Anda di halaman 1dari 10

Efek Suplemen Vitamin D pada Asma Bronkial Sedang

sampai Berat

Abstrak
Tujuan: untuk mengetahui peran terapi vitamin D pada anak-anak dengan asma bronkial sedang
sampai berat sebagai sebuah terapi standar tambahan.
Metode: Ratusan anak dengan asma untuk semua jenis kelamin, yang datang ke klinik respirasi
dan asma diikutsertakan pada penelitian ini. Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan klinis. Pengacakan dilakukan menggunakan metode sealed opaque envelope.
Sebagai tambahan terapi dilakukan berdasarkan GINA, satu kelompok mendapatkan vitamin D3
oral (Cholecalciferol) 60.000 IU per bulan selama 6 bulan dan kelompok lain mendapatkan
bubuk placebo dalam bentuk kemasan gulkosa dengan rancangan buta ganda. Pemeriksaan
lanjutan setiap bulan dilakukan pada setiap pasien dan selama setiap kunjungan terjadi perubahan
tingkat kontrol, keparahan. Laju punjak ekspirasi (PEFR), dosis steroid, jumlah kunjungan
eksaserbasi dan emergensi dinilai.
Hasil: Dosis bulanan dari vitamin D 60.000 IU secara bermakna mengurangi kejadian
eksaserbasi bila dibandingkan dengan placebo (p = 0,011). PEFR meningkat secara bermakna
pada kelompok terapi (p = 0,000). Dosis vitamin D bulanan mengurangi secara bermakna
kebutuhan steroid (p = 0,013) dan kunjungan emergensi (p = 0,015). Asma terkontrol dicapai
lebih cepat pada pasien yang mendapatkan vitamin D bulanan. Vitamin D mengurangi secara
bermakna tingkat keparahan dari pasien asma selama 6 bulan terapi (p = 0,016).
Kesimpulan: Vitamin D memiliki peran penting dalam tatalaksana asma bronkial persisten
derajat sedang hingga berat sebagai suatu terapi standar tambahan.
Kata kunci: Asma, Vitamin D, Sedang, Berat, Terapi
Pendahuluan
Asma adalah suatu penyakit inflamasi kronik saluran napas dimana terdapat banyak sel
dan elemen selular yang terlibat. Terjadi peningkatan prevalensi asma di seluruh dunia yang
dilaporkan dalam beberapa tahun terakhir, khususnya pada negara berkembang seperti India
[1,2]. Dengan terjadinya peningkatan prevalensi membuat suatu peningkatan beban penyakit
dalam morbiditas, mortalitas, dan kualitas hidup.
Vitamin D adalah suatu regulator sistem imun yang memiliki peran penting dalam
berbagai penyakit alergi. Vitamin D mungkin berperan dalam sindoma metabolic, kanker
kolorektal, kanker payudara, multipel sclerosis, tuberkulosis, pneumonia, influenza, distress
pernapasan [3]. Suplemen vitamin D menyebabkan peningkatan yang bermakna pada pasien
dengan pneumonia [4,5] dan dermatitis atopik [6].
Peran vitamin D pada asma masih belum diketahui dengan jelas. Sedikit penelitian yang
telah dilakukan untuk mengetahui kemungkinan hubungan antara asma dan polimorfisme pada
gen yang terlibat dalam sintesis, bioavaibilitas, dan metabolisme vitamin D [,8]. Serum 25(OH)D
yang rendah diketahui berhubungan dengan suatu peningkatan prevalensi, angka rawat inap, dan
kunjungan emergensi bersamaan dengan penurunan fungsi paru dan peningkatan
hiperresponsifitas jalan napas saat olahraga pada berbagai penelitian yang dilakukan pada pasien
anak-anak dengan asma [9-12]. Diketahui terjadi suatu efek protektif pada anak-anak bila
dilakukan peningkatan asupan vitamin D selama kehamilan [13-15]. Beberapa penelitian terakhir
dilakukan untuk mengevaluasi efikasi dari suplemen vitamin D pada pasien dengan asma juga
menunjukkan hasil yang menjanjikan [16,17].

