Anda di halaman 1dari 37

Laporan Kasus

TUBERCULOSIS MULTI DRUG RESISTEN

Disusun oleh:

Hendri Yudhistira (21360069)

Mutiara Ghassani Pangestu (21360080)

Muhamad Ifan Fadhil (21360171)

Rizka Rahmawati (21360199)

Siti Indriyani (21360215)

Pembimbing:

dr. Andreas Infianto Sp.P

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUD JENDRAL

AHMAD YANI METRO FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MALAHAYATI

2021
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

Tuberculosis Multi Drug Resisten

Oleh :

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti

Kepaniteraan Klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSUD Jendral Ahmad Yani

Metro.

Metro , Agustus 2021

dr. Andreas Infianto., Sp.P

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas

berkat, rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang

berjudul ”Tuberculosis Multi Drug Resisten”.

Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat Kepaniteraan Klinik di

Bagian/Departemen bagian ilmu penyakit dalam RSUD Jendral Ahmad Yani

Metro.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Andreas Infianto Sp.P selaku

pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan penyusunan

laporan kasus ini.Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan

laporan kasus ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat

penulis harapkan. Semoga laporan ini dapat memberi manfaat bagi pembaca.

Metro , Agustus 2021

Tim Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... ii

KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv

BAB I STATUS PASIEN .................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................10

BAB III KESIMPULAN ..................................................................................... 32

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................31

iii
BAB I
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. Reni Oktaviani

Umur : 29 tahun

Alamat : Jl. Bintang no 4 RT/RW 007/001 Kel. Hadimulyo

Barat Kec. Metro Pusat

Bangsa : Indonesia

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Status : Belum menikah

Pekerjaan : pegamai apotek

Pendidikan Terakhir : SMA

MRS : 30 September 2021

No. RM : 412534

II. ANAMNESIS

a. Riwayat penyakit sekarang

Ny. R sejak 10 hari terakhir mengeluhkan batuk berdahak berwarna putih

keruh setiap pagi, dan batuk kecil sepanjang hari, disertai sesak. Ketika

batuk. Pada tanggal 20 agustus 2021 pasien mengeluhkan batuk berdarah

trivial 3 kali dalam sehari.

1
b. Riwayat penyakit dahulu

Pada 2011 os menderita TB dan pengobatan 6 bulan, dinyatakan sembuh

dengan cek darah. Pada 2018 mengeluhkan batuk berdarah beberapa kali,

sudah cek TB hasil negative. Bulan juli os berobat dengan keluhan yang

sama cek TB negative, diberikan obat batuk membaik.

Riwayat DM : Disangkal

Riwayat HT : Disangkal

Riwayat penyakit jantung : Disangkal

Riwayat alergi obat/makanan : Disangkal

Riwayat Tumor : Disangkal

Riwayat Trauma : Disangkal

Riwayat Operasi : Disangkal

Riwayat konsumsi herbal : Disangkal

c. Riwayat penyakit keluarga

Riwayat TB pada ibunya

Riwayat penyakit jantung : disangkal

Riwayat DM : disangkal

Riwayat Hipertensi : disangkal

Riwayat Alergi : disangkal

d. Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien pernah bekerja menjadi pelayan rumah makan tahun 2010-2018 di

Kenari Bengkulu dan pernah bekerja di apotek tahun 2018-2020 di Pasar

Pramuka Jakarta.

2
e. Riwayat Kebiasaan :

Merokok (-)

Konsumsi alkohol (-)

III. PEMERIKSAAN FISIK

• Keadaan umum : sakit sedang

• Kesadaran : composmentis, GCS: 15

• Vital sign :

- TD : 115/75 mmHg

- Nadi : 95 x/ menit, irama reguler, isi dan tegangan cukup

- RR : 23 x/ menit

- Suhu : 36,5 oC

• Status gizi :

- BB : 42 kg

- TB : 158 cm

- BMI : 23,5 kg/m2

- Status Gizi: baik

• Pemeriksaan fisik :

- Kepala : Bentuk normocephal, alopesia (-)

- Mata : Konjunctiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-

/-), palpebra edema (-/-), refleks cahaya langsung (+/+), refleks

cahaya tidak langsung (+/+)

- Hidung : Bentuk normal, deviasi septum (-), epistaksis (-/-),

secret (-/-)

3
- Mulut : Mukosa mulut basah dan lidah dalam batas

normal, tidak sianosis

- Tenggorokan : Uvula ditengah, tonsil normal, faring

hiperemis(-)

- Leher : JVP 5+3cm 𝐻2 𝑂, KGB (-)

- Thoraks :

• Pulmo

I: Simetris dalam keadaan statis dan dinamis

Statis : simetris kanan sama dengan kiri

Dinamis : simetris kanan sama dengan kiri

P: Fremitus taktil dan fremitus vokal simetris kanan dan kiri

sama

P: nyeri ketok (-), batas paru-hepar normal, Sonor (+/+)

A : Suara nafas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-

• Cor :

I: ictus cordis tidak terlihat, venektasi (-)

P: ictus cordis teraba, thrill (-), heaving(-), lift(-)

P: Batas kanan jantung : ICS IV linea parasternal dextra

Batas kiri jantung : ICS V linea midclavicula sinistra

A: Bunyi jantung I-II regular, murmur (-), gallop (-)

- Abdomen :

I: Tampak simetris, sikatrik(-), spider nevi(-), massa(-), tidak

ada kelainan kulit

4
A: Bising usus (+), bising aorta abdominalis (-)

P: nyeri tekan(-), nyeri ketok ginjal(-), asites(-)

P : shifting dullness (-), timpani, hepatosplenomegaly (-)

