Anda di halaman 1dari 16

Presentasi Kasus

TB Paru Dengan Kondisi Khusus

Disusun Oleh :
Adissa Sauri Ichsan Putri 1102012005
Akbar Palmaesaza 1102012014
Anum Sasmita 1102012025

Pembimbing :
Kombes Pol dr. Yahya, Sp.P
dr. Dian Yulianti, Sp.P
dr. Andi Nurjihad, Sp.P
dr. A Mayasari Kardjito, Sp.P

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TK. 1 RADEN SAID SUKANTO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 24 APRIL – 3 JULI 2017

BAB I

0
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
No. Rekam Medik : 8706**

Nama : Tn. D

Jenis Kelamin : Laki – laki

Usia : 65 tahun

Alamat : Ciracas

Agama : Islam

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Pensiunan

Tanggal masuk : 5 Mei 2017

II. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 9 Mei 2017

a. Keluhan Utama

Pasien mengeluh mual dan muntah 2 minggu SMRS

b. Keluhan tambahan

Pasien mengeluh nafsu makan berkurang, keringat malam, tubuh kuning dan
batuk 2 bulan sebelum masuk rumah sakit.

c. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RS Bhayangkara Tk.I Raden Said Sukanto dengan


keluhan mual dan muntah sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Pasien
mengatakan frekuensi mual dan muntah 2-3 kali/ hari. Pasien juga mengatakan tubuh
menguning sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit.

Pasien mengeluhkan keringat malam dan batuk kering sejak 2 bulan sebelum
masuk rumah sakit. Pasien merasa mengalami penurunan nafsu makan dan penurunan

1
berat badan sekitar 10 kg selama 2 bulan terakhir. Pasien mengaku sedang dalam
pengobatan paru yaitu isoniazid, rifampisin dan ethambutol selama 3 minggu. Demam
disangkal. Sesak nafas dan nyeri dada disangkal. Pasien belum pernah merasakan hal
ini sebelumnya.

d. Riwayat Penyakit Dahulu

 DM disangkal
 Hipertensi disangkal
 Alergi tidak tahu

e. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat penyakit jantung, hati, hipertensi, diabetes melitus, alergi disangkal.


Riwayat serupa dengan pasien disangkal.

f. Riwayat Sosial dan Kebiasaan

Pasien menyangkal merokok dan menyangkal terkena paparan asap rokok.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik di ruangan tanggal 9 Mei 2017
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Tanda vital
Tekanan Darah : 140/100 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Pernapasan : 24 x/menit
Suhu : 36,6 °c

Kepala : Normosephal.
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (+/+), pupil
bulat isokor +/+, diameter 3mm, refleks cahaya
langsung +/+, refleks cahaya tak langsung +/+
Mulut : Mukosa basah, sianosis (-), lidah kotor (-), perdarahan
gusi (-).

2
Leher : Deviasi trakea (-), tidak teraba pembesaran tiroid, KGB
tidak teraba membesar.

Paru
 Inspeksi :
Bentuk dada normal, pergerakan dada simetris, pelebaran sela iga
(-), penggunaan otot bantu pernapasan (-) Barrel chest (-)
 Palpasi :
Tidak terdapat massa, Tidak terdapat nyeri tekan, krepitasi (-)
 Perkusi :
Sonor di seluruh lapang paru
 Auskultasi :
Suara napas vesikuler +/+ menurun, rhonki -/-, wheezing -/-

Jantung

 Inspeksi :
Pulsasi ictus cordis tidak terlihat
 Palpasi :
Pulsasi ictus cordis teraba
 Perkusi :
batas kanan : ICS IV linea parasternalis dextra
batas kiri : ICS V linea mid-klavikula sinistra
 Auskultasi :
BJ I & II reg, Gallop (-/-), Murmur (-/-)
Abdomen
 Inspeksi : Datar simetris
 Palpasi : nyeri tekan (-), tidak terdapat pembesaran organ.
 Perkusi : Timpani diseluruh kuadran abdomen
 Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas
Akral hangat, edema (-), CTR < 2 detik

