Anda di halaman 1dari 40

PRESENTASI KASUS

HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS

Disusun dan diajukan untuk memenuhi persyaratan tugas

Kepanitraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak

Rumah sakit Angkatan Darat Gatot Soebroto

Tutor :

dr. Huiny Tjokrohusada Sp. A. MH. Kes

Moderator :

dr. Yenny Purnama, Sp.A. M.Kes. MARS

Disusun Oleh :

Anum Sasmita 1102012025

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SOEBROTO

PERIODE 06 AGUSTUS – 12 OKTOBER 2018


BAB I
STATUS PASIEN

IDENTITAS PASIEN
Nama : An. Z.S
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal lahir / Usia : 28 januari 2014 / 4 tahun 7 bulan
Alamat : Asrama Denarhanud Rudal Tangerang
No Rekam Medis : 8350xx
Tanggal Masuk Rumah Sakit : 06 agustus 2018
Datang Sendiri / Rujukan : Datang sendiri
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa
ANAMNESIS
Dilakukan alloanamnesis dengan ibu pasien pada tanggal 06 Agustus 2018, pukul 09.00 di
ruangan IKA 2
KELUHAN UTAMA : Mencret
KELUHAN TAMBAHAN : Demam, Batuk
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG :
Sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengalami buang air besar cair lebih
dari 5 kali dalam sehari. Buang air besar berwarna kuning kecoklatan, buang air besar disertai
dengan lendir dan berbau busuk, tidak terdapat darah dan tidak berbusa. Buang air besar yang
dialami pasien setiap kali sebanyak ± ½ gelas dengan buang besar cair terkadang terdapat
ampas. Diare ini sudah dirasakan hilang timbul dan sering berulang sejak 2 tahun yang lalu.
Tidak ditemukan kemerahan dan lecet di dubur, buang air kecil banyak dan berwarna
kekuningan.
Sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengalami batuk tidak berdahak,
pasien merasakan nyeri menelan. Batuk tidak disertai dengan sesak nafas, batuk tidak disertai
dengan keringat malam, batuk tidak disertai dengan muntah.
Ibu pasien mengatakan sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit berat badan pasien
turun sebanyak 3 kg, kini berat badan pasien 13 kg. Pasien kurang nafsu makan, terkadang
hanya menghabiskan ½ porsi makanan.
Sejak 2 tahun sebelum masuk rumah sakit penderita mengeluh demam yang hilang
timbul, demam pada pasien ini dengan penyebab yang tidak jelas, terkadang demam disertai
dengan batuk pilek. 3 hari pasien mengalami demam kemudian demam bisa sembuh sendiri,
dengan cara memperbaiki pola istirahat, pola makan pasien dan tanpa mengonsumsi obat
penurun panas, namun demam bisa muncul kembali. Demam tidak disertai dengan riwayat
kejang, tidak disetai dengan riwayat mimisan, tidak disertai dengan riwayat menggigil dan
tidak terdapat keluhan perdarahan di gusi. Demam tidak disertai dengan nyeri kepala dan
tidak disertai dengan riwayat nyeri perut. Saat itu pasien demam disertai dengan riwayat
sesak nafas, terdapat sariawan di mulut pasien yang tidak sembuh-sembuh dan berat badan
pasien turun sebanyak 5 kg selama 2 bulan. Orang tua pasien didiagnosa HIV sejak tahun
2015, mendapatkan pengobatan tablet ARV dan tidak teratur diminum, orangtua merasa
khawatir dengan keluhan yang dirasakan pasien sehingga pasien dilakukan pemeriksaan
laboratorium dan dikatakan pasien menderita penyakit HIV. Pasien diberikan obat tablet
ARV yang diminum 2 x sehari selama seumur hidup.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU :
Pasien terdiagnosis HIV positif sejak tahun 2016 dan minum obat teratur.
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA DAN LINGKUNGAN SEKITAR :
Riwayat HIV pada ayah dan ibu pasien.
Tidak terdapat riwayat batuk yang lama pada orang dewasa disekitar pasien.
RIWAYAT PENGOBATAN :
Pasien mengonsumsi obat ARV sejak tahun 2016
RIWAYAT KEHAMILAN :
Morbiditas Kehamilan : Selama kehamilan ibu tidak terdapat keluhan mual dan
muntah hebat.
Perawatan antenatal : Selama kehamilan ibu melakukan pemeriksaan sebanyak 3 kali
RIWAYAT KELAHIRAN :
Tempat lahir : Rumah sakit
Penolong persalinan : Bidan
Cara persalinan : Spontan
Berat badan lahir : 3800 gram, Panjang badan lahir : 40 cm
Usia gestasi : cukup bulan
Keadaan bayi setelah lahir : langsung menangis, tidak kebiruan, tidak pucat, tidak ada
kuning, tidak ada kejang
Kelainan bawaan : Tidak ada
RIWAYAT PERKEMBANGAN
Motorik kasar :
Tengkurap : pada usia 5 bulan
Duduk : pada usia 7 bulan
Berdiri : pada usia 13 bulan
Berjalan : pada usia 20 bulan
Bahasa :
Bicara : pada usia 24 bulan
Motorik halus dan kognitif :
Menulis : manggambar orang
Membaca : -
Prestasi belajar : -
Kesimpulan : Perkembangan anak normal sesuai usia
RIWAYAT NUTRISI
Susu Makanan
USIA ASI Bubur susu Nasi Tim
Formula Keluarga
0-2 bulan - + - - -
2-4 bulan - + - - -
4-6 bulan - + - - -
6-8 bulan - + - - -
8-10 bulan - + + - -
10-12 bulan - + + + -
12-24 bulan - + + + +
24-34 bulan - + - - +

Di atas usia 1 tahun


Jenis Makanan Frekuensi
Nasi 7 hari dalam seminggu @ 3 kali sehari @ setengah centong nasi
Sayur 3 hari dalam seminggu @ 1 kali sehari @ 1 sendok sayur / 1 kali makan
Daging 2 hari dalam seminggu @ 1 kali sehari @ 1 potong / 1 kali makan
Telur 4 hari dalam seminggu @ 2 kali sehari @ 1 butir / 1 kali makan
Ikan 3 hari dalam seminggu @ 1 kali sehari @ 1 potong / 1 kali makan
Tahu 3 hari dalam seminggu @ 2 kali sehari @ 1 potong / 1 kali makan
Tempe 3 hari dalam seminggu @ 2 kali sehari @ 1 potong / 1 kali makan
Susu formula 7 hari dalam seminggu @ 3 kali dalam sehari

Kesulitan makan : pasien mengalami kesulitan makan , hanya menghabiskan ½ porsi


makanan.
Kesimpulan : Kualitas makanan baik dan Kuantitas pemberian makanan kurang.
RIWAYAT IMUNISASI
Jenis Ulangan
Dasar (Umur)
Imunisasi (Umur)
Hepatitis B 0 bulan 2 bulan 3 bulan 4 bulan
Polio 0 bulan 1 bulan 2 bulan 3 bulan 2 tahun
BCG 1 bulan
DTP 2 bulan 3 bulan 4 bulan 2 tahun
HiB 2 bulan 3 bulan 4 bulan 2 tahun
Campak 9 bulan
Imunisasi Lain : Tidak diberikan

Kesimpulan : Imunisasi dasar lengkap, tidak diberikan imunisasi tambahan seperti PCV,
rotavirus, influenza, MMR, tifoid, hepatitis A, varisela.
RIWAYAT KELUARGA
Anak pertama dari 1 bersaudara
Data Orangtua
Ayah Ibu
Usia 35 tahun 33 tahun
Pernikahan ke Pertama Pertama
Usia saat menikah 29 tahun 27 tahun
Pendidikan Sekolah menengah atas Sekolah menengah atas
Pekerjaan TNI AD Ibu rumah tangga
Agama Islam Islam
Suku bangsa Jawa Jawa
Riwayat penyakit HIV HIV
Konsanguinitas Tidak ada Tidak ada

Anggota keluarga lain yang serumah : Tidak ada


Masalah dalam keluarga : Tidak ada
RIWAYAT SOSIAL EKONOMI : Tempat tinggal keluarga pasien adalah rumah milik
sendiri yang tidak terlalu padat penduduk, menurut pasien lingkungan rumah cukup bersih
dan sumber air tanah untuk keperluan sehari-hari, sumber air minum mineral dari galon.
Jumlah yang tinggal dirumah 3 orang.
RIWAYAT ALERGI : Alergi makanan : Alpukat
RIWAYAT OPERASI : Tidak ada
RIWAYAT TRANSFUSI : Tidak ada

PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal pemeriksaan : 06 Agustus 2018 Pukul : 10.00 WIB
KEADAAN UMUM : Tampak sakit sedang
KESADARAN : GCS : E4, M6, V5 , Kompos Mentis
STATUS MENTAL : Tenang
Tinggi Badan : 103 cm
Berat Badan : 13 kg
Tanda vital
Tekanan darah: 100/60 mmHg
Laju nadi : 90 x/menit reguler, ekual di keempat ekstremitas, isi cukup
Laju nafas : 24 x/menit reguler, tipe pernafasan abdominothorakal
Suhu : 38,6 0 c di axilla sinistra
Lingkar kepala: 51 cm
Lingkar lengan atas : 15 cm
RANGSANG MENINGEAL :
Kaku kuduk : (-)
Brudzinski I : (-)
Brudzinski II : (-)
Brudzinski III : (-)
Brudzinski IV : (-)
Kerniq : (-)
STATUS GIZI : Menurut grafik WHO untuk anak laki-laki usia 0-5 tahun
BB : 13 kg
TB : 103 cm
LLA : 15 cm
BB/U : 13 kg/4,7 th : (-3 Z-score SD -2) = Berat badan kurang
TB/U : 103 cm/4,7 th : (-2 Z-score SD 0) = Tinggi badan normal
BB/TB : 13 kg/103 cm : (-3 Z-score SD -3) = Gizi kurang
LLA/U: 15 cm/4,7 th : (-1) = Gizi kurang
Kesimpulan : Tinggi badan normal, Gizi kurang
KELAINAN MUKOSA/KULIT/SUBKUTAN MENYELURUH
Pucat : Tidak ada
Sianosis : Tidak ada
Ikterik : Tidak ada
Perdarahan : Tidak ada
Edema generalisata : Tidak ada
Perabaan kulit : Normal
Turgor : Baik
KELENJAR GETAH BENING
Leher : Tidak teraba pembesaran
Submandibula : Tidak teraba pembesaran
Supraklavicula : Tidak teraba pembesaran
Axilla : Tidak teraba pembesaran
Inguinal : Tidak teraba pembesaran
KEPALA
Bentuk : Bulat, simetris, normosefali
Rambut : Warna hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut
Kulit kepala : Tidak ada kelainan
WAJAH
Tidak ada nyeri tekan sinus
MATA
Simetris, mata tidak cekung
Palpebra : Tidak edema
Konjungtiva : Tidak anemis, tidak terdapat konjungtiva fliktenularis
Sklera : Tidak ikterik
Pupil : Bulat, isokor kiri dan kanan
Lensa : Jernih
Bola mata : Baik kesegala arah
Refleks cahaya langsung dan tidak langsung : positif pada kedua mata
TELINGA
Bentuk : Normotia, simetris
Lubang telinga : Liang lapang, Tidak hiperemis
Gendang telinga : Intak, tepi tidak hiperemis, refleks cahaya pasitif dikedua
telinga
Perdarahan/sekret : Tidak terdapat perdarahan maupun sekret
HIDUNG
Bentuk normal
Septum : Tidak deviasi
Konka : Tidak edema
Mukosa : Tidak hiperemis
Tidak terdapat sekret pada hidung
MULUT
Bibir : Tidak pucat, tidak sianosis, tidak kering
Lidah : Tidak ada atropi papil, lidah simetris
Tonsil : T1-T1 tidak hiperemis
Faring : Hiperemis, tidak terdapat sekret
Mukosa : Lembab, tidak terdapat sariawan
LEHER
Bentuk : Normal
Trakhea : Di tengah
KGB : Tidak teraba adanya pembesaran kelenjar getah bening colli
Tiroid : Simetris, tidak ada pembesaran
JVP : Tidak meningkat
TORAKS
Bentuk : Normal
Pulmonal :
ANTERIOR POSTERIOR
KANAN KIRI KANAN KIRI
Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
jaringan parut, jaringan parut, jaringan parut, jaringan parut,
Inspeksi
tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada
retraksi sela iga retraksi sela iga retraksi sela iga retraksi sela iga
Palpasi Pergerakan Pergerakan Pergerakan Pergerakan
dada simetris, dada simetris, dada simetris, dada simetris,
tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada
krepitasi, tidak krepitasi, tidak krepitasi, tidak krepitasi, tidak
ada benjolan, ada benjolan, ada benjolan, ada benjolan,
tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada
massa, tidak massa, tidak massa, tidak massa, tidak
ada nyeri tekan, ada nyeri tekan, ada nyeri tekan, ada nyeri tekan,
tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada
pelebaran sela pelebaran sela pelebaran sela pelebaran sela
iga iga iga iga
Perkusi Sonor Sonor Sonor Sonor
Suara nafas Suara nafas Suara nafas Suara nafas
vesikular, tidak vesikular, tidak vesikular, tidak vesikular, tidak
Auskultas
ada rhonki, ada rhonki, ada rhonki, ada rhonki,
i
tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada
wheezing wheezing wheezing wheezing

Jantung : Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak


Palpasi :Iktus cordis teraba pada sela iga IV linea
midclavicularis sinistra, kuat angkat, tidak teraba
adanya thrill.
Perkusi : Batas Jantung kanan di linea parasternalis dextra pada
sela iga IV, batas jantung kiri di linea midclavicularis
sinistra pada sela iga IV, batas atas jantung di linea
parasternalis sinistra pada sela iga II
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II murni normal, tidak ada
murmur, tidak ada gallop
Abdomen : Inspeksi : Cembung, simetris, tidak ada jaringan parut
Auskultasi : Bising usus positif normal
Palpasi : Lembut, tidak ada nyeri tekan diseluruh lapang
abdomen, hepar tidak teraba, lien tidak teraba, ginjal
tidak teraba, tidak teraba massa, tidak ada ascites.
Perkusi : Timpani diseluruh lapang abdomen
Genitalia : Penis (+), fimosis (-), Testis (+/+), Skrotum (+)
Anus : (+), tidak terdapat lecet dan kemerahan di dubur
Ekstremitas : Superior : Bentuk normal, akral hangat, tidak edema di kanan
dan kiri, tidak sianosis dikanan dan kiri, tidak deformitas kanan dan
kiri, capillary refill time < 3 detik
Inferior: Bentuk normal, akral hangat, tidak edema di kanan dan kiri,
tidak sianosis dikanan dan kiri, tidak deformitas kanan dan kiri,
capillary refill time < 3 detik
Kulit : Warna sawo matang
REFLEKS FISIOLOGIS
Biseps pees refleks : (+)
Triceps pees refleks : (+)
Knee pees refleks : (+)
Achilles pees refleks : (+)

REFLEKS PATOLOGIS
Refleks Hoffman : (-)
Refleks Tromner : (-)
Refleks Gordon : (-)
Refleks Gorda : (-)
Refleks Oppenheim : (-)
Refleks Babinski : (-)
Refleks Chaddock : (-)
Refleks Scaeffer : (-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG SEBELUM DAN SAAT MASUK PERAWATAN
Pemeriksaan Laboratorium Klinik RSPAD Gatot soebroto
HEMATOLOGI
Jenis Pemeriksaan 16 April 2018 6 Agustus 2018 Nilai Rujukan
Hemoglobin 9,5 g/dL 10,6 g/dL 11,5 – 13,5 g/dL
Hematokrit 31 % 30 % 34 – 40 %
Eritrosit 4.2 juta/uL 4.0 juta/uL 3.9 – 5.3 juta/uL
Leukosit 1890 /uL 4930 /uL 5.500 – 15.500 /uL
Trombosit 450000 /uL 623000/uL 150.000 – 400.000 /uL
MCV 74 fL 76 fL 75 – 87 fL
MCH 23 pg 25 pg 24 – 30 pg
MCHC 31 g/dL 32 g/dL 31 – 37 g/dL

Pemeriksaan Laboratorium Klinik RSPAD Gatot soebroto


IMUNOSEROLOGI
Jenis Pemeriksaan 16 April 2018 6 Agustus 2018 Nilai Rujukan
CD 4 % 4.75 % 31-60 %
CD 4 53 63 410 – 1590 Cell/uL

Pemeriksaan Laboratorium klinik RSPAD Gatot Soebroto tanggal 07 Agustus 2018


FESES RUTIN
Hasil Nilai Rujukan
Makroskopik Cair Lunak
Darah -/negatif Nagatif
Lendir -/negatif Negatif
Eritrosit 0-0-1 Negatif
Leukosit 2-4-2 Negatif
Amoeba -/negatif Negatif
Telur cacing -/negatif Negatif
Serat -/negatif Negatif

RESUME
Dua tahun yang lalu pasien dengan keluhan buang air besar cair yang yang terus-
menerus, sering berulang. Diare disertai dengan lendir dan berbau busuk, tidak terdapat darah
dan tidak berbusa. Diare yang dialami pasien setiap kali sebanyak ± ½ gelas dengan buang
besar cair dan terkadang terdapat ampas.
Pasien juga merasakan demam yang terus menerus, sering berulang, demam pada
pasien ini terkadang dengan penyebab yang tidak jelas, tiga hari pasien mengalami demam
kemudian demam bisa sembuh sendiri, tanpa diberikan obat penurun panas. Pasien disertai
dengan sesak nafas dan disertai dengan sariawan di mulut yang tidak sembuh-sembuh lalu
dibawa ke RSPD Gatot Soebroto dilakukan pemeriksaan laboratorium dikatakan pasien
mengalami Human Immunideficiency Virus.
Pasien kurang nafsu makan, terkadang hanya menghabiskan ½ porsi makanan. berat
badan pasien turun sebanyak 5 kg dalam 2 bulan, kini berat badan pasien 13 kg.
Pemeriksaan Fisik : Tekanan darah : 100/60 mmHg, Laju nadi : 90 x/menit, irama
reguler, ekual di keempat ekstremitas, isi cukup kuat, Laju napas : 24 x/menit, reguler,
abdominothorakal, Suhu : 38,6 0 c di axilla, Lingkar kepala : 51 cm, Lingkar lengan atas : 15
cm, faring hiperemis, pada pasien terdapat status gizi kurang.
Hasil pemeriksaan penunjang : Hb : 9.3 g/dL, Ht : 30%, Eritrosit : 4.0 juta/uL,
Leukosit : 4930 /uL, Trombosit : 623000 /uL, MCV : 76 fL, MCH : 25 pg, MCHC : 32 g/dL,
CD4 : 63cell/uL.

