Anda di halaman 1dari 33

i

Case Report
Manajemen General Anestesi pada Operasi
Colic Renal

Oleh :

Indri Aprianti (21360300)

Nurul Jannah ( 21360102)

Shelly Novitri (2136208)

Preceptor :

dr. Yusnita Debora, Sp. An

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH JENDRAL AHMAD YANI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
2022
ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan Rahmat

dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang disusun

untuk melengkapi syarat Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu Anestesi pada

RSUD Jendral Ahmad Yani Metro. Penyelesaian laporan kasus ini banyak mendapat

bantuan serta motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis

menyampaikan rasa terima kasih kepada dr. Yusnita Debora, Sp.An selaku pembimbing

yang telah memberikan ilmu, petunjuk, nasehat dan kesempatan kepada penulis untuk

menyelesaikan makalah case reportini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini tentu tidak terlepas dari kekurangan

karena keterbatasan waktu, tenaga dan pengetahuan dari penulis. Maka sangat

diperlukan masukan dan saran yang membangun. Semoga makalah ini dapat

memberikan manfaat bagi yang membacanya.

Metro, November 2022

Penulis
iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................................
DAFTAR ISI..................................................................................................................................
DAFTAR TABEL..........................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................1

BAB II STATUS PASIEN


2.1 IdentitasPasien..........................................................................................................2
2.2 Anamnesis ................................................................................................................3
2.3 PemeriksaanFisik......................................................................................................4
2.4 PemeriksaanPenunjang.............................................................................................6
2.5 Diagnosis...................................................................................................................7
2.6 Penatalaksanaan GeneralAnestesi.............................................................................7
2.7 Prognosis...................................................................................................................8
2.8 Kebutuhan Cairan ................................................................................................................8

BAB III TINJAUAN PUSTAKA


3.1 Definisi...................................................................................................................12
3.2 Epidemiologi..........................................................................................................12
3.3 Etilogi.....................................................................................................................12
3.4 Patofisiologi............................................................................................................13
3.5 Faktor resiko...........................................................................................................14
3.6 Manifestasi Klinis...................................................................................................14
3.7 Konsep dasar general anastesi................................................................................15
3.8 Pembiusan pada colic renal....................................................................................16
3.9 Pemantauan selama anastesi....................................................................................23
3.10 Terapi cairan dan tranfusi darah............................................................................24
3.11 Pemulihan selama anastesi....................................................................................24
3.12 Pasca Anastesi / Bedah..........................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA
iv
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kolik renal merupakan suatu keadaan emergensi yang sering dan penting pada praktek

kesehatan. Hal ini biasanya disebabkan oleh obstruksi dari saluran kemih oleh karena batu.

Sekitar 5-12% populasi akan menderita batu saluran kemih selama hidup. Biasanya pada

usia 30-60 tahun dengan rata-rata 3x lebih sering pada laki-laki. Angka kekambuhan sekitar

50% selama 10 tahun. Gejala klasik dari kolik renal akut yaitu: nyeri yang menjalar dari

pinggang ke paha dan disertai hematuria mikroskopis (85%), warna urin tidak jernih, mual

dan muntah. Sekitar 2 juta penduduk USA mengalami batu saluran kemih (BSK). Pada

tahun 2000.

Diperkirakan berkisar antara 5- 12% di Eropa dan di Amerika Serikat, yang mempengaruhi 13%

laki-laki dan 7% perempuan dalam populasi. Selanjutnya, tingkat kekambuhan seumur hidup

diperkirakan mencapai 50% dalam 10 tahun dari episode urolitiasis awal. Beberapa penelitian

sebelumnya telah menunjukkan kecenderungan di seluruh dunia terhadap prevalensi dan kejadian

urolitiasis yang meningkat. Menurut data Kementerian Kesehatan Indonesia (2013), diperkirakan

prevalensi penderita yang terdiagnosa kolik renal untuk umur di atas 15 tahun adalah sebesar 0,6%

dari total penduduk Indonesia. Lima provinsi yang menduduki posisi tertinggi masalah penyakit

kolik ginjal diantaranya adalah D.I. Yogyakarta, Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi

Tengah.
2

BAB II

STATUS PASIEN

2.1. Identitas Pasien

Nama : Ny. T

Tanggal Lahir : 30 Desember 1962/ 59 tahun

JenisKelamin : Perempuan

Pekerjaan : Ibu Rumah Tannga

Agama :Islam

StatusPernikahan : Menikah

Alamat : Sukada

SukuBangsa : Jawa

TanggalMasuk RS : 14 November 2022

No. RM : 435353

BeratBadan : 48 kg

Tinggi Badan : 152 cm

2.2 Anamnesis

2.2.1 Keluhan Utama

Nyeri pinggang kanan sejak 5 bulan SMRS

2.2.2 Keluhan Tambahan

Mual(+), Muntah (+)


3

2.2.3 Riwayat Penyakit Sekarang

Ny. T datang diantar keluarganya ke IGD RSUD Ahmad Yani Metro pada

pukul 13.25 WIB dengan keluhan nyeri pada pinggang sejak 5 bulan yang lalu

sebelum masuk rumah sakit. nyeri dirasakan hilang timbul dan tidak membaik saat

pasien beristirahat. Pasien juga mengatakan perut dan pinggang terasa panas.1 hari

sebelum masuk rumah sakit pasien mengatakan mual dan muntah sebanyak 2kali.

Pasien mengkonsumsi 5 gelas kopi perharinya dan pasien juga mengatakan kurang

minum air putih.

2.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat keluhan yang sama : (-)

Riwayat hipertensi :(+)

Riwayat DM :(-)

Riwayatpenyakitjantung : (-)

Riwayat penyakit paru :(-)

Riwayat penyakit ginjal :(-)

2.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat keluhan serupa : (-)

Riwayathipertensi : (-)

Riwayat DM : (-)

Riwayat ISK : (+)

2.2.6 Riwayat Operasi

Pasien mengatakan tidak ada riwayat operasi


4

2.2.6 Riwayat Pengobatan

Tidak ada riwayat pengobatan sebelumnya.

2.3 PemeriksaanFisik

2.3.1 Status Present

KeadaanUmum : tampak sakit sedang

GCS :E4M6V5

Kesadaran : Compos Mentis

Tanda Vital :

- TD : 111/73 mmHg

- HR : 80 x/menit

- RR : 20x/menit

- Suhu :36,1 oC

- SpO2 : 98%

Airway

Look : Gigi ompong (+), gigi palsu (-), gigi goyang (-), lidah membesar (-),

leher pendek (-)

Evaluate : Buka mulut (3), HMD (3) dan TMD (2)

Mallampati :2

Obsruction : Tidak ada

Neck Mobility: Dalam batas normal


5

ASA(American Society Anesthesiology)

ASA II

Diagnosis Anestesi

Colic Renal

2.3.2 Status Generalis

1. Kulit

Pucat :(-)

Sianosis :(-)

Ikterus :(-)

2. Kepala

Kepala :Simetris/Normochepal

Rambut : Warna hitam, tidak mudah dicabut

Mata : refleks cahaya (+/+), pupil isokor(+/+),

A diameter pupil (2mm/2mm)

Hidung : Simetris, sekret (-/-), epistaksis(-/-)

Telinga : Normotia, serumen (-/-), sekret (-/-), darah(-/-)

Mulut :Simetris,Sianosis (-), Pucat (+)

Leher : Pembesaran KGB (-), peningkatan JVP(-)


6

3. Thorax

a. Pulmo

Inspeksi : Simetris, lesi (-), venektasi (-)

Palpasi : Ekspansi dinding dada simetris

Perkusi : Sonor(+/+)

Auskultasi : Vesikuler(+/+)

b. Cor

Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V midclavicularis

Perkusi : Batas jantung normal

Auskultasi : Bunyi Jantung I-II reguler

4. Abdomen

Inspeksi : simetris

Auskultasi : Bising usus (+)

Palpasi : Nyeri tekan (+)

Perkusi : Timpani (+)

5. Ekstremitas

Superior : edema (-/-), motorik (3/5), sensorik (+/+), refleks

fisiologis (+/+), refleks patologis(-/-)


7

Inferior : edema (-/-), motorik (5/5), sensorik (+/+), refleks

fisiologis (+/+), refleks patologis(-/-)

6. Status Lokalis

Lokasi : ....

