Anda di halaman 1dari 35

BAB I

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
No. Rekam Medik : 843***

Nama : Tn.A

Jenis Kelamin : Laki – laki

Usia : 46 tahun

Alamat : Pasar Rebo

Agama : Islam

Pendidikan : SD

Pekerjaan : Buruh bangunan

Tanggal masuk : 5 November 2016

II. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 7 November 2016

a. Keluhan Utama

Pasien mengeluh BAB cair selama 5 bulan SMRS

b. Keluhan tambahan

c. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RS Bhayangkara Tk.I Raden Said Sukanto dengan


keluhan BAB cair sejak 5 bulan sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengatakan
Frekuensi BAB 4 – 5 kali/ hari dan pernah disertai darah satu bulan yang lalu

0
sebanyak kurangdari5 kali. Keluhan disertai sariawan di lidah dan bibir sejak 5 bulan
terakhir dan dirasakan semakin banyak.

Pasien merasa mengalami penurunan berat badan sekitar 5 kg selama 3 bulan


terakhir. Pasien juga mengalami penurunan nafsu makan sejak 1 bulan sebelum
masuk rumah sakit dan merasa lemas juga pusing. Buang air kecil dalam batas
normal. Demam disangkal. Sesak nafas dan nyeri dada disangkal. Pasien belum
pernah merasakan hal ini sebelumnya. Pasien sudah berobat ke puskesmas namun
tidak ada perubahan.

d. Riwayat Penyakit Dahulu

 DM disangkal
 Hipertensi disangkal
 Alergi tidak tahu

d. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat penyakit jantung, hati, hipertensi, diabetes melitus, alergi disangkal.


Riwayat serupa dengan pasien disangkal.

Riwayat HIV dan TB pada istri disangkal. Riwayat HIV dan TB pada anak
disangkal.

e. Riwayat Sosial dan Kebiasaan

Pasien memiliki riwayat menikah sebanyak 1 kali. Pasien memiliki riwayat


pernah berhubungan seksual selain dengan istrinya, namun pasien menyangkal pernah
menggunakan narkoba dan memakai tattoo.

1
III. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik di ruangan tanggal 7 November 2016.
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Tanda vital
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36,9 °c

Kepala : Normosephal.
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), pupil
bulat isokor +/+, diameter 3mm, refleks cahaya
langsung +/+, refleks cahaya tak langsung +/+
Mulut : Mukosa basah, sianosis (-), lidah kotor, Stomatitis (+)
Perdarahan gusi (-)
Leher : Deviasi trakea (-), tidak teraba pembesaran tiroid, KGB
tidak teraba membesar.

Paru
 Inspeksi :
Bentuk dada normal, pergerakan dada simetris, pelebaran sela iga(-),
penggunaan otot bantu pernapasan (-) Barrel chest (-)
 Palpasi :
Tidak terdapat massa, Tidak terdapat nyeri tekan, krepitasi (-)
 Perkusi :
Sonor di seluruh lapang paru
 Auskultasi :
Suara napas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-

Jantung

 Inspeksi :
Pulsasi ictus cordis tidak terlihat

2
 Palpasi :
Pulsasi ictus cordis teraba
 Perkusi :
batas kanan : ICS IV linea parasternalis dextra
batas kiri : ICS V linea mid-klavikula sinistra
 Auskultasi :
BJ I & II reg, Gallop (-/-), Murmur (-/-)
Abdomen
 Inspeksi : Datar simetris
 Palpasi : nyeri tekan (-), tidak terdapat pembesaran organ.
 Perkusi : Timpani diseluruh kuadran abdomen
 Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas
Akral hangat, edema (-), CTR < 2 detik

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. Laboratorium

 5 November 2016

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan


Hematologi
Hemoglobin 5,4 g/dl 13-16
Hematokrit 19 % 40 – 48
Leukosit 4.200 u/l 5.000 – 10.000
Trombosit 342.000 /ul 150.000 – 400.000

GDS 97 <200
Elektrolit
*Natrium 137 Mmol/l 135 - 145
*Kalium 3,0 Mmol/l 3,5 – 5,0
*Chlorida 108 Mmol/l 98 – 108

3
 6 November 2016

4
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan
Hematologi
 7
Hemoglobin 5,4 g/dl 13-16
Hematokrit 19 % 40 – 48
Leukosit 4.300 u/l 5.000 – 10.000
Trombosit 397.000 /ul 150.000 – 400.000
Hitung Jenis Leukosit
*Basofil - % 0–1
*Eosinofil 6 % 1–3
*Batang - % 2–6
*Segmen 66 % 50 – 70
*Limfosit 18 % 20 – 40
*Monosit 10 % 2–8
Laju Endap Darah 120 mm/jam < 15
Eritrosit 2,90 juta/ul 4,5 – 5,5

Nilai Eritrosit rata – rata


MCV 65,2 fl 82 – 92
MCH 18,6 pg 27 – 31
MCHC 28,6 % 32 – 36

November 2016

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan


Hematologi
Hemoglobin 9,4 g/dl 13-16
Hematokrit 30 % 40 – 48
Leukosit 4.900 u/l 5.000 – 10.000
Trombosit 353.000 /ul 150.000 – 400.000

 8 November 2016

5
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan
Elektrolit
*Natrium 136 Mmol/l 135 - 145
*Kalium 3,6 Mmol/l 3,5 – 5,0
*Chlorida 103 Mmol/l 98 – 108

 9 November 2016

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan


Elektrolit
B.
*Natrium 137 Mmol/l 135 - 145
*Kalium 3,6 Mmol/l 3,5 – 5,0
*Chlorida 110 Mmol/l 98 – 108

Pemeriksaan rontgen thoraks

 Dalam Batas Normal

V. FOLLOW UP
7 November – 9 Novomber 2016.
7 November 2016

S Lemas (+), BAB cair (+), Sariawan (+), Batuk (-) , Sesak (-),Demam (+)
O Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Komposmentis
Tekanan Darah: 110/80 mmHg
Nadi : 88 x/min, regular
Pernafasan : 20x/min
o
Suhu : 36,9 C

