Case Report
Manajemen General Anestesi pada Operasi
Colic Renal
Oleh :
Preceptor :
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan Rahmat
dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang disusun
RSUD Jendral Ahmad Yani Metro. Penyelesaian laporan kasus ini banyak mendapat
bantuan serta motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis
menyampaikan rasa terima kasih kepada dr. Yusnita Debora, Sp.An selaku pembimbing
yang telah memberikan ilmu, petunjuk, nasehat dan kesempatan kepada penulis untuk
Penulis menyadari bahwa makalah ini tentu tidak terlepas dari kekurangan
karena keterbatasan waktu, tenaga dan pengetahuan dari penulis. Maka sangat
diperlukan masukan dan saran yang membangun. Semoga makalah ini dapat
Penulis
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................................
DAFTAR ISI..................................................................................................................................
DAFTAR TABEL..........................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................1
BAB I
PENDAHULUAN
Kolik renal merupakan suatu keadaan emergensi yang sering dan penting pada praktek
kesehatan. Hal ini biasanya disebabkan oleh obstruksi dari saluran kemih oleh karena batu.
Sekitar 5-12% populasi akan menderita batu saluran kemih selama hidup. Biasanya pada
usia 30-60 tahun dengan rata-rata 3x lebih sering pada laki-laki. Angka kekambuhan sekitar
50% selama 10 tahun. Gejala klasik dari kolik renal akut yaitu: nyeri yang menjalar dari
pinggang ke paha dan disertai hematuria mikroskopis (85%), warna urin tidak jernih, mual
dan muntah. Sekitar 2 juta penduduk USA mengalami batu saluran kemih (BSK). Pada
tahun 2000.
Diperkirakan berkisar antara 5- 12% di Eropa dan di Amerika Serikat, yang mempengaruhi 13%
laki-laki dan 7% perempuan dalam populasi. Selanjutnya, tingkat kekambuhan seumur hidup
diperkirakan mencapai 50% dalam 10 tahun dari episode urolitiasis awal. Beberapa penelitian
sebelumnya telah menunjukkan kecenderungan di seluruh dunia terhadap prevalensi dan kejadian
urolitiasis yang meningkat. Menurut data Kementerian Kesehatan Indonesia (2013), diperkirakan
prevalensi penderita yang terdiagnosa kolik renal untuk umur di atas 15 tahun adalah sebesar 0,6%
dari total penduduk Indonesia. Lima provinsi yang menduduki posisi tertinggi masalah penyakit
kolik ginjal diantaranya adalah D.I. Yogyakarta, Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi
Tengah.
2
BAB II
STATUS PASIEN
Nama : Ny. T
JenisKelamin : Perempuan
Agama :Islam
StatusPernikahan : Menikah
Alamat : Sukada
SukuBangsa : Jawa
No. RM : 435353
BeratBadan : 48 kg
2.2 Anamnesis
Ny. T datang diantar keluarganya ke IGD RSUD Ahmad Yani Metro pada
pukul 13.25 WIB dengan keluhan nyeri pada pinggang sejak 5 bulan yang lalu
sebelum masuk rumah sakit. nyeri dirasakan hilang timbul dan tidak membaik saat
pasien beristirahat. Pasien juga mengatakan perut dan pinggang terasa panas.1 hari
sebelum masuk rumah sakit pasien mengatakan mual dan muntah sebanyak 2kali.
Pasien mengkonsumsi 5 gelas kopi perharinya dan pasien juga mengatakan kurang
Riwayat DM :(-)
Riwayatpenyakitjantung : (-)
Riwayathipertensi : (-)
Riwayat DM : (-)
2.3 PemeriksaanFisik
GCS :E4M6V5
Tanda Vital :
- TD : 111/73 mmHg
- HR : 80 x/menit
- RR : 20x/menit
- Suhu :36,1 oC
- SpO2 : 98%
Airway
Look : Gigi ompong (+), gigi palsu (-), gigi goyang (-), lidah membesar (-),
Mallampati :2
ASA II
Diagnosis Anestesi
Colic Renal
1. Kulit
Pucat :(-)
Sianosis :(-)
Ikterus :(-)
2. Kepala
Kepala :Simetris/Normochepal
3. Thorax
a. Pulmo
Perkusi : Sonor(+/+)
Auskultasi : Vesikuler(+/+)
b. Cor
4. Abdomen
Inspeksi : simetris
5. Ekstremitas
6. Status Lokalis
Lokasi : ....