2.4 Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Laboratorium 14/11/2022

No. Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai


Rujukan

Hematologi

1 Leukosit 10,22 10³/LL 5-10

2 Eritrosit 4,18 10³/LL 3.08-5.05


3 Hemoglobin 11,1 g/dL 12-16

4 Hematokrit 33,1 % 37-48

5 Trombosit 437 10³/LL 150-450

6 MCV 79,1 fl 80-90

7 MCH 26,7 pg 27-37

8 MCHC 33,7 g/dl 32-36

Kimia Klinik
8

9 GDS 98,5 mg/dL <140

10 Ureum 19,1 mg/dL 15-40

11 Kreatinin 1,08 mg/dL 0,6-1.1

12 HbsAg Non Reaktif Nonreaktif

13 Antigen SARS-Cov-2 Negatif Negatif

b. Foto polos abdomen

Kesan :

- Nephrolithiasis Dextra

- Sistema tulang intak

2.5 Diagnosis

2.5.1 Diagnosis Awal

Colic Renal
9

2.5.2 Diagnosa Dokter Pelaksana Operasi

Colic Renal

2.5.3 Tindakan Operasi

Dilakukan Nefrectomy pada tangga 15 November 2022

2.6 Penatalaksanaan General Anesthesi

Operasi (14/11/2022)

Premedikasi : Sulfat Atropine 0,25 mg (0.48 – 2,88 mg)

Fentanyl 100 mcg (48 – 96 mg)

Induksi : Propofol100 mg (96 – 120 mg)

MuscleRelaxan : Atracurium 25 mg (14,4 – 28,8 mg)

Maintenance : Sevoflurane 2% dan N2O : O2 = 2L :2L

Reverse : Sulfat Atropine0,25 mg (0.48 – 0,96 mg)

Neostigmin 0,5 mg (1,92 – 3,84 mg)

2.7 Prognosis

Quoad Vitam : Dubia ad bonam

Quo ad Functionam : Dubia ad bonam

Quo ad Sanationam : Dubia adbonam

2.8 Kebutuhan Cairan

Maintenence : Dewasa (2xbb/kg) = 2x 48 = 96 cc

Stress Operasi : 8 x bb/kg = 8 x 48 = 384 cc

Pengganti puasa : 8 x Maintenence = 8 x 96 = 768 cc


10

I II III

Maintenence 96 96 96

Stress Operasi 384 384 384

Pengganti puasa 768 384 384

1.248 864 864

2.9 Pengganti Perdarahan

EBV: 70 x bb/kg = 70 x 48 = 3.360 ml

Jika perdarahan >10% : >336 ml diganti dengan kristaloid

Jika perdarahan >15% : >504 ml diganti dengan koloid

Jika perdarahan >20% : >672 ml diganti dengan PRC (transfusi)


11

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Kolik renal berasal dari dua kata yaitu “kolik” dan “renal”. Kolik adalah merupakan

nyeri viseral akibat spasme otot polos organ berongga yang umumnya disebabkan karena

hambatan pasase dalam rongga tersebut. Nyeri ini timbul oleh karena hipoksia, dirasakan

hilang timbul, dapat disertai mual dan muntah. Sedangkan renal adalah ginjal. Kolik renal

adalah suatu nyeri hebat pada pinggang yang disebabkan oleh karena batu di ureter atau di

Pelvic Ureter Junction (PUJ) (urolithiasis). (Davey, 2006)

3.2 Epidemiologi

Insiden tahunan sekitar 1-2 kasus /1000 orang. Risikonya lebih tinggi 3 kali pada

laki-laki dibanding perempuan. Risiko rata-rata 5-12% dari total populasi yang menderita

BSK di USA. Frekuensi berulang kolik renal ini pada pasien yang telah menderita batu

ginjal yaitu sekitar 60-80% atau rata-rata 50% setelah 10 tahun.Penyakit ini sering pada

kulit putih dan pada iklim tropis. Risiko menderita BSK pada riwayat keluarga penderita

BSK 3 kali lebih besar. Di Indonesia, masalah batu saluran kemih masih menduduki kasus

tersering di antara seluruh kasus urologi. Belum terdapat data angka prevalensi batu

saluran kemih nasional di Indonesia. Di beberapa negara di dunia berkisar antara 1-20%.

Laki-laki lebih sering terjadi dibandingkan perempuan yaitu 3:1 dengan puncak insiden

terjadi pada usia 40-50 tahun. (Noegroho, 2018)


12

3.3 Etiologi

Menurut (Masarani, 2007) penyebab kolik ginjal yaitu

a. Batu Ginjal :

1) Kalsium oksalat 70% kasus, kalsium posfat dan kombinasi kalsium oksalat dan posfat

2) Batu asam urat 10%

3) Sturvit 15 % 4) Sistin 1%

b. Penyebab lain :

1) Papila ginjal yang rusak (diabetes, penyakit sel sabit)

2) Kolik akibat bekuan darah (diastesis perdarahan) 3) Kolik akibat tumor.