Materi dan metode


Penelitian saat ini dilakukan di departemen anak-anak, Pt. BD Sharma University of
Health Sciences, Rohtak, pada 100 anak dengan asma untuk semua jenis kelamin yang
memenuhi kriteria inklusi, mengunjungi klinis respirasi dan asma mulai dari bulan Mei 2012
sampai Desember 2013. Komite etik institusional menyetujui penelitian ini.
Anak-anak dengan asma derajat sedang sampai berat sesuai panduan GINA [18], berusia
antara 3 dan 14 tahun yang didiagnosis oleh dokter dimasukkan dalam penelitian. Pasien dengan
imunoterapi atau anti IgE atau dengan riwayat lahir prematur (<36 minggu) atau menggunakan
oksigen di rumah dieksklusi. Anak-anak dengan asma non wheezing dan gambaran klinis
defisiensi vitamin D (deformitas tulang dan gejala hipokalemi) juga dieksklusi.
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis. Suatu infom konsen
didapatkan dari orang tua pasien asma yang ikut serta pada penelitian ini. Pasien yang dianggap
layak, dilakukan anamnesis detail dan pemeriksaan klinis untuk usia, onset penyakit,
progesifitas, durasi penyakit, gejala, faktor yang memicu, riwayat terapi, tingkat kontrol, dll dan
hasilnya dicatat dalam suatu proforma pasien.

Tabel 1. Karakteristik pokok anak-anak yang terlibat dalam penelitian


Kelompok A Kelompok B Total nilai P
(placebo) (vitamin D) (n = 100)
(n = 50) (n = 50)
Rerata usia (tahun) 10,00+1,876 9,15+2,444 9,58+2,209 0,054 (NS)
Jenis kelamin
Laki-laki 25 24 49
Perempuan 25 26 51
Skor rerata status sosioekonomi (SES) 3,20+1,178 3,12+1,003 3,16+1,089 0,715 (NS)
Rerata usia onset (tahun) 8,77+1,706 7,95+2,255 8,36+2,031 0,043 (S)
Rerata usia terdiagnosis (tahun) 9,29+1,819 8,54+2,466 8,92+2,188 0,087 (NS)
Rerata frekuensi episode (per minggu) 5,16+2,216 4,86+2,304 5,01+2,254 0,509 (NS)
Rerata frekuensi SABA (per minggu) 5,24+2,046 5,00+2,176 5,14+2,104 0,571 (NS)
Rerata jumlah eksaserbasi dalam setahun terakhir 1,24+0,744 1,18+0,629 1,21+0,686 0,664 (NS)
Rerata terbangun malam hari per bulan 2,80+0,904 2,64+1,156 2,72+1,036 0,578 (NS)
SABA: beta-2 agonis aksi singkat

Pengacakan dilakukan menggunakan metode sealed opaqe envelope. Pasien yang


memenuhi kriteria inklusi dimasukkan ke dalam kelompok A dan B. Blinding dilakukan dengan
memasukkan nama ke dalam kelompok A dan B dengan pasien dan peneliti tidak mengetahui
tentang komponen A dan B. Jadi buta ganda dapat dipastikan.
Anak-anak diberikan terapi sesuai kelompok mereka. Satu kelompok mendapatkan
vitamin D3 oral (Cholecalciferol) 60.000 IU per bulan selama 6 bulan. Kemasan vitamin D
didapatkan dari Cadila dan kemasan opak dibuat di bagian farmasi rumah sakit dan kelompok
lain mendapatkan bubuk placebo dalam bentuk kemasan glukosa.
Pemeiksaan lanjutan setiap bulan dilakukan pada setiap pasien dan pada setiap
kunjungan, perubahan dalam tingkat keparahan dinilai dan dicatat pada proforma pasien sesuai
panduan GINA. PEFR dinilai menggunakan Breathe-o meter (Cipla).
Hasil pengukuran primer diubah untuk tingkat keparahan asma sesuai panduan GINA.
Hasil pengukuran sekunder adalah
 Jumlah eksaserbasi selama periode terapi
 Perubahan PEFR
 Perubahan pada dosis steroid
 Tingkat kontrol
 Kunjungan emergensi

Data dianalisis menggunakan perangkat statistik SPSS versi 17. Pada akhir penelitian,
data dianalisis menggunakan uji statistik yang sesuai dan beberapa subyek hilang dalam periode
pemeriksaan lanjutan, data dianalisis dengan maksud untuk analisis terapi dengan nilai p < 0,05
dianggap bermakna.
Total - 100 pasien

