Anda di halaman 1dari 41

Laporan Kasus

(JUDUL)

Disusun oleh:

Astri Sukma Mentari(21360056)

Ghina Fahira Putri(213601)45

Richard Eldridge Langingi(21360192)

Pembimbing:

dr. Toumi Shiddiqi, Sp.PD.,M.Kes

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MALAHAYATI

2022
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

(JUDUL)

Oleh:

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik

di bagian ilmu penyakit dalam Rumah Sakit Muhammadiyah Metro.

Metro , November 2022

dr. Toumi Shiddiqi, Sp.PD.,M.Kes

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas berkat,

rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul

”(JUDUL)”.Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat Kepaniteraan Klinik di

Bagian/Departemen bagian ilmu penyakit dalam Rumah Sakit Muhammadiyah Metro.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Toumi Shiddiqi, Sp.PD.,M.Kes selaku

pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan penyusunan laporan

kasus ini.Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan kasus ini.

Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis harapkan. Semoga

laporan ini dapat memberi manfaat bagi pembaca.

Metro , November 2022

Tim Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................................................i

HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................................ii

KATA PENGANTAR............................................................................................................iii

DAFTAR ISI...........................................................................................................................iv

BAB I STATUS PASIEN......................................................................................................1

BAB II TINNJAUAN PUSTAKA...........................................................................................9

BAB III KESIMPULAN........................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. S

Umur : 59 tahun

Alamat : Rejomulyo, Metro Selatan

Bangsa : Indonesia

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Status : Menikah

MRS : 4 November 2022

No. RM : 84649

II. ANAMNESIS

Keluhan Utama : Demam naik turun sejak 2 hari SMRS.

Keluhan Tambahan : Lemas,terdapat bintik merah dikedua kaki,nyeri ulu hati, batuk

berdahak sudah 1 minggu yang lalu,penurunan nafsu makan dan mual.

Riwayat penyakit sekarang

Seorang pasien laki-laki berusia 59 tahun datang ke RSMM diantar oleh keluarganya pada

tanggal 4 November 2022 dengan keluhan demam naik turun sejak 2 hari SMRS.

Pada hari rabu tanggal 2 November 2022 malam pasien sempat berobat ke dokter dan

diberikan obat seperti (Gliben,Valisanbe 2x1/2tab,Lameson 2x1, sporetik 1x1, pumpitor

1x1,bisoprolol 1x1/2tab) tetapi pasien hingga hari kamis siang merasakan keluhan tidak juga

membaik sehingga memutuskan untuk dibawa ke RSMM pada tanggal 4 November 2022.

1
Pasien juga mengatakan keluhan disertai Lemas,terdapat bintik merah dikedua kaki,nyeri ulu

hati, batuk berdahak sudah 1 minggu yang lalu,penurunan nafsu makan dan mual.

Riwayat penyakit dahulu

Riwayat DM : (+)

Riwayat HT : Disangkal

Riwayat penyakit jantung : Disangkal

Riwayat alergi obat/makanan: Disangkal

Riwayat Tumor : Disangkal

Riwayat Trauma : Disangkal

Riwayat Operasi : Disangkal

a. Riwayat penyakit keluarga

Riwayat penyakit jantung : Disangkal

Riwayat DM : Disangkal

Riwayat Hipertensi : (+)

Riwayat Alergi : Disangkal

b. Riwayat Kebiasaan :

Merokok (+)

Konsumsi alkohol (-)

Narkoba (-)

III.PEMERIKSAAN FISIK

 Keadaan umum : Tampak sakit berat

 Kesadaran : kesadaran composmentis E4M6V5

2
 Vital sign:

- TD : 120/72 mmHg

- Nadi : 72 x/ menit regular

- RR : 20 x/ menit

- Suhu : 36 oC

- SPO2 : 98%

 Status gizi :

- BB : 70 kg

- TB : 165 cm

 Pemeriksaan fisik :

- Kepala : CA -/-, SI -/-

- Mulut : Bibir tidak pecah-pecah dan kering, sianosis (-), lidah kotor (-)

- Thoraks :

 Pulmo

I: Simetris dalam keadaan statis dan dinamis

Statis : simetris kanan sama dengan kiri

Dinamis : simetris kanan sama dengan kiri

P: Fremitus taktil dan fremitus vokal simetris kanan dan kiri sama

P: batas paru-hepar normal, Sonor (+/+)

A : Vesikuler (+/+), Ronki (+/+)

 Cor:

I: ictus cordis tidak terlihat, venektasi (-)

P: ictus cordis teraba, thrill (-), heaving(-), lift(-)

P: Batas kanan jantung: ICS V linea parasternal dextra

Batas kiri jantung: ICS V linea midclavicula sinistra

3
A: Bunyi jantung I-II regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen :

Ins :Simetris, jejas (-), distensi (-), darm contour (-), darm steifung (-)

Aus :BU (+)

Per : Hipertimpani pada seluruh lapang abdomen, Shifting dullness (-),

area trobe timpani, Nyeri ketok CVA (-/-)

Pal : Nyeri tekan(-), nyeri tekan flank (-), hepatosphlenomegali (-)

Status lokalisasi :

Hepar

I:Ictus Cordis Tidak Tampak

P: Ictus cordis teraba di ICS V midclavicularis dextra

P: Dalam Batas Normal

A:Bruit (-)

- Ekstremitas

Superior Inferior

Edema -/- +/+

Akral hangat +/+ +/+

CTR < 2 detik

- Defisit Neurologis :-

4
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium

Tabel hasil laboratorium 4 November 2022


Hemoglobin 16,3 13-18 g/dl

Leukosit 4,62 4.500-11.000sel/ul


Trombosit 91.000 150.000-
450.000sel/ul
Eritrosit 5,51 4,5-5,5juta sel/ul
Hematokrit 48,3 40-58%
Jenis leukosit basofil 0 <3%
Jenis leukosit Eusinofil 0 <3%
Jenis leukosit neutrofil staff 0 <6%
Jenis leukosit neutrofil 67 50-70%
segmen
Jenis leukosit limfosit 24 20-40%
Jenis leukosit monosit 9 <8%
MCV 87,7 78-100 FL
MCH 29,7 25-35 pg
MCHC 33,8 31-37 g/dl
RDW-CV 14,0 %
RDW-SD 47,5 Fl
SGOT 34 <40 U/L
SGPT 30 <55 U/L
Ureum 65 20-40mg/dl
Kreatinin 1,2 0,5-1,5mg/dl
Gula Darah Sewaktu (GDS) 350 <200mg/dl