- Ekstremitas

Superior Inferior

Edema -/- -/-

Akral hangat +/+ +/+

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Laboratorium

Tabel 1 hasil laboratorium

Nilai Tanggal
Pemeriksaan Satuan
Normal 30/08/21 31/08/21
Leukosit 5-10 Ribu/ul 5,75
Eritrosit 3,08-5,05 Juta/ul 4,73
Hemoglobin 12-16 g/dl 13,3
Hematokrit 37-48 % 42,1
Mcv 80-92 Fl 89
Mch 27-31 Pg 28,2
Mchc 32-36 g/dl L 31,7
Trombosit 150-450 Ribu/ul 301
Rdw 12,4-14,4 % 13
Mpv 7,3-9 Fl H 9,1
Ureum 15-40 Mg/dl 17,5
Creatinin 0,6-1,1 Mg/dl 0,67
GDS <140 Mg/dl 93,9
Hba1c < 5,7 %
Elektrolik Serum
Kalium 3.5-5.5 Mmol/L 4,1
Natrium 135-145 Mmol/L H 148,33
Clorida 96-106 Mmol/L L 89,95
Kalsium Ion 1.1-1.35 Mmol/L L 1,04
pH 7.35-7.45 H 7,47
Hemostasis
Masa pendarahan 1’00”-6’00” Menit 2’3”
BT
Masa pembekuan 9’00”- Menit 12’30”
CT 15’00”

5
Kimia Klinik
SGOT <31 U/L 18,8
SGPT <31 U/L 7,6
Bilirubin total <1 mg/dL 0,62
Bilirubin direk <0,25 mg/dL 0,17
Bilirubin indirek <0,75 mg/dL 0,45
Albumin 3,5-5,2 g/dL 4,48
Asam urat 3,6-8,2 mg/dL 4,15
b. TCM

MTB detected

Rif resistant detected

c. Rongent

d. Test HIV : negative

6
e. Elektrocardiogram

Gambar 1 : hasil EKG

Kesan:

1. Sinus

2. Irreguler, HR 80 bpm

3. Normo aksis

4. GEL P : 0.12

5. P-R :0.2

6. Qrs : 0.04

7. St segmen normal

V. DIAGNOSIS

TB RR

VI. PENATALAKSANAAN AWAL

➢ KAEN 3B 15 tpm

7
➢ Inj cefoperazone 2x1gr

➢ Inj fluimucil 2x1A (300ml)

➢ Inj omz 1x1A

VII. FOLLOW UP

31 Agustus 2021

Keluhan utama : batuk dahak pagi hari, batuk-batuk kecil seharian

\KU : sakit sedang

Kesadaran : CM

GCS : E:4, V:5, M:6

TD : 115/75 mmHg

N : 95 x/mnt

RR : 22 x/mnt

T :36,5ºC

SPO2 : 97% tanpa 02

Diagnosis : TB RR

Terapi :

- IUFD kn IIIB 15 gtt

- Inj Cefoperazone 2x1gr

- Inj fluimucil 2x1A (300ml)

- Inj omeprazole 1x1A

Konsul THT: test audiometri DBM

01 September 2021

Keluhan utama : batuk dahak pagi hari, batuk-batuk kecil seharian

8
KU : sakit sedang

Kesadaran : CM

GCS : E:4, V:5, M:6

TD : 106/66 mmHg

N : 94 x/mnt

RR : 20 x/mnt

T :36,7ºC

SPO2 : 94% tanpa 02

Diagnosis : TB RR

Terapi :

Bedaquilin 4 tab

Lefofloxacin 1x 750mg

Clofacimin 1x 100mg

Isoniazid 1x450mg

Pirazinamid 1x1500mg

Etambutol 1x800mg

Linezolid 1x600mg

Pyridoxine HCL 1x100mg

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definsi

Multidrug resistant tuberculosis (MDR-TB) adalah kasus tuberkulosis

yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis resisten minimal terhadap

rifampisin dan isoniazid secara bersamaan, dengan atau tanpa obat

antituberkulosis (OAT) lini I yang lain (Reviono et al, 2014).

1.2 Epidemiologi

Berdasarkan data surveilans anti TB resistensi obat, pada tahun 2016,

hanya 130.000 dari 490.000 kasus menerima pengobatan TB MDR. Dari pasien

yang memulai pengobatan pada tahun 2014, 54% berhasil diobati, sedangkan

8% dinyatakan gagal pengobatan, 16% meninggal, 15% gagal (gagal follow

up/drop out) dan 7% adalah tidak dievaluasi (WHO, 2017).

Jumlah Multidrug atau Rifampisin Kasus resisten TB (RR/MDR-TB) di

Indonesia meningkat dari tahun 2009 ke tahun 2014. Pada tahun 2009, terdapat

148 kasus yang dicurigai diperiksa dan 66 di antaranya dipastikan sebagai TB

RR/MDR. Nomor ini meningkat setiap tahun hingga 2014, yang melihat 1.715

dari 9.422 kasus tersangka yang dikonfirmasi sebagai RR/MDR TB

(Kementerian Kesehatan RI, 2017). Timur Jawa merupakan salah satu dari tiga

provinsi dengan jumlah terbesar sebaran kasus TB MDR di Indonesia

(Kementerian Kesehatan RI, 2016). Menurut data e TB Manager dari Provinsi

Jawa Timur Dinas Kesehatan, hanya 46% kasus TB MDR terdeteksi pada tahun

10
2015 berhasil diobati, karena 12% meninggal, 39% gagal dan 3% gagal

pengobatan.

Tingginya jumlah kasus TB yang resistan terhadap obat merupakan masalah

kesehatan masyarakat yang utama, karena dapat menimbulkan ketegangan

keberhasilan pengendalian TB. manajemen dari Kasus TB yang resistan

terhadap obat lebih rumit dan membutuhkan lebih banyak perhatian daripada

pengelolaan TB sensitif obat. Pengobatan TB MDR berlangsung sekitar 20-26

bulan dan masih banyak lagi mahal; obat anti TB memiliki sisi yang lebih

beragam efek dan pasien membutuhkan lebih kompleks pengobatan, yang

membuatnya lebih sulit untuk pengendalian (Kemenkes RI, 2016).

1.3 Etiologi dan Klasifikasi

Etiologi TB-MDR adalah penyakit yang disebabkan Mycobacterium

tuberkulosis yang resisten minimal terhadap rifampisin dan isoniazid.

Resistensi obat pada strain Mycobacterium tuberculosis merupakan suatu

kemampuan kuman dalam beradaptasi dari kemampuan OAT yang digunakan.