3
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. Laboratorium

 5 Mei 2017 03.52 WIB


Pemeriksaan
5 Mei 2017 14.59 WIB
Hasil Nilai rujukan
Hematologi
Hemoglobin 13,3 g/dl 13-16
Hematokrit 37 % 40 – 48
Leukosit 11.100 u/l 5.000 – 10.000
Trombosit 642.000 /ul 150.000 – 400.000
Kimia klinik
*SGOT 45,6 Ul/l <37
*SGPT 28,4 U/l <40
*Ureum 30 mg/dl 10-50
*Creatinine 0,7 mg/dl 0,5-1,5
*GDS 121 mg/dl <200

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan


Kimia klinik
*Glucosa Sewaktu 119 mg/dl <200
(glukometer)

 5 Mei 2017 16.20

4
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
Hematologi
 7 Hemoglobin 12,7 g/dl 13-16
Hematokrit 37 % 40 – 48
Leukosit 23.700 u/l 5.000 – 10.000
Trombosit 552.000 /ul 150.000 – 400.000
Hitung Jenis Leukosit
*Basofil 0 % 0–1
*Eosinofil 0 % 1–3
*Batang 0 % 2–6
*Segmen 96 % 50 – 70
*Limfosit 1 % 20 – 40
*Monosit 3 % 2–8
Laju Endap Darah 14 mm/jam < 15
Eritrosit 4,91 juta/ul 4,5 – 5,5

Kimia klinik
*bilirubin total 15,45 mg/dl Dws <1,5 Neo <12
*bilirubin direk 11,59 mg/dl <0,5
*Bilirubin indirek 3,86 mg/dl <1,0
*Elektrolit
Natrium 120 mmol/l 135-145
Kalium 3,7 mmol/l 3,5-5,0
Chlorida 88 mmol/l 98-108

Serologi / Immunologi
HBs Ag (Penyaring) Non reaktif Non reaktif
Anti HCV (Penyaring) Non reaktif Non reaktif

Mei 2017 06.59 WIB

Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan


Hematologi
Hemoglobin 10,7 g/dl 13-16
Hematokrit 32 % 40 – 48
Leukosit 7.800 u/l 5.000 – 10.000
Trombosit 455.000 /ul 150.000 – 400.000

 7 Mei 2017 16.47

Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan


Elektrolit
*Natrium 131 mmol/l 135 - 145
5
*Kalium 2,9 mmol/l 3,5 – 5,0
*Chlorida 107 mmol/l 98 – 108
B. Pemeriksaan rontgen thoraks

Gambar. 1 Photo Rontgen Thorak

V. RESUME
Pasien datang ke IGD RS Bhayangkara Tk.I Raden Said Sukanto dengan
keluhan mual dan muntah sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Pasien
mengatakan frekuensi mual dan muntah 2-3 kali/hari. Pasien mengatakan badan
menguning sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Pasien merasa penurunan
nafsu makan dan penurunan berat badan sekitar 10 kg selama 2 bulan terakhir.

Pasien mengaku sedang dalam pengobatan paru selama 3 minggu. Pada


pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil hemoglobin menurun ringan, lekosit yang
meningkat, natrium darah menurun. Pada rontgen thorak didapatkan corakan paru
kasar dan terdapat bercak di kanan dan kiri paru. Pada pemeriksaan SGOT, bilirubin
total, bilirubin direk dan bilirubin indirek meningkat.

VI. DIAGNOSIS
TB paru dengan Drug Induced Hepatitis

VII. RENCANA TATA LAKSANA


 OAT dihentikan
 Inj Ceftriaxone Ix2 g

6
 Inj Ranitidin 3x1 mg
 Inpepsa 3x7
 HP Pro 3x/hr

VIII. PEMERIKSAAN ANJURAN :


 Cek ulang H2TL dan elektrolit
 SGOT, SGPT, Bilirubin Total
 Rontgen Thorak

IX. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Pasien TB dengan Drug Induced Hepatitis


Sebagian besar OAT yang banyak dipakai bersifat hepato-toksik. Kelainan
yang ditimbulkan mulai dari peningkatan kadar transaminase (SGOT/SGPT)
yang ringan sampai pada hepatitis fulminan. Hepatitis karena OAT banyak terjadi
pada pemakaian INH + Rifampisin. Terdapat hipotesis yang menyatakan bahwa
INH memproduksi hidrazin yakni suatu zat metabolit yang hepatotoksik.
Hidrazin ini lebih banyak lagi diproduksi bila pemberian INH dikombinasikan
dengan Rifampisin.

