Anda di halaman 1dari 26

REFLEKSI KASUS

CHOLELITHIASIS

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Ilmu Penyakit Dalam Program Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Diajukan Kepada:
dr. H. Suprapto, Sp.PD., FINASIM

Disusun Oleh:
Nabila Shofia Afifah
20214010060

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD SETJONEGORO WONOSOBO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU
KESEHATAN UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2022
HALAMAN PENGESAHAN

REFLEKSI KASUS

CHOLELITHIASIS

Telah dipresentasikan pada tanggal:


....................................
Bertempat di RSUD Setjonegoro Wonosobo

Disusun oleh:
Nabila Shofia Afifah
20214010060

Disahkan dan disetujui oleh:


Dokter Pembimbing Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo

dr. H. Suprapto, Sp.PD., FINASIM

2
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


Alhamdulillahirrabil‘alamin, segala puji bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Atas
segala karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan refleksi kasus dengan judul
“CHOLELITHIASIS” ini dengan sebaik-baiknya.

Penulisan ini terwujud atas bimbingan serta pengarahan dari berbagai pihak.
Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tak
ternilai kepada:
1. dr. H. Suprapto, Sp.PD., FINASIM selaku dokter pembimbing bagian Ilmu
Penyakit Dalam RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo yang telah mengarahkan dan
membimbing dalam menjalani stase Ilmu Penyakit dalam.
2. dr. Hj. Arlyn Sp.PD., M.kes, dr. Widhi Sp.PD, dr. Yosman, Sp.JP, dr. Kenyorini,
Sp.P dokter bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo yang
telah membimbing, memberiksan ilmu dalam menjalani stase Ilmu Penyakit dalam.
3. Seluruh perawat bagian Bangsal Cempaka dan Flamboyan serta bagian Poli
Penyakit dalam RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo
4. Rekan-rekan Dokter Muda atas bantuan dan kerjasamanya
5. Dan seluruh pihak-pihak terkait yang membantu penyelesaian tugas ini yang tidak
dapat disebutkan satu per satu.
Dalam penyusunan tugas ini, penulis menyadari masih terdapat banyak
kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan penyusunan presentasi kasus di masa yang akan datang.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Wonosobo, desember 2022

Nabila Shofia A

3
DAFTAR ISI

REFLEKSI KASUS..................................................................................................................1

HALAMAN PENGESAHAN...................................................................................................2

KATA PENGANTAR...............................................................................................................3

DAFTAR ISI..............................................................................................................................4

IDENTIFIKASI KASUS..........................................................................................................5

ANALISIS KASUS.................................................................................................................11

A. Don’t Know...................................................................................................................11

B. Learning Issues.............................................................................................................11

C. Problem Solving...........................................................................................................25

DAFTAR PUSTAKA..................................................................Error! Bookmark not defined.

4
IDENTIFIKASI KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Ny. D
Tanggal lahir : 10 Agustus 1958

Jenis kelamin : Perempuan


Alamat : Jln Sontobali 01/02 Ngraho
Status perkawinan : Sudah menikah
Pekerjaan : IRT
Pendidikan : SMA
Agama : Islam
Suku : Jawa
Tanggal Masuk RS : 1 Desember 2022

B. Problem
1. Anamnesis
a. Keluhan Utama
Nyeri Perut
b. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RSUD Setjonegoro dengan keluhan nyeri perut


sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit, mual (+) muntah (+) demam (-)
BAK dan BAB dalam batas normal

c. Riwayat Penyakit Dahulu

Hipertensi (-) Diabetes mellitus (-)

d. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat penyakit keluarga pasien disangkal.

e. Riwayat Personal Sosial

Riwayat merokok (-) minum alkohol (-), NAPZA (-).

5
2. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : Compos Mentis
b. Kesadaran : E4V5M6
c. Tanda Vital
Saat masuk IGD
1) Tekanan Darah : 134/72 mmHg
2) Suhu : 36,5 oC
3) Nadi : 95 kali/menit
4) Pernapasan : 22 kali/menit
5) SpO2 : 99%

Hari Pertama perawatan


1) Tekanan Darah : 130/71 mmHg
2) Suhu : 36,3 oC
3) Nadi : 90 kali/menit
4) Pernapasan : 20 kali/menit
5) SpO2 : 93%

Hari Kedua perawatan


1) Tekanan Darah : 138/83 mmHg
2) Suhu : 36,5 oC
3) Nadi : 93 kali/menit
4) Pernapasan : 22 kali/menit
5) SpO2 : 93%

Hari Ketiga perawatan


1) Tekanan Darah : 128/67 mmHg
2) Suhu : 36,2 oC
3) Nadi : 87 kali/menit
4) Pernapasan : 20 kali/menit
5) SpO2 : 97%