5
Tabel hasil laboratorium 6 November 2022

Hemoglobin 19,7 13-18 g/dl

Leukosit 4,2 4.500-11.000sel/ul


Trombosit 47.000 150.000-
450.000sel/ul
Eritrosit 6,85 4,5-5,5juta sel/ul
Hematokrit 59 40-58%
Jenis leukosit basofil 0 <3%
Jenis leukosit Eusinofil 0 <3%
Jenis leukosit neutrofil staff 0 <6%
Jenis leukosit neutrofil segmen 44 50-70%
Jenis leukosit limfosit 25 20-40%
Jenis leukosit monosit 31 <8%
MCV 86,1 78-100 FL
MCH 28,7 25-35 pg
MCHC 33,4 31-37 g/dl
RDW-CV 14,2 %
RDW-SD 44,6 Fl
Asam Urat 8,0 3-7mg/dl
TRIGLISERIDA 135 <150mg/dl
LDL 138 <150mg/dl
GDN 234 70-110mg/dl

6
Tabel hasil laboratorium 7 November 2022
Hemoglobin 17,8 13-18 g/dl

Leukosit 6,2 4.500-11.000sel/ul


Trombosit 36.000 150.000-
450.000sel/ul
Eritrosit 6,31 4,5-5,5juta sel/ul
Hematokrit 54 40-58%
Jenis leukosit basofil 0 <3%
Jenis leukosit Eusinofil 0 <3%
Jenis leukosit neutrofil staff 0 <6%
Jenis leukosit neutrofil segmen 58 50-70%
Jenis leukosit limfosit 23 20-40%
Jenis leukosit monosit 19 <8%
MCV 86,2 78-100 FL
MCH 28,2 25-35 pg
MCHC 32,7 31-37 g/dl
RDW-CV 14,3 %
RDW-SD 43,8 Fl
GDN 269 70-110mg/dl

7
Tabel hasil laboratorium 8 November 2022

Hemoglobin 16,7 13-18 g/dl

Leukosit 6,6 4.500-11.000sel/ul


Trombosit 32.000 150.000-
450.000sel/ul
Eritrosit 5,83 4,5-5,5juta sel/ul
Hematokrit 49 40-58%
Jenis leukosit basofil 0 <3%
Jenis leukosit Eusinofil 0 <3%
Jenis leukosit neutrofil staff 0 <6%
Jenis leukosit neutrofil segmen 65 50-70%
Jenis leukosit limfosit 24 20-40%
Jenis leukosit monosit 11 <8%
MCV 85,7 78-100 FL
MCH 28,6 25-35 pg
MCHC 33,4 31-37 g/dl
RDW-CV 14,3 %
RDW-SD 43,0 Fl
GDN 211 70-110mg/dl

8
Tabel hasil laboratorium 9 November 2022

Hemoglobin 15,5 13-18 g/dl

Leukosit 5 4.500-11.000sel/ul
Trombosit 33.000 150.000-
450.000sel/ul
Eritrosit 5,39 4,5-5,5juta sel/ul
Hematokrit 46 40-58%
Jenis leukosit basofil 0 <3%
Jenis leukosit Eusinofil 0 <3%
Jenis leukosit neutrofil staff 0 <6%
Jenis leukosit neutrofil segmen 71 50-70%
Jenis leukosit limfosit 19 20-40%
Jenis leukosit monosit 10 <8%
MCV 86,0 78-100 FL
MCH 28,7 25-35 pg
MCHC 33,4 31-37 g/dl
RDW-CV 14,2 %
RDW-SD 44,6 Fl
GDN 114 70-110mg/dl

9
b. Foto thorak

Kesan :

Cor tampak membesar

Sinuses dan diafragma normal

Pulmo : Hili kasar, corakan bronchovaskuler bertambah.

Cardiomegali tanpa bendungan paru

Pulmo normal

V. DIAGNOSIS

Diagnosis awal

- Hipoglikemia berat

- Ca hepar

-Hipertensi grade II

VI. TATA LAKSANA

VII. IVFD NACL 0.9% 20tpm

VIII. Novorapid 3x12jam

10
IX. Inj. Lapibal 2x1amp

X. Inj. Omeprazole 1x40mg

XI. Inj. Ondancenteone 1x4mg

XII. Inj. Dexamethason 3x1amp

XIII. Curcuma 2x1

XIV. FOLLOW UP

Tanggal S O A P
/11/2022 Keadaan umum : -
UGD tampak sakit
R inap hari ke 1 sedang
Kesadaran :
Compos mentis
TD: 169/80mmHg
HR: 78 x/mnt
RR: 20x/mnt
T: 36,5 oC
SPO2: 97%
GDS IGD 20

/11/2022 Keadaan umum : -


tampak sakit
sedang
Kesadaran :
Hari ke 2 Compos mentis
TD: 142/82mmHg
HR: 91 x/mnt
RR: 20 x/mnt
T: 36,3 oC
SPO2: 97%

/11/2022 Keadaan umum : -


tampak sakit
sedang
Kesadaran :
Hari ke 3 Compos mentis
TD: 138/75mmHg
HR: 108x/mnt
RR: 26 x/mnt
T: 36,5 oC
SPO2: 96%

11
/11/2022 Keadaan umum :
tampak sakit
sedang
Hari ke 4-7 Kesadaran :
Compos mentis
TD: 128/55mmHg
HR: 102 x/mnt
RR: 28 x/mnt
T: 36,3 oC
SPO2: 98%
pukul 06.40
GDS 138

