Anda di halaman 1dari 31

LONG CASE

“PERITONITIS”
Disusun Untuk Memenuhi Syarat Kelulusan Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Kedokteran Bedah di RSUD Kota Salatiga

Diajukan kepada:
dr. Esdianto Setiawan, M.Si, Med., Sp.B.

Disusun oleh:
Dewandaru Istighfaris Agadinata Bramanti
1813020013

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


SMF ILMU BEDAH RSUD SALATIGA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui dan disahkan Long Case dengan judul

“Peritonitis”

Disusun oleh:
Dewandaru Istighfaris Agadinata Bramanti
1813020013

Telah dipresentasikan
Hari/Tanggal:

Disahkan oleh:
Dosen Pembimbing

dr. Esdianto Setiawan, M.Si, Med., Sp.B.

ii
BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
Nama : An. S
Umur : 12 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Banjarsari

B. ANAMNESIS (Subjektif)
1. Keluhan Utama
Nyeri perut.
2. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
Pasien datang ke IGD RSUD Salatiga dengan keluhan nyeri perut. Nyeri
perut diseluruh lapang perut dan tidak menjalar. Nyeri perut seperti
ditusuk benda tajam. Nyeri perut sudah 1 minggu. Keluhan memberat
saat beraktivitas dan keluhan menurun saat berbaring. Keluhan sudah
mengganggu aktivitas sekolah pasien. Pasien juga mengeluhkan demam
sudah 3 hari. Mual (-), muntah (-), pusing (-), dan nafsu makan pasien
menurun. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Pasien masih bisa kentut.
3. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)
Pasien belum pernah menderita keluhan serupa. Pasien memiliki riwayat
demam tifoid 1 bulan yang lalu dan sudah dirawat inap di RS pacitan.
Riwayat asma, kejang, kelinan jantung, dan trauma disangkal.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan serupa. Penyakit
darah tinggi, kencing manis, asam urat, dan penyakit ginjal dikeluarga
disangkal.
5. Riwayat Sosial Ekonomi

3
Pasien memiliki asuransi BPJS kelas III. Sehari-hari pasien sekolah dan
bermain dirumah. Pasien jarang berolahraga. Makan sehari 3x. Alergi
obat (-).

C. PEMERIKSAAN FISIK (Objektif)


Kesan Umum Tampak kesakitan berat
Kesadaran Apatis (GCS E3V4M5)
Tekanan Darah : -
Nadi : 160 x/menit
Vital Signs /
Respirasi :24 x/menit
Tanda-Tanda
Suhu : 39,9 0C
Vital
SpO2 :99%
BB : 27,8 kg
Kepala dan
Leher
Inspeksi Conjungtiva anemis (+/+), Sklera Ikterik (-/-), deviasi
trakea (-)
Palpasi Pembesaran Limfonodi (-), deviasi trakea (-)
Thorax ( pulmo )
Inspeksi Bentuk dada datar dan simetris, tidak terdapat jejas dan
kelainan bentuk, tidak ada spider nervi, tidak ada atrofi
otot dada.
Palpasi Tidak ada ketertinggalan gerak dan vokal fremitus tidak
ada peningkatan maupun penurunan
Perkusi Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi Suara Dasar Vesikuler (SDV) : +/+
Suara ronkhi : -/-
Suara whezzing :-/-

Thorax ( Cor )

4
Inspeksi Pulsasi tidak terlihat
Palpasi Teraba ictus cordis di SIC V linea midclavicularis
sinistra
Perkusi Jantung tidak membesar, batas paru-jantung:
Batas kanan atas : SIC II linea parasternalis dextra
Batas kiri atas : SIC II linea parasternalis sinistra
Batas kanan bawah : SIC IV linea parasternalis dextra
Batas kiri bawah : SIC V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi Suara S1 dan S2 terdengar regular dan tidak ada bising
ataupun suara tambahan jantung
Abdomen
Inspeksi Bentuk datar (+), spider nevi (-), striae (-), jejas (-)
Auskultasi Peristaltik usus (+) lemah
Palpasi Perut teraba keras, diseluruh lapang perut. Nyeri tekan
(+) seluruh lapang perut, hepar dan lien tidak teraba.
Perkusi Timpani
Ekstremitas
Inspeksi Edema (-/-)
Palpasi Pitting edema (-/-), akral dingin pada semua extermitas,
sianosis (-) capillary refill 2 detik