6
d. Status Generalis
1) Kepala
i. Bentuk : Mesocephal
ii. Mata : Konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-
Pupil isokhor, reflex cahaya +/+.
iii. Hidung : Bentuk normal, cairan (-), tidak ada
epistaksis
iv. Telinga : Bentuk normal, discharge (-)
v. Mulut : Bentuk normal, sianosis (+)
vi. Leher : PKGB (-), peningkatan JVP (-)
2) Thorax dan pulmo
i. Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris
ii. Palpasi : Fremitus kiri sama dengan kanan
iii. Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
iv. Auskultasi : SDV (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
3) Cor
i. Inspeksi : Ictus cordis tampak
ii. Palpasi : Ictus cordis teraba, reguler. Daya dorong kuat
iii. Auskultasi : BJ 1 dan BJ 2 irreguler, BJ 3 (+) (terdengar saat
hari ke-3ranap),bising sistolik(+),bising diastolik(+)
4) Abdomen
i. Inspeksi : Supel, datar, tampak pulsasi aorta.
ii. Auskultasi : Bising usus (+), bruit aorta (-)
iii. Palpasi : Supel, nyeri tekan pada hipocondriaca dextra dan regio
epigastric (+),
iv. Perkusi : Timpani
5) Ekstremitas
i. Tangan : Sianosis, akral dingin (-/-), CRT (<2”/<2”),
oedem (-/-)
ii. Kaki : Sianosis, akral dingin (-/-), CRT (<2”/<2”),
oedem (-/-)

7
C. Hypothesis
1. Gastritis
2. Cholesistitis
3. Hepatitis akut

D. More Info
Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Pemeriksaan Nilai Satuan Rujukan Interpretasi
Hemoglobin 13.3 g/dL 11.7-15.5 Normal
Leukosit 9.5 103/ul 3.6-11.0 Normal
Eosinofil 0.10 % 2.00-4.00 L
Basofil 0.40 % 0-1.00 Normal
Netrofil 63.60 % 50.00-70.00 Normal
Limfosit 13.30 % 25.00-40.00 L
Monosit 7.20 % 2.00-8.00 Normal
IG 0.2 % 0 – 10 Normal
Hematokrit 42 % 35-47 Normal
Eritrosit 4.4 106/ul 3.80-5.20 Normal
MCV 95 fL 80-100 Normal
MCH 31 pg 26-34 Normal
MCHC 32 g/dL 32-36 Normal
Trombosit 322 103/ul 150-400 Normal
GDS 117 mg/dL 70-150 Normal
Ureum 25.7 mg/dL <50 Normal
Creatinin 0.82 mg/dL 0.40-0.90 Normal
SGOT 67.6 U/L 0-35 H
SGPT 58.4 U/L 0-35 H
Bilirubin 0.6 mg/dl 0.3-1.0 Normal
Total
Direk 0.2 mg/dl 0-0.4 Normal
Indirek 0.4 mg/dl 0.3- 1.1 Normal

8
b. Pemeriksaan USG

9
Kesan
 Hepar : ukuran hepar normal, permukaan licin, system vascular interhepar dalam batas
normal
 VF : ukuran normal , dinding tampak sedikit menebal, tampak lesi hiper echoic
interlumen dengan acoustic shadow
 Lien : ukuran dan echostructure normal dan tidak Nampak nodul atau masa
 Pancreas : ukuran dan echostructure normal dan tidak terdapat nodul atau massa,
ductus pancreaticus tak prominen
 Ren :ukuran echostruktur normal, batas korteks dan medulla tegas, tidak tampak
adanya batu
 VU : terisi cairan, dinding tampak regular, tak tampak adanya batu maupun massaa
 Tidak tampak kelainan sonografi pada organ lain
 Multiple cholelitiasis

10
ANALISIS KASUS

A. Don’t Know
1. Bagaimana patofisiologi dari cholelithiasis?
2. Bagaimana cara penegakan diagnosis cholelithiasis?
3. Apa terapi yang tepat untuk cholelithiasis?
4. Apa saja komplikasi dari Cholelithiasis?
5. Mengapa pasien cholelithiasis kadang tidak disertai dengan ikterik?

B. Learning Issues
1. Bagaimana patofisiologi cholelithiasis?
Batu empedu yang ditemukan pada kandung empedu di klasifikasikan berdasarkan
bahan pembentuknya sebagai batu kolesterol, batu pigmen dan batu campuran. Dua
zat utama yang terlibat dalam pembentukan batu empedu adalah kolesterol dan
kalsium bilirubinat. Pada keadaan normal, asam empedu, lesitin dan fosfolipid
membantu dalam menjaga solubilitas empedu. Bila empedu menjadi bersaturasi
tinggi (supersaturated) oleh substansi berpengaruh (kolesterol, kalsium, bilirubin),
akan berkristalisasi. Kristal yang terbentuk dalam kandung empedu, akan bertambah
ukuran, beragregasi, melebur dan membentuk batu. Faktor yang mempengaruhi
pembentukan batu antara lain adalah keadaan statis kandung empedu, pengosongan
kandung empedu yang tidak sempurna dan konsentrasi kalsium dalam kandung
empedu. Faktor motilitas kandung empedu, biliary stasis, dan kandungan empedu
merupakan predisposisi pembentukan batu empedu.
1. Batu Kolesterol
Kolesterol merupakan komponen lemak sederhana yang didalam tubuh digunakan
untuk menyusun membrane sel dan bahan pembentuk hormone steroid serta
penyusun asam empedu. Namun jumlah kolesterol yang berlebihan dapat
menyebabkan aterosklerosis dan meningkatkan risiko terbentuknya batu empedu.
Terdapat tiga hal yang memudahkan terjadinya batu kolesterol dalam kandung
empedu :
a. Supersaturasi Kolesterol
Kolesterol disintesisi di hati dan dieksresikan dalam bentuk garam empedu.
Perubahan komposisi garam empedu akan mempengaruhi risiko terbentuknya
batu kolesterol. Secara umum, komposisi cairan empedu yang berpengaruh