Faktor resiko
 Umur > 35 tahun
 Sudah ada penyakit hepar sebelumnya
 Tuberkulosis luas
 Konsumsi alkohol berlebih
 Malnutrisi dan hipoalbumin
 Mengkonsumsi obat hepatotoksik

Efek samping pada terapi TB yang sering ditemukan adalah hepatitis imbas
OAT. Hepatitis ini biasanya terjadi setelah 2-3 minggu mengkonsumsi OAT.
Gejalanya berupa mual, muntah, ikterik.untuk mengatasi gejalanya dapat
dilakukan hal-hal seperti ini :
 Bila gejala klinik (+), ikterik (+), mual-muntah (+) = OAT dihentikan
 Bila gejala klinik (+), dan SGOT/SGPTnya (> 3 x lipat dari normal) =
OAT dihentikan.
 Bila gejala klinik (-), dan hasil laboratorium terdapat kelainan :
a. Bilirubin (> 2 x normal) = OAT dihentikan
b. Peningkatan SGOT/SGPT (< dua kali normal) = Lanjutkan obat
anti-TB, lakukan cek setelah 2 minggu
c. Peningkatan SGOT/SGPT (>dua kali normal) = Lanjutkan obat
anti-TB, cek liver function tests mingguan untuk 2 minggu
d. SGOT/SGPT (> 5 x normal) = OAT dihentikan
e. SGOT/SGPT (> 3 x normal) = bisa diteruskan terapi dengan
pengawasan ketat.
 Jika kultur sputum (-) : tunggu liver function test normal, lanjutkan
pengobatan
 Jika kultur sputum (+) : mulai ethambutol, streptomycin dan obat lainnya
hingga liver function tests normal
 Jika lier function tests normal : mulai isoniazid, rifampisin, pyrazinamide.

8
Setelah OAT yang hepatotoksik dihentikan, umumnya beberapa hari
kemudian gejala klinik kembali membaik. Evaluasi SGOT/SGPT dan bilirubin.
Bila sudah kembali normal berikan lagi INH dosis kecil secara desensitisasi
hingga dosis penuh (300 mg). Bila secara klinik tetap stabil, tambahkan lagi
Rifampisin dosis kecil secara desensitisasi juga hingga dosis penuh.

2. Pasien TB dengan Kelainan Hati Kronik


Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati
sebelum pengobatan TB. Jika SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali OAT
tidak diberikan dan bila telah dalam pengobatan, harus dihentikan.
Jika peningkatannya kurang dari 3 kali, pengobatan dapat dilaksanakan atau
diteruskan dengan pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan hati, Pirazinamid
(Z) tidak boleh digunakan. Paduan OAT yang dapat dianjurkan adalah
2RHES/6RH atau 2HES/10HE.