12
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Definisi

Dengue Hemorrhagic fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
virus dengue tipe 1- 4, dengan manifestasi klinis berupa demam yang terjadi secara
mendadak 2-7 hari. Dapat disertai gejala perdarahan dengan atau tanpa adanya syok,
dengan hasil pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan adanya trombositopenia
(trombosit kurang dari 100.000) dan peningkatan hematokrit 20% atau lebih dari nilai
normal. Infeksi virus dengue dapat disertai dengan terjadinya kebocoran plasma
(Suhendro et al., 2007)

1.2. Epidemiologi

Penyakit Demam Berdarah Dengue merupakan salah satu penyakit menular yang
berbahaya dapat menimbulkan kematian dalam waktu singkat dan sering menimbulkan
wabah. Penyakit ini pertama kali ditemukan di Manila Filipina pada tahun 1953 dan
selanjutnya menyebar ke berbagai negara. Di Indonesia penyakit ini pertama kali
dilaporkan pada tahun 1968 di Surabaya dengan jumlah penderita 58 orang dengan
kematian 24 orang (41,3%), akan tetapi konfirmasi virologis baru didapat pada tahun
1972. Selanjutnya sejak saat itu penyakit Demam Berdarah Dengue cenderung menyebar
ke seluruh tanah air Indonesia, sehingga sampai tahun 1980 seluruh propinsi di Indonesia
kecuali Timor-Timur telah terjangkit penyakit, dan mencapai puncaknya pada tahun
1988 dengan insidens rate mencapai 13,45 % per 100.000 penduduk. Keadaan ini erat
kaitannya dengan meningkatnya mobilitas penduduk dan sejalan dengan semakin
lancarnya hubungan transpotasi (Sukohar, 2014).

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), diperkirakan 50 sampai 100 juta


infeksi demam berdarah terjadi setiap tahun. Dari kasus ini 500.000 kasus DHF
mengakibatkan 22.000 kematian, kebanyakan terjadi pada anak-anak. Berdasarkan data
resmi yang disampaikan ke WHO, kasus demam berdarah di seluruh Amerika, Asia
Tenggara dan Pasifik Barat melampaui 1,2 juta pada tahun 2008 dan lebih dari 3 juta
pada tahun 2013. Pada tahun 2013, 2,35 juta kasus demam berdarah dilaporkan terjadi di

13
Amerika saja, dimana 37, 687 kasus merupakan DHF berat. Setelah epidemi DHF yang
pertama diketahui pada tahun 1953 sampai 1954 di Filipina, penyakit ini terus menyebar
ke seluruh penjuru dunia (Sanyaolo et al., 2017).

Indonesia pada tahun 2010 menempati urutan tertinggi kasus DHF di


AsiaTenggara, dengan jumlah kasus sebanyak 156.086 dan jumlah kematian sebanyak
1.358 orang. Data menunjukkan Indonesia endemis DHF sejak tahun 1968 sampai
dengan saat ini. Indonesia terjadi peningkatan jumlah kasus dari tahun 1968 sampai
tahun 2015, tercatat terdapat 126.675 penderita DHF di 34 provinsi di Indonesia, dan
1.229 orang diantaranya meninggal dunia (Kemenkes, 2014).

1.3. Etiologi

Penyebab penyakit adalah virus Dengue. Sampai saat ini dikenal ada 4 serotype
virus yaitu :

1. Dengue 1 (DEN 1) diisolasi oleh Sabin pada tahun1944.

2. Dengue 2 (DEN 2) diisolasi oleh Sabin pada tahun 1944.

3. Dengue 3 (DEN 3) diisolasi oleh Sather

4. Dengue 4 (DEN 4) diisolasi oleh Sather.

Virus tersebut termasuk dalam group B Arthropod borne viruses (arboviruses). Keempat
type virus tersebut telah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia dan yang terbanyak
adalah type 2 dan type 3. Penelitian di Indonesia menunjukkan Dengue type 3
merupakan serotype virus yang dominan menyebabkan kasus yang berat (Sukohar,
2014).

1.4. Patofisiologi

Walaupun demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) disebabkan
oleh virus yang sama, tapi mekanisme patofisiologisnya yang berbeda yang
menyebabkan perbedaan klinis. Perbedaan yang utama adalah hemokonsentrasi yang
khas pada DBD yang bisa mengarah pada kondisi renjatan. Renjatan itu disebabkan
karena kebocoran plasma yang diduga karena proses imunologi. Pada demam dengue hal
ini tidak terjadi. Manifestasi klinis demam dengue timbul akibat reaksi tubuh terhadap
masuknya virus. Virus akan berkembang di dalam peredaran darah dan akan ditangkap

14
oleh makrofag. Segera terjadi viremia selama 2 hari sebelum timbul gejala dan berakhir
setelah lima hari gejala panas mulai. Makrofag akan segera bereaksi dengan menangkap
virus dan memprosesnya sehingga makrofag menjadi APC (Antigen Presenting Cell).
Antigen yang menempel di makrofag ini akan mengaktifasi sel T-Helper dan menarik
makrofag lain untuk memfagosit lebih banyak virus. T-helper akan mengaktifasi sel T-
sitotoksik yang akan melisis makrofag yang sudah memfagosit virus. Juga mengaktifkan
sel B yang akan melepas antibodi. Ada 3 jenis antibodi yang telah dikenali yaitu antibodi
netralisasi, antibodi hemagglutinasi, antibodi fiksasi komplemen (WHO, 2009).

Proses diatas menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang merangsang


terjadinya gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise dan gejala lainnya.
Dapat terjadi manifetasi perdarahan karena terjadi agregasi trombosit yang menyebabkan
trombositopenia, tetapi trombositopenia ini bersifat ringan. Imunopatogenesis DBD dan
DSS masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori yang digunakan untuk
menjelaskan perubahan patogenesis pada DBD dan DSS yaitu teori virulensi dan
hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection theory) (WHO, 2009).

Teori virulensi dapat dihipotesiskan sebagai berikut : Virus dengue seperti juga
virus binatang yang lain, dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu
virus mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk.
Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan
peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi, dan mempunyai potensi
untuk menimbulkan wabah. Renjatan yang dapat menyebabkan kematian terjadi sebagai
akibat serotipe virus yang paling virulen (Hadinegoro dan Rezeki, 2011).

Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi dan patogenesis demam berdarah


dengue hingga kini belum diketahui secara pasti, tetapi sebagian besar menganut "the
secondary heterologous infection hypothesis" yang mengatakan bahwa DBD dapat
terjadi apabila seseorang setelah infeksi dengue pertama mendapat infeksi berulang
dengan tipe virus dengue yang berlainan dalam jangka waktu yang tertentu yang
diperkirakan antara 6 bulan sampai 5 tahun. Patogenesis terjadinya renjatan berdasarkan
hipotese infeksi sekunder dicoba dirumuskan oleh Suvatte dan dapat dilihat pada
gambar.

15
Gambar 1. Patogenesisi terjadinya syok pada DBD

Akibat infeksi kedua oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang
penderita dengan kadar antibodi anti dengue yang rendah, respons antibodi anamnestik
yang akan terjardi dalam beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi
limfosit imun dengan menghasilkan antibodi IgG anti dengue titer tinggi. Replikasi virus
dengue terjadi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah yang banyak. Hal-hal ini
semuanya akan mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen antibodi yang
selanjutnya akan mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat
antivasi C3 dan C5 menyebabkan meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah
dan merembesnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Pada penderita
renjatan berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari pada 30% dan
berlangsung selama 24-48 jam. Renjatan yang tidak ditanggulangi secara adekuat akan
menimbulkan anoksia jaringan, asidosis metabolik dan kematian.

Sebab lain dari kematian pada DBD ialah perdarahan saluran pencernaran hebat
yang biasanya timbul setelah renjatan berlangsung lama dan tidak dapat diatasi.
Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada sebagian besar
penderita DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai nilai
terendah pada masa renjatan. Jumlah tromosit secara cepat meningkat pada masa

16
konvalesen dan nilai normal biasanya tercapai sampai hari ke 10 sejak permulaan
penyakit.

Kelainan sistem koagulasi mempunyai juga peranan sebagai sebab perdarahan


pada penderita DBD. Berapa faktor koagulasi menurun termasuk faktor II, V, VII, IX, X
dan fibrinogen. Faktor XII juga dilaporkan menurun. Perubahan faktor koagulasi
disebabkan diantaranya oleh kerusakan hepar yang fungsinya memang terbukti
terganggu, juga oleh aktifasi sistem koagulasi.

Gambar 2. Patogenesis perdarahan pada DBD


Pembekuan intravaskuler menyeluruh (PIM/DIC) secara potensial dapat terjadi

juga pada penderita DBD tanpa atau dengan renjatan. Renjatan pada PIM akan saling

mempengaruhi sehingga penyakit akan memasuki renjatan irrevesible disertai

perdarahan hebat, terlihatnya organ-organ vital dan berakhir dengan kematian.

1.5. Manifestasi Klinis

Infeksi dengan hanya salah satu dari empat serotipe dengue dapat menghasilkan
spektrum penuh dan beratnya penyakit. Spektrum penyakit dapat berkisar dari, sindrom
demam non-spesifik ringan, demam berdarah klasik (DF), dengan bentuk parah dari

17
penyakit, DHF dan demam berdarah shock syndrome (DSS). Bentuk parah biasanya
terwujud setelah hari 2-7 fase demam dan sering ditandai dengan tanda-tanda peringatan
klinis dan laboratorium. Walaupun tidak ada agen terapeutik untuk infeksi dengue, kunci
keberhasilan penanganan adalah penggunaan waktu yang tepat dan kebijaksanaan
perawatan suportif, termasuk pemberian cairan isotonik intravena atau koloid, serta
pemantauan ketat tanda-tanda vital dan status hemodinamik, keseimbangan cairan, dan
parameter hematologi (WHO, 2009)

Perjalanan infeksi virus di dalam tubuh manusia sangat tergantung dari interaksi
antara kondisi imunologik dan umur seseorang. Oleh karena itu infeksi virus dengue
dapat tidak menunjukan gejala (asimptomatik) ataupun bermanifestasi klinis ringan yaitu
demam tanpa penyebab yang jelas, dengue fever (DF) dan bermanifestasi berat dengan
dengue hemorrhagic fever (DHF) tanpa syok atau dengue shock syndrome (DSS).

Manifestasi klinis bergantung pada strain virus, faktor host misalnya umur, dan
status imun. Berikut ini adalah bagan manifestasi klinis dari infeksi virus dengue.

Gambar 3. Manifestasi Klinis Infeksi Virus Dengue

Pada umumnya pasien mengalami demam selama 2-7 hari, yang diikuti oleh fase
kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi
mempunyai resiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan yang adekuat.
Gejala lain seperti mual muntah, diare, ruam kulit, nyeri kepala serta nyeri otot dan
tulang. Nyeri kepala dapat menyeluruh atau terpusat pada supraorbita dan retroorbita.
Nyeri otot terutama pada tendon.

18
Gambaran klinis penderita dengue terdiri atas 3 fase yaitu fase febris, fase kritis
dan fase pemulihan. Pada fase febris, Biasanya demam mendadak tinggi pada hari 1 – 3
hari mencapai 40o C, disertai muka kemerahan, eritema kulit, nyeri seluruh tubuh,
mialgia, artralgia dan sakit kepala.Pada beberapa kasus ditemukan nyeri tenggorok,
injeksi faring dan konjungtiva, anoreksia, mual dan muntah. Pada fase ini dapat pula
ditemukan tanda perdarahan seperti ptekie, perdarahan mukosa, walaupun jarang dapat
pula terjadi perdarahan pervaginam dan perdarahan gastrointestinal. Fase kritis, terjadi
pada hari 3 – 6 sakit dan ditandai dengan penurunan suhu tubuh disertai kenaikan
permeabilitas kapiler dan timbulnya kebocoran plasma yang biasanya berlangsung
selama 24 – 48 jam. Kebocoran plasma sering didahului oleh leukopeni progresif disertai
penurunan hitung trombosit.Pada fase ini dapat terjadi syok. Fase pemulihan, bila fase
kritis terlewati maka terjadi pengembalian cairan dari ekstravaskuler ke intravaskuler
secara perlahan pada 48 – 72 jam setelahnya. Keadaan umum penderita membaik, nafsu
makan pulih kembali, hemodinamik stabil dan diuresis membaik (Tanto, 2014).