Hematologi
Kimia Klinik
8
Kesan :
- Nephrolithiasis Dextra
2.5 Diagnosis
Colic Renal
9
Colic Renal
Operasi (14/11/2022)
2.7 Prognosis
I II III
Maintenence 96 96 96
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Kolik renal berasal dari dua kata yaitu “kolik” dan “renal”. Kolik adalah merupakan
nyeri viseral akibat spasme otot polos organ berongga yang umumnya disebabkan karena
hambatan pasase dalam rongga tersebut. Nyeri ini timbul oleh karena hipoksia, dirasakan
hilang timbul, dapat disertai mual dan muntah. Sedangkan renal adalah ginjal. Kolik renal
adalah suatu nyeri hebat pada pinggang yang disebabkan oleh karena batu di ureter atau di
3.2 Epidemiologi
Insiden tahunan sekitar 1-2 kasus /1000 orang. Risikonya lebih tinggi 3 kali pada
laki-laki dibanding perempuan. Risiko rata-rata 5-12% dari total populasi yang menderita
BSK di USA. Frekuensi berulang kolik renal ini pada pasien yang telah menderita batu
ginjal yaitu sekitar 60-80% atau rata-rata 50% setelah 10 tahun.Penyakit ini sering pada
kulit putih dan pada iklim tropis. Risiko menderita BSK pada riwayat keluarga penderita
BSK 3 kali lebih besar. Di Indonesia, masalah batu saluran kemih masih menduduki kasus
tersering di antara seluruh kasus urologi. Belum terdapat data angka prevalensi batu
saluran kemih nasional di Indonesia. Di beberapa negara di dunia berkisar antara 1-20%.
Laki-laki lebih sering terjadi dibandingkan perempuan yaitu 3:1 dengan puncak insiden
3.3 Etiologi
a. Batu Ginjal :
1) Kalsium oksalat 70% kasus, kalsium posfat dan kombinasi kalsium oksalat dan posfat
3) Sturvit 15 % 4) Sistin 1%
b. Penyebab lain :
3.4 Patofisiologi
Mekanisme nyeri yang berasal dari ginjal terdiri dari dua tipe yaitu kolik renal dan
non kolik renal. Kolik renal terjadi oleh karena peningkatan tekanan dinding dan
peregangan dari sistem genitourinary. Non kolik renal disebabkan oleh karena distensi dari
kapsul renal. Secara klinis sulit untuk membedakan kedua tipe ini. Peningkatan tekanan
pelvis renal oleh karena obstruksi berupa batu akan menstimulasi sintesis dan pelepasan
prostaglandin yang secara langsung menyebabkan spasme otot ureter. Serta kontraksi otot
polos ureter ini akan menyebabkan gangguan peristaltik dan pembentukan laktat lokal.
Akumulasi dari laktat ini akan menyebabkan iritasi serabut syaraf tipe A dan C pada
dinding ureter. Serabut syaraf ini akan mengirimkan sinyal ke dorsal root ganglia T11 – L1
dari spinal cord dan akan diinterprestasikan sebagai nyeri pada korteks serebri. Kolik renal
terjadi karena obstruksi dari urinary flow oleh karena BSK, dan diikuti dengan peningkatan
tekanan dinding saluran kemih (ureter dan pelvik), spasme otot polos ureter, edema dan
13
inflamasi daerah dekat BSK, meningkatnya peristaltik serta peningkatan tekanan BSK di
Peningkatan tekanan di saluran kemih ini serta peningkatan tekanan aliran darah dan
kontraksi otot polos uretra merupakan mekanisme utama timbulnya nyeri atau kolik ini.