D. DIAGNOSIS AWAL
1. Peritonitis

5
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Hematologi
Leukosit 2.97* 4,5 – 13,5 ribu/ul
Eritrosit 3,16* 3,8 – 5,8 juta/ul
Hemoglobin 8,8* 11,5 – 16,5 gr/dL
Hematokrit 24,1* 35-47 vol%
MCV 76,2* 80 – 96 Fl
MCH 27,8* 28 – 33 Pg
MCHC 36,5 33 – 36 gr/dL
Trombosit 43* 150 – 450 ribu/ul
PT 13,3 11-18 Detik
APTT 39,4 27-42 Detik
Golongan darah O

Hitung Jenis
Eosinophil 0,6 1–5 %
Basophil 0,5 0–1 %
Limfosit 39,9 20 – 50 %
Monosit 1,4 1–6 %
Neutrofil 57,6 25 – 60 %
KIMIA
Gula Darah Sewaktu 125 <140 Mg/dl
ELEKTROLIT
Natrium 122* 132-141 mml/e
Kalium 2,1* 3,3-4,6 mml/e
Clorida 94* 97-107

6
mmol/l
Calsium 7,1* 8,6-10
mg/dl
IMUNOLOGI
Hbs Ag Negatif Negatif
IMUNO/SEROLOGI
Salmonella typhi O 1/320* Negatif
Salmonella paratyphi AO 1/320* Negatif
Salmonella paratyphi BO 1/320* Negatif
Salmonella paratyphi CO Negatif Negatif
Salmonella typhi H Negatif Negatif
Salmonella paratyphi AH Negatif Negatif
Salmonella paratyphi BH 1/80 Negatif
Salmonella paratyphi CH Negatif Negatif

2. Pemeriksaan Radiologi
Foto Abdomen BNO 3 Posisi

7
\

8
Kesan:
- Ileus letak tinggi / SBO
- Pneumoperitoneum

F. DIAGNOSIS AKHIR
1. Peritonitis generalisata et causa suspect perforasi hollow viscus
2. Tifoid fever
3. Pansitopenia
4. Ketidak seimbangan elektrolit : hiponatremia, hipokalemia, hipocalsemia

G. PENATALAKSANAAN
1. IGD
- Infus RL loading 300 cc, dilanjut 15 tpm
- Injeksi ceftriaxone 2 x 650 mg

9
- Injeksi ranitidin 2 x 50 mg
- Cek laboratorium
- Foto polos abdomen 3 posisi
2. Bangsal hari 1
- Pindah ruangan HCU
- Konsul dokter Sp. B cito
- O2 Nasal canule 2 lpm
- Infus RL 15 tpm
- Tranfusi PRC 1 kolf
- Transfusi TC 4 kolf
- Injeksi ceftriaxone 1g/12 jam
- Injeksi ranitidin 30mg/8 jam
- Injeksi dexametason 5mg/8jam
- Koreksi hiponatremi
- Pasang DC (+)
- Pasang NGT (+)
- Operasi laparotomi cito
- Instruksi post OP :
 Puasa
 Infus aminofluid : D5 ¼ NS : RL = 1 : 1 : 1 22 tpm makro
 Injeksi ceftriaxone 1g/12 jam
 Injeksi ranitidin 30mg/8jam
 Injeksi metronidazol 300mg/8jam
 Paracetamol 300mg/8jam
3. Bangsal hari 2
- Infus aminofluid : D5 ¼ NS : RL = 1 : 1 : 1 22 tpm makro
- Injeksi ceftriaxone 1g/12 jam
- Injeksi ranitidin 30mg/8jam
- Injeksi metronidazol 300mg/8jam
- Paracetamol 300mg/8jam
4. Bangsal hari 3