Diacak menjadi dua kelompok

Kelompok A (n =50) Kelompok B (n =50)

10 pasien hilang 8 pasien hilang

Kelompok A (n =40) Kelompok A (n =42)

Dinilai untuk analisis terapi

Gambar 1. Rangkuman profil penelitian

Tabel 2. Tingkat keparahan pasien pada kedua kelompok


Kelompok placebo (n = 50) Kelompok vitamin D (n = 50) Nilai P
Derajat Ringan Persisten Persisten Ringan Persisten Persisten
keparahan sedang berat sedang berat
0 bulan 0 44 6 0 37 13 0,074 (NS)
1 bulan 0 41 9 0 37 13 0,470 (NS)
2 bulan 0 41 9 0 37 13 0,470 (NS)
3 bulan 0 34 16 0 37 13 0,373 (NS)
4 bulan 0 34 16 0 37 13 0,660 (NS)
5 bulan 0 35 15 0 37 13 0,656 (NS)
6 bulan 0 28 13 22 21 7 0,016 (S)

Hasil
Usia anak pada populasi penelitian memiliki rentang mulai dari 5-13 tahun. Penelitian
meliputi 51 anak perempuan dan 49 anak laki-laki dengan perbandingan laki-laki : perempuan
adalah 1: 1,04 (Tabel 1). Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik antara karakteristik
dasar kedua kelompok kecuali untuk rerata usia dari onset asma yang jauh lebih tinggi pada
kelompok placebo (Tabel 1). Jumlah maksimun dari pasien pada penelitian termasuk dalam kelas
menengah ke bawah yang dinilai berdasarkan skala status sosioekonomi Kuppuswamy yang
dimodifikasi (SES). Tingkat pendidikan ayah dari pasien penelitian lebih tinggi dibandingkan ibu
mereka. Tidak terdapat perbedaan bermakna pada karakteristik penyakit antara dua kelompok
terapi.
Total 51 pasien, 25 kelompok placebo dan 26 kelompok vitamin D mendapatkan
beberapa bentuk terapi untuk asma. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara keparahan,
tingkat kontrol, dan tehnik terapi pada kedua kelompok. Sesak napas adalah keluhan yang paling
sering dikatakan oleh pasien, diikuti oleh dada terasa sempit dan batuk malam hari. Orang tua
yang merokok adalah faktor pemicu asma yang paling sering pada pasien penelitian. Tidak
terdapat perbedaan bermakna untuk gejala dan faktor yang memicu antara kedua kelompok
terapi. Suatu riwayat gangguan jalan napas awal berupa orang tua merokok terjadi pada 55
pasien, diikuti oleh paparan terhadap asap di rumah (21 pasien) dan pneumonia (19 pasien).
Selain pasien yang ikut serta, 10 orang kelompok placebo dan 8 orang kelompok vitamin D
hilang selama periode pemeriksaan lanjutan (Gambar 1). Tujuan analisis terapi dilakukan untuk
mengukur hasil terapi.