Terdapat beberapa tingkatan dalam resistensi obat, rifampisin monoresisten

yang merupakan strain yang resisten terhadap OAT rifampisin, TB-MDR yaitu

strain yang resisten terhadap rifampisi dan isoniazid, dan TB-XDR yaitu

TBMDR yang resisten juga terhadap fluoroquinolon dan minimal salah satu

dari OAT injeksi lini kedua (Biadglegne, et al, 2014).

Klasifikasi TB

Resistensi Primer :

Resistensi yang terjadi pada pasien yang sebelumnya tidak pernah

11
mendapatkan OAT atau kurang dari 1 bulan.

Resistensi Inisial:

Resistensi yang terjadi pada pasien yang tidak tahu pasti apakah pasien sudah

ada riwayat pengobatan OAT sebelumnya atau belum pernah

Resistensi Sekunder

Resistensi yang terjadi pada pasien yang sudah ada riwayat pengobatan OAT

minimal 1 bulan.

1.4 Faktor Risiko

Secara besar faktor risiko terjadinyA resistensi obat pada pasien TB-

MDR pada umumnya terdapat 4 faktor yaitu faktor pasien, faktor dokter, faktor

obat, dan faktor pelayanan kesehatan. Faktor dokter meliputi seberapa baik

dokter dalam memberikan edukasi meliputi penyakit TB itu sendiri, penobatan,

maupun TB-MDR atau kemungkinan terjadinya resitensi obat. Faktor pasien

meliputi ada tidaknya pengawas minum OAT, dukungan keluarga, tingkat

kemampuan ekonomi pasien, jarak rumah ketempat pelayanan kesehatan,

tingkat pendidikan dan pengetahuan pasien terhadap TB itu sendiri. Faktor obat

meliputi pengetahuan pasien mengenai jenis, dosis, pemakaian, serta efek

samping dari OAT. Faktor pelayan sistem kesehatan meliputi jarak dari rumah

ke tempat pelayanan kesehatan, program kesehatan, dan ketersediaan obat.

Menurut Sarwani faktor risiko untuk terjadinya MDR–TB adalah infeksi

HIV, sosial ekonomi, kelompok umur, jenis kelamin, konsumsi rokok dan

alkohol, adanya penyakit diabetes, dosis obat yang tidak tepat sebelumya dan

pengobatan terdahulu dengan suntikan dan fluoroquinolon . penelitian liu di

12
China menyebutkan bahwa faktor risiko MDR-TB adalah jenis kelamin

perempuan, usia muda, sering bepergian, pernah menjalani pengobatan

sebelumnya, dantinggal pada lingkungan rumah padat penduduk.

1.5 Patofisiologi dan Pathogenesis

a. Patogenesis TB
Tuberkulosis menyebar melalui inhalasi droplet nuclei. Setelah masuk ke
saluran pernapasan dan akhirnya mencapai alveolus, makrofag di alveolus
akan melakukan fagositosis, namun bakteri ini tidak mati karena memiliki
dinding sel yang tebal dan mengandung asam mikoleat yang akan
melindunginya dari enzim lisosom. Di dalam makrofag, bakteri ini justru
melakukan replikasi. Pada tahap ini, pasien umumnya asimtomatis.
Setelah sekitar 3 minggu, imunitas seluler spesifik (oleh sel T) mulai bekerja
dengan cara mengisolasi bakteri TB dalam suatu granuloma. Hasilnya,
bakteri TB dan jaringan alveolus di dalam granuloma tersebut akan mati,
sehingga terjadi nekrosis jaringan dengan gambaran yang khas, yaitu
nekrosis kaseosa (nekrosis perkejuan). Bangunan ini disebut fokus Ghon.
Selain itu, proses patogenesis di atas juga terjadi di kelenjar getah bening di
hilus paru, menyebabkan limfangitis, dan menginvasi ke kelenjar limfe yang
menyebabkan limfadenitis. Fokus Ghon ditambah limfangitis, limfadenitis
disebut kompleks Ghon (Philips & Ernst, 2012).
Mekanisme pembentukan focus ghon tersebut akan membuat jaringan di
sekitarnya menjadi jaringan parut dan bakteri akan menjadi dormant.
Bentuk-bentuk dormant dari mekanisme pembentukan dinding tersebutlah
yang sebenarnya terlihat sebagai tuberkel pada pemeriksaan foto rontgen.
Dari sini, infeksi TB dapat berkembang menjadi:
1. Sembuh total, tidak ada cacat. Bakteri di dalam granuloma akhirnya mati,
namun meninggalkan fibrosis dan kalsifikasi karena adanya jaringan
alveolus yang mati

13
2. TB laten. Bakteri di dalam granuloma tidak mati, tetapi dorman. Suatu
saat, ketika imunitas host mengalami penurunan, misalnya karena infeksi
HIV atau karena usia tua, bakteri ini dapat aktif kembali (Cardona, 2018).
b. Patofisiologi TB MDR
Terjadinya resisten terhadap OAT dapat terjadi pemberian obat yang tidak
tepat yaitu pasien tidak menyelesaikan pengobatan yang diberikan, petugas
kesehatan memberikan pengobatan yang tidak tepat baik paduan, dosis,
lama pengobatan dan kualitas obat, demikian pula adanya kendala suplaio
bat yang tidak selalu tersedia.
TB MDR merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis yang sudah memiliki resistensi pada isoniazid
dan rifampicin sekaligus (Danusantoso, 2011). Bakteri ini merupakan
bakteri aerob yang sangat dipengaruhi konsentrasi oksigen. Bakteri ini
hidup di lesi cavitas yang terdapat pada jaringan parenkim paru-paru.
Dinding bakteri ini terdiri dari peptidoglikan, arabinogalaktan, dan asam
mikolat. Dinding ini tebal dan memiliki konsentrasi lipid yang tinggi
sehingga tidak mudah ditembus molekul hidrofilik. Lipid pada dinding ini
juga menyebabkan Mtb resisten terhadap bahan kimia untuk dekontaminasi.
Bakteri ini tahan terhadap dingin tetapi sensitif terhadap panas, cahaya
matahari, sinar UV, dan X-rays. Bakteri ini tumbuh lambat yaitu antara 13
sampai 20 jam (Brennan, 2003).
Resistensi terhadap antimikroba merupakan karakteristik alami bakteri Mtb.
Hal tersebut berhubungan dengan mutasi genetik yaitu spontaneous
chromosmomal mutation. Mutasi ini tidak terjadi pada 1 kromosom saja,
tetapi bertahap sesuai antimikroba yang diberikan sehingga timbul Multi-
Drug Resistance. Resistensi ini dipicu oleh penggunaan antibiotik yang
kurang benar (Camimero, 2013). Terdapat 4 teori mekanisme multiplikasi
selektif MDR TB yang disebabkan oleh penggunaan (OAT) yang tidak
teratur, yaitu:
1. Perbedaan aktivitas bakterisidal selama pembunuhan bakteri
2. Monoterapi yang menyebabkan populasi spesifik menjadi steril