10
- Infus aminofluid : D5 ¼ NS : RL = 1 : 1 : 1 20 tpm makro
- Injeksi ceftriaxone 1g/12 jam
- Injeksi ranitidin 30mg/8jam
- Injeksi metronidazol 300mg/8jam
- Paracetamol 300mg/8jam
5. Bangsal hari 4
- Infus aminofluid : D5 ¼ NS : RL = 1 : 1 : 1 20 tpm makro
- Injeksi ceftriaxone 1g/12 jam
- Injeksi ranitidin 30mg/8jam
- Injeksi metronidazol 300mg/8jam
- Paracetamol 300mg/8jam
- Kodein tab 3 x 10 mg
6. Bangsal hari 5
- Infus aminofluid : D5 ¼ NS : RL = 1 : 1 : 1 20 tpm makro
- Injeksi ceftriaxone 1g/12 jam
- Injeksi ranitidin 30mg/8jam
- Injeksi metronidazol 300mg/8jam
- Paracetamol 300mg/8jam
- Kodein tab 3 x 10 mg
7. Bangsal hari 6
- Infus aminofluid : D5 ¼ NS : RL = 1 : 1 : 1 20 tpm makro
- Injeksi ceftazidime 500mg/8 jam
- Injeksi amikasin 400mg/24 jam
- Injeksi ranitidin 30mg/8 jam
- Injeksi metronidazol 300mg/ 8jam
- Paracetamol 300mg/8jam
- Kodein tab 3 x 10 mg
8. Bangsal hari 7
- Infus aminofluid : D5 ¼ NS : RL = 1 : 1 : 1 20 tpm makro
- Injeksi ceftazidime 500mg/8 jam
- Injeksi amikasin 400mg/24 jam

11
- Injeksi ranitidin 30mg/8 jam
- Injeksi metronidazol 300mg/ 8jam
- Paracetamol 300mg/8jam
- Kodein tab 3 x 10 mg
9. Bangsal hari 8
- Infus aminofluid : D5 ¼ NS : RL = 1 : 1 : 1 20 tpm makro
- Injeksi ceftazidime 500mg/8 jam
- Injeksi amikasin 400mg/24 jam
- Injeksi ranitidin 30mg/8 jam
- Injeksi metronidazol 300mg/ 8jam
- Paracetamol 300mg/8jam
- Kodein tab 3 x 10 mg
10. Bangsal hari 9
- Infus aminofluid : D5 ¼ NS : RL = 1 : 1 : 1 20 tpm makro
- Injeksi ceftazidime 500mg/8 jam
- Injeksi amikasin 400mg/24 jam
- Injeksi ranitidin 30mg/8 jam
- Injeksi metronidazol 300mg/ 8jam
- Paracetamol 300mg/8jam
- Kodein tab 3 x 10 mg
11. Bangsal hari 10
- BLPL

12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI PERITONEUM
Peritoneum adalah membran serosa yang berasal dari sel mesoderm
lamina lateralis, yang berfungsi melapisi dinding dalam abdomen dan organ-
organ dalam abdomen. Lapisan peritoneum dibagi menjadi 2, yaitu:
(Brunicardi, et al., 2009).
1. Peritoneum lamina parietalis : peritoneum yang melapisi dinding dalam
abdomen.
2. Peritoneum lamina visceralis : peritoneum yang melapisi organ di
bawahnya.

