadap berbagai agen desinfektan fisik maupun kimiawi. Spora ini juga dapat
bertahan pada air mendidih selama beberapa menit. Spora baru dapat dibasmi
dengan pemanasan autoclaf pada suhu 121°C selama 15-20 menit. Pada
lingkungan aerob, bakteri juga dapat bertahan dengan membentuk spora dan
bertahan lama di tanah (Setiati, dkk., 2014; Kasper et al., 2015). Spora dari bakteri
ini banyak ditemukan pada feses berbagai hewan, terutama kuda dan
mengkontaminasi tanah serta dapat bertahan dalam kondisi dorman selama
berbulan-bulan hingga beberapa tahun (Ropper & Samuels, 2014).

Bakteri Clostridium tetani dapat masuk melalui luka yang terkontaminasi


spora atau bakteri, serta luka cukup dalam dan sempit sehingga menimbulkan
suasana anaerob, misalnya luka tusuk yang dalam. Pada lingkungan yang sesuai,
bakteri akan mengalami germinasi dari bentuk spora menjadi bentuk motilnya,
kemudian melepaskan toksin yang menimbulkan manifestasi klinis pada pasien

18
tetanus. Selain luka tusuk, pada pasien dewasa bakteri ini bisa menginfeksi
melalui lubang gigi. Pada neonatus, bakteri ini dapat menginfeksi melalui luka
pada umbilical cord yang terkontaminasi, akibat perawatan umbilical yang buruk.
Pada beberapa kasus, juga dapat terjadi infeksi akibat penusukan lobus auricula
untuk pemasangan anting (Setiati, dkk., 2014; Kasper et al., 2015).

2.3 Patofisiologi
Bakteri Clostridium tetani mampu menimbulkan gejala tetanus hanya pada
strain yang mampu menghasilkan toksin. Bakteri ini menghasilkan 2 jenis toksin,
yaitu tetanolysin dan tetanospasmin. Toksin tetanolysin memiliki sifat hemolisis,
namun tidak poten dan tidak terkait dengan manifestasi gejala tetanus. Toksin
tetanospasmin merupakan toksin yang menimbulkan manifestasi klinis. Toksin
tetanospasmin merupakan zinc-dependent protease (Setiati dkk., 2014; Kasper et
al., 2015).
Tetanospasmin berikatan dengan reseptor pada membran saraf presinaps
di medula spinalis dan batang otak. Toksin ini mencegah pelepasan
neurotransmitter dengan membentuk ikatan surface protein dari synaptic vesicles
sehingga mencegah eksositosis dari neurotransmitter. Hambatan pelepasan
neurotransmitter inhibitor, seperti GABA dan glisin, menyebabkan disregulasi
aktivitas motor neuron. Hilangnya efek inhibisi ini menyebabkan kontraksi otot
hingga spasme yang berkelanjutan dari otot yang motor neuronnya terinfeksi
toksin tetanospasmin. Toksin ini bisa bekerja secara lokal pada end plate dari
axon otot skeletal, hingga pada korteks serebrum dan sistem saraf simpatis di
hipotalamus (Ropper & Samuels, 2014; Setiati dkk., 2014; Kasper et al., 2015).

