Anda di halaman 1dari 59

LAPORAN KASUS

SESEORANG LAKI-LAKI 39 TAHUN DENGAN STEMI INFERIOR


POSTERIOR RV POST FAILED FIBRINOLITIK

Disusun oleh:
Wahyu Tri Kawuri G991903057

Residen Pembimbing

dr. Fachrurrodji dr. Dian Ariningrum, M.Kes., Sp.PK

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PATOLOGI KLINIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA
2020

1
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus Patologi Klinik dengan judul:

Seseorang Laki-laki Usia 30 Tahun dengan STEMI Inferior Posterior RV


Post Failed Fibrinolitik

Oleh:
Wahyu Tri Kawuri G991903057

Telah disetujui untuk dipresentasikan pada tanggal: 20 November 2020


Pembimbing Laporan Kasus

dr. Dian Ariningrum, M.Kes., Sp.PK

2
BAB I
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. TS
Usia : 39 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Mojolaban, Sukoharjo
Tanggal Masuk : 29 September 2020
Tanggal Periksa : 29 September 2020
Nomor RM : 0140xxxx

B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan terhadap pasien (autoanamnesis) di ICVCU
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Moewardi Surakarta pada tanggal
29 September 2020.
1. Keluhan Utama
Nyeri dada
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien merupakan pasien rujukan dari RS Kustati dengan
STEMI inferior. Pasien mengeluhkan nyeri dada sejak 36 jam SMRS Dr.
Moewardi, 1 jam SMRS Kustati. Pasien mengatakan, sekitar 1 jam
SMRS Kustati pasien yang sedang beristirahat dan hendak kekamar
mandi, mendadak terjatuh dan sesak nafas. Sesak nafas disertai dengan
nyeri dada. Nyeri dada dirasakan didada kiri seperti ditekan benda berat,
tembus kepunggung, nyeri ulu hati (-), keringat dingin (+), sesak (-),
pasien tidur dengan 1 bantal, berdebar (-), demam (-), batuk (-), BAB
dan BAK tidak ada keluhan. Pasien kesulitan untuk berdiri dan berjalan,
sesak nafas tidak berkurang dengan perubahan posisi. Oleh keluarga

3
pasien dibawa ke IGD RS Kustati, setelah mendapatkan perawatan
keluhan dirasakan berkurang.
Pasien juga mengatakan sebelumnya belum pernah mengalami
keluhan serupa, pasien selama beberapa bulan terakhir mengeluhkan
nyeri dada yang muncul saat beraktivitas berat dan berkurang dengan
istirahat, nyeri dirasakan hanya beberapa menit. Pasien menyangkal
memiliki riwayat nyeri perut yang panas, perut sebah, terbangun saat
tidur karena sesak, keringat dingin, berdebar-debar, dan bengkak dikaki
dan tangan.
Pasien dirawat 1 hari di RS Kustati mendapat Streptase 1,2 juta
IU, SP Heparin 1000 unit/jam, dopamin 10 mcg/jam, aspilet 1x8 gram,
clopidogrel 1x75 mg, atorvastatin 1x 4 mg, ondansetron k/p, dan
ranitidin 1 amp/12 jam. Pasien dirujuk untuk tatalaksana lanjut.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat keluhan serupa : (-)
b. Riwayat hipertensi : (-)
c. Riwayat DM : (-)
d. Riwayat kejang : (-)
e. Riwayat stroke : (-)
f. Riwayat sakit jantung : (-)
g. Riwayat pengobatan : (-)
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat penyakit jantung : disangkal
b. Riwayat hipertensi : disangkal
c. Riwayat DM : disangkal
5. Riwayat Kebiasaan
a. Riwayat merokok : (+) 1 pack/hari
b. Riwayat minum alkohol : (+) 3-5x/minggu
c. Olahraga : jarang

4
6. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien bekerja sebagai tukang di industri mebel. Pasien berobat
menggunakan BPJS.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 29 September 2020 dengan
hasil sebagai berikut:
1. Keadaan umum : tampak sakit sedang
2. Kesadaran : composmentis, GCS E4V5M6
3. Tanda vital
a. Tekanan darah : 99/72 mmHg
b. Nadi : 68 kali/menit
c. Temperature : 36.7oC
d. RR : 20x/menit, irama reguler
e. SpO2 : 98%
f. GDS : 164 mg/dl
4. Status Gizi :
BB : 70 kg
TB : 170 cm
IMT : 24,22 kg/m2 , kesan cukup
5. Keadaan Sistemik
a. Kepala : mesocephal, hematom (-), atrofi musculus
temporalis (-)
b. Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
reflek cahaya (+/+)
c. Hidung : nafas cuping hidung (-), sekret (-)
d. Mulut : mukosa basah (+), sianosis (-), mukosa pucat (-),
bibir tampak kehitaman.
e. Leher : JVP 5+2 cmH2O, kelenjar getah bening
membesar (-)

5
f. Thorax : normochest
1) Cor :
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : S1-S2 reguler, intensitas normal, bising: bising
pansistolik di SIC IV linea midclavicularis
sinitra
2) Pulmo :
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan dada kiri
Palpasi : fremitus raba dada kanan sama dengan dada kiri
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan:
ronkhi basah kasar (-/-), ronkhi basah halus (-/-)
g. Abdomen
Inspeksi : dinding perut sama tinggi dengan dinding dada
Auskultasi : bising usus (+) 14x/menit
Perkusi : timpani seluruh lapang abdomen
Palpasi : supel, nyeri tekan (-)
h. Ekstremitas
Akral Dingin Edema
- - - -
- - - -

6
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hasil Laboratorium
a. Tanggal 29 September 2020 di IGD RSUD Dr. Moewardi
Surakarta
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan

Hematologi Rutin

Hemoglobin 13.8 g/dl 12.0-15.6


Hematokrit 41 % 33-45
Leukosit 15.3 ribu/ul 4.5-11.0
Trombosit 248 ribu/ul 150-450
Eritrosit 4.69 juta/ul 4.10-5.10
Index Eritrosit
MCV 87.7 /um 80.0-96.0
MCH 29.4 pg 28.0-33.0
MCHC 33.5 g/dl 33.0-36.0
RDW 14.9 % 11.6-14.6
MPV 9.7 Fl 7.2-11.1
PDW 16 % 25-65
Hitung Jenis
Eosinofil 0.10 % 0.00-4.00
Basofil 0.20 % 0.00-2.00
Netrofil 78.80 % 55.00-80.00
Limfosit 13.90 % 22.00-44.00
Monosit 7.00 % 0.00-7.00
Hemostasis
PT 15.8 detik 10.00-15.00
APTT 34.4 detik 20.00-40.00
INR 1.140
Kimia Klinik

7
Natrium darah 133 mmol/L 136-145
Kalium darah 4.3 mmol/L 3.3-5.1
Kalsium darah 1.20 mmol/L 1.17-1.29
Serologi Hepatitis
Anti-HCV nonreactive nonreactive
Troponin I >40000 ng/L
Lain-lain
COVID-19 IgG nonreactive nonreactive
COVID-19 IgM nonreactive nonreactive

b. Tanggal 29 September 2020 di ICVCU RSUD Dr. Moewardi


Surakarta
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan

Kimia Klinik

HbA1c 5.9 % 4.8-5.9


Glukosa Darah Puasa 161 mg/dl 70-110
Asam Urat 8.2 mg/dl 2.4-6.1
Kolesterol total 149 mg/dl 50-200
Kolesterol LDL 89 mg/dl 81-189
Kolesterol HDL 32 mg/dl 29-62
Trigliserida 185 mg/dl <150

Keterangan:
Coronary Heart Disease Risk:
1. Kolesterol total 3. Kolesterol HDL (ATP III
a. Coronary desirable Classification)
<200 a. Low <40
b. Borderline high b. High >60
200-240 4. Trigliserida

8
c. High >240 a. Normal <150
2. Kolesterol LDL b. High 150-199
a. Optimal <100 c. Hypertriglyceridemic
b. Near/above optimal 200-499
100-129 d. Very high >499
c. Borderline high
130-159
d. High 160-189
e. Very high >189

2. Hasil EKG
a. Tanggal 29 September 2020 di RS Kustati (EKG post failed
fibrinolitik)

9
Interpretasi: Irama sinus ritmis, frekuensi 75 x/menit, Left Axis
Deviation (LAD), gelombang P normal, interval dan segmen PR
normal, lebar QRS normal, segmen ST elevasi pada (II, III, AVR,
V3R, V4R, V7,V8,V9)
Kesimpulan: STEMI inferior posterior
b. Tanggal 30 September 2020 di ICVCU RSUD Dr. Moewardi

Interpretasi: Irama accelerated junctional rhytm, frekuensi


77x/menit, left axis deviation (LAD), ST elevasi (II, III, aVF,
V2-V5)
Kesimpulan: Complete AV disosiasi dengan accelerated junctional
rhytm

3. Hasil Rontgen Thorax AP 27 September 2020 (RS Kustati)


Interpretasi:
Cor: Besar dan bentuk kesan normal
Pulmo: Tak tampak infiltrat di kedua lapang paru,
corakan bronkovaskuler normal
Sinus phrenicocostalis kanan kiri normal
Hemidiagphragma kanan kiri normal
Trakhea di tengah
Sistema tulang baik
Kesimpulan: Cor dan pulmo tak tampak kelainan

10
E. DIAGNOSIS
STEMI inferior posterior RV post failed fibrinolitik

F. EXPERTISE LABORATORIUM
1. Leukositosis
2. Peningkatan Troponin I
3. PT memanjang
4. Peningkatan GDP
5. Hiperurisemia
6. Hipertrigliserida
7. Hiponatremia

G. TATALAKSANA
1. Terapi IGD
a. Infus NaCl 0,9% 80 cc/jam dilanjutkan loading 500 cc/30 menit
b. Masuk ICVCU
2. Terapi ICVCU
a. Bed rest total
b. O2 3 lpm nasal kanul jika SpO2 <90%
c. Diet jantung III 1700 kkal
d. IVFD NaCl 0,9% 80 cc/jam
e. Injeksi heparin 25.000 IU/50 cc NS, kecepatan 1000 IU/jam (hari
II)
f. Atorvastatin 40 mg/24 jam
g. Aspilet 80 mg/24 jam
h. Clopidogrel 75 mg/24 jam
i. Injeksi ranitidin extra
j. Sucralfat syr 3xCI
k. Laxadin syr 3xCI