DIAGNOSIS BANDING
1. Human Immunodeficiency Virus
Imflammatory bowl disease
Tuberkulosis
2. Diare kronis dengan dehidrasi ringan - sedang
3. Faringitis
4. Gizi kurang

DIAGNOSIS KERJA
1. Human Immunodeficiency Virus
2. Diare kronis dengan dehidrasi ringan - sedang
3. Faringitis
4. Gizi kurang
PENATALAKSANAAN
Planing terapi
Non Medikamentosa : Diet : MB 1500 kkal/hari
Medikamentosa : Atasi diare : Zinc Syrup 1x20 mg
Atasi demam : Paracetamol syrup 3x7.5 mg
Obat ARV : Zidovudin 2x105 mg
Neviropin 2x105 mg
Lamivudin 2x60 mg
Atasi batuk : Ambroxol 3x8 mg
Cetirizine 3x1.5 mg
Planing diagnosis
Photo thoraks
Sputum BTA
Mantoux test
Darah samar

PERJALANAN PENYAKIT SELANJUTNYA


Tanggal Subyektif Obyektif Assesment Planning
07 Pasien demam Tampak sakit sedang,  HIV on  Diet : MB
Agustus masih naik kesadaran ARV 1500 kkal/hari
2018 turun, buang composmentis,  Faringitis  Atasi diare :
Jam 07.00 air besar masih TD : 90/60 mmHg,  Gizi kurang Zinc syrup
Hari cair 3 kali Nadi : 88 x/menit, 1x20 mg
perawatan dalam sehari reguler, Pernapasan :  Atasi demam :
ke 2 sebanyak ½ 22 x/menit, reguler, paracetamol
gelas, masih abdominothorakal, syrup 3x7.5
terdapat batuk, Suhu : 37,8 0 C diaxilla. ml
tidak ada mual, KEPALA :  Obat ARV :
tidak ada normosefali Zidovudin
muntah, makan MATA : Simetris, 2x105 mg
dan minum mata tidak cekung. Neviropin
mau namun Konjungtiva : Tidak 2x105 mg
sedikit. anemis, Sklera : Tidak Lamivudin
ikterik. 2x60 mg
TELINGA : Bentuk :  Atasi batuk :
Normotia, simetris Ambroxol
HIDUNG : Bentuk 3x8 mg,
normal, Septum Cetirizine
tidak deviasi, Konka
tidak edema 3x1,5 mg.
MULUT :Bibir tidak
pucat, tidak sianosis,
tidak kering, tidak
terdapat sariawan,
faring hiperemis
LEHER : Trakhea di
tengah, tidak teraba
pembesaran KGB.
THORAKS : simetris,
tidak ada retraksi dada.
Pulmonal : suara nafas
vesikular, tidak ada
rhonki, tidak ada
wheezing. Cor : Bunyi
jantung I dan II murni
normal, tida ada
murmur, tidak ada
gallop.
ABDOMEN : datar,
bising usus positif
normal, timpani di
lapang abdomen, tidak
ada nyeri tekan.
EKSTREMITAS :
akral hangat, tidak ada
edema, CRT < 2 detik
08 Pasien sudah Tampak sakit sedang,  HIV on  Diet : MB
Agustus tidak merasa kesadaran ARV 1500 kkal/hari
2018 demam, batuk composmentis,  Faringitis  Atasi diare :
Jam 07.00 sudah TD : 90/60 mmHg,  Gizi kurang Zinc syrup
Hari berkurang, Nadi : 88 x/menit, 1x20 mg
perawatan buang air besar reguler, equel  Atasi demam :
ke 3 sudah terdapat dikeempat ekstremitas, paracetamol
ampas 2 kali isi cukup kuat, syrup 3x7.5
sehari, makan Pernapasan : 24 ml
dan minum x/menit, reguler,  Obat ARV :
sudah mau, abdominothorakal, Zidovudin
BAK tidak ada Suhu : 36,7 0 C diaxilla. 2x105 mg
keluhan KEPALA : Neviropin
normosefali 2x105 mg
MATA : Simetris, Lamivudin
mata tidak cekung. 2x60 mg
Konjungtiva : Tidak  Atasi batuk :
anemis, Sklera : Tidak Ambroxol
ikterik. 3x8 mg,
TELINGA : Bentuk : Cetirizine
Normotia, simetris 3x1,5 mg.
HIDUNG : Bentuk
normal, Septum
tidak deviasi, Konka
tidak edema
MULUT :Bibir tidak
pucat, tidak sianosis,
tidak kering, tidak
terdapat sariawan,
faring tidak hiperemis
LEHER : Trakhea di
tengah, tidak teraba
pembesaran KGB.
THORAKS : simetris,
tidak ada retraksi dada.
Pulmonal : suara nafas
vesikular, tidak ada
rhonki, tidak ada
wheezing. Cor : Bunyi
jantung I dan II murni
normal, tida ada
murmur, tidak ada
gallop.
ABDOMEN : datar,
bising usus positif
normal, timpani di
lapang abdomen, tidak
ada nyeri tekan.
EKSTREMITAS :
akral hangat, tidak ada
edema, CRT < 2 detik
09 S : Pasien Tampak sakit sedang,  HIV on  Diet : MB
Agustus sudah merasa kesadaran ARV 1500 kkal/hari
2018 tidak demam, composmentis,  Faringitis  Atasi diare :
Jam 07.00 buang air besar TD : 100/60 mmHg,  Gizi kurang Zinc syrup
Hari sudah terdapat Nadi : 84 x/menit, 1x20 mg
perawatan ampas, bab reguler, equel  Atasi demam :
ke 4 sekali sehari, dikeempat ekstremitas, paracetamol
sudah tidak isi cukup kuat, syrup 3x7.5
batuk. Bak Pernapasan : 24 ml
tidak ada x/menit, reguler,  Obat ARV :
keluhan, abdominothorakal, Zidovudin
makan dan Suhu : 36,3 0 C diaxilla. 2x105 mg
minum sudah KEPALA : Neviropin
mau. normosefali 2x105 mg
MATA : Simetris, Lamivudin
mata tidak cekung. 2x60 mg
Konjungtiva : Tidak Atasi batuk :
anemis, Sklera : Tidak Ambroxol 3x8
ikterik. mg, Cetirizine
TELINGA : Bentuk : 3x1,5 mg.
Normotia, simetris
HIDUNG : Bentuk
normal, Septum
tidak deviasi, Konka
tidak edema
MULUT :Bibir tidak
pucat, tidak sianosis,
tidak kering, tidak
terdapat sariawan,
faring hiperemis
LEHER : Trakhea di
tengah, tidak teraba
pembesaran KGB.
THORAKS : simetris,
tidak ada retraksi dada.
Pulmonal : suara nafas
vesikular, tidak ada
rhonki, tidak ada
wheezing. Cor : Bunyi
jantung I dan II murni
normal, tida ada
murmur, tidak ada
gallop.
ABDOMEN : datar,
bising usus positif
normal, timpani di
lapang abdomen, tidak
ada nyeri tekan.
EKSTREMITAS :
akral hangat, tidak ada
edema, CRT < 2 detik

PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Dubia ad Malam
Quo ad Functionam : Dubia ad Malam
Quo ad Sanationam : Dubia ad Malam
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
DEFINISI
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS (Acquired Immunodeficiency
Syndrome). Artinya bahwa HIV berbeda dengan AIDS tetapi HIV memungkinkan untuk
menjadi pencetus terjadinya AIDS. Sampai saat ini masih ditemukan beberapa kontraversi
tentang ketepatan mekanisme perusakan sistem imun oleh HIV.2
Human Immunodeficiency Virus  merupakan virus  yang termasuk dalam familia 
retrovirus  yaitu kelompok  virus berselubung (envelope virus) yang mempunyai enzim 
reverse transcriptase,  enzim yang dapat mensintesis DNA dari genom RNA. 2

EPIDEMIOLOGI
Di negara berkembang risiko seorang bayi tertular HIV dari ibunya sekitar 25%–45%,
masyarakat beranggapan bahwa bayi yang dilahirkan oleh ibu HIV positif pasti akan
terinfeksi virus HIV. Pada kenyataannya, 60%–75% anak tersebut tidak terinfeksi walaupun
tidak ada intervensi apapun. Penyebaran MTCT (mother-to-child-transmition) HIV dapat
terjadi 5% pada saat dalam kandungan, 15% pada saat persalinan, dan 10% melalui
pemberian ASI. Strategi preventif selama kehamilan terbukti mengurangi risiko MTCT pada
HIV sebesar 1%-2%, yang meliputi ARV profilaksis selama kehamilan dan melahirkan
hingga bayi berusia 6 minggu setelah lahir. Penularan pada umumnya lebih sering terjadi
akibat infeksi perinatal (vertical), yaitu sekitar 50-80% baik intrauterine, melalui plasenta,
selama persalinan melalui pemaparan dengan darah atau sekret jalan lahir, maupun yang
terjadi setelah lahir (pasca natal) yaitu melalui air susu ibu (ASI). Penularan melalui plasenata
(intra natal), diduga dapat terjadi pada periode kehamilan yang sangat dini, oleh karena
pernah ditemukan adanya antigen terhadap virus pada janin yang berusia 13-20 minggu
Infeksi virus penyebab defisiensi imun (HIV-1) pada anak dapat juga terjadi melalui
transfusi darah atau komponennya yang tercemar. Makin sering transfusi dilakukan makin
besar kemungkinan terjadinya infeksi. Menurut CDC Amerika, 13% kasus AIDS pada anak
adalah penerima transfusi darah atau komponennya, 5% di antaranya ternyata terinfeksi
dalam pengobatan hemophilia atau gangguan pembekuan darah yang lain.
Penularan melalui air susu ibu diduga dapat terjadi oleh karena pernah ditemukan
adanya virus di dalam ASI. Pada anak yang lebih besar, terutama remaja, penularan dapat
terjadi dengan cara yang sama seperti pada orang dewasa, yaitu sebagai akibat perilaku
seksual yang menyimpang (terlampau aktif, homoseksual atau biseksual), penyalahgunaan
obat dengan suntikan dan lain-lainnya.1