11
terhadap terbentuknya batu bergantung pada keseimbangan garam empedu,
kolesterol dan lesitin. Semakin tinggi kadar kolesterol atau semakin rendah
kandungan garam empedu akan membuat keadaan di dalam kandung empedu
menjadi jenuh akan kolesterol (supersaturasi). Berdasarkan penelitian, wanita
memiliki risiko lebih besar menderita batu kandung empedu dibandingkan
pria. Hal ini disebabkan karena wanita mempunyai kadar estrogen yang lebh
tinggi. Estrogen mempunyai efek menurunkan produksi asam empedu dan
meningkatkan kandungan kolesterol dalam cairan empedu. Wanita yang
mengonsumsi pil kontrasepsi dan wanita post menopause yang minum
hormone estrogen mempunyai risiko 2,5 kali mengalami pembentukan batu
empedu. Kegemukan juga berkorelasi kuat dengan pembentukan batu empedu.
Lima puluh persen pasien yang mengalami kegemukan ditemukan mempunyai
batu empedu saat pembedahan. Penurunan berat badan yang terlalu cepat akan
menyebabkan hati mensintesis kolesterol lebih banyak. Akaibatnya, kolesterol
yang diekskresi juga lebih banyak dan terjadi supersaturasi kolesterol.
b. Pembentukan inti kolesterol
Faktor pembentukan inti kolesterol mempunyai peran lebih besar dalam proses
pembentukan batu dibandingkan faktor supersaturasi. Kolesterol diangkut oleh
misel dan vesikel. Misel merupakan agregat (gumpalan) yang berisi fosfolipid
(terutama lesitin), garam empedu dan kolesterol. Apabila saturasi kolesterol
lebih tinggi maka akan diangkut oleh vesikel. Vesikel dapat digambarkan
sebagai sebuah lingkaran dua lapis. Apabila konsentrasi kolesterol sedemikian
banyak, agar kolesterol tersebut dapat terangkut, vesikel memperbanyak
lapisan lingkarannya sehingga disebut sebagai vesikel berlapis (vesicles
multilamellar). Pada akhirnya di dalam kandung empedu, pengangkut
kolesterol, baik misel dan vesikel bergabung menjadi vesikel multilapis.
Vesikel ini dengan adanya protein musin akan membentuk Kristal kolesterol.
Kristal kolesterol yang terfragmentasi pada akhirnya akan disatukan oleh
protein empedu membentuk batu kolesterol
c. Penurunan Fungsi Kandung Empedu
Kandung empedu berfungsi sebagai penyimpan cairan empedu. Cairan tersebut
akan disemprotkan keluar melalu duktus sistikus-duktus koleodokus ke
duodenum setelah sfingter oddi terbuka, apabila ada makanan yang dikonsumsi
seseorang. Menurunnya daya menyemprot dan kerusakan dindng kandung
12
empedu memudahkan seseorang menderita batu empedu. Daya semperot atau
kontraksi yang melemah akan menyebabkan statis empedu. Statis empedu akan
membuat musin yang di produksi kandung empedu terakumulasi, seiring
dengan lamanya cairan empedu tertampung dalam kandung empedu. Musin
tersebut akan semakin kental dan semakin pekat sehingga semakin
menyulitkan pengosongan cairan empedu. Pada keadaan daya kontraksi
kandung empedu yang sudah menurun, apabila didalam kandung empedu
tersebut sudah terbentuk kristal maka kristal tersebut tidak akan dapat dibuang
ke duodenum. Akibatnya, proses pembentukan batu terjadi semakin cepat.
Beberapa keadaan yang dapat mengganggu daya kontraksi kandung empedu
adalah hipomotilitas empedu, parenteral oral yang menyebabkan aliran
empedu menjadi lambat, kehamilan, cedera medulla spinalis dan penyakit
kencing manis.
2. Batu Pigmen
Terdapat dua jenis batu pigmen yaitu batu pigmen cokelat dan hitam:
a. Batu pigmen cokelat
Batu pigmen coklat terbentuk akibat adanya faktor stasis (aliran lambat) dan
infeksi pada system saluran empedu. Stasis dapat disebabkan adanya disfungsi
sfingter Oddi, striktur, operasi bilier, dan parasit. Umumnya batu pigmen
coklat ini terbentuk di saluran empedu dalam empedu terinfeksi. Bakteri yang
sering menimbulkan infeksi di saluran empedu adalah Escherichia Coli dan
Kleibsella spp. Bakteri ini menghasilan glukoronidase sehingga memudahkan
perubahan bilirubin terkonjugasi menjadi bilirubin tak terkonjugasi. Bilirubin
jenis ini mudah mengendap di saluran empedu.
b. Batu pigmen hitam
Batu pigmen hitam terdiri dari derivat polymerized bilirubin. Patogenesi
terbentuknya batu pigmen hitam ini belum jelas. Umumnya terbentuk dalam
kandung empedu yang steril. Batu pigmen hitam terjadi akibat melimpahnya
bilirubin tak terkonjugasi dalam cairan empedu. Peningkatan ini disebabkan
oleh karena peningkatan sekresi bilirubin akibat hemolisiss proses konjugasi
bilirubin yang tidak sempurna (penyakit sirosis hati) dan proses dekonjugasi.
Bilirubin tak terkonjugasi ini kemudian membentuk kompleks dengan ion
kalsium bebas membentuk kalsium bilirubinat yang mempunyai sifat sangat
tidak larut. Proses asidifikasi yang tidak sempurna menyebabkan peningkatan
13
pH dan keadaan ini merangsang pembentukan garam kalsium. Kalsium
bilirubinat yang terbentuk akan terikat dengan musin dan tertahan di kandung
empedu. Hal ini sebagai awal proses terbentuknya batu

