Anda di halaman 1dari 20

Case Report

Penyakit Paru Obstruktif Kronis Eksersebasi Akut

Disusun oleh :
dr. Cindy Mediana

Pembimbing:
dr. Atep Supriadi, Sp. Em
dr. Bondhan Prajati
dr. Iik Rachmawati

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BALARAJA
PERIODE FEBRUARI 2019-2020
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS
Penyakit Paru Obstruktif Kronis Eksersebasi Akut

Digunakan untuk memenuhi syarat internsip di RSUD Balaraja

Disusun oleh:
dr. Cindy Mediana

Pembimbing DPJP:

dr. Atep Supriadi, Sp. Em

Pendamping Internship IGD Pendamping Internship IRNA

dr. Bondhan Prajati dr. Iik Rachmawati


BAB I
LAPORAN KASUS

1.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Ny. Sainah Binti Icing
Jenis kelamin : Perempuan
Tanggal lahir/ usia : 07 April 1962 / 57 tahun
Alamat : Kp. Kronjo, RT 04 RW 02, Tangerang
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
Nomor RM : 00.03.08.39
Pembayaran : BPJS
Tanggal Masuk : 21 Oktober 2019, jam 19.50 WIB.
Diagnosis Masuk : Penyakit paru obstruksi kronis eksersebasi akut

1.2 ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara auto-anamnesis dengan pasien pada tanggal 21
Oktober 2019 pukul 19.50 WIB, di IGD RSUD Balaraja.
 Keluhan Utama : sesak napas
 Keluhan Tambahan : batuk
 Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUD Balaraja dengan keluhan sesak napas sejak 1 hari
smrs. Sesak dirasakan terus menerus dan semakin lama semakin memberat sampai
terdengar bunyi ngik saat menghela napas. Sesak lebih terasa saat pasien beraktivitas.
Pasien juga mengeluh sering batuk hilang timbul selama 1 bulan terakhir smrs. Batuk
berdahak (+) dahak berwarna putih. Demam disangkal. Keringat malam disangkal.
 Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya. Riwayat penyakit
paru-paru, penyakit jantung, penyakit darah tinggi dan kencing manis disangkal.

1
 Riwayat Penyakit Keluarga :
Pasien mengaku di keluarganya tidak ada yang mengalami keluhan yang serupa
dengan keluhan pasien. Riwayat penyakit paru-paru, penyakit jantung, penyakit darah
tinggi dan kencing manis di keluarga disangkal.

 Riwayat Lingkungan Perumahan :


Tinggal dirumah berdua bersama suaminya yang seorang perokok. Terdapat 1
kamar. Ventilasi kurang, hanya ada 1 jendela yang tidak mendapatkan sinar cahaya
matahari yang cukup, air minum dan air mandi berasal dari air tanah.
Kesan : Keadaan lingkungan rumah kurang baik.

 Riwayat Sosial Ekonomi :


Pasien bekerja sebagai pedagang asongan. Pasien memiliki suami seorang kuli
bangunan.
Kesan : Status ekonomi kurang baik.

1.3 PEMERIKSAAN FISIK


Dilakukan pada tanggal 21 Oktober 2019 pukul 20.00 WIB, di IGD RSUD Balaraja.

Kesadaran : GCS E4M6V5


Keadaan umum
 Tampak sakit sedang

Tanda Vital
TD : 142/91
N : 87x/m
RR : 30x/m
S : 36 C
Spo2: 94%

2
Status Generalis
 Kepala : Normosefali
 Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut
 Mata : Hiperemis (-/-), Conjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
 Hidung : Bentuk normal, deformitas (-), deviasi (-), sekret (-/-)
 Telinga : Normotia, discharge (-/-).
 Mulut : Bibir kering (-), bibir sianosis (-).
 Leher : Simetris, tidak terdapat pembesaran KGB.
 Thorax :
 Inspeksi : Bentuk dada simetris kanan – kiri. Retraksi supraklavikula
dan epigastrium (-). Gerak napas simetris, tidak ada hemithorax yang
tertinggal.
 Palpasi : Simetris, tidak ada yang tertinggal.
 Perkusi : Hipersonor pada kedua hemitoraks.
 Auskultasi : Suara nafas vesikuler melemah, rhonki (+/+), wheezing (+/+).
Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-).
 Abdomen :
 Inspeksi : Datar, simetris.
 Auskultasi : Bising usus (+).
 Palpasi : Supel, distensi (-), hepar dan lien tidak membesar, asites (-).
 Perkusi : timpani di 4 kuadran.
 Genitalia : tidak ada kelainan, jenis kelamin perempuan.
 Anorektal : tidak ada kelainan.
 Ekstremitas:
Superior Inferior
Deformitas -/- -/-
Akral Dingin -/- -/-
Akral Sianosis -/- -/-
CRT < 2” < 2”
Oedem -/- -/-
Tonus Otot Normotonus Normotonus
Trofi Otot Normotrofi Normotrofi