ETIOLOGI
Virus penyebab defisiensi imun yang dikenal dengan nama Human Immunodeficiency
Virus (HIV) adalah suatu virus RNA dari famili Retrovirus dan subfamili Lentiviridae.
Sampai sekarang baru dikenal dua serotype HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang juga
disebut lymphadenopathy associated virus type-2 (LAV-2) yang hingga kini hanya dijumpai
pada kasus AIDS atau orang sehat di Afrika,dan spektrum penyakit yang ditimbulkannya
belum banyak diketahui. HIV-1, sebagai penyebab sindrom defisiensi imun (AIDS) tersering,
dahulu dikenal juga sebagai human T cell-lymphotropic virus type III (HTLV-
III), lymphadenipathy-associated virus (LAV) dan AIDS-associated virus.1
Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam bentuknya
yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia
masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Limfosit T, karena ia mempunyai
reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Limfosit T, virus dapat
berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan
keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap
infeksius yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama hidup penderita tersebut.1

PATOFISIOLOGI
Untuk dapat terjadi infeksi HIV diperlukan reseptor spesifik pada sel penjamu yaitu
molekul CD4. Molekul CD4 ini mempunyai afinitas yang sangat besar terhadap HIV,
terutama terhadap molekul glikoprotein (gp120) dari selubung virus. Diantara sel tubuh yang
memiliki molekul CD4, sel limfosit-T memiliki molekul CD4 yang paling banyak. Oleh
karena itu, infeksi HIV dimulai dengan penempelan virus pada limfosit-T. Setelah
penempelan terjadi diskontinyuitas dari membran sel limfosit-T, kecuali selubungnya.
Selanjutnya, RNA dari virus mengalami transkripsi menjadi seuntai DNA dengan bantuan
enzim reverse transcriptase. Akibat aktivitas enzim RNA-ase H, RNA yang asli dihancurkan
sedang seuntai DNA yang terbentuk mengalami polimerisasi menjadi dua untai DNA dengan
bantuan enzim polimerase. DNA yang terbentuk ini kemudian pindah dari sitoplasma ke
dalam inti sel limfosit T dan menyisip ke dalam DNA sel penjamu dengan bantuan enzim
integrase, disebut sebagai provirus. Provirus yang terbentuk ini tinggal dalam keadaan laten
atau dalam keadaan replikasi yang sangat lambat, tergantung kepada aktivitas dan
deferensiasi sel pejamu (T-CD) yang diinfeksinya, sampai kelak terjadi suatu stimulasi yang
dapat memicu dan memacu terjadinya replika dengan kecepatan yang tinggi.8
Stimulasi yang dapat memicu dan memacu terjadinya replikasi (atau ekspresi virus,
yaitu pembentukan protein atau mRNA virus yang utuh), umumnya diduga terjadi oleh
karena bahan mitogen atau antigen yang mungkin bekerja melalui sitokin., baik yang terdapat
sebelum atau sesudah terjadinya infeksi HIV. Tidak semua sitokin dapat memacu replikasi
virus, namun sebagian sitokin dapat menghambat replikasi virus. Sitokin yang dapat memacu
replikasi adalah sitokin yang mengatur respons imun seperti interleukin (IL) 1,3,6 tumor
necrosis factor α dan β, interferon gamma, granulocyte-macrophage colony-stimulating
factor dan macrophage colony-stimulating factor. Yang bersifat menghambat replikasi adalah
interleukin-4, transforming growth factor β, dan interferon α dan β. 8
Hal lain yang dapat memacu replikasi HIV adalah adanya ko-faktor yang terdiri dari
infeksi oleh virus DNA seperti virus Epstein-Barr, cytomegalovirus, virus hepatitis B, virus
herpes simplex, human herpesvirus 6, dan human T-cell lymphotrophic virus tipe 1 atau oleh
kuman seperti mikoplasma. Oleh karena sitokin dapat dibentuk dan bekerja lokal di dalam
jaringan tanpa masuk ke dalam sirkulasi, maka konsentrasinya di dalam serum tidak harus
meningkat untuk dpaat menimbulkan pengaruh pada replikasi atau ekspresi HIV di dalam
jaringan. Oleh karena itu, pada keadaan adanya gangguan imunologik-pun, di dalam jaringan
(terutama di dalam kelenjar limfe) tetap dapat terjadi replikasi atau ekspresi virus. Organ
limfoid (kelenjar limfe, adenoid, dan tonsil), tampaknya memang merupakan tempat hidup
dan berkembang HIV baik pada periode yang akut maupun periode laten yang panjang.8
Virus HIV yang masuk kedalam tubuh baik melalui sirkulasi atau mukosa, virus
pertama-tama dibawa ke kelenjar limfa regional terjadi replikasi virus yang kemudian
menimbulkan viremia dan infeksi jaringan limfoid yang lain (multipel) yang dapat
menimbulkan limfadenopati subklinis. Sementara itu, sel limfosit-B yang terdapat didalam
sentrum germinativum jaringan limfoid juga memberikan respons imun yang spesifik
terhadap HIV yang mengakibatkan terjadinya limfadenopati yang nyata akibat hiperplasia
atau proliferasi folikular yang ditandai oleh meningkatnya sel dendrit folikular didalam
sentrum germinativum dan sel limfosit T-CD4. Akumulasi sel limfosit T-CD4 yang
meningkat di dalam jaringan limfoid selain akibat dari proliferasi in situ, juga berasal dari
migrasi limfosit dari luar. Migrasi sel T-CD4 dari luar yang mengakibatkan penurunan sel T-
CD4 di dalam sirkulasi secara tiba-tiba yang merupaka gejala yang khas dari sindrom infeksi
HIV akut. Sel limfosit-B juga menghasilkan berbagai sitokin yang dapat mengaktifkan dan
sekaligus memudahkan infeksi sel T-CD4. 8
Kebanyakan bayi yang terinfeksi dalam kandungan (60-80%) perkembangan
penyakitnya lambat, dengan waktu kelangsungan hidup rata-rata 6 tahun. Kebanyakan pasien
ini jika dikultur atau PCR pada satu minggu pertama kehidupan hasilnya negative, karna itu
pola seperti ini dianggap infeksi intrapartum. Pada pasien yang khas, pertumbuhan virus
cepat meningkat pada umur 2-3 minggu (median 100.000 /mL) dan secara perlahan menurun
sampai umur 24 bulan. Penurunan yang lambat dari viral load ini berlawanan dengan
penurunan yang cepat setelah infeksi primer pada orang dewasa. Keadaan ini hanya sebagian
yang dapat dijelaskan berdasarkan ketidakmatangan sistem imunitas tubuh pada bayi baru
lahir dan bayi.3
Anak yang terinfeksi HIV memiliki perubahan dalam sistem imunitas tubuhnya
seperti halnya pada orang dewasa yang terinfeksi HIV. Penurunan sel CD4 mungkin tidak
terlalu drastis karena biasanya bayi memiliki limfositosis relative. Oleh karena itu, jika pada
anak < 1th nilai CD4 1.500 /mm3 merupakan indikasi penurunan CD4 yang parah, sebanding
dengan < 200 /mm3 pada orang dewasa. Limfopenia relative jarang terjadi pada anak yang
terinfeksi dalam kandungan dan biasanya hanya terlihat pada usia yang lebih tua atau pada
stadium akhir penyakit.3

TRANSMISI
Transmisi HIV secara umum dapat terjadi melalui empat jalur, yaitu :
1. Kontak seksual: HIV terdapat pada cairan mani dan sekret vagina yang akan
ditularkan virus ke sel, baik pada pasangan homoseksual atau heteroseksual.
2. Tranfusi : HIV ditularkan melalui tranfusi darah baik itu tranfusi whole
blood, plasma, trombosit, atau fraksi sel darah Iainnya.
3. Jarum yang terkontaminasi: transmisi dapat terjadi karena tusukan jarum yang
terinfeksi atau bertukar pakai jarum di antara sesama pengguna obat-obatan
psikotropika.
4. Transmisi vertikal (perinatal): wanita yang teinfeksi HIV sebanyak 15-40%
berkemungkinan akan menularkan infeksi kepada bayi yang baru dilahirkannya
melalui plasenta atau saat proses persalinan atau melalui air susu ibu.4
Masih belum diketahui secara pasti bagaimana HIV menular dari ibu-ke-bayi. Namun,
kebanyakan penularan terjadi saat persalinan (waktu bayinya lahir). Selain itu, bayi yang
disusui oleh ibu terinfeksi HIV dapat juga tertular HIV.4