11
3. Plan
a. Echocardiography
b. Cek lab: GDP, GD2PP, HbA1c, SGOT, SGPT, ureum, creatinine,
urinalisis
c. Kansul invasif pro rescue PCI

H. FOLLOW UP
RABU, 30 SEPTEMBER 2020
S : Pasien sudah merasa ada perbaikan. Nyeri dada (-), sesak nafas (-), batuk
(-)
O : Keadaan umum sakit sedang
Kesadaran composmentis, GCS E4V5M6
RR: 20x/menit
HR: 70x/menit
TD: 125/79 mmHg
SpO2: 98%
T: 36,3oC

1. Leher : JVP 5+2 cmH2O, KGB membesar (-)


2. Cor :
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : S1-S2 reguler, intensitas normal, bising: bising
pansistolik di SIC IV linea midclavicularis sinitra
3. Pulmo :
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan dada kiri
Palpasi : fremitus raba dada kanan sama dengan dada kiri
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan: ronkhi

12
basah kasar (-/-), ronkhi basah halus (-/-)
4. Abdomen
Inspeksi : dinding perut sama tinggi dengan dinding dada
Auskultasi : bising usus (+) 14x/menit
Perkusi : timpani seluruh lapang abdomen
Palpasi : supel, nyeri tekan (-)
5. Ekstremitas
Akral Dingin Edema
- - - -
- - - -
A : STEMI inferior posterior RV post failed fibrinolitik
P : Terapi:
1. Bed rest total
2. O2 3 lpm nasal kanul jika SpO2 <90%
3. Diet jantung III 1700 kkal
4. IVFD NaCl 0,9% 80 cc/jam
5. Injeksi heparin 25.000 IU/50 cc NS, kecepatan 1000 IU/jam (hari II)
6. Atorvastatin 40 mg/24 jam
7. Aspilet 80 mg/24 jam
8. Clopidogrel 75 mg/24 jam
9. Injeksi ranitidin extra
10. Sucralfat syr 3xCI
11. Laxadin syr 3xCI

Planing:
Pro PCI
Instruksi pra tindakan:
1. Informed consent
2. Infus tangan kiri
3. Cukur rambut pubis, lipat paha kanan-kiri, lengan tangan kanan

13
4. Brilinta 180 mg (06.00 pagi)
5. Miniaspi 80 mg (06.00 pagi)
6. EKG 12 lead kuadran I
7. GDS pagi 06.00
8. Pasang DC
9. Puasa 1 jam sebelum tindakan

14
BAB II
ANALISIS KASUS

Pasien laki-laki 39 tahun mengeluhkan nyeri dada sejak 36 jam SMRS.


Nyeri dada dirasakan didada kiri seperti ditekan benda berat, tembus kepunggung
disertai keringat dingin. Pasien mengatakan sedang beristirahat dan hendak
kekamar mandi, mendadak terjatuh, dan sesak nafas disertai dengan nyeri dada.
Pasien kesulitan untuk berdiri dan berjalan, sesak nafas tidak berkurang dengan
perubahan posisi. Oleh keluarga pasien dibawa ke IGD RS Kustati, setelah
mendapatkan perawatan keluhan dirasakan berkurang. Pasien dirawat 1 hari di
RS Kustati mendapat Streptase 1,5 juta IU, SP Heparin 1000 unit/jam, dopamin
10 mcg/jam, aspilet 1x8 gram, clopidogrel 1x75 mg, atorvastatin 1x4 mg,
ondansetron k/p, dan ranitidin 1 amp/12 jam. Pasien dirujuk untuk tatalaksana
lanjut.
Pasien belum pernah mengalami keluhan serupa, beberapa bulan
terakhir mengeluhkan nyeri dada yang muncul saat beraktivitas berat dan
berkurang dengan istirahat, nyeri dirasakan hanya beberapa menit. Pasien
merupakan perokok aktif 1 pack perhari dan mengkonsumsi alkohol
3-5x/minggu.
Gejala yang sesuai dengan diagnosis STEMI yaitu nyeri dada, rasa
tertekan/berat didaerah retrosternal yang menjalar menjalar ke lengan kiri, leher,
area intraskapular, bahu atau epigastrium, berlangsung intermiten atau persisten
(>20 menit) . Terkadang beberapa pasien datang dengan disertai gejala yang
kurang khas seperti sesak nafas, mual/muntah, kelelahan, palpitasi, atau sinkop
(ESC, 2018). Pria, mempunyai penyakit aterosklerosis (penyakit arteri
perifer/karotis), riwayat PJK, dan mempunyai faktor: umur, hipertensi, merokok,
dislipidemia, diabetes melitus, riwayat PJK keluarga, dan alkohol (PERKI, 2018).
Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan kelainan pada pemeriksaan
jantung terdengar adanya bising pansistolik di SIC IV linea midclavicularis
sinistra. Kesan adanya mitral regurgitasi. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk
mengidentifikasi faktor pencetus iskemia, komplikasi iskemia, penyakit, dan

15
menyingkirkan diagnosis banding. Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup
mitral akut, hipotensi, diaforesis, ronkhi basah halus, atau edema paru
meningkatkan kecurigaan terhadap iskemia miokard (PERKI, 2018).
Pada pemeriksaan laboratorium pasien menunjukkan adanya
leukositosis dengan limfositopenia, peningkatan Troponin I (>40000 ng/L),
peningkatan GDP, hipertrigliserida, hiperurisemia, hiponatremia, dan
Prothrombin Time (PT) memanjang.
Infark miokard akut merupakan penyakit iskemia dan dalam proses
patofisiologinya melibatkan proses inflamasi. Peningkatan sitokin proinflamasi
akan meningkatkan leukosit PMN. Peningkatan jumlah leukosit juga dapat terjadi
setelah timbulnya gejala penyakit iskemik, dan jumlahnya lebih besar jika
terdapat cedera yang signifikan (Meideros, 2016). Pada pasien ini terdapat
leukositosis yang menunjukan pasien dalam kondisi infark miokard akut.
Troponin I merupakan biomarker nekrosis miosit jantung dan digunakan
untuk diagnosis infark miokard. Peningkatan Troponin I menunjukkan adanya
nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai untuk menentukan penyebab nekrosis
miosit tersebut (penyebab koroner atau non-koroner). Kadar troponin pada pasien
AMI meningkat di dalam darah perifer 3-4 jam setelah awitan infark dan menetap
sampai 2 minggu. Peningkatan ringan kadar troponin biasanya menghilang dalam
2-3 hari, namun bila terjadi nekrosis luas, peningkatan ini dapat menetap hingga 2
minggu (PERKI, 2018). Pada pasien ini dilakukan pada 36 jam setelah awitan
sehingga masih dapat ditemukan peningkatan troponin I.

Gambar 2.1. Perubahan Biomarker Jantung (PERKI, 2018)

16
Pada pasien terdapat peningkatan GDP dan sudah masuk kriteria
diabetes melitus tipe 2 menurut PERKENI (2019). Namun, hasil pemeriksaan
glukosa darah pertama ini tidak didapatkan gejala klasik DM tipe 2 sehingga
harus dilakukan pengulangan pemeriksaan glukosa dara sebelum ditegakkan
sebagai DM tipe 2. DM tipe 2 merupakan salah satu faktor risiko terjadinya ACS
yang dapat ditimbulkan akibat pola hidup yang tidak baik. Pasien memiliki
kebiasaan jarang berolahraga, merokok, dan minum alkohol.

Gambar 2.2. Algoritma diagnosis Diabetes Melitus Tipe 2


Pada pasien juga didapatkan hiperurisemia dan hipertrigliserida.
Peningkatan asam urat berkolerasi positif dengan peningkatan trigliserida
sehingga menyebabkan STEMI dan terjadi disfungsi sistol dan diastol.
Hiperurisemia juga berperan sebagai prediktor untuk gagal jantung dan kematian
pada pasien setelah infark miokard akut. Asam urat meningkatkan mendorong
oksidasi LDL-C dan peroksidasi lipid sehingga meningkatkan pembentukan
radikal oksigen dalam reaksi inflamasi serta meningkatkan agregasi platelet dan
pembentukan kristal asam urat. Deposisi asam urat di dinding arteri dapat
merusak tunika intima arteri, meningkatkan trombosis koroner. (Chen et al.,

17
2012). Trombosis koroner ini yang dapat berkembang menjadi infark miokard
akut.

Gambar 2.3. Dampak trombus koroner (Lilly, 2011)

Gambar 2.4. Mekanisme kompensasi tubuh pada myocardial infarction


(Gabriel-Costa, 2018)
Infark miokard akut akan mempengaruhi cardiac output yang berperan
dalam pada tekanan darah. Hal ini menyebabkan baroreseptor memediasi aktivasi
neurohormonal, melalui sympathetic nervous system (SNS) dan Renin
Angiotension Aldosterone System (RAAS) (Gabriel-Costa, 2018). SNS berperan

18
dalam aktivasi β1-adrenergik yang akan merangsang sel juxtaglomerular untu
melepaskan renin sehingga mengaktivasi RAAS. Respon utama aktivasi RAAS
adalah efek antidiuretik dengan mengaktifkan aldosteron. Aldosteron ini yang
menyebabkan peningkatan reabsorbsi natrium sehingga menimbulkan
hiponatremia (Shah dan Jahan, 2019). Oleh karena itu, pada pasien ini dapat
ditemukan adanya hiponatremia.
Pada pasien infark miokard akut dengan terapi antikoagulan perlu
dilakukan pemeriksaan Prothrombin Time (PT) untuk memprediksi
kecenderungan pembekuan darah. PT merupakan pengukuran waktu koagulasi
melalui extrinsic pathways dan menentukan kecenderungan perdarahan atau
pembekuan darah (Khan, 2013). Pada pasien ini sebelumnya menerima terapi
heparin dan aspilet sehingga diperlukan pemeriksaan PT, dan didapatkan PT
memanjang.
Pada pemeriksaan EKG pasien ditemukan ST elevasi pada (II, III, AVR,
V3R, V4R, V7,V8,V9) disertai adanya angina tipikal pada anamnesis yang
menunjukkan adanya STEMI inferior posterior.
Pasien ditegakan STEMI inferior posterior berdasarkan
1. Keluhan yang menunjukkan angina tipikal
2. EKG ditemukan ST elevasi (II, III, aVR, V3R, V4R, V7-V9)
3. Peningkatan biomarker jantung: Troponin I
4. Faktor risiko pasien: laki-laki dengan kebiasaan merokok dan minum alkohol
Oleh karena itu pasien ditatalaksana sebagai berikut
1. Bed rest total
2. O2 3 lpm nasal kanul jika SpO2 <90%
3. Diet jantung III 1700 kkal
4. IVFD NaCl 0,9% 80 cc/jam
5. Injeksi heparin 25.000 IU/50 cc NS, kecepatan 1000 IU/jam (hari II)
6. Atorvastatin 40 mg/24 jam
7. Aspilet 80 mg/24 jam
8. Clopidogrel 75 mg/24 jam

19
9. Injeksi ranitidin extra
10. Sucralfat syr 3xCI
11. Laxadin syr 3xCI
Pada pasien direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan berupa
echocardiography, pemeriksaan laboratorium berupa GDP, GD2PP, HbA1c,
ureum, creatinin, urinalisis, serta dilakukan konsul sub invasif kardiologi untuk
pro rescue PCI.