19
2.4 Manifestasi Klinis
Setelah terjadi luka yang terkontaminasi Clostridium tetani, terdapat masa
inkubasi yang bervariasi dari satu atau dua hari hingga satu bulan atau lebih lama.
Periode inkubasi yang lama berkaitan dengan karakteristik tetanus yang bersifat
ringan dan lokal. Pasien yang mengalami masa inkubasi lebih cepat daripada 4
hari akan mengalami manifestasi gejala yang lebih berat. Manifestasi klinis
tetanus meliputi kekakuan otot dan spasme, yang biasanya diawali dari area yang
terkena infeksi dan dapat menyebar ke seluruh tubuh. Pada tetanus lokal, gejala
terbatas pada area luka, namun pada tetanus general, gejala spasme otot bersifat
sistemik, diantaranya trismus, kekakuan leher, refleks spasme, risus sardonicus,
disfagia, opisthotonus, abdomen papan, dan kontraksi otot lainnya. Trismus
adalah kekakuan rahang akibat kontraksi yang kontinu dari musculus maseter
akibat aktivasi nervus facialis. Diantara seluruh sistem neuromuskular, inervasi
musculus maseter merupakan yang paling sensitif terhadap toksin tetanus. Risus
sardonicus adalah mimik wajah khas pada pasien tetanus berupa mata menutup
sebagian yang diikuti adanya kerutan alis dan mulut menyeringai. Opisthotonus
adalah postur tubuh menyerupai busur akibat kontraksi otot punggung yang lebih
kuat daripada otot perut. Gejala sistemik lainnya yang dapat muncul diantaranya
peningkatan suhu tubuh hingga dapat mencapai kondisi hiperpireksia, hidrosis,
peningkatan tekanan darah, dan takikardia (Ropper & Samuels, 2014; Setiati dkk.,
2014; Kasper et al., 2015).
Pada anamnesis, pasien terutama mengeluhkan adanya kekakuan otot
yang mendadak dari otot area tertentu yang kemudian semakin menyebar ke
bagian tubuh lainnya disertai dengan demam tinggi. Perlu ditanyakan riwayat
terkena luka yang dalam atau luka yang terkontaminasi, misalnya jatuh pada area
yang banyak terdapat kotoran pada 1-2 minggu sebelum munculnya gejala. Perlu
ditanyakan pula riwayat gigi berlubang pada pasien. Pada pemeriksaan fisik dapat
diamati gejala-gejala yang sesuai dengan manifestasi klinis diatas (Setiati dkk.,
2014; Kasper et al., 2015).

20
2.5 Klasifikasi
Berdasarkan manifestasi klinisnya tetanus dapat dibagi menjadi :
1. Tetanus generalisata
Tetanus generalisata merupakanjenis tetanus yang paling sering
ditemukan, meliputi sekitar 80% dari pasien tetanus keseluruhan. Pada tetanus
generalisata, manifestasi klinis spasme otot muncul pada hampir seluruh tubuh,
meliputi trismus, risus sardonicus, disfagia, kekakuan otot hingga opisthotonus.
2. Tetanus lokalisata
Tetanus lokalisata merupakan bentuk yang paling ringan, dimana spasme
otot hanya terjadi pada sekitar area luka. Bentuk tetanus ini juga memberikan
prognosis yang paling baik dibanding jenis tetanus lainnya.
3. Tetanus cephalica
Pada tetanus cephalica, gejala didominasi pada area kepala, meliputi
trismus, disfagia, risus sardonicus, dan paralisa dari nervus-nervus cranialis. Pada
tetanus cephalica, umumnya periode inkubasi lebih singkat dan sumber infeksi
pada area wajah dan kepala.
4. Tetanus neonatorum
Gejala tetanus yang muncul pada neonatus akibat adanya perawatan tali
pusat yang buruk, sehingga luka terkontaminasi. Gejala yang muncul diantaranya
kekakuanotot wajah dan trismus yang menyebabkan kesulitan menyusu (Cook et
al., 2001; Ropper & Samuels, 2014).
Berdasarkan tingkat keparahan gejalanya, tetanus menurut klasifikasi
Ablett dapat dibagi menjadi : (Miranda-Filho et al., 2006)

21
2.6 Diagnosis
Diagnosis pada tetanus dapat ditegakkan melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik untuk menemukan manifestasi klinis yang mengarah pada
tetanus. Pemeriksaan kultur untuk menemukan bakteri Clostridium tetani hanya
sebagai data penunjang dan tatalaksana pasien tetanus harus segera dilakukan
setelah diagnosis ditegakkan secara klinis. Diagnosis banding dari tetanus
diantaranya pasien keracunan striknin, yang juga menimbulkan manifestasi
kejang dan spasme general, namun tanpa adanya riwayat trauma dan luka.
Trismus karena nyeri di daerah rahang, kejang karena hipokalsemia, spasme
karena obat neuroleptik juga bisa dipertimbangkan sebagai diagnosis banding.
Pada tetanus neonatorum, manifestasi klinis tetanus dapat didiagnosis banding
dengan meningoencephalitis (Kasper et al., 2015).