14
3. Konsentrasi hambat minimal selama bakteri tersebut tumbuh kembali
4. Perbedaan efek pasca pengobatan selama bakteri tersebut tumbuh
kembali
c. Mekanisme Resistensi Terhadap OAT
1) Mekanisme Resistensi terhadap INH
Isoniazid adalah hydrasilasi dari asam isonikotinik, molekul yang larut
dalam air sehingga dapat dengan mudah untuk masuk ke dalam sel.
Mekanisme kerja obat ini adalah menghambat sintesis asam mikolat
pada dinding sel (struktur bahan yang sangat penting pada dinding sel
Mycobacterium), melalui jalur yang tergantung dengan oksigen seperti
reaksi katalase peroksidase. Bakteri M. tuberculosis yang resisten
terhadap isoniazid terjadi secara spontan dengan kecepatan 1 dalam 105-
106 organisme.
Mekanisme tersebut diperkirakan karena adanya asam amino yang
mampu mengubah gen katalase peroksidase (katG) atau promotor pada
lokus 2 gen yang dikenal sebagai inhA. Delesi katG berkaitan dengan
berkurangnya aktifitas katalase dan peroksidase.
2) Mekanisme Resistensi terhadap Rifampisin
Rifampisin adalah suatu turunan semisintetik dari Streptomyces
mediterranei, yang berfungsi sebagai bakterisid intraseluler maupun
ekstraseluler. Obat ini juga dapat menghambat sintesis RNA dengan
cara mengikat atau menghambat secara khusus RNA polymerase yang
tergantung DNA.
Resistensi terhadap rifampisin disebabkan karena adanya permeabilitas
barier atau disebabkan karena adanya mutasi dari RNA polymerase yang
tergantung DNA. Rifampisin menghambat RNA polymerase yang
tergantung DNA dari mikobakterium, dan juga menghambat sintesis
RNA bakteri yaitu pada formasi rantai (chain formation).
Resistensi rifampisin akan berkembang karena adanya mutasi
kromosom dengan frekuensi dan kecepatan mutasi yang tinggi, sehingga
perubahan pada RNA polymerase. Resistensi terjadi pada gen untuk beta

15
subunit dari RNA polymerase dengan terjadinya perubahan pada tempat
ikatan obat tersebut.
3) Mekanisme Resistensi terhadap Pyrazinamide
Pyrazinamide adalah suatu turunan asam nikotinik yang berperan sangat
penting sebagai bakterisid jangka pendek terhadap pengobatan
Tuberkulosis.26 Obat ini akan bekerja efektif terhadap bakteri TB secara
invitro pada pH asam (5,0-5,5). Pada keadaan pH yang normal,
pyrazinamide tidak akan berefek atau hanya sedikit berefek.
Obat ini adalah bakterisid yang akan memetabolisme secara lambat
organisme yang berada dalam suasana asam pada fagosit atau
granuloma kaseosa. Obat tersebut akan diubah oleh basil tuberkel
menjadi suatu bentuk yang aktif asam pyrazinoat. Mekanisme resistensi
pyrazinamid berhubungan dengan hilangnya aktifitas pyrazinamidase
sehingga tidak akan banyak diubah menjadi asam pyrazinoat.
4) Mekanisme Resistensi terhadap Ethambutol
Ethambutol adalah turunan ethylenediamine yang larut dalam air dan
akan aktif hanya pada Mycobacteria. Ethambutol ini bekerja sebagai
bakteriostatik pada dosis standar. Mekanisme utamanya dengan cara
menghambat enzim arabinosyltransferase yang memperantarai
polymerisasi arabinose menjadi arabinogalactan yang berada di dalam
dinding sel.
Resistensi ethambutol pada M. tuberculosis biasanya sering berkaitan
dengan mutasi missense pada gen embB yang menjadi suatu sandi untuk
arabinosyltransferase. Mutasi tersebut telah ditemukan pada 70% strain
yang resisten dan keterlibatan pengganti asam amino pada posisi 306
atau 406 sekitar 90% kasus.
5) Mekanisme Resistensi terhadap Streptomicin
Streptomysin adalah golongan aminoglikosida yang diisolasi dari
Streptomyces griseus. Obat tersebut akan bekerja dengan menghambat
sintesis protein dengan cara menggangu fungsi dari ribosomal. Pada dua
pertiga strain M. tuberculosis yang resisten terhadap streptomysin telah

16
diidentifikasi oleh karena adanya mutasi pada satu dari dua target yaitu
pada gen 16S rRNA (rrs) atau pada gen yang sudah menyandikan protein
ribosomal S12 (rpsl). Kedua target tersebut diyakini terlibat pada suatu
ikatan streptomysin ribosomal.26 Mutasi yang paling utama terjadi pada
rpsl. Mutasi pada rpsl tersebut telah diidentifikasi sebanyak 50% isolat
yang resisten terhadap streptomysin dan mutasi pada rss sekitar 20%.27
Pada sepertiga yang lainnya tidak ditemukan adanya mutasi. Frekuensi
resistensi mutan terjadi pada 1 dari 105 sampai 107 organisme. Strain
M. Tuberculosis yang sudah resisten terhadap streptomysin tidak akan
mengalami resistensi silang pada capreomysin maupun pada amikasin.
1.7 Anamnesis

Keluhan pasien datang dengan gejala dan tanda penyakit TB paru seperti

batuk berdahak ≥ 2 minggu dan dapat disertai sedikitnya salah satu dari gejala

berikut:

- Lokal respiratorik: dapat bercampur darah atau batuk darah, sesak nafas,

dan nyeri dada atau pleuritic chest pain (bila disertai peradangan pleura).