2. Bagaimana penegakan diagnosis cholelithiasis ?


 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Penderita dengan batu empedu dibagi menjadi tiga kelompok yaitu penderita
dengan batu asimptomatik, penderita dengan batu empedu simptomatik (nyeri bilier)
dan penderita dengan komplikasi batu empedu (kolesistitis akut, ikterus, kolangitis
dan pankreatitis). Lokasi dan ukuran batu empedu menentukan ada tidaknya keluhan
atau komplikasi pada pasien batu empedu. Sebagai contoh, batu yang terletak didalam
kandung empedu dan tidak menyumbat ruang Hartmann atau duktus cystikus atau
duktus koleodokus tidak akan memberikan keluhan apapun pada pasien. Namun
apabila batu bermigrasi ke dalam duktus sistikus dan menutup rapat duktus sistikus
maka penderita akan mengalami nyeri perut yang hebat (kolik bilier), apabila
sumbatan tersebut tidak segera lepas maka komplikasi kolesistitis akut bisa terjadi.
Demikian halnya apabila batu bermigrasi ke duktus koleodukus dan menyumbat total
saluran tersebut, maka penderita akan datang dengan keluhan mata kuning (karena
kadar bilirubin meningkat) dan bila keadaan ini dibiarkan terus menerus, maka suatu
saat penderita akan mengalami infeksi saluran empedu atau kolangitis. Semakin kecil
ukuran batu, semakin mudah batu untuk bermigrasi ke duktus cystikus atau
koleodokus.

14
a. Batu Empedu Asimtomatik
Setengah sampai dua pertiga penderita kolelitiasis tidak menunjukkan gejala.
Keluhan yang dirasakan adalah dispepsia yang terkadang disertai intoleran
terhadap makanan berlemak, nyeri epigastrium yang tidak jelas, rasa tidak nyaman
pada perut bagian kanan atas. Gejala tersebut bersifat tidak spesifik karena bisa
terjadi pada orang dewasa dengan atau tanpa kolelitiasis.

b. Batu Empedu Simtomatik


Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu akan
mengalami distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akan menderita panas dan
mungkin teraba massa padat pada abdomen. Pasien dapat mengalami kolik bilier
disertai nyeri hebat pada abdomen kuadran kanan atas. Serangan kolik bilier
disebabkan oleh kontraksi kandung empedu yang tidak dapat mengalirkan empedu
keluar akibat adanya sumbatan saluran oleh batu. Rasa nyeri kolik bilier dapat
berlangsung hingga lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam
kemudian. Nyeri timbul secara perlahan tetapi pada 30% kasus timbul dengan tiba-
tiba.
Dalam keadaan distensi, bagian fundus kandung empedu akan menyentuh
dinding abdomen pada daerah kartilago costae IX dan X bagian kanan. Sentuhan
ini akan menimbulkan nyeri tekan yang mencolok pada kuadran kanan atas ketika
pasien melakukan inspirasi dalam, dan menghambat pengembangan rongga dada,
rasa nyeri tersebut disebut sebagai Murphy sign. Batu saluran empedu tidak
menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang hati teraba dan sklera ikterik. Perlu
diketahui bahwa bila kadar bilirubin darah kurang dari 3 mg/dl, gejala ikterik tidak
jelas. Apabila sumbatan saluran empedu bertambah berat, akan timbul ikterus
klinis.