Kepala : Normosefal
Mata : Konjungtiva anemis +/+ ; sklera ikterik -/- ; pupil isokor, Ø
3mm / 3mm, refleks cahaya langsung dan tidak langsung +/+
Mulut : Mukosa basah, sianosis (-), lidah kotor, Stomatitis (+)
Perdarahan gusi (-)
Leher : Trakea di tengah, pembesaran kelenjar getah bening (-)

6
Thorax
Paru
(I) : pergerakan dada statis dan dinamis simetris
(P) : Fremitus taktil dan vokal +/+, kiri dan kanan simetris
(P) : sonor di seluruh lapang paru
(A) : bunyi nafas vesikuler +/+, ronchi -/-, wheezing -/-
Jantung
(I) : iktus kordis tidak terlihat
(P) : pulsasi iktus kordis teraba
(P) : batas kanan : ICS IV linea parasternalis dextra
batas kiri : ICS V linea mid-klavikula sinistra
(A) : bunyi jantung S1 dan S2 reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen
(I) : tampak datar
(P) : nyeri tekan (-), defans muskular (-), hepar & lien tidak teraba,
massa (-)
(P) : timpani pada seluruh kuadran, shifting dullness (-)
(A) : Bising usus (+) normal
Ekstremitas
Akral hangat, CRT < 2 detik, pitting edema -/-

A HIV
GEA Kronis
Anemia
P - IVFD RL 14 tpm
- Inj. Ceftriaxon 1x2 gr
- Inj. OMZ 1x1 gr
- Newdiatab 3x1 tab
- Candistatin drop
- Zinc 3x1 tab
- Transfusi PRC

8 November 2016

S Lemas (+),Sariawan (+), BAB cair berkurang, Batuk (-) , Sesak (-),Demam (+)
O Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Komposmentis
Tekanan Darah: 120/70 mmHg
Nadi : 80 x/min, regular
Pernafasan : 19x/min
Suhu : 36,8oC

7
Kepala : Normosefal
Mata : Konjungtiva anemis +/+ ; sklera ikterik -/- ; pupil isokor, Ø
3mm / 3mm, refleks cahaya langsung dan tidak langsung +/+
Mulut : Mukosa basah, sianosis (-), lidah kotor, Stomatitis (+)
Perdarahan gusi (-)
Leher : Trakea di tengah, pembesaran kelenjar getah bening (-)

Thorax
Paru
(I) : pergerakan dada statis dan dinamis simetris
(P) : Fremitus taktil dan vokal +/+, kiri dan kanan simetris
(P) : sonor di seluruh lapang paru
(A) : bunyi nafas vesikuler +/+, ronchi -/-, wheezing -/-
Jantung
(I) : iktus kordis tidak terlihat
(P) : pulsasi iktus kordis teraba
(P) : batas kanan : ICS IV linea parasternalis dextra
batas kiri : ICS V linea mid-klavikula sinistra
(A) : bunyi jantung S1 dan S2 reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen
(I) : tampak datar
(P) : nyeri tekan (-), defans muskular (-), hepar & lien tidak teraba,
massa (-)
(P) : timpani pada seluruh kuadran, shifting dullness (-)
(A) : Bising usus (+) normal
Ekstremitas
Akral hangat, CRT < 2 detik, pitting edema -/-

A HIV
GEA Kronis
Anemia
P - IVFD RL 14 tpm
- Inj. Ceftriaxon 1x2 gr
- Inj. OMZ 1x1 gr
- Newdiatab 3x1 tab
- Candistatin drop
- Zinc 3x1 tab
- Kortimoxazole 2x2 tab
- Inj. Metronidazole 3x500 gr
- Inj. Dexametason 3x1

8
9 November 2016

S Lemas (+),Sariawan (+), BAB cair (-), Batuk (-) , Sesak (-),Demam (+)
O Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Komposmentis
Tekanan Darah: 110/80 mmHg
Nadi : 82 x/min, regular
Pernafasan : 20x/min
Suhu : 36,8oC

Kepala : Normosefal
Mata : Konjungtiva anemis +/+ ; sklera ikterik -/- ; pupil isokor, Ø
3mm / 3mm, refleks cahaya langsung dan tidak langsung +/+
Mulut : Mukosa basah, sianosis (-), lidah kotor, Stomatitis (+)
Perdarahan gusi (-)
Leher : Trakea di tengah, pembesaran kelenjar getah bening (-)

Thorax
Paru
(I) : pergerakan dada statis dan dinamis simetris
(P) : Fremitus taktil dan vokal +/+, kiri dan kanan simetris
(P) : sonor di seluruh lapang paru
(A) : bunyi nafas vesikuler +/+, ronchi -/-, wheezing -/-
Jantung
(I) : iktus kordis tidak terlihat
(P) : pulsasi iktus kordis teraba
(P) : batas kanan : ICS IV linea parasternalis dextra
batas kiri : ICS V linea mid-klavikula sinistra
(A) : bunyi jantung S1 dan S2 reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen
(I) : tampak datar
(P) : nyeri tekan (-), defans muskular (-), hepar & lien tidak teraba,
massa (-)
(P) : timpani pada seluruh kuadran, shifting dullness (-)
(A) : Bising usus (+) normal
Ekstremitas
Akral hangat, CRT < 2 detik, pitting edema -/-

A HIV
GEA Kronis  Perbaikan
Anemia
P - IVFD RL 14 tpm

9
- Inj. Ceftriaxon 1x2 gr
- Inj. OMZ 1x1 gr
- Newdiatab 3x1 tab
- Candistatin drop
- Zinc 3x1 tab
- Kortimoxazole 2x2 tab
- Inj. Metronidazole 3x500 gr
- Inj. Dexametason 3x1

VI. RESUME
Pasien datang ke IGD RS Bhayangkara Tk.I Raden Said Sukanto dengan
keluhan BAB cair sejak 5 bulan sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengatakan
Frekuensi BAB 4 – 5 kali/ hari dan pernah disertai darah satu bulan yang lalu
sebanyak kurangdari5 kali. Keluhan disertai sariawan di lidah dan bibir sejak 5 bulan
terakhir dan dirasakan semakin banyak.