2.7 Tatalaksana
Prinsip tatalaksana pasien tetanus adalah untuk meminimalisir efek
toksinnya, yaitu kejang dan spasme otot. Pada penanganan awal pasien, wajib
dilakukan primary survey untuk mencegah sumbatan jalan napas akibat spasme
otot dan kejang. Trakeostomi diperlukan untuk pasien dengan recurrent
generalized tonic spasm dan tidak boleh terlambat sebelum terjadi apnea atau
cyanosis. Penanganan pasien tetanus sebaiknya dilakukan pada ruangan isolasi
yang tenang dan relatif terlindungi dari stimulasi taktil dan suara serta
penerangan. Stimulus cahaya, taktil, maupun suara dapat memprovokasi
terjadinya kejang dan spasme otot (Setiati dkk., 2014; Kasper et al., 2015).
Pemberian antitoksin dosis tunggal (human tetanus immune globulin 3000-
6000 U) harus dilakukan sesegera mungkin bersamaan dengan pemberian
penicillin (penicillin procain 1,2 juta U per hari) selama 10 hari, metronidazole (500
mg setiap 6 jam secara intravena atau 400 mg per rektal), atau tetracycline (2g
per hari). Pemberian obat-obat tersebut efektif terhadap vegetative forms dari C.
tetani. Bila pada pasien masih terdapat luka yang terkontaminasi dan dicurigai
menjadi port d’entry bakteri, dapat dilakukan pembersihan luka secara adekuat
dan jaringan di sekitar luka sebaiknya diinfiltrasi dengan antitoksin (Ropper &
Samuels, 2014; Setiati dkk., 2014; Kasper et al., 2015).
Benzodiazepine merupakan obat yang paling poten untuk terapi kejang
tetanus. Diazepam 120 mg dalam 24 jam atau lebih bisa diberikan dengan dosis

22
terbagi dengan fasilitas ventilatory support yang tersedia. Pada tetanus
neonatorum, bisa diberikan diazepam dosis 0,2-0,5 mg/KgBB setiap kejang
dengan dosis maksimum 5 mg dalam 24 jam. Bila tidak ada diazepam, dapat
diberikan lorazepam dengan dosis 2 mg setiap kejang dengan dosis maksimum
10 mg dalam 24 jam. Untuk mengatasi spasme otot dan gangguan otonomik pada
pasien, diazepam dapat dikombinasi dengan pemberian magnesium sulfat
dengan dosis 5g untuk loading dose yang dapat dilanjutkan melalui infus dengan
dosis 2-3 g/jam hingga spasme teratasi. Magnesium bekerja pada neuron
presinaps dengan menghambat uptake kalsium yang berperan dalam kontraksi
otot. Dalam pemberian magnesium sulfat perlu diperiksa secara berkala refleks
patella dari pasien karena hilangnya refleks patella merupakan tanda awal kondisi
hipermagnesemia akibat magnesium sulfat dan pemberiannya harus dihentikan
(Cook et al., 2001; Setiati dkk., 2014; Kasper et al., 2015).
Diazepam dan obat-obatan golongan benzodiazepine lainnya merupakan
GABA agonis dengan bekerja pada reseptor GABA. Obat ini bereaksi dengan
reseptor GABA, membuka kanal ion Cl- sehingga ion Cl- masuk ke dalam neuron.
Proses ini menghambat impuls saraf. Obat ini bekerja utamanya di cerebral cortex
dan sistem limbik. Flumazenil, obat antagonis dari benzodiazepine, bisa
membalikkan efek tanda dan gejala overdosis dari benzodiazepine dengan cara
berikatan dengan reseptor benzodiazepine di sistem saraf pusat.