1.6. Cara Penularan

Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus
dengue, yaitu manusia, virus dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada
manusia melalui nyamuk Aedes Aegypti. Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan
beberapa spesies yang lain dapat juga menularkan virus ini, namun merupakan vektor
yang kurang berperan. Aedes tersebut mengandung virus dengue pada saat menggigit
manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur
berkembang biak dalam waktu 8 – 10 hari (extrinsic incubation period) sebelum dapat di
tularkan kembali pada manusia pada saat gigitan berikutnya. Sekali virus dapat masuk
dan berkembang biak di dalam tubuh nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus
selama hidupnya (infektif).

Dalam tubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 4–6 hari (intrinsic
incubation period) sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada
nyamuk dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia,
yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul (Sukohar, 2014).

19
1.7. Diagnosis

Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun 2011
terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris. Kriteria klinis berdasarkan WHO 2011:

1. Demam akut, tinggi mendadak 2-7 hari pada beberapa kasus, eritema kulit, nyeri
seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan sakit kepala.

2. Terdapat manifestasi perdarahan yang ditandai dengan :

- Uji tourniket positif (yang palinng umum)

- Petekie, ekimosis, purpura

- Perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi

- Hematemesis dan/atau melena

3. Syok, dengan manifestasi takikardi, perfusi jaringan yang buruk ditandai dengan nadi
lemah, hipotensi, kulit pucat, dingin, lemah.

Kriteria Laboratoris:

- Trombositopenia (100.000/mm3 atau kurang)

- Terdapat minimal satu tanda-tanda kebocoran plasma atau tanda hemokonsentrasi


sebagai berikut:

o Peningkatan hematokrit > 20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis
kelamin.

o Penurunan hematokrit >20% setelah mendapatkan terapi cairan, dibandingkan dengan


nilai hematokrit sebelumnya.

o Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites atau hipoalbuminemia.

Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia atau peningkatan


hematokrit, cukup untuk menegakkan diagnosis klinis demam berdarah dengue. Adanya
pembesaran hati selain dua kriteria klinis pertama adalah dugaan terjadinya demam
berdarah dengue sebelum onset kebocoran plasma. Efusi pleura (X-ray dada atau
ultrasonografi) adalah bukti objektif terjadinya kebocoran plasma dan terjadinya
hipoalbumin dapat memperkuat diagnosis terutama pada pasien anemia, perdarahan
berat, kondisi ketika tidak adanya hematocrit dasar, dan peningkatan hematocrit kurang

20
dari 20% akibat pemberian terapi intravena secara dini. Pada kasus syok, peningkatan
hematokrit dan adanya trombositopenia, mendukung diagnosa demam berdarah dengue.
ESR yang rendah (kurang dari 10 mm/satu jam pertama) selama syok membedakan DSS
dari syok septik.

Berdasarkan tingkat keparahan, WHO (2004) membagi demam berdarah dengue


menjadi 4 derajat, yaitu:

1. Derajat 1: Demam yang disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah uji torniquet.

2. Derajat 2: Derajat 1, disertai perdarahan terjadinya spontan di kulit dan perdarahan


lainnya.

3. Derajat 3: Adanya kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi
menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di daerah sekitar mulut, kulit
dingin dan lembab, dan tampak gelisah.

4. Derajat 4: Syok berat, dimana nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.

DF/DHF Derajat Gejala Laboratorium


DF Demam disertai 2 atau lebih tanda: - Leukopenia (wbc
- sakit kepala 5000sel/mm3 )
- nyeri retro orbital - Trombositopenia (Platelet
- myalgia/ nyeri otot <150 000 cells/mm3 ).
- arthralgia - Peningkatan HCT (5% –
10% ).
- ruam
- Tidak ada bukti kebocoran
- tidak adanya tanda kebocoran plasma
plasma

DHF I Demam dan manifestasi perdarahan - Trombositopenia


(uji bendung positif) dan adanya (<100.000/ul),
bukti ada kebocoran plasma - Peningkatan HCT 20%

DHF II Gejala pada derajat I disertai - Trombositopenia


dengan perdarahan spontan (<100.000/ul)
- Peningkatan HCT 20%

DHF III Gejala pada derajat I atau II disertai - Trombositopenia


dengan kegagalan sirkulasi (nadi (<100.000/ul)
lemah, hipotensi, kulit dingin dan - Peningkatan HCT 20%
lembab serta gelisah)

DHF IV Syok berat, dimana nadi tidak

21
dapat diraba dan tekanan darah
tidak terukur

1.8. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk menunjang diagnosis DHF


adalah pemeriksaan darah lengkap, urine, serologi dan isolasi virus. Pemeriksaan yang
umumya dan signifikan dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap. Diagnosis DHF
secara definitif dapat dilakukan dengan isolasi virus, identifikasi virus dan serologis
(WHO, 2011).

a. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis


DBD adalah pemeriksaan darah lengkap, urine, serologi dan isolasi virus. Yang
signifikan dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap, selain itu untuk mendiagnosis
DBD secara definitif dengan isolasi virus, identifikasi virus dan serologis.

Pemeriksaan Darah Lengkap:

Pemeriksaan darah yang dilakukaan secara rutin adalah kadar hemoglobin,


hematokrit, jumlah trombosit. Meningkatnya hematokrit yang pada pasien DHF
merupakan penanda terjadinya perembesan plasma. Selain itu dapat juga ditemukan
trombositopenia dan leukopenia. Pada pemeriksaan darah lengkap parameter yang
diamati adalah terdapat trombositopenia (<100.000) di hari ke 3-8, kebocoran plasma
ditandai dengan peningkatan hematokrit ≥20% dari hematokrit awal yang biasanya
terjadi mulai dari hari ke-3 demam, leukosit dapat normal atau menurun dan mulai
demam hari ke 3 dapat ditemui limfositosis relatif (>45% total leukosit).