Pasien merasa mengalami penurunan berat badan sekitar 5 kg selama 3 bulan


terakhir. Dalam riwayat kebiasaan, pasien memiliki riwayat menikah sebanyak 1 kali.
Pasien memiliki riwayat pernah berhubungan seksual selain dengan istrinya

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil anemia dan leukositopenia.

VI. DIAGNOSIS
HIV

VII. RENCANA TATA LAKSANA


 Injeksi Ceftriaxone 2x1 g
 Injeksi Ranitidin 2x50 mg
 Injeksi OMZ 1x1
 New diatab 3x1
 Candistatin drop 3x1
 Cotrimoxsazole 2x2
 Zinc 3x1
 Metronidazole 3x500mg
 Dexametason 3x1amp

10
VIII. PEMERIKSAAN ANJURAN :
 Cek ulang H2TL dan elektrolit
 SGOT, SGPT, Bilirubin Total
 EKG

IX. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam

11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

HIV (Human Immunodeficiency Virus)


2.1 Definisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah suatu retrovirus dengan materi

genetik asam ribonukleat (RNA). Retrovirus mempunyai kemampuan yang unik

untuk mentransfer informasi genetik mereka dari RNA ke DNA dengan menggunakan

enzim yang disebut reverse transcriptase, setelah masuk ke tubuh hospes. Virus ini

menyerang dan merusak sel- sel limfosit T-helper (CD4+) sehingga sistem imun

penderita turun dan rentan terhadap berbagai infeksi dan keganasan

AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome merupakan penyakit yang

disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang ditandai dengan

gejala menurunnya sistem kekebalan tubuh. AIDS dapat dikatakan suatu kumpulan

tanda/gejala atau sindrom yang terjadi akibat adanya penurunan daya kekebalan tubuh

yang didapat atau tertular/terinfeksi, bukan dibawa sejak lahir. Penderita AIDS mudah

diserang infeksi oportunistik (infeksi yang disebabkan oleh kuman yang pada keadaan

system kekebalan tubuh normal tidak terjadi) dan kanker dan biasanya berakhir

dengan kematian.

2.2 Dasar Virologi dan Infeksi HIV

 Struktur Genomik HIV

Acquired immune defficiency syndrome (AIDS) dapat diartikan sebagai

kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh

akibat infeksi oleh virus HIV (Human Immmunodeficiency Virus) yang termasuk

famili retroviridae, AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV (Djoerban, 2007).

HIV adalah retrovirus, anggota genus Lentivirus, dan menunjukkan banyak gambaran

12
fisikomia yang merupakan ciri khas famili. Genom RNA lentivirus lebih kompleks

daripada genom RNA Retrovirus yang bertransformasi. Virus mengandung tiga gen

yang dibutuhkan untuk replikasi retrovirus – gag, pol, dan env.

Gambar 1. Peta genome dari Lentivirus

Virion HIV-1 berbentuk icosahedral dan memiliki ujun tajam eksternal sebanyak 72.

Lebih kompleks dibandingkan HTLV-1 dan HTLV-2. Produk gen dapat dibagi menjadi tiga

kelompok

Tabel 1. Antigen Mayor HIV, Tipe-1

 Siklus Hidup HIV dan Internalisasi HIV ke Sel Target

HIV merupakan retrovirus obligat intraselular dengan replikasi sepenuhnya di

dalam sel host. Perjalanan infeksi HIV di dalam tubuh manusia diawali dari interaksi

gp120 pada selubung HIV berikatan dengan reseptor spesifik CD4 yang terdapat pada

permukaan membran sel target (kebanyakan limfosit T-CD4+). Sel target utama

adalah sel yang mempu mengekspresikan reseptor CD4 (astrosit, mikroglia, monosit-

makrofag, limfosit, Langerhan’s dendritik).

13
Gambar 2. Siklus Hidup HIV

2.3 Epidemiologi

Penularan HIV/AIDS terjadi akibat melalui cairan tubuh yang mengandung

virus HIV yaitu melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun heteroseksual,

jarum suntik pada penggunaan narkotika, transfuse komponen darah dan dari ibu yang

terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkanya. Oleh karena itu kelompok risiko tinggi

terhadap HIV / AIDS misalnya pengguna narkotika, pekerja seks komersil dan

pelangganya serta narapidana (Djoerban, 2007).

Berbagai aspek budaya, sosial, dan perilaku yang berbeda menentukan karakteristik

penyakit HIV di setiap daerah. Angka seroprevalensi di antara pengguna obat suntik sangat

bervariasi di seluruh dunia, namun epidemi terkini terjadi di Eropa bagian timur, Rusia, dan

India bagian utara.

Tabel 2. Rekapitulasi Global Epidemi AIDS.

14
Sejak ditemukannya kasus AIDS pertama di Indonesia pada tahun 1987,

perkembangan jumlah kasus HIV/AIDS yang dilaporkan di Indonesia datri tahun ke

tahun secara kumulatif cenderung meningkat. Pada tahun 2006 Ditjen PP & PL

Depkes RI mengadakan kegiatan estimasi populasi rawan tertular HIV dengan hasil

sebagai berikut:

Tabel 3. Estimasi Populasi Rawan Tertular HIV di Indonesia Tahun 2006

2.4 Patogenesis

15
Peran penting sel T dalam “menyalakan” semua kekuatan limfosit dan

makrofag, sel T penolong dapat dianggap sebagai “tombol utama” sistem imun. Virus

AIDS secara selektif menginvasi sel T penolong, menghancurkan atau melumpuhkan

sel-sel yang biasanya megatur sebagian besar respon imun. Virus ini juga menyerang

makrofag, yang semakin melumpuhkan sistem imun, dan kadang-kadang juga masuk

ke sel-sel otak, sehingga timbul demensia (gangguan kapasitas intelektual yang parah)

yang dijumpai pada sebagian pasien AIDS.

Gambar 2 Proses terjadinya infeksi HIV.

