(JUDUL)
Disusun oleh:
Pembimbing:
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALAHAYATI
2022
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Kasus
(JUDUL)
Oleh:
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas berkat,
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Toumi Shiddiqi, Sp.PD.,M.Kes selaku
pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan penyusunan laporan
kasus ini.Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan kasus ini.
Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis harapkan. Semoga
Tim Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................................ii
KATA PENGANTAR............................................................................................................iii
DAFTAR ISI...........................................................................................................................iv
DAFTAR PUSTAKA
iv
BAB I
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Umur : 59 tahun
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Status : Menikah
No. RM : 84649
II. ANAMNESIS
Keluhan Tambahan : Lemas,terdapat bintik merah dikedua kaki,nyeri ulu hati, batuk
Seorang pasien laki-laki berusia 59 tahun datang ke RSMM diantar oleh keluarganya pada
tanggal 4 November 2022 dengan keluhan demam naik turun sejak 2 hari SMRS.
Pada hari rabu tanggal 2 November 2022 malam pasien sempat berobat ke dokter dan
1x1,bisoprolol 1x1/2tab) tetapi pasien hingga hari kamis siang merasakan keluhan tidak juga
membaik sehingga memutuskan untuk dibawa ke RSMM pada tanggal 4 November 2022.
1
Pasien juga mengatakan keluhan disertai Lemas,terdapat bintik merah dikedua kaki,nyeri ulu
hati, batuk berdahak sudah 1 minggu yang lalu,penurunan nafsu makan dan mual.
Riwayat DM : (+)
Riwayat HT : Disangkal
Riwayat DM : Disangkal
b. Riwayat Kebiasaan :
Merokok (+)
Narkoba (-)
III.PEMERIKSAAN FISIK
2
Vital sign:
- TD : 120/72 mmHg
- RR : 20 x/ menit
- Suhu : 36 oC
- SPO2 : 98%
Status gizi :
- BB : 70 kg
- TB : 165 cm
Pemeriksaan fisik :
- Mulut : Bibir tidak pecah-pecah dan kering, sianosis (-), lidah kotor (-)
- Thoraks :
Pulmo
P: Fremitus taktil dan fremitus vokal simetris kanan dan kiri sama
Cor:
3
A: Bunyi jantung I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
Ins :Simetris, jejas (-), distensi (-), darm contour (-), darm steifung (-)
Status lokalisasi :
Hepar
A:Bruit (-)
- Ekstremitas
Superior Inferior
- Defisit Neurologis :-
4
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium
5
Tabel hasil laboratorium 6 November 2022
6
Tabel hasil laboratorium 7 November 2022
Hemoglobin 17,8 13-18 g/dl
7
Tabel hasil laboratorium 8 November 2022
8
Tabel hasil laboratorium 9 November 2022
Leukosit 5 4.500-11.000sel/ul
Trombosit 33.000 150.000-
450.000sel/ul
Eritrosit 5,39 4,5-5,5juta sel/ul
Hematokrit 46 40-58%
Jenis leukosit basofil 0 <3%
Jenis leukosit Eusinofil 0 <3%
Jenis leukosit neutrofil staff 0 <6%
Jenis leukosit neutrofil segmen 71 50-70%
Jenis leukosit limfosit 19 20-40%
Jenis leukosit monosit 10 <8%
MCV 86,0 78-100 FL
MCH 28,7 25-35 pg
MCHC 33,4 31-37 g/dl
RDW-CV 14,2 %
RDW-SD 44,6 Fl
GDN 114 70-110mg/dl
9
b. Foto thorak
Kesan :
Pulmo normal
V. DIAGNOSIS
Diagnosis awal
- Hipoglikemia berat
- Ca hepar
-Hipertensi grade II
10
IX. Inj. Lapibal 2x1amp
XIV. FOLLOW UP
Tanggal S O A P
/11/2022 Keadaan umum : -