13
Gambar 2.1. Peritoneum
Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina
parietalis kanan kiri saling menempel dan membentuk suatu lembar rangkap
disebut duplikatura. Duplikatura ini menghubungkan usus dengan dinding
ventral dan dorsal perut merupakan penggantung usus yang disebut
mesenterium. Mesenterium dibedakan menjadi mesenterium ventrale dan
mesenterium dorsale (Brunicardi, et al., 2009).
Mesenterium adalah peritoneum yang berlapis ganda, bentuknya
seperti kipas, pangkalnya melekat pada dinding belakang perut dan ujungnya
yang mengembang melekat pada usus halus. Di antara dua lapisan membran
yang membentuk mesenterium terdapat pembuluh darah, pembuluh limfe,
saraf dan bangunan lainnya yang memasok usus (Brunicardi, et al., 2009).
 Mesocolon : peritoneum yang melekatkan colon ke dinding
abdomen posteroir
 Omentum majus : peritoneum yang menghubungkan gaster ke colon
dan gaster ke duodenum
 Omentum minus : peritoneum yang menghubungkan hepar ke
oesophagus abdominalis, gaster pylorus dan ampulla duodenum

14
Luas peritoneum kira-kira 1,8 meter 2, sama dengan luas permukaan
kulit orang dewasa. Fungsi peritoneum adalah pelindung organ abdomen &
pelvis, membentuk pembatas halus sehingga organ tidak saling bergesekan,
menjaga kedudukan & mempertahankan kedudukan organ terhadap dinding
posterior abdomen, mengandung sel fagosit dan setengah bagiannya memiliki
membran basal semipermiabel yang berguna untuk difusi air, elektrolit,
makro, maupum mikro sel. Oleh karena itu peritoneum punya kemampuan
untuk digunakan sebagai media cuci darah yaitu peritoneal dialisis dan
menyerap cairan otak pada operasi ventrikulo peritoneal shunting dalam kasus
hidrochepalus (Arief et al., 2014).
Organ-organ yang terdapat di cavum peritoneum dibagi menjadi:
(Sjamsuhidajat et al., 2014).
1. Organ intraperitoneal yaitu organ yang hampir semua bagianya dilapisi
oleh peritoneum visceralis. Contohnya: gaster, hepar, lien, cauda pancreas,
jejenum, ileum, colon transversum, caecum, appendix, uterus dan ovarium.
2. Organ retroperitoneal yaitu organ yang berada dibelakang peritoneum
tetapi hanya sebagian atau tidak sama sekali dilapisi peritoneum visceralis.
 Primary retroperitoneal : ren, aorta, ureter, vesica urinaria, vagina
 Secondary retroperitoneal : duodeum, pancreas selain cauda, colon
ascendens & descendens

Gambar 2.2. Organ Intraabdomen

15
B. PERITONITIS
1. DEFINISI
Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum. Termasuk kedalam
gawat abdomen yang membutuhkan penatalaksanaan secara cepat dan
tepat (Avunduk & Canan, 2002).

Gambar 2.3. Peritonitis


2. EPIDEMIOLOGI
Hasil survey pada tahun 2008 angka kejadian peritonitis di
sebagian wilayah Indonesia hingga saat ini masih tinggi. Di Indonesia,
jumlah pasien yang menderita penyakit peritonitis berjumlah sekitar 7%
dari jumlah penduduk di Indonesia atau sekitar 179.000 orang. (Depkes
RI, 2008)
Angka kejadian penyakit peritonitis di Amerika pada tahun 2011
diperkirakan 750 ribu per tahun dan akan meningkat bila pasien jatuh
dalam keadaan syok. Dalam setiap jamnya di dapatkan 25 pasien
mengalami syok dan satu dari tiga pasien syok berakhir dengan kematian.
Angka insiden ini meningkat 91,3% dalam sepuluh tahun terakhir dan
merupakan penyebab terbanyak kematian di ICU diluar penyebab penyakit
peritonitis.