3. Pasien TB pada Kehamilan


Kehamilan bukanlah kontraindikasi untuk pengobatan TB yang resistan
terhadap obat aktif, namun merupakan risiko terbesar bagi kehidupan ibu dan
janin . Pasien hamil harus dievaluasi secara hati-hati, dengan mempertimbangkan
usia kehamilan dan tingkat keparahan TB yang resistan terhadap obat. Resiko dan
manfaat pengobatan harus dipertimbangkan dengan cermat, dengan tujuan utama
untuk melindungi kesehatan ibu dan anak, baik sebelum dan sesudah kelahiran.
Berikut ini adalah beberapa prinsip umum yang perlu dipertimbangkan saat
merawat wanita hamil.
 Manfaat dan resiko pengobatan.
Sebagian besar pasien hamil sefera diberi pengobatan setelah diagnosis
dilakukan. Namun, karena mayoritas efek teratogenik terjadi pada
trimester pertama, pengobatan mungkin tertunda sampai trimester
kedua saat pasien sudah stabil dengan penyakit minimal. Menunda
pengobatan membawa risiko karena TB dapat berkembang dengan
cepat pada pasien hamil. Keputusan untuk memulai pengobatan pada
trimester pertama atau menunda sampai setelah trimester pertama
harus disetujui oleh pasien dan dokter, setelah menganalisis risiko dan
manfaatnya.
 Hindari bahan suntik.
Aminoglikosida bisa sangat beracun bagi telinga janin yang sedang
berkembang. Penggunaan Streptomycin (permanent ototoxic dan dapat
menembus barier placenta) dapat meningkatkan resiko ototoxic serta
dapat menyebabkan gangguan pendengaran dan keseimbangan pada
bayi yang akan dilahirkan.
 Hindari Ethionamide dan Prothionamide.
Ethionamide dapat meningkatkan risiko mual dan muntah yang terkait
dengan kehamilan dan dapat menyebabkan teratogenik.
 Pertimbangkan penghentian kehamilan.
Bila kondisi ibu sangat buruk sehingga kehamilan akan membawa
risiko yang signifikan pada hidupnya, aborsi medis mungkin akan
diindikasikan. Keputusan tersebut terutama didasarkan pada penilaian
klinis mengenai tingkat keparahan penyakit, pilihan perawatan dan
perawatan yang efektif, dan penilaian risiko / manfaat dengan ibu.

9
Meskipun ada keterbatasan data tentang keamanan dan penggunaan jangka
panjang fluoroquinolones (cycloserine, para-aminosalicylic acid (PAS) dan
amoxicillin / clavulanate) pada kehamilan, mereka dianggap sebagai obat pilihan
untuk pengobatan TB-MDR selama kehamilan.
Jika agen injeksi, ethinamide/ prothionamide, atau obat lain ditunda karena
kehamilan, mereka dapat ditambahkan kembali pasca persalinan untuk
melakukan rejimen yang lebih lengkap. Mungkin tidak ada transisi yang jelas
antara fase intensif dan fase lanjutan, dan agen suntik dapat diberikan selama tiga
sampai enam bulan pasca persalinan bahkan di tengah pengobatan. Sebagai
alternatif, jika pasien melakukannya dengan baik dan melewati periode delapan
bulan normal untuk agen suntik, tidak perlu ditambahkan. Setiap penambahan
obat harus memperhatikan prinsip tidak menambahkan obat tunggal ke rejimen
yang gagal.
Anak tersebut harus menerima vaksinasi Bacillus Calmette-Guérin (BCG) saat
lahir sesuai dengan kebijakan WHO.
4. Pasien TB pada Ibu Menyusui dan Anaknya
Pada ibu menyusui yang sedang menjalani pengobatan, sebagian besar obat
anti-TB akan ditemukan di dalam ASI dalam konsentrasi yang sama dengan
sebagian kecil dosis terapeutik yang digunakan pada bayi. Namun, efek apapun
pada bayi yang terpajan selama pengobatan TB resistan terhadap obat yang
belum ditetapkan. Oleh karena itu, lebih baik memberi susu formula sebagai
alternatif untuk menyusui. Seorang wanita yang sedang menyusui dan memiliki
TB yang resistan terhadap obat aktif harus menerima pengobatan anti-TB secara
penuh.
Ibu dan bayinya tidak boleh terpisah sama sekali. Saat ibu dan bayi bersama,
waktu yang umum ini harus dihabiskan di area yang berventilasi baik atau di luar
rumah. Ibu dengan kultur sputum positif harus menggunakan masker hingga
kultur sputum negative.
Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang
menderita TB harus mendapat OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat
merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB pada bayinya.
Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi tersebut sesuai
dengan berat badannya.