UGD tampak sakit
R inap hari ke 1 sedang
Kesadaran :
Compos mentis
TD: 169/80mmHg
HR: 78 x/mnt
RR: 20x/mnt
T: 36,5 oC
SPO2: 97%
GDS IGD 20
11
/11/2022 Keadaan umum :
tampak sakit
sedang
Hari ke 4-7 Kesadaran :
Compos mentis
TD: 128/55mmHg
HR: 102 x/mnt
RR: 28 x/mnt
T: 36,3 oC
SPO2: 98%
pukul 06.40
GDS 138
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Definisi
Dengue Hemorrhagic fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
virus dengue tipe 1- 4, dengan manifestasi klinis berupa demam yang terjadi secara
mendadak 2-7 hari. Dapat disertai gejala perdarahan dengan atau tanpa adanya syok,
dengan hasil pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan adanya trombositopenia
(trombosit kurang dari 100.000) dan peningkatan hematokrit 20% atau lebih dari nilai
normal. Infeksi virus dengue dapat disertai dengan terjadinya kebocoran plasma
(Suhendro et al., 2007)
1.2. Epidemiologi
Penyakit Demam Berdarah Dengue merupakan salah satu penyakit menular yang
berbahaya dapat menimbulkan kematian dalam waktu singkat dan sering menimbulkan
wabah. Penyakit ini pertama kali ditemukan di Manila Filipina pada tahun 1953 dan
selanjutnya menyebar ke berbagai negara. Di Indonesia penyakit ini pertama kali
dilaporkan pada tahun 1968 di Surabaya dengan jumlah penderita 58 orang dengan
kematian 24 orang (41,3%), akan tetapi konfirmasi virologis baru didapat pada tahun
1972. Selanjutnya sejak saat itu penyakit Demam Berdarah Dengue cenderung menyebar
ke seluruh tanah air Indonesia, sehingga sampai tahun 1980 seluruh propinsi di Indonesia
kecuali Timor-Timur telah terjangkit penyakit, dan mencapai puncaknya pada tahun
1988 dengan insidens rate mencapai 13,45 % per 100.000 penduduk. Keadaan ini erat
kaitannya dengan meningkatnya mobilitas penduduk dan sejalan dengan semakin
lancarnya hubungan transpotasi (Sukohar, 2014).
13
Amerika saja, dimana 37, 687 kasus merupakan DHF berat. Setelah epidemi DHF yang
pertama diketahui pada tahun 1953 sampai 1954 di Filipina, penyakit ini terus menyebar
ke seluruh penjuru dunia (Sanyaolo et al., 2017).
1.3. Etiologi
Penyebab penyakit adalah virus Dengue. Sampai saat ini dikenal ada 4 serotype
virus yaitu :
Virus tersebut termasuk dalam group B Arthropod borne viruses (arboviruses). Keempat
type virus tersebut telah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia dan yang terbanyak
adalah type 2 dan type 3. Penelitian di Indonesia menunjukkan Dengue type 3
merupakan serotype virus yang dominan menyebabkan kasus yang berat (Sukohar,
2014).
1.4. Patofisiologi
Walaupun demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) disebabkan
oleh virus yang sama, tapi mekanisme patofisiologisnya yang berbeda yang
menyebabkan perbedaan klinis. Perbedaan yang utama adalah hemokonsentrasi yang
khas pada DBD yang bisa mengarah pada kondisi renjatan. Renjatan itu disebabkan
karena kebocoran plasma yang diduga karena proses imunologi. Pada demam dengue hal
ini tidak terjadi. Manifestasi klinis demam dengue timbul akibat reaksi tubuh terhadap
masuknya virus. Virus akan berkembang di dalam peredaran darah dan akan ditangkap
14
oleh makrofag. Segera terjadi viremia selama 2 hari sebelum timbul gejala dan berakhir
setelah lima hari gejala panas mulai. Makrofag akan segera bereaksi dengan menangkap
virus dan memprosesnya sehingga makrofag menjadi APC (Antigen Presenting Cell).