23
Midazolam atau propofol bisa jadikan obat alternatif dengan pemberian
infus intravena secara kontinyu. Short-acting barbiturate (secobarbital atau
pentobarbital), chlorpromazine, morphine juga bisa berguna untuk pasien tetanus.
Manipulasi harus diminimalisir seminimal mungkin (Ropper & Samuels, 2014).

2.8 Pencegahan
Prinsip utama dalam pencegahan tetanus adalah perawatan luka yang
optimal dan vaksinasi. Pada trauma benda tajam yang menimbulkan luka tusuk
yang dalam, perlu segera dilakukan irigasi dengan air mengalir untuk mencegah
pertumbuhan bakteri anaerob yang bisa terdapat pada luka. Bila luka tampak
besar dan terkontaminasi berat, dapat segera dilakukan debridement untuk
membuang kontaminan yang dapat menjadi sumber infeksi bakteri Clostridium
tetani. Luka yang dicurigai terinfeksi tetanus adalah :
 Luka yang bertahan lebih dari 6 jam
 Luka dengan kedalaman> 1 cm
 Secara kasat mata luka tampak terkontaminasi
 Luka terekspse pada saliva atau feces, serta bersifat ischemic
 Luka akibat crush injury atau avulsi
Pada luka yang dicurigai terinfeksi Clostridium tetani, perlu ditanyakan
pada pasien apakah sudah menerima imunisasi tetanus secara lengkap. Bila tidak
didapatkan cukup data yang menunjang pasien telah terimunisasi dengan baik,
segera dilakukan pemeriksaan serologis untuk memeriksa adanya antibodi
terhadap toksin tetanus pada pasien dan diberikan vaksin tetanus toksoid
bersamaan dengan injeksi HTIG sejumlah 3000-6000 IU. Bila pasien memiliki
antibodi terhadap toksin tetanus, maka tidak dilakukan imunisasi TT booster.
Namun bila pasien tidak memiliki antibodi terhadap toksin, maka dilakukan
booster imunisasi TT pada 4 minggu setelah vaksin pertama, kemudian booster
berikutnya 6 bulan setelah vaksin pertama (IDAI, 2014; Setiati dkk., 2014; Kasper
et al., 2015).

24
Pencegahan utama adalah melalui imunisasi. Imunisasi tetanus diberikan
melalui imunisasi DPT, bersamaan dengan vaksin untuk difteri dan pertussis.
Pada preparat DPT, imunisasi yang digunakan adalah toksoid tetanus, yaitu
toksin tetanus yang telah dimodifikasi sehingga tidak menimbulkan manifestasi
klinis pada resipien vaksin, namun dapat menginduksi respon imun terhadap
toksin tetanus yang sebenarnya. Waktu pemberian vaksin DPT yang
direkomendasikan adalah pada 3 kali selama periode infant, yaitu di usia 2, 4, dan
6 bulan. Kemudian pada masa anak-anak dilakukan booster sebanyak 2 kali pada
usia 18-24 bulan dan pada usia 3-5 tahun. Pada anak-anak diatas usia 7 tahun
yang belum pernah menerima imunisasi DPT atau yang menerima imunisasi yang
kurang lengkap, dapat diberikan imunisasi Td yang dibooster setiap 10 tahun.
Tidak ada kontraindikasi pemberian vaksin tetanus selain terjadinya reaksi
anafilaksis terhadap regimen vaksin (CDC, 2012; IDAI, 2014; Setiati dkk., 2014;
Kasper et al., 2015).

2.9 Komplikasi
Komplikasi muncul terutama pada pasien severe atau very severe tetanus dan
yang paling utama pada pasien tetanus adalah spasme dari vocal cord dan otot-
otot respiratori yang dapat menyebabkan gangguan dalam proses bernapas.
Spasme otot menimbulkan rasa nyeri pada pasien dan dapat mengganggu
patensi airway. Spasme otot diafragma juga berperan dalam gangguan napas dari
pasien tetanus berat.