FAKTOR RISIKO PENULARAN
Ada dua faktor utama untuk menjelaskan faktor risiko penularan HIV dari ibu ke bayi :
1. Faktor ibu dan bayi
 Faktor ibu
Faktor yang paling utama mempengaruhi risiko penularan HIV dari ibu
ke bayi adalah kadar HIV (viral load) di darah ibu pada menjelang ataupun
saat persalinan dan kadar HIV di air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya.
Umumnya, satu atau dua minggu setelah seseorang terinfeksi HIV, kadar HIV
akan cepat sekali bertambah di tubuh seseorang.
 Faktor bayi
a. Bayi yang lahir prematur dan memiliki berat badan lahir rendah,
b. Melalui ASI yang diberikan pada usia enam bulan pertama bayi, Bayi
yang meminum ASI dan memiliki luka di mulutnya
2. Faktor cara penularan
 Menular saat persalinan melalui percampuran darah ibu dan darah bayi.
 Bayi menelan darah ataupun lendir ibu.
 Persalinan yang berlangsung lama.
 Ketuban pecah lebih dari 4 jam.
 Penggunaan elektrode pada kepala janin, penggunaan vakum atau forceps, dan
tindakan episiotomi.
 Bayi yang lebih banyak mengonsumsi makanan campuran daripada ASI4

MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis HIV pada anak sangat bervariasi. Beberapa anak dengan HIV positif
menunjukkan keluhan dan gejala terkait HIV yang berat pada tahun pertama kehidupannya.
Anak dengan HIV positif lainnya mungkin tetap tanpa gejala atau dengan gejala ringan
selama lebih dari setahun dan bertahan hidup sampai beberapa tahun 1.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, perlu dicari 9:
 Ibu atau ayah memiliki risiko untuk terinfeksi HIV (riwayat narkoba suntik,
promiskuitas, pasangan dari penderita HIV, pernah mengalami operasi atau transfuse
darah)
 Memiliki morbiditas yang khas maupun sering ditemukan pada penderita HIV, yaitu:
diare kronik, gagal tumbuh, pneumonia berat, pneumonia P.carinii, demam
berkepanjangan, TB paru, kandidosis orofaring

Gejala yang menunjukkan kemungkinan infeksi HIV 1:

 Infeksi berulang: 3 atau lebih episode infeksi bakteri yang lebih berat (seperti
pneumonia, meningitis, sepsis, selulitis) pada 12 bulan terakhir
 Thrush: eritema pseudomembran putih di langit-langit mulut, gusi, dan mukosa pipi.
Pasca masa neonatal, ditemukannya thrush tanpa pengobatan antibiotik, atau
berlangsung lebih dari 30 hari walaupun telah diobati, atau kambuh, atau meluas
melebihi bagian lidah-kemungkinan besar merupakan infeksi HIV. Juga khas apabila
meluas hingga ke belakang kerongkongan (kandidiasis esophagus)
 Parotitid kronik: pembengkakan parotid uni-atau bi-lateral selama ≥ 14 hari, dengan
atau tanpa diikuti rasa nyeri atau demam
 Limfadenopati generalisata: terdapat pembesaran kelenjar getah bening pada dua atau
lebih daerah ekstrainguinal tanpa penyebab jelas yang mendasarinya
 Hepatomegali tanpa penyebab yang jelas: tanpa adanya infeksi virus yang bersamaan
seperti CMV
 Demam yang menetap dan/atau berulang : demam (>380C) berlangsung lebih dari 7
hari, atau terjadi lebih dari sekali dalam waktu 7 hari
 Dermatitis HIV:ruam yang eritematus dan papuler. Ruam kulit yang khas meliputi
infeksi jamur yang ekstensif pada kulit, kuku dan kulit kepala, dan moluscum
contagiosum yang ekstensif
 Herpers zoster
 Kelainan neurologis: kerusakan neurologis yang progresif, mikrosefal, perkembangan
terlambat, hipertonia, atau bingung

Gejala yang umum ditemukan pada anak dengan infeksi HIV, tetapi juga lazim ditemukan
pada anak yang sakit bukan infeksi HIV 1:

 Otitis media kronik: keluar cairan/nanah dari telinga dan berlangsung ≥ 14 hari
 Diare persisten: berlangsung ≥ 14 hari
 Gizi kurang atau gizi buruk
Gejala yang sangat spesifik untuk anak dengan infeksi HIV positif 1:

 Pneumocystitis pneumonia (PCP)


 Kandidiasis esophagus
 Lymphoid intersititial pneumonia (LIP)
 Sarcoma kapossi
STADIUM HIV
 Klasifikasi klinis HIV/AIDS 2 diantaranya menurut enter for Disease Control and
Prevention (CDC) dan World Health Organization (WHO).5
1. Klasifikasi HIV menurut CDC pada anak :

Tabel.1 Sistem klasifikasi infeksi HIV pada anak: kategori klinis CDC

Kategori N (tanpa gejala) Tidak terdapat tanda dan gejala klinis akibat infeksi
HIV, atau hanya terdapat satu gejala kategori A
Kategori A (gejala klinis ringan) Terdapat 2 atau lebih berikut tanpa gejala kategori
B dan C:
a. Limfadenopati (≥ 0,5 cm lebih dari 1 tempat,
bilateral dianggap 1 tempat)
b. Hepatomegali
c. Splenomegali
d. Dermatitis
e. Parotitis
f. Infeksi saluran nafas atas, sinusitis, atau otitis
media berulang atau menetap
Kategori B (gejala klinis sedang) Terdapat gejala klinis lain selain gejala kategori A
atau C:
a. Anemia (< 8g/dL), neutropenia (<1000/mm3),
atau trombositopenia (< 100.000/mm3)
menetap ≥ 30 hari
b. Meningitis bakterialis, pneumonia, atau sepsis
(episode tunggal)
c. Kandidiasis orofaring menetap ≥2 bulan pada
anak usia > 6 bulan
d. Kardiomiopati
e. Infeksi CMV dengan onset usia < 1 bulan
f. Diare berulang atau kronik
g. Hepatitis
h. Stomatitis herpes simpleks (HSV) berulang (>
2 episode dalam setahun)
i. Bronchitis, pneumonia, atau esofagitis HSV
dengan onset usia < 1 tahun
j. Herpes zoster pada paling sedikit 2 episode
berbeda atau > 1 dermatom
k. Leimiosarkoma
l. Pneumonitis interstitial limfoid atau kompleks
hyperplasia limfoid paru
m. Nefropati
n. Nokardiosis
o. Demam > 1 bulan
p. Toksoplasmosis dengan onset usia < 1 bulan
q. Varisela diseminata (cacar air dengan
komplikasi)
Kategori C (gejala klinis berat) Semua anak yang memeuuhi criteria AIDS, kecuali
untuk pneumonitis interstitial limfoid yang masuk
dalam kategori B

2. Klasifikasi HIV pada anak menurut WHO ialah :


 Kriteria imunologis
CD4+ adalah parameter terbaik untuk mengukur imunodefsiensi. Digunakan
bersamaan dengan penilaian klinis. CD4+ dapat menjadi petunjuk dini
progresivitas penyakit karena nilai CD4+ menurun lebih dahulu dibandingkan
kondisi klinis. Pemantauan CD4+ dapat digunakan untuk memulai pemberian
ARV atau penggantian obat. Makin muda umur, makin tinggi nilai CD4+.
Untuk anak < 5 tahun digunakan persentase CD4+. Bila ≥ 5 tahun, persentase
CD4+ dan nilai CD4+ absolut dapat digunakan. Ambang batas kadar CD4+ untuk
imunodefsiensi berat pada anak ≥ 1 tahun sesuai dengan risiko mortalitas dalam
12 bulan (5%). Pada anak < 1 tahun atau bahkan < 6 bulan, nilai CD4+ tidak dapat
memprediksi mortalitas, karena risiko kematian dapat terjadi bahkan pada nilai CD4+
yang tinggi.

Hitung limfosit total (TLC) digunakan bila pemeriksaan CD4+ tidak


tersedia untuk kriteria memulai ART (imunodefsiensi berat) pada anak dengan
stadium 2. Hitung TLC tidak dapat digunakan untuk pemantauan terapi ARV.
Perhitungan TLC = % limfosit X hitung total leukosit.