5. Pasien TB Pengguna Kontrasepsi


Kontrol kelahiran sangat dianjurkan untuk semua wanita yang tidak hamil dan
sexually active yang menerima terapi untuk TB yang resistan terhadap obat
karena konsekuensi potensial bagi ibu dan janin akibat pengobatan TB yang
resisten terhadap obat selama kehamilan.
Tidak ada kontraindikasi penggunaan kontrasepsi oral dengan rejimen yang
tidak mengandung rifampisin, karena rifampisin dapat meningkatkan enzim
hepatik. Pasien yang muntah secara langsung setelah menggunakan kontrasepsi
oral dapat berisiko mengalami penurunan penyerapan obat dan oleh karena itu
menurunkan khasiatnya. Pasien yang mempunyai pengalaman muntah setelah
mengkonsumsi obat anti TB disarankan untuk memberi jarak pada saat
mengkonsumsi kontrasepsi oral.

10
Untuk pasien dengan TB mono- dan poli- resisten tetapi rentan terhadap
rifampisin, penggunaan rifampisin berinteraksi dengan obat kontrasepsi sehingga
menurunkan efektivitas perlindungan terhadap kehamilan. Seorang wanita
dengan kontrasepsi oral saat menerima pengobatan rifampisin dapat memilih
antara dua pilihan setelah berkonsultasi dengan dokter: penggunaan kontrasepsi
oral yang mengandung dosis estrogen yang lebih tinggi (50 μg) atau penggunaan
bentuk kontrasepsi lain. Solusi yang paling baik untuk menghindari efek
samping adalah menggunakan kondom. Suntikan intramuskular
Medroxyprogesterone dan metode kontrasepsi lainnya juga dapat
dipertimbangkan

6. Pasien TB dengan HIV/AIDS


Pasien TB-HIV mempunyai sistem imunitas yang rendah, sehingga sering
terjadi efek samping obta, interaksi antar obat yang akan memperburuk kondisi
pasien dan dosis obat harus dihentikan atau dikurangi, maka pengobatan akan
lebih panjang serta kepatuhan pasien jadi berkurang.
Dalam ISTC dikatakan semua pasien TB termasuk yang terinfeksi HIV harus
diberikan OAT lini pertama dengan menggunakan obat yang biovailbilitasnya
telah diketahui. Panduannya tetap 2HRZE di fase awal dan 4HR atau 6HE di fase
lanjutan. Pemberian 4H3R3 di fase lanjut hanya sebagai alternatif bila pemberian
tiap hari tidak mungkin dilakukan, tetapi pasien harus dalam pengawasan ketat.
Pemberian 6HE di fase lanjutan tidak direkomendasikan karena mudah terjadi
gagal terapi atau kambuh. Dosis OAT yang diberikan hendaknya mengikuti
standar Internasional dan sangat dianjurkan dalam kombinasi dosis tetap (KDT).
Pengobatan dengan anti retro-viral (ARV) mestinya dimulai sesegera mungkin
setelah OAT dapat ditoleransi dalam 2-8 minggu terapi fase awal. Terapi dengan
ARV bisa berinteraksi dengan OAT dan dapat juga meningkatkan risiko efek
samping. Efavirenz (EFV), mewakili golongan NNRTI yang baik digunakan
untuk pemberian ARV pada pasien dalam terapi OAT. Efavirenz lebih
direkomendasikan karena mempunyai interaksi dengan Rifampisin yang lebih
ringan dibandingkan dengan Nevirapine.
Pasien dengan infeksi HIV mudah sekali terkena infeksi oportunistik. TB
merupakan infeksi oportunistik dan infeksi Pneumocystis jiroveci pneumonia,
sebaiknya diberikan terapi Kotrimoksazol profilaksis bila nilai CD4 <200, tapi
bila disertai infeksi TB obat Kotrimoksazol diberikan tanpa melihat nilai CD4
lagi.