Antigen yang menempel di makrofag ini akan mengaktifasi sel T-Helper dan menarik
makrofag lain untuk memfagosit lebih banyak virus. T-helper akan mengaktifasi sel T-
sitotoksik yang akan melisis makrofag yang sudah memfagosit virus. Juga mengaktifkan
sel B yang akan melepas antibodi. Ada 3 jenis antibodi yang telah dikenali yaitu antibodi
netralisasi, antibodi hemagglutinasi, antibodi fiksasi komplemen (WHO, 2009).
Teori virulensi dapat dihipotesiskan sebagai berikut : Virus dengue seperti juga
virus binatang yang lain, dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu
virus mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk.
Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan
peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi, dan mempunyai potensi
untuk menimbulkan wabah. Renjatan yang dapat menyebabkan kematian terjadi sebagai
akibat serotipe virus yang paling virulen (Hadinegoro dan Rezeki, 2011).
15
Gambar 1. Patogenesisi terjadinya syok pada DBD
Akibat infeksi kedua oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang
penderita dengan kadar antibodi anti dengue yang rendah, respons antibodi anamnestik
yang akan terjardi dalam beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi
limfosit imun dengan menghasilkan antibodi IgG anti dengue titer tinggi. Replikasi virus
dengue terjadi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah yang banyak. Hal-hal ini
semuanya akan mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen antibodi yang
selanjutnya akan mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat
antivasi C3 dan C5 menyebabkan meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah
dan merembesnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Pada penderita
renjatan berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari pada 30% dan
berlangsung selama 24-48 jam. Renjatan yang tidak ditanggulangi secara adekuat akan
menimbulkan anoksia jaringan, asidosis metabolik dan kematian.
Sebab lain dari kematian pada DBD ialah perdarahan saluran pencernaran hebat
yang biasanya timbul setelah renjatan berlangsung lama dan tidak dapat diatasi.
Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada sebagian besar
penderita DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai nilai
terendah pada masa renjatan. Jumlah tromosit secara cepat meningkat pada masa
16
konvalesen dan nilai normal biasanya tercapai sampai hari ke 10 sejak permulaan
penyakit.
juga pada penderita DBD tanpa atau dengan renjatan. Renjatan pada PIM akan saling
Infeksi dengan hanya salah satu dari empat serotipe dengue dapat menghasilkan
spektrum penuh dan beratnya penyakit. Spektrum penyakit dapat berkisar dari, sindrom
demam non-spesifik ringan, demam berdarah klasik (DF), dengan bentuk parah dari
17
penyakit, DHF dan demam berdarah shock syndrome (DSS). Bentuk parah biasanya
terwujud setelah hari 2-7 fase demam dan sering ditandai dengan tanda-tanda peringatan
klinis dan laboratorium. Walaupun tidak ada agen terapeutik untuk infeksi dengue, kunci
keberhasilan penanganan adalah penggunaan waktu yang tepat dan kebijaksanaan
perawatan suportif, termasuk pemberian cairan isotonik intravena atau koloid, serta
pemantauan ketat tanda-tanda vital dan status hemodinamik, keseimbangan cairan, dan
parameter hematologi (WHO, 2009)
Perjalanan infeksi virus di dalam tubuh manusia sangat tergantung dari interaksi
antara kondisi imunologik dan umur seseorang. Oleh karena itu infeksi virus dengue
dapat tidak menunjukan gejala (asimptomatik) ataupun bermanifestasi klinis ringan yaitu
demam tanpa penyebab yang jelas, dengue fever (DF) dan bermanifestasi berat dengan
dengue hemorrhagic fever (DHF) tanpa syok atau dengue shock syndrome (DSS).
Manifestasi klinis bergantung pada strain virus, faktor host misalnya umur, dan
status imun. Berikut ini adalah bagan manifestasi klinis dari infeksi virus dengue.