DIAGNOSIS
Seperti penyakit lain, diagnosis HIV lain juga ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium.3
Anamnesis yang mendukung kemungkinan adanya infeksi HIV ialah :
 Lahir dari ibu resiko tinggi atau terinfeksi HIV
Bayi-bayi yang terlahir dari ibu-ibu yang terinfeksi HIV akan tetap
mempertahankan status seropositif hingga usia 18 bulan oleh karena adanya respon
antibodi ibu yang ditransfer secara transplacental. Selama priode ini, hanya anak-anak
yang terinfeksi HIV saja yang akan mengalami respon serokonversi positif pada
pemeriksaan dengan enzyme immunoassays (EIA),immunofluorescent assays (IFA)
atau HIV-1 antibody western blots (WB).
 Lahir dari ibu pasangan resiko tinggi atau terinfeksi HIV
 Penerima transfusi darah atau komponennya dan tanpa uji tapis HIV
 Penggunaan obat parenteral atau intravena secara keliru (biasanya pecandu narkotika)
 Kebiasaan seksual yang keliru, homoseksual atau biseksual.3
Pemeriksaan Fisik :
Transmisi vertikal pada 50-70% terjadi sewaktu kehamilan tua atau pada saat persalinan
sehingga pada waktu lahir bayi tidak menunjukkan kelainan. Jadi bila saat lahir tidak
ditemukan kelainan fisik belum berarti bayi tidak tertular. Pemantauan perlu dilakukan secara
berkala, setiap bulan untuk 6 bulan pertama, 2 bulan sekali pada 6 bulan kedua , selanjutnya
setiap 6 bulan.
Kelainan yang dapat ditemukan antara lain berupa gagal tumbuh, anoreksia, demam yang
berulang atau berkepanjangan, pembesaran kelenjar , hati dan limpa serta ensefalopati
progresif. Gejala juga dapat berupa infeksi pada organ tubuh lainnya berupa infeksi saluran
nafas yang berulang, diare yang berkepanjangan, piodermi yang berulang maupun infeksi
oportunistik antara lain infeksi dengan jamur seperti kandidiasis, infeksi dengan protozoa
seperti Pneumocystis carinii, toxoplasma yang dapat memberi gejala pada otak. Bayi juga
mudah menderita infeksi dengan miko-bakterium tuberkulosa.8
Pemeriksaan Laboratorium
 Pemeriksaan darah tepi berupa pemeriksaan Hemoglobin, leukosit hitung jenis,
trombosit, dan jumlah sel CD4. Pada bayi yang terinfeksi HIV dapat ditemukan
anemia serta jumlah leukosit CD4 dan trombosit rendah.
 Pemeriksaan kadar immunoglobulin. Ini dilakukan untuk mengetahui adanya hipo
atau hiper gammaglobulinemia yang dapat menjadi pertanda terinfeksi HIV.
 Pemeriksaan antibody HIV. Terdapatnya IgG antibodi HIV pada darah bayi belum
berarti bayi tertular, oleh karena antibody IgG dari ibu dapat melalui plasenta dan
baru akan hilang pada usia kurang lebih 15 bulan. Bila setelah 15 bulan di dalam
darah bayi masih ditemukan antibodi IgG HIV baru dapat disimpulkan bahwa bayi
tertular. Untuk dapat mengetahui bayi kurang dari 15 bulan terinfeksi atau tidak
diperlukan pemeriksaan lain yaitu pemeriksaan IgM antibody HIV, biakan HIV dari
sel mononuklear darah tepi bayi, mengukur antigen p24 HIV dari serum dan
pemeriksaan provirus (DNA HIV) dengan cara reaksi rantai polimerase (polymerase
chain reaction = PCR).8
Bila bayi tertular HIV in utero, maka baik biakan maupun PCR akan
menunjukkan hasil yang positif dalam 48 jam pertama setelah lahir. Bila bayi tertular
pada waktu intrapartum maka biakan HIV maupun PCR dapat menunjukkan hasil
yang negatif pada minggu pertama. Reaksi baru akan positif setelah bayi berumur 7-
90 hari21. Kebanyakan bayi yang tertular HIV akan menunjukkan hasil biakan dan
PCR yang positif pada usia rata-rata 8 minggu. Dianjurkan untuk memeriksa PCR
segera setelah lahir, pada usia 1-2 bulan dan 3-6 bulan. 8

Tabel 4. Pemeriksaan HIV pada anak


Tes yang
Kategori Tujuan Aksi
diperlukan
Bayi sehat, ibu Uji virologi umur 6 Mendiagnosis Mulai ARV bila terinfeksi
terinfeksi HIV minggu HIV HIV
Bayi-pajanan Untuk identifikasi
Serologi ibu atau Memerlukan tes virologi bila
HIV tidak atau memastikan
bayi terpajan HIV
diketahui pajanan HIV
Untuk Hasil positif harus diikuti
mengidentifikasi dengan uji virologi dan
Bayi sehat
Serologi pada bayi yang masih pemantauan lanjut, hasil
terpajan HIV,
imunisasi 9 bulan memiliki antibodi negatif harus dianggap tidak
umur 9 bulan
ibu atau terinfeksi, ulangi tes bila
seroreversi masih mendapat ASI
Bayi atau anak
dengan gejala
Memastikan Lakukan uji virologi bila umur
dan tanda Serologi
infeksi < 18 bulan
sugestif infeksi
HIV
Bayi umur >9 - Virologi Mendiagnosis Bila positif segara masuk ke
<18 bulan HIV tatalaksana HIV dengan terapi
dengan uji ARV
serologi positif
Ulangi uji serologi Untuk
Anak <5 tahun terinfeksi HIV
Bayi yang atau virologi, bila mengeksklusi
harus segera mendapatkan
sudah berhenti sudah berhenti infeksi HIV
tatalaksana HIV termasuk
ASI minum ASI 6 setelah pajanan
ARV
minggu dihentikan

PENATALAKSANAAN
 Pengobatan antiretroviral
Menilai pemberian ARV
1. Menilai kesiapan pasien dan orangtua/wali
2. Menghindari resiko resistensi obat
3. Memperhitungkan kemungkinan resiko interaksi obat-obat
4. Memperhitungkan kemungkinan resiko obat-makanan
5. Posolosi dan formulasi untuk obat anak
6. Memperhitungkan resiko pemberian obat pada koinfeksi TB, hepatitis5

Tabel 5. Indikasi pemberian ARV

Sampai sekarang belum ada obat antiretroviral yang dapat menyembuhkan


infeksi HIV, obat yang ada hanya dapat memperpanjang kehidupan. Obat
antiretroviral yang dipakai pada bayi/anak adalah Zidovudine. Obat tersebut diberikan
bila sudah terdapat gejala seperti infeksi oportunistik, sepsis, gagal tumbuh,
ensefalopati progresif, jumlah trombosit < 75.000 / mm3 selama 2 minggu, atau
terdapat penurunan status imunologis. Pemantauan status imunologis yang dipakai
adalah jumlah sel CD4 atau kadar imunoglobulin < 250 mg/mm3. Jumlah sel CD4
untuk anak < 1 tahun (<1750 mm3), 1-2 tahun (<1000 mm3), 3-6 (<750 mm3), > 6
tahun (<500 mm3).8
Pengobatan diberikan seumur hidup. Dosis pada bayi < 4 minggu adalah 3
mg/kg BB per oral setiap 6 jam, untuk anak lebih besar 180 mg/m2; dosis dikurangi
menjadi 90-120 mg/m2 setiap 6 jam apabila terdapat tanda-tanda efek samping atau
intoleransi seperti kadar Hemoglobin dan jumlah leukosit menurun, atau adanya
gejala mual. 8

Paduan lini pertama yang direkomendasikan adalah 2 Nucleoside reverse


transcriptase inhibitor (NRTI) + 1 Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor
(NNRTI). Berdasarkan ketersediaan obat, terdapat 3 kombinasi paduan ARV (pilih
warna yang berbeda)

Langkah 1: Gunakan 3TC sebagai NRTI pertama


Langkah 2: Pilih 1 NRTI untuk dikombinasi dengan 3TCa :
NRTI Keuntungan Kerugian
Zidovudin(AZT)b - AZT kurang - Efek samping inisial
dipilih bila Hb > 7,5 menyebabkan gastrointestinal lebih
g/dl) lipodistrofi dan banyak
asidosis laktat - Anemia dan
- AZT tidak memerlukan neutropenia berat
penyimpanan di lemari dapat terjadi.
pendingin Pemantauan darah tepi
lengkap sebelum dan
sesudah terapi berguna
terutama pada daerah
endemik malaria
Stavudin(d4T) c d4T memiliki efek d4T lebih sering
samping menimbulkan
gastrointesinal dan lipodistrofi, asidosis
anemia lebih sedikit laktat dan neuropati
dibandingkan AZT perifer (penelitian pada
orang dewasa)
Tenofovir (TDF)d - Dosis sekali sehari Risiko osteoporosis
- Untuk anak > 2 tahun dan gangguan fungsi
ginjal
Lamivudine (3TC) Lamivudine memiliki Efek samping yang
kemungkinan yang sering muncul pada
kecil untuk penggunaan
berinteraksi pada fase lamivudine adalah
metabolisme dengan mual, muntah,
obat-obat lain kelelahan, dan sakit
kepala. Efek samping
lain yang jarang terjadi
antara lain asidosis
laktat dengan stenosis
hepatitis, serta
kerontokan rambut

a. 3TC dapat digunakan bersama dengan 3 obat di atas karena memiliki catatan
efikasi, keamanan dan tolerabilitas yang baik. Namun mudah timbul resistensi
bila tidak patuh minum ARV.
b. Zidovudin (AZT) merupakan pilihan utama untuk lini 1. Namun bila Hb anak
< 7,5 g/dl maka dipertimbangkan pemberian Stavudin(d4T) sebagai lini 1.
c. Dengan adanya risiko efek simpang pada penggunaan d4T jangka panjang,
maka dipertimbangkan mengubah d4T ke AZT (bila Hb anak > 8 gr/dl)setelah
pemakaian 6 – 12 bulan. Bila terdapat efek anemia berulang maka dapat
kembali ke d4T.
d. Tenofovir saat ini belum digunakan sebagai lini pertama karena
ketersediannya belum dipastikan, sedangkan umur termuda yang
diperbolehkan menggunakan obat ini adalah 2 tahun dan anak yang lebih muda
tidak dapat menggunakannya. Selain itu perlu dipertimbangkan efek samping
osteoporosis pada tulang anak yang sedang bertumbuh karena diharapkan
penggunaan ARV tidak mengganggu pertumbuhan tinggi badannya.