16
Data mengenai tingkat insidensi peritonitis sangat terbatas, namun
yang pasti diketahui adalah diantara seluruh jenis peritonitis, peritonitis
sekunder merupakan peritonitis yang paling sering ditemukan. Terdapat
perbedaan etiologi peritonitis pada Negara berkembang dengan Negara
maju. Pada Negara berkembang etiologi peritoninis adalah karena
appendicitis perforasi, perforasi ulkus peptikum dan perforasi tifoid.
Sedangkan dinegara maju appendicitis perforasi tetap merupakanpenyebab
utama diikuti dengan perforasi kolon akibat diverticulitis. Tingkat
insidensi peritonitis pasca operatif bervariasi antara 1-20% pada pasien
yang menjalani laparotomy (Gupta & Kaushik, 2006).
3. KLASIFIKASI
a. Berdasarkan agen penyebab
1) Peritonitis bakteri : bakteri patogen
2) Peritonitis kimiawi : asam lambung, cairan empedu, cairan
pancreas
b. Berdasarkan sumber penyebab
1) Peritonitis primer : (Spontaneous bacterial peritonitis) terjadi
akibat infeksi primer pada orang sehat tanpa adanya riwayat trauma
atau tindakan pembedahan. Terjadi pada pasien dengan penyakit
kronis misalnya hepatitis dengan ascites. Semakin rendah kadar
protein cairan asites, semakin tinggi risiko terjadinya peritonitis
dan abses.Biasanya disebabkan oleh bakteri streptococcus
2) Peritonitis sekunder : terjadi akibat translokasi bakteri ke rongga
peritoneum dari suatu perforasi saluran cerna atau kontaminasi dari
luar, misalnya pada trauma tembus abdomen
3) Peritonitis tersier : terjadi jika infeksi masih ada setelah pasien
mendapatkan terapi peritonitis sekunder. Kuman penyebab
tersering yaitu staphylococcus epidermidis & enterobacter
c. Berdasarkan lokasinya
1) Peritonitis lokal : terlokalisir, hanya terjadi pada bagian
tertentu peritoneum

17
2) Peritonitis difus : mulai menyebar
3) Peritonitis generalisata: seluruh lapang peritoneum
(Warsinggih, 2014).
4. ETIOLOGI
a. Penyebaran infeksi dari organ perut yang terinfeksi. Yang sering
menyebabkan peritonitis adalah perforasi lambung, usus, kandung
empedu atau usus buntu. Sebenarnya peritoneum sangat kebal
terhadap infeksi. Jika pemaparan tidak berlangsung terus menerus,
tidak akan terjadi peritonitis, dan peritoneum cenderung mengalami
penyembuhan bila diobati.
b. Penyakit radang panggul pada wanita yang masih aktif melakukan
kegiatan seksual
c. Infeksi dari rahim dan saluran telur, yang mungkin disebabkan oleh
beberapa jenis kuman (termasuk yang menyebabkan gonore dan
infeksi chlamidia)
d. Kelainan hati atau gagal jantung, dimana cairan bisa berkumpul di
perut (asites) dan mengalami infeksi
e. Peritonitis dapat terjadi setelah suatu pembedahan. Cedera pada
kandung empedu, ureter, kandung kemih atau usus selama
pembedahan dapat memindahkan bakteri ke dalam perut. Kebocoran
juga dapat terjadi selama pembedahan untuk menyambungkan bagian
usus.
f. Dialisa peritoneal (pengobatan gagal ginjal) sering mengakibatkan
peritonitis. Penyebabnya biasanya adalah infeksi pada pipa saluran
yang ditempatkan di dalam perut.
g. Iritasi tanpa infeksi. Misalnya peradangan pankreas (pankreatitis akut)
atau bubuk bedak pada sarung tangan dokter bedah juga dapat
menyebabkan peritonitis tanpa infeksi.
(Warsinggih, 2014).
5. FAKTOR RESIKO
a. Penyakit hati dengan ascites

18
b. Kerusakan ginjal
c. Compromised immune system
d. Pelvic inflammatory disease
e. Tifoid fever
f. Appendisitis
g. Ulkus gaster
h. Cholecistitis
i. Colitis ulseratif / chron’s disease
j. Pancreatitis
k. Trauma
l. CAPD (Continous Ambulatory Peritoneal Dyalisis)
(Warsinggih, 2014).