20
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Acute coronary syndrome (ACS) adalah manifestasi akut dari
pecahnya plak ateroma pembuluh darah koroner yang membentuk white
thrombus dan menyumbat pembuluh darah koronen baik total maupun
parsial yang menyebabkan iskemia miokard. ACS diklasifikasikan menjadi
ST segment elevation myocardial infarction (STEMI), non ST segment
elevation myocardial infarction (NSTEMI), dan unstable angina (Collet et al,
2020).
STEMI merupakan oklusi total pembuluh darah arteri koroner yang
memerlukan segera tindakan revaskularisasi, secara medikamentosa
menggunakan fibrinolitik atau secara mekanis melalui PCI. Diagnosis
STEMI ditegakkan jika ada keluhan angina pektoris akut disertai elevasi
segmen ST yang persisten di 2 sadapan yang bersebalahan. Inisiasi
revaskularisasi tidak perlu menunggu hasil peningkatan biomarker jantung
(PERKI, 2018)
NSTEMI dan unstable angina ditegakkan jika ada keluhan angina
pektoris akut tanpa adanya elevasi segmen ST yang menetap di 2 sadapan
yang bersebelahan. Pada rekam EKG terdapat presentasi berupa depresi
segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T datar, gelombang T
pseudo-normalisasi, atau bahkan tanpa perubahan. NSTEMI dan unstable
angina dibedakkan melalui hasil pemeriksaan biomarker jantung. Pada
NSTEMI terdapat peningkatan biomarker jantung (PERKI, 2018).

B. ETIOLOGI
Etiologi terjadinya ACS sebagai berikut (Lilly, 2011):
1. Ruptur plak aterosklerosis dengan trombus
2. Sindrom vaskulitis

21
3. Emboli koroner (dari endokarditis, artificial heart valve)
4. Anomali arteri koroner kongenital
5. Trauma atau aneurisma koroner
6. Spasme berat arteri koroner
7. Peningkatan viskositas darah (contoh polisitemia vera, trombositopenia)
8. Diseksi spontan arteri koroner
9. Peningkatan kebutuhan oksigen miokard (contoh stenosis aorta berat)
Berdasarkan etiologi dan patogenesisnya, myocard infark (MI)
dapat diklasifikasikan menjadi 5 tipe (ESC 2020):
1. Type 1 myocardial infarction (Type 1 MI)
Type 1 MI berupa rupturnya plak atherosklerosis yang menimbulkan
trombus intraluminal di satu atau lebih pembuluh darah koroner yang
menurunkan myocardial blood flow.
2. Type 2 myocardial necrosis
Type 2 myocardial necrosis merupakan kondisi selain plak koroner yang
disebabkan ketidakseimbangan suplai dan demand oksigen miokard.
3. Type 3-5 myocardial infarction
Type 3 MI yang menyebabkan kematian ketika biomarker tidak tersedia,
sedangkan type 4-5 MI berkaitan dengan PCI dan coronary artery
bypass grafting (CABG)

C. FAKTOR RISIKO
1. Faktor yang tidak dapat diubah:
a. Usia
Resiko aterosklerosis koroner meningkat seiring
bertambahnya usia. Penyakit yang serius jarang terjadi sebelum usia
40 tahun. Faktor resiko lain masih dapat diubah, sehingga
berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik. Seluruh jenis
penyakit jantung koroner termasuk STEMI yang terjadi pada usia
lanjut mempunyai risiko tinggi kematian dan adverse events.

22
b. Jenis Kelamin
Laki-laki memiliki risiko lebih besar terkena serangan
jantung dan kejadiannya lebih awal dari pada wanita. Morbiditas
penyakit ini pada laki-laki lebih besar daripada wanita dan kondisi
ini terjadi dan kondisi ini terjadi hampir 10 tahun lebih dini pada
wanita. Studi lain menyebutkan wanita mengalami kejadian infark
miokard pertama kali 9 tahun lebih lama daripada
laki-laki.Perbedaan onset infark miokard pertama ini diperkirakan
dari berbagai faktor resiko tinggi yang mulai muncul pada wanita
dan laki-laki ketika berusia muda. Wanita agaknya relatif kebal
terhadap penyakit ini sampai menopause, dan kemudian menjadi
sama rentannya seperti pria. Hal diduga karena adanya efek
perlindungan esterogen.
c. Ras
Ras kulit putih lebih sering terjadi serangan jantung
daripada ras African American. Kelompok masyarakat kulit putih
maupun kulit berwarna, laki-laki mendominasi kematian, tetapi
lebih nyata pada kulit putih dan lebih sering ditemukan pada usia
muda dari pada usia lebih tua. Insidensi kematian dini akibat
penyakit jantung koroner pada orang Asia yang tinggal di Inggris
lebih tinggi dibandingkan dengan populasi lokal dan juga angka
yang rendah pada rasAfro-Karibia.
d. Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga pada kasus penyakit jantung koroner
yaitu keluarga langsung yang berhubungan darah pada pasien
berusia kurang 11 dari 70 tahun merupakan faktor risiko
independen. Agregasi PJK keluarga menandakan adanya
predisposisi genetik pada keadaan ini. Terdapat beberapa bukti
bahwa riwayat keluarga yang positif dapat mempengaruhi usia
onset PJK pada keluarga dekat. Faktor familial dan genetika
mempunyai peranan bermakna dalam patogenesis PJK, hal tersebut

23
dipakai juga sebagai pertimbangan penting dalam diagnosis,
penatalaksanaan dan juga pencegahan
2. Faktor yang dapat dimodifikasi :
a. Hipertensi
Risiko serangan jantung secara langsung berhubungan
dengan tekanan darah, setiap penurunan tekanan darah diastolik
sebesar 5 mmHg risikonya berkurang sekitar 16 %.25 Hipertensi
adalah peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140 mmHg
dan atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg. Peningkatan
tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi vaskuler terhadap
pemompaan darah dari ventrikel kiri. Akibatnya kerja jantung
bertambah, sehingga ventrikel kiri hipertrofi untuk meningkatkan
kekuatan pompa. Bila proses aterosklerosis terjadi, maka
penyediaan oksigen untuk miokard berkurang. Tingginya
kebutuhan oksigen karena hipertrofi jaringan tidak sesuai dengan
rendahnya kadar oksigen yang tersedia. 27 Secara sederhana
dikatakan peningkatan tekanan darah mempercepat aterosklerosis
dan arteriosclerosis, sehingga rupture dan oklusi vaskuler terjadi 20
tahun lebih cepat daripada orang normotensi.
b. Diabetes Mellitus
Diabetes Melitus akan menyebabkan proses penebalan
membran basalis dari kapiler dan pembuluh darah arteri koronaria,
sehingga terjadi penyempitan aliran darah ke jantung. Insiden
serangan jantung meningkat 2 hingga 4 kali lebih besar pada pasien
yang dengan diabetes melitus. Orang dengan diabetes cenderung
lebih cepat mengalami degenerasi dan disfungsi endotel.24
Diabetes mellitus berhubungan dengan perubahan fisik - pathologi
pada system kardiovaskuler. Diantaranya dapat berupa disfungsi
endothelial dan gangguan pembuluh darah yang pada akhirnya
meningkatkan risiko terjadinya coronary artery diseases (CAD).

24
c. Dislipidemia
Abnormalitas kadar lipid serum yang merupakan faktor
resiko adalah hiperlipidemia. Hiperlipidemia merupakan
peningkatan kadar kolesterol atau trigliserida serum di atas batas
normal. The National Cholesterol Education Program (NCEP)
menemukan kolesterol LDL sebagai faktor penyebab penyakit
jantung koroner. The Coronary Primary Prevention Trial (CPPT)
memperlihatkan bahwa penurunan kadar kolesterol juga
menurunkan mortalitas akibat infark miokard. 30 Dislipidemia
diyakini sebagai faktor risiko mayor yang dapat dimodifikasiuntuk
perkembangan dan perubahan secara progresif atas terjadinya
PJK.48 Kolesterol ditranspor dalam darah dalambentuk lipoprotein,
75 % merupakanlipoprotein densitas rendah (low density 13
liproprotein/LDL) dan 20 % merupakanlipoprotein densitas tinggi
(high density liproprotein/HDL). Kadar kolesterol HDL lahyang
rendah memiliki peran yang baik pada PJK dan terdapat hubungan
terbalik antara kadar HDL dan insiden PJK. Peningkatan kadar
lemak berhubungan dengan proses aterosklerosis. Berikut ini faktor
risiko dari faktor lipid darah: total kolesterol plasma > 200 mg/dl,
kadar LDL > 130 mg/dl, kadar trigliserid > 150 mg/dl, kadar HDL
< 40 mg/dl.
d. Overweight dan Obesitas
Overweight dan Obesitas meningkatkan resiko terkena
penyakit jantung koroner. Sekitar 25-49% penyakit jantung koroner
di negara berkembang berhubungan dengan peningkatan indeks
massa tubuh (IMT). Overweight didefinisikan sebagai IMT > 25-30
kg/m2 dan obesitas dengan IMT > 30 kg/m2 . Obesitas sentral atau
obesitas abdominal adalah obesitas dengan kelebihan lemak berada
di abdomen. Biasanya keadaan ini juga berhubungan dengan
kelainan metabolik seperti peninggian kadar trigliserida, penurunan
HDL, peningkatan tekanan darah, inflamasi sistemik, resistensi

25
insulin dan diabetes melitus tipe II.30 Data dari Framingham
menunjukkan bahwa apabilasetiap individu mempunyai berat badan
optimal, akan terjadi penurunan insiden PJK sebanyak 25 % dan
stroke/cerebro vascular accident (CVA) sebanyak 3,5 %. Penurunan
berat badan diharapkan dapat menurunkan tekanan darah,
memperbaiki sensitivitas insulin, pembakaran glukosa dan 14
menurunkan dislipidemia. Hal tersebut dapat ditempuh dengan cara
mengurangi asupan kalori dan menambah aktifitas fisik.
e. Riwayat Merokok
Merokok meningkatkan resiko terkena penyakit jantung
koroner sebesar 50%. Orang yang tidak merokok dan tinggal
bersama perokok (perokok pasif) memiliki peningkatan risiko
sebesar 20 – 30 % dibandingkan dengan orang yang tinggal dengan
bukan perokok. Di Inggris, sekitar 300.000 kematian karena
penyakit kardiovaskuler berhubungan dengan rokok. 30
Penggunaan tembakau berhubungan dengan kejadian miokard
infark akut prematur di daerah Asia Selatan. Merokok sigaret
menaikkan risiko serangan jantung sebanyak 2sampai 3 kali.34
Sekitar 24 % kematian akibat PJK pada laki-laki dan 11 %
padaperempuan disebabkan kebiasaan merokok.25 Pemeriksaan
yang dilakukan pada usia dewasa muda dibawah usia 34 tahun,
dapat diketahui terjadinya atherosklerosis pada lapisan pembuluh
darah (tunika intima) sebesar 50 %. 35 Berdasarkan literatur yang
ada hal tersebut banyak disebabkan karena kebiasaan merokok dan
penggunaan kokain.
f. Faktor Psikososial
Faktor psikososial seperti peningkatan stres kerja,
rendahnya dukungan sosial, personalitas yang tidak simpatik,
ansietas dan depresi secara konsisten meningkatkan resiko terkena
aterosklerosis.30 Stres merangsang sistem kardiovaskuler dengan
dilepasnya catecholamine yang meningkatkan kecepatan denyut

26
jantung dan pada akhirnya dapat 15 menimbulkan vasokonstriksi
pembuluh darah koronaria. Beberapa ilmuwanmempercayai bahwa
stress menghasilkan suatu percepatan dari prosesatherosklerosis
pada arteri koroner. Perilaku yang rentan terhadap terjadinya
penyakit koroner (kepribadian tipe A) antara lain sifat agresif,
kompetitif, kasar, sinis, keinginan untuk dipandang, keinginan
untuk mencapai sesuatu, gangguan tidur, kemarahan di jalan, dan
lain-lain. Baik ansietas maupun depresi merupakan predictor
penting bagi PJK.
g. Aktivitas Fisik
Olah raga secara teratur akan menurunkantekanan darah
sistolik, menurunkan kadar katekolamin di sirkulasi, menurunkan
kadar kolesterol dan lemak darah, meningkatkan kadar HDL
lipoprotein, memperbaiki sirkulasi koroner dan meningkatkan
percaya diri. Diperkirakan sepertiga laki-laki dan dua per tiga
perempuan tidak dapat mempertahankan irama langkah yang
normal pada kemiringan gradual (3 mph padagradient 5%). Olah
raga yang teratur berkaitan dengan penurunan insiden PJK sebesar
20-40%. Olah raga secara teratur sangat bermanfaat untuk
menurunkan faktor risiko seperti kenaikan HDL-kolesterol dan
sensitivitas insulin serta menurunkan berat badan dan kadar
LDL-kolesterol. Pada latihan fisik akan terjadi dua perubahan pada
sistem kardiovaskuler, yaitu peningkatan curah jantung dan
redistribusi aliran darah dari organ yang kurangaktif ke organ yang
aktif.
h. Gaya Hidup
Resiko terkena infark miokard meningkat pada pasien
yang mengkonsumsi diet yang rendah serat, kurang vitamin C dan
E, dan bahan-bahan polisitemikal. Mengkonsumsi alkohol satu atau
dua sloki kecil per hari ternyata sedikit mengurangi resiko
terjadinya infark miokard. Namun tidak semua literatur mendukung

27
konsep ini, apabila mengkonsumsi alkohol berlebihan, yaitu lebih
dari dua sloki kecil per hari, pasien memiliki peningkatan resiko
terkena penyakit. Studi Epidemiologi yang dilakukan terhadap
beberapa orang telah diketahui bahwa konsumsi alkohol dosis
sedang berhubungan dengan penurunan mortalitas penyakit
kardiovaskuler pada usia pertengahan dan pada individu yang lebih
tua, tetapi konsumsi alkohol dosis tinggi berhubungan dengan
peningkatan mortalitas penyakit kardiovaskuler. Peningkatan dosis
alkohol dikaitkan dengan peningkatan mortalitas kardivaskuler
karena aritmia, hipertensi sistemik, dan kardiomiopati dilatasi.

D. PATOFISIOLOGI
Ketika pembuluh darah normal terluka, permukaan endotel menjadi
terganggu dan jaringan ikat trombogenik terbuka. Hemostasis primer adalah
garis pertahanan pertama melawan perdarahan. Proses segera setelah
pembuluh darah cedera dan dimediasi oleh trombosit yang menempel
kolagen di subendotel vaskular dan membentuk "platelet plug." Saat
hemostatis primer terbentuk, paparan faktor jaringan subendotel memicu
kaskade koagulasi plasma, memulai proses hemostasis sekunder. Protein
koagulasi plasma yang terlibat dalam hemostasis sekunder diaktivasi secara
berurutan dilokasi cedera dan akhirnya membentuk bekuan fibrin oleh aksi
trombin. Bekuan yang dihasilkan menstabilkan dan memperkuat platelet
plug (Lilly, 2011).

Mekanisme pertahanan endogen terhadap trombosis dan oklusi


pembuluh darah diawali dengan inaktivasi trombin oleh antithrombin (AT),
yang efektivitasnya ditingkatkan dengan mengikat AT ke heparan sulfat.
Inaktivasi faktor pembekuan Va dan VIIIa oleh protein C yang diaktifkan
(protein C *) dan yang dipengaruhi oleh protein S. Protein C diaktifkan oleh
kompleks trombomodulin (TM)-thrombin. Inaktivasi faktor VII / kompleks
faktor jaringan oleh tissue factor pathway inhibitor (TFPI). Lisis gumpalan

28
fibrin oleh tissue plasminogen activator (tPA). Penghambatan aktivasi
trombosit oleh prostasiklin dan NO (Lilly, 2011).

Gambar 3.1. Mekanisme pertahanan endogen terhadap trombosis dan oklusi


pembuluh darah (Lilly, 2011)

Faktor-faktor yang berkontribusi pada pembentukan trombus


koroner berupa gangguan plak (misalnya, ruptur) dan vasokonstriksi yang
tidak tepat serta hilangnya pertahanan antitrombotik normal karena
disfungsional endotelium yang disajikan pada Gambar 3.2..

29
Gambar 3.2. Mekanisme pembetukan trombus koroner (Lilly, 2011)

Trombus kecil yang terbentuk pada ruptur plak superfisial mungkin


tidak menyebabkan gejala atau kelainan elektrokardiogram (EKG). Trombus
oklusi sebagian (dengan atau tanpa vasospasme) mempersempit lumen arteri,
membatasi aliran darah, dan dapat menyebabkan angina tidak stabil atau
NSTEMI, salah satunya dapat menyebabkan depresi segmen ST dan/ atau
inversi gelombang T pada EKG. Trombus oklusi total dengan iskemia yang
memanjang adalah penyebab tersering dari STEMI, di mana EKG awalnya
menunjukkan elevasi segmen ST, diikuti oleh perkembangan gelombang Q.
Trombus oklusif yang mengalami rekanalisasi, atau yang berkembang di
daerah yang disuplai oleh aliran darah kolateral yang memadai, dapat
menyebabkan iskemia yang lebih lama dan NSTEMI sebagai gantinya.
Penanda nekrosis miokard termasuk troponin dan isoenzim CKMB (Lilly,
2011).

30
Gambar 3.3. Dampak trombus koroner (Lilly, 2011)

Kematian sel pada infark miokard terjadi akibat iskemia akut


dengan cepat menghabiskan suplai adenosin trifosfat (ATP) intraseluler
karena metabolisme aerobik gagal. Kemudian terjadi sidosis intraseluler dan
gangguan proses yang bergantung pada ATP berujung pada akumulasi
kalsium intraseluler, edema, dan kematian sel.

Gambar 3.4. Mekanisme kemantian sel pada infark miokard (Lilly, 2011)

31
Perubahan patologi pada infark transmural sebagai berikut:

Tabel 3.1. Perubahan patologi pada infark transmural (Lilly, 2011)

Waktu Perubahan

Early phase
1-2 menit Penurunan ATP, penghentian kontraktilitas
10 menit 50% deplesi ATP, edema seluler, penurunan
pontensial membran, dan rentan terjadi aritmia
20-24 menit Irreversible cell injury
1-3 jam Wavy myofibers
4-12 jam Perdarahan, edema, memulai infiltrasi PMN
18-24 jam Coagulation necrosis, edema
2-4 hari Total coagulation necrosis, adanya monosit,
puncak infiltrasi PMN

Late phase
5-7 hari Perlunakan kuning dari resorpsi jaringan mati
oleh makrofag
>7 hari Ventricular remodeling
7 minggu Fibrosis dan scarring

E. MANIFESTASI KLINIS
Keluhan pasien dengan iskemia miokar dapat berupa nyeri dada
yang tipikal (angina tipikal) atau angina atipikal. Angina tipikal berupa rasa
tertekan/berat di daerah retrosternal yang menjalar ke lengan kiri, leher, area
interskpular, bahu, atau epigastrium, berlangsung intermiten atau persisten
(>20 menit), sering disertai diaforesis, mual muntah, nyeri abdominal, sesak
nafas dan sinkop. Angina atipikal yang sering ditemukan nyeri di daerah
penjalaran angina tipikal, gangguan pencernaan (indigesti), sesak nafas yang
tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan.

32
Keluhan ini dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun), usia lanjut (>75
tahun), wanita, penderita DM, CKD, atau demensia (Collet et al, 2020).
Menurut Lilly (2011), tanda dan manifestasi klinis infark miokard
diantara lain:
Tabel 3.2. Tanda dan gejala infark miokard (Lilly, 2011)
Karakteristik nyeri Berat, persisten, substernal

Efek simpatis  Diaforesis


 Kulit dingin dan lembab

Parasimpastis (vagal effect)  Nausea, muntah


 Kelamahan

Respon inflamasi Demam ringan

Pemeriksaan jantung  S4 (dan S3 jika ada disfungsi sistolik)


 Dyskinetic bulge
 Murmur sistolik (regurgitasi mitral)

Lain-lain  Pulmonary rales


 Jugular venous distention

Diagnosis ACS lebih kuat jika keluhan angina ditemukan pada


pasien dengan karakteristik berikut (PERKI, 2018):
1. Pria
2. Riwayat penyakit aterosklerosis non koroner (penyakit arteri
perifer/karotis)
3. Riwayat PJK atas dasar pernah mengalami infark miokard, CABG, atau
PCI
4. Memiliki faktor risiko: usia, hipertensi, merokok, dislipidemia, diabetes
melitus, riwayat PJK dini dalam keluarga.
Pada pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor
pencetus iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta, dan

33
menyingkirkan diagnosis banding. Pasien biasanya tampak gelisah dan tidak
bisa istirahat. Seringkali ektremitas pucat di sertai keringat dingin.
Kombinasi nyeri dada substernal > 30 menit dan banyak keringat di curigai
kuat adanya (Collet et al, 2020). Regurgitasi katup mitral akut, bunyi jantung
3 (S3), ronkhi basah halus, dan hipotensi hendaknya selalu diperiksan utnuk
mengidentifikasi komplikasi iskemia. Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi
katup mitral akut, hipotensi, diaforesis, ronkhi basah halus atau edema paru
meningkatkan kecurigaan terhadap ACS. Pericardial friction rub karena
perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang dan regurgitasi katup aorta akibat
diseksi aorta, pneumothorax, nyeri pleuritik disertai suara napas yang tidak
seimbang perlu dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding ACS
(PERKI, 2018).

F. PEMERIKSAAN ELEKTROKARDIOGRAM
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang
mengarah kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan
sesegera mungkin sesampainya di ruang gawat darurat. Pada pasien yang
mengarah kepada iskemia dinding inferior, sebaiknya direkam sadapan V3R,
V4R, V7, V8, dan V9. Sebisa mungkin, EKG dibuat dalam 10 menit pertama
sejak keadatangan pasien. Pemeriksaan EKG perlu diulang setiap keluhan
angina timbul kembali. Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan
keluhan angina cukup bervariasi, yaitu: normal, non-diagostik, LBBB baru,
elevasi segmen ST yang persisten (≥ 20 menit) maupun tidak persisten, atau
depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T (PERKI, 2018).

34
Gambar 3.5. Perubahan EKG pada STEMI (Lilly LS, 2011)

Penilaian elevasi ST dilakukan pada titik J dan ditemukan pada 2


sadapan yang bersebelahan. Nilai ambang segmen ST untuk diagnosis
STEMI untuk laki-laki dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah
0,1 mV. Nilai ambang untuk diagnostik pada berbagai sadapan beragam,
bergantung pada usia dan jenis kelamin.
Tabel 3.3. Nilai ambang diagnostik elevasi segmen ST (PERKI, 2018)

Depresi segmen ST yang resiprokal, sadapan yang berhadapan


dengan permukaan tubuh segmen elevasi ST, dapat dijumpai pada pasien
STEMI kecuali jika STEMI terjadi di mid-anterior (elevasi di V3-V6).
Pasien SKA dengan elevasi segmen ST dikelompokkan bersama dengan
LBBB (komplet) baru mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi
reperfusi. Oleh karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI
dapat segera mendapat terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan biomarka
jantung tersedia.

35
Tabel 3.4. Lokasi Infark berdasarkan sadapan EKG (PERKI, 2018)

Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran


EKG pasien dengan LBBB baru / persangkaan baru juga disertai dengan
elevasi segmen ST ≥ 1 mm pada sadapan dengan kompleks QRS positif dan
depresi segmen ST ≥ 1 mm di V1-V3. Perubahan segmen ST seperti ini
disebut sebagai perubahan konkordan yang mempunyai spesivitas tinggi dan
sensitivitas rendah untuk diagnostik iskemik akut. Perubahan segmen ST
yang diskordan pada sadapan dengan kompleks QRS negatif mempunyai
sensitivitas dan spesifitas sangat rendah.
Pada LBBB, diagnosis EKG untuk IMA sulit ditegakkan tetapi
seringkali dimungkinkan jika ditemukan abnormalitas segmen ST yang
bermakna. Terdapat beberapa algoritme kompleks untuk membantu
diagnosis, tetapi tidak memberikan kepastian diagnostik. ADanya elevasi
segmen ST kondordan merupakan salah satu indikator terbaik IM yang
sedang berlangsung dengan arter infark yang mengalami oklusi. Pasien
dengan dugaan klinis iskemia miokard dan LBBB baru/dianggap baru,
dirawat sebagai pasien STEMI. Sementara pasien dengan dugaan klinis
iskemia miokard dan LBBB sebelumnya, dianjurkan untuk menjalani
pemeriksaan angiografi koroner. Sedangkan, pada pasien dengan IM dan
RBBB memiliki prognosis buruk. Iskemia transmural pad pasien dengan
nyeri dada dan RBBB sulit terdeteksi. Karenanya strategi PCI Primer harus
dipertimbangkan jika gejala-gejala iskemia persisten terjadi pada RBBB.
(PERKI, 2018).

36
Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG tanpa elevasi
segmen ST yang persisten, diagnosisnya adalah NSTEMI atau UAP. Depresi
segmen ST yang diagnostik untuk iskemia adalah sebesar ≥ 0,05 mV di
sadapan V1-V3 dan ≥ 0,1 mV di sadapan lainnya. Bersamaan dengan depresi
segmen ST, dapat dijumpai juga elevasi segmen ST yang tidak persisten
(<20 menit), dan dapat terdeteksi di >2 sadapan berdekatan. Inversi
gelombang T yang simetris ≥ 0,2 mV mempunyai spesifitas tinggi untuk
iskemia akut. EKG yang mungkin dijumpai pada pasien NSTEMI dan
unstable angina antara lain :
1. Depresi segmen ST dan/atau inversi gelombang T; dapat disertai elevasi
segmen ST yang tidak persisten (<20 menit)
2. Gelombang Q yang menetap
3. Non diagnostik (Semua perubahan EKG yang tidak sesuai dengan kriteria
EKG diagnostik)
4. Normal

Gambar 3.6. EKG abnormal pada UA dan NSTEMI (Lilly, 2011)

Jika pemeriksaan EKG awal menunjukkan kelainan non-diagnostik,


sementara angina masih berlangsung, pemeriksaan diulang 10-20 menit
kemudian (rekam juga V7-V9). Pada keadaan di mana EKG ulang tetap
menunjukkan kelainan yang non-diagnostik dan bimarka jantung negatif

37
sementara keluhan angina sugestif SKA, maka pasien dipantau selama 12-24
jam. EKG diulang setiap terjadi angina berulang atau setidaknya 1 kali
dalam 24 jam.
Stress test dapat dilakukan untuk provokasi iskemia jika dalam
masa pemantauan nyeri dada tidak berulang, EKG tetap non-diagnostik,
biomarka jantung negatif, dan tidak terdapat tanda gagal jantung. Hasil stress
test yang positif menyakinkan diagnosis atau menunjukkan persangkaan
tinggi UAP atau NSTEMI. Hasil stress negatif menunjukan diagnosis ACS
diragukan dan dilanjutkan dengan rawat jalan.

G. PEMERIKSAAN BIOMARKER JANTUNG


Kreatinin kinase MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan
biomarker nekrosis miosit jantung dan menjadi biomarker untuk diagnosis
infark miokard. Troponin I/T sebagai biomarker nekrosis jantung
mempunyai sensitivitas dan spesivisitas lebih tinggi dari CK-MB.
Peningkatan biomarker jantung hanya menunjukkan adanya nekrosis miosit,
namun tidak dapat dipakai untuk menentukan penyebab nekrosis miosit
tersebut (penyebab koroner atau non-koroner) (PERKI, 2018).
Troponin I/T juga dapat meningkat akibat kelainan kardiak
non-koroner seperti takiaritmia, trama kardiak, gagal jantung, hipertrofi
ventrikel kiri, miokarditis/pericarditis. Keadaan non-kardiak yang dapat
meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas,
penyakit neurologic akut, emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan
insufisiensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan I memberikan informasi
yang seimbang terhadap terjadinya nekrois miosit, kecuali pada keadaan
disfungsi ginjal. Pada keadaan ini, troponin I mempunyai spesivisitas yang
lebih tinggi dari troponin T (PERKI, 2018).
Pada keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin
I/T menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan ACS,
sehingga pemeriksaan hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina.

38
Jika awitan ACS tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan
hendaknya diulang 6-12 jam setelah pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB
yang meningkat dapat dijumpai pada seseorang dengan kerusakan otot
skeletal (menyebabkan spesivisitas lebih rendah) dengan waktu paruh yang
singkat (48 jam). Mengingat waktu paruh yang singkat, CK-MB lebih
terpilih untuk mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang) maupun infark
periprosedural (PERKI, 2018).

Gambar 3.7. Perubahan Biomarker Jantung (PERKI, 2018)

Penentuan waktu kapan marka jantung hendak diulang, hendaknya


mempertimbangkan ketidakpastian dalam menentukan awitan angina. Tes
yang negatif pada 1 kali pemeriksaan awal tidak dapat dipakai untuk
menyingkirkan diagnosis ACS. Kadar troponin pada pasien ACS mulai
meningkat di dalam darah perifer 3-4 jam setelah awitan infark dan menetap
sampai 2 minggu. Peningkatan ringan kadar troponin biasanya menghilang
dalam 2-3 hari, namun bila terjadi nekrosis luas, peningkatan ini dapat
menetap hingga 2 minggu. Apabila pemeriksaan troponin tidak tersedia,
dapat dilakukan pemeriksaan CKMB. CKMB akan meningkat dalam waktu
4-6 jam, mencapai puncaknya pada 12 jam, dan menetap sampai 2 hari

39
Gambar 3.8. Perubahan Biomarker Jantung pada MI (Lilly LS, 2011)

Pro brain-type natriuretic peptide (pro-BNP) dilepaskan saat


jantung perlu bekerja keras, yang menyebabkan cairan retensi dan dilatasi
vena dan arteri. Oleh karena itu pelepasan hormon ini sebagai respon dari
perubahan tekanan pada jantung khususnya pada penderita ACS, yang
bermanfaat sebagai indikator untuk evaluasi kondisi jantung. Artinya, saat
timbul gejala ACS, perlu dilakukan pengukuran kadar hormon ini dan
pengambilan keputusan medis untuk menyelamatkan pasien. Estimasi kadar
BNP dalam darah manusia berkontribusi untuk diagnosis dugaan disfungsi
ventrikel kiri pasien (Al-Saeed, 2020).
Ischemia Modified Albumin (IMA) adalah albumin serum manusia
dengan asam amino N-terminal yang berubah karena iskemia. IMA
merupakan penanda untuk deteksi dini iskemia miokard, meningkat dalam
beberapa menit setelah timbulnya iskemia, tetap meningkat hingga 6-12 jam
setelah iskemia, dan kembali normal dalam 24 jam. Kemampuan IMA untuk
mendeteksi iskemia sebelum kerusakan miosit akan memungkinkan
keputusan manajemen yang lebih awal dan akurat serta perannya dalam
strategi menyingkirkan biokimia yang pasti. Uji IMA dapat digunakan
sebagai penanda biokimia untuk diagnosis dini ACS (Al-Saeed, 2020).

40
Pro-BNP dan IMA secara signifikan lebih tinggi pada pasien ACS
(STEMI & NSTEMI) dibandingkan dengan non cardiac chest pain patients
(NCCP) sebagai kontrol (p<0,01) untuk pro-BNP dan IMA. Ada perbedaan
yang signifikan rata-rata dari setiap pro-BNP dan nilai IMA antara dua
kategori ACS yang terlihat (p<0,01). Receiver operator character (ROC)
dihitung untuk menentukan nilai cut-off optimal untuk penggunaan setiap
pro-BNP dan IMA sebagai biomarker dalam diagnostik awal dan
membedakan pasien dengan STEMI dan NSTEMI saat masuk ke IGD dalam
waktu 6 jam setelah tanda klinis. Kurva ROC menunjukkan nilai cut-off
optimal untuk pro-BNP di STEMI adalah 231 pg/ml dan NSTEMI adalah
400 pg/ml dengan sensitivitas 85% dan 87,5% dan spesifisitas 82,5% dan
87,5%. Nilai cut-off optimal untuk IMA pada STEMI adalah 89 U/ml dan
NSTEMI 80,9 U/ml dengan sensitivitas 85% dan 82,5% dan spesifisitas
90,0% dan 75,0% (Al-Saeed, 2020).

H. DIAGNOSIS
Diagnosis berdasarkan klasifikasi ACS menurut Lilly (2011)
sebagai berikut:
Tabel 3.5. Diagnosis ACS (Lilly, 2011)
Myocardial Infarction
Pembeda Unstable Angina
NSTEMI STEMI
Gejala tipikal Crescendo, Prolonged “crushing” chest pain,
istirahat, atau sangat berat, dan meluas dari angina
onset baru angina biasa
berat
Biomarker Tidak ada Ada Ada
EKG awal ST depresi dan ST depresi dan ST elevasi (dan
atau gelombang T atau gelombang diikuti dengan
inversi T inversi gelombang Q
patologis)

41
Pasien dengan keluhan nyeri dada yang khas angina harus segera
dilakukan penegakan diagnosis agar dapat segera ditangani. Algoritma
diagnosis ACS disajikan pada Gambar 3.9.

Gambar 3.9. Algoritma diagnosis ACS (Collet et al, 2020)

I. PEMERIKSAAN PENUNJANG LAIN


1. Pemeriksaan Non-Invasif (PERKI, 2018)
Pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat dapat
memberikan gambaran fungsi ventrikel kiri secara umum dan berguna
untuk menentukan diagnosis banding. Hipokinesia atau akinesia
segmental dinding ventrikel kiri dapat terlihat saat iskemia dan menjadi
normal saat iskemia menghilang. Selain itu, diagnosis banding seperti
stenosis aorta, kardiomiopati hipertrofik, atau diseksi aorta dapat
dideteksi melalui pemeriksaan ekokardiografi.

42
Stress test seperti EKG exercise yang telah dibahas sebelumnya
dapat membantu menyingkirkan diagnosis banding PJK obstruktif pada
pasien-pasien tanpa rasa nyeri, EKG istirahat normal, dan marka jantung
yang negatif.
Multislice cardiac CT (MSCT) dapat digunakan untuk
menyingkirkan PJK sebagai penyebab nyeri pada pasien dengan
kemungkinan PJK rendah sampai menengah, dan jika pemeriksaan
troponin dan EKG tidak menyakinkan
2. Pemeriksaan Invasif (PERKI, 2018)
Angiografi koroner memberikan informasi mengenai
keberadaan dan tingkat keparahan PJK, sehingga dianjurkan segera
dilakukan untuk tujuan diagnostik pada pasien dengan risiko tinggi dan
diagnosis banding yang tidak jelas. Penemuan oklusi trombotik akut,
misalnya pada arteri sirkumfleksa, sangat penting pada pasien yang
sedang mengalami gejala atau peningkatan troponin namun tidak
ditemukan perubahan EKG diagnostik. Pada pasien dengan penyakit
pembuluh multiple dan pasien dengan stenosis arteri utama kiri yang
memiliki risiko tinggi untuk kejadian kardiovaskular yang serius,
angiografi koroner disertai perekaman EKG dan abnoralitas gerakan
dinding regional seringkali memungkinkan identifikasi lesi yang
menjadi penyebab. Penemuan angiografi yang khas antara lain
eksentrisitas, batas yang ireguler, ulserasi, penampakkan yang kabur,
dan filling defect yang mengesankan adanya thrombus intrakoroner.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Data laboratorium, di samping biomarka jantung, yang harus
dikumpulkan di ruang gawat darurat adalah tes darah rutin, gula darah
sewaktu, status elektrolit, koagulasi darah, tes fungsi ginjal, dan panel
lipid. Pemeriksaan laboratorium tidak boleh menunda terapi ACS
(PERKI, 2018).

43
a. Leukositosis
Infark miokard akut merupakan penyakit iskemia dan
dalam proses patofisiologinya melibatkan proses inflamasi.
Peningkatan sitokin proinflamasi akan meningkatkan leukosit PMN.
Peningkatan jumlah leukosit juga dapat terjadi setelah timbulnya
gejala penyakit iskemik, dan jumlahnya lebih besar jika terdapat
cedera yang signifikan (Meideros, 2016).
b. Hiperglikemia
Hiperglikemia berperan dalam perkembangan komplikasi
kardiovaskuler pada pasien infark miokard. Hiperglikemia pada
pasien dengan ACS diinduksi oleh aktivasi reseptor adrenergik.
Hiperglikemia pada pasien MI merupakan penanda gangguan
metabolisme karbohidrat yang sudah ada sebelumnya, tetapi belum
terdeteksi. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa hiperglikemia
sering diabaikan pada 66% pasien yang dirawat dengan MI akut,
meskipun memenuhi kriteria diabetes mellitus (DM) (Karetnikova
et al, 2016). Penegakan diagnosis DM tipe 2 menurut PERKENI
(2019) dengan memenuhi salah satu kriteria berikut ini:
1) Pemeriksaan glukosa plasma puasa (GDP) ≥126 mg/dL. Puasa
adalah kondisi tidak ada asupan kalori dalam 8-10 jam.
2) Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dL 2 jam setelah Tes
Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75
gram.
3) Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu (GDS) ≥200 mg/dL
dengan keluhan klasik. Keluhan klasik DM berupa poliuria,
polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak
dapat dijelaskan sebabnya.
4) Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode
yang terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin
Standarization Program (NGSP).

44
Algoritma diagnosis DM tipe 2 sebagai berikut (IDI,
2017) :

Gambar 3.10. Algoritma diagnosis DM Tipe 2 (IDI, 2017)


Klasifikasi diagnosis DM tipe 2 sebagai berikut
(PERKENI, 2019):
Tabel 3.6. Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis diabetes dan
prediabetes (PERKENI, 2019)
GDP Glukosa plasma 2 jam
Kategori HbA1c (%)
(mg/dL) setelah TTGO (mg/dL)
Diabetes ≥6,5 ≥126 ≥200
Pre-Diabetes 5,7-6,4 100-125 140-199
Normal <5,7 70-99 70-139

Hubungan antara kadar glukosa tinggi pada pasien ACS


dan peningkatan mortalitas secara keseluruhan telah ditunjukkan.
Hipoglikemia yang dipicu oleh stimulasi adrenergik menyebabkan

45
iskemia miokard berulang, memicu aritmia trikular vena,
menghambat proses metabolisme di miokardium, dan menginduksi
apoptosis pada kardiomiosit. Peningkatan pelepasan hormon
anti-insulin menyebabkan perkembangan hiperglikemia, terutama
pada pasien yang menderita DM jangka pendek. Oleh karena itu,
perubahan kadar glukosa darah pada pasien dengan MI, terlepas
dari status diabetes selama periode di rumah sakit, dapat dianggap
sebagai penanda metabolik atau prediktor yang merugikan
(Karetnikova et al, 2016).
HbA1c merefleksikan rata-rata kadar glukosa darah dalam
waktu 8-12 minggu yang dapat digunakan sebagai prediktor
prognosis setelah ACS, lebih baik dibandingkan GDP dan GD2PP.
Peningkatan HbA1c merupakan prediktor mortalitas di rumah sakit
pada pasien ACS dan mortalitas jangka pendek pada pasien ACS
dengan dan tanpa DM. HbA1c adalah indikator stabil dari kontrol
glukosa jangka panjang dan resistensi insulin, yang harus dipantau
secara umum oleh orang yang berisiko tinggi ACS (Pan et al,
2019).
c. Hiperurisemia
Berdasarkan penelitian Li Chen dkk (2012), yang menilai
nilai klinis serum asam urat (SUA) pada pasien STEMI
menunjukkan kadar SUA berkorelasi positif dengan kadar serum
trigliserida (TG) (p=0,018), tetapi berkorelasi negatif dengan kadar
HDL-C. Kadar serum TG secara signifikan lebih tinggi pada pasien
dengan hiperurisemia dibandingkan dengan kontrol (p=0,014).
Studi epidemiologi telah menunjukkan bahwa tingkat SUA
dipengaruhi oleh banyak faktor, dan ini terkait erat dengan
metabolisme lipid. Hiperurisemia sering dikaitkan dengan
dislipidemia, terutama hipertrigliseridemia. Mekanisme hubungan
erat antara tingkat SUA dan metabolisme lipid belum sepenuhnya
dipahami. Ini mungkin melibatkan cacat metabolik dan genetik,

46
yang berarti gangguan metabolisme lipid bersama dengan gangguan
metabolisme purin. Sedangkan arteriol aferen dan eferen
glomerulus dapat terlibat ketika terjadi gangguan metabolisme lipid,
yang mengakibatkan stenosis atau penyumbatan arteri dan ekskresi
asam urat transrenal (Chen et al, 2012).
Asam urat meningkatkan perkembangan aterosklerosis,
sekaligus menyebabkan berbagai kejadian kardiovaskular. Tingkat
SUA yang tinggi mendorong oksidasi LDL-C dan peroksidasi lipid
sehingga meningkatkan pembentukan radikal oksigen dalam reaksi
inflamasi serta meningkatkan agregasi platelet dan pembentukan
kristal asam urat. Deposisi asam urat di dinding arteri dapat
merusak tunika intima arteri, meningkatkan trombosis koroner.
Studi membuktikan bahwa kadar SUA secara signifikan lebih tinggi
pada pasien dengan penyakit arteri koroner dibandingkan pada
pasien tanpa penyakit ini, tetapi kadar SUA dan derajat penyakit
arteri koroner tidak berkorelasi secara signifikan. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa kadar SUA pada pasien STEMI meningkat
dengan bertambahnya jumlah penyakit arteri koroner, namun tidak
terdapat perbedaan yang bermakna antar kelompok (P> 0,05). Oleh
karena itu kadar SUA tidak berhubungan signifikan dengan stenosis
arteri koroner (Chen et al, 2012)..
Hiperurisemia sebagai prediktor yang baik untuk gagal
jantung dan kematian pada pasien setelah infark miokard akut.
Dibandingkan dengan penanda seperti BNP dan high sensitivity
C-reactive protein, yang telah banyak digunakan dalam menilai
prognosis infark miokard akut. Apakah SUA dapat menjadi
prediktor independen untuk gagal jantung dan kematian setelah
infark miokard masih harus dikonfirmasi lebih lanjut (Chen et al,
2012).

47
d. Hiponatremia
Dua mekanisme utama terlibat dalam respon tubuh setalah
infark miokard akut untuk membentuk homeostasis hemodinamik
melalui mekanisme Frank-Starling dan hiperaktivasi sistem
neurohumoral (Gabriel-Costa, 2018).

Gambar 3.11. Mekanisme kompensasi tubuh pada myocardial


infarction (Gabriel-Costa, 2018)
Frank-Starling adalah mekanisme intrinsik jantung yang
diaktifkan sebagai respons terhadap penurunan cardiac output (CO).
Dalam mekanisme Frank-Starling, kontraktilitas jantung berubah
sesuai dengan peregangan jaringan dan volume darah diastolik
akhir LV (LVEDV). Selama kegagalan akut pemompaan jantung,
penurunan LVEF tiba-tiba menurunkan CO dan meningkatkan
LVEDV. Akibatnya, LVEDV yang lebih tinggi meningkatkan
kekuatan kontraktil dari sistol berikutnya dan mengembalikan CO.
Meskipun mekanisme Frank-Starling secara akut memulihkan gagal
jantung saat memompa, mekanisme ini masih tidak cukup untuk
mempertahankan CO dalam waktu lama. Oleh karena itu,
mekanisme neurohumoral harus diaktifkan untuk mengkompensasi

48
CO dalam waktu lama. Baik sympathetic nervous system (SNS) dan
renin-angiotensin-aldosterone system (RAAS) terlibat dalam proses
ini (Gabriel-Costa, 2018).
SNS berperan dalam aktivasi β1-adrenergik yang akan
merangsang sel juxtaglomerular untu melepaskan renin sehingga
mengaktivasi RAAS. Respon utama aktivasi RAAS adalah efek
antidiuretik dengan mengaktifkan aldosteron. Aldosteron ini yang
menyebabkan peningkatan reabsorbsi natrium sehingga
menimbulkan hiponatremia (Shah dan Jahan, 2019).

4. Pemeriksaan Foto Polos Dada (PERKI, 2018)


Tujuan pemeriksaan adalah untuk membuat diagnosis banding,
identifikasi komplikasi dan penyakit penyerta.

J. TATALAKSANA

Gambar 3.12. Algoritma evaluasi dan tatalaksana sindrom koroner akut


(PERKI, 2018)

49
Pada pasien dengan gejala yang menunjukkan kecurigaan pada
ACS dapat dilakukan evaluasi dan tatalaksana yang disajikan pada Gambar
3.10. Tatalaksana awal dengan diagnosis sindrom koroner akut di ruang
gawat darurat dapat diberikan sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau
biomarker jantung (PERKI, 2018).
1. Tirah baring
2. Pengukuran saturasi oksigen perifer, terapi oksigen diberikan pada
pasien dengan SaO2 <90% atau PaO2 <60%
3. Aspirin 160-320 mg
4. Penghambat reseptor adenosin difosfat (ADP)
a. Dosis awal ticagrelor adalah 180 mg, dengan dosis pemeliharaan
2x90 mg per hari
b. Dosis awal clopridogel adalah 300 mg, dengan dosis pemeliharaan
75 mg/hari
c. Nitrogliserin spray/tablet sublingual dapat diberikan pada pasien
yang masih merasakan nyeri dada di ruang gawat darurat. Apabila
tidak menghilang dapat diulang setiap 5 menit, maksimal 3x.
pengganti nitrogliserin adalah isosorbide dinitrat (ISDN).
d. Morfin sulfat intravena, diulang 10-30 menit pada pasien yang tidak
ada respon terhadap terapi nitrogliserin dengan terapi 3 dosis.
Tatalaksana ACS berdasarkan klasifikasi PERKI (2018) sebagai
berikut:
1. NSTEMI
Pada pasien dengan NSTEMI, dapat dilakukan tindakan invasif
dengan algoritma yang disajikan pada Gambar 3.13.

50
Gambar 3.13. Algoritma tatalaksana invasif pada STEMI
Waktu untuk melakukan strategi invasif dapat dikelompokkan
menjadi 4 kategori berdasarkan profil risiko individu pasien:
a. Strategi invasif segera (<2jam)
Pasien risiko sangat tinggi direkomendasikan menjalani
revaskularisasi, tanpa melihat hasil EKG atau biomarker jantung.
b. Strategi invasif dini (<24 jam)
Angiografi koroner dilakukan dalam waktu 24 jam setelah pasien
dirawat.
c. Strategi invasif (<72 jam)
Merupakan keterlambatan maksimal untuk dilakukan angiografi
dengan pasien minimal 1 kriteria risiko intermediat, gejala rekuren
atau pemeriksaan iskemia non-invasif
d. Strategi invasive selektif
Pasien tanpa gejala rekuren dan tidak memiliki kriteria yang
dianggap memiliki risiko rendah kejadian iskemik.

