Anda di halaman 1dari 33

REFLEKSI KASUS

LEPTOSPIROSIS

Disusun Oleh:
Nadia Salsabila
NIM. 20130310038
NIPP. 20174011035

Pembimbing:
dr. Kuadiharto, Sp.PD

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
RSUD KOTA SALATIGA
2017

1
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui dan disahkan presentasi kasus dengan judul

LEPTOSPIROSIS

Disusun oleh:
Nama: Nadia Salsabila
No. Mahasiswa: 20130310038

Telah dipresentasikan
Hari/Tanggal:
Kamis, 5 Oktober 2017

Disahkan oleh:
Dosen Pembimbing,

dr. Kuadiharto, Sp.PD

2
BAB I
LAPORAN KASUS

A. PASIEN 1
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. AS
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 24 tahun
Alamat : Jalan Sembojosari
Status : Menikah
Masuk RS : 14 September 2017 pukul 09.00 WIB
No. CM : 17-18-373464

II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Kepala pusing, badan terasa sakit semua, perut terasa sakit, dan mual.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD dengan keluhan nyeri kepala sejak 1 hari sebelum masuk
rumah sakit (SMRS), terasa seperti cekot-cekot terutama setiap makan, minum, dan
berdiri. Nyeri di perut kiri atas. Kedua betis terasa kram terutama jika sedang berdiri.
Nyeri saat BAK. BAB tidak ada keluhan. Alergi obat (-).
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat hepatitis B dan leptospirosis disangkal oleh pasien.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung, hepatitis B dan
leptospirosis disangkal oleh pasien.
e. Riwayat Personal Sosial
Pasien berkerja sebagai buruh harian lepas. Lingkungan kerja dan lingkungan
rumah terdapat banyak tikus. Pasien merokok 1-2 pack perhari. Pernah mengonsumsi
alkohol 5 tahun yang lalu. Pasien tidak pernah mengonsumsi NAPZA.
f. Anamnesis sistem
 Kepala dan leher : tidak ada keluhan
 Respirasi : tidak ada keluhan

3
 Gastrointestinal : nyeri perut kiri atas (+)
 Perkemihan : BAK tidak ada keluhan, warna urin jernih (+)
 Ekstremitas : kram di kedua extremitas inferior (+)

III. PEMERIKSAAN FISIK


a. Status Generalisata
Keadaan umum Compos mentis
Tanda Vital:
Tekanan darah 109/61 mmHg
Nadi 91 x/ menit
Suhu 37o C
Pernafasan 20 x/ menit
SpO2 sistemik 98%
VAS (nyeri kepala) 9; (nyeri perut) 7.
Kepala Normosefali, tidak terdapat hematom
Pupil isokor (3mm/3mm), reflek cahaya (+/+), conjungtiva
Mata
anemis (-/-), sklera ikterik (+/+), penglihatan tidak kabur
Telinga Dalam batas normal (dbn)
Hidung Dbn
Tenggorokan Tidak ditemukan adanya deviasi trakhea
Leher Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening
S1-S2 reguler, tidak ditemukan bising atau suara tambahan
Cor
jantung
Bentuk paru simetris, tidak terdapat jejas dan kelainan bentuk,
tidak ada ketinggalan gerak, tidak ada nyeri tekan pada lapang
Pulmo
paru, perkusi sonor, suara dasar vesikuler (+/+), suara ronkhi
(-/-), suara wheezing (-/-)
Supel (+), nyeri tekan (+), bising usus (+), timpani. Hepar:
Abdomen Lobus dexter 13 cm, lobus sinister 7 cm., teraba tumpul.
Lien tidak teraba.
Ekstremitas Tidak edema, gastrocnemius pain (+/+)

4
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium (14/09/2017)
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN
HEMATOLOGI
Leukosit 9.89 4.5 – 11 103/uL
Eritrosit 4.66 4–5 106/uL
Hemoglobin 14.5 14 – 18 g/dL
Hematokrit 40.2 38.00 – 47.00 %
MCV 86.3 86 – 108 fL
MCH 31. 1** 28 – 31 pg
MCHC 36. 1** 30 – 35 g/dL
Trombosit 39* 150 – 450 103/uL
Golongan Darah ABO A
HITUNG JENIS
Eosinofil% 1.1 1-6
Basofil% 0. 1 0.0-1.0
Limfosit% 7.6* 20-45
Monosit% 0.7* 2-8
Neutrofil% 90.5* 40-75
KIMIA
Glukosa Darah Sewaktu 82 <140 mg/dL
Ureum 182** 10-50 mg/dL
Creatinin 3.5** 0.6-1. 1 mg/dL
SGOT 47** <37 U/L
SGPT 16 <42 U/L
IMUNO/SEROLOGI
HBs Ag (Rapid) Negative Negative

b. Pemeriksaan Laboratorium (15/09/2017)


PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN
HEMATOLOGI
Leukosit 5.81 4.5 – 11 103/uL
Eritrosit 4.51 4–5 106/uL
Hemoglobin 14.0 14 – 18 g/dL
Hematokrit 37.8* 38.00 – 47.00 %
MCV 83.9* 86 – 108 fL
MCH 31. 0 28 – 31 pg
MCHC 37.0** 30 – 35 g/dL
Trombosit 51* 150 – 450 103/uL

5
HITUNG JENIS
Eosinofil% 2.1 1-6
Basofil% 0. 4 0.0-1.0
Limfosit% 18.5* 20-45
Monosit% 1.3* 2-8
Neutrofil% 77.7** 40-75
KIMIA
SGOT 49* <37 U/L
SGPT 15 <42 U/L
IMUNO/SEROLOGI
HBs Ag (Rapid) Negative Negative

c. Pemeriksaan Laboratorium (16/09/2017)


PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN
HEMATOLOGI
Leukosit 4.02 4.5 – 11 103/uL
Eritrosit 4.34 4–5 106/uL
Hemoglobin 13.5 14 – 18 g/dL
Hematokrit 37.1* 38.00 – 47.00 %
MCV 85.5* 86 – 108 fL
MCH 31. 1 28 – 31 pg
MCHC 36.4* 30 – 35 g/dL
Trombosit 50* 150 – 450 103/uL
HITUNG JENIS
Eosinofil% 3.2 1-6
Basofil% 0. 4 0.0-1.0
Limfosit% 34.0 20-45
Monosit% 1.8* 2-8
Neutrofil% 60.6* 40-75

d. Pemeriksaan Laboratorium (17/09/2017)


PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN
HEMATOLOGI
Leukosit 3.82* 4.5 – 11 103/uL
Eritrosit 4.20 4–5 106/uL
Hemoglobin 13.1* 14 – 18 g/dL
Hematokrit 37.1* 38.00 – 47.00 %
MCV 88.4 86 – 108 fL
MCH 31. 2 28 – 31 pg
MCHC 35.3 30 – 35 g/dL
Trombosit 52* 150 – 450 103/uL

6
HITUNG JENIS
Eosinofil% 3.5 1-6
Basofil% 0. 6 0.0-1.0
Limfosit% 39.0 20-45
Monosit% 4.7 2-8
Neutrofil% 52.2 40-75

e. Pemeriksaan Laboratorium (18/09/2017)


PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN
KIMIA
Bilirubin Total 5.1** <1.1 mg/dL
Bilirubin Direk 2.9** <0.25 mg/dL
Bilirubin Indirek 2.2

f. Pemeriksaan Laboratorium (21/09/2017)


PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN
KIMIA
Ureum 24 10-50 mg/dL
Creatinin 1.1 0.6-1. 1 mg/dL
Bilirubin Total 5.3** <1.1 mg/dL
Bilirubin Direk 2.0** <0.25 mg/dL

g. Pemeriksaan USG (16/09/2017)


Hasil:
 Hepar dan VF : Bentuk dan besar dbn, ekhostruktur homogen, sistem vena dan
bilier regular, tepi rata, sudut lancip. Tak tampak kista, nodul, batu, dan massa.
 VF : Dinding regular, tak membesar, mukosa tak menebal, tak
tampak sludge, batu dan massa intra VF.
 Lien : Bentuk dan besar dbn, ekhostruktur homogen, tak tampak kista,
nodul, batu dan massa.
 Pankreas : Bentuk dan besar dbn, ekhostruktur homogen, tak tampak kista,
nodul, batu dan massa. AMS tak melebar dan menyempit.
 Aorta : Dinding regular, tak ada pelebaran dan penyempitan, KGB para
aorta tak membesar.
 Ren Dx/Sn : Bentuk dan besar dbn, batas kortek dan medulla tegas, PCS dan
Ureter 1/3 proksimal Ren Dx/Sn tak melebar. Tak tampak kista, nodul, batu dan massa
pada Ren Dx/Sn.