2
1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.4.1 Pemeriksaan Laboratorium

21/10/2019
JENIS PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN
Hemoglobin 12.4 g/dL 12.0 – 14.0
Hematokrit 40 % 37 – 43
^
Eritrosit 4.97 10 6 /μL 4.0 – 5.0
Leukosit 9.47 10^3 /μL 5.0 – 10.0
Trombosit 274 10^3 /μL 150 – 450
Gula Darah Sewaktu 99 mg/dL 70 - 180

22/10/2019
JENIS PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN
Suhu 36.4 C
Ph 7.541 7.35 – 7.45
Pco2 31.8 35 – 45
Po2 67.5 80 – 95
Hct 34.0 % 37 – 50
HCO3- 27.6 22 - 26
TCO2 28.6 mmol/L 23-27
BE 4.7 mmol/L -2.0 - +2.0
Saturasi O2 95.1 % 94 - 100
A-a DO2 43.2 mmHg

1.5 DAFTAR MASALAH


 Sesak napas
 Batuk kronis
 Hipersonor pada kedua hemitoraks
 Suara nafas vesikuler melemah, rhonki (+/+), wheezing (+/+)
 Mix alkalosis metabolik dan respiratorik

1.6 DIAGNOSIS
Penyakit paru obstruktif kronis eksersebasi akut.

1.7 PENATALAKSANAAN
a. Non medikamentosa
- Pro rawat inap

4
- Edukasi kepada pasien tentang penyakit yang diderita

b. Medikamentosa
- RL + Aminophilin 1amp/12 jam
- Nebulisasi combivent + flixotide
- Methylprednisolon 1 amp inj
- Omeprazole 40mg inj

Setelah konsul dr. Amir, Sp.P


- Ceftriaxone 1x2gram
- Omeprazole 1x40mg
- Ambroxol 3x1
- Nebulisasi combivent/8jam

1.8 PROGNOSIS
 Quo ad vitam : dubia ad malam
 Quo ad functionam : dubia ad malam
 Quo ad sanationam : dubia ad malam

1.9 FOLLOW UP
Keteranga 22 Oktober 2019 23 Oktober 2019
n
S Sesak (+), Batuk (+) Sesak (+) berkurang, Batuk (+)
O KU: CM, TSS KU: CM, TSS
TD :129/79 mmHg TD :120/70 mmHg

5
N : 77x/m N : 82x/m
RR: 24x RR: 22x
S : 36.2 S : 36
Spo2: 98 Spo2: 98
Mata : SI -/-, CA -/- Mata : SI -/-, CA -/-
Thoraks : Vesikular +/+ Rh +/+, Wh -/- Thoraks : Vesikular +/+ Rh -/-, Wh -/-
S1-S2 regular, murmur (-) gallop (-) S1-S2 regular, murmur (-) gallop (-)
Abdomen : BU (+), supel Abdomen : BU (+), supel
Extremitas: Akral hangat Extremitas: Akral hangat
PPOK PPOK
A
CAP CAP
 RL + Aminophilin 1 amp/12jam  Boleh pulang
 Metil Prednisolon 1x125mg IV  Cefixime 2x200mg
P  Omeprazole 1x40mg IV  Salbutamol 2x2mg
 Nebu Combivent/8jam  Ambroxol 3x30mg
 Omeprazole 1x20mg

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PPOK

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik dengan
karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif
nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi paru terhadap partikel
atau gas yang berbahaya.1