 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan
pada pemeriksaan laboratorium. Pada pasien dengan kolik bilier, tes darah biasanya
akan normal. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Peningkatan
sel darah putih dapat menunjukkan atau meningkatkan kecurigaan pada kolesistitis.
Jika dikaitkan dengan peningkatan bilirubin terkonjugasi, alkali fosfatase, dan
aminotransferase, kolangitis harus dicurigai. Apabila terjadi penekanan duktus
koledukus oleh batu (sindroma mirizzi) maka akan ditemukan kenaikan ringan
15
bilirubin serum. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum
biasanya meningkat sedang setiap kali terjadi serangan akut. Fosfatase alkali
merupakan enzim yang disintesis dalam sel epitel saluran empedu. Pada obstruksi
saluran empedu, aktivitas serum meningkat karena sel duktus meningkatkan sintesis
enzim ini. Kadar yang sangat tinggi dapat menggambarkan obstruksi saluran empedu.
Namun, fosfatasi alkali juga dapat ditemukan di dalam tulang dan dapat meningkat
pada kerusakan tulang, juga meningkat selama kehamilan karena sintesis plasenta.
Biasanya pada kasus koledokolitiasis obstruksi menghasilkan peningkatan SGOT dan
SGPT. Alanin aminotransferase (SGOT) dan Aspartat aminotransferase (SGPT)
dapat mengalami peningkatan (1-3 kali normal atau kadang-kadang cukup tinggi)
bersamaan dengan penyakit saluran empedu, terutama obstruksi saluran empedu.
Kolestasis, suatu obstruksi aliran empedu, ditandai oleh peningkatan bilirubin
dan peningkatan alkali fosfatase. Aminotransferase serum mungkin normal atau
sedikit meningkat. Bila obstruksi saluran empedu lengkap, maka bilirubin serum
memuncak 25 sampai 30 mg per 100 ml. Nilai >30 mg per 100 ml terjadi bersamaan
dengan hemolisis atau disfungsi ginjal atau sel hati. Keganasan ekstrahepatik paling
sering
menyebabkan obstruksi lengkap (bilirubin serum 20 mg per 100 ml), sedangkan
batu empedu biasanya menyebabkan obstruksi sebagian, dengan bilirubin serum
jarang melebihi 10 sampai 15 mg per 100 ml. Pada 60% pasien terjadi peningkatan
serum bilirubin > 3 mg/dL

b. Pemeriksaan Sinar-X Abdomen


Pemeriksaan sinar-X abdomen bisa dilakukan jika ada kecurigaan akan penyakit
kandung empedu. Namun hanya 15-20% batu empedu yang mengalami cukup
kalsifikasi sehingga dapat terlihat melalui pemeriksaan sinar-X.

16
c. Foto Polos Abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena
hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kandung empedu
kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas di fleksura hepatica,
hal ini terjadi pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau
hidrops. Dikarenakan nilai diagnostiknya rendah, teknik ini jarang digunakan terutama
pada penderita dengan kolik bilier.

d. Pemeriksaan Ultrasonography (USG)


Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi
(>90%) untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu
intrahepatik maupun ekstra hepatik. Ketepatan ultrasonografi dalam membedakan
antara kolestatis intra dan ekstrahepatik tergantung pada derajat dan lama obstruksi
saluran empedu. Saluran empedu ekstrahepatik divisualisasikan dengan baik oleh USG,
kecuali untuk bagian retroduodenal.
Selain itu juga dapat melihat dinding kandung empedu yang menebal karena
fibrosis atau oedem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Kelainan
lain dalam parenkim hati atau pankreas (seperti massa atau kista) dapat diperlihatkan
dengan jelas.
Kriteria batu kandung empedu pada USG yaitu dengan acoustic shadowing dari
gambaran opasitas dalam kandung empedu. Batu empedu terlihat padat dan dapat
memantulkan gelombang ultrasonic kembali ke transduser. Karena menghalangi
jalannya gelombang suara ke daerah di belakangnya, maka terbentuklah acoustic
shadow.

17
Pasien memiliki kolesistitis akut jika lapisan edema terlihat di dalam dinding
kantong empedu atau antara kantong empedu dan hati. Ketika sebuah batu menghalangi
leher kandung empedu, kandung empedu dapat menjadi sangat besar, tetapi berdinding
tipis. Kandung empedu yang berkontraksi dan berdinding tebal menunjukkan
kolesistitis kronis Pasien obesitas, pasien asites, dan pasien dengan usus buncit
mungkin sulit diperiksa secara memuaskan dengan USG.

e. Kolesistografi Oral
Pemeriksaan kolesistografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung
empedu yakni mengkaji kemempuan kandung empedu untuk melakukan pengisian,
pemekatan, berkontraksi, serta mengosongkan isi. Media kontras yang mengandung
iodium yang diekresikan oleh hati dan dipekatkan dalam kandung empedu diberikan
kepada pasien. Kandung empedu yang normal akan terisi oleh bahan radiopaque ini.
Jika terdapat batu empedu, bayangannya akan nampak pada foto rontgen. Kolesistografi
oral dapat gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kehamilan, kadar bilirubin serum
diatas 2mg/dl, obstruksi pilorus, ada reaksi alergi terhadap kontras, dan hepatitis karena
pada keadaankeadaan tertentu tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Kolesistografi
oral sebagian besar telah digantikan oleh ultrasonografi.