7
 VU : Dinding regular, mukosa tak menebal, tak tampak divertikel,
batu dan massa.
 Udara dalam usus meningkat
 Tak tampak cairan bebas intraperitoneal ekstraintestinal.
Kesan:
Meteorismus. Tak tampak kelainan pada organ-organ intra dan retroperitoneal.

V. DIAGNOSIS
Diagnosis Kerja:
 Cephalgia
 Mialgia
 Suspek Leptospirosis
 Hepatorenal Syndrome
 Acute Kidney Injury
 Hiperbilirubinemia
 Hepatomegali
 Ikterus

VI. PENATALAKSANAAN
a. Infus aminofluid 500 mL
b. Injeksi Ondansetron 4 mg/2 ml 3x1
c. Injeksi Ceftraixone 1 gram 2x1
d. Hepamax caps 3x1
e. Curcuma 200 mg tab 3x1
f. B complex 3x1
g. Omeprazole 2x1

B. PASIEN 2
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. SD
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 52 tahun
Alamat : Reksosari, Suruh, Kabupaten Semarang

8
Status : Menikah
Masuk RS : 22 September 2017 pukul 16.00 WIB
No. CM : 17-18-374077

II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Kedua kaki sakit terutama daerah betis.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD dengan panas sudah 5 hari SMRS. Kedua kaki terasa sakit
seperti kemeng terutama daerah betis. Keluhan sudah dimulai sejak 17 hari SMRS.
Pernah dipijat namun tidak membaik. Pasien pernah memeriksakan diri ke bidan,
diberi obat, dan keluhan sempat membaik. BAK tidak ada keluhan, sedangkan BAB
mencret berwarna hitam. Alergi obat (-).
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat hepatitis B dan leptospirosis disangkal oleh pasien.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Ibu pasien meninggal karena diabetes mellitus dan kakak perempuan pasien
menderita diabetes mellitus. Hipertensi, penyakit jantung, hepatitis B dan
leptospirosis disangkal oleh pasien.
e. Riwayat Personal Sosial
Pasien berkerja sebagai petani. 18 hari SMRS, pasien dalam persiapan lahan
dan membasmi banyak tikus tanpa menggunakan sarung tangan. Pasien merokok 2
pack/hari saat sebelum sakit. Pasien mengaku berhenti merokok semenjak sakit.
f. Anamnesis sistem
 Kepala dan leher : tidak ada keluhan
 Respirasi : tidak ada keluhan
 Gastrointestinal : nyeri perut kanan (+)
 Perkemihan : BAK tidak ada keluhan, warna urin keruh (+)
 Ekstremitas : kemeng-kemeng di kedua extremitas inferior (+)

III. PEMERIKSAAN FISIK


a. Status Generalisata
Keadaan umum Compos mentis

9
Tanda Vital:
Tekanan darah 102/62 mmHg
Nadi 76 x/ menit
Suhu 35.4o C
Pernafasan 24 x/ menit
SpO2 sistemik 96%
Kepala Normosefali, tidak terdapat hematom
Pupil isokor (3mm/3mm), reflek cahaya (+/+), CA (-/-), SI
(+/+), injeksi konjungtiva (+/+), eksudat (-/-) penglihatan tidak
kabur

Mata

Injeksi konjungtiva
Telinga Dbn
Hidung Dbn
Tenggorokan Tidak ditemukan adanya deviasi trakhea
Leher Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening
S1-S2 reguler, tidak ditemukan bising atau suara tambahan
Cor
jantung
Bentuk paru simetris, tidak terdapat jejas dan kelainan bentuk,
tidak ada ketinggalan gerak, tidak ada nyeri tekan pada lapang
Pulmo
paru, perkusi sonor, suara dasar vesikuler (+/+), suara ronkhi
(-/-), suara wheezing (-/-)
Supel (+), nyeri tekan (+), bising usus (+), timpani. Hepar:
Abdomen Lobus dexter 13 cm, lobus sinister 8 cm, teraba tumpul.
Lien tidak teraba.
Ekstremitas Tidak edema, gastrocnemius pain (+)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Pemeriksaan Laboratorium (22/09/2017)
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN
KIMIA
Ureum 11.4 10-50 mg/dL
Creatinin 4.4* 0.6-1.1 mg/dL

10
Albumin 3.3 3.5-4.2 g/dL
ELEKTROLIT
Natrium 132* 135-155 mml/e
Kalium 4.0 3.6-5.5 mml/e
Chlorida 96 95-108 mmol/l
Calsium 8.4 8.4-10.5 mg/%
Magnesium 2.4 1.9-2.5 /mg/dL
URINALISA
Bau Khas mml/e
Warna Kuning Kuning mml/e
pH <5.5 mmol/l
Kejernihan Keruh mg/%
Berat Jenis >1.025 1.015-1.025 /mg/dL
Reduksi Negatif <15
Bilirubin Negatif <0.2
Urobilinogen (+1)/ 1.0 0.2-1.0
Keton Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Blood (+3)/250 <5
Leukosit esterase (+1)/ 10 <10
Protein albumin (+1)/30 Negatif
MIKROSKOPIS
Epitel 4-6 5-15 /LPK
Leukosit 1-2 1-4 /LPB
Eritrosit 4-5 0-1 /LPB
Bakteri Positif Negatif /LPB
Silinder granula 6-8 Negatif /LPK
Kristal urat amorf Positif Negatif /LPK
Benang mucus Negatif Negatif /LPK
HEMATOLOGI
Leukosit 11.71 4.5 – 11 103/uL
Eritrosit 4.20 4–5 106/uL
Hemoglobin 12.0* 14 – 18 g/dL
Hematokrit 34.8* 38.00 – 47.00 %
MCV 82.8* 86 – 108 fL
MCH 28.6 28 – 31 pg
MCHC 34.5 30 – 35 g/dL
Trombosit 69* 150 – 450 103/uL
HITUNG JENIS
Eosinofil% 1.8 1-6
Basofil% 0. 3 0.0-1.0
Limfosit% 3.4* 20-45
Monosit% 2. 1 2-8
Neutrofil% 92.4** 40-75
KIMIA
SGOT 94** <37 U/L
SGPT 32 <42 U/L
IMUNO/SEROLOG
Tubex Negative Negative

11
b. Pemeriksaan Laboratorium (23/09/2017)
HEMATOLOGI
Leukosit 9.46 4.5 – 11 103/uL
Eritrosit 4.39 4–5 106/uL
Hemoglobin 12.4* 14 – 18 g/dL
Hematokrit 36.5* 38.00 – 47.00 %
MCV 83. 1* 86 – 108 fL
MCH 28.2 28 – 31 pg
MCHC 34.0 30 – 35 g/dL
Trombosit 80* 150 – 450 103/uL
Laju Endap Darah I 109** 3-8 mm
Laju Endap Darah II >130** 5-8 mm
Golongan Darah ABO O
HITUNG JENIS
Eosinofil% 0.7 1-6
Basofil% 0. 5 0.0-1.0
Limfosit% 10.9* 20-45
Monosit% 2.3 2-8
Neutrofil% 85.6** 40-75

V. DIAGNOSIS
Diagnosis Kerja:
 Mialgia
 Hepatorenal syndrome
 Acute Kidney Injury
 Suspek Leptospirosis
 Hepatomegali
 Ikterus