Dasar utama patogenesis HIV adalah kurangnya jenis Limfosit T

helper/inducer yang mengandung marker CD4 (sel T4) .Limfosit merupakan pusat

dan sel utama yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam

16
menginduksi fungsi-fungsi imunologik. Kelainan selektif pada satu ,jenis sel

menyebabkan kelainan selektif pada satu jenis sel. Human Immunodeficiency Virus

mempunyai tropisme selektif terhadap sel T4, karena molekul CD4 yang terdapat

pada dindingnya adalah reseptor dengan affinitas yang tinggi untuk virus ini. Setelah

HIV mengikat diri pada molekul CD4, virus masuk kedalam target dan ia melepas

bungkusnya kemudian dengan enzym reverse transcryptase ia merubah bentuk

RNAnya menjadi DNA agar dapat bergabung menyatakan diri dengan DNA sel

target. Selanjutnya sel yang berkembang biak akan mengundang bahan genetik virus.

Infeksi oleh HIV dengan demikian menjadi irreversibel dan berlangsung seumur

hidup. Berbeda dengan virus lain, virus HIV menyerang sel target dalam jangka lama.

Jarak dari masuknya virus ketubuh sampai terjadinya AIDS sangat lama yakni 5 tahun

atau lebih. Infeksi oleh vius HIV menyebabkan fungsi sistem kekebalan tubuh rusak

yang mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang atau hilang, akibatnya mudah

terkena penyakit-penyakit lain seperti penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri

protozoa dan jamur dan juga mudah terkena penyakit kanker seperti sarkoma kaposi.

HIV mungkin juga secara lansung menginfeksi sel-sel syaraf menyebabkan kerusakan

neurologis. (Djoerban, 2007)

Dalam tubuh ODHA, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu

kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari semua orang yang

terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50%

berkembang menjadi AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang

yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Gejala yang terjadi

adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk.

Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala

ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun (Djoerban 2008).

17
Gambar 3. Gambaran waktu CD4 T-cell dan perubahan perkembangan virus
berkesinambungan pada infeksi HIV yang tidak diterapi. (Bennet, 2011)

Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak

menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel

setiap hari. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang

tinggi, untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan memproduksi limfosit

CD4 sekitar 109 setiap hari.

2.5 Penularan

Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu

penyakit yaitu sumber infeksi, vehikulum yang membawa agent, host yang rentan,

tempat keluar kuman dan tempat masuk kuman (port’d entrée). Virus HIV sampai

saat ini terbukti hanya menyerang sel Lmfosit T dan sel otak sebagai organ

sasarannya. Virus HIV sangat lemah dan mudah mati diluar tubuh. Sebagai

vehikulum yang dapat membawa virus HIV keluar tubuh dan menularkan kepada

orang lain adalah berbagai cairan tubuh. Cairan tubuh yang terbukti menularkan

diantaranya semen, cairan vagina atau servik dan darah penderita (Widoyono, 2008).

Banyak cara yang diduga menjadi cara penularan virus HIV, namun hingga

kini cara penularan HIV yang diketahui adalah melalui:

18
1. Transmisi Seksual

Penularan melalui hubungan seksual baik homoseksual maupun heteroseksual

merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini

berhubungan dengan semen dan cairan vagina. Infeksi dapat ditularkan dari setiap

pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung

pada pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks. Pada

penelitian Darrow (1985) ditemukan resiko seropositive untuk zat anti terhadap HIV

cenderung naik pada hubungan seksual yang dilakukan pada pasangan tidak tetap.

Orang yang sering berhubungan seksual dengan berganti pasangan merupakan

kelompok manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV (Siregar, 2004).

 Homoseksual

Di dunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat promiskuitas homoseksual

menderita AIDS, berumur antara 20-40 tahun dari semua golongan krusial. Cara

hubungan seksual anogenetal merupakan perilaku seksual dengan resiko tinggi bagi

penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual yang pasif menerima ejakulasi semen

dari seseorang pengidap HIV. Hal ini sehubungan dengan mukosa rektum yang

sangat tipis dan mudah sekali mengalami pertukaran pada saat berhubungan secara

anogenital.

 Heteroseksual

Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubungan

heteroseksual pada promiskuitas dan penderita terbanyak adalah kelompok umur

seksual aktif baik pria maupun wanita yang mempunyai banyak pasangan dan

berganti-ganti.

2. Transmisi Non Seksual

 Transmisi Parenteral

19
Jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang telah terkontaminasi,

misalnya pada penyalah gunaan narkotik suntik yang menggunakan jarum suntik

yang tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melaui jarum

suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu. Resiko

tertular cara transmisi parental ini kurang dari 1%. Darah/Produk Darah Transmisi

melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara barat sebelum tahun

1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat sangat jarang,

karena darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan.

 Transmisi Transplasental

Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai resiko

sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu

menyusui. Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah.

(Siregar, 2004)

Faktor risiko dari infeksi HIV ini antara lain (Mayo Clinic, 2010):

1. Melakukan hubungan seksual tanpa perlindungan

Hubungan seksual yang tida terlindungi yaitu melakukan hubungan seksual

tanpa menggunakan kondom yang terbuat dari latex atau polyurethane setiap

saat. Anal seks lebih berisiko daripada vaginal seks. Risiko akan meningkat bila

memiliki pasangan seksual lebih dari satu.

2. Mempunyai penyakit menular seksual

Banyak penyakit menular seksual mengakibatkan adanya luka terbuka pada

genitalia. Luka ini merupakan pintu masuk infeksi HIV.

3. Menggunakan obat-obatan melalui intravena

20
Orang yang menggunakan obat-obatan intravena sering berbagi jarum

suntik. Ini akan memaparkan infeksi melalui darah

4. Laki-laki yang tidak tersirkumsisi

Beberapa studi menemukan bahwa tidak sirkumsisi meningkatkan risiko

penularan HIV heteroseksual.