Tabel 3. Jumlah eksaserbasi selama periode terapi


Jumlah eksasebarsi selama Kelompok placebo Kelompok vitamin D Nilai P
periode terapi (n = 50) (%) (n = 50) (%)
0 20 (40,0) 36 (72,0) 0,011 (S)
1 17 (34,0) 9 (18,0)
2 4 (8,0) 3 (6,0)
3 8 (16,0) 2 (4,0)
4 1 (2,0) 0 (0)
Terdapat sedikit peningkatan pada keparahan asma dari kelompok placebo hingga 5
bulan pemeriksaan lanjutan yang terutama disebabkan oleh peningkatan kebutuhan steroid,
sementara tidak terjadi peningkatan keparahan asma pada kelompok vitamin D, namun
perbedaan ini tidak bermakna secara statistik (Tabel 2). Pada 6 bulan pemeriksaan lanjutan,
perbaikan untuk keparahan asma bermakna secara statistik pada kelompok vitamin D (p = 0,016)
(Tabel 2). Episode eksaserbasi akut selama periode terapi kurang bermakna pada kelompok
vitamin D dibandingkan dengan kelompok placebo (Tabel 3).
Terdapat peningkatan yang bermakna pada PEFR pada kedua kelompok pada kunjungan
pemeriksaan lanjutan selam 6 bulan (p = 0,000) (Gambar 2).
Terdapat peningkatan rerata dosis steroid yang dibutuhkan pada kedua kelompok karena
kontrol yang inadekuat, namun kebutuhan tersebut lebih rendah pada kelompok vitamin D bila
dibandingkan dengan kelompok placebo. Terdapat penurunan yang bermakna secara statistik
pada dosis steroid pada kedua kelompok pada pemeriksaan lanjutan bulan ke-6 (p = 0,000).
Penurunan dosis steroid jauh lebih tinggi pada kelompok vitamin D dibandingkan dengan
kelompok placebo. (p = 0,013) (Gambar 3).
Kontrol asma dicapai oleh semua pasien dari kedua kelompok setelah 4 bulan terapi.
Pada bulan pertama, 21 pasien kelompok placebo mengalami kontrol asma, dibandingkan
dengan 35 pasien pada kelompok vitamin D (p = 0,005). Jadi, kontrol dicapai lebih cepat pada
kelompok vitamin D dibandingkan dengan kelompok placebo (Tabel 4).
Tidak ada pasien dalam penelitian ini yang membutuhkan kunjungan emergensi setelah 3
bulan terapi. Rerata jumlah kunjungan emergensi menunjukkan perbedaan yang bermakna secara
statistik pada kelompok vitamin D (p = 0,015) (Tabel 5).
Gambar 2. Rerata PEFR kedua kelompok terapi

Gambar 3. Rerata dosis steroid pada kedua kelompok terapi

Diskusi
Berdasarkan informasi yang tersedia tentang peran dan manfaat terapi vitamin D pada
asma, penelitian acak buta ganda dibuat untuk mengetahui peran terapi vitamin D sebagai suatu
terapi standar tambahan pada anak-anak dengan asma.
Tingkat keparahan bersifat sama secara statistik untuk kedua kelompok sampai 5 bulan
pemeriksaan lanjutan tetapi pada bulan ke-6, tingkat keparahan lebih berkurang pada vitamin D
bila dibandingkan dengan kelompok placebo. Terdapat efek manfaat yang tertunda untuk
keparahan asma. Jadi, dosis vitamin D setiap bulan dapat mengurangi tingkat keparahan dari
pasien asma.

Tabel 4. Tingkat kontrol pasien pada kedua kelompok


Kelompok placebo Kelompok vitamin D Nilai P
(n = 50) (n = 50)
Tingkat Terkontrol Tidak Terkontrol Tidak
kontrol baik terkontrol baik terkontrol
1 bulan 21 29 35 15 0,005 (S)
2 bulan 37 13 42 8 0,220 (NS)
3 bulan 43 7 45 5 0,538 (NS)
4 bulan 50 0 50 0 -
5 bulan 50 0 50 0 -
6 bulan 50 0 50 0 -

Pasien yang diterapi dengan vitamin D memiliki eksaserbasi yang lebih jarang selama
periode terapi. Hal serupa, pada penelitian acak, placebo-kontrol, buta ganda, Urashima et al.
membandingkan efek vitamin D3 1.200 IU/hari dibandingkan dengan plascebo pada anak
sekolah yang menderita influenza selama musim dingin.. pada sub-analisis, suplemen vitamin D3
berhubungan dengan suatu penurunan risiko eksasebasi dibandingkan dengan placebo, dengan
risiko relatif 0,17 [16]. Pada beberapa peneltian acak, buta ganda selam 6 bulan yang serupa
yang dilakukan oleh Maak et al., anak-anak mendapatkan suplemen vitamin D 500 IU.hari
mengalami penurunan risiko eksasebasi asma yang dipicu oleh infeksi virus respirasi akut [17].
Peningkatan pada rerata PEFR ditunjukkan pada kedua kelompok terapi selama
kunjungan pemeriksaan lanjutan. Tetapi, peningkatan PEFR pada kelompok vitamin D jauh lebih
tinggi bila dibandingkan dengan kelompok placebo yang membuktikan vitamin D memiliki efek
terhadap jalan napas. Kadar vitamin D yang rendah berhubungan dengan penurunan fungsi paru
[9,10]. Baru-baru ini, Alyasin et al. dalam suatu penelitian cross-sectional menyimpulkan bahwa
kadar 25(OH)D memiliki hubungan langsung dan bermakna pada FEV1 dan FEV1/FVC [11].
Jadi, kadar serum 25-hidroksi vitamin D memiliki hubungan berbanding terbalik dengan asma,
tedapat suatu hubungan langsung dan bermakna antara kadar vitamin D dan hasil uji fungsi paru
pada anak-anak dengan asma.