7. Pasien TB dengan Diabetes Melitus


Pasien diabetes dengan TB-MDR beresiko untuk hasil pengobatan yang buruk.
Selain itu, adanya diabetes melitus dapat mempotensiasi efek buruk obat anti-TB,
terutama disfungsi ginjal dan neuropati perifer. Diabetes harus ditangani secara
ketat selama pengobatan TB yang resisten terhadap obat. Agen hipoglikemik oral
tidak dikontraindikasikan selama pengobatan TB yang resistan terhadap obat
tetapi mungkin mengharuskan pasien menaikkan dosis karena penggunaan
Ethionamide atau Prothoniamide dapat membuatnya lebih sulit untuk
mengendalikan kadar insulin. Namun, tidak satu pun obat anti-TB yang

11
dikontraindikasikan. Tingkat kreatinin dan kalium harus dipantau lebih sering,
setidaknya setiap bulan untuk melihat efek ginjal aminoglikosida. Pada pasien
DM sering terjadi komplikasi retinopathy diabetika, oleh karena itu hati-hati
dengan pemberian Etambutol, karena dapat memperberat kelainan tersebut.

8. Pasien TB dengan Insufisiensi Ginjal


Insufisiensi ginjal yang disebabkan oleh infeksi TB yang sudah berlangsung
lama atau penggunaan aminoglikosida sebelumnya tidak jarang terjadi. Perhatian
yang besar harus diberikan dalam pemberian obat lini kedua pada pasien dengan
insufisiensi ginjal, dan dosis dan / atau interval antara dosis harus disesuaikan.
Dosis didasarkan pada clearance kreatinin pasien, yang merupakan perkiraan laju
filtrasi glomerulus atau fungsi ginjal.
 Rifampisin
Aman di berikan karena metabolit aktif di ekskresikan dalam empedu
dan metabolit inaktif (10%) di ekskresikan dalam urin dengan
menggunakan dosis normal di semua stages CKD.
 Isoniazide
Aman karena di metabolisme di hati dengan menggunakan dosis
normal di semua stages CKD.
 Pyrazinamide
Metabolisme di hati. Menunda eliminasi obat dan metabolit pada CKD
stage 4 dan 5. Dosis pada CKD 1-3 >50 kg 1,5g / hari <50 kg 2g / hari,
CKD 4-5 25-30 mg/kg 3x / minggu.
 Ethambutol
Dapat menyebabkan nefrotoksik karena di eksresi di ginjal dan okular
toksik (tergantung dosis). Dosis pada CKD 1-3 15 mg / kg / hari CKD
4-5 15-25 mg / kg 3 x / minggu (maksimal 2,5 g).
 Streptomisin
Dapat menyebabkan nefrotoksis karena di ekskresi di ginjal, serta
dapat megurangi clearance pada usia lanjut. Dosis 12 – 15 mg / kg 2/3
x / minggu.
 Prothionamide
Aman karena di eksresi di empedu.
Panduan OAT yang paling aman untuk pasien dengan gagal ginjal adalah
2HRZ/4HR