Pada umumnya pasien mengalami demam selama 2-7 hari, yang diikuti oleh fase
kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi
mempunyai resiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan yang adekuat.
Gejala lain seperti mual muntah, diare, ruam kulit, nyeri kepala serta nyeri otot dan
tulang. Nyeri kepala dapat menyeluruh atau terpusat pada supraorbita dan retroorbita.
Nyeri otot terutama pada tendon.
18
Gambaran klinis penderita dengue terdiri atas 3 fase yaitu fase febris, fase kritis
dan fase pemulihan. Pada fase febris, Biasanya demam mendadak tinggi pada hari 1 – 3
hari mencapai 40o C, disertai muka kemerahan, eritema kulit, nyeri seluruh tubuh,
mialgia, artralgia dan sakit kepala.Pada beberapa kasus ditemukan nyeri tenggorok,
injeksi faring dan konjungtiva, anoreksia, mual dan muntah. Pada fase ini dapat pula
ditemukan tanda perdarahan seperti ptekie, perdarahan mukosa, walaupun jarang dapat
pula terjadi perdarahan pervaginam dan perdarahan gastrointestinal. Fase kritis, terjadi
pada hari 3 – 6 sakit dan ditandai dengan penurunan suhu tubuh disertai kenaikan
permeabilitas kapiler dan timbulnya kebocoran plasma yang biasanya berlangsung
selama 24 – 48 jam. Kebocoran plasma sering didahului oleh leukopeni progresif disertai
penurunan hitung trombosit.Pada fase ini dapat terjadi syok. Fase pemulihan, bila fase
kritis terlewati maka terjadi pengembalian cairan dari ekstravaskuler ke intravaskuler
secara perlahan pada 48 – 72 jam setelahnya. Keadaan umum penderita membaik, nafsu
makan pulih kembali, hemodinamik stabil dan diuresis membaik (Tanto, 2014).
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus
dengue, yaitu manusia, virus dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada
manusia melalui nyamuk Aedes Aegypti. Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan
beberapa spesies yang lain dapat juga menularkan virus ini, namun merupakan vektor
yang kurang berperan. Aedes tersebut mengandung virus dengue pada saat menggigit
manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur
berkembang biak dalam waktu 8 – 10 hari (extrinsic incubation period) sebelum dapat di
tularkan kembali pada manusia pada saat gigitan berikutnya. Sekali virus dapat masuk
dan berkembang biak di dalam tubuh nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus
selama hidupnya (infektif).
Dalam tubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 4–6 hari (intrinsic
incubation period) sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada
nyamuk dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia,
yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul (Sukohar, 2014).
19
1.7. Diagnosis
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun 2011
terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris. Kriteria klinis berdasarkan WHO 2011:
1. Demam akut, tinggi mendadak 2-7 hari pada beberapa kasus, eritema kulit, nyeri
seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan sakit kepala.
3. Syok, dengan manifestasi takikardi, perfusi jaringan yang buruk ditandai dengan nadi
lemah, hipotensi, kulit pucat, dingin, lemah.
Kriteria Laboratoris:
o Peningkatan hematokrit > 20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis
kelamin.
20
dari 20% akibat pemberian terapi intravena secara dini. Pada kasus syok, peningkatan
hematokrit dan adanya trombositopenia, mendukung diagnosa demam berdarah dengue.
ESR yang rendah (kurang dari 10 mm/satu jam pertama) selama syok membedakan DSS
dari syok septik.
1. Derajat 1: Demam yang disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah uji torniquet.
3. Derajat 3: Adanya kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi
menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di daerah sekitar mulut, kulit
dingin dan lembab, dan tampak gelisah.