Selain itu juga karena terjadinya peningkatan sensitifitas erhadap nyeri. Peningkatan
tekanan di pelvik renal akan menstimulasi sintesis dan pelepasan prostaglandin sehingga
terjadi vasodilatasi dan diuresis dimana hal ini akan menyebabkan peningkatan tekanan
intrarenal (Massarani, 2007). Prostaglandin berperan langsung pada ureter untuk spasme
otot polos ureteral. Permanen obstruksi saluran kemih oleh karena BSK, menyebabkan
obstruksi ini perbedaan tekanan antara glomerulus dan pelvik menjadi sama sehingga
berakibat GFR (Glomerular Filtration Rate) dan aliran darah ginjal menurun. Jika obstruksi
ini tidak diatasi maka dapat terjadi gagal ginjal akut (acute renal failure). (Holgate dkk,
2009)
kekambuhan sebelumnya dan hal tersebut sangat penting dalam tata laksana farmakologi
dan perawatan medis pada pasien dengan batu saluran kemih. Sekitar 50% pembentukan
batu saluran kemih juga dapat ditemukan kekambuhannya setidaknya 1 kali dalam
seumur hidup. Faktor risiko terjadinya pembentukan batu antara lain, terjadinya BSK di
usia muda, faktor keturunan, batu asam urat, batu akibat infeksi, hiperparatiroidisme,
Gejala utama kolik renal ini adalah nyeri dengan onset akut dan intensitas berat,
unilateral yang berawal dari daerah pinggang atau daerah flank yang menyebar ke labia
pada wanita dan pada paha atau testis pada laki-laki. Nyeri berlangsung beberapa menit
atau jam, dan terjadi spasme otot bersifat hilang timbul. Nyeri biasanya sangat berat dan
merupakan pengalaman buruk yang pernah dialami pasien. Derajat keparahan nyeri
tergantung pada derajat obstruksi dan ukuran batu. Posisi batu juga berhubungan dengan
penyebaran nyeri. Kolik biasanya disertai dengan mual, muntah, sering BAK, disuria,
Kolik renal muncul oleh karena hasil dari obstruksi saluran kemih oleh batu pada
area anatomi yang sempit di ureter, Pelvic Ureter Junction (PUJ), Vesico Ureteric Juntion
(VUJ). Lokasi nyeri berhubungan dengan prediksi letak batu namun bukan merupakan hal
yang akurat. Batu yang berada pada Pelvic Uretra Junction (PUJ) biasanya nyeri dengan
derajat berat pada daerah sudut kostovertebra dan menyebar sepanjang ureter dan gonad.
Jika batu pada midureter, maka rasa nyeri sama dengan batu di PUJ, namun pasien
mengeluhkan nyeri tekan pada regio abdominal bawah (Kallidonis dkk, 2011). Batu yang
berada pada daerah distal ureter akan menimbulkan rasa nyeri yang menyebar ke paha serta
ke testis pada laki-laki dan ke labia mayor pada perempuan. Pada pemeriksaan fisik
didapati pasien banyak bergerak untuk mencari posisi tertentu untuk mengurangi nyeri dan
hal ini sangat kontras dengan iritasi abdomen yaitu dimana pasien dengan posisi diam
untuk mengurangi nyeri. Selain itu juga didapati nyeri pada sudut kostovertebra ataupun
pada kuadran bawah. Hematuria masif sekitar 90%. Namun absen hematuri tidak
15
mengeksklusi adanya BSK. Mual dan muntah juga muncul oleh karena distensi sistem
Anestesi umum ialah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi
terhadap semua sensasi akibat induksi obat. Dalam hal ini, selain hilangnya rasa nyeri,
kesadaran juga hilang. Obat anestesi umum terdiri atas golongan senyawa kimia yang
heterogen, yang mendepresi SSP secara reversibel dengan spektrum yang hampir sama
dan dapat dikontrol. Obat anastesi umum dapat diberikan secara inhalasi dan secara
intravena (Munaf, 2018). Sekitar 10-20% prosedur urologi memerlukan tindakan anestesi.