- Sistemik: nafsu makan menurun, berat badan menurun, berkeringat malam

tanpa kegiatan fisik, demam meriang, badan lemah dan malaise.

- Riwayat kontak

- Riwayat pengobatan OATsebelumnya

- Faktor risiko penurunan daya tahan tubuh (HIV, DM, dan lain sebagainya)

1.7 Pemeriksaan Fisik

a. Inspeksi : Bila lesi minimal, biasanya tidak ditemukan kelainan. Bila

lesi luas, dapat ditemukan bentuk dada yang tidak simetris.

b. Palpasi : Bila lesi minimal, biasanya tidak ditemukan kelainan. Bila

lesi luas, dapat ditemukan kelainan berupa fremitus mengeras atau melemah

17
c. Perkusi : Bila lesi minimal, biasanya tidak ditemukan kelainan. Bila

ada kelainan tertentu, dapat terdengar perubahan suara perkusi seperti

hipersonor pada pneumotoraks, atau pekak pada efusi pleura.

d. Auskultasi : Bila lesi minimal, tidak ditemukan kelainan. Bila lesi luas,

dapat ditemukan kelainan berikut: Ronki basah kasar terutama di apeks

paru, suara napas melemah atau mengeras, atau stridor. suara napas

bronkhial/amforik/ronkhi basah/suara napas melemah di apeks (Burhan E, 2016).

1.8 Pemeriksaan Laboratorium dan Penunjang

Pemeriksaan Klinis: peningkatan berat badan, berkurangnya keluhan.

• Pemeriksaan dahak setiap satu bulan sekali pada tahap awal dan dua bulan

sekali pada tahap lanjutan.

• Pemeriksaan laboratorium sesuai dengan pertimbangan TAK (Buku Saku TB

MDR,Kemenkes RI).

Pemeriksaan laboratorium.

Semua fasyankes yang terlibat dalam pelaksanaan Manajemen Terpadu

Pengendalian TB Resistan Obat merujuk semua suspek TB MDR ke

laboratorium rujukan DST dengan melalui fasyankes Rujukan TB MDR.

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah: Pemeriksaan mikroskopis.

Pemeriksaan mikroskopis kuman tahan asam (BTA) dengan pewarnaan Ziehl

Neelsen. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis dilaksanakan untuk

pemeriksaan pendahuluan pada suspek TB MDR, yang dilanjutkan dengan

biakan dan uji kepekaan M.tuberculosis, pemeriksaan dahak lanjutan (follow-

up) dalam waktu-waktu tertentu selama masa pengobatan, diikuti dengan

18
pemeriksaan biakan, untuk memastikan bahwa M.tuberculosis sudah tidak ada

lagi (Sembiring,2018). Berdasarkan rekomendasi WHO, interpretasi

pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala International Union Against

Tuberculosis dan Lung Disease (IUATLD), antara lain:

• Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang disebut negatif

• Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang

ditemukan

• Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut +1

• Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut +2

Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut +3

Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan standar yang dapat digunakan adalah foto toraks PA.

Pemeriksaan lain atas indikasi yaitu foto lateral, top-lordotic, oblik, atau CT-

Scan. Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif adalah:

• Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru

dan segmen superior lobus bawah

• Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan

atau nodular

• Bayangan bercak milier

• Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB inaktif:

• Fibrotik

• Kalsifikasi

19
• Schwarte atau penebalan paru.

1.9 Penegakkan diagnosis

Diagnosis MDR TB MDR :

1. klinis dan riwayat pengobatan OAT sebelumnya.

2. Berdasarkan uji kepakaan Semua suspek TB MDR diperiksa dahaknya dan

selanjutnya dilakukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan Uji kepekaan OAT

lini ke 2 dilakukan jika terdapat riwayat pemakaian OAT lini ke 2 atau pasien

MDR dalam pengobatan, tidak terjadi koversi atau terjadi perburukan secara

klinis (Penatalaksanaan TB,2016).

Penegakan Diagnosis Diagnosis TB-MDR. Diagnosis TB MDR dipastikan

berdasarkan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan M.tuberculosis. Semua

suspek TB MDR diperiksa dahaknya dua kali, salah satu diantaranya harus

dahak pagi hari.

Uji kepekaan M.tuberculosis harus dilakukan di laboratorium yang telah

tersertifikasi untuk uji kepekaan. Sambil menunggu hasil uji kepekaan, maka

suspek TB MDR akan tetap meneruskan pengobatan sesuai dengan pedoman

pengendalian TB Nasional (Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis,

2011).

Diagnosis TBMDR dipastikan berdasarkan uji kepekaan. Semua suspek

TB-MDR diperiksa dahaknya untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan biakan

dan uji kepekaan. Jika hasil uji kepekaan terdapat yang resisten minimal

terhadap rifampisin dan INH, maka dapat ditegakkan diagnosis TB-MDR.

20
Strategi diagnosis TB MDR

1. Pemeriksaan laboratorium untuk uji kepekaan M.tuberculosis dilakukan

dengan metode standar yang tersedia di Indonesia:

- Metode konvensional. Menggunakan media padat (Lowenstein Jensen/

LJ) atau media cair (MGIT). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)

mendukung penggunaan metode biakan media cair dan identifi kasi M.

Tuberculosis cara cepat dibandingkan media padat saja. Metode cair lebih

sensitif mendeteksi mikobakterium dan meningkatkan penemuan kasus

sebesar 10% dibandingkan media padat, di samping lebih cepat

memperoleh hasil sekitar 10 hari dibandingkan 28-42 hari dengan media

padat.

- Tes cepat (rapid test). Menggunakan cara Hain atau Gene Xpert. Gene

Xpert dapat mengidentifikasi kuman M.tuberculosis dan resistensi

rifampisin dari sputum dalam beberapa jam. Akan tetapi, konfirmasi TB

resisten obat dengan uji kepekaan obat konvensional masih digunakan

sebagai baku emas. Penggunaan Xpert MTB/RIF tidak menyingkirkan

kebutuhan akan metode biakan dan uji kepekaan obat konvensional untuk

menegakkan diagnosis definitif TB pada pasien dengan apusan BTA

negatif. Lagi pula, uji kepekaan obat dibutuhkan untuk menentukan

kepekaan OAT selain rifampisin.