18
f. Biliary Radionuclide Scanning (HIDA Scan)
Skintigrafi bilier memberikan evaluasi noninvasif pada hati, kandung empedu,
saluran empedu, dan duodenum dengan informasi anatomi dan fungsional. Penggunaan
utama skintigrafi bilier adalah dalam diagnosis akut kolesistitis. Turunan berlabel 99m-
Technetium asam dimetil iminodiacetic (HIDA) disuntikkan secara intravena,
dibersihkan oleh sel Kupffer di hati, dan diekskresikan dalam empedu. Penyerapan oleh
hati selama 10 menit, sedangkan pada kandung empedu, saluran empedu, dan
duodenum divisualisasikan dalam waktu 60 menit pada subjek puasa. Pengisian
kandung empedu dan saluran empedu dengan pengisian duodenum yang tertunda atau
tidak ada menunjukkan adanya obstruksi di ampula.
g. CT Scan Abdomen
Aplikasi utama CT scan adalah untuk menentukan cabang saluran bilier
ekstrahepatik serta struktur yang berdekatan. CT scan adalah tes pilihan dalam
mengevaluasi pasien dengan dugaan keganasan kandung empedu, sistem empedu
ekstrahepatik, atau organ terdekat, khususnya kepala pankreas.

h. Endoscopic Retrograde Cholangiopnacreatography (ERCP)


Pemeriksaan ini meliputi insersi endoskop serat optik yang fleksibel ke dalam
esophagus hingga mencapai duodenum pars desenden. Sebuah kanula dimasukkan ke
dalam duktus koledokus dan duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan
ke dalam duktus tersebut untuk memungkinkan visualisasi serta evaluasi percabangan
bilier. Tes ini jarang dilakukan untuk penyakit batu empedu yang tanpa komplikasi,
tetapi untuk batu di saluran empedu umum, khususnya, ketika dikaitkan dengan
penyakit kuning obstruktif, kolangitis, atau pankreatitis batu empedu

19
i. Percutaneous Transhepatic Cholangiography
Pemeriksaan meliputi penyuntikan bahan kontras secara langsung ke dalam
percabangan bilier sehingga semua komponen dalam system bilier dapat dilihat garis
bentuknya dengan jelas. Percutaneous transhepatic cholangiography (PTC) sangat
berguna pada pasien dengan striktur saluran empedu dan tumor namun tidak terlalu
berperan dalam tatalaksana pasien dengan batu empedu non komplikasi.

3. Apa terapi yang tepat untuk cholelithiasis?


Tatalaksana kolelitiasis terdiri dari tatalaksana nonbedah dan tatalaksana bedah.
Tatalaksana nonbedah terdiri dari lisis batu dan pengeluaran secara endoskopik.

 Tatalaksana Bedah
Tatalaksana bedah berupa kolesistektomi secara umum diindikasikan untuk batu
kandung empedu simtomatik, pankreatitis empedu, dan diskinesia empedu. Kolelitiasis
asimtomatik yang terjadi pada penderita diabetes melitus adalah indikasi untuk
dilakukannya kolesistektomi elektif karena serangan kolesistitis akut dapat
menimbulkan komplikasi berat3.
Teknik operasi kolesistektomi terbuka pada sebagaian besar kasus telah
digantikan oleh teknik kolesistektomi laparoskopik yang diperkenalkan pada akhir
dekade 1980. Kolesistektomi laparoskopik adalah teknik pembedahan invasive minimal
di dalam rongga abdomen dengan menggunakan pneumoperitoneum, sistem
endokamera dan instrumen khusus melalui layar monitor tanpa melihat dan menyentuh
langsung kandung empedunya. Kolesistektomi laparoskopik telah menjadi prosedur
baku di beberapa rumah sakit untuk pengangkatan batu kandung empedu simtomatik.
Kelebihan teknik bedah laparoskopik dibandingkan dengan teknik bedah konvensional
adalah rasa nyeri yang minimal, masa pulih yang cepat, masa rawat yang pendek dan
luka parut yang sangat minimal. Komplikasi cedera saluran empedu dari teknik ini yang
umumnya terjadi pada tahap belajar dapat diatasi pada sebagian besar kasus dengan
pemasangan stent atau kateter nasobilier dengan ERCP.
Adanya batu primer saluran empedu perlu dicurigai apabila pada kandung
empedu tidak ditemukan batu, atau pernah dilakukan kolesistektomi, tetapi di dalam
ductus koleodukus terdapat batu apalagi bila ditemukan di saluran intrahepatik.
Pemeriksaan ERCP dapat membantu menegakkan diagnosis sekaligus dapat untuk
melakukan sfingterotomi sebagai terapi definitif atau terapi sementara. Pada waktu

20
laparotomi untuk kolesistektomi, perlu ditentukan apakah akan dilakukan koledokotomi
dengan tujuan eksplorasi saluran empedu.