Pemeriksaan Faal Pembekuan Darah

Pemeriksaan faal pembekuan darah dapat digunakan sebagai acuan untuk


memandu terapi pada pasien dengan adanya manifestasi perdarahan yang parah. Pada
pemeriksaan faal pembekuan darah biasanya ditemukan protrombin time memanjang,
activated partial thromboplastin time memanjang, dan fibrinogen rendah dan tingkat
degradasi produk fibrin yang tinggi merupakan tanda DIC.

Deteksi Antigen

22
Perkembangan baru dalam ELISA dan tes dot blot diarahkan ke amplop /
membran (E / M) antigen dan protein non-struktural 1 (NS1) yang menunjukkan bahwa
konsentrasi tinggi antigen tersebut dalam bentuk kompleks imun dapat dideteksi pada
pasien dengan infeksi dengue primer dan sekunder sampai sembilan hari setelah onset
penyakit. NS1 glikoprotein dihasilkan oleh semua flaviviruses dan dikeluarkan dari sel
mamalia. NS1 menghasilkan respon humoral yang sangat kuat. Banyak penelitian telah
diarahkan menggunakan deteksi NS1 untuk membuat diagnosis awal infeksi virus
dengue. Antigen NS1 dapat dideteksi pada awal demam hari pertama sampai hari ke
delapan dengan sensitivitas 63%-93,4% dan spesifisitas 100%.8

b. Tes Serologi

IgG/IgM

Respon antibodi terhadap infeksi terdiri dari munculnya berbagai jenis


immunoglobulin.Isotipe imunoglobulin IgM dan IgG memiliki nilai diagnostik pada
demam berdarah.Antibodi IgM dapat terdeteksi pada hari ke-3-5 setelah onset penyakit,
meningkat dengan cepat sekitar dua minggu dan menurun sampai tingkat yang tidak
terdeteksi setelah 2-3 bulan. Karena kemunculan antibodi IgM yang terlambat, yaitu
setelah lima hari demam, tes serologis berdasarkan antibodi ini yang dilakukan selama
lima hari pertama penyakit klinis biasanya akan menunjukkan hasil yang negatif.

Antibodi IgG dapat terdeteksi pada tingkat yang rendah pada akhir minggu
pertama, yang kemudian akan meningkat dan tetap untuk periode yang lebih lama
(selama bertahun-tahun). IgG terdeteksi mulai hari ke 3-5 demam. Meningkat hingga
minggu ke-3 dan dapat menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer IgG mulai
terdeteksi pada hari ke-14 dan pada infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi pada hari ke-2
dapat terdeteksi selama lebih dari 60 tahun dan jika tidak ada gejala. Setelah infeksi
primer, IgG mencapai tingkat puncak dalam darah setelah 14-21 hari. Selama infeksi
berikutnya, tingkat puncaknya lebih awal dan titer biasanya lebih tinggi. Selama infeksi
dengue sekunder (ketika host sebelumnya telah terinfeksi virus dengue), titer antibodi
meningkat dengan cepat.Antibodi IgG dapat terdeteksi pada tingkat tinggi, bahkan pada
tahap awal, dan bertahan dari beberapa bulan sampai periode seumur hidup.

Tingkat antibodi IgM secara signifikan lebih rendah pada kasus infeksi
sekunder.Oleh karena itu, rasio IgM / IgG biasanya digunakan untuk membedakan antara
infeksi dengue primer dan sekunder.Trombositopenia biasanya diamati antara hari ketiga

23
dan kedelapan penyakit yang diikuti oleh perubahan hematokrit lainnya. Baik IgG dan
IgM memberikan kekebalan protektif terhadap serotipe virus yang menginfeksi.

c. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus kanan)


dilakukan dengan tujuan melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama pada hemitoraks
kanan dan pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat ditemukan pada kedua
hemitoraks.Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan
ultrasonografi.Kelainan yang bisa didapatkan antara lain dilatasi pembuluh darah paru,
kardiomegali atau efusi perikard, dan hepatomegaly.

1.9. Tatalaksana

Pada dasarnya terapi DHF adalah bersifat suportif dan simtomatis.


Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma
dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan. Dalam
pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah pemantauan baik
secara klinis maupun laboratoris. Proses kebocoran plasma dan terjadinya
trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam
berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan berkurang dan cairan akan
kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada kondisi tersebut

24
secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah pemberian cairan
sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya kelebihan cairan
serta terjadinya efusi pleura ataupun asites yang masif perlu selalu diwaspadai.Terapi
nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada trombositopenia yang berat)
dan pemberian makanan dengan kandungan gizi yang cukup, lunak dan tidak
mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi saluaran cerna. Sebagai terapi
simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa parasetamol, serta obat simptomatis
untuk mengatasi keluhan dispepsia.Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi
nonsteroid sebaiknya dihindari karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna
bagaian atas (lambung/duodenum). Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama
penatalaksanaan DHF dewasa mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol WHO.

Protokol ini terbagi dalam 5 kategori, sebagai berikut:

1. Penanganan suspek DHF tanpa syok

Potokol ini sebagai pedoman dalam memberikan pertolongan pertama pada


pasien yang menderita DHF atau yang dicurigai menderita DHF di Instalasi Gawat
Darurat. Protokol ini juga digunakan sebagai sebagai petunjuk dalam memutuskan
apakah pasien harus dirawat atau tidak. Seseorang yang menderita DHF di IGD
dilakukan pemeriksaan Hemoglobin (Hb), hematoktrit dan trombosit apabila
didapatkan :

a. Hb, Ht dan trombosit dalam batas normal atau jumlah trombosit antara
100.000 – 150.000, pasien dapat dipulangkan dan dilakukan observasi dengan anjuran
kontrol atau berobat jalan ke Poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya untuk
dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, Leukosit dan trombosit setiap 24 jam. Apabila
keaadaan pasien memburuk, pasien segera dibawa kembali ke Instansi Gawat Darurat.

b. Hb, Ht normal tetapi jumlah trombosit<100.000 pasien dianjurkan untuk


dirawat inap di rumah sakit.

c. Hb, Ht meningkat dan jumlah trombosit normal atau turun pasien juga
dianjurkan untuk dirawat inap di rumah sakit.