VI. PENATALAKSANAAN
a. Infus Asering 500 mL
b. Injeksi Ondansetron 4 mg/2 ml 3x1
c. Injeksi Omeprazole 2x40
d. Injeksi Ceftriaxone 1 gram 2x1
e. Paracetamol 500 mg 3x1
f. Asam folat 3x1
g. Digoxin ½ tab
h. Ambroxol 3x1

12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. LEPTOSPIROSIS
a. Definisi
Leptospirosis merupakan penyakit zoonis yang disebabkan oleh Leptospira interogans
patogen. Leptospirosis sering underdiagnose karena gejala klinis tidak spesifik dan sulit
dilakukan konfirmasi diagnosis tanpa uji laboratorium (Zein, 2014). Kejadian luar biasa
yang terjadi di beberapa negara membuat leptospirosis menjadi salah satu penyakit re-
emerging infectious disease (Hartskeerl & Wagenaar, 2015).

b. Etiologi
Penyebab leptospirosis adalah genus leptospira, famili treponemataceae, termasuk suatu
mikroorganisme spirochaeta. Ciri khas organisme ini adalah berbelit, tipis, fleksibel,
panjangnya 5-15 µm dengan spiral yang sangat halus, lebarnya 0,1-0,2 µm. Salah satu ujung
organisme sering membengkak dan membentuk suatu kait. Terdapat gerak rotasi aktif, tetapi
tidak memiliki flagella. Umumnya organisme ini dapat jelas dilihat menggunakan
mikroskop medan gelap (darkfield microscope). Leptospira butuh medium khusus dan
waktu berminggu-minggu untuk tumbuh. Dengan medium Fletcher’s, leptospira dapat
tumbuh baik sebagai aerob obligat (Hartskeerl & Wagenaar, 2015).

c. Faktor Risiko
Seseorang dengan beberapa faktor risiko dibawah ini meningkatkan potensi dirinya
untuk mengalami infeksi leptospira:
1) Pekerjaan di luar ruangan (outdoor), meningkatkan risiko sebanyak 3,95 kali
2) Adanya luka terbuka pada tubuh saat bekerja, meningkatkan risiko sebanyak 4,88
kali
3) Faktor lingkungan seperti kontak dengan hewan pengerat melalui bahan makanan
yang dimakan oleh hewan pengerat terinfeksi leptospirosis, meningkatkan risiko
sebanyak 4,29 kali. Kontak dengan tanah atau air yang terkontaminasi urin tikus
dapat meningkatkan risiko sebanyak 4,58 kali (Kamath et al., 2014).

13
d. Epidemiologi
Pada banyak kasus, insidensi leptospirosis lebih tinggi terjadi pada laki-laki
dibandingkan perempuan (Haake & Levett, 2015). Hal ini dikarenakan paparan pekerjaan
yang lebih besar terhadap kontak dengan hewan-hewan yang bersifat patogen dan
lingkungan yang terkontaminasi. Leptospirosis tersebar luas di seluruh dunia dengan
insidensi lebih tinggi terjadi di daerah beriklim tropis terutama kondisi setelah hujan atau
banjir akibat badai (Hartskeerl & Wagenaar, 2015). Menurut International Leptospirosis
Society, Indonesia memiliki insiden leptospirosis yang cukup tinggi dan menempati
peringkat ketiga di dunia untuk angka mortalitas akibat leptospirosis (WHO, 2004). Daerah
persebaran leptospirosis di Indonesia meliputi propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah
Istimewa Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera Barat,
Sumatera Utara, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan
Timur, dan Kalimantan Barat (Depkes RI, 2008). DKI Jakarta dan Jawa Tengah merupakan
daerah dengan jumlah insidensi dan angka mortalitas tertinggi akibat leptospirosis terutama
saat banjir (Depkes RI, 2009).

e. Patofisiologi
Transmisi leptospira dapat secara langsung (direk) dan tidak langsung (indirek). Direk
artinya ada kontak langsung antara manusia dengan hewan yang terinfeksi leptospira,
sedangkan indirek terjadi melalui tanah atau air yang terkontaminasi sekret atau urin dari
hewan yang terinfeksi (Haake, 2015). Penularan terjadi melalui luka, abrasi kulit, atau
membran mukosa terutama mukosa konjungtiva dan oral. Setelah penetrasi, leptospira dapat
berproliferasi, menembus jaringan dan menyebar ke seluruh organ melalui darah (fase
leptospiremia). Saat fase ini, leptospira dapat dideteksi dalam darah atau di organ yang
terkena dalam waktu 3 hari setelah infeksi. Leptospira dapat menghindar dari respon imun
selama fase inisial melalui ikatan dengan faktor H, yakni salah satu inhibitor poten sistem
komplemen (Hartskeerl & Wagenaar, 2015).
Selama fase imun, munculnya antibodi terjadi bersamaan dengan hilangnya leptospira
di dalam darah namun organisme ini masih tetap berada di berbagai organ, diantaranya
hepar, paru, ginjal, jantung, dan otak (Hartskeerl & Wagenaar, 2015).
Masa inkubasi rata-rata 5-14 hari dengan rentang waktu 2-30 hari. Leptospirosis
memiliki 2 fase penyakit yang khas yakni:

14
1) Fase Leptospiraemia
Fase ini ditandai dengan ditemukannya leptospira dalam darah dan cairan
serebrospinal, berlangsung tiba-tiba dengan gejala awal sakit kepala biasanya di frontal,
rasa sakit hebat pada otot paha, betis dan pinggang disertai nyeri tekan. Mialgia dapat
diikuti dengan hiperestesi kulit, demam tinggi disertai menggigil, mual dengan atau
tanpa muntah disertai mencret. Pada kasus berat, bradikardi relatif dan ikterus dapat
dijumpai. Pada hari ke 3-4 dapat ditemukan conjungtiva suffusion dan fotofobia. Fase
ini berlangsung 4-7 hari. Jika cepat ditangani pasien akan membaik, suhu kembali
normal, dan penyembuhan organ-organ terlibat beserta fungsinya kembali normal 3-6
minggu setelah onset. Pada keadaan yang lebih parah, demam turun setelah 7 hari
diikuti bebas demam selama 1-3 hari, setelah itu terjadi demam kembali. Keadaan ini
disebut fase imun.
2) Fase Imun
Ditandai dengan peningkatan titer antibodi. Dapat timbul demam yang
mencapai 400C disertai menggigil dan kelemahan umum. Terdapat rasa sakit yang
menyeluruh pada leher, perut, dan otot-otot kaki terutama otot betis. Terdapat
perdarahan berupa epistaksis, gejala kerusakan pada ginjal dan hati, uremia, ikterik.
Conjunctiva injection dan conjungtival suffusion dengan ikterus merupakan tanda
patognomonis untuk leptospirosis (Zein, 2014).

Sumber: (Hartskeerl & Wagenaar, 2015)

15
f. Patologi
Dalam perjalanan penyakit saat fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin yang
menjadi penyebab keadaan patologi pada beberapa organ. Gangguan yang muncul terjadi
karena kerusakaan endotel kapiler. Pada kasus leptospirosis, terdapat perbedaan antara
derajat gangguan fungsi organ dengan kerusakan secara histologik, terutama pada hati dan
ginjal. Lesi histologis yang ringan sering ditemukan pada ginjal dan hati pasien leptospirosis
dengan kelainan fungsional yang bermakna dari organ tersebut. Perbedaan tersebut
menunjukkan bahwa kerusakan bukan terjadi pada struktur organ. Pada kasus yang berat
terjadi kerusakan kapiler dengan perdarahan yang luas dan disfungsi hepatoselular dengan
retensi bilier (Hartskeerl & Wagenaar, 2015). Kelainan spesifik pada organ akibat infeksi
leptospira antara lain:
1) Ginjal
Interstisial nefritis dengan infiltrasi sel mononuklear merupakan bentuk lesi
yang terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal. Gagal ginjal terjadi akibat nekrosis tubular
akut. Hal ini dapat disebabkan peranan nefrotoksin, reaksi imunologis, iskemia ginjal,
hemolisis, dan invasi langsung mikroorganisme.
2) Hati
Kerusakan ditunjukkan dengan nekrosis sentrilobuler fokal dengan infiltrasi sel
limfosit fokal dan proliferasi sel Kupfer dengan kolestasis.
3) Jantung
Epikardiun, miokardium, dan endokardium dapat terlibat. Kelainan
miokardium dapat fokal atau difus berupa interstisial edema dengan infiltrasi sel
mononuklear dan plasma. Nekrosis dapat berhubungan dengan infiltrasi neutrofil.
Dapat terjadi perdarahan fokal pada miokardium dan endokarditis. Aritmia jantung,
termasuk atrial fibrilasi paroksismal, atrial flutter, ventrikular takikardi, dan kontraksi
ventrikular prematur dapat terjadi.
4) Otot skelet
Perubahan yang terjadi berupa nekrosis lokal, vakuolisasi, dan kehilangan
striata. Nyeri otot pada leptospirosis disebabkan oleh invasi langsung oleh leptospira.
5) Mata
Leptospira dapat masuk ruang anterior mata selama fase leptospiremia dan
bertahan beberapa bulan walaupun terbentuk antibodi yang cukup tinggi. Hal ini dapat
menyebabkan uveitis.