 Medikamentosa
Terapi non operatif hanya digunakan dalam situasi khusus, seperti ketika
seseorang dengan batu kolesterol memiliki kondisi medis yang serius yang mencegah
operasi. Batu empedu sering kambuh dalam waktu 5 tahun setelah pengobatan.Terdapat
dua jenis terapi nonoperatif yang dapat digunakan untuk melarutkan batu empedu
kolesterol yaitu:
a. Terapi disolusi oral.
Ursodiol(Actigall) dan chenodiol (Chenix) adalah obat yang mengandung asam
empedu yang dapat melarutkan batu empedu. Ursodiol adalah obat yang paling efektif
dalam melarutkan batu kolesterol kecil. Efek samping dari obat ini adalah diare, bersifat
hepatotoksik, dan kontraindikasi jika digunakan oleh ibu hamil. Pengobatan mungkin
diperlukan selama bertahun-tahun untuk melarutkan semua batu.
b. Shock wave lithotripsy 19
Prosedur shock wave lithotripsy dilakukan dengan menggunakan sebuah mesin
yang disebut lithotripter untuk menghancurkan batu empedu. Lithotripter menghasilkan
gelombang kejut yang melewati tubuh seseorang untuk memecahkan batu empedu

21
menjadi potongan kecil. Prosedur ini jarang digunakan dan dapat digunakan bersama
dengan ursodiol.

4. Apa komplikasi cholelithiasis?


1) Kolesistitis
Distensi kandung empedu, peradangan, dan edema dinding kandung empedu terjadi
karena sumbatan oleh batu empedu pada duktus cystikus. Kolesistitis akut adalah
proses inflamasi yang dimediasi oleh toksin lisolecithin mukosa— produk lesitin—
serta garam empedu dan faktor pengaktif trombosit.Peningkatan sintesis
prostaglandin memperkuat respons inflamasi. Kandung empedu yang membesar
sehingga dapat diraba. Pada pemeriksaan USG kolesistisis akut ialah sering
ditemukan batu, penebalan dinding kandung empedu, hidrops dan kadang-kdang
terlihat eko cairan di sekelilingnya yang menandakan adanya perikolesisitisis atau
perforasi.
2) Koledokolitiasis
Koledokolitiasis ditemukan pada 6-12% pasien dengan batu di kandung empedu.
Insiden meningkat dengan bertambahnya usia. Sekitar 20–25 persen pasien yang
berusia lebih dari 60 tahun dengan batu empedu simptomatik memiliki batu di
saluran empedu dan di kandung empedu. Sebagian besar batu saluran empedu di
negara-negara Barat terbentuk akibat migrasi batu ke saluran kistik lalu ke saluran
empedu dari dalam kantong empedu. Jenis ini diklasifikasikan sebagai batu saluran
empedu sekunder, berbeda dengan batu primer yang terbentuk di saluran empedu.
Batu sekunder biasanya adalah batu kolesterol, sedangkan batu primer biasanya dari
jenis pigmen coklat. Pada ultrasonografi didapatkan saluran empedu akan berdilatasi
(diameter> 8 mm), gambaran ikterus, dan nyeri empedu memungkinkan adanya batu
di saluran empedu. Magnetic resonance cholangiography (MRC) memberikan detail
anatomi yang sangat baik dan memiliki sensitivitas dan spesifisitas masing-masin
95% dan 89%, dalam mendeteksi koledokolitiasis dengan diameter> 5 mm.
Kolangiografi endoskopi (ERCP) menjadi gold standart untuk mendiagnosis batu
saluran empedu.
3) Kolangitis
Kolangitis akut adalah infeksi bakteri asenden yang berhubungan dengan obstruksi
saluran empedu. Rintangan mekanis terhadap aliran empedu akibat sumbatan
empedu menjadi fasilitas bagi kontaminasi bakteri. Kolangitis dapat muncul mulai
dari penyakit ringan, intermiten, dan hingga septikemia fulminan yang berpotensi
22
mengancam jiwa. Presentasi yang paling umum adalah demam, nyeri epigastrium
atau kuadran kanan atas, dan icterus atau biasa disebut sebagai triad Charcot.
Apabila tejadi kolangiolitis, biasanya berupa kolangitis piogenik intrahepatic, akan
timbul lima gejala pentade “Reynold”, berupa tiga gejala trias Charcoat, ditambah
syok, kekacauan mentau atau penurunan kesadaran sampai koma. Leukositosis,
hiperbilirubinemia, dan peningkatan alkali fosfatase dan transaminase mendukung
diagnosis klinis kolangitis. Tes diagnostik definitif adalah ERC dan PTC jika ERC
tidak tersedia. Perawatan awal pasien dengan kolangitis termasuk antibiotik IV dan
resusitasi cairan.
4) Pankreatitis bilier
Obstruksi saluran pankreas oleh batu yang terimpaksi atau obstruksi sementara oleh
batu yang melewati ampula dapat menyebabkan pankreatitis.
5) Keganasan
Karsinoma kandung empedu adalah keganasan terbanyak kelima di
saluranpencernaan dan memiliki prognosis yang buruk. Insiden kanker kandung
empedu pada cholelithiasis tidak cukup tinggi untuk membenarkan kolesistektomi
profilaksis pada kolelitiasis asimtomatik. Sebagian besar kanker kandung empedu
ditemukan secara tidak sengaja pada saat kolesistektomi untuk batu empedu.