25
 Laringospasme dan spasme otot pernapasan dapat menyebabkan
gangguan pernapasan
 Infeksi nosokomial akibat perawatan rumah sakit yang lama seperti
hospital acquired pneumonia.
 Pneumonia aspirasi
 Fraktur tulang punggung atau tulang panjang akibat kontraksi berlebihan
 Hiperaktivitas pada sistem saraf otonom dapat menyebabkan hipertensi,
takikardia, atau aritmia.
 Ulcus decubitus (Hinfey et al., 2016)

2.10 Prognosis
Prognosis pasien tetanus tergantung pada periode inkubasi, yaitu waktu
dari inokulasi spora hingga munculnya gejala, dan waktu dari gejala awal hingga
spasme tetanik yang pertama. Secara umum, periode waktu yang lebih singkat
pada keduanya mengindikasikan tetanus yang lebih berat dan prognosis yang
lebih buruk. Terdapat perbedaan penentu prognosis antara tetanus pada orang
dewasa dibandingkan dengan tetanus neonatorum. Faktor-faktor penentu
prognosis pada orang dewasa diantaranya : 1) usia pasien lebih dari 70 tahun, 2)
periode inkubasi < 7 hari, 3) waktu antara gejala awal muncul hingga penanganan
di rumah sakit, 4) onset < 48 jam, 5) adanya luka bakar atau luka bekas
pembedahan yang kotor, 6) takikardia > 140 bpm, 7) tekanan darah sistolik > 140
mmHg, 8) suhu tubuh > 38,5°C, dan 9) spasme yang berat. Pada tetanus
neonatorum, faktor penentu prognosis pasien diantaranya 1) kelahiran bayi
prematur, 2) keterlambatan penanganan di rumah sakit, 3) hygiene yang buruk
saat persalinan, dan 4) inkubasi < 6 hari (Setiati dkk., 2014).

26
BAB III
PEMBAHASAN

Pada kasus diatas, terdapat berbagai manifestasi gejala yang sesuai


dengan infeksi tetanus. Pada anamnesis, didapatkan pasien kaku seluruh badan
sejak 2 hari sebelum MRS. Awalnya, pasien merasa kaku pada rahang sejak 4
hari sebelum MRS, disertai kaku leher dan punggung terasa sakit dan kaku.
Pasien juga mengeluh sulit menelan. Hal ini sesuai dengan patofisiologi tetanus
yaitu menimbulkan eksitasi dari sistem neuromuskular sehingga terjadi kontraksi
otot yang terus menerus, menimbulkan kekakuan pada otot. Berdasarkan
klasifikasi Ablett, pasien ini merupakan pasien tetanus derajat 3.
Pada pasien ini juga didapatkan demam subfebris. Pada penderita tetanus,
dapat terjadi peningkatan suhu tubuh yang signifikan, bahkan dapat mencapai
40°C. Peningkatan suhu tubuh penderita tetanus disebabkan oleh disregulasi
saraf otonom akibat hambatan efek inhibisi dari sel Renshaw (Kasper et al., 2015).
Kondisi ini menyebabkan hipermetabolisme pada pasien, yang ditunjukkan
melalui karakteristik banyak berkeringat (hiperhidrosis). Kondisi hipermetabolisme
akan menimbulkan percepatan penggunaan oksigen yang dikompensasi dengan
peningkatan laju pernapasan (tachypneu). Tachypneu juga bisa disebabkan oleh
gangguan saraf otonom (Kasper et al., 2015; Chapin & Geibel, 2016). Pada pasien
ini, juga didapatkan manifestasi tachypneu dengan RR mencapai 28 kali per
menit.
Pengarahan pada diagnosis tetanus pada pasien diatas diperkuat dengan
riwayat pasien sakit gigi sejak 1 tahun terakhir. Hal ini sesuai dengan literature
yang mengatakan bahwa sumber infeksi yang bisa menyebabkan kejadian
tetanus adalah salah satunya dari infeksi gigi berlubang. Gigi berlubang
memperbesar kemungkinan terbentuknya lingkungan anaerob. Pada lingkungan
anaerob, spora Clostridium tetani akan berubah menjadi bentuk vegetatifnya dan
memproduksi toksin. Selain itu dari waktu antara kejadian terjadinya luka dengan
munculnya manifestasi gejala, sesuai dengan masa periode inkubasi dari infeksi
Clostridium tetani, yaitu antara 4-14 hari (Kasper et al., 2015).
Pasien ini digolongkan ke dalam tetanus generalisata karena pasien sudah
memberikan gejala yang jauh dari area infeksi dan telah muncul gejala disfungsi
saraf otonom. Luka yang dialami pasien berada di kaki sedangkan manifestasi