2.2 Epidemiologi

Prevalensi PPOK berdasarkan SKRT 1995 adalah 13 per 1000 penduduk, dengan
perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 3 banding 1. Penderita PPOK umumnya
berusia minimal 40 tahun, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan PPOK terjadi pada usia
kurang dari 40 tahun. Menurut hasil penelitian di ruang rawat inap RS. Persahabatan Jakarta
menunjukkan bahwa dari 120 pasien, usia termuda adalah 40 tahun dan tertua adalah 81
tahun. Dilihat dari riwayat merokok, hampir semua pasien adalah bekas perokok yaitu 109
penderita dengan proporsi sebesar 90,83%.1,2
Kebanyakan pasien PPOK adalah laki-laki. Hal ini disebabkan lebih banyak
ditemukan perokok pada laki-laki dibandingkan pada wanita. Hasil Susenas (Survei Sosial
Ekonomi Nasional) tahun 2001 menunjukkan bahwa sebanyak 62,2% penduduk laki-laki
merupakan perokok dan hanya 1,3% perempuan yang merokok. Sebanyak 92,0% dari
perokok menyatakan kebiasaannya merokok di dalam rumah, ketika bersama anggota rumah
tangga lainnya, dengan demikian sebagian besar anggota rumah tangga merupakan perokok
pasif. Proporsi gejala pasien PPOK tertinggi adalah batuk berdahak dan sesak napas (100%),
disusul nyeri dada (73,4%), mengi (56,8%), demam (31,0%), dan terendah mual sebanyak 11
pasien (8%).3

2.3 Faktor Risiko

Faktor risiko PPOK adalah hal-hal yang berhubungan dan atau yang menyebabkan
terjadinya PPOK pada seseorang atau kelompok tertentu. Faktor risiko tersebut meliputi
faktor pejamu, faktor perilaku merokok, dan faktor lingkungan. Faktor pejamu meliputi

7
genetik, hiperesponsif jalan napas dan pertumbuhan paru. Faktor genetik yang utama adalah
kurangnya alfa 1 antitripsin, yaitu suatu serin protease inhibitor. Hiperesponsif jalan napas
juga dapat terjadi akibat pajanan asap rokok atau polusi. Pertumbuhan paru dikaitan dengan
masa kehamilan, berat lahir dan pajanan semasa anak-anak. Penurunan fungsi paru akibat
gangguan pertumbuhan paru diduga berkaitan dengan risiko mendapatkan PPOK.4
Merokok merupakan faktor risiko terpenting terjadinya PPOK. Prevalensi tertinggi
terjadinya gangguan respirasi dan penurunan faal paru adalah pada perokok. Usia mulai
merokok, jumlah bungkus per tahun dan perokok aktif berhubungan dengan angka kematian.
Tidak semua perokok akan menderita PPOK, hal ini mungkin berhubungan juga dengan
faktor genetik. Perokok pasif dan merokok selama hamil juga merupakan faktor risiko PPOK.
Pada perokok pasif didapati penurunan VEP1 tahunan yang cukup bermakna pada orang
muda yang bukan perokok.3,4
Hubungan antara rokok dengan PPOK menunjukkan hubungan dose response, artinya
lebih banyak batang rokok yang dihisap setiap hari dan lebih lama kebiasaan merokok
tersebut maka risiko penyakit yang ditimbulkan akan lebih besar. Hubungan dose response
tersebut dapat dilihat pada Indeks Brigman, yaitu jumlah konsumsi batang rokok per hari
dikalikan jumlah hari lamanya merokok (tahun), misalnya bronkitis 10 bungkus tahun artinya
jika seseorang merokok sehari sebungkus, maka seseorang akan menderita bronkitis kronik
minimal setelah 10 tahun merokok.3,4
Polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan (indoor) seperti asap rokok, asap
kompor, asap kayu bakar, dan lain-lain, polusi di luar ruangan (outdoor), seperti gas buang
industri, gas buang kendaraan bermotor, debu jalanan, dan lain-lain, serta polusi di tempat
kerja, seperti bahan kimia, debu/zat iritasi, gas beracun, dan lain-lain. Pajanan yang terus
menerus oleh polusi udara merupakan faktor risiko lain PPOK. Peran polusi luar ruangan
(outdoor polution) masih belum jelas tapi lebih kecil dibandingkan asap rokok. Polusi dalam
ruangan (indoor polution) yang disebabkan oleh bahan bakar biomassa yang digunakan untuk
keperluan rumah tangga merupakan faktor risiko lainnya. Status sosioekonomi merupakan
faktor risiko untuk terjadinya PPOK, kemungkinan berkaitan dengan polusi, ventilasi yang
tidak adekuat pada tempat tinggal, gizi buruk atau faktor lain yang berkaitan dengan
sosioekonomi.3,4