Pasien yang menjalani prosedur urologi kebanyakan berasal dari usia tua, meskipun
(spinal dan epidural) maupun anestesi umum dapat dipergunakan tergantung tipe dan
durasi operasi, usia pasien, riwayat penyakit sekarang, dan keinginan pasien. Managemen
anestesi bervariasi sesuai umur dan jenis kelamin pasien. Pilihan anestesi yang dapat
digunakan antara lain anestersi umum dan anestesi regional. Kebanyakan dokter anestesi
lebih memilih spinal karena onset anestesinya yang hanya membutuhkan 5 menit atau
3.8 Perubahan Fungsi Ginjal dan Efeknya terhadap Agen – Agen Anastesi
Banyak obat-obatan yang biasanya digunakan selama anastesia yang setidaknya sebagian
tergantung pada ekskresi renal untuk eliminasi. Dengan adanya renal impairment,
modifikasi dosis harus dilakukan untuk mencegah akumulasi obat atau metabolit aktif.
Terlebih lagi, efek sistemik azotemia bisa menyebabkan potensiasi kerja farmakologikal
16
dari agen-agen ini. Observasi terakhir mungkin bisa disebabkan menurunnya ikatan protein
dengan obat, penetrasi ke otak lebih besar oleh karena perubahan pada blood brain barrier,
atau efek sinergis dengan toxin yang tertahan pada gagal ginjal.
Setelah pasien memasuki ruang operasi, monitor harus dipasang. Tujuan dari anestesi
umum adalah pemeliharaan yang adekuat dari ventilasi dan oksigenasi, stebilitas kardio
1. Obat Premedikasi
b. Memudahkanataumemperlancarinduksi
c. Untukmengurangidosisobat-obatan anesthesia
d. Menekanreflek-reflekkelenjarsaluranpernafasan
a. Sulfat Atrofin
Sulfat Atrofin (SA) adalah obat golongan antikolinergik yang berkhasiat menekan
atau menghambat aktivitas kolinergik atau parasimpatis. Sulfat atrofin adalah obat
golongan antikolinergik yang paling sering digunakan. Tujuan dari pemeberian obat
3. Mencegah bradikardi
17
neuromuskuler kompetitif.
b. Fentanyl
Adalah opioid sintetik kuat yang mirip dengan morfin tetapi menghasilkan
analgesia pada tingkat yang lebih besar. Agen farmakologis yang kuat ini biasanya 50
sampai 100 kali lebih kuat daripada morfin. Dosis hanya 100 mikrogram dapat
penggunaannya yang paling sering adalah sebagai obat penenang pada pasien yang
diintubasi dan pada kasus nyeri yang parah pada pasien dengan gagal ginjal karena
oleh fungsi ginjal karena hidrolisis ester yang cepat di dalam darah, kecuali morfin dan
meferidin, akumulasi metabolit biasanya tidak terjadi pada agen-agen ini. Akumulasi
Indikasi :
Analgesia pra operasi, tambahan anestesi, tambahan anestesi regional, anestesi umum,
Kontra indikasi :
Setelah intervensi operatif di saluran empedu, ini dapat memperlambat eliminasi obat di
hati. Dengan depresi pernapasan atau penyakit saluran napas obstruktif (yaitu, asma,
COPD, apnea tidur obstruktif, hiperventilasi obesitas, juga dikenal sebagai, sindrom
Pickwickian). Dengan gagal hati. Dengan intoleransi yang diketahui terhadap fentanil
atau obat mirip morfin lainnya, termasuk kodein, atau komponen apa pun dalam
Efek samping :
2. Obat Induksi
19
a. Propofol
Deskripsi : putih seperti susu, emulsi alkohol yang menghasilkan onset cepat dengan
penurunan arteri sistemik hampir 30 % pada orang sehat dan lebih drastic lagi pada
Indikasi :ageninduksi,sedatif
mungkin menyebabkan iritasi vascular jika diberikan pada vena kecil, campuran emulsi
gangguan fungsi ginjal. Penurunan ikatan protein dari etomidate pada pasien
b. Ketamine
metabolit yang aktif di hati tergantung pada ekskresi ginjal dan bisa terjadi potensial
akumulasi pada gagal ginjal. Hipertensi sekunder akibat efek ketamin bisa tidak
Mempunyai efek minimal depresi jantung dan meningkatkan denyut nadi dan tekanan
peningkatan hampir 25% tekanan darah arteri. Ketamin merupakan bronkodilator dan
Kontraindikasi : pasiendenganpeningkatantekananintrakranial.