Langkah 3: Pilih 1 NNRTI


Keuntungan Kerugian
Nevirapin (NVP) a,b - NVP dapat diberikan pada - Insiden ruam lebih tinggi
semua umur dari EFV. Ruam NVP
- Tidak memiliki efek mungkin berat dan
teratogenik mengancam jiwa
- NVP merupakan salah satu - Dihubungkan dengan
kombinasi obat yang dapat potensi hepatotoksisitas
digunakan pada anak yang yang mampu mengancam
lebih tua jiwa
- Ruam dan hepatotoksisitas
lebih sering terjadi pada
perempuan dengan CD4>
250 sel/mm3, karenanya
jika digunakan pada remaja
putri yang sedang hamil,
diperlukan pemantauan
ketat pada 12 minggu
pertama kehamilan (risiko
toksik tinggi)
- Rifampisin menurunkan
kadar NVP lebih banyak
dari EFV
Efavirenz - EFV menyebabkan ruam - EFV dapat digunakan mulai
(EFV) b dan hepatotoksisitas lebih pada umur 3 tahun atau BB
sedikit dari NVP. Ruam > 10 kg
yang muncul umumnya - Gangguan SSP sementara
ringan dapat terjadi pada 26-36%
- Kadarnya lebih tidak anak, jangan diberikan pada
terpengaruh oleh rifampisin anak dengan gangguan
dan dianggap sebagai psikiatrik berat
NNRTI terpilih pada anak - EFV tidak terbukti memiliki
yang mendapat terapi TB efek teratogenik, tetapi bila
- Pada anak yang belum dapat perlu dihindari pada remaja
menelan kapsul, kapsul putri yang potensial untuk
EFV dapat dibuka dan hamil
ditambahkan pada minum - Tidak tersedia dalam bentuk
atau makanan sirup
- EFV lebih mahal daripada
NVP
a. Anak yang terpajan oleh Nevirapin (NVP) dosis tunggal sewaktu dalam
program pencegahan penularan ibu ke anak (PPIA) mempunyai risiko tinggi
untuk resistensi NNRTI oleh karena itu dianjurkan menggunakan golongan PI
sebagai lini satu. Akan tetapi bila tidak tersedia, paduan kombinasi 2 NRTI + 1
NNRTI dapat dipilih dengan pemantauan utama munculnya resistensi.
b. NNRTI dapat menurunkan kadar obat kontrasepsi yang mengandung estrogen.
Kondom harus selalu digunakan untuk mencegah penularan HIV tanpa melihat
serostatus HIV. Remaja putri dalam masa reproduktif yang mendapat EFV
harus menghindari kehamilan (lampiran C).

Pemantauan
Setelah pemberian ARV, pasien diharapkan datang setiap 1-2 minggu untuk
pemantauan gejala klinis, penyesuaian dosis, pemantauan efek samping, kepatuhan
minum obat, dan kondisi lain. Setelah 8 minggu, dilakukan pemantauan yang sama
tetapi dilakukan 1 bulan sekali. Pemeriksaan laboratorium yang diulang adalah darah
tepi, SGOT/SGPT, CD4 setiap 3 bulan, dapat lebih cepat bila dijumpai dengan
kondisi yang mengindikasikan untuk dilakukan.5

Tabel. 5 tabel pemantauan setalah mendapatkan ARV


Untuk pencegahan terhadap kemungkinan terjadi infeksi Pneumocystis carinii
diberikan trimethropinsulfamethoxazole dengan dosis 150 mg/m2 dibagi dalam 2
dosis selama 3 hari berturut setiap minggu. Bila terdapat hipogammaglobulinemia
(IgG<250 mg/dl) atau adanya infeksi berulang diberikan imunoglobulin intravena
dengan dosis 400 mg/kgBB per minggu. 8
 Pemberian makanan
Telah diketahui bahwa ASI mengandung virus HIV dan transmisi melalui ASI adalah
sebanyak 15 %. Analisis dari data yang diperoleh membuktikan bahwa di negara yang
angka kematian pascaneonatal adalah 90 per seribu, apabila penggunaan susu formula
mencapai 100% angka kematian bayi naik sebanyak 59%. Bila bayi tidak mendapat
ASI maka susu formula yang dibutuhkan adalah : dari 0 sampai 24 bulan dibutuhkan
sekitar 63 kg susu formula, biaya tersebut cukup besar dan biaya untuk perawatan
kesehatan oleh karena bayi yang tidak mendapat ASI lebih sering sakit. 8
Apabila ibu diketahui mengidap HIV/AIDS terdapat beberapa alternatif yang dapat
diberikan dan setiap keputusan ibu setelah mendapat penjelasan perlu didukung.
a. Bila ibu memilih tidak memberikan ASI maka ibu diajarkan memberikan
makanan alternatif yang baik dengan cara yang benar, misalnya pemberian
dengan cangkir jauh lebih baik dibandingkan dengan pemberian melalui botol.
b. Bila ibu memilih memberikan ASI walaupun sudah dijelaskan kemungkinan
yang terjadi, maka dianjurkan untuk memberikan ASI secara eksklusif selama
3-4 bulan kemudian menghentikan ASI dan bayi diberikan makanan alternatif.
Perlu diusahakan agar puting jangan sampai luka karena virus HIV dapat
menular melalui luka. Jangan pula diberikan ASI bersama susu formula karena
susu formula akan menyebabkan luka di dinding usus yang menyebabkan
virus dalam ASI lebih mudah masuk. 8
 Imunisasi
Beberapa peneliti menyatakan bahwa bayi yang tertular HIV melalui transmisi
vertikal masih mempunyai kemampuan untuk memberi respons imun terhadap
vaksinasi sampai umur 1-2 tahun. Oleh karena itu di negara-negara berkembang tetap
dianjurkan untuk memberikan vaksinasi rutin pada bayi yang terinfeksi HIV melalui
transmisi vertikal. Namun dianjurakan untuk tidak memberikan imunisasi dengan
vaksin hidup misalnya BCG, polio, campak. Untuk imunisasi polio OPV (oral polio
vaccine) dapat digantikan dengan IPV (inactivated polio vaccine) yang bukan
merupakan vaksin hidup. Imunisasi Campak juga masih dianjurkan oleh karena akibat
yang ditimbulkan oleh infeksi alamiah pada pasien ini lebih besar daripada efek
samping yang ditimbulkan oleh vaksin campak. 8

PROGNOSIS
Infeksi HIV pada umumnya berjalan progresif akibat belum ditemukannya cara yang
efektif untuk menangulanginya, maka pada umumnya penyakit berjalan progresif hingga
prognosisnya umumnya buruk.1

PENCEGAHAN
Pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi dilaksanakan secara komprehensif dengan
menggunakan empat prong yaitu
 Prong 1 : Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi;
 Prong 2 : Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan HIV
positif;
 Prong 3 : Pencegahan penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke bayi yang
dikandungnya;
 Prong 4 : Pemberian dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu HIV
positif beserta bayi dan keluarganya
World Health Organization (WHO) mempunyai panduan untuk pemberian obat anti retro
viral (ARV) pada ibu hamil, yaitu pemberian ARV untuk semua wanita dengan CD4d 350
sel/mm. Pada wanita yang tidak memerlukan ARV, dapat diberikan ARV profilaksis pada
awal trimester ke-2 dan sebagai profilaksis postpartum. Bila ibu dalam keadaan tertentu
terpaksa harus memberikan ASI, diberikan ARV profilaksis pada ibu dan bayi selama masa
menyusui
Pedoman Nasional PMTCT meliputi antara lain
 Pemberian ARV pada ibu hamil dan pada bayi setelah lahir. Semua ibu hamil
dengan HIV positif yang memenuhi kriteria untuk mendapatkan ARV (dengan
CD4 < 350 sel/mm) harus mulai mendapat ARV, sedangkan ibu hamil dengan
HIV positif yang tidak memerlukan ARV harus diberikan profilaksis ARV untuk
mencegah penularan ibu ke bayi.
 Proses persalinan sebaiknya dengan cara bedah yang terencana. Setelah bayi lahir,
bayi dikeringkan dan ditangani dengan standar pencegahan universal.
 Bayi tidak diberi ASI, namun diberikan susu formula pengganti ASI sesuai
dengan kriteria AFASS (acceptable = mudah diterima, feasible = mudah
dilakukan, affordable = harga terjangkau, sustainable = berkelanjutan, safe = aman
penggunaannya).
Dua belas jam setelah lahir, maksimal dalam 72 jam setelah lahir, bayi
mendapatkan ARV profilaksis yang terdiri dari :
a. Zidovudine 2 mg/ kg BB/ kali setiap 6 jam selama 6 minggu untuk bayi
cukup bulan. Bayi dengan gestasi kurang dari 34 minggu mendapat 1,5
mg/ kg BB/ dosis, diberikan 2 kali per hari selama 2 minggu pertama
diikuti dosis yang sama 3 kali perhari selama 2 minggu berikutnya, dan
dosis 2 mg/kg BB/hari diberikan 4 kali per hari selama 2 minggu terakhir.
b. Nevirapine dosis tunggal 2 mg/ kg BB diberikan saat usia bayi 48-72 jam.
 pertumbuhan berat badan dan perkembangan, serta diberikan imunisasi sesuai
dengan jadwal yang berlaku