25
2. Pemberian cairan pada suspek DHF dewasa di ruang rawat

Pasien yang menderita DHF tanpa adanya perdarahan spontan dan masif dan
tanpa adanya syok maka diberikan cairan infus kristaloid di ruang rawat dengan
jumlah seperti rumus berikut ini:

Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan Sesuai rumus berikut 1500 + 20 x
(BB dalam kg – 20), Setelah dilakukan pemberian cairan pasien dilakukan
pemeriksaan HB, Ht setiap 24 jam

a. Apabila Hb, HT meningkat 10 – 20% dan trombosit <100.000 jumlah


pemberian cairan tetap seperti rumus diatas tetapi pemantauan Hb, Ht dan trombosit
dilakukan tian 12 jam.

b. Apabila Hb, Ht meningkat >20% dan trombosit <100.000 maka pemberian


cairan sesuai dengan protokol penatalaksanaan DBD dangan peningkatan Ht > 20 %.

26
3. Penatalaksanaan DHF dengan peningkatan hematokrit >20%.

Tubuh akan mengalami defisit sebanyak 5% ketika terjadinya peningkatan Ht


>20 %. Terapi awal yang dilakukan adalah dengan pemberian infus cairan kristaloid
sebanyak 6-7 ml/kgBB/jam.Pasien kemudian dievaluasi kondisi pasien setelah 3-4
jam pemberian cairan.Apabila terjadinya perbaikan kondisi yang ditandai dengan
adanya Ht turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil, produksi urin meningkat
maka jumlah cairan yang diberikan harus dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. Setelah
itu 2 kemudian dilakukan pemantauan kembali, apabila kondisi pasien tetap membaik
maka pemberian cairan dapat dihentikan dalam waktu 24-48 jam kemudian.

Apabila setelah dilakukan pemberian terapi cairan awal 6 – 7 ml/ kgBB/ jam
tadi keadaan pasien tetap tidak membaik, yang ditandai dengan Ht dan nadi
meningkat, tekanan nadi menurun <20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita
harus menaikkan jumlah cairan infus yang diberikan menjadi 10 ml/kgBB/jam. Dua
jam kemudian dilakukan evaluasi kembali. Apabila keadaan pasien menunjukkan
adanya perbaikan maka jumlah cairan yang diberikan dapat dikurangi menjadi 5
ml/kgBB/jam. Apabila keaadaan pasien tidak menunjukkan adanya perbaikan maka
jumlah cairan infus yang diberikan dinaikkan menjadi 15ml/kgBB/jam. Dilakukan
pemantaun terhadap kondisi pasien, apabila dalam perkembangannya kondisi menjadi

27
memburuk dan didapatkan tanda-tanda syok maka pasien ditangani sesuai dengan
protokol tatalaksana sindrom syok dengue pada pasien dewasa. Bila syok telah
teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi cairan awal.

4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DHF dewasa

Perdarahan maksud adalah yang pada hidung/epistaksis yang tidak terkendali

walaupun telah diberikan tampon hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan

melena atau hematoskesia), perdarahan saluran kencing (hematuria), perdarahan otak

atau perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5 cc/kgBB/jam.

Pada keadaan ini jumlah cairan yang diberikandan kecepatan pemberian cairan tetap

seperti keadaan DHF tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi,

pernafasan dan jumlah urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht

28
dan trombosit serta hemostasis harus segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan

trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam.

Pemberian heparin dapat diberikan apabila secara klinis dan laboratoris

ditemukan adanya tanda-tanda KID. Transfusi komponen darah diberikan sesuai

indikasi. FFP dapat diberikan apabila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan

(PT dan aPTT yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10g %.

Transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien DHF dengan perdarahan spontan

dan masif dengan jumlah trombosit <100.000/ul disertai atau tanpa KID dan Hb

<10g/dL.

5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa.

Pasien dengan Sindroma Syok Dengue (SSD) maka hal pertama yang harus

diingat adalah bahwa renjatan ini harus segera diatasi oleh karena itu penggantian

cairan intravaskuler yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian sindrom

29
syok dengue sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita DHF tanpa renjatan,

dan renjatan dapat terjadi karena keterlambatan penderita DHF mendapatkan

pertolongan / pengobatan, penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk kurangnya

kewaspadaan terhadap tanda – tanda renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatan

yang tidak adekuat.

Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya

pada penatalaksanaan SSD yaitu jenis cairan dan jumlah serta kecepatan cairan yang

akan diberikan. Karena tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan cairan

di ruang intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat,

cairan salin) maupun koloid dapat diberikan. Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya

dibutuhkan dalam penatalaksanaan SSD antara lain memiliki sifat bertahan lama di

intravaskular, aman dan relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem koagulasi

tubuh, dan memiliki efek alergi yang minimal.WHO menganjurkan terapi kristaloid

sebagai cairan standar pada terapi DHF karena dibandingkan dengan koloid, kristaloid

lebih mudah didapat dan lebih murah. Keuntungan lainnya penggunaan kristaloid

antara lain komposisi yang menyerupai komposisi plasma, mudah disimpan dalam

temperatur ruang, dan bebas dari kemungkinan reaksi anafilaktik. Secara umum,

penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DHF aman dan efektif. Selain pemberian

cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter/menit.

Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan

dievaluasi setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan TD

sistolik 100mmHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari

100 kali per menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak

pucat serta diuresis 0,5-1cc/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi

7ml/kgBB/jam.

30
Bila dalam waktu 60 – 120 menit keadaan tetap stabil pemberian cairan

menjadi 5ml/kgBB/jam. Bila dalam 60 – 120 menit kemudian keadaan tetap stabil

pemberian caira menjadi 3ml/kgBB/jam. Bila 24-48 jam setelah renjatan teratasi

tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup maka pemberian

cairan perinfus harus dihentikan (karena jika rebsorbsi cairan plasma yang mengalami

ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit, cairan infus terus

diberikan maka keadaan hipervolemi edema paru atau gagal jantung dapat terjadi).

Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus dilakukan

terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadin renjatan (karena selain proses

patogenesis penyakit masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20%

saja yang menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh karena

untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan

tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung

dan napas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah hipokondrium kanan dan epigastrik

serta jumlah diuresis. Diuresis diusahakan 2ml/kgBB/kam.

Pemantauan kadar hemoglobin, hematoktrit, dan jumlah trombosit dapat

dipergunakan untuk pemantauan perkalanan penyakit. Bila stelah fase awal pemberian

cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka pemberian cairan kristaloid dapat

ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB dan kemudian dievaluasi detelah 20-30 menit.

Bila nilai hematokrit meningkat berarti perembesan plasma masih berlangsung maka

pemberian cairan koloid merupakan pilihan, tetapi bila nilai hematokrit menurun ,

berarti terjadi perdarahan ( internal bleeding) maka pada penderita diberikan transfusi

darah segar 10ml/kgBB dan dapat diulang sesuai kebutuhan. Sebelum cairan koloid

diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat-sifat cairan tersebut. Pemberian

koloid sendiri mulu-mula diberikan dengan tetesan cepat 10-20 ml/kgBB dan

31
dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi maka untuk

memantau kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena sentral dan

pemberian koloid dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30ml/kgBB (maksimal 1-

1,5 1/hari) dengan sasaran tekanan vena sentral 15-18 smH2O. Bila keadaan tetap

belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap gangguan asam

basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID, infeksi sekunder. Bila tekanan vena

sentral penderita sudah sesuai dengan target tetapi renjatan belum teratasi maka dapat

diberikan obat inotropik/vasopresor. Pemeriksaan – pemeriksaan yang harus

dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostasis, AGD, kadar

natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan kereatinin.

32
Gambar 9. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa

33
1.10. Pencegahan

Pencegahan penyakit DBD sangat tergantung pada pengendalian vektornya, yaitu


nyamuk Aedes aegypti. Pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan dengan
menggunakan beberapa metode yang tepat, yaitu :

A. Lingkungan

Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk tersebut antara lain dengan


Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat, modifikasi tempat
perkembangbiakan nyamuk hasil samping kegiatan manusia, dan perbaikan desain
rumah. Sebagai contoh:

- Menguras bak mandi/penampungan air- sekurang-kurangnya sekali seminggu.

- Mengganti/menguras vas bunga dan tempat- minum burung seminggu sekali.

- Menutup dengan rapat tempat penampungan- air.

- Mengubur kaleng-kaleng bekas, aki bekas dan ban bekas di sekitar rumah dan lain
sebagainya.

B. Biologis

Pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan ikan pemakan jentik


(ikan adu/ikan cupang), dan bakteri (Bt.H-14).

C. Kimiawi

Cara pengendalian ini antara lain dengan:

- Pengasapan/fogging (dengan menggunakan malathion dan fenthion), berguna untuk


mengurangi kemungkinan penularan sampai batas waktu tertentu.

- Memberikan bubuk abate (temephos) pada tempat-tempat penampungan air seperti,


gentong air, vas bunga, kolam, dan lain-lain.

Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah dengan

mengkombinasikan cara-cara di atas, yang disebut dengan ”3M Plus”, yaitu menutup,

menguras, menimbun. Selain itu juga melakukan beberapa plus seperti memelihara ikan

pemakan jentik, menabur larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang

34
kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan repellent, memasang obat nyamuk,

memeriksa jentik berkala dan disesuaikan dengan kondisi setempat (Lestari K, 2007).

35
BAB III

KESIMPULAN
Demam Dengue dan Demam berdarah Dengue (DBD) didefinisikan sebagai suatu

penyakit yang disebabkan oleh infeksi satu dari empat virus dengue, yaitu DENV1, DENV2,

DENV3, dan DENV4, engan nyamuk dari genus Aedes sebagai vektor utama penyakit ini.

Gejala klinis yang dapat ditimbulkan oleh Demam Dengue adalah adanya demam mendadak

tinggi (390C-400C) terus menerus, pola bifasik, selama 2-7 hari, disertai nyeri kepala, nyeri

otot (myalgia) dan sendi (atralgia), nyeri retro-orbital, fotofobia, gangguan pencernaan (diare

atau konstipasi), nyeri perut, sakit dan tenggorokan. Demam Dengue dan Demam Berdarah

Dengue dapat dibedakan dengan ada atau tidaknya kebocoran plasma.

Diagnosis Demam Dengue memerlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan

laboratorium dan pemeriksaan penunjang yang menyeluruh untuk menegakkan diagnosis ini.

Demam Dengue ditangani dengan pasien dianjurkan untuk bed rest selama fase akut,

menjaga suhu tubuh pasien tetap < 38,00C, pemberian antipiretik jika suhu > 38,00C serta

memenuhi kebutuhan cairan pasien dengan minum yang cukup.

36
DAFTAR PUSTAKA
Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam Berdarah Dengue. Dalam Buku ajar

Ilmu Penyakit Dalam jilid III Edisi V. Editor : Sudoyo AW dkk. Pusat Penerbitan

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta : 2007.

Wahono TD. Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan Departemen Kesehatan; 2004.

Sanyaolu, et al. 2017. Global epidemiology of Dengue Hemorrhagic Fever: An Update.

Journal of Human Virology & Retrovirology. 5(6);00179

Hairani LK. Gambaran epidemiologi demam berdarah di Indonesia. FKM UI. 2009.

Lestari K. Epidemiologi dan pencegahan Demam Berdarah dengue di Indonesia. Farmaka.

2007; 5:12-29.

Kemenkes RI. INFODATIN. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI: Situasi

Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta: 2014.

Departemen Kesehatan RI. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di sarana pelayanan

kesehatan, 2005.p.19-34

Chen,K., Pohan, H. T., Sinto R. Diagnosis dan Terapi Cairan pada Demam Berdarah Dengue.

Medicinus. 2009; 22 (1)

Tanto, Chris et al. Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV. Media Aesculapius. Jakarta: 2014.

Lestari, K. 2007. Epidemiologi Dan Pencegahan Demam Berdarah Dengue (Dbd) Di

Indonesia. Farmaka. 5(3):12-29.

37

Anda mungkin juga menyukai