16
6) Pembuluh darah
Akibat vaskulitis dapat menimbulkan perdarahan. Sering ditemukan
perdarahan/pteki pada mukosa, permukaan serosa dan organ-organ viscera dan
perdarahan bawah kulit.
7) Susunan saraf pusat
Saat fase imun, leptospira dapat masuk ke dalam cairan serebrospinal dan
dikaitkan dengan terjadinya meningitis. Terjadi penebalan meninges dengan sedikit
peningkatan sel mononuklear arachnoid. Meningitis yang terjadi adalah meningitis
aseptik, paling sering disebabkan oleh L. canicola (Zein, 2014).

g. Manifestasi Klinis
Leptospirosis merupakan penyakit bifasik yang khas. Gambaran klinisnya bervariasi
mulai ringan hingga berat dengan ikterus, gagal ginjal akut, dan perdarahan pulmoner.
a) Gambaran Umum
Selama fase leptospiremia, awitan penyakit ini khas mendadak dan gejala awal
berupa sakit kepala yang biasanya terjadi di bagian frontal. Banyak pasien
mengeluhkan nyeri otot yang berat, otot paha dan daerah lumbal yang paling sering
terlibat. Pasien juga sering mengeluh nyeri kaki saat berjalan. Menggigil diikuti oleh
kenaikan suhu tubuh yang cepat juga jelas terjadi. Setelah awitan yang mendadak, fase
leptospiremia khas berlangsung selama 4-9 hari. Tanda fisik yang paling khas adalah
penutupan konjungtiva, muncul pertama kali muncul pada hari ketiga atau keempat.
Beberapa pasien mungkin tidak disertai tanda ini namun mungkin disertai fotofobia
tetapi jarang disertai sekret serosa atau mukopurulen.
Fase berikutnya yakni fase imun ditandai dengan munculnya IgM dalam
sirkulasi. Gambaran klinis fase ini menunjukkan variasi yang lebih besar dibandingkan
pada fase pertama. Setelah periode tanpa gejala selama 1 sampai 3 hari, terjadi lagi
demam dan gejala awal, meningismus dapat berkembang. Selama fase ini, pada 50-
90% pasien dapat ditemukan pleositosis pada cairan serebrospinalis.
b) Gambaran Spesifik
Sindrom Weil merupakan leptospirosis berat dengan ikterik, biasanya disertai
azotemia, perdarahan, anemia, gangguan kesadaran, dan demam berkepanjangan.
Sindroma ini terjadi pada 1 sampai 6 persen pasien leptospirosis. Awitan dan tahap
penyakit serupa dengan bentuk leptospirosis yang tidak berat. Gambaran sindrom Weil
muncul dari hari ketiga sampai hari keenam tetapi tidak mencapai puncak sampai

17
memasuki tahap kedua (Hartskeerl & Wagenaar, 2015). Gambaran klinis bervariasi
berupa gangguan hepatik, renal, atau disfungsi vaskular (Zein, 2014). Gangguan hati
berupa nyeri tekan pada kuadran kanan atas dan hepatomegali, keduanya umum terjadi
jika terdapat ikterik. Ikterik terjadi akibat hambatan pengeluaran bilirubin intraseluler.
Manifestasi ginjal pada sindroma Weil terutama terdiri atas proteinuria, piuria,
hematuria, dan azotemia. Peningkatan puncak kadar nitrogen urea darah biasanya
terlihat pada hari kelima sampai ketujuh. Manifestasi hemoragik paling sering terjadi
pada kelompok pasien ini meliputi epistaksis, hemoptisis, perdarahan saluran cerna,
perdarahan kelenjar adrenal, pneumonitis hemoragik, dan perdarahan subarachnoid.
Hal-hal tersebut dikarenakan terjadinya vaskulitis difus dengan jejas kapiler.

h. Penegakan Diagnosis
Diagnosis klinis leptospirosis sulit ditegakkan karena gejala dan tanda yang tidak
spesifik dan saling tumpang tindih dengan penyakit febris lainnya. Pendekatan diagnosis
dapat dicapai bila dilakukan pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari
anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis, dan pemeriksaan penunjang.
a) Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Pada anamnesis penting diketahui tentang riwayat pekerjaan pasien, apakah
termasuk kelompok risiko tinggi terhadap leptospirosis. Keluhan dapat didapati
demam yang muncul mendadak, sakit kepala terutama di bagian frontal, nyeri otot,
mata merah/fotofobia, mual atau muntah.
Pada pemeriksaan fisik dijumpai demam, bradikardia, nyeri tekan otot, dan
hepatomegali. Conjungtival injection dan conjungtival suffusion merupakan petanda
khas pada leptospirosis.
b) Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin bisa dijumpai leukositosis, normal atau sedikit
menurun disertai gambaran netrofilia dan laju endap darah yang meninggi.
Trombositopenia terdapat pada 50 persen kasus. Pada pemeriksaan urin dapat dijumpai
proteinuria, leukosituria dan torak (cast). Bila organ hati terlibat, maka pemeriksaan
bilirubin akan menunjukkan hasil bilirubin direk meningkat tanpa peningkatan
transaminase. Bila terjadi komplikasi pada ginjal dapat terjadi peningkatan BUN,
ureum, dan creatinin. (Zein, 2014).
Untuk diagnosis definitif dapat dibuat berdasarkan isolasi Leptospira dari
spesimen darah atau cairan serebrospinal (Chierakul , 2014). Kultur dengan spesimen

18
darah atau cairan serebrospinal dilakukan segera pada awal gejala. Dianjurkan untuk
melakukan kultur ganda dan mengambil spesimen pada fase leptospiremia sebelum
diberi antibiotik. Kultur urin dapat dilakukan 2-4 minggu onset penyakit. Jika spesimen
terkontaminasi maka inokulasi hewan dapat dilakukan. Pemeriksaan serologi dapat
dilakukan untuk mendeteksi adanya leptospira dengan cepat yakni dengan
pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR), silver stain atau fluroscent antibody
stain, dan mikroskop lapangan gelap. (Zein, 2014).
Terdapat tiga jenis definisi kasus dalam leptospirosis:
a) Kasus Suspek
Demam akut dengan atau tanpa sakit kepala, disertai nyeri otot, lemah
(malaise), conjungtival suffision, dan ada riwayat terpapar dengan lingkungan
yang terkontaminasi atau aktivitas yang merupakan faktor risiko leptospirosis
dalam kurun waktu 2 minggu.
Faktor risiko yang dimaksud tersebut antara lain:
1) Kontak dengan air yang terkontaminasi kuman leptospirosis atau urin
tikus saat terjadi banjir,
2) Kontak dengan sungai atau danau dalam aktivitas mandi, mencuci, atau
bekerja di tempat tersebut,
3) Kontak dengan persawahan ataupun perkebunan (berkaitan dengan
pekerjaan) yang tidak menggunakan alas kaki,
4) Kontak erat dengan binatang seperti babi, sapi, kambing, anjing, yang
dinyatakan terinfeksi leptospira,
5) Terpapar atau bersentuhan dengan bangkai hewan, cairan infeksius
hewan seperti cairan kemih, plasenta, cairan amnion, dan lain-lain,
6) Memegang atau menangani spesimen hewan/manusia yang diduga
terinfeksi leptospirosis dalam suatu laboratorium atau tempat lainnya,
7) Pekerjaan atau melakukan kegiatan yang berisiko kontak dengan sumber
infeksi, seperti dokter, dokter hewan, perawat, tim penyelamat atau
SAR, tentara, pemburu, dan para pekerja di rumah potong hewan, toko
hewan peliharaan, perkebunan, pertanian, tambang, serta pendaki
gunung, dan lain-lain.