2. Pemeriksaan uji kepekaan M.tuberculosis yang dilaksanakan adalah

pemeriksaan untuk obat lini pertama dan lini kedua. Prosedur dasar

diagnostik untuk suspek TB MDR.

21
3. Pemeriksaan biakan dan uji kepekaan M.tuberculosis untuk OAT lini kedua

bersamaan dengan OAT lini pertama.Pasien TB yang mempunyai riwayat

pengobatan TB Non DOTS Suspek TB yang mempunyai riwayat kontak

erat dengan kasus TB XDR konfirmasi. Pemeriksaan uji kepekaan.

4. Pemeriksaan uji kepekaan M.tuberculosis untuk OAT lini kedua setelah

terbukti menderita TB MDR yaitu pasien TB pengobatan kategori 2 yang

tidak konversi, pasien pengobatan kategori 1 yang gagal,pasien TB

pengobatan kategori 1 yang tidak konversi setelah pemberian sisipan, pasien

kambuh (relaps), kategori 1 dan kategori 2, pasien yang berobat kembali

setelah lalai berobat/default, kategori 1 dan kategori 2, suspek TB yang

mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien TB MDR, pasien koinfeksi

TBHIV yang tidak respon terhadap pemberian OAT Pemeriksaan uji

kepekaan mycobacterium tuberculosis untuk OAT lini kedua atas indikasi

khusus. Adalah setiap pasien yang hasil biakan tetap positif pada atau

setelah bulan ke empat pengobatan menggunakan paduan obat standar yang

digunakan pada pengobatan TB MDR, Pasien yang mengalami rekonversi

biakan menjadi positif kembali setelah pengobatan TB MDR bulan ke

empat, diagnosis TB resisten obat ditegakkan berdasarkan uji kepekaan di

laboratorium dengan jaminan mutu eksternal. Semua pasien yang dicurigai

mengidap TB resisten obat wajib diperiksa sputumnya untuk selanjutnya

dilakukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan. Jika hasil uji kepekaan

memperlihatkan adanya M. tuberculosis yang resisten minimal terhadap

rifampisin dan isoniazid, diagnosis MDR-TB dapat ditegakkan. Sambil

22
menunggu hasil uji kepekaan M.tuberculosis di laboratorium rujukan, maka

suspek TB MDR akan tetap meneruskan pengobatan sesuai dengan

pedoman penanggulangan TB Nasional di tempat asal rujukan, kecuali pada

kasus kronik, pengobatan sementara tidak diberikan. Suspek TB MDR

tersebut akan diberikan penyuluhan tentang pengendalian infeksi

(Sembiring,2018).

1.10 Penatalaksanaan

1.10.1 Tatalaksana Farmakologi

Pengobatan pasien TB MDR terdiri atas 2 (dua) tahap: tahap awal dan

tahap lanjutan, selama sekitar 19-24 bulan.

- Pada tahap awal diberikan obat minum setiap hari dan obat suntikan

(Kanamisin atau Capreomisin) 5 hari dalam seminggu minimal selama 6

bulan atau 4 bulan setelah biakan dari dahak 5 negatif 2 bulan berturut-turut.

23
- Tahap lanjutan hanya obat minum 6 hari dalam seminggu (tanpa obat

suntikan) dan sebaiknya pada jam yang sama.

Paduan pengobatan TB MDR terdiri dari minimal 4 macam obat

dengan dosis sesuai Berat Badan .Pasien juga diberikan (vitamin B6) untuk

mengurangi efek samping obat .Semua obat diberikan setiap hari dibawah

pengawasan petugas kesehatan yang ditunjuk sebagai PMO (Pengingat

Minum Obat). Semua obat diberikan dosis penuh, dalam waktu maksimal 2

jam, kecuali jika terjadi efek samping atau kondisi tertentu yang

pengaturannya ditentukan oleh TAK (Tim Ahli Klinik) (Buku Saku TB

MDR,Kemenkes RI).

PENGOBATAN TB-MDR

Prasyarat utama OAT yang bermanfaat :

1. Aktiviti bakterisidal dini

2. Aktiviti sterilisasi

3. Kemampuan mencegah terjadinya resistensi terhadap obat penyerta.

Pengelompokkan OAT :

• Kelompok 1 : Lini Pertama Pemberian obat oral. Isonizid, (H),

rifampicin (R), PZA (Z), Ethambutol (E), rifabutin

• Kelompok 2: dengan Pemberian IV. Kanamycin (Km), Amikacin

(Am), Capreomycin (Cm), Streptomycin (S)

• Kelompok 3: Fluoroquinolones Moxifloxacin (Mfx), Levofloxacin

(Lfx), Ofloxacin (Ofx)

24
• Kelompok 4: agen lini ke-2 bakteriostatik oral

Ethionamide/Prothionamide (Eto/Pto), Cycloserine (Cs), Terizidone

(Tzd). Para-aminosalycylic acid (PAS)

• Kelompok 5: Obat anti-TB dengan khasiat yang belum jelas

Clofazimine, Amoxicillin/clavulanate, (Amx/Clv) high-dose H,

Linezolid, Thioacetazone (Th), Imipenem/cilastatin, Clarithromycin.

Penetapan paduan dan dosis OAT TB RO di Indonesia

Pilihan paduan OAT RO yang disediakan oleh Program saat ini adalah:

a. Paduan OAT standar diberikan kepada pasien TB RR dan TB MDR

dengan jangka waktu sebagai berikut :

- Pengobatan OAT standar jangka pendek (9-11 bulan)

- Pengobatan OAT standar konvensional (20-26 bulan)

b. Paduan OAT Individual

Paduan OAT Individual diberikan kepada pasien yang memerlukan

perubahan paduan pengobatan yang fundamental dari pengobatan OAT

standar yang sudah digunakan sebelumnya, misal:

- Pasien terkonfirmasi sebagai pasien TB pre-XDR atau TB XDR

sejak awal, atau terjadi resistensi tambahan terhadap OAT lini kedua

golongan fluorokuinolon dan obat suntik lini kedua selama

pengobatan OAT standar diberikan. Lama pengobatan minimal 24

bulan.