8
2.4 Patogenesis

Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan oksigen
untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air sebagai hasil
metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi
adalah proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah peristiwa pertukaran
gas antara alveolus dan pembuluh darah, sedangkan perfusi adalah distribusi darah yang
sudah teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri dari gangguan restriksi yaitu gangguan
pengembangan paru serta gangguan obstruksi berupa perlambatan aliran udara di saluran
napas. Parameter yang sering dipakai untuk melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital
(KV), sedangkan untuk gangguan obstruksi digunakan parameter volume ekspirasi paksa
detik pertama (VEP1), dan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas
vital paksa (VEP1/KVP).2
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen asap rokok
merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu, silia yang melapisi
bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan
pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan
menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari
saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi
dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses
ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang
memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan.2
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan kronik
pada paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak struktur-struktur
penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka
ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal
terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian,
apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran
udara kolaps.2,3
Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa eosinofil,
komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK predominan dimediasi oleh
neutrofil. Asap rokok menginduksi makrofag untuk melepaskan Neutrophil Chemotactic
Factors dan elastase, yang tidak diimbangi dengan antiprotease, sehingga terjadi kerusakan
jaringan. Selama eksaserbasi akut, terjadi perburukan pertukaran gas dengan adanya

9
ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Kelainan ventilasi berhubungan dengan adanya
inflamasi jalan napas, edema, bronkokonstriksi, dan hipersekresi mukus. Kelainan perfusi
berhubungan dengan konstriksi hipoksik pada arteriol.3,4

2.5 Diagnosis

Diagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan


penunjang. Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks dapat
menentukan PPOK klinis. Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri akan dapat
menentukan diagnosis PPOK sesuai derajat penyakit.4,5

2.5.1. Anamnesis

a. Ada faktor risiko


Faktor risiko yang penting adalah usia (biasanya usia pertengahan), dan adanya
riwayat pajanan, baik berupa asap rokok, polusi udara, maupun polusi tempat kerja.
Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih
penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan
apakah pasien merupakan seorang perokok aktif, perokok pasif, atau bekas perokok.
Penentuan derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-
rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun. Interpretasi hasilnya
adalah derajat ringan (0-200), sedang (200-600), dan berat.4,5

b. Gejala klinis
Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini harus
diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala yang biasa terjadi pada
proses penuaan. Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan yang tidak hilang
dengan pengobatan yang diberikan. Kadang-kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus
menerus tanpa disertai batuk. Selain itu, Sesak napas merupakan gejala yang sering
dikeluhkan pasien terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah
mengalami adaptasi dengan sesak napas yang bersifat progressif lambat sehingga sesak ini
tidak dikeluhkan. Untuk menilai kuantitas sesak napas terhadap kualitas hidup digunakan
ukuran sesak napas sesuai skala sesak menurut British Medical Research Council (MRC)
(Tabel 2.1).4,5

10
Tabel 2.1 Skala Sesak menurut British Medical Research Council (MRC)

2.5.2 Pemeriksaan Fisik

Temuan pemeriksaan fisik mulai dari inspeksi dapat berupa bentuk dada seperti tong
(barrel chest), terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti orang meniup), terlihat
penggunaan dan hipertrofi otot-otot bantu napas, pelebaran sela iga, dan bila telah terjadi
gagal jantung kanan terlihat distensi vena jugularis dan edema tungkai. Pada perkusi biasanya
ditemukan adanya hipersonor. Pemeriksaan auskultasi dapat ditemukan fremitus melemah,
suara napas vesikuler melemah atau normal, ekspirasi memanjang, ronki, dan mengi.5

2.5.3 Pemeriksaan Penunjang

a. Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)


Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP (%). VEP1
merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan
memantau perjalanan penyakit. Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin
dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan
memantau variabilitas harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%.6
b. Radiologi (foto toraks)
Hasil pemeriksaan radiologis dapat ditemukan kelainan paru berupa hiperinflasi atau
hiperlusen, diafragma mendatar, corakan bronkovaskuler meningkat, jantung pendulum, dan
ruang retrosternal melebar. Meskipun kadang-kadang hasil pemeriksaan radiologis masih
normal pada PPOK ringan tetapi pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk
menyingkirkan diagnosis penyakit paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari
keluhan pasien.6,7

11
d. Analisa gas darah

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) eksaserbasi menyebabkan penurunan aliran


udara pernapasan sehingga menimbulkan hipoksemia. Eksaserbasi meningkatkan PaCO2
yang menyebabkan terjadinya asidosis respiratorik. Analisis gas darah dilakukan untuk
mengetahui status oksigenasi dan status asam basa.