19
b) Kasus Probable
Di tingkat pelayanan kesehatan primer suatu kondisi dikatakan kasus
probable leptospirosis apabila saat kasus suspek memiliki dua gejala klinis
diantara tanda-tanda berikut:
1) Nyeri betis
2) Batuk dengan atau tanpa hemoptisis
3) Ikterus
4) Manifestasi perdarahan
5) Iritasi meningeal
6) Oliguria atau anuria
7) Sesak nafas
8) Aritmia jantung
9) Ruam kulit
Jika di pelayanan kesehatan sekunder dan tersier, dapat dikatakan kasus
probable apabila gambaran diatas ditambah dengan dengan gambaran hasil
laboratorium berupa:
1) Penggunaan rapid diagnostic test (RDT) untuk mendeteksi antibodi IgM
antileptospira
dan/atau
2) Temuan serologis yang menunjang (kadar MAT =200 dalam sampel
tunggal)
dan/atau
3) Tiga dari hasil laboratorium berikut:
i. Trombositopenia <100.000 sel/mm
ii. Leukositosis dengan neutrofilia >80%
iii. Peningkatan jumlah bilirubin total >2 mg% atau peningkatan SGPT,
amilase, lipase, creatinin phosphokinase (CPK)
iv. Urinalisis ditemukan proteinuria, sel-sel pus, dan sel-sel darah.
c) Kasus konfirmasi
Dinyatakan sebagai kasus konfirmasi apabila pada kasus probable disertai
dengan salah satu dari hal berikut:
1) Isolasi bakteri leptospira dari spesimen klinis
2) Hasil Polymerase Chain Reaction (PCR) positif

20
3) Serokonversi microscopic agglutination test (MAT) dari negatif
menjadi positif
4) Kadar titer MAT ≥400 dalam sampel tunggal
Bila kapasitas laboratorium tidak memungkinkan, maka dua kali positif
pada pemeriksaan RDT dapat dipertimbangkan sebagai kasus konfirmasi
(WHO, 2009).

i. Diagnosis Banding
a) Demam dengue
Disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan
Aedes albopictus. Demam dengue memiliki spektrum klinis yang luas dimulai
asimptomatik hingga dengue shock syndrome bahkan organopati. Manifestasi klinis
yang umum adalah demam bifasik, ruam, manifestasi perdarahan seperti peteki atau
torniquet test positif, dan tanda-tanda kebocoran plasma seperti ascites, edema pulmo,
dan peningkatan hematokrit (WHO, 2011).
b) Malaria
Plasmodium sp. infektif yang terdapat pada air liur nyamuk Anopheles dapat
menyebabkan malaria. Umumnya ditandai dengan demam intermitten siklik
bergantung pada tipe spesies yang menginfeksi, splenomegali, ikterik, dan dapat
menjadi berat pada kasus yang disebabkan P. falciparum. Diagnosis umumnya
ditegakkan dengan ditemukannya parasit bentuk aseksual dalam darah (Harijanto,
2014).
c) Hepatitis virus
Hepatitis virus akut merupakan infeksi sistemik yang dominan menyerang hati.
Spektrum penyakit mulai dari asimtomaik, infeksi yang tidak nyata sampai kondisi
yang fatal sehingga terjadi gagal hati akut. Sindrom klinis umumnya mirip dengan
penyakit akibat virus lainnya yakni gejala prodormal nonspesifik seperti malaise,
anoreksia, mual dan muntah. Awitan gejala cenderung mendadak pada hepatitis A dan
hepatitis E. Demam umum dijumpai pada hepatitis A. Gejala prodormal akan hilang
pada saat timbul jaundice. Pada pemeriksaan dapat ditemukan nyeri tekan pada kuadran
kanan atas, hepatomegali, splenomegali, dan limfadenopati. (Sanityoso & Christine,
2014)

21
j. Penatalaksanaan
Penentuan bilamana pasien harus dirawat jalan atau rawat inap didasarkan pada ringan
beratnya gejala dan tanda fisik. Kasus suspek leptospirosis yang datang dengan febris akut
dan manifestasi leptospirosis lainnya namun dengan tanda-tanda vital yang stabil, sklera
anikterik, dan volume pengeluaran urin (urine output/OUP) tanpa adanya bukti
meningismus/iritasi meningeal, sepsis atau syok septik, kesulitan bernafas, tidak ada
jaundice, dan dapat meminum obat oral, dapat dianggap sebagai kasus leptospirosis ringan
sehingga dapat dilakukan perawatan jalan.
Sedangkan pada kasus suspek leptospirosis dengan febris akut yang disertai tanda-tanda
vital yang tidak stabil, jaundice atau sklera yang ikterik, nyeri abdominal, nausea, vomitus,
diarea, oliguria/anuria, meningismus/iritasi meningeal, sepsis atau syok septik, perubahan
status mental atau gangguan bernapas dan hemoptisis, harus dicurigai sebagai kasus
leptospirosis sedang hingga berat dan harus ditangani secara rawat inap (Phillipine College
of Chest Physician, 2010).
Pada kasus ringan maupun sedang-berat, pemberian antibiotik harus dimulai secepat
mungkin, biasanya pemberian dalam 4 hari setelah onset cukup efektif. Untuk kasus berat,
diberikan intra vena penisilin G, amoksisilin, ampisilin, atau eritromisisn. Sedangkan untuk
kasus ringan dapat diberikan antibiotika oral tetrasiklin, doksisiklin, ampisilin atau
amoksisilin maupun sefalosporin.
Hingga saat ini, penisilin masih merupakan antibiotika pilihan utama namun perlu
diingat bahwa antibiotika hanya bermanfaat jika leptospira masih di darah yakni pada fase
leptospiremia.

Sumber: (Hartskeerl & Wagenaar, 2015)

22
Pengobatan suportif dengan observasi ketat untuk mendeteksi dan mengatasi keadaan
dehidrasi, hipotensi, perdarahan, dan gagal ginjal sangat penting dilakukan. Gangguan fungsi
ginjal umumnya akan membaik dengan spontan seiring membaiknya kondisi pasien. Tindakan
suportif diberikan sesuai dengan keparahan penyakit dan komplikasi yang ada. Keseimbangan
cairan, elektrolit, dan asam basa yang diatur sebagaimana pada kondisi gagal ginjal pada
umumnya. Bila sudah terjadi azotemia/uremia berat, sebaiknya dilakukan dialisis. (Zein, 2014)

B. HEPATORENAL SYNDROME
a. Definisi
Hepatorenal syndrome (HRS) adalah bentuk gagal ginjal fungsional akibat dari
penurunan aliran darah ginjal, umumnya terjadi pada ginjal yang secara histologis normal,
bersamaan dengan terjadinya gangguan pada hepar (Low, 2015).

b. Patofisiologi
Teori yang dianut sebagai dasar patofisiologi HRS adalah adanya vasodilatasi arteri
perifer (Low, 2015). Hal ini mengakibatkan hipotensi sistemik dan vasokonstriksi ginjal
yang reversibel (Sutadi, 2003). Akibat dari vasodilatasi arteri perifer dan vasokonstriksi
ginjal maka suplai sirkulasi terus menurun yang menyebabkan gangguan filtrasi glomerulus
sehingga dapat menyebabkan gambaran seperti gangguan ginjal akut. Kondisi ini dapat
terjadi sebagai akibat langsung dari adanya kelainan di hepar, contohnya pada sirosis
hepatis, atau terpisah dari kelainan di hepar, seperti pada infeksi leptospira.

c. Manifestasi Klinis
HRS tidak menunjukan gambaran klinis yang spesifik. Tanda-tanda fisik pun umumnya
menunjukkan gangguan hepar yang mendasari, gangguan pada renal, dan gangguan
sirkulasi. Temuan klinis pada gangguan hepar termasuk hepatomegali, ascites, tanda-tanda
hipertensi portal (varises gastroesofageal dan caput medusa), ikterus, pruritus, koagulopati,
ginekomasti, eritema palmar, spider nevi, dan anorexia.

d. Penegakan Diagnosis
Akibat belum tersedianya penanda biokimiawi atau radiologi, maka diagnosis HRS
didasarkan pada kriteria untuk menyingkirkan kemungkinan gangguan ginjal lain.
Menurut International Ascites Club (1996) HRS dapat didiagnosis menggunakan
kriteria mayor dan minor.