6. PATOGENESIS PATOFISIOLOGI

19
(Brunicardi, et al., 2009; Warsinggih, 2014).
7. MANIFESTASI KLINIS
- Nyeri perut terus menerus, meningkat saat penderita bergerak. Awal
mula nyeri tumpul dan tidak jelas, kemudian menjadi nyeri tajam dan
terlokalisir
- Demam
- Mual, muntah dan anoreksia
- Distensi abdomen
- Tidak dapat BAB atau kentut
(Brunicardi, et al., 2009; Warsinggih, 2014).
8. PENEGAKAN DIAGNOSIS
a. Anamnesis : manifestasi klinis + riwayat sakit
b. Pemeriksaan fisik
1) KU : gelisah, tampak sangat kesakitan
2) Tanda vital
- TD : meningkat
- HR : takikardi

20
- RR : takipneu
- Suhu : demam > 38 oC
3) Pemeriksaan fisik generalis
- Facies hipocrates : ekspresi yang tampak gelisah,
pandangan kosong, mata cowong, kedua telinga menjadi
dingin, dan muka yang tampak pucat
- Tanda dehidrasi : mata cowong, turgor menurun
- Tanda syok : nadi lemah, urin menurun,
penurunan kesadaran
4) Pemeriksaan fisik lokalis (Abdomen)
- Inspeksi : perut kembung (distensi abdomen)
- Auskultasi : bising usus menurun - hilang
- Palpasi : nyeri tekan (+), nyeri lepas (+), defans
muscular (+)
- Perkusi : nyeri ketok (+), hipertimpani, pekak
menghilang
5) Rectal tuse : nyeri di semua arah, tonus musculus spinchter ani
menurun
c. Pemeriksaan penunjang
1) Laboratorium
- Leukositosis atau leukopenia
- Anemia
- Ketidak seimbangan elektrolit
- Peningkatan hematokrit
- Asidosis metabolik

2) Radiologi

21
- BNO 3 posisi : bayangan pre peritoneal fat line tidak
tampak jelas & udara bebas subdiafragma disertai dilatasi usus
- USG abdomen : cairan bebas, penebalan peritonium,
dilatasi usus

Gambar 2.3. USG Abdomen Peritonitis


- CT-Scan

Gambar 2.4. CT-Scan Peritonitis

- MRI

22
Gambar 2.5. MRI Peritonitis
3) Diagnosis Peritoneal Lavage (DPL)
Teknik ini digunakan untuk mengevaluasi pasien dengan
cedera intra abdomen setelah trauma tumpul yang disertai dengan
kondisi: Hilangnya kesadaran, intoksikasi alkohol, perubahan
sensori, misalnya pada cedera medula spinalis, cedera pada costae
atau processus transversus vertebra.
Tehnik ini adalah suatu tindakan melakukan bilasan rongga
perut dengan memasukkan cairan garam fisiologis sampai 1.000 ml
melalui kanul, setelah sebelumnya pada pengisapan tidak
ditemukan darah atau cairan. Pada DPL dilakukan analisis cairan
kualitatif dan kuantitatif : kadar pH, glukosa, protein, LDH, hitung
sel, gram stain, serta kultur kuman aerob dan anaerob. Pada
peritonitis bakterialis, cairan peritonealnya menunjukkan kadar pH
≤ 7 dan glukosa kurang dari 50 mg/dL dengan kadar protein dan
LDH yang meningkat.
Tehnik ini dikontraindikasikan pada kehamilan, obesitas,
koagulopati dan hematom yang signifikan dengan dinding
abdomen.
(IKABI, 2014).