4. Derajat 4: Syok berat, dimana nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.
21
dapat diraba dan tekanan darah
tidak terukur
a. Pemeriksaan Laboratorium
Deteksi Antigen
22
Perkembangan baru dalam ELISA dan tes dot blot diarahkan ke amplop /
membran (E / M) antigen dan protein non-struktural 1 (NS1) yang menunjukkan bahwa
konsentrasi tinggi antigen tersebut dalam bentuk kompleks imun dapat dideteksi pada
pasien dengan infeksi dengue primer dan sekunder sampai sembilan hari setelah onset
penyakit. NS1 glikoprotein dihasilkan oleh semua flaviviruses dan dikeluarkan dari sel
mamalia. NS1 menghasilkan respon humoral yang sangat kuat. Banyak penelitian telah
diarahkan menggunakan deteksi NS1 untuk membuat diagnosis awal infeksi virus
dengue. Antigen NS1 dapat dideteksi pada awal demam hari pertama sampai hari ke
delapan dengan sensitivitas 63%-93,4% dan spesifisitas 100%.8
b. Tes Serologi
IgG/IgM
Antibodi IgG dapat terdeteksi pada tingkat yang rendah pada akhir minggu
pertama, yang kemudian akan meningkat dan tetap untuk periode yang lebih lama
(selama bertahun-tahun). IgG terdeteksi mulai hari ke 3-5 demam. Meningkat hingga
minggu ke-3 dan dapat menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer IgG mulai
terdeteksi pada hari ke-14 dan pada infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi pada hari ke-2
dapat terdeteksi selama lebih dari 60 tahun dan jika tidak ada gejala. Setelah infeksi
primer, IgG mencapai tingkat puncak dalam darah setelah 14-21 hari. Selama infeksi
berikutnya, tingkat puncaknya lebih awal dan titer biasanya lebih tinggi. Selama infeksi
dengue sekunder (ketika host sebelumnya telah terinfeksi virus dengue), titer antibodi
meningkat dengan cepat.Antibodi IgG dapat terdeteksi pada tingkat tinggi, bahkan pada
tahap awal, dan bertahan dari beberapa bulan sampai periode seumur hidup.
Tingkat antibodi IgM secara signifikan lebih rendah pada kasus infeksi
sekunder.Oleh karena itu, rasio IgM / IgG biasanya digunakan untuk membedakan antara
infeksi dengue primer dan sekunder.Trombositopenia biasanya diamati antara hari ketiga
23
dan kedelapan penyakit yang diikuti oleh perubahan hematokrit lainnya. Baik IgG dan
IgM memberikan kekebalan protektif terhadap serotipe virus yang menginfeksi.
c. Pemeriksaan Radiologi
1.9. Tatalaksana
24
secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah pemberian cairan
sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya kelebihan cairan
serta terjadinya efusi pleura ataupun asites yang masif perlu selalu diwaspadai.Terapi
nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada trombositopenia yang berat)
dan pemberian makanan dengan kandungan gizi yang cukup, lunak dan tidak
mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi saluaran cerna. Sebagai terapi
simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa parasetamol, serta obat simptomatis
untuk mengatasi keluhan dispepsia.Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi
nonsteroid sebaiknya dihindari karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna
bagaian atas (lambung/duodenum). Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama
penatalaksanaan DHF dewasa mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol WHO.
a. Hb, Ht dan trombosit dalam batas normal atau jumlah trombosit antara
100.000 – 150.000, pasien dapat dipulangkan dan dilakukan observasi dengan anjuran
kontrol atau berobat jalan ke Poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya untuk
dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, Leukosit dan trombosit setiap 24 jam. Apabila
keaadaan pasien memburuk, pasien segera dibawa kembali ke Instansi Gawat Darurat.
c. Hb, Ht meningkat dan jumlah trombosit normal atau turun pasien juga
dianjurkan untuk dirawat inap di rumah sakit.