2.6 Diagnosis

Penularan HIV/AIDS terjadi akibat melalui cairan tubuh yang mengandung

virus HIV yaitu melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun heteroseksual,

jarum suntik pada penggunaan narkotika, transfuse komponen darah dan dari ibu yang

terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkanya. Oleh karena itu kelompok risiko tinggi

terhadap HIV/AIDS misalnya pengguna narkotika, pekerja seks komersil dan

pelangganya serta narapidana (Djoerban, 2007).

Untuk menegakkan diagnosis pada penderita perlu dilakukan anamnesa,

pemeriksaan fisik dan tes laboratorium. Apabila dengan pemeriksaan laboratorium

terbukti terinfeksi HIV, baik dengan metode pemeriksaan antibodi atau pemeriksaan

untuk mendeteksi adanya virus dalam tubuh maka penderita dinyatakan terinfeksi

HIV.

Diagnosis AIDS untuk kepentingan surveilans ditegakkan apabila terdapat

infeksi oportunistik atau limfosit CD4+ kurang dari 200 sel / mm3.

Untuk keperluan surveilans epidemiologi seorang dewasa ( < 12 tahun )

dianggap menderita AIDS apabila menunjukkan tes HIV positif dengan strategi

pemeriksaan yang sesuai dan sekurang – kurangnya didapatkan 2 gejala mayor dan 1

gejala minor dan gejala – gejala ini bukan disebabkan oleh keadaan – keadaan lain

yang tidak berkaitan dengan HIV :

21
1. Gejala Mayor : Berat badan menurun > 10 % dalam 1 bulan, diare kronis yang

berlangsung lebih dari 1 bulan, demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan, penurunan

kesadaran dan gangguan neurologis, demensia atau HIV ensefalopati.

2. Gejala Minor : Batuk menetap lebih dari 1 bulan, dermatitis generalisata yang gatal,

adanya herpes zoster multisegmental dan atau berulang, kandidiasis oro – faringeal,

herpes simpleks kronis progresif, limfadenopati generalisata, infeksi jamur berulang

pada alat kelamin perempuan.

2.7 Tes HIV

Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui secara pasti apakah seseorang

terinfeksi HIV sangatlah penting, karena pada infeksi HIV gejala klinisnya dapat baru

terlihat setelah bertahun – tahun lamanya.Terdapat beberapa jenis pemeriksaan

laboratorium untuk memastikan diagnosis infeksi HIV. Secara garis besar dapat

dibagi menjadi :

1. Pemeriksaan serologic untuk mendeteksi adanya antibody terhadap HIV

2. Pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan virus HIV.

Deteksi adanya virus HIV dalam tubuh dapat dilakukan dengan isolasi dan

biakan virus, deteksi antigen, dan deteksi materi genetic dalam darah pasien

(UNAIDS,1997).

Pemeriksaan yang lebih mudah dilaksanakan adalah pemeriksaan terhadap

antibody HIV. Sebagai penyaring biasanya digunakan teknik:

1. ELISA (enzyme – linked immunosorbent assay)

2.Aglutinasi atau dot – blot immunobinding assay

Metode yang biasa digunakan di Indonesia adalah dengan ELISA

(UNAIDS,1997)

22
Seseorang yang ingin menjalani tes HIV untuk keperluan diagnosis harus

mendapatkan konseling pra tes. Hal ini harus dilakukan agar ia mendapatkan

informasi yang sejelas – jelasnya mengenai infeksi HIV / AIDS sehingga dapat

mengambil keputusan yang terbaik untuk dirinya serta lebih siap menerima apapun

hasil tesnya nanti. Untuk keperluan survey tidak diperlukan konseling pra tes karena

orang yang dites tidak akan diberitahu hasil tesnya (UNAIDS,1997).

Untuk memberitahu hasil tes juga diperlukan konseling pasca tes, baik hasil

tes positif maupun negatif. Jika hasilnya positif akan diberikan informasi mengenai

pengobatan untuk memperpanjang masa tanpa gejala serta cara pencegahan

penularan. Jika hasilnya negatif, konseling tetap perlu dilakukan untuk memberikan

informasi bagaimana mempertahankan perilaku yang tidak berisiko (UNAIDS,1997).

2.8 Stadium Klinis

WHO telah menetapkan Stadium Klinis HIV/AIDS untuk dewasa maupun

anak dimana stadium klinis HIV/AIDS masing-masing terdiri dari 4 stadium. Jika

dilihat dari gejala yang terjadi pembagian stadium klinis HIV/AIDS adalah sebagai

berikut (WHO, 2010):

1. Stadium 1

 Asimptomatis

 Lymphadenopathy generalisata persisten

2. Stadium 2

 Penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan (dibawah 10% dari berat

badan yang diperkirakan)

 Infeksi saluran nafas yang berulang (sinusitis, tonsillitis, otitis media,

pharyngitis)

23
 Herpes zoster

 Angular cheilitis

 Sariawan yang berulang

 Papular pruritic eruptions

 Dermatitis seboroik

 Infeksi jamur pada kuku

3. Stadium 3

 Penurunan berat badan yang parah tanpa penyebab yang jelas (lebih dari 10%

berat badan terukur)

 Diare kronis tanpa penyebab yang jelas selama lebih dari satu bulan

 Demam yang menetap tanpa sebab yang jelas (intermittent atau menetap

selama lebih dari 1 bulan)

 Candidiasis oral persisten

 Oral hairy leukoplakia

 TBC Paru

 Infeksi Paru yang parah (pneumonia, empyema, meningitis, pyomyositis,

infeksi sendi dan tulang, bacteraemia, severe pelvic inflammatory disease)

 Acute necrotizing ulcerative stomatitis, gingivitis atau periodontitis

 Anemia tanpa sebab yang jelas (dibawah 8 g/dl ), neutropenia (dibawah 0.5 x

109/l) dan/atau thrombocytopeni kronis

 Terapi Antiretroviral untuk infeksi HIV pada dewasa dan dewasa muda

4. Stadium 4

24
 HIV wasting syndrome

 Pneumocystis jiroveci pneumonia

 Pneumonia bacterial yang berulang

 Infeksi herpes simplex kronis (orolabial, genital atau anorectal selama lebih

dari 1 bulan pada daerah viseral)

 Candidiasis esofagus (atau candidiasis pada trachea, bronchi atau paru)

 Tuberculosis Ekstra Pulmonal

 Kaposi sarcoma

 Penyakit Cytomegalovirus (retinitis atau infeksi pada organ lain kecuali hepar,

lien dan lymphonodi).