27
klinis pasien dominan pada area rahang (trismus). Selain itu, pasien dalam
perjalanan penyakitnya telah mengalami kejang umum. Terjadinya trismus sesuai
dengan perjalanan penyakit tetanus dimana kontraksi otot maseter merupakan
gejala yang seringkali mengawali keadaan kontraksi otot secara general karena
sistem neuromuskularnya yang lebih sensitif terhadap toksin tetanus (Ropper &
Samuels, 2014). Kejang yang terjadi pada pasien tetanus dapat dibedakan
dengan kejang pada penyakit lainnya adalah pada tetanus, selama terjadi proses
kejang pasien sadar sepenuhnya dan setelah kejang berhenti, pasien dapat
menjelaskan bahwa tubuhnya kontraksi selama kejang. Diagnosis tetanus dapat
ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik, sedangkan
pemeriksaan penunjang laboratorum digunakan sebagai parameter terhadap
terjadinya komplikasi akibat gejala-gejala yang muncul akibat tetanus (Setiati dkk.,
2014).
Tatalaksana pasien tetanus yang utama adalah primary survey, dan pada
pasien ini primary survey telah paten, hanya perlu monitoring untuk mencegah
gangguan pada jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi. Pasien ditempatkan pada
ruang isolasi dan dalam kondisi bed rest untuk mencegah provokasi kejang
maupun kontraksi otot oleh stimulus dari luar, seperti suara, cahaya terang, dan
sentuhan (Kasper et al., 2015).
Pada pasien ini diberikan antibiotik metronidazole yang memiliki indikasi
digunakan pada infeksi bakteri-bakteri anaerob. Kemudian untuk mencegah efek
toksin meluas, pada pasien ini segera diberikan injeksi HTIG (Human Tetanus
Immunoglobulin) yang dapat mengikat toksin tetanospasmin. HTIG merupakan
komponen yang esensial dalam manajemen pasien tetanus karena HTIG
mencegah absorbsi tetanospasmin oleh sel neuron, meskipun HTIG tidak dapat
mempengaruhi toksin yang telah diabsorbsi oleh sel neuron. Bakteri tidak dapat
seketika dibasmi dengan antibiotik dan selama proses degradasi tersebut, bakteri
yang bertahan akan memproduksi toksin yang dapat memprovokasi manifestasi
gejala. Gejala yang bisa membahayakan diantaranya adalah kontraksi dari otot-
otot napas yang dapat mengganggu patensi primary survey (Abrahamian et al.,
2000).
Pasien ini tidak diberikan vaksinasi yang seharusnya diberikan tetanus
toksoid untuk mencegah timbulnya manifestasi tetanus bila pasien kembali
mengalami luka dengan mekanisme yang mirip (Hinfey et al., 2016).