25
2. Pemberian cairan pada suspek DHF dewasa di ruang rawat
Pasien yang menderita DHF tanpa adanya perdarahan spontan dan masif dan
tanpa adanya syok maka diberikan cairan infus kristaloid di ruang rawat dengan
jumlah seperti rumus berikut ini:
Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan Sesuai rumus berikut 1500 + 20 x
(BB dalam kg – 20), Setelah dilakukan pemberian cairan pasien dilakukan
pemeriksaan HB, Ht setiap 24 jam
26
3. Penatalaksanaan DHF dengan peningkatan hematokrit >20%.
Apabila setelah dilakukan pemberian terapi cairan awal 6 – 7 ml/ kgBB/ jam
tadi keadaan pasien tetap tidak membaik, yang ditandai dengan Ht dan nadi
meningkat, tekanan nadi menurun <20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita
harus menaikkan jumlah cairan infus yang diberikan menjadi 10 ml/kgBB/jam. Dua
jam kemudian dilakukan evaluasi kembali. Apabila keadaan pasien menunjukkan
adanya perbaikan maka jumlah cairan yang diberikan dapat dikurangi menjadi 5
ml/kgBB/jam. Apabila keaadaan pasien tidak menunjukkan adanya perbaikan maka
jumlah cairan infus yang diberikan dinaikkan menjadi 15ml/kgBB/jam. Dilakukan
pemantaun terhadap kondisi pasien, apabila dalam perkembangannya kondisi menjadi
27
memburuk dan didapatkan tanda-tanda syok maka pasien ditangani sesuai dengan
protokol tatalaksana sindrom syok dengue pada pasien dewasa. Bila syok telah
teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi cairan awal.
walaupun telah diberikan tampon hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan
Pada keadaan ini jumlah cairan yang diberikandan kecepatan pemberian cairan tetap
seperti keadaan DHF tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi,
pernafasan dan jumlah urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht
28
dan trombosit serta hemostasis harus segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan
(PT dan aPTT yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10g %.
Transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien DHF dengan perdarahan spontan
dan masif dengan jumlah trombosit <100.000/ul disertai atau tanpa KID dan Hb
<10g/dL.
Pasien dengan Sindroma Syok Dengue (SSD) maka hal pertama yang harus
diingat adalah bahwa renjatan ini harus segera diatasi oleh karena itu penggantian
cairan intravaskuler yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian sindrom
29
syok dengue sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita DHF tanpa renjatan,
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya
pada penatalaksanaan SSD yaitu jenis cairan dan jumlah serta kecepatan cairan yang
akan diberikan. Karena tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan cairan
di ruang intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat,
cairan salin) maupun koloid dapat diberikan. Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya
dibutuhkan dalam penatalaksanaan SSD antara lain memiliki sifat bertahan lama di
intravaskular, aman dan relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem koagulasi
tubuh, dan memiliki efek alergi yang minimal.WHO menganjurkan terapi kristaloid
sebagai cairan standar pada terapi DHF karena dibandingkan dengan koloid, kristaloid
lebih mudah didapat dan lebih murah. Keuntungan lainnya penggunaan kristaloid
antara lain komposisi yang menyerupai komposisi plasma, mudah disimpan dalam
temperatur ruang, dan bebas dari kemungkinan reaksi anafilaktik. Secara umum,
penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DHF aman dan efektif. Selain pemberian
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan
dievaluasi setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan TD
sistolik 100mmHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari
100 kali per menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak
7ml/kgBB/jam.
30
Bila dalam waktu 60 – 120 menit keadaan tetap stabil pemberian cairan
menjadi 5ml/kgBB/jam. Bila dalam 60 – 120 menit kemudian keadaan tetap stabil
pemberian caira menjadi 3ml/kgBB/jam. Bila 24-48 jam setelah renjatan teratasi
tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup maka pemberian
cairan perinfus harus dihentikan (karena jika rebsorbsi cairan plasma yang mengalami
ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit, cairan infus terus
diberikan maka keadaan hipervolemi edema paru atau gagal jantung dapat terjadi).
terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadin renjatan (karena selain proses
patogenesis penyakit masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20%
saja yang menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh karena
untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan
tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung
dan napas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah hipokondrium kanan dan epigastrik
dipergunakan untuk pemantauan perkalanan penyakit. Bila stelah fase awal pemberian
cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka pemberian cairan kristaloid dapat
ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB dan kemudian dievaluasi detelah 20-30 menit.