23
Kriteria mayor, harus terpenuhi semua, yakni:
1) Laju filtrasi glomerulus rendah, ditunjukkan dengan kadar kreatinin serum >1.5
mg/dL atau kreatinin klirens 24 jam <40 mL/menit.
2) Tidak menunjukkan adanya syok, infeksi bakteri dan kehilangan cairan, dan tidak
dalam pengobatan obat yang bersifat nefrotoksik.
3) Tidak ada perbaikan faal ginjal setelah penghentian diuretik dan penambahan
volume plasma dengan plasma expander sebanyak 1.5 L.
4) Proteinuria <500 mg/d dan pemeriksaan USG tidak menunjukkan adanya uropati
obstruktif atau penyakit parenkim ginjal.
Kriteria Minor:
1) Volume urin <500 mL/hari
2) Kadar natrium urin <10 mEq/L
3) Osmolaritas urin lebih tinggi dibandingkan osmolaritas plasma
4) Eritrosit dalam urin <50 sel/LPB
5) Konsentrasi natrium serum <130 mEq/L (IAC, 1996)

e. Hepatorenal Syndrome pada Leptospirosis


Terdapat suatu spektrum klinis dalam infeksi leptospira, mulai derajat ringan hingga
berat. Leptospirosis berat dikarakteristikkan dengan disfungsi multipel organ termasuk
hepar, renal, paru, dan otak. Kombinasi jaundice dan gangguan ginjal dinamakan sebagai
sindrom Weil (Haake & Levett, 2015). Adapun manifestasi klasiknya dikenal sebagai trias
sindrom Weil yakni perdarahan, jaundice, dan gangguan ginjal akut (Hartskeerl &
Wagenaar, 2015).
Hepar merupakan salah satu organ target mayor pada leptospirosis. Hal ini
bermanifestasi dengan timbulnya kterus yang muncul antara hari kelima dan keenam
(Vijayachari et al., 2008). Ikterus terjadi akibat nekrosis hepatoselular, kolestasis
intrahepatik, dan peningkatan volume bilirubin akibat absorbsi jaringan hemoragik. Hepar
sering membesar dan teraba lunak. Renal pun merupakan salah satu organ target mayor
leptospira, dimungkinkan akibat tropisme bakteri terdapat intrinsik renal (Haake & Levett,
2015). Keterlibatan renal merupakan komplikasi yang serius dan merupakan penyebab
tersering kematian pada Weil’s syndrome. (Vijayachari et al., 2008). Disfungsi renal
disebabkan oleh nefritis intertisial dan nekrosis tubular akut (Kothari et al., 2006). Kondisi
ini akan bermanifestasi dengan peningkatan BUN dan kadar kreatinin, serta pada
pemeriksaan urinalisis dapat ditemukan pyuria, hematuria, dan peningkatan kadar protein

24
urin (Haake & Levett, 2015). Oliguria terjadi pada minggu kedua namun dapat muncul
segera di hari keempat. Pasien lain mungkin memperlihatkan gangguan renal non-oliguria,
dan biasanya memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan gagal ginjal oliguria
(Vijayachari et al., 2008). Fungsi renal dapat kembali normal secara sempurna dalam 6
bulan (Kothari et al., 2006).

f. Penatalaksanaan
Terapi pada pasien dengan leptospirosis berat harus dilakukan rawat inap, termasuk
pemberian antibiotik berupa:
1) penisilin intravena (1.5 juta unit IV setiap 6 jam), atau
2) ampisilin (0.5-1 gram IV setiap 6 jam), atau
3) ceftriaxone (1 gram IV setiap 24 jam), atau
4) cefotaxime (1 gram IV setiap 6 jam).
Menurut Panaphut (2003), pemberian ceftriaxone menunjukkan hasil yang tidak berbeda
secara signifikan dibandingkan penisilin untuk kasus leptospirosis berat (Panaphut et al.,
2003).
Dalam kondisi gawat darurat, selain memerlukan pemberian antibiotik segera, pada
kasus leptospirosis berat harus diiringi dengan terapi suportif yang tepat untuk menurunkan
mortalitas. Terapi suportif yang agresif dengan monitor ketat terhadap cairan dan elektrolit
sangat penting. Pasien leptospirosis berat umumnya memiliki bentuk disfungsi renal dengan
pembuangan ion natrium yang tinggi sehingga pada harus diberikan hidrasi intravena untuk
mengoreksi dehidrasi dan mencegah gagal ginjal oliguria. Bila terjadi gangguan ginjal
oligurik, maka perlu dilakukan inisiasi peritoneal atau hemodialisis jangka pendek untuk
tindakan lifesaving. Dalam studi komparasi, inisiasi dialisis yang tepat pada pasien
leptospirosis yang kritis dapat menurunkan mortalitas dari 67 menjadi 17% (Andrade et al.,
2007).

25
BAB III
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

A. PEMBAHASAN
Hasil anamensis pada kasus pasien 1 didapatkan keluhan kepala pusing sejak 1 hari
sebelum masuk RS, terasa seperti cekot-cekot terutama setiap makan, minum, dan saat berdiri.
Pasien juga mengeluhkan seluruh badan yang terasa sakit disertai nyeri di perut kiri atas (+)
dan mual (+). Ketika berdiri, pasien mengeluhkan kedua betisnya terasa kram. Keluhan nyeri
saat BAK pernah dirasakan 1 hari SMRS. Sedangkan BAB tidak ada keluhan. Pasien
merupakan seorang pekerja buruh harian lepas dan mengaku bahwa lingkungan kerja dan
lingkungan rumahnya terdapat banyak tikus. Pasien merupakan seorang perokok aktif dan
mampu mengonsumsi 1-2 pack rokok perharinya. Pasien juga mengaku pernah mengonsumsi
alkohol 5 tahun yang lalu.
Pada kasus pasien 2, keluhan yang dirasakan adalah nyeri pada kedua betis. Nyeri dirasakan
semenjak 17 hari SMRS. Pasien sempat mencoba pijat namun keluhan tidak membaik.
Kemudian pasien mengonsumsi obat dari bidan dan keluhan sempat mereda. Pasien mengaku
keluhan tersebut disertai badan panas sejak 5 hari SMRS. BAB cair berwarna hitam. Pasien
seorang perokok aktif dengan kebiasaan merokok sebanyak 2 pack perhari, namun semenjak
sakit pasien mengaku sudah berhenti merokok. Pasien adalah seorang petani dan mengaku saat
18 hari sebelum masuk RS ia sempat kontak dengan tikus saat mempersiapkan lahan untuk
bertanam tanpa menggunakan alat pelindung diri. Selain itu, pasien mengatakan bahwa urinnya
berwarna keruh.
Berdasarkan anamnesis kedua kasus tersebut, meskipun hal utama yang dikeluhkan
berbeda namun keduanya sama-sama mengeluhkan adanya rasa nyeri di area cruris posterior.
Pada area cruris posterior terdapat musculus gastrocnemius. Rasa nyeri ini bisa diakibatkan
oleh adanya inflamasi akibat invasi langsung mikroorganisme ke otot tersebut. Hal ini muncul
pada infeksi leptospira. Bila ditinjau dari segi sosial melalui anamnesis sosial, kedua pasien
menunjukkan adanya kontak dengan tikus. Pada pasien 1, lingkungan rumah dan kerja yang
terdapat banyak hewan tikus dapat meningkatkan risiko leptospirosis sebanyak 4,29 kali,
sedangkan pasien 2 dengan pekerjaan sebagai petani dan riwayat kontak dengan hewan tikus
membuat predisposisi untuk terkena leptospirosis lebih tinggi.
Pada pemeriksaan fisik bagian kepala pasien 1 didapatkan kedua sklera ikterik.
Pemeriksaan abdomen didapatkan pembesaran hepar (hepatomegali), sedangkan pada
pemeriksaan ekstremitas diperoleh gastrocnemius pain dikedua extremitas inferior. Di pasien