a. Suksinilkolin
SC bisa digunakan secara aman pada gagal ginjal, dengan konsentrasi serum
kalium kurang dari 5 mEq/L pada saat induksi. Bila K serum lebih tinggi, pelumpuh
pernah dilaporkan pada beberapa pasien uremik yang mengikuti dialisis, perlamaan
kombinasi dua molekul asetil kolin bersama-sama. Ini melepaskan reseptor asetil kolin
dari saraf dan menyebabkan saraf menjadi depolarisasi yang tampak sebagai fasikulasi
otot. Bukan obat yang kompetitif, sehingga akan menetap sampai di metabolism oleh
enzim kolinesterase plasma. Merupakan obat yang mempunyai aksiultra pendek hamper
21
kurang lebih 5 menit. Mempunyai onset aksi yang pendek disbanding obat pelumpuh
pasien normal. Hanya sebagai agen pelumpuh, tidak mempunyai efek sedasi atau
analgesi.
Perhatian: digunakan dengan perhatian jika sama sekali, pada setiap pasien dicurigai
mempunyai jalan nafas sulit. Pada pasien dengan hiperkalemia, seperti: cedar tulang
belakang, luka bakar, stroke, crush injury masif, penyakit otot degeneratif, pasien yang
terekspos pada temperature yang ekstrim dan kelumpuhan pada periode waktu lama
yang tidak diketahui, serta pasien penyakit ginjal, hiperkalemia menyebabkan fibrilasi
ventrikel dengan kolaps kardiovaskuler. Waktupuncak onset dari mulai timbul tidak
diketahui tetapi secara primer terlihat setelah 7 hari pasca cedrera, dan durasi dari
respon tidak diketahui. Secara umum aman diberikan dalam 24 jam dari cedera.
Fasikulasi menyebabkan tekanan intra okuler meningkat dan merusak bola mata
signifikan)
a. Recuronium
Eliminasi dari vecuronium secara primer ada di hati, tapi lebih dari 20% dari obat
dieliminasi di urine. Efek dari dosis besar vecuronium (> 0,1 mg/kg) hanya di perpanjang
sedikit pada pasien-pasien renal insufisiensi. Rocuronium secara primer dieliminasi di hati,
Deskripsi : mempunyai onset cepat (60 detik). Onset dan durasi tergantung dosis.
Secara umum antara 15-20 menit untuk durasinya. Efek recuronium dilawan dengan
resptor untuk kompet isi dengan rocuronium. Efek kardiovaskular minimal, mungkin
obat pilihan untuk obat RSI ketika suksinilkolin menjadi kontra insikasi. Jika intubasi
gagal dilakukan dan ini menghasilkan keadaan ‘tidak dapat intubasi dan tidak bias
ventilasi, maka hal ini mengapasuksinil tetap menjadi pilihan untuk RSI pada pasien
trauma.
Perhatian : digunakan dengan perhatian, jika sama sekali, pada pasien dengan
Rute: Intravena
c. Atrakurium Besylate
enzimatik yang tidak bergantung padafungsi hati dan ginjal, sehingga dapat digunakan
23
pada pasien dengangan gguan hati atau ginjal. Efek kardiovaskular akibat penggunaan
dihindari pada pasien dengan asma karena dapat menyebabkan bronco spasme berat.
Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan sesudah masa kerjanya
e. Curarre
Eliminasi dari curare tergantung baik pada ginjal maupun ekskresi empedu; 40-
60% dosis curare secara normal dieksresi di dalam urin. Peningkatan efek pemanjangan dilihat
pada dosis berulang pada pasien-pasien dengan gangguan renal yang signifikan. Dosis lebih
rendah dan perpanjangan interval pemberian dosis diperlukan untuk rumatan agar pelumpuh otot
optimal.
Ekskresi ginjal adalah rute utama eliminasi bagi edrophonium, neostigmine &
pyridostigmine. Waktu paruh dari obat-obat ini pada pasien dengan gangguan gagal ginjal
dengan tidak adekuatnya reversal dari blokade neuromuscular biasanya dihubungkan dengan
faktor-faktor lain.
5. Sedatif/ Analgesik
a. Midazolam
midazolam untuk induksi intravena memerlukan dosis tinggi yang mempunyai korespon
24
densi dengan efek kardi vasculer yang dramatis. Mempunyai efek pendepresi
parnapasan yang baik. Efek dilawan dengan pemberian antagonis flumazenil. Golongan
Indikasi: sedative
Rute : intravena
b. Fentanyl
Deskripsi : merupakanan algesik opioid dengan potensi sangat tinggi. 100 kali lebih
poten dari morphin. Mempunyai onset cepat dan durasi aksi pendek. Pengaruh pada
mengeluarkan histamine seperti morphin. Biasa terjadi depresi nafas dan tergantung
dosis. Memiliki efek sedasi. Efek fentanyl dapat dilawan dengan nalokson.
Perhatian : Pasien tua, hipovolemia atau pasien dengan obat sedatif lain harus ada
pengurangan dosis.
Dosis : 25-100 mcg titrasi untuk memperoleh efek 3-5 mcg/kgbb 3-5 menit sebelum
dilakukan intubasi.
Rute : intravena.
c. Lidokain
stabilisasi membrane dari jaringan saraf melalui penghambatan jalurn atrium yang
25
diperlukan untuk penjalaran impuls. Juga digunakan sebagai obat anti distrimia
aritmia ventrikel.
kongestif.
Pemantauan yang perlu dilakukan pada kondisi pasien anestesia adalah jalan nafas,
oksigenasi, ventilasi, dan sirkulasi pasien harus dievaluasi teratur. Pemantaun jalan nafas
memastikan kadar zat asam di dalam udara/gas inspirasi dan didalam darah. Ventilasi
dipantau untuk keadekuatan ventilasinya. Sirkulasi juga harus adekuat. Serta suhu tubuh
pasien harus dipantau. Diperlukan pemantauan khusus pada tekanan vena sentral, sebab
vena, dan fungsi ventrikular kanan. Ratarata normal tekanan vena sentral adalah 1-7
mmHg. Produksi urin, elektrolit, dan analisis gas darah pada kasus gagal ginjal juga harus
Ketika pendarahan yang terjadi < 20% dari perkiraan volume darah pasien, berikan cairan
pengganti kristaloid atau koloid, akan tetapi apabila terjadi perdarahan >20% dari perkiraan
volume darah pasien, berikan transfusi darah. Tujuan dari cairan pengganti antara lain untuk
penggantian air tubuh yang hilang karena sekuestrasi atau proses patologi seperti dehidrasi dan
26
perdarahan saat pembedahan. Cairan pengganti yang digunakan adalah kristaloid seperti NaCl
0.9% dan ringer laktat atau koloid seperti Dextrans 40 dan 70. Cairan nutrisi juga digunakan
untuk nutrisi parenteral bagi pasien yang tidak ada nafsu makan, dilarang makan dan tidak bisa
Segera setelah operasi selesai, hentikan aliran obat anestesi, berikan pasien obat penawar
pelumpuh otot yaitu neostigmine (0.03-0.07 mg/kg) atau edrophonium (0.5-1 mg/kg) bersamaan
dengan agen anti kolinergik (glikopirulat, 0.01 mg/kg, atau atropin 0.01-0.02 mg/kg). Untuk
anestesi general pantenkan jalan nafas, tanda tanda vital, oksigenasi, dan level kesadaran pasien
harus tetap di evaluasi saat pasien sudah berada di ruang perawatan. Pengukuran yang kontinyu
dari tekanan darah, denyut nadi, dan laju pernafasan dilakukan setiap 5 menit selama 15 menit
atau sampai stabil, dan setiap 15 menit setelahnya. Oximetri harus di monitor pada semua pasien.