 Toxoplasmosis pada system saraf pusat

 HIV encephalopathy

 Cryptococcosis Ekstra pulmoner termasuk meningitis

 Disseminated nontuberculous mycobacteria infection

 Progressive multifocal leukoencephalopathy

 Cryptosporidiosis kronis

 Isosporiasis Kronis

 Disseminated mycosis (histoplasmosis, coccidiomycosis)

 Septisemia berulang (including nontyphoidal Salmonella)

 Lymphoma (cerebral or B cell non-Hodgkin)

 Kanker Cerviks invasif

 Atypical disseminated leishmaniasis

 HIV Simptomatis-berhubungan dengan nephropathy atau HIV

Cardiomyopathy.

25
2.9 Terapi

Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis yaitu :

1. Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV)

2. Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai

infeksi HIV / AIDS, seperti jamur, tuberculosis, hepatitis, toksoplasma, sarcoma

Kaposi, limfoma, kanker serviks.

3. Pengobatan simptomatis yang bertujuan untuk menghilangkan gejala-gejala yang

muncul pada pasien

4. Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik

dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan

agama serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan. Dengan

pengobatan yang lengkap tersebut, angka kematian dapat ditekan, harapan hidup

lebih baik dan kejadian infeksi oportunistik amat berkurang.

Terapi Antiretroviral

Gambar 4. Algoritme Penilaian dan Monitor infeksi kronis HIV

Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena

obat ARV akan diberikan dalam jangka panjang. Berikut ketentuannya:

26
1. ARV dimulai pada semua pasien yang telah menunjukkan gejala yang termasuk

dalam kriteria diagnosis AIDS, atau menunjukkan gejala yang sangat berat, tanpa

melihat jumlah limfosit CD4+.

2. ARV dimulai pada pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ kurang dari 350

sel / mm3.

3. ARV dimuali pada pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ 200 – 350 sel /

mm3.

4. ARV dapat dimulai atau ditunda pada pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+

lebih dari 350 sel / mm3 dan viral load lebih dari 100.000 kopi/ml.

5. ARV tidak dianjurkan dimulai pada pasien dengan limfosit CD4+ lebih dari 350

sel/mm3 dan viral load kurang dari 100.000 kopi/ml.

Tabel 4. Keadaan klinik dalam penentuan pemberian terapi ARV (WHO, 2010)

Tabel 5. Kombinasi Obat ARV untuk Terapi Inisial (Djourban, 2007)


Kolom A Kolom B
Lamivudin + zidovudin

Lamivudin + didanosin Evafirenz *

Lamivudin + stavudin

Lamivudin + zidovudin

Lamivudin + stavudin Nevirapin

Lamivudin + didanosin
Lamivudin + zidovudin Nelvinafir

27
Lamivudin + stavudin

Lamivudin + didanosin
* Tidak dianjurkan pada wanita hamil trimester pertama atau wanita yang berpotensi
tinggi untuk hamil.
Catatan : kombinasi yang sama sekali tidak boleh adalah : zidovudin + stavudin.

Saat ini regimen pengobatan ARV yang dianjurkan WHO adalah kombinasi

dari 3 obat ARV.Terdapat beberapa regimen yang dapat dipergunakan, dengan

keunggulan dan kerugianya masing – masing.Kombinasi obat antiretroviral lini

pertama yang umumnya digunakan di Indonesia adalah kombinasi zidovudin (ZDV) /

lamivudin (3TC), dengan nevirapin (NVP).

2.10 Infeksi Opportunistik dan HIV/AIDS


Penyebab utama morbiditas dan mortalitas di antara pasien dengan stadium
lanjut infeksi HIV adalah infeksi oportunistik, yaitu infeksi berat yang diinduksi oleh
agen yang jarang menyebabkan penyakit serius pada individu yang imunokompeten.
Infeksi oportunistik biasanya tidak terjadi pada pasien yang terinfeksi HIV hingga
jumlah sel T CD4 turun dari kadar normal sekitar 1.000 sel/μl menjadi kurang dari
200 sel/ μl. Ketika pengobatan terhadap beberapa patogen oportunistik umum
terbentuk dan penatalaksanaan pasien AIDS memungkinkan ketahanan yang lebih
lama, spektrum infeksi oportunistik mengalami perubahan (Brooks, 2004).

Tabel 6. Presentasi Infeksi Oportunistik pada HIV

 Patogen Penyebab

28
Pada infeksi oleh human immunodeficiency virus (HIV) , tubuh secara gradual

akan mengalami penurunan imunitas akibat penurunan jumlah dan fungsi limfosit

CD4. Pada keadaan di mana jumlah dan fungsi limfosit CD4. Pada keadaan di mana

jumlah limfosit CD4 <200/ml atau kurang, sering terjadi gejala penyakit indikator

AIDS. Spektrum infeksi yang terjadi pada keadaan imunitas tubuh menurun pada

infeksi HIV ini disebut infeksi oportunistik (Merati, 2007).

Perjalan menuju infeksi oportunistik pada pengidap HIV sangat ditentukan

oleh mekanisme regulasi imun pada tubuh pengidap HIV tersebut. Regulasi imun

ternyata dikendalikan oleh faktor genetik, imunogenetika, salah satunya adalah sistem

HLA yang pada setiap individu akan menunjukkan ekspresi yang karakteristik. Pada

awal masuknya HIV ke dalam tubuh manusia, mekanisme respon imun yang terjadi

adalah up regulation, tetapi lambat laun akan terjadi down regulation karena

kegagalan dalam mekanisme adaptasi dan terjadi exhausted dari sistem imun.

Keadaan ini menyebabkan tubuh pengidap HIV menjadi rentan terhadap infeksi

oportunistik (Nasronudin, 2007).