28
BAB 4
KESIMPULAN

Tetanus merupakan penyakit infeksius yang disebabkan oleh bakteri


anaerob Clostridium tetani. Manifestasi klinis tetanus seperti kekakuan dan
spasme otot serta disfungsi otonom disebabkanoleh toksin yang dilepaskan oleh
bakteri. Diagnosis tetanus dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan
fisik.
Pasien usia 54 tahun dengan keluhan utama kekakuan seluruh badan
sejak 2 hari sebelum MRS, yang diawali kaku pada rahang sejak 4 hari sebelum
MRS, disertai kaku leher dan punggung terasa sakit dan kaku. Pasien juga
memiliki riwayat sakit gigi sejak 1 tahun terakhir. Dari pemeriksaan fisik,
didapatkan kejang dan kaku seluruh tubuh dengan kesadaran yang tidak
menurun, peningkatan tekanan darah disertai takikardia yang merupakan gejala
dari disfungsi otonom. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik diatas, dapat
ditegakkan diagnosis pada pasien ini adalah tetanus.
Terapi yang diberikan pada pasien ini meliputi terapi farmakologis dan
terapi non-farmakologis. Terapi farmakologis yang diberikan pada pasien adalah
HTIG 3000 IU, injeksi diazepam, antibiotik ceftriaxone 2 x 2 g, dan infus
metronidazole 3 x 500 mg. Terapi non-farmakologis meliputi bed rest,
penempatan pasien pada ruang isolasi yang gelap dan tenang, surface cooling,
dan oral hygiene untuk eradikasi sumber infeksi.

29
DAFTAR PUSTAKA

Abrahamian, F. M., Pollack, C. V., LoVecchio, F., Nanda, R., Carlson, R. W. 2000.
Fatal Tetanus in a Drug Abuser with “Protective” Antitetanus Antibodies.
The Journal of Emergency Medicine; 18(2): 189-193.

Bleck, T. P., Brauner, J. S. 17. Tetanus. Infections of the Central nervus System.
Second edition. Lippincott-Raven Publishers, Philadelphia, PA: p.629-653.

CDC. 2012. Tetanus.


http://www.cdc.gov/VACCINes/pubs/pinkbook/downloads/tetanus.pdf.
Diakses pada tanggal 6 Oktober 2018.

Chapin, J. W., Geibel, J. 2016. Malignant Hyperthermia.


http://emedicine.Medscape.com/ article/2231150-overview. Diakses pada
tanggal 9 Oktober 2018.

Cook, T. M., Protheroe, R. T., Handel, J. M. 2001. Tetanus: a Review of the


Literature. British Journal of Anaesthesia; 87: 477-487.

Hinfey, P. B., Ripper, J., Engell, C. A., Chappell, K. N. 2016. Tetanus.


http://emedicine. Medscape.com/article/2254-overview#a2. Diakses pada
tanggal 23 September 2018.

Kasper, D. L., Hauser, S. L., Jameson, J. L., Fauci, A. S., Longo, D. L., Lozcalzo,
J. (Ed.). 2015. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 19th Edition.
McGraw Hill Education. New York. p.84-87.

Kretsinger, K., Broder, K. R., Cortese, M. M., Joyce, M. P., et al. 2006. Preventing
Tetanus, Diphteria, and Tetanus Among Adults; Use of Tetanus Toxoid,
Reduced Diphteria Toxoid and Acellular Pertussis Vaccine
Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices
(ACIP) and Recommendations of ACIP, supported by the Healthcare
Infection Control Practices Advisory Committee (HICPAC), for Use of Tdap
among Health-care Personnel. MMWR Recomm Rep.; 55: 1-37.

Miranda-Filho, D. B., Ximenes, R. A. A., Barne, A. A., Vaz, V. L., Vieira, V. G.,
Albuquerque, V. M. G. 2006. Clinical Classificatinof Tetanus Patients.
Brazzilian Journal of Medical and Biological Research; 3: 132-1337.

30
Roper, M. H., Vandelaer, J. H., Gasse, F. L. 2007. Maternal and Neonatal
Tetanus. www.lancet.com. Diakses pada tanggal 7 Oktober 2018.

Ropper, A. H., Samuels, M. A. 2014. Adams and Victor’s Principles of Neurology.


Tenth Edition. The McGraw-Hill Companies Inc. New York.

Setiati, S., Alwi, I., Sudy, A. W., Simadibrata, M., Setyohadi, B., Syam, A. F. (Ed.)
2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid Keenam. Interna Publishing.
Jakarta. p.63-642.

31

Anda mungkin juga menyukai