26
2, sklera ikterik juga ditemukan disertai dengan injeksi konjungtiva dikedua mata. Pemeriksaan
abdomen diperoleh adanya hepatomegali. Pemeriksaan ekstremitas didapatkan gastrocnemius
pain dikedua extremitas inferior.
Sklera ikterik pada kedua kasus merupakan bentuk manifestasi peningkatan bilirubin dalam
plasma dan dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium faal hati. Ditunjang dengan
hepatomegali di kedua kasus, maka dapat dicurigai bahwa peningkatan kadar bilirubin terjadi
akibat kondisi intrahepatal berupa inflamasi. Berbeda dari pasien 1, ditemukannya injeksi
konjungtiva pada pasien 2 menunjukkan adanya pelebaran pembuluh darah di konjungtiva.
Tidak adanya eksudat pada mata menunjukkan bahwa pelebaran pembuluh darah disebabkan
peradangan pada pembuluh darah atau vaskulitis. Vaskulitis tersebut dapat diakibatkan oleh
invasi langsung antigen leptospira pada pembuluh darah maupun akibat endotoksin yang
dihasilkan leptospira. Gastrocnemius pain disebut positif bila terdapat nyeri pada saat
musculus gastrocnemius diberi intervensi penekanan. Pemeriksaan ini patognomonik untuk
leptospirosis, seperti yang muncul pada kedua kasus.
Hasil pemeriksaan penunjang kedua pasien adalah sebagai berikut:
Parameter Hasil Pasien 1 Hasil Pasien 2 Nilai Rujukan
Hematologi
Leukosit 9.89 11.71* 4.5-11
Hemoglobin 14.5 12.00* 14-18
Hematokrit 37.1* 34.8* 38-47
MCV 88.4 82.8* 86-108
MCHC 36. 1* 34.5 30-35
Trombosit 39* 69* 150-450
Hitung Jenis
Limfosit 39.0* 3.4* 20-45
Monosit 0.7* 2.1 2-8
Neutrofil 90.5* 92.4* 40-75
Kimia
Ureum 182* 11.4 10-50
Creatinin 3.5* 4.4* 0.6-1.1
SGOT 47 94* <37
Bilirubin total 5.1* - <1.1
Bilirubin direk 2.9* - <0.25
Albumin - 3.3* 3.5-4.2
Elektrolit
Natrium - 132* 135-155
Urinalisis
pH - <5.5
Kejernihan - Keruh
Berat jenis - >1.025 1.015-1.025
Urobilinogen - +1 Negatif
Blood - +3 Negatif

27
Leukosit esterase - +1 Negatif
Protein albumin - +1 Negatif
Mikroskopis
Eritrosit - 4-5 0-1
Bakteri - + Negatif
Silinder granula - 6-8 Negatif
Kristal urat amorf - + Negatif
Keterangan : **=meningkat
: * =menurun
Pemeriksaan penunjang lain yang dilakukan pasien 1 adalah ultrasonography dengan kesan
adanya meteorismus tanpa ada kelainan intra dan retroperitoneal.
Leptospirosis adalah infeksi bakterial yang disebabkan oleh spesies patogen genus
Leptospira. Infeksi leptospira menimbulkan spektrum manifestasi klinis yang beragam.
Penegakan diagnosis leptospirosis di Indonesia masih mengacu pada definisi kasus yang
dikeluarkan oleh World Health Organization Southeast Asian Region (WHO SEARO, 2009),
yakni:
SUSPEK
Demam akut dengan atau tanpa sakit kepala, disertai
 nyeri otot,
 lemah (malaise),
 conjungtival suffision, dan
ada riwayat terpapar dengan lingkungan yang terkontaminasi atau aktivitas yang merupakan
faktor risiko leptospirosis dalam kurun waktu 2 minggu.
PROBABLE
a) Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama:
Kasus suspek dengan dua gejala klinis diantara tanda-tanda berikut:
 Nyeri betis
 Batuk dengan atau tanpa hemoptisis
 Ikterus
 Manifestasi perdarahan
 Iritasi meningeal
 Oliguria atau anuria
 Sesak nafas
 Aritmia jantung
 Ruam kulit
b) Fasilitas Kesehatan Tingkat Kedua dan Ketiga
Kasus suspek ditambah dengan hasil laboratorium
1) Penggunaan rapid diagnostic test (RDT) untuk mendeteksi antibodi IgM antileptospira
DAN/ATAU
2) Temuan serologis yang menunjang (kadar MAT =200 dalam satu sampel)
DAN/ATAU

28
3) Tiga dari hasil laboratorium berikut:
Trombositopenia <100000 sel/mm
Limfopenia dengan neutrofilia relatif >80%
Peningkatan jumlah bilirubin total >2 mg% atau peningkatan SGPT, amilase, lipase,
creatinin phosphokinase (CPK)
Urinalisis ditemukan proteinuria, sel-sel pus, dan sel-sel darah.
KONFIRMASI
Kasus suspek atau kasus probable dengan salah satu hal berikut:
 Isolasi bakteri leptospira dari spesimen klinis
 Hasil Polymerase Chain Reaction (PCR) positif
 Serokonversi microscopic agglutination test (MAT) dari negatif menjadi positif
 Kadar titer MAT ≥400 dalam sampel tunggal
Kriteria diagnosis leptospirosis WHO SEARO 2009 dapat digunakan untuk mendiagnosis
kasus deman akut yang tidak terdiferensiasi. Hal ini dibuktikan dengan penelitian deskriptif
retrospektif kasus leptospirosis di RSUP Dr. Kariadi Semarang periode Januari 2011 hingga
Desember 2013. Penggunaan kriteria diagnosis leptospirosis WHO SEARO 2009 dinilai
memudahkan klinisi untuk menegakkan diagnosis leptospirosis pada kasus demam akut yang
tidak terdiferensiasi berdasarkan gambaran klinis, riwayat terpajan, dan hasil laboratorium.
Berdasarkan data anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang kedua kasus,
baik pasien 1 dan pasien 2 masuk kategori kasus PROBABLE leptospirosis dengan rincian:
 Pasien 1 terdapat demam akut, nyeri kepala, nyeri otot, dan malaise, disertai riwayat
lingkungan kerja dan rumah terdapat banyak tikus dengan adanya trombositopenia,
limfositopenia disertai neutrofilia 90.5%, dan peningkatan bilirubin total sebanyak
5.1 mg/dL.
 Pasien 2 terdapat demam akut, nyeri kepala, injeksi konjungtiva, malaise, dan
riwayat kontak langsung dengan tikus dengan adanya trombositopenia,
limfositopenia disertai neutrofilia 92.4%, dan ditemukannya eritrosit serta protein
dalam urinalisis.
Konfirmasi lebih lanjut untuk kasus leptosirosis dapat dilakukan pemeriksaan kultur,
mikroskopis lapang gelap, atau pemeriksaan serologis seperti MAT, RDT, PCR.
Pada kedua kasus terdapat peningkatan enzim hati yakni SGOT dan hiperbilirubinemia
pada pasien 1 yang mengindikasikan adanya gangguan pada hepar. Hepar merupakan salah
satu organ target mayor pada leptospirosis. Hal ini bermanifestasi dengan timbulnya ikterus
yang muncul antara hari kelima dan keenam (Vijayachari, P. et al., 2008). Ikterus terjadi akibat
nekrosis hepatoselular, kolestasis intrahepatik, dan peningkatan volume bilirubin akibat
absorbsi jaringan hemoragik.