23
9. DIAGNOSIS BANDING
a. Appendisitis
b. Pancreatitis
c. Cholecistitis
d. Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)
e. Ileus obstruktif
f. Ileus paralitik
(Warsinggih, 2014).
10. PENATALAKSANAAN
a. Tatalaksana awal (pre operatif)
 Oksigen 2 lpm
 Infus : guna rehidrasi
 Jika syok : resusitasi cairan RL/NaCl
 Antibiotik : Penisilin G 1.000.000 IU dan streptomisin 1g +
metronidazol 15mg/kgBB, sambil menunggu hasil kultur
 Koreksi elektrolit dan asam basa
 NGT : dekompresi
 Kateter urin & monitoring cairan
 Pasien dipuasakan
b. Operatif
 Laparotomi cito
o kontrol sumber infeksi
o evakuasi inokulasi bakteri, pus, darah
o bilas sebersih mungkin
o debridement radikal
o penutupan sumber infeksi (simple closure, diversi, reseksi +
reanastomosis)
 Pemasangan drain

24
c. Post operatif
 Pasien dirawat di ICU
 Monitoring intensif
 Farmakologi
o Antibiotik : sesuai hasil kultur
o Antifungal : Fluconazone 200 mg/24 jam
o Analgetik : ketorolak 0,2 mg/kgBB/6 jam
o Antipiretik : Paracetamol 10-15 mg/kgBB/6-8 jam
o Antiemetik : ondanseton 0,2 mg/kgBB/12 jam
(Ruler & Boermeester, 2017).

25
Tabel 2.1. Dosis Antibiotik & Antifungal

11. KOMPLIKASI
a. Sepsis
b. Abses residual intraperitoneal
c. Adhesi
d. Ileus obstruksi atau paralitik
e. Syok hipovolemik atau syok sepsis
f. Kegagalan multiple organ
(Warsinggih, 2014).
12. PROGNOSIS
Tingkat mortalitas dari peritonitis generalisata adalah sekitar 40%.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas yaitu tipe
penyakit primer dan durasinya, keterlibatan kegagalan organ multipel
sebelum pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan awal pasien. Tingkat
mortalitas sekitar 10% pada pasien dengan ulkus perforata atau apendisitis,
pada usia muda, pada pasien dengan sedikit kontaminasi bakteri, dan pada
pasien yang terdiagnosis lebih awal (Doherty, 2010).

26
Tabel 2.2. Prognosis Mortalitas Peritonitis Berdasarkan Penyebab

BAB III
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

1. PEMBAHASAN
Pada kasus ini, seorang anak perempuan berusia 12 tahun datang ke
IGD RSUD Salatiga dengan keluhan nyeri perut. Nyeri perut diseluruh lapang
perut dan tidak menjalar. Nyeri perut seperti ditusuk benda tajam. Nyeri perut
sudah 1 minggu. Keluhan memberat saat beraktivitas dan keluhan menurun
saat berbaring. Keluhan sudah mengganggu aktivitas sekolah pasien. Pasien
juga mengeluhkan demam sudah 3 hari. Mual (-), muntah (-), pusing (-), dan
nafsu makan pasien menurun. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Pasien masih
bisa kentut. 1 bulan yang lalu pasien terdiagnosis demam tifoid dan sudah
dirawat inap di RS pacitan.
Pemeriksaan fisik didapatkan KU pasien tampak kesakitan berat,
kesadaran apatis, nadi 160x/menit, RR 24x/menit, suhu 39,9 oC. Conjunctiva
anemis (+/+), peristaltik usus (+) melemah, defans muscular (+) dan nyeri