3.4 Patofisiologi

Mekanisme nyeri yang berasal dari ginjal terdiri dari dua tipe yaitu kolik renal dan

non kolik renal. Kolik renal terjadi oleh karena peningkatan tekanan dinding dan

peregangan dari sistem genitourinary. Non kolik renal disebabkan oleh karena distensi dari

kapsul renal. Secara klinis sulit untuk membedakan kedua tipe ini. Peningkatan tekanan

pelvis renal oleh karena obstruksi berupa batu akan menstimulasi sintesis dan pelepasan

prostaglandin yang secara langsung menyebabkan spasme otot ureter. Serta kontraksi otot

polos ureter ini akan menyebabkan gangguan peristaltik dan pembentukan laktat lokal.

Akumulasi dari laktat ini akan menyebabkan iritasi serabut syaraf tipe A dan C pada

dinding ureter. Serabut syaraf ini akan mengirimkan sinyal ke dorsal root ganglia T11 – L1

dari spinal cord dan akan diinterprestasikan sebagai nyeri pada korteks serebri. Kolik renal

terjadi karena obstruksi dari urinary flow oleh karena BSK, dan diikuti dengan peningkatan

tekanan dinding saluran kemih (ureter dan pelvik), spasme otot polos ureter, edema dan
13

inflamasi daerah dekat BSK, meningkatnya peristaltik serta peningkatan tekanan BSK di

daerah proksimal. (Kallidonis dkk, 2011)

Peningkatan tekanan di saluran kemih ini serta peningkatan tekanan aliran darah dan

kontraksi otot polos uretra merupakan mekanisme utama timbulnya nyeri atau kolik ini.

Selain itu juga karena terjadinya peningkatan sensitifitas erhadap nyeri. Peningkatan

tekanan di pelvik renal akan menstimulasi sintesis dan pelepasan prostaglandin sehingga

terjadi vasodilatasi dan diuresis dimana hal ini akan menyebabkan peningkatan tekanan

intrarenal (Massarani, 2007). Prostaglandin berperan langsung pada ureter untuk spasme

otot polos ureteral. Permanen obstruksi saluran kemih oleh karena BSK, menyebabkan

lepasnya prostaglandin sebagai respon terhadap inflamasi. Beberapa waktu pertama

obstruksi ini perbedaan tekanan antara glomerulus dan pelvik menjadi sama sehingga

berakibat GFR (Glomerular Filtration Rate) dan aliran darah ginjal menurun. Jika obstruksi

ini tidak diatasi maka dapat terjadi gagal ginjal akut (acute renal failure). (Holgate dkk,

2009)

3.5 Faktro Resiko

Terjadinya pembentukan batu saluran kemih berkaitan dengan adanya kejadian

kekambuhan sebelumnya dan hal tersebut sangat penting dalam tata laksana farmakologi

dan perawatan medis pada pasien dengan batu saluran kemih. Sekitar 50% pembentukan

batu saluran kemih juga dapat ditemukan kekambuhannya setidaknya 1 kali dalam

seumur hidup. Faktor risiko terjadinya pembentukan batu antara lain, terjadinya BSK di

usia muda, faktor keturunan, batu asam urat, batu akibat infeksi, hiperparatiroidisme,

sindrom metabolik, dan obat-obatan. (Noegroho, 2018)


14

3.6 Manifestasi Klinis

Gejala utama kolik renal ini adalah nyeri dengan onset akut dan intensitas berat,

unilateral yang berawal dari daerah pinggang atau daerah flank yang menyebar ke labia

pada wanita dan pada paha atau testis pada laki-laki. Nyeri berlangsung beberapa menit

atau jam, dan terjadi spasme otot bersifat hilang timbul. Nyeri biasanya sangat berat dan

merupakan pengalaman buruk yang pernah dialami pasien. Derajat keparahan nyeri

tergantung pada derajat obstruksi dan ukuran batu. Posisi batu juga berhubungan dengan

penyebaran nyeri. Kolik biasanya disertai dengan mual, muntah, sering BAK, disuria,

oliguria dan hematuria. (Massarani, 2007)

Kolik renal muncul oleh karena hasil dari obstruksi saluran kemih oleh batu pada

area anatomi yang sempit di ureter, Pelvic Ureter Junction (PUJ), Vesico Ureteric Juntion

(VUJ). Lokasi nyeri berhubungan dengan prediksi letak batu namun bukan merupakan hal

yang akurat. Batu yang berada pada Pelvic Uretra Junction (PUJ) biasanya nyeri dengan

derajat berat pada daerah sudut kostovertebra dan menyebar sepanjang ureter dan gonad.