Semua pasien yang dalam pemulihan anestesi umum harus mendapatkan suplementasi oksigen
dan monitor oximetri. Untuk pasien sedasi berat dan hemodinamiknya tidak stabil akibat anestesi
regional harus mendapat suplementasi oksigen di ruang pemulihan. Sensori dan motorik harus di
catat regresi dari blokadenya. Tekanan darah harus di monitor pada anestesi spinal dan epidural.
Jalan nafas dibersihkan dengan kateter suction. Setelah pasien nafas spontan dan adekuat, lakukan
ekstubasi.(Nugroho, 2011)
Usaha penanggulangan nyeri ringan sampai sedang dapat diterapi secara oral
acetaminophen (15 mg/kg, atau 1g jika pasien >50 kg) dapat di masukkan secara
intravena. Nyeri sedang sampai berat pasca operasi lebih sering di terapi dengan opioid
lewat oral atau parenteral (Morgan, 2002). Untuk prosedur PCNL dan URS dengan nyeri
ringan dapat diberikan morfin 2-4mg IV q 1015 menit prn, fentanyl 25-50 mcg IV, dan
27
digunakan pada pasien pielolitotomi dan ureterolitotomi berusia >5 tahun. Lockout time
diatur di 10 menit, pada fentanyl dapat lebih cepat menjadi 5 menit. Obat yang biasa
digunakan pada PCA antara lain morfin, hidromorfon, dan fentanyl. Apabila penggunaan
PCA tidak memungkinkan (pada anak kecil yang tidak mengerti PCA) infusi intravena
kontinyu dengan opiat dapat digunakan (Jaffe, 2014). Pasien dikirim kembali ke ruangan
setelah memenuhi kriteria pemulihan. Pasien dianalisis segera pasca bedah sesuai standar
ASA untuk perawatan post anestesi yaitu monitor parameter ganda selama fase
pemulihan termasuk respirasi dan fungsi jantung, fungsi neuromuskular, status mental,
suhu tubuh, nyeri, mual dan muntah, drainase dan pendarahan, dan output urin. Frekuensi
DAFTAR PUSTAKA
Davey P. Batu saluran kemih in At a glance medicine. Erlangga . Jakarta, 2006 : 242-243
Holgate A, Pollock T. Nonsteroidal anti inflammatory drugs (NSAIDS) versus opoids for acute
Jaffe RA. Anesthesiologist's manual of surgical procedures. Lippincott Williams & Wilkins;
2014.
Kallidonis P, Liourdi d, Liatsikos E. Medical treatment for renal colic and stone expulsion.
Mangku G, Senapathi TG. Buku ajar ilmu anestesia dan reanimasi. Jakarta: Indeks. 2010
Masarani M, Dinneen M. Ureteric colic : new trends in diagnosis and treatment : Review.
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Kleinman W, Nitti GJ, Nitti JT, Raya J, Bedford RF,
Bion JF, Butterworth J, Cohen NH. Clinical anesthesiology. New York: McGraw-hill;
2002.
Noegroho, B. S. et al. (2018) Panduan Penatalaksanaan Klinis Batu Saluran Kemih. Edisi Pert,
Ikatan Ahli Urologi ndonesia (IAUI). Edisi Pert. Edited by N. Rasyid, G. W. K. Duarsa,
Nugroho D, Ponco B, Nur R. Percutaneous Nephrolithotomy sebagai Terapi Batu Ginjal. Maj
Kedokt Indonesia. 2011. 61(3), 132-133 11. Stoelting RK, Miller RD. Basics of
Teichman JMH. Acute renal colic from ureteral calculus. N Engl J Med 2004;350:684-93.