Organisme penyebab IO adalah organisme yang merupakan flora normal,

maupun organisme patogen yang terdapat secara laten dalam tubuh yang kemudian

mengalami reaktivasi. Spektrum IO pada defisiensi imun akibat HIV secara umum

mempunyai pola tertentu dibandingkan IO pada defisiensi imun lainnya. Namun ada

gambaran IO yang spesifik untuk beberapa daerah tertentu. Semakin menurun jumlah

limfosit CD4 semakin berat manifestasi IO dan semakin sulit mengobati, bahkan

sering mengakibatkan kematian. Pegobatan dengan antiretroviral (ARV) dapat

menekan replikasi HIV, sehingga jumlah limfosit CD4 relatif stabil dalam jangka

waktu panjang, dan keadaan ini mencegah timbulnya infeksi oportunistik. Organisme

yang sering menyebabkan IO terdapat di lingkungan hidup kita yang terdekat, seperti

29
air, tanah, atau organisme tersebut memang berada dalam tubuh kita pada keadaan

normal, atau tinggal secara laten lalu mengalami reaktivasi.

 Penyakit kulit dan mulut


Pasien-pasien yang menderita AIDS (acquired immunodeficiency syndrome)
mengalami peningkatan risiko terjadinya sejumlah kelainan mukokutan, yaitu (Brown, 2005):
a. Kandiasis mulut yang meluas ke dalam esofagus
b. “leukoplakia berambut” di mulut–terdapat kerutan-kerutan putih pada bagian tepi lidah
yang disebabkan oleh virus Epstein-Barr.
c. Infeksi stafilokokus, herpes zoster, moluskum kontangiosum, dan infeksi jamur
dermatofit lebih mudah timbul pada pasien-pasien AIDS.
d. Serangan herpes simpleks terjadi lebih sering dan lebih hebat, dan lesi-lesi bisa menjadi
kronis.
e. Sarkoma Kaposi: suatu tumor yang dianggap berasal dari enotel pembuluh darah dan
ada hubungannya dengan infeksi human herpes virus type 8 (HHV-8). Lesi biasanya
multipel, dan dapat timbul pada bagian manapun di kulit, begitu pula pada bagian
organ-organ dalam. Kelainan ini jarang menyebabkan kematian pada pasien AIDS,
yang biasanya meninggal akibat terjadinya infeksi yang menyertainya. Merupakan
tumor yang radiosensitif.
f. Psoriasis yang sudah ada sebelumnya pada pasien AIDS dapat menjadi lebih hebat dan
ekstensif.
g. Angiomatosis basiler. Lesi ini disebabkan oleh basil Bartonella henselae.
h. Angiomatosis basiler. Lesi ini disebabkan oleh basil Bartonella henselae. Lesi yang
seperti angioma ini terjadi pada kulit, mukosa, dan organ dalam. Kelainan ini dapat
diobati dengan eritromisin.
i. Kelainan-kelainan terkait obat. Obat-obat antiretrovirus yang saat ini digunakan secara
luas untuk mengobati infeksi HIV dapat menyebabkan timbulnya bercak-bercak pada
kulit dan terjadinya pigmentasi pada kuku.
j. Infeksi varicella-zoster virus (VZV) dapat menjadi buruk, kronis, dan dapat menjadi
komplikasi infeksi parenkim, superinfeksi bakterial, dan kematian. Dengan
peningkatan imunodefisiensi, infeksi VZV memiliki tampilan klinis seperti lesi verukus
dermatom kronik; satu atau lebih nyeri ulkus kronik tau lesi ektimatus, ulkus, atau
nodulmenyerupai karsinoma sel basal atau karsinoma sel squamos. Herpes zoster dapat
rekuren pada dermatom yang sama atau dermatom-dermatom lainnya.

 Penyakit Gastrointestinal

30
Penyakit terkait HIV seringkali melibatkan saluran gastrointestinal (GI). Penurunan
berat badan dan selera makan merupakan gejala umum apapun patologinya (Mandal, 2008).
a. Penyakit esofagus biasanya timbul dengan keluhan nyeri saat menelan dan disfagia.
Kandidiasis merupakan penyebab 80% kasus (terjadi pada 30% pasien dengan OCP).
Plak pseudomembranosa tampak saat pemeriksaan barium meal sebagai defek
pengisian (filling defects) dan saat endoskopi.
b. Penyakit usus halus sering berhubungan dengan diare cair bervolume banyak, nyeri
perut dan malabsorpsi. Bila terdapat imunidefisiensi sedang (100-200 CD4 sel/mm3),
Cryptosporidium, mikrosporidium, dan Giardia merupakan penyebab yang mungkin.
Bila kadar CD4 <50 sel/mm3, Mycobacterium avium intercelluler (MAI) dan CMV
merupakan diagnosis alternatif.
c. Penyakit usus besar timbul sebagai diare (sering berdarah) bervolume sedikit yang
disertai dengan nyeri perut. Suatu patogen enterik bakterial standar mungkin berperan
seperti Clostridium difficile. Kolitis CMV merupakan diagnosis penting pada pasien
dengan hitung CD4 rendah yang terjadi pada hingga 5% pasien. Penegakan diagnosis
diakukakn melalui endoskopi yang sering memperlihatkan ulkus dalam atau dangkal
yang konfluen atau segmental, serta dengan biopsi. Megakolon toksik, perdarahan, dan
perforasi dapat menyebabkan komplikasi pada infeksi.