9. Pasien TB Anak-anak
Ada sedikit penelitian tentang penggunaan obat lini kedua untuk waktu yang
lama pada anak-anak. Risiko dan manfaat setiap obat harus dipertimbangkan
dengan cermat saat merancang rejimen. Anak-anak yang telah menerima
pengobatan untuk TB yang resistan terhadap obat umumnya dapat obat golongan
kedua dengan baik. Meskipun fluoroquinolones telah terbukti menghambat
perkembangan tulang rawan pada anak anjing beagle, efek serupa pada manusia
belum ditunjukkan. Manfaat fluoroquinolones dalam mengobati TB yang resistan
terhadap obat pada anak-anak telah terbukti lebih besar daripada risiko apapun.
Selain itu, Ethionamide, Asam Para-Aminosalicylic (PAS) dan Sikloserin telah
digunakan secara efektif pada anak-anak dan dapat ditoleransi dengan baik.
12
Secara umum, obat anti-TB harus diobati sesuai dengan berat badan.
Pemantauan berat badan secara bulanan sangat penting dalam kasus anak-anak,
dengan penyesuaian dosis seiring bertambahnya berat badan.
Pendapat ahli adalah bahwa semua obat, termasuk fluoroquinolones, harus
diberikan pada ujung yang lebih tinggi dari kisaran yang direkomendasikan bila
memungkinkan, kecuali etambutol. Etambutol harus diberikan pada 15 mg / kg,
dan tidak pada 25 mg / kg seperti yang kadang-kadang digunakan pada orang
dewasa dengan TB yang resistan terhadap obat, karena lebih sulit untuk
memantau neuritis optik pada anak-anak.
Pada anak-anak, pemantauan mikrobiologis terhadap respons terhadap
pengobatan seringkali sulit dilakukan (karena alasan yang sama sulit untuk
mendapatkan diagnosis mikrobiologis). Hal ini membuat sulit untuk
mendiagnosis kegagalan pengobatan pada anak-anak. Pada anak-anak, penurunan
berat badan atau, yang lebih umum, kegagalan untuk menambah berat badan
secara memadai dengan adanya asupan gizi yang tepat, menjadi perhatian khusus
dan seringkali merupakan salah satu tanda kegagalan pengobatan pertama. Ini
adalah alasan lain untuk memantau berat badan dengan hati-hati pada anak-anak.

10. Pasien TB yang perlu mendapat tambahan Kortikosteroid


Kortikosteroid (menekan peradangan / anti inflamasi) hanya digunakan pada
keadaan khusus yang membahayakan jiwa pasien seperti:
 Meningitis TB
 TB milier dengan Pleuritis eksudativa
 TB dengan Perikarditis konstriktiva
Selama fase akut prednison diberikan dengan dosis 30-40 mg per hari,
kemudian diturunkan secara bertahap. Lama pemberian disesuaikan dengan jenis
penyakit dan kemajuan pengobatan.

Indikasi Operasi
Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (reseksi paru), adalah:
1. Untuk TB paru:
 Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara
konservatif.
 Pasien dengan fistula bronkopneumonia dan empiema yang tidak dapat
diatasi secara konservatif.
 Pasien MDR TB dengan kelainan paru yang terlokalisir.
2. Untuk TB ekstra paru:
 Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya : pasien TB tulang
yang disertai kelainan neurologik.

Tabel 1. Efek Samping OAT dan Penanganannya.


Efek Samping OAT Obat Penyebab Penanggulangannya
Mayor Hentikan obat penyebab,
segera rujuk
Ruam kulit + gatal S,H,R,Z Hentikan OAT
Tuli pendengaran S Hentikan Streptomisin
Vertigo & nistagmus S Hentikan Streptomisin
Jaundice/hepatitis H,R,Z Hentikan OAT

13
Bingung (curiga hepatitis) Hampir semua OAT Hentikan OAT
Gangguan penglihatan E Hentikan Ethambutol
Syok, purpura, gagal S Hentikan Streptomisin
ginjal akut
Minor Lanjutkan OAT, Periksa
dosis OAT
Anoreksia, mual, nyeri Z,R,H Berikan OAT sebelum
perut tidur, telan perlahan
dengan sedikit air, bila
menetap segera rujuk.
Nyeri sendi H Aspirin, Parasetamol,
NSAID
Kesemutan tangan dan H Piridoxin 50-70 mg/hari
kaki
Rasa mengantuk H Beri OAT-nya sebelum
tidur
Urin warna merah R Beritahu pasien hal ini
normal saja
Sindrom flu/malaise R Intermiten Ubah pemberian R jadi
tiap hari

14
DAFTAR PUSTAKA
Babalik A, Arda H, Bakirci N, et al. Management of Tuberculosis and risk factors
related to hepatotoxicity during Tuberculosis treatment. Tuberk Toraks 2012;60(2).
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedomen Nasional
Pengendalian TB, Jakarta,Indonesia : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
2011.
Setiati S, Alwi I, Sudoyo A.W, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam;Tuberkulosis
Paru;863-884. Jakarta. InternalPublishing : 2015

15

Anda mungkin juga menyukai