Jika batu pada midureter, maka rasa nyeri sama dengan batu di PUJ, namun pasien

mengeluhkan nyeri tekan pada regio abdominal bawah (Kallidonis dkk, 2011). Batu yang

berada pada daerah distal ureter akan menimbulkan rasa nyeri yang menyebar ke paha serta

ke testis pada laki-laki dan ke labia mayor pada perempuan. Pada pemeriksaan fisik

didapati pasien banyak bergerak untuk mencari posisi tertentu untuk mengurangi nyeri dan

hal ini sangat kontras dengan iritasi abdomen yaitu dimana pasien dengan posisi diam

untuk mengurangi nyeri. Selain itu juga didapati nyeri pada sudut kostovertebra ataupun

pada kuadran bawah. Hematuria masif sekitar 90%. Namun absen hematuri tidak
15

mengeksklusi adanya BSK. Mual dan muntah juga muncul oleh karena distensi sistem

saraf splanchnic dari kapsul renal dan usus. (Massarani, 2007)

3.7 Konsep dasar General Anastesi

Anestesi umum ialah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi

terhadap semua sensasi akibat induksi obat. Dalam hal ini, selain hilangnya rasa nyeri,

kesadaran juga hilang. Obat anestesi umum terdiri atas golongan senyawa kimia yang

heterogen, yang mendepresi SSP secara reversibel dengan spektrum yang hampir sama

dan dapat dikontrol. Obat anastesi umum dapat diberikan secara inhalasi dan secara

intravena (Munaf, 2018). Sekitar 10-20% prosedur urologi memerlukan tindakan anestesi.

Pasien yang menjalani prosedur urologi kebanyakan berasal dari usia tua, meskipun

kenyataannya semua umur dapat mengalaminya. Pada endourologi anestesi regional

(spinal dan epidural) maupun anestesi umum dapat dipergunakan tergantung tipe dan

durasi operasi, usia pasien, riwayat penyakit sekarang, dan keinginan pasien. Managemen

anestesi bervariasi sesuai umur dan jenis kelamin pasien. Pilihan anestesi yang dapat

digunakan antara lain anestersi umum dan anestesi regional. Kebanyakan dokter anestesi

lebih memilih spinal karena onset anestesinya yang hanya membutuhkan 5 menit atau

kurang. (Morgan dkk, 2002)

3.8 Perubahan Fungsi Ginjal dan Efeknya terhadap Agen – Agen Anastesi

Banyak obat-obatan yang biasanya digunakan selama anastesia yang setidaknya sebagian

tergantung pada ekskresi renal untuk eliminasi. Dengan adanya renal impairment,

modifikasi dosis harus dilakukan untuk mencegah akumulasi obat atau metabolit aktif.

Terlebih lagi, efek sistemik azotemia bisa menyebabkan potensiasi kerja farmakologikal
16

dari agen-agen ini. Observasi terakhir mungkin bisa disebabkan menurunnya ikatan protein

dengan obat, penetrasi ke otak lebih besar oleh karena perubahan pada blood brain barrier,

atau efek sinergis dengan toxin yang tertahan pada gagal ginjal.

Setelah pasien memasuki ruang operasi, monitor harus dipasang. Tujuan dari anestesi

umum adalah pemeliharaan yang adekuat dari ventilasi dan oksigenasi, stebilitas kardio

vaskuler, control hipertensi intracranial, normalisasi asam-basa / elektrolit dan pencegahan

untuk terjadinya hipotermia dan koagulopati.

Obat-obatan yang digunakan :

1. Obat Premedikasi

Yaitu pemberian obat-obatan anesthesia sebelum tindakan anestesi. Tujuan pemberian

obat pramedikasi adalah untuk

a. Memberikanketenangan dan kenyamanankepadapasien

b. Memudahkanataumemperlancarinduksi

c. Untukmengurangidosisobat-obatan anesthesia

d. Menekanreflek-reflekkelenjarsaluranpernafasan

a. Sulfat Atrofin

Sulfat Atrofin (SA) adalah obat golongan antikolinergik yang berkhasiat menekan

atau menghambat aktivitas kolinergik atau parasimpatis. Sulfat atrofin adalah obat

golongan antikolinergik yang paling sering digunakan. Tujuan dari pemeberian obat

golongan antