CHOLELITHIASIS
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Ilmu Penyakit Dalam Program Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Diajukan Kepada:
dr. H. Suprapto, Sp.PD., FINASIM
Disusun Oleh:
Nabila Shofia Afifah
20214010060
REFLEKSI KASUS
CHOLELITHIASIS
Disusun oleh:
Nabila Shofia Afifah
20214010060
2
KATA PENGANTAR
Penulisan ini terwujud atas bimbingan serta pengarahan dari berbagai pihak.
Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tak
ternilai kepada:
1. dr. H. Suprapto, Sp.PD., FINASIM selaku dokter pembimbing bagian Ilmu
Penyakit Dalam RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo yang telah mengarahkan dan
membimbing dalam menjalani stase Ilmu Penyakit dalam.
2. dr. Hj. Arlyn Sp.PD., M.kes, dr. Widhi Sp.PD, dr. Yosman, Sp.JP, dr. Kenyorini,
Sp.P dokter bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo yang
telah membimbing, memberiksan ilmu dalam menjalani stase Ilmu Penyakit dalam.
3. Seluruh perawat bagian Bangsal Cempaka dan Flamboyan serta bagian Poli
Penyakit dalam RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo
4. Rekan-rekan Dokter Muda atas bantuan dan kerjasamanya
5. Dan seluruh pihak-pihak terkait yang membantu penyelesaian tugas ini yang tidak
dapat disebutkan satu per satu.
Dalam penyusunan tugas ini, penulis menyadari masih terdapat banyak
kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan penyusunan presentasi kasus di masa yang akan datang.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Nabila Shofia A
3
DAFTAR ISI
REFLEKSI KASUS..................................................................................................................1
HALAMAN PENGESAHAN...................................................................................................2
KATA PENGANTAR...............................................................................................................3
DAFTAR ISI..............................................................................................................................4
IDENTIFIKASI KASUS..........................................................................................................5
ANALISIS KASUS.................................................................................................................11
A. Don’t Know...................................................................................................................11
B. Learning Issues.............................................................................................................11
C. Problem Solving...........................................................................................................25
4
IDENTIFIKASI KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Ny. D
Tanggal lahir : 10 Agustus 1958
B. Problem
1. Anamnesis
a. Keluhan Utama
Nyeri Perut
b. Riwayat Penyakit Sekarang
5
2. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : Compos Mentis
b. Kesadaran : E4V5M6
c. Tanda Vital
Saat masuk IGD
1) Tekanan Darah : 134/72 mmHg
2) Suhu : 36,5 oC
3) Nadi : 95 kali/menit
4) Pernapasan : 22 kali/menit
5) SpO2 : 99%
6
d. Status Generalis
1) Kepala
i. Bentuk : Mesocephal
ii. Mata : Konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-
Pupil isokhor, reflex cahaya +/+.
iii. Hidung : Bentuk normal, cairan (-), tidak ada
epistaksis
iv. Telinga : Bentuk normal, discharge (-)
v. Mulut : Bentuk normal, sianosis (+)
vi. Leher : PKGB (-), peningkatan JVP (-)
2) Thorax dan pulmo
i. Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris
ii. Palpasi : Fremitus kiri sama dengan kanan
iii. Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
iv. Auskultasi : SDV (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
3) Cor
i. Inspeksi : Ictus cordis tampak
ii. Palpasi : Ictus cordis teraba, reguler. Daya dorong kuat
iii. Auskultasi : BJ 1 dan BJ 2 irreguler, BJ 3 (+) (terdengar saat
hari ke-3ranap),bising sistolik(+),bising diastolik(+)
4) Abdomen
i. Inspeksi : Supel, datar, tampak pulsasi aorta.
ii. Auskultasi : Bising usus (+), bruit aorta (-)
iii. Palpasi : Supel, nyeri tekan pada hipocondriaca dextra dan regio
epigastric (+),
iv. Perkusi : Timpani
5) Ekstremitas
i. Tangan : Sianosis, akral dingin (-/-), CRT (<2”/<2”),
oedem (-/-)
ii. Kaki : Sianosis, akral dingin (-/-), CRT (<2”/<2”),
oedem (-/-)
7
C. Hypothesis
1. Gastritis
2. Cholesistitis
3. Hepatitis akut
D. More Info
Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Pemeriksaan Nilai Satuan Rujukan Interpretasi
Hemoglobin 13.3 g/dL 11.7-15.5 Normal
Leukosit 9.5 103/ul 3.6-11.0 Normal
Eosinofil 0.10 % 2.00-4.00 L
Basofil 0.40 % 0-1.00 Normal
Netrofil 63.60 % 50.00-70.00 Normal
Limfosit 13.30 % 25.00-40.00 L
Monosit 7.20 % 2.00-8.00 Normal
IG 0.2 % 0 – 10 Normal
Hematokrit 42 % 35-47 Normal
Eritrosit 4.4 106/ul 3.80-5.20 Normal
MCV 95 fL 80-100 Normal
MCH 31 pg 26-34 Normal
MCHC 32 g/dL 32-36 Normal
Trombosit 322 103/ul 150-400 Normal
GDS 117 mg/dL 70-150 Normal
Ureum 25.7 mg/dL <50 Normal
Creatinin 0.82 mg/dL 0.40-0.90 Normal
SGOT 67.6 U/L 0-35 H
SGPT 58.4 U/L 0-35 H
Bilirubin 0.6 mg/dl 0.3-1.0 Normal
Total
Direk 0.2 mg/dl 0-0.4 Normal
Indirek 0.4 mg/dl 0.3- 1.1 Normal
8
b. Pemeriksaan USG
9
Kesan
Hepar : ukuran hepar normal, permukaan licin, system vascular interhepar dalam batas
normal
VF : ukuran normal , dinding tampak sedikit menebal, tampak lesi hiper echoic
interlumen dengan acoustic shadow
Lien : ukuran dan echostructure normal dan tidak Nampak nodul atau masa
Pancreas : ukuran dan echostructure normal dan tidak terdapat nodul atau massa,
ductus pancreaticus tak prominen
Ren :ukuran echostruktur normal, batas korteks dan medulla tegas, tidak tampak
adanya batu
VU : terisi cairan, dinding tampak regular, tak tampak adanya batu maupun massaa
Tidak tampak kelainan sonografi pada organ lain
Multiple cholelitiasis
10
ANALISIS KASUS
A. Don’t Know
1. Bagaimana patofisiologi dari cholelithiasis?
2. Bagaimana cara penegakan diagnosis cholelithiasis?
3. Apa terapi yang tepat untuk cholelithiasis?
4. Apa saja komplikasi dari Cholelithiasis?
5. Mengapa pasien cholelithiasis kadang tidak disertai dengan ikterik?
B. Learning Issues
1. Bagaimana patofisiologi cholelithiasis?
Batu empedu yang ditemukan pada kandung empedu di klasifikasikan berdasarkan
bahan pembentuknya sebagai batu kolesterol, batu pigmen dan batu campuran. Dua
zat utama yang terlibat dalam pembentukan batu empedu adalah kolesterol dan
kalsium bilirubinat. Pada keadaan normal, asam empedu, lesitin dan fosfolipid
membantu dalam menjaga solubilitas empedu. Bila empedu menjadi bersaturasi
tinggi (supersaturated) oleh substansi berpengaruh (kolesterol, kalsium, bilirubin),
akan berkristalisasi. Kristal yang terbentuk dalam kandung empedu, akan bertambah
ukuran, beragregasi, melebur dan membentuk batu. Faktor yang mempengaruhi
pembentukan batu antara lain adalah keadaan statis kandung empedu, pengosongan
kandung empedu yang tidak sempurna dan konsentrasi kalsium dalam kandung
empedu. Faktor motilitas kandung empedu, biliary stasis, dan kandungan empedu
merupakan predisposisi pembentukan batu empedu.
1. Batu Kolesterol
Kolesterol merupakan komponen lemak sederhana yang didalam tubuh digunakan
untuk menyusun membrane sel dan bahan pembentuk hormone steroid serta
penyusun asam empedu. Namun jumlah kolesterol yang berlebihan dapat
menyebabkan aterosklerosis dan meningkatkan risiko terbentuknya batu empedu.
Terdapat tiga hal yang memudahkan terjadinya batu kolesterol dalam kandung
empedu :
a. Supersaturasi Kolesterol
Kolesterol disintesisi di hati dan dieksresikan dalam bentuk garam empedu.
Perubahan komposisi garam empedu akan mempengaruhi risiko terbentuknya
batu kolesterol. Secara umum, komposisi cairan empedu yang berpengaruh
11
terhadap terbentuknya batu bergantung pada keseimbangan garam empedu,
kolesterol dan lesitin. Semakin tinggi kadar kolesterol atau semakin rendah
kandungan garam empedu akan membuat keadaan di dalam kandung empedu
menjadi jenuh akan kolesterol (supersaturasi). Berdasarkan penelitian, wanita
memiliki risiko lebih besar menderita batu kandung empedu dibandingkan
pria. Hal ini disebabkan karena wanita mempunyai kadar estrogen yang lebh
tinggi. Estrogen mempunyai efek menurunkan produksi asam empedu dan
meningkatkan kandungan kolesterol dalam cairan empedu. Wanita yang
mengonsumsi pil kontrasepsi dan wanita post menopause yang minum
hormone estrogen mempunyai risiko 2,5 kali mengalami pembentukan batu
empedu. Kegemukan juga berkorelasi kuat dengan pembentukan batu empedu.
Lima puluh persen pasien yang mengalami kegemukan ditemukan mempunyai
batu empedu saat pembedahan. Penurunan berat badan yang terlalu cepat akan
menyebabkan hati mensintesis kolesterol lebih banyak. Akaibatnya, kolesterol
yang diekskresi juga lebih banyak dan terjadi supersaturasi kolesterol.
b. Pembentukan inti kolesterol
Faktor pembentukan inti kolesterol mempunyai peran lebih besar dalam proses
pembentukan batu dibandingkan faktor supersaturasi. Kolesterol diangkut oleh
misel dan vesikel. Misel merupakan agregat (gumpalan) yang berisi fosfolipid
(terutama lesitin), garam empedu dan kolesterol. Apabila saturasi kolesterol
lebih tinggi maka akan diangkut oleh vesikel. Vesikel dapat digambarkan
sebagai sebuah lingkaran dua lapis. Apabila konsentrasi kolesterol sedemikian
banyak, agar kolesterol tersebut dapat terangkut, vesikel memperbanyak
lapisan lingkarannya sehingga disebut sebagai vesikel berlapis (vesicles
multilamellar). Pada akhirnya di dalam kandung empedu, pengangkut
kolesterol, baik misel dan vesikel bergabung menjadi vesikel multilapis.
Vesikel ini dengan adanya protein musin akan membentuk Kristal kolesterol.
Kristal kolesterol yang terfragmentasi pada akhirnya akan disatukan oleh
protein empedu membentuk batu kolesterol
c. Penurunan Fungsi Kandung Empedu
Kandung empedu berfungsi sebagai penyimpan cairan empedu. Cairan tersebut
akan disemprotkan keluar melalu duktus sistikus-duktus koleodokus ke
duodenum setelah sfingter oddi terbuka, apabila ada makanan yang dikonsumsi
seseorang. Menurunnya daya menyemprot dan kerusakan dindng kandung
12
empedu memudahkan seseorang menderita batu empedu. Daya semperot atau
kontraksi yang melemah akan menyebabkan statis empedu. Statis empedu akan
membuat musin yang di produksi kandung empedu terakumulasi, seiring
dengan lamanya cairan empedu tertampung dalam kandung empedu. Musin
tersebut akan semakin kental dan semakin pekat sehingga semakin
menyulitkan pengosongan cairan empedu. Pada keadaan daya kontraksi
kandung empedu yang sudah menurun, apabila didalam kandung empedu
tersebut sudah terbentuk kristal maka kristal tersebut tidak akan dapat dibuang
ke duodenum. Akibatnya, proses pembentukan batu terjadi semakin cepat.
Beberapa keadaan yang dapat mengganggu daya kontraksi kandung empedu
adalah hipomotilitas empedu, parenteral oral yang menyebabkan aliran
empedu menjadi lambat, kehamilan, cedera medulla spinalis dan penyakit
kencing manis.
2. Batu Pigmen
Terdapat dua jenis batu pigmen yaitu batu pigmen cokelat dan hitam:
a. Batu pigmen cokelat
Batu pigmen coklat terbentuk akibat adanya faktor stasis (aliran lambat) dan
infeksi pada system saluran empedu. Stasis dapat disebabkan adanya disfungsi
sfingter Oddi, striktur, operasi bilier, dan parasit. Umumnya batu pigmen
coklat ini terbentuk di saluran empedu dalam empedu terinfeksi. Bakteri yang
sering menimbulkan infeksi di saluran empedu adalah Escherichia Coli dan
Kleibsella spp. Bakteri ini menghasilan glukoronidase sehingga memudahkan
perubahan bilirubin terkonjugasi menjadi bilirubin tak terkonjugasi. Bilirubin
jenis ini mudah mengendap di saluran empedu.
b. Batu pigmen hitam
Batu pigmen hitam terdiri dari derivat polymerized bilirubin. Patogenesi
terbentuknya batu pigmen hitam ini belum jelas. Umumnya terbentuk dalam
kandung empedu yang steril. Batu pigmen hitam terjadi akibat melimpahnya
bilirubin tak terkonjugasi dalam cairan empedu. Peningkatan ini disebabkan
oleh karena peningkatan sekresi bilirubin akibat hemolisiss proses konjugasi
bilirubin yang tidak sempurna (penyakit sirosis hati) dan proses dekonjugasi.
Bilirubin tak terkonjugasi ini kemudian membentuk kompleks dengan ion
kalsium bebas membentuk kalsium bilirubinat yang mempunyai sifat sangat
tidak larut. Proses asidifikasi yang tidak sempurna menyebabkan peningkatan
13
pH dan keadaan ini merangsang pembentukan garam kalsium. Kalsium
bilirubinat yang terbentuk akan terikat dengan musin dan tertahan di kandung
empedu. Hal ini sebagai awal proses terbentuknya batu
14
a. Batu Empedu Asimtomatik
Setengah sampai dua pertiga penderita kolelitiasis tidak menunjukkan gejala.
Keluhan yang dirasakan adalah dispepsia yang terkadang disertai intoleran
terhadap makanan berlemak, nyeri epigastrium yang tidak jelas, rasa tidak nyaman
pada perut bagian kanan atas. Gejala tersebut bersifat tidak spesifik karena bisa
terjadi pada orang dewasa dengan atau tanpa kolelitiasis.
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan
pada pemeriksaan laboratorium. Pada pasien dengan kolik bilier, tes darah biasanya
akan normal. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Peningkatan
sel darah putih dapat menunjukkan atau meningkatkan kecurigaan pada kolesistitis.
Jika dikaitkan dengan peningkatan bilirubin terkonjugasi, alkali fosfatase, dan
aminotransferase, kolangitis harus dicurigai. Apabila terjadi penekanan duktus
koledukus oleh batu (sindroma mirizzi) maka akan ditemukan kenaikan ringan
15
bilirubin serum. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum
biasanya meningkat sedang setiap kali terjadi serangan akut. Fosfatase alkali
merupakan enzim yang disintesis dalam sel epitel saluran empedu. Pada obstruksi
saluran empedu, aktivitas serum meningkat karena sel duktus meningkatkan sintesis
enzim ini. Kadar yang sangat tinggi dapat menggambarkan obstruksi saluran empedu.
Namun, fosfatasi alkali juga dapat ditemukan di dalam tulang dan dapat meningkat
pada kerusakan tulang, juga meningkat selama kehamilan karena sintesis plasenta.
Biasanya pada kasus koledokolitiasis obstruksi menghasilkan peningkatan SGOT dan
SGPT. Alanin aminotransferase (SGOT) dan Aspartat aminotransferase (SGPT)
dapat mengalami peningkatan (1-3 kali normal atau kadang-kadang cukup tinggi)
bersamaan dengan penyakit saluran empedu, terutama obstruksi saluran empedu.
Kolestasis, suatu obstruksi aliran empedu, ditandai oleh peningkatan bilirubin
dan peningkatan alkali fosfatase. Aminotransferase serum mungkin normal atau
sedikit meningkat. Bila obstruksi saluran empedu lengkap, maka bilirubin serum
memuncak 25 sampai 30 mg per 100 ml. Nilai >30 mg per 100 ml terjadi bersamaan
dengan hemolisis atau disfungsi ginjal atau sel hati. Keganasan ekstrahepatik paling
sering
menyebabkan obstruksi lengkap (bilirubin serum 20 mg per 100 ml), sedangkan
batu empedu biasanya menyebabkan obstruksi sebagian, dengan bilirubin serum
jarang melebihi 10 sampai 15 mg per 100 ml. Pada 60% pasien terjadi peningkatan
serum bilirubin > 3 mg/dL
16
c. Foto Polos Abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena
hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kandung empedu
kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas di fleksura hepatica,
hal ini terjadi pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau
hidrops. Dikarenakan nilai diagnostiknya rendah, teknik ini jarang digunakan terutama
pada penderita dengan kolik bilier.
17
Pasien memiliki kolesistitis akut jika lapisan edema terlihat di dalam dinding
kantong empedu atau antara kantong empedu dan hati. Ketika sebuah batu menghalangi
leher kandung empedu, kandung empedu dapat menjadi sangat besar, tetapi berdinding
tipis. Kandung empedu yang berkontraksi dan berdinding tebal menunjukkan
kolesistitis kronis Pasien obesitas, pasien asites, dan pasien dengan usus buncit
mungkin sulit diperiksa secara memuaskan dengan USG.
e. Kolesistografi Oral
Pemeriksaan kolesistografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung
empedu yakni mengkaji kemempuan kandung empedu untuk melakukan pengisian,
pemekatan, berkontraksi, serta mengosongkan isi. Media kontras yang mengandung
iodium yang diekresikan oleh hati dan dipekatkan dalam kandung empedu diberikan
kepada pasien. Kandung empedu yang normal akan terisi oleh bahan radiopaque ini.
Jika terdapat batu empedu, bayangannya akan nampak pada foto rontgen. Kolesistografi
oral dapat gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kehamilan, kadar bilirubin serum
diatas 2mg/dl, obstruksi pilorus, ada reaksi alergi terhadap kontras, dan hepatitis karena
pada keadaankeadaan tertentu tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Kolesistografi
oral sebagian besar telah digantikan oleh ultrasonografi.
18
f. Biliary Radionuclide Scanning (HIDA Scan)
Skintigrafi bilier memberikan evaluasi noninvasif pada hati, kandung empedu,
saluran empedu, dan duodenum dengan informasi anatomi dan fungsional. Penggunaan
utama skintigrafi bilier adalah dalam diagnosis akut kolesistitis. Turunan berlabel 99m-
Technetium asam dimetil iminodiacetic (HIDA) disuntikkan secara intravena,
dibersihkan oleh sel Kupffer di hati, dan diekskresikan dalam empedu. Penyerapan oleh
hati selama 10 menit, sedangkan pada kandung empedu, saluran empedu, dan
duodenum divisualisasikan dalam waktu 60 menit pada subjek puasa. Pengisian
kandung empedu dan saluran empedu dengan pengisian duodenum yang tertunda atau
tidak ada menunjukkan adanya obstruksi di ampula.
g. CT Scan Abdomen
Aplikasi utama CT scan adalah untuk menentukan cabang saluran bilier
ekstrahepatik serta struktur yang berdekatan. CT scan adalah tes pilihan dalam
mengevaluasi pasien dengan dugaan keganasan kandung empedu, sistem empedu
ekstrahepatik, atau organ terdekat, khususnya kepala pankreas.
19
i. Percutaneous Transhepatic Cholangiography
Pemeriksaan meliputi penyuntikan bahan kontras secara langsung ke dalam
percabangan bilier sehingga semua komponen dalam system bilier dapat dilihat garis
bentuknya dengan jelas. Percutaneous transhepatic cholangiography (PTC) sangat
berguna pada pasien dengan striktur saluran empedu dan tumor namun tidak terlalu
berperan dalam tatalaksana pasien dengan batu empedu non komplikasi.
Tatalaksana Bedah
Tatalaksana bedah berupa kolesistektomi secara umum diindikasikan untuk batu
kandung empedu simtomatik, pankreatitis empedu, dan diskinesia empedu. Kolelitiasis
asimtomatik yang terjadi pada penderita diabetes melitus adalah indikasi untuk
dilakukannya kolesistektomi elektif karena serangan kolesistitis akut dapat
menimbulkan komplikasi berat3.
Teknik operasi kolesistektomi terbuka pada sebagaian besar kasus telah
digantikan oleh teknik kolesistektomi laparoskopik yang diperkenalkan pada akhir
dekade 1980. Kolesistektomi laparoskopik adalah teknik pembedahan invasive minimal
di dalam rongga abdomen dengan menggunakan pneumoperitoneum, sistem
endokamera dan instrumen khusus melalui layar monitor tanpa melihat dan menyentuh
langsung kandung empedunya. Kolesistektomi laparoskopik telah menjadi prosedur
baku di beberapa rumah sakit untuk pengangkatan batu kandung empedu simtomatik.
Kelebihan teknik bedah laparoskopik dibandingkan dengan teknik bedah konvensional
adalah rasa nyeri yang minimal, masa pulih yang cepat, masa rawat yang pendek dan
luka parut yang sangat minimal. Komplikasi cedera saluran empedu dari teknik ini yang
umumnya terjadi pada tahap belajar dapat diatasi pada sebagian besar kasus dengan
pemasangan stent atau kateter nasobilier dengan ERCP.
Adanya batu primer saluran empedu perlu dicurigai apabila pada kandung
empedu tidak ditemukan batu, atau pernah dilakukan kolesistektomi, tetapi di dalam
ductus koleodukus terdapat batu apalagi bila ditemukan di saluran intrahepatik.
Pemeriksaan ERCP dapat membantu menegakkan diagnosis sekaligus dapat untuk
melakukan sfingterotomi sebagai terapi definitif atau terapi sementara. Pada waktu
20
laparotomi untuk kolesistektomi, perlu ditentukan apakah akan dilakukan koledokotomi
dengan tujuan eksplorasi saluran empedu.
Medikamentosa
Terapi non operatif hanya digunakan dalam situasi khusus, seperti ketika
seseorang dengan batu kolesterol memiliki kondisi medis yang serius yang mencegah
operasi. Batu empedu sering kambuh dalam waktu 5 tahun setelah pengobatan.Terdapat
dua jenis terapi nonoperatif yang dapat digunakan untuk melarutkan batu empedu
kolesterol yaitu:
a. Terapi disolusi oral.
Ursodiol(Actigall) dan chenodiol (Chenix) adalah obat yang mengandung asam
empedu yang dapat melarutkan batu empedu. Ursodiol adalah obat yang paling efektif
dalam melarutkan batu kolesterol kecil. Efek samping dari obat ini adalah diare, bersifat
hepatotoksik, dan kontraindikasi jika digunakan oleh ibu hamil. Pengobatan mungkin
diperlukan selama bertahun-tahun untuk melarutkan semua batu.
b. Shock wave lithotripsy 19
Prosedur shock wave lithotripsy dilakukan dengan menggunakan sebuah mesin
yang disebut lithotripter untuk menghancurkan batu empedu. Lithotripter menghasilkan
gelombang kejut yang melewati tubuh seseorang untuk memecahkan batu empedu
21
menjadi potongan kecil. Prosedur ini jarang digunakan dan dapat digunakan bersama
dengan ursodiol.
23
kontraksi kandung empedu yang tidak dapat mengalirkan empedu keluar akibat
adanya sumbatan. Apabila batu empedu terdapat di ductus coledukus maka akan
menyebabkan ikterik. Karena Ikterus biasanya terjadi karena adanya obstruksi
duktus koledokus. Akibat obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam duodenum
maka akan terjadi peningkatan kadar empedu dalam darah. Hal ini sering disertai
dengan gejala gatal gatal yang mencolok pada kulit.
24
C. Problem Solving
1. Decision Making
Keadaan Umum : Compos Mentis (GCS : 15)
Tanda-tanda vital :
a) Tekanan Darah : 134/72 mmHg
b) Suhu : 36,6 oC
c) Nadi :95 kali/menit
d) Pernapasan : 20 kali/menit
e) SpO2 : 95%
2. Diagnosis
Diagnosis utama : multiple cholelithiasis
Diagnosis sekunder :-
3. Terapi
Farmakologi :
Infus Asering 20 tpm
Injeksi pantoprazole 2 x 1 ampul
Per oral :
Lactulose syr 3x15cc
Sucralfat syr 3x10 cc
UDCA 3 x 250 mg
Gitasplus 3 x 1 mg
Meloxicam 1 x 15 mg
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Abraham S, Rivero HG, Erlikh IV, Griffith LF, Kondamudi VK. Surgical and
nonsurgical management of gallstones. Am Fam Physician. 2014;89(10):795- 802
2. Cahyono, B. S. 2014. Tatalaksana Klinis di Bidang Gastro dan Hepatologi. Jakarta :
Sugeng Seto. Djumhana,A. 2010. Jurnal Kedokteran Batu Empedu pada Wanita Lebih
Besar. Bandung : Fakultas kedokteran Unpad-Rumah Sakit Hasan Sadikin.
3. Gleeson FC. Gallstones. In: Hauser SC, Oxenteko AS, Sanchez W, eds. Mayo Clinic
Gastroenterology and Hepatology Board Review, 5th ed. 2015. New York: Oxford
University Press. pp: 383-393
4. Ginting, S. 2019. A Description Characteristic Risk Factor of the Kolelitiasis disease
in the Colombia Asia Medan Hospital. Jurnal penelitian Dharma Agung (J-DA).
Medan.http://repository.maran atha.edu/ 12708/10/1110127 Journal.pdfdiakses pada
tanggal 20 juli 2019
5. Guyton, A. C., dan J. E. Hall. Guyton dan Hall Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi
12. Elsevier, Philadelphia, United States. 2011
6. Jasmin Tanaja; Richard A. Lopez; Jehangir M. Meer. Cholelitiasis [Internet].
StatPearls Publishing LLC. 2020. [dikutip 14 Maret 2020]. Tersedia pada :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470440/
7. Kozier. 2011. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses, dan Praktik.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
8. Kowalak, J. P., & Hughes, A. S. 2010. Buku Saku Tanda dan Gejala : Pemeriksaan
Fisik dan Anamnesis, Penyebab, Tip Klinis, Ed 2. Jakarta. EGC
9. Nurman, A.. Batu Empedu. Dalam: Sulaiman, H. A., H. N. Akbar, L. A. Lesmana, dan
H. M. S. Noer. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati Edisi 1. hal: 161– Jayabadi, Jakarta,
Indonesia. 200
10. Rosh AJ, Manko JA, Santen S. Cholangitis in emergency medicine.
http://emedicine.medscape.com/article/774245-overview. Accessed September 29,
2015
11. sudoyo. 2016. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edis VI. Jakarta Penerbit Ilmu
Penyakit Dalam FKUI.
12. Sherwood, LZ., Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 8. Hal: 595-677. Jakarta:
EGC,. 2014.
13. World J Hepatol. Concept of the pathogenesis and treatment of cholelithiasis
[Internet]. Baishideng Publishing Group Co. 2012. [dikutip 14 Maret 2020 ].Tersedia
pada https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3295849/
26