51
Tabel 3.7. Kriteria risiko untuk menentukan strategi invasif pada
NSTEMI (PERKI, 2018)

Terapi medikamentosa yang dapat diberikan pada pasien


NSTEMI sebagai berikut (PERKI, 2018):
a. Beta blocker
Efek beta bloker terhadap reseptor beta-1 mengakibatkan
turunnya konsumsi oksigen miokardium. Tidak dapat diberikan
pada pasien dengan gangguan konduksi atrioventricular, asma
bronkiale, disfungsi akut ventrikel kiri. Beta bloker
direkomendasikan pada NSTEMI terutama jika terdapat hipertensi
dan takikardi, tanpa adanya kontraindikasi, diberikan 24 jam
pertama. Jenis beta bloker yang dapat digunakan adalah atenolol
500-200mg/hari, bisoprolol 10mg/hari, carvedilol 2x6,25mg/hari
titrasi sampai 2x25 mg/hari, metoprolol 50-200 mg/hari,
propranolol 2x2-80 mg/hari.
b. Nitrat
Mekanisme nitrat adalah memberikan efek dilatasi vena
sehingga preload berkurang, dan volume akhir diastolic ventrikel

52
kiri juga berkurang sehingga konsumsi oksigen miokardium
berkurang. Efek lain adalah dilatasi pembuluh darah koroner.
Sediaan nitrat adalah isosorbide dinitrate (ISDN) sublingual 2,5-15
mg, intravena 1,25-5mg/jam, nitrogliserin tablet sublingual 0,3-1,5
mg, intravena 5-200 mcg/menit, isosorbide 5 mononitrat oral
2x20mg/hari.
c. Calcium channel blockers (CCB)
Nifedipin dan amlodipine memberikan efek vasodilatasi
arteri tanpa pengaruh pada SA dan AV node, untuk verapamil dan
diltiazem memiliki efek sertadap SA dan AV node. CCB golongan
dihidropiridin merupakan obat pilihan mengatasi angina
vasospastic.
Tabel 3.8. Jenis dan dosis CCB

d. Antiplatelet
1) Aspirin 150-300mg diberikan kepada semua pasien tanpa
kontraindikasi, dosis pemeliharaan 75-100mg untuk jangka
panjang.
2) Aspirin dan penghambat reseptor ADP perlu diberikan
Bersama, dipertahankan 12 bulan kecuali terdapat resiko
perdarahan.
3) Proton pump inhibitor (diberikan bersama penghambat
reseptor ADP dan aspirin) direkomendasikan pada pasien
dengan riwayat perdarahan saluran cerna atau ulkus peptikum,
atau dengan faktor risiko infeksi, usia 65 tahun, atau konsumsi
bersama antikoagulan dan steroid.
4) Ticagrelor direkomendasikan untuk pasien dengan risiko
kejadian iskemik sedang hingga tinggi, dosis loading 180mg,

53
dilanjutkan 2x90 mg/hari. Apabila tidak bisa menggunakan
obat ini, diganti clopridrogel.
5) Dosis loading clopidogrel 600 mg (300 mg diikuti tambahan
300 mg saat PCI)
6) Tidak disarankan memberikan aspirin bersama OAINS.
e. Penghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa
Diberikan pada pasien menjalani PCI yang mendapat DAPT dengan
risiko tinggi apabila risiko perdarahan rendah.
f. Antikoagulan. Pemilihan berdasarkan risiko perdarahan dan
iskemia.
1) Fondaparinux merupakan obat yang paling aman, 2,5 mg setiap
hari secara subkutan.
2) Enoxaparin 1mg/kg 2x sehari diberikan apabila fondaparinux
tidak tersedia.
3) Heparin tidak terrefraksi diindikasikan dengan target apt 50-70
detik dengan dosis bolus i.v 60 U/g, maksimal 4000 U.
g. Kombinasi antiplatelet dan antikoagulan
1) Pengguanaan warfarin bersama aspirin dan atau clopridogel
harus dipantau ketat karena meningkatkan risiko perdarahan,
2) Kombinasi aspirin, clopridogel dan antagonis vitamin K dapat
diberikan bersama, dengan target INR rendah (2-2,5)
h. ACE-Inhibitor dan penghambat reseptor angiotensin
Penghambat ACE mengurangi remodeling dan
menurunkan angka kematian pasien pasca infark miokard yang
disertai gangguan fungsi sistolik jantung. Pasien dengan fraksi
ejeksi ventrikel kiri <40%, DM, hipertensi, penyakit ginjal kronik,
penghambat ACE diindikasikan untuk penggunaan jangka panjang,
penghambat reseptor angiotensin merupakan alternatif.

54
Tabel 3.9. Jenis dan dosis ACE inhibitor

i. Statin
Statin harus diberikan pada semua penderita NSTEMI,
setelah menjalani revaskularisasi apabila tidak ada kontraindikasi.
Dapat diberikan atorvastatin 20-40 mg/hari.

2. STEMI
a. Terapi reperfusi
Reperfusi dengan PCI atau farmakologis diindikasikan
untuk semua pasien dengan gejala yang timbul 12 jam, dengan
elevasi segmen ST menerap dengan LBBB. RBBB dengan gejala
iskemia juga dipertimbangkan PCI. Indikasi PCI primer adalah
apabila terdapat bukti klinis atau EKG adanya iskemia berlangsung,
apabila rumah sakit dekitar tidak memiliki fasilitas PCI, langsung
memilih terapi fibrinolitik, setelah pemberian fibrinolitik, pasien
dikirim ke pusat dengan fasilitas PCI.
Reperfusi dengan fibrinolitik dimulai dalam waktu 10
menit dari diagnosis STEMI, reperfusi PCI memerlukan waktu
absolut 120 menit, apabila lebih maka dipilih terapi fibrinolitik.
Apabila fibrinolitik gagal (resolusi segmen ST <50% dalam waktu
60-90 menit, atau terjadi ketidakstabilan hemodinamik, perburukan
iskemia, nyeri dada, merupakan indikasi untuk dilakukan PCI
rescue.

55
1) PCI Primer
Invertensi koroner perkutan primer, merupakan PCI
emergensi dengan balloon, stent yang dikerjakan pada arteri
yang infark tanpa terapi fibrinolitik yang dilakukan 120 menit
dari KMP. PCI segera diindikasikan untuk pasien dengan syok
kardiogenik, apabila PCI gagal, dilakukan CABG.
Tabel 3.10. Ko-terapi antiplatelet dan antikoagulan PCI primer

2) Terapi fibrinolitik
Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan 12 jam
sejak awitan gejala, dan PCI primer tidak bisa dilakukan dalam
2 jam kontak medis pertama. Agen spesifik terhadap fibrin
(tenecteplase, alteplase, dan reteplase), harus diberikan aspirin
oral, ditambahkan clopridorgel. Pasien dengan STEMI yang
diobati dengan fibrinolitik direkomendasikan menggunakan
antikoagulan sampai revaskularisasi atau selama dirumah sakit
hingga 5 hari. Obat yang digunakan:
a) Enoxaparin subkutan

56
b) Heparin tidak terfraksi, bolus intravena sesuai berat badan
dan infus selama 3 hari
c) Pasien mendapatkan streptokinase, fondaparinux intravena
bolus dilanjutkan dosis subkutan 24 jam.
Kontraindikasi fibrinolitik adalah stroke hemoragik,
stroke iskemik, kerusakan sistem saraf sentral, trauma kepala
berat dalam 3 minggu terakhir, perdarahan saluran cerna 1
bulan terakhir, diseksi aorta,
b. Koterapi antikoagulan
1) Pasien dengan terapi fibrinolitik sebaiknya mendapat terapi
antikoagulan minimal 48 jam saat rawat inap, sampai maksimal
8 hari (non-UFH)
2) Apabila telah mendapat PCI primar setelah mendapat UFH,
tambah bolus UFH sesuai kebutuhan, apabila diberikan
enoxaparin dosis subkutan terakhir diberikan dalam 8 jam,
apabila terlah diberikan fondaparinux diberikan antikoagulan
aktifitas anti IIa.
c. Oksigen
Pasien STEMI perlu mengukur saturasi oksigen, indikasi pemberian
oksigen adalah SaO2 <90% atau PaO2<60 mmHg, dan pasien
dengan edema pulmonal.
d. Statin
Perlu memulai statin intensitas tinggi, dengan target LDL <70
mg/Dl atau reduksi minimal 50% jika kadar awal 70-135 mg/Dl

K. PROGNOSIS
Prognosis dari infark miokard akut tergantung luas nekrosis
miokardium dan tatalaksana reperfusi, mortalitas pasien STEMI dalam 3 hari
pertama mencapai 11%.

57
DAFTAR PUSTAKA

Al-Saeed, H. H. (2020) ‘Early diagnosis of brain natriuretic peptide (pro-BNP)


and ischemia modified albumin (IMA) levels in acute coronary syndrome
patients with ST segment elevation myocardial Infarction (STEMI) and
non ST segment elevation myocardial Infarction (NSTEMI)’, Systematic
Reviews in Pharmacy, 11(4), pp. 482–490. doi: 10.31838/srp.2020.4.73.

Chen, L. et al. (2012) ‘Clinical value of serum uric acid in patients with acute
ST-elevation myocardial infarction’, Chinese Journal of Emergency
Medicine, 21(2), pp. 156–160. doi:
10.3760/cma.j.issn.1671-0282.2012.02.012.

ESC (2020) ‘2020 ESC Guidelines for the management of acute coronary
syndromes in patients presenting without persistent ST-segment
elevation’, European Heart Journal, pp. 1–79. doi:
10.1093/eurheartj/ehaa575.

Gabriel-Costa, D. (2018) ‘The pathophysiology of myocardial infarction-induced


heart failure’, Pathophysiology, 25, pp. 277–284. doi:
10.1016/j.pathophys.2018.04.003.

Ikatan Dokter Indonesia (2017) Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer. II, Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. II. Jakarta. doi: 10.1017/CBO9781107415324.004.

Karetnikova, V. et al. (2016) ‘Glucose levels as a prognostic marker in patients


with ST-segment elevation myocardial infarction: A case-control study’,
BMC Endocrine Disorders. BMC Endocrine Disorders, 16(1), pp. 1–6.
doi: 10.1186/s12902-016-0108-8.

Khan, H. A. et al. (2013) Brief Communication Alterations in prothrombin time


and activated partial thromboplastin time in patients with acute

58
myocardial infarction, Int J Clin Exp Med. Available at:
www.ijcem.com/ (Accessed: 13 November 2020).

Lilly, L. S. (2011) Pathophysiology of Heart Disease. 5th edn, Wolters Kluwer


Health. 5th edn. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Medeiros Moreira, D. et al. (2016) ‘Coronary artery disease Correlation between


leukocyte count and infarct size in ST segment elevation myocardial
infarction’, Arch Med Sci Atheroscler Dis, 1, pp. 44–48. doi:
10.5114/amsad.2016.60759.

Pan, W. et al. (2019) ‘Prognostic value of HbA1c for in-hospital and short-term
mortality in patients with acute coronary syndrome: A systematic review
and meta-analysis’, Cardiovascular Diabetology. BioMed Central, 18(1),
pp. 1–12. doi: 10.1186/s12933-019-0970-6.

PERKI (2018) ‘Pedoman Tata Laksana Sindrom Koroner Akut 2018’,


Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, p. 76.

Shah, V. and Jahan, N. (2019) ‘Prognostic Significance of Hyponatremia in


ST-elevation Myocardial Infarction/Heart Failure Patients Introduction
And Background’. doi: 10.7759/cureus.5673.

59

Anda mungkin juga menyukai