27
tekan seluruh lapang perut (+) yang menandakan adanya rangsangan
peritoneum.
Pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan leukopenia, anemia,
hematokrit menurun, trombositopenia, hiponatremia, hipokalemia, salmonella
typhi & paratyphi (+). Hasil pemeriksaan foto BNO 3 posisi didapatkan ileus
letak tinggi dan pneumoperitoneum yang menandakan adanya kebocoran
sehingga udara masuk kedalam cavum peritoneum.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang pasien didiagnosis peritonitis generalisata et causa perforasi hollow
viscus, disertai pansitopenia dan ketidak seimbangan elektrolit.
Penatalaksanaan pada kasus ini yaitu:
1) Pre operatif :
- O2 nasal kanul 2 lpm guna memenuhi kebutuhan oksigen
- Infus RL loading 300 cc, dilanjut 15 tpm guna rehidrasi cairan
- Pemasangan NGT guna dekompresi
- Pemasangan DC guna monitoring dan koreksi cairan
- Injeksi ceftriaxone 1g / 12 jam guna antibiotik golongan sefalosporin
generasi III, merupakan antibiotik spektrum luas (antibiotik empiris)
- Injeksi ranitidin 2 x 50 mg guna mengurangi asam lambung
- Transfusi PRC 1 kolf guna menaikan Hb
- Transfusi TC 4 kolf guna menaikan trombosit
- Pasien dipuasakan
2) Operatif laparotomi cito : didapatkan adanya perforasi ileum et causa tifoid
3) Post operatif :
- pasien dirawat diruangan HCU
- pasien dipuasakan
- Infus aminofluid : D5 ¼ NS : RL = 1 : 1 : 1 22 tpm makro guna
memenuhi kebutuhan cairan dan nutrisi
- Injeksi ceftriaxone 1g/12 jam guna antibiotik golongan sefalosporin
generasi III, merupakan antibiotik spektrum luas (antibiotik empiris)
- Injeksi metronidazol 300mg/8jam guna antibiotik bakteri anaerob

28
- Injeksi ranitidin 30mg/8jam guna mengurangi asam lambung
- Paracetamol 300mg/8jam guna antipiretik
- Kodein tab 3 x 10 mg guna analgetik
- Pada hari ke-7 antibiotik ceftriaxone diganti oleh ceftazidime 500 mg/ 8
jam guna antibiotik sefalosporin generasi III, dan amikasin 400 mg/24
jam guna antibiotik aminoglikosida

2. KESIMPULAN
a. Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum. Termasuk kedalam gawat
abdomen yang membutuhkan penatalaksanaan secara cepat dan tepat.
b. Peritonitis sekunder merupakan klasifikasi peritonitis yang paling sering
dijumpai, salah satu penyebabnya adalah perforasi tifoid.
c. Penatalaksanaan peritonitis terdiri dari 1) pre operatif yaitu perbaikan
keadaan umum pasien dan persiapan orerasi; 2) operatif laparotomi cito; 3)
post operatif yaitu perawatan pasien di ruang ICU, monitoring intensif dan
pemberian famakologi yang adekuat.

29
DAFTAR PUSTAKA

Arief, M., Suprohaita., Wahyu, I.K., & Wieiek, S. (2014). Bedah Digestif. Dalam
Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ke-3. Jilid 2. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI.

Avunduk & Canan. (2002). Manual of Gastroenterology: Diagnosis & Therapy.


3rd Edition. Boston: Lippincott Williams & Wilkins.

Brunicardi, F.C., Aderson, D.K., Billiar, T.R., Dunn, D.L., & Pollock, R.E.
(2009). Schwartz’s Manual of Surgery. 8th Edition. New York: McGraw-
Hill.

Depkes RI. (2008). Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Depkes RI.

Doherty, G. (2010). Peritoneal Cavity in Current Surgical Diagnosis &


Treatment 12ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.
IKABI. (2014). Advance Trauma Life Support. 9th Edition. Jakarta: Ikatan Ahli
Bedah Indonesia.

Gupta, S., & Kaushik, R. (2006). Peritonitis – the western experience. World J
EmergSurg.

Ruler, O.V., & Boemeester, M.A. (2017). Surgical treatment of secondary


peritonitis. Chirurg. suppl 1: S1-S6.

30
Sjamsuhidayat, R., Karnadihardja, W., Prasetyono, T.O.H., & Rudiman, R.
(2014). Buku Ajar Ilmu Bedah De Jong. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

Warsinggih. (2014). Buku Ajar Bedah Digestif: Peritonitis & Ileus. Makassar: FK
UNHAS

31

Anda mungkin juga menyukai