- Pasien TB RO yang mengalami efek samping berat terhadap OAT

lini kedua golongan fluorokuinolon dan obat suntik lini kedua. Lama

25
pengobatan sama dengan pengobatan OAT standar konvensional

(20-26 bulan) sesuai dengan respon terhadap pengobatan yang

diberikan.

Paduan OAT standar:

a. Paduan OAT standar jangka pendek yang diberikan adalah:

4-6 Km - Mfx - Eto - Cfz – Z – H dosis tinggi – E/ 5 Mfx - Eto - Cfz -

Z–E

b. Paduan OAT standar konvensional yang diberikan adalah :

8-12 Km - Lfx - Eto - Cs - Z- (E) - H / 12-14 Lfx - Eto - Cs - Z - (E) –

Pengobatan TB RO dengan jangka pendek diberikan pada pasien TB

RO yang tidak mempunyai riwayat pengobatan menggunaan Quinolon atau

Injeksi lini 2 atau terbukti tidak resistes terhadap Quinolon atau injeksi lini

2. Strategi pengobatan TB MDR:

1. Pengobatan standar: Drug Resistancy survey (DRS) Berdasarkan hasil

survey hasil uji kepakaan dari populasi pasien yang representatif Setiap

pasien mendapatkan rejemen pengobatan yang sama.

2.Pengobatan empiris: Rejimen pengobatan berdasarkan riwayat

pengobatan TB pasien sebelumnya dan dari data uji kepekaan populasi

representatif. Rejimen disesuaikan setelah ada hasil uji kepekaan individu.

3. Pengobatan individual Rejimen berdasarkan riwayat pengobatan TB

sebelumnya dan hasil uji kepekaan.

26
4. Regimen standar Jangka pendek penggunaan paduan pengobatan standar

jangka pendek 9-11 bulan untuk tiga kelompok pasien, yaitu:

- Pasien TB resistan rifampisin (TB RR)

- MDR yang belum pernah diobati dengan OAT lini kedua

- Pasien yang kemungkinan kecil terjadi resistansi

- Terbukti tidak resistan terhadap fluorokuinolon dan obat injeksi lini kedua

- Tambahan Pertimbangan Pengobatan TB MDR

Gunakan PMO untuk mengawasi pengobatan Pemberian OAT setiap

hari, tidak boleh intermitten Lama pengobatan minimum 18 bulan setelah

kultur konversi Obat suntik minimal 6 bulan atau 4 bulan setelah konversi

Tidak dianjurkan siprofroksasin (Penatalaksaan TB,2016).

Paduan OAT individual

a. Paduan OAT Individual untuk pasien TB MDR yang resistan atau alergi

terhadap fluoroquinolon tetapi sensitif terhadap OAT suntik lini kedua

(Pre-XDR):

Paduan OAT individual untuk pasien baru :

8-12 Km–Mfx–Eto–Cs–PAS–Z–(E)–H/ 12-14 Mfx–Eto–Cs-PAS-Z-(E)-H

Alternatif dengan Bedaquilin:

8-12 Km - Eto - Cs - Z- (E) - H + 6 Bdq / 12-14 Eto - Cs - Z - (E) – H

Paduan OAT individual untuk pasien pengobatan ulang :

12-18 Km - Mfx - Eto - Cs - PAS - Z- (E) - H / 12 Mfx - Eto – Cs - PAS -

Z - (E) – H

Alternatif dengan Bedaquilin:

27
12-18 m - Eto - Cs - Z- (E) – H + 6 Bdq / 12 Eto - Cs - Z - (E) – H

b. Paduan OAT individual untuk pasien TB MDR yang resistan atau alergi

terhadap OAT suntik lini kedua tetapi sensitif terhadap fluorokuinolon (Pre-

XDR) :

Paduan OAT individual untuk pasien baru :

8-12 Cm - Lfx - Eto - Cs - Z- (E) - H / 12-14 Lfx - Eto - Cs - Z - (E) – H

Alternatif dengan Bedaquilin:

8-12 Lfx - Eto - Cs - Z- (E) - H + 6 Bdq / 12-14 Lfx - Eto - Cs - Z - (E) – H

Paduan OAT individual untuk pasien pengobatan ulang :

12-18 Cm - Lfx - Eto - Cs - Z- (E) - H / 12 Lfx - Eto - Cs - Z - (E) – H

Alternatif dengan Bedaquilin:

12-18 Lfx - Eto - Cs - Z- (E) - H + 6 Bdq / 12 Lfx - Eto - Cs - Z - (E) – H

c. Paduan OAT Individual untuk pasien TB XDR:

12-18 Cm - Mfx - Eto - Cs - PAS - Z- (E) - H / 12 Mfx - Eto - Cs - PAS - Z

- (E) – H

Alternatif dengan Bedaquilin:

12-18 to - Cs - Lnz - Cfz - Z- (E) - H + 6 Bdq / 12 Eto - Cs - Lnz - Cfz - Z

- (E) – H

d. Paduan OAT individual untuk pasien dengan alergi atau efek samping berat

terhadap OAT oral lini kedua (Grup C) sedangkan OAT suntik lini kedua

dan golongan fluorokuinolon masih bisa dipakai.