29
Peningkatan kadar kreatinin serum melebihi 2 mg/dL seperti yang terjadi pada kedua pasien
menunjukkan fungsi renal yang menurun 30-50% dari normal (Kemenkes, 2011). Pada pasien
1 selain kadar kreatinin serum yang meningkat didapatkan pula peningkatan ureum darah atau
disebut azotemia. Azotemia merupakan salah satu tanda terjadinya gangguan ginjal akut
(Walkar & Bonventre, 2015). Kondisi pada kedua pasien ini menggambarkan adanya
hepatorenal syndrome. Renal pun merupakan salah satu organ target mayor leptospira,
dimungkinkan akibat tropisme bakteri terhadap intrinsik renal (Haake & Levett, 2015).
Disfungsi renal disebabkan oleh nefritis intertisial dan nekrosis tubular akut Hal ini
menunjukkan bahwa telah terjadi gangguan hepar dan renal akibat primer oleh infeksi maupun
sekunder oleh efek toksin leptospira (Vijayachari, P. Et al., 2008).
Pada penatalaksanaan kedua kasus, keduanya sama-sama diberikan antibiotik ceftriaxone
intravena dua kali dalam sehari. Merujuk pada pedoman pemberian antibiotik pada
leptospirosis pemberian ceftriaxone intravena dengan dosis 1 gram setiap 24 jam pada pasien
dengan sindrom Weil sudah cukup efektif, terutama karena menurut Panaphut (2003),
pemberian ceftriaxone intravena dengan dosis 1 gram setiap hari selama 7 hari menunjukkan
hasil yang sama efektifnya dengan penisilin untuk kasus leptospirosis berat dilihat dari durasi
demam dan tidak ada perbedaan yang signifkan dalam durasi klinis disfungsi organ (Panaphut,
2003). Ceftriaxone memiliki keunggulan dalam mengurangi frekuensi pemberian obat (hanya
satu kali/hari dibandingkan setiap 4 jam pada pemberian penicillin parenteral) dan dapat
dilakukan secara intravena dan intramuskular. Selain itu, ceftriaxone dinilai memiliki cost-
effective dibandingkan penicillin dan dapat menjadi alternatif pada pasien yang alergi penicillin
(Devishree, 2015).
Dalam kondisi gawat darurat, selain memerlukan pemberian antibiotik segera, pada kasus
leptospirosis berat harus diiringi dengan terapi suportif yang tepat untuk menurunkan
mortalitas. Terapi suportif yang agresif dengan monitor ketat terhadap cairan dan elektrolit
sangat penting. Pasien leptospirosis berat umumnya memiliki bentuk disfungsi renal dengan
pembuangan ion natrium yang tinggi sehingga pada harus diberikan hidrasi intravena untuk
mengoreksi dehidrasi dan mencegah gagal ginjal oliguria. Bila terjadi gangguan ginjal oligurik,
maka perlu dilakukan inisiasi peritoneal atau hemodialisis jangka pendek untuk tindakan
lifesaving. Dalam studi komparasi, inisiasi dialisis yang tepat pada pasien leptospirosis yang
kritis dapat menurunkan mortalitas dari 67 menjadi 17% (Andrade et al., 2007).

30
B. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dapat
disimpulkan bahwa kedua pasien merupakan kasus probable leptospirosis dengan sindrom
leptospirosis berat atau sindrom Weil. Pemberian terapi utama berupa antibiotik ceftriaxone 1
gram IV setiap 24 jam. Selain itu perlu dilakukan pemberian terapi suportif untuk mencegah
dehidrasi dengan monitor ketat keseimbangan cairan dan elektrolit.

31
DAFTAR PUSTAKA

Andrade, L, Cleto, S, Seguro AC. Door-to-dialysis time and daily hemodialysis in patients with
leptospirosis: impact on mortality. Clin J Am Soc Nephrol. 2007. 739–744 p.
Chierakul, Wirongrong. Leptospirosis. In Farrar, Hotez, Junghanss, Kang, Lalloo, White.
Manson’s Tropical Disease. 23rd Ed. El Sevier, 2014. 433-440 p.
Depkes RI. Pedoman Diagnosa dan Penatalaksanaan Kasus dan Penanggulangan Leptospirosis
di Indonesia. Jakarta: Bakti Husada, 2008.
Depkes RI. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
2009.
Devishree, RA. Management of leptospirosis: a short review. Journal of Pharmaceutical
Sciences and Research, 2015. 759-761 p.
Haake, D. A, Paul N. Levett.. Leptospirosis in humans. Curr Top Microbiol Immunol, 2015.
387: 65-97 p.
Harijanto, Paul N. Malaria. In A. W. Setiyohadi, B., Alwi I., Simadibrata, M., Setiati, S.
Sudoyo, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing, 2014.
595-612 p.
Hartskeerl, R.A., Jiři, F. P. Wagenaar. Leptospirosis. In Kasper, Fauci, Hauser, Longo,
Jameson, Loscalzo. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 19th Ed. New York: Mc
Graw Hill, 2015. 1140-1145 p.
International Ascites of Club. Guidelines Hepatorenal Syndrome. 1996. IAC. Diakses 25
September 2017 dari http://www.icascites.org/about/guidelines/.
Kamath, R., Swain, S., Pattanshetty, S., Nair, NS. Studying risk factors associated with human
leptospirosis. J Glob Infect Dis, 2014, 3-9 p.
Kemenkes. Pedoman Interpretasi Data Klinik. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia, 2011.
Kothari, V. M., D. R. Karnad, L. S. Bichile. Tropical infections in the ICU. JAPI, 2006. 291-
298 p.
Low, G., G. J. M. Alexander, D. J. Lomas. Hepatorenal syndrome: aetiology, diagnosis, and
treatment. Hindawi Publishing Corporation, 2015. 1-11 p.
Panaphut, T., S. Domrongkitchaiporn, A. Vibhagool, B. Thinkamrop, W. Susaengrat.
Ceftriaxone compared with sodium penicillin G for treatment of severe leptospirosis.
Clinical Infectious Diseases, 2003. 1507-1513 p.

32
Phillipine College of Chest Physician. Practice guideline on the diagnosis, management, and
prevention of leptospirosis. Leptospirosis CPG, 2010. 3-64 p.
Sanityoso, Andri, Criskalia Christine. Hepatitis Viral Akut. In A. W. Setiyohadi, B., Alwi I.,
Simadibrata, M., Setiati, S. Sudoyo. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI. Jakarta:
Interna Publishing, 2014. 1945-1962 p.
Sutadi, Sri Maryani. Sindroma Hepatorenal. Medan: Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Universitas Sumatera Utara, 2003. 1-9 p.
Vijayachari, P. , A. P. Sugunan, A. N. Shriram. Leptospirosis: an emerging global public health
problem. J. Biosci, 2008. 557-569 p.
Walkar, SS., Joseph VB. Acute Kidney Injury. In Kasper, Fauci, Hauser, Longo, Jameson,
Loscalzo. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 19th Ed. New York: Mc Graw Hill,
2015. 1799-1811 p.
WHO. Human leptospirosis: Guidance for Diagnosis, Surveillance and control. Cennai: World
Health Organization, 2004.
WHO SEARO. 2009. Informal Expert consultation on Surveillance, Diagnosis and Risk
Reduction of Leptospirosis. Diakses 25 September 2017, dari
www.searo.who.int/.../Communicable_Diseases_Surveillance...
WHO. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue
Haemorrhagic Fever. New Delhi: World Health Organization, 2011.
Zein, Umar. Leptospirosis. In A. W. Setiyohadi, B., Alwi I., Simadibrata, M., Setiati, S.
Sudoyo. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing, 2014. 633-
638 p.

33

Anda mungkin juga menyukai