Bagan 3. Pemberian kotrimoksazol pada bayi yang lahir dari ibu yang
positif HIV (bagian dari penularan HIV dari ibu ke anak)
Pedoman baru dari WHO mengenai pencegahan penularan dari ibu-ke-
bayi(preventing mother-to-child transmission/PMTCT) berpotensi meningkatkan ketahanan
hidup anak dan kesehatan ibu, mengurangi risiko (mother-to-child transmission/MTCT)
hingga 5% atau lebih rendah serta secara jelas memberantas infeksi HIV pediatrik.7
Pedoman itu memberikan perubahan yang bermakna pada beberapa tindakan di
berbagai bidang. Anjuran kunci adalah:
 ART untuk semua ibu hamil yang HIV-positif dengan jumlah CD4 di bawah 350 atau
penyakit WHO stadium 3 atau penyakit HIV stadium 4, tidak menunda mulai
pengobatan dengan tulang punggung AZT dan 3TC atau tenofovir dan dengan 3TC
atau FTC.
 Penyediaan antiretroviral profilaksis yang lebih lama untuk ibu hamil yang HIV-
positif yang membutuhkan ART untuk kesehatan ibu.
 Apabila ibu menerima ART untuk kesehatan ibu, bayi harus menerima profilaksis
nevirapine selama enam minggu setelah lahir apabila ibunya menyusui, dan
profilaksis dengan nevirapine atau AZT selama enam minggu apabila ibu tidak
menyusui.
 Untuk pertama kalinya ada cukup bukti bagi WHO untuk mendukung pemberian
ART kepada ibu atau bayi selama masa menyusui, dengan anjuran bahwa menyusui
dan profilaksis harus dilanjutkan hingga bayi berusia 12 bulan apabila status bayi
adalah HIV-negatif atau tidak diketahui.
 Apabila ibu dan bayi adalah HIV-positif, menyusui harus didorong untuk paling
sedikit dua tahun hidup, sesuai dengan anjuran bagi populasi umum.7

1. PMTCT dengan antiretroviral penuh


Untuk mengurangi viral load ibu, cara terbaik adalah dengan memakai terapi
antiretroviral penuh sebelum menjadi hamil. Ini akan mencegah penularan pada janin. Terapi
antiretroviral dapat diberikan walaupun tidak memenuhi kriteria untuk mulai terapi
antiretroviral; setelah melahirkan bisa berhenti lagi bila masih tidak dibutuhkan.

2. PMTCT – mulai dini


Namun sering kali si ibu baru tahu dirinya terinfeksi setelah dia hamil. Mungkin ARV
tidak terjangkau. Seperti dibahas, ibu hamil tidak boleh memakai efavirenz pada triwulan
pertama, tetapi mungkin nevirapine menimbulkan efek samping. Bila dia pakai terapi TB
(tuberculosis), diusulkan dihindari nevirapine, walaupun boleh tetap dipakai NNRTI (non
nucleoside reverse transcriptase inhibitor) ini bila tidak ada pilihan lain.
Tabel.6 Rezimen PMTC Dini
AZT dari minggu 28
Ibu NVP dosisi tunggal + AZT +3TC saat melahirkan
AZT + 3TC diteruskan selama 7 hari
NVP dosis tunggal + AZT segera setelah lahir
Bayi
AZT diteruskan selama 7 hari

AZT dan 3TC diteruskan setelah melahirkan untuk mencegah timbulnya resistansi
pada nevirapine, karena walaupun hanya satu pil diberikan waktu persalinan, tingkat
nevirapine dapat tetap tinggi dalam darah untuk beberapa hari, jadi serupa dengan monoterapi
dengan nevirapine. Hal yang serupa pada bayi dicegah dengan pemberian AZT setelah dosis
tunggal nevirapine.

3. PMTCT – mulai lambat


Bila baru dapat mulai pengobatan waktu persalinan yang dapat dipaka sebagai berikut
Tabel.7 Rezimen PMTC lambat
NVP dosisi tunggal + AZT +3TC saat melahirkan
Ibu
AZT + 3TC diteruskan selama 7 hari
NVP dosis tunggal + AZT segera setelah lahir
Bayi
AZT diteruskan selama 4 minggu

BAB III
ANALISA KASUS
Pasien An. Z, Laki-laki, usia 4 tahun dengan diagnosa Human Immunodeficiency Virus
ditegakan berdasarkan :
1. Anamnesis : Sejak 2 tahun yang lalu, keluhan diare hilang timbul dan sering berulang,
keluhan demam hilang timbul dan sering berulang, demam disertai sesak nafas,
sariawan sulit hilang, penurunan berat badan hingga 5 kg dalam 2 bulan.
2. Pada pemeriksaan fisik didapatkan : Tekanan darah : 100/60mmHg, Nadi : 90
x/menit, pernafasan : 24 x/menit, suhu : 370C, Gizi kurang
3. Pemeriksaan laboratorium : Hemoglobin : 9,3 g/dL, CD4 : 63 Cell/uL

HIV dapat terjadi 5% pada saat dalam kandungan, 15% pada saat persalinan, dan 10%
melalui pemberian ASI Menurut CDC Amerika, penularan HIV pada umumnya lebih sering
terjadi akibat infeksi perinatal (vertical), Pada kasus pasien An. Z memiliki riwayat
melahirkan spontan dengan mempunyai resiko besar terhadap pemaparan dengan darah atau
sekret jalan lahir.

Dalam literature disebutkan bahwa persalinan pervaginam dapat dilakukan jika


memenuhi persyaratan yaitu ibu minum ARV teratur, atau Muatan Virus/ Viral Load tidak
terdeteksi, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan muatan virus/ viral load pada usia
kehamilan 36 minggu ke atas. Selain itu ibu hamil dengan HIV (+) dianjurkan SC elektif
(Sectio Caesaria terjadwal dan sebelum terjadi tanda-tanda persalinan) karena menurunkan
infeksi HIV sampai 50% tanpa ARV dan sampai 80% dengan ARV (ZDV). Sectio Caesar
dapat menurunkan hingga 50-80% risiko transmisi.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, aktif,
kesadaran compos mentis, Status Gizi kurang. Gambaran klinis yang menunjukkan
kemungkinan infeksi HIV pada kasus ini yaitu ditemukan tanpa penyebab yang jelas: demam
yang hilang timbul dan sering berulang : demam (>38 0C) berlangsung lebih dari 7 hari, atau
terjadi lebih dari sekali dalam waktu 7 hari, diare persisten: berlangsung ≥ 14 hari, gizi
kurang atau gizi buruk.

Diagnosis definitif infeksi HIV pada bayi dan anak membutuhkan uji diagnostik
yang memastikan adanya virus HIV. Uji antibodi HIV mendeteksi adanya antibodi HIV
yang diproduksi sebagai bagian respons imun terhadap infeksi HIV. Pada anak usia ≥ 18
bulan, uji antibodi HIV dilakukan dengan cara yang sama seperti dewasa. Pada pasien ini
telah dilakukan pemeriksaan immunoserologi 2 tahun yang lalu dengan dokter mengatakan
pasien mengalami infeksi HIV.

Anak dengan infeksi HIV harus dilakukan bantuan berbagai pihak untuk membangun
pengertian serta kewaspadaan keluarga dan masyarakat, kepercayaan diri orang tua dan
keluarganya, bantuan untuk perawatan serta pengobatan pasien. Paduan lini pertama yang
direkomendasikan adalah 2 Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI) + 1 Non-
nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI) Zidovudin 2x105 mg, Nevirapin 2x105
mg, Lamivudin 2x60 mg.

Anak dengan infeksi HIV mungkin memberi respon lambat atau tidak lengkap
terhadap pengobatan yang biasa. Anak mungkin menderita demam yang persisten, atau batuk
kronik. Apabila keadaan umumnya baik, anak tidak perlu tetap tinggal di rumah sakit, tetapi
dapat diperiksa secara teratur sebagai pasien rawat jalan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Soedarmo S S, Garna H, Hadinegoro S R, Satari H I. Human Imunodeficiency Virus.


Dalam: Soedarmo S S, Garna H, Hadinegoro S R, Satari H I. Buku Ajar Infeksi &
Pediatri Tropis. Edisi ke-2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2008. 243 – 247.

2. Ram Yogev, Ellen Gould Chadwick. Acquired Immunodeficiency Syndrome :


Behrman RE, Kliegman RM Jenson HB (editor). Nelson text book of pediatrics.
Edisi ke-17. Philadelpia: Saunders; 2004: 1109-1121

3. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. Faktor


risiko penularan HIV dari ibu ke bayi. Dalam: Pratomo H. et al. (eds). Pedoman
pencegahan penularan HIV dari ibu dan bayi. Jakarta: Departemen Kesehatan RI,
2006; 13-16.

4. Panitia penyusun panduan pelayanan medis RSCM: panduan pelayanan medis


deparetemen ilmu penyakit anak RSCM. Jakarta: RSUP Nasional DR
Ciptomangunkusumo; 2007

5. Kemenkes RI.2011.Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu Ke


Bayi.Jakarta
6. Jaringan pencegahan HIV dari ibu ke anak. Kebijakan PMTCT Indonesia:
PMTCT.net; 2008. h.1.

7. Widjajanti M, Evaluasi Program Prevention of Mother to Child HIV Transmission


(PMTCT) di RSAB Harapan Kita Jakarta, Sari Pediatri, Vol. 14, No. 3, Oktober 2012

8. Suradi R, Tata laksana Bayi dari Ibu pengidap HIV/AIDS, Sari Pediatri, Vol. 4, No.
4, Maret 2003

Anda mungkin juga menyukai