 Penyakit hepatobilier
a. Penyakit bilier dapat menyebabkan komplikasi pada infeksi CMV, Crytosporidium,
atau mikrosporidium dalam bentuk kolangitis sklerosans atau kolesistitis akalkulia.
Manifestasinya adalah nyeri kuadran kanan atas, muntah, dan demam; ikterus jarang
terjadi. Pada kolangitis sklerosans, peningkatan fosfatase alkali dan γ-glutamil
transferase serum biasanya mendahului timbulnya ikterus. Pencitraan ultra sonografi
memperlihatkan pelebaran saluran empedu. Akan tetapi, endoscopic retrograde
cholangiopancreatography (ERCP) penting untuk memperlihatkan gambaran
menyerupai kabut intrahepatik dan ekstrahepatik yang khas untuk kolangitis sklerosans
(Mandal, 2008).
b. Penyakit hati dapat disebabkan oleh koinfeksi dengan HBV atau HCV. Koinfeksi
hepatitis B atau C menjadi masalah yang meningkat pada HIV. Pada kedua hepatitis
tersebut, viremia lebih tinggi dan penyakit lebih agresif. Pada koinfeksi HBV,
imunosupresi yang terlihat pada penyakit tahap lanjut dapat memberikan suatu
perlindungan, karena kerusakan hepar diperantarai oleh sistem imun. Stimulan imun
(interferon) dan antivirus (3TC, tenofovir) memiliki peran dalam pengobatan. Pada
hepatitis C, respons terhadap inerferon dan ribavirin tidak sebaik pada orang yang HIV-
negatif (Mandal, 2008).

31
 Penyakit Paru
Lebih dari setengah pasien-pasien dengan HIV akan mengalami penyakit paru
pada suatu waktu tertentu. Beberapa faktor mempengaruhi kemungkinan
penyebabnya termasuk hitung CD4, etnis, dan usia, kelompok risiko, serta riwayat
profilaksis PCP.

Tabel 7. Diagnosis Banding Gambaran Rontgen Toraks

 Kondisi diseminata dan lain-lain


Dalam keadaan deplesi imun yang berat (CD4<50 sel/mm3), penyakit diseminata
tidak jarang terjadi dan patogen OI multipel dapat diidentifikasi (misalnya MAI, CMV).
Seringkali manifestasinya adalah gejala nonspesifik berupa demam dan penurunan berat
badan dengan bukti anemia pada uji laboratorium.
1. Sumsum tulang.
Anemia tidak jarang terjadi pada HIV tahap lanjut. Penyebabnya banyak namun
infiltrasi sumsum tulang (misalnya MAI, NHL), supresi sumsum tulang (ZDV),
kehilangan darah (sarkoma Kaposi gastrointestinal), dan malabsorpsi (Cryptosporidium)
adalah yang tersering.
Leukopenia biasanya terdapat pada keadaan penggantian sumsum tulang seperti di
atas atau toksisitas obat. Limfopenia merupakan penanda untuk HIV dan fungsi
imunologis. Trombositopenia dapat timbul pada awal (5-10%) dengan manifestasi yang
serupa dengan ITP: responsnya terhadap imunoglobulin baik namun hanya jangka penek;
pengobatan pilihan adalah HAART.
2. Mycobacterium avium-intercellulare

32
Merupakan mikobakterium lingkungan yang umumnya terdapat dalam air dan
makanan. Infeksi terjadi setelah kolonisasi slauran pernapasan dan gastrointestinal dalam
sebagian besar kasus. Penyakit diseminata:

a. Hanya terjadi bila hitung CD4 < 50 sel/mm3.

b. Mengenai semua organ (terutama sistem retikuloendotelial) dengan infiltrasi masif


organisme dan respons inflamasi minimal.

c. Timbul sebagai demam, berkeringat, penurunan berat badan, diare kronik, muntah dan
nyeri perut; hepatosplenomegali dan limfadenopati biasa didapatkan pada pemeriksaan fisik.
CT scan biasanya menunjukkan limfadenopati intraabdomen dan mediastinum.

2.11 Profilaksis untuk Infeksi Oportunistik


Penelitian yang sahih telah membuktikan efektifitas profilaksis kotrimoksasol
dalam menurunkan angka kematian dan kesakitan dari berbagai tingkat latar belakang
resisten terhadap kotrimoksasol dan prevalensi malaria. Oleh karena itu dianjurkan
bagi semua ODHA dewasa dan remaja yang memenuhi kriteria klinik dan imunitas
untuk terapi ARV harus pula diberi profilaksis kotrimoksasol untuk mencegah
serangan PCP dan toksoplasmosis (Depertemen Kesehatan, 2007).
Pemberian ARV telah menyebabkan kondisi kesehatan ODHA menjadi jauh
lebih baik. Infeksi kriptoporidiasis yang sebelumnya sukar diobati, menjadi lebih
mudah ditangani. Infeksi penyakit oportunistik lain yang berat, seperti infeksi virus
sitomegalo dan infeksi mikobakterium atipikal, dapat disembuhkan (Djoerban, 2007).
Pemberian obat antiretroviral akan menekan jumlah HIV dalam darah sehingga
penghancuran CD4 dapat dikurangi. Namun demikian kekebalan tubuh juga dapat
menimbulkan sindrom imun rekonstitusi yaitu sindrom yang timbul akibat terjadinya
proses radang setelah kekebalan tubuh pulih kembali. Sindrom ini dapat berupa
demam, pembengkakan kelenjar limfe, batuk serta perburukan foto toraks. Sindrom
ini sering terjadi pada pasien yang mengalami infeksi oportunistik TB namun juga
dapat timbul pada infeksi oportunistik lain.

33
DAFTAR PUSTAKA

Evy Y, Samsuridjal D, Zubairi D. Infeksi Opertunistik pada AIDS. Balai Penerbit

FKUI, Jakarta, 2005; 13-19: 27-32:44-49

Kelompok Kerja TB-HIV Tingkat Pusat Departemen Kesehatan RI. Prosedur

Tetap Pencegahan dan Pengobatan Tuberkulosis Pada Orang Dengan HIV/AIDS.

2003.

Lydia A. Hitung limfosit total sebagai prediktor hitung limfosit CD4+ pada

penderita AIDS(tesis). Jakarta : Program Pendidikan Dokter Spesialis-1 Departemen

Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1996

WHO. WHO case definitions of HIV for surveilance and revised clinical stagging

and immunological classification of HIV related disease in adult and children.

Geneva; 2007.

Widoyono. 2008. HIV-AIDS. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan,

Pencegahan dan Pemberantasannya.Jakarta: Penerbit Erlangga.

Z. Djoerban, S. Djauri. Infeksi tropical. Hiv aids. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam

FKUI. Edisi IV. Jilid III. Hal. 1803-1807.

34

Anda mungkin juga menyukai