Tabel 5. Rerata jumlah kunjungan emergensi pasien pada kedua kelompok


Pemeriksaan Kelompok placebo Kelompok vitamin D Nilai P
lanjutan (n = 50) (n = 50)
Rerata jumlah 1 bulan 0,70+0,564 0,31+0,517 0,015
2 bulan 0,30+0,516 0,14+0,354
kunjungan emergensi
3 bulan 0,18+0,446 0,10+0,297
4 bulan 0,00+0,00 0,00+0,00
5 bulan 0,00+0,00 0,00+0,00
6 bulan 0,00+0,00 0,00+0,00

Kebutuhan steroid meningkat pada kedua kelompok karena kontrol yang buruk sampai
bulan ke-5 dan setelah itu terjadi penurunan. Terdapat penurunan yang bermakna pada dosis
steroid yang dibutuhkan pada kedua kelompok tetapi penurunan pada kelompok vitamin D jauh
lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok placebo. Jadi, dosis bulanan vitamin D memiliki
suatu kemampuan untuk mengurangi dosis steroid yang dibutuhkan untuk kontrol asma. Searing
et al. pada suatu penelitian cross-sectional dari 100 anak-anak (rerata usia 7 tahun) dari asma
persisten sedang hingga berat menunjukkan peningkatan kebutuhan kortikosteroid pada anak-
anak karena penurunan konsentrasi 25(OH)D [10].
Jumlah pasien yang terkontrol dengan baik jauh lebih tinggi pada kelompok vitamin D
bila dibandingkan dengan kelompok placebo setelah 1 bulan terapi. Pada bulan ke-2 dan ke-3
pada periode pemeriksaan lanjutan, jumlah pasien terkontrol sama besar pada kedua kelompok.
Pada bulan ke-4, asma terkontrol dengan baik pada semua pasien. Jadi, kontrol asma dicapai
lebih cepat pada kelompok vitamin D, namun karena terapi tambahan diberikan sesuai keparahan
asma, kontrol asma dicapai secara bertahap pada kelompok placebo. Kontrol asma yang lebih
baik berhubungan dengan kadar vitamin D yang tinggi juga ditunjukkan oleh Chinellato et al.
[19].
Rerata jumlah kunjungan emergensi menurun hingga bulan ke-3 terapi pada kedua
kelompok. Tidak ada pasien pada setiap kelompok yang membutuhkan kunjungan emergensi
setelah 3 bulan terapi. Terapi yang diberikan berdasarkan keparahan asma mampu mengurangi
kunjungan emergensi pada kedua kelompok saat pemeriksaan lanjutan. Namun, penurunan
jumlah kunjungan emergensi pada kelompok vitamin D jauh lebih tinggi dibandingkan
kelompok placebo. Jadi, dosis bulanan vitamin D efektif mengurangi jumlah kunjungan
emergensi pada pasien asma derajat sedang sampai berat. Brehm et al. juga menunjukkan bahwa
risiko rawat inap dan kunjungan emergensi lebih sering terjadi di antara anak-anak yang
mengalami defisiensi vitamin D [20]. Namun, penelitian saat ini memiliki keterbatasan tertentu.
Pengukuran kadar vitamin D sebelum pemberian vitamin D dan pemeriksaan lanjutan
akan membantu mendukung hasil penelitian.

Kesimpulan
Pasien pada indeks penelitian yang mendapatkan dosis vitamin D bulanan mengalami
eksaserbasi yang lebih jarang dan mencapai kontrol asma yang lebih baik dan lebih cepat. PEFR
meningkat secara bermakna dan kebutuhan steroid menurun secara statistik. Kemudian,
kunjungan emergensi juga berkurang. Jadi, vitamin D memiliki peran penting dalam tatalaksana
asma bronkial derajat sedang hingga berat sebagai suatu terapi standar tambahan. Namun,
percobaan lebih besar yang melibatkan jumlah pasien yang lebih banyak dibutuhkan untuk
mengetahui peran vitamin D pada asma.

Sumber: Indian J Pediatr (Juli 2014) 81 (7):650-654

Anda mungkin juga menyukai