- Paduan OAT individual untuk pasien yang alergi/ mengalami efek

samping berat terhadap salah satu dari OAT Grup C yang dipakai (Eto

28
atau Cs) maka OAT penggantinya diambilkan salah satu OAT Grup C

(Cfz atau Lnz) atau D2 (Bdq) atau D3 (PAS) yang tersedia supaya tetap

memenuhi standar minimal 4 macam OAT inti lini kedua. Contoh:

Pasien mengalami gangguan kejiwaan berat yang diduga disebabkan

oleh penggunaan Sikloserin. Dari semua opsi OAT pengganti tersebut,

PAS merupakan OAT yang paling mudah untuk diperoleh.TAK di

Fasyankes Rujukan TB RO mengganti paduan OAT standar

konvensional menjadi:

8-12 Km - Lfx - Eto - PAS - Z- (E) - H / 12-14 Lfx - Eto - PAS - Z - (E)

–H

- Pasien yang mengalami alergi/ efek samping berat terhadap dua OAT

Grup C (Eto dan Cs) maka alternatif paduan OAT individual yang bisa

digunakan yaitu:

Alternatif paduan individual dengan Bedaquilin

8-12 Km - Lfx - (Lnz/Cfz) - Z- (E) - H + 6 Bdq / 12-14 Lfx - (Lnz/Cfz)

- PAS - Z - (E) – H

Alternatif paduan tanpa Bedaquilin:

8-12 Km - Lfx - Lnz - Cfz - Z- (E) - H / 12-14 Lfx - Lnz - Cfz - Z - (E)

–H

Alternatif lain paduan tanpa Bedaquilin:

8-12 Km - Lfx - (Lnz/Cfz) - PAS - Z- (E) - H / 12-14 Lfx - (Lnz/Cfz) - PAS - Z - (E) -

H(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2017).

29
1.11.2 Tatalaksana Non Farmakologi

Prinsip: Pengendalian Infeksi (MDR) TB

• Administratif Batasi tingkat infeksi dari pejamu

• Tegakkan diagnosis dan obati kasus TB secara tepat dan efektif

Pisahkan pasien TB;

• Singkatkan masa tunggu di poliklinik, di tempat tunggu yang terbuka

• Pisahkan pasien HIV dan TB

• Jangan menugaskan petugas kesehatan dengan sistem kekebalan tubuh

yg tertekan (immunocompromised) untuk merawat pasien TB

• Hindari bayi/anak bercampur dengan pasien

• TB Obati secara rawat jalan jika memungkinkan Lingkungan Rekayasa

pengontrolan (biaya sangat mahal)

• Maksimalkan ventilasi dan sinar matahari

• Proteksi pribadi Paling tidak efektif,

Unsur Penting TB-MDR

• Pencegahan

• Obati TB dengan tepat sesuai rekomendasi (berdasarkan ISTC dan

strategi DOTS) Jangan memakai obat lini kedua untuk kasus baru

karena efikasi lebih rendah dari obat lini pertama

• Pemantauan dengan uji mikrobiologi guna penanggulangan TB secara

optimal Lakukan uji kepakaan pada pasien yang mempunyai risiko

untuk resistensi obat PERLINDUNGAN PENULARAN DARI

PENDERITA MDR-TB

30
Deteksi dini TB

• Obati segera penderita TB Penyuluhan pada pekerja kesehatan tentang

TB Skrening pada pekerja kesehatan yang bekerja dilingkungan

penderita TB Kewaspadaan universal Sirkulasi dan ventilasi udara yang

baik (Penatalaksanaan TB,2016).

1.12 Komplikasi

Penyakit TB bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan

komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi lanjut`

- Komplikasi Dini:Pleuritis, Efusi pleura,Empiema,Laringitis, Poncets

arthropy.

- Komplikasi lanjut : Obstruksi jalan napas pasca TB, Kerusakan parenkim

berat, Kor pulmonal, ARDS, Karsinoma paru, TB milier, Kavitas TB (ilmu

penyakit dalan Jilid V).

1.13 Prognosis

Kasus TB MDR ini merupakan kasus yang dapat mengancam nyawa

karena dapat menurunkan fungsi sistem pernapasan. Berdasarkan sebuah

studi, dikatakan bahwa angka kesembuhan tanpa relaps hanya mencapai 31%

(WHO,2014).

31
BAB III

KESIMPULAN

Multidrug resistant tuberculosis (MDR-TB) adalah kasus tuberkulosis yang

disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis resisten minimal terhadap rifampisin

dan isoniazid secara bersamaan, dengan atau tanpa obat antituberkulosis (OAT) lini

I yang lain. Pada kasus ini penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang sudah sesuai. Penatalaksanaan pada

pasien ini juga sudah cukup sesuai dengan kepustakaan.

32
DAFTAR PUSTAKA

Anggi Atria Sembiring, 2018., KARAKTERISTIK PENDERITA TB MDR


(TUBERCULOSIS MULTI DRUG RESISTANCE) DI RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN TAHUN 2016 – 2017. Jurnal Kesmas Sumatera utara.

Biadglegne F, Sack U, Rodloff AC. Multidrug-resistant tuberculosis in Ethiopia:


efforts to expand diagnostic services, treatment and care. Antimicrobial Resistance
and Infection Control. 2014; 3(1):1-10.

Burhan, E. 2016. Diagnosis dan Tatalaksana Tuberkulosis. Diagnosis TB, 1–44

Ilmu penyakitt dalam jilid V tahun 2009

Kemenkes RI. 2016. ‘Penatalaksanaan TB’. Jakarta Selatan: Badan penelitian dan
pengembangan kesehatan.

Kemenkes RI, Buku Saku TB MDR.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2017) ‘Pengobatan Pasien


Tuberkulosis’, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, pp. 1–117. Available
at: http://www.ljj-
kesehatan.kemkes.go.id/pluginfile.php/4607/coursecat/description/Pengobatan
Pasien TB.pdf.

Ministry of Health RI. (2016). Minister of Health Regulation number 67 of 2016


concerning tuberculosis prevention. Jakarta: Ministry of Health RI.

Ministry of Health RI. (2017). Integrated management of drug resistant TB control


(MTPTRO). Retrieved July, 6, 2020 from
https://www.tbindonesia.or.id/page/view/22/t b-mdr

Organization, World Health. Companion handbook to the WHO guidelines for the
programmatic management of drug-resistant tuberculosis. Geneva: World Health
Organization 2014, 2014.

Reviono, Kusnanto,Vicky., 2014. Multidrug Resistant Tuberculosis (MDR-TB):


Tinjauan Epidemiologi dan Faktor Risiko Efek Samping Obat Anti
Tuberkulosis.,Surakarta, MKB, Volume 46 No. 4, Desember 2014

WHO. (2017). Multidrug-resistance tuberculosis (MDR-TB): 2017 Update. Wold


Health Organization. USA. Retrieved October, 3, 2019, from
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/1309 18/1/9

Anda mungkin juga menyukai