 Analisis gas darah dilakukan setelah pemberian terapi oksigen. Sebagian besar status
oksigenasi penderita PPOK eksaserbasi adalah hiperoksemia (40,5%) yang didominasi oleh
kelompok umur 40-49 tahun, laki-laki, eksaserbasi tipe III dan perokok. Namun juga terdapat
sebanyak 10,8% hipoksemia sedang dengan persentase tertinggi pada kelompok umur 50-59
tahun, perempuan, tipe I dan perokok. Asidosis respiratorik adalah status asam basa yang
paling banyak ditemukan (29,7%) yang didominasi oleh kelompok umur 40-49 tahun, laki-
laki, eksaserbasi tipe I dan perokok. Selain itu juga terdapat asidosis metabolik (27,0%),
status asam basa normal (18,9%), alkalosis metabolik (13,5%), alkalosis respiratorik (8,1%)
serta campuran asidosis respiratorik dan metabolik (2,7%).7

Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan spirometri dapat ditentukan klasifikasi (derajat)
PPOK, yaitu

Tabel 2.2 Klasifikasi PPOK

12
Klasifikasi Ekersebasi pada PPOK:7

a. Pasien eksaserbasi berat yang mempunyai tiga gejala kardinal, yaitu peningkatan volume
sputum, sputum menjadi semakin purulen, dan peningkatan sesak

b. Pasien eksaserbasi sedang yang mempunyai dua gejala kardinal, jika peningkatan purulensi
merupakan salah satu dari dua gejala tersebut

c. Pasien eksaserbasi ringan yang mempunyai satu gejala kardinal, ditambah adanya infeksi
saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan
mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20% baseline, atau frekuensi nadi > 20%
baseline.

2.5.. Diagnosis Banding

PPOK lebih mudah dibedakan dengan bronkiektasis atau sindroma pasca TB paru,
namun seringkali sulit dibedakan dengan asma bronkial atau gagal jantung kronik. Perbedaan
klinis PPOK, asma bronkial dan gagal jantung kronik dapat dilihat pada Tabel 2.3.8

Tabel 2.3. Perbedaan klinis dan hasil pemeriksaan spirometri pada PPOK, asma
bronkial dan gagal jantung kronik

13
2.6 PPOK Eksaserbasi Akut

Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan dengan


kondisi sebelumnya. Definisi eksaserbasi akut pada PPOK adalah kejadian akut dalam
perjalanan alami penyakit dengan karakteristik adanya perubahan basal sesak napas, batuk,
dan/atau sputum yang diluar batas normal dalam variasi hari ke hari.7
Penyebab eksaserbasi akut dapat primer yaitu infeksi trakeobronkial (biasanya karena
virus), atau sekunder berupa pneumonia, gagal jantung, aritmia, emboli paru, pneumotoraks
spontan, penggunaan oksigen yang tidak tepat, penggunaan obat-obatan (obat antidepresan,
diuretik) yang tidak tepat, penyakit metabolik (diabetes melitus, gangguan elektrolit), nutrisi
buruk, lingkungan memburuk atau polusi udara, aspirasi berulang, serta pada stadium akhir
penyakit respirasi (kelelahan otot respirasi).7,8
Selain itu, terdapat faktor-faktor risiko yang menyebabkan pasien sering menjalani
rawat inap akibat eksaserbasi. Menurut penelitian Kessler dkk. (1999) terdapat faktor
prediktif eksaserbasi yang menyebabkan pasien dirawat inap. Faktor risiko yang signifikan
adalah Indeks Massa Tubuh yang rendah (IMT<20 kg/m2) dan pada pasien dengan jarak
tempuh berjalan enam menit yang terbatas (kurang dari 367 meter). Faktor risiko lainnya
adalah adanya gangguan pertukaran gas dan perburukan hemodinamik paru, yaitu PaO2≤65
mmHg, PaCO2>44 mmHg, dan tekanan arteri pulmoner rata-rata (Ppa) pada waktu istirahat
> 18 mmHg.7