Bila nilai hematokrit meningkat berarti perembesan plasma masih berlangsung maka
pemberian cairan koloid merupakan pilihan, tetapi bila nilai hematokrit menurun ,
berarti terjadi perdarahan ( internal bleeding) maka pada penderita diberikan transfusi
darah segar 10ml/kgBB dan dapat diulang sesuai kebutuhan. Sebelum cairan koloid
diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat-sifat cairan tersebut. Pemberian
koloid sendiri mulu-mula diberikan dengan tetesan cepat 10-20 ml/kgBB dan
31
dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi maka untuk
1,5 1/hari) dengan sasaran tekanan vena sentral 15-18 smH2O. Bila keadaan tetap
belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap gangguan asam
basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID, infeksi sekunder. Bila tekanan vena
sentral penderita sudah sesuai dengan target tetapi renjatan belum teratasi maka dapat
dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostasis, AGD, kadar
32
Gambar 9. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa
33
1.10. Pencegahan
A. Lingkungan
- Mengubur kaleng-kaleng bekas, aki bekas dan ban bekas di sekitar rumah dan lain
sebagainya.
B. Biologis
C. Kimiawi
Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah dengan
mengkombinasikan cara-cara di atas, yang disebut dengan ”3M Plus”, yaitu menutup,
menguras, menimbun. Selain itu juga melakukan beberapa plus seperti memelihara ikan
pemakan jentik, menabur larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang
34
kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan repellent, memasang obat nyamuk,
memeriksa jentik berkala dan disesuaikan dengan kondisi setempat (Lestari K, 2007).
35
BAB III
KESIMPULAN
Demam Dengue dan Demam berdarah Dengue (DBD) didefinisikan sebagai suatu
penyakit yang disebabkan oleh infeksi satu dari empat virus dengue, yaitu DENV1, DENV2,
DENV3, dan DENV4, engan nyamuk dari genus Aedes sebagai vektor utama penyakit ini.
Gejala klinis yang dapat ditimbulkan oleh Demam Dengue adalah adanya demam mendadak
tinggi (390C-400C) terus menerus, pola bifasik, selama 2-7 hari, disertai nyeri kepala, nyeri
otot (myalgia) dan sendi (atralgia), nyeri retro-orbital, fotofobia, gangguan pencernaan (diare
atau konstipasi), nyeri perut, sakit dan tenggorokan. Demam Dengue dan Demam Berdarah
laboratorium dan pemeriksaan penunjang yang menyeluruh untuk menegakkan diagnosis ini.
Demam Dengue ditangani dengan pasien dianjurkan untuk bed rest selama fase akut,
menjaga suhu tubuh pasien tetap < 38,00C, pemberian antipiretik jika suhu > 38,00C serta
36
DAFTAR PUSTAKA
Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam Berdarah Dengue. Dalam Buku ajar
Ilmu Penyakit Dalam jilid III Edisi V. Editor : Sudoyo AW dkk. Pusat Penerbitan
Wahono TD. Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Hairani LK. Gambaran epidemiologi demam berdarah di Indonesia. FKM UI. 2009.
2007; 5:12-29.
Kemenkes RI. INFODATIN. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI: Situasi
Departemen Kesehatan RI. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di sarana pelayanan
kesehatan, 2005.p.19-34
Chen,K., Pohan, H. T., Sinto R. Diagnosis dan Terapi Cairan pada Demam Berdarah Dengue.
Tanto, Chris et al. Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV. Media Aesculapius. Jakarta: 2014.
37