5. Mengapa pasien cholelithiasis kadang tidak disertai dengan ikterik?


Cholelithiasis sendiri memiliki dua jenis gejala yaitu gejala batu empedu asimtomatik
dan batu empedu sitomatik.

a. Batu Empedu Asimtomatik


Setengah sampai dua pertiga penderita kolelitiasis tidak menunjukkan gejala.
Keluhan yang dirasakan adalah dispepsia yang terkadang disertai intoleran
terhadap makanan berlemak, nyeri epigastrium yang tidak jelas, rasa tidak nyaman
pada perut bagian kanan atas. Gejala tersebut bersifat tidak spesifik karena bisa
terjadi pada orang dewasa dengan atau tanpa kolelitiasis.

b. Batu Empedu Simtomatik


Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu akan mengalami
distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akan menderita panas dan mungkin teraba
massa padat pada abdomen. Pasien dapat mengalami kolik bilier disertai nyeri
hebat pada abdomen kuadran kanan atas. Serangan kolik bilier disebabkan oleh

23
kontraksi kandung empedu yang tidak dapat mengalirkan empedu keluar akibat
adanya sumbatan. Apabila batu empedu terdapat di ductus coledukus maka akan
menyebabkan ikterik. Karena Ikterus biasanya terjadi karena adanya obstruksi
duktus koledokus. Akibat obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam duodenum
maka akan terjadi peningkatan kadar empedu dalam darah. Hal ini sering disertai
dengan gejala gatal gatal yang mencolok pada kulit.

24
C. Problem Solving
1. Decision Making
Keadaan Umum : Compos Mentis (GCS : 15)

Tanda-tanda vital :
a) Tekanan Darah : 134/72 mmHg
b) Suhu : 36,6 oC
c) Nadi :95 kali/menit
d) Pernapasan : 20 kali/menit
e) SpO2 : 95%

2. Diagnosis
Diagnosis utama : multiple cholelithiasis

Diagnosis sekunder :-

Diagnosis komplikasi : cholesistitis

3. Terapi
Farmakologi :
Infus Asering 20 tpm
Injeksi pantoprazole 2 x 1 ampul
Per oral :
Lactulose syr 3x15cc
Sucralfat syr 3x10 cc
UDCA 3 x 250 mg
Gitasplus 3 x 1 mg
Meloxicam 1 x 15 mg

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Abraham S, Rivero HG, Erlikh IV, Griffith LF, Kondamudi VK. Surgical and
nonsurgical management of gallstones. Am Fam Physician. 2014;89(10):795- 802
2. Cahyono, B. S. 2014. Tatalaksana Klinis di Bidang Gastro dan Hepatologi. Jakarta :
Sugeng Seto. Djumhana,A. 2010. Jurnal Kedokteran Batu Empedu pada Wanita Lebih
Besar. Bandung : Fakultas kedokteran Unpad-Rumah Sakit Hasan Sadikin.
3. Gleeson FC. Gallstones. In: Hauser SC, Oxenteko AS, Sanchez W, eds. Mayo Clinic
Gastroenterology and Hepatology Board Review, 5th ed. 2015. New York: Oxford
University Press. pp: 383-393
4. Ginting, S. 2019. A Description Characteristic Risk Factor of the Kolelitiasis disease
in the Colombia Asia Medan Hospital. Jurnal penelitian Dharma Agung (J-DA).
Medan.http://repository.maran atha.edu/ 12708/10/1110127 Journal.pdfdiakses pada
tanggal 20 juli 2019
5. Guyton, A. C., dan J. E. Hall. Guyton dan Hall Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi
12. Elsevier, Philadelphia, United States. 2011
6. Jasmin Tanaja; Richard A. Lopez; Jehangir M. Meer. Cholelitiasis [Internet].
StatPearls Publishing LLC. 2020. [dikutip 14 Maret 2020]. Tersedia pada :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470440/
7. Kozier. 2011. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses, dan Praktik.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
8. Kowalak, J. P., & Hughes, A. S. 2010. Buku Saku Tanda dan Gejala : Pemeriksaan
Fisik dan Anamnesis, Penyebab, Tip Klinis, Ed 2. Jakarta. EGC
9. Nurman, A.. Batu Empedu. Dalam: Sulaiman, H. A., H. N. Akbar, L. A. Lesmana, dan
H. M. S. Noer. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati Edisi 1. hal: 161– Jayabadi, Jakarta,
Indonesia. 200
10. Rosh AJ, Manko JA, Santen S. Cholangitis in emergency medicine.
http://emedicine.medscape.com/article/774245-overview. Accessed September 29,
2015
11. sudoyo. 2016. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edis VI. Jakarta Penerbit Ilmu
Penyakit Dalam FKUI.
12. Sherwood, LZ., Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 8. Hal: 595-677. Jakarta:
EGC,. 2014.
13. World J Hepatol. Concept of the pathogenesis and treatment of cholelithiasis
[Internet]. Baishideng Publishing Group Co. 2012. [dikutip 14 Maret 2020 ].Tersedia
pada https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3295849/

26

Anda mungkin juga menyukai