2.7 Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi Akut

Prinsip penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut adalah mengatasi segera eksaserbasi


yang terjadi dan mencegah terjadinya kematian. Risiko kematian dari eksaserbasi sangat
berhubungan dengan terjadinya asidosis respiratorik, adanya komorbid, dan kebutuhan akan
alat ventilasi. Penanganan eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah (untuk eksaserbasi
yang ringan) atau di rumah sakit (untuk eksaserbasi sedang dan berat). Penatalaksanaan
eksaserbasi akut di rumah sakit dapat dilakukan secara rawat jalan atau rawat inap dan
dilakukan di poliklinik rawat jalan, ruang rawat inap, unit gawat darurat, atau ruang ICU.9

14
2.7.1 Bronkodilator

Bronkodilator yang lebih dipilih pada terapi eksaserbasi PPOK adalah short-acting
inhaled B2-agonists. Jika respon segera dari obat ini belum tercapai, direkomendasikan
menambahkan antikolinergik, walaupun bukti ilmiah efektivitas kombinasi ini masih
kontroversial. Walaupun penggunaan klinisnya yang luas, peranan metilxantin dalam terapi
eksaserbasi masih kontroversial. Sekarang metilxantin (teofilin, aminofilin) dipertimbangkan
sebagai terapi lini kedua, ketika tidak ada respon yang adekuat dari penggunaan short-acting
inhaled B2-agonists. Tidak ada penelitian klinis yang mengevaluasi penggunaan long-acting
inhaled B2-agonists dengan/tanpa inhalasi glukokortikosteroid selama eksaserbasi.
Bila rawat jalan B2-agonis dan antikolinergik harus diberikan dengan peningkatan
dosis. Inhaler masih cukup efektif bila digunakan dengan cara yang tepat, nebulizer dapat
digunakan agar bronkodilator lebih efektif. Hati-hati dengan penggunaan nebulizer yang
memakai oksigen sebagai kompresor, karena penggunaan oksigen 8-10 liter untuk
menghasilkan uap dapat menyebabkan retensi CO2. Golongan xantin dapat diberikan
bersama-sama dengan bronkodilator lainnya karena mempunyai efek memperkuat otot
diafragma. Dalam perawatan di rumah sakit, bronkodilator diberikan secara intravena dan
nebulizer, dengan pemberian lebih sering perlu monitor ketat terhadap timbulnya palpitasi
sebagai efek samping bronkodilator.9

2.7.2 Kortikosteroid

Kortikosteroid oral/intravena direkomendasikan sebagai tambahan terapi pada


penanganan eksaserbasi PPOK. Dosis pasti yang direkomendasikan tidak diketahui, tetapi
dosis tinggi berhubungan dengan risiko efek samping yang bermakna. Dosis prednisolon oral
sebesar 30-40 mg/hari selama 7-10 hari adalah efektif dan aman. Kortikosteroid tidak selalu
diberikan tergantung derajat berat eksaserbasi. Pada eksaserbasi derajat sedang dapat
diberikan prednison 30 mg/hari selama 1-2 minggu, pada derajat berat diberikan secara
intravena. Pemberian lebih dari dua minggu tidak memberikan manfaat yang lebih baik,
tetapi lebih banyak menimbulkan efek samping.9

15
2.7.3 Antibiotik

Berdasarkan bukti terkini yang ada, antibiotik harus diberikan kepada:9


a. Pasien eksaserbasi yang mempunyai tiga gejala kardinal, yaitu peningkatan volume
sputum, sputum menjadi semakin purulen, dan peningkatan sesak

b. Pasien eksaserbasi yang mempunyai dua gejala kardinal, jika peningkatan purulensi
merupakan salah satu dari dua gejala tersebut

c. Pasien eksaserbasi yang memerlukan ventilasi mekanik.

Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat dan komposisi


kombinasi antibiotik yang mutakhir. Pemberian antibiotik di rumah sakit sebaiknya per drip
atau intravena, sedangkan untuk rawat jalan bila eksaserbasi sedang sebaiknya diberikan
kombinasi dengan makrolid, dan bila ringan dapat diberikan tunggal. Antibiotik yang dapat
diberikan di Puskesmas yaitu lini I: Ampisilin, Kotrimoksasol, Eritromisin, dan lini II:
Ampisilin kombinasi Kloramfenikol, Eritromisin, kombinasi Kloramfenikol dengan
Kotrimaksasol ditambah dengan Eritromisin sebagai Makrolid.9,10

2.7.4 Terapi Oksigen

Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang pertama dan utama,
bertujuan untuk memperbaiki hipoksemia dan mencegah keadaan yang mengancam jiwa,
dapat dilakukan di ruang gawat darurat, ruang rawat atau di ICU. Tingkat oksigenasi yang
adekuat (PaO2>8,0 kPa, 60 mmHg atau SaO2>90%) mudah tercapai pada pasien PPOK yang
tidak ada komplikasi, tetapi retensi CO2 dapat terjadi secara perlahan-lahan dengan
perubahan gejala yang sedikit sehingga perlu evaluasi ketat hiperkapnia. Gunakan sungkup
dengan kadar yang sudah ditentukan (ventury mask) 24%, 28% atau 32%. Perhatikan apakah
sungkup rebreathing atau non-rebreathing, tergantung kadar PaCO2 dan PaO2. Bila terapi
oksigen tidak dapat mencapai kondisi oksigenasi adekuat, harus digunakan ventilasi
mekanik.9,10

16
2.7.5 Ventilasi Mekanik

Tujuan utama penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK eksaserbasi berat adalah
mengurangi mortalitas dan morbiditas, serta memperbaiki gejala. Ventilasi mekanik terdiri
dari ventilasi intermiten non invasif (NIV), baik yang menggunakan tekanan negatif ataupun
positif (NIPPV), dan ventilasi mekanik invasif dengan oro-tracheal tube atau trakeostomi.
Dahulukan penggunaan NIPPV, bila gagal dipikirkan penggunaan ventilasi mekanik dengan
intubasi. Penggunaan NIV telah dipelajari dalam beberapa Randomized Controlled Trials
pada kasus gagal napas akut, yang secara konsisten menunjukkan hasil positif dengan angka
keberhasilan 80-85%. Hasil ini menunjukkan bukti bahwa NIV memperbaiki asidosis
respiratorik, menurunkan frekuensi pernapasan, derajat keparahan sesak, dan lamanya rawat
inap.9,10

2.8 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik, gagal napas
akut pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan kor pulmonale. Gagal napas kronik
ditunjukkan oleh hasil analisis gas darah berupa PaO2<60 mmHg dan PaCO2>50 mmHg,
serta pH dapat normal. Gagal napas akut pada gagal napas kronik ditandai oleh sesak napas
dengan atau tanpa sianosis, volume sputum bertambah dan purulen, demam, dan kesadaran
menurun. Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk
koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Selain itu, pada kondisi kronik
ini imunitas tubuh menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah.
Adanya kor pulmonale ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit>50 %, dan dapat
disertai gagal jantung kanan.10

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Abidin A, Yunus F, Wiyono WH, Ratnawati A. Manfaat rehabilitasi paru dalam


meningkatkan atau mempertahankan kapasitas fungsional dan kualitas hidup penderita
penyakit paru obstruktif kronik di RSUP Persahabatan. J Resp Ind 2009; 29:70-78.

2. Agusti AGN, Noguera A, Sauleda J, et al. Systemic effects of chronic obstructive


pulmonary disease. Eur Respir J 2003; 21 :347-60.

3. Dodd JW, Hogg L, Nolan J, et al. The COPD Assessment Test (CAT) : response to
pulmonary rehabilitation. A multicentre, prospective study. Torax 2011 May; 66 (15) :
425-9.

4. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. Global strategy for diagnosis,
management and prevention of chronic obstructive lung disease updated 2012.

5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). PPOK (Penyakit paru Obstruktif Kronik),
pedoman praktis diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia; 2011.

6. Pitta Fabio, Trossters T, Vanessa S et al. Are patients with COPD more active after
pulmonary rehabilitation? Chest 2008; 134: 273-280.

7. Palmer P.E.S, Cockshott W.P, Hegedus V, Samuel E. Manual of Radiographic


Interpretation for General Practitioners. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta :
EGC,1995.
8. Rani, F. Gambaran Analisis Gas Darah Pada Penderita PPOK Eksaserbasi Yang
Dirawat di Bangsal Paru RSUP DR. M. Djamil Padang Periode Januari 2013-Desember
2015. (http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/20009)

9. Seymour JM, Moore L, Jolley JC. Outpatient pulmonary rehabilitation following acute
exacerbations of COPD. Bmj 2010; 65: 423-428.

10. Wibisono MJ, Winariani, Hariadi s. Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Penyakit Paru. Surabaya, 2010: 37-51.

18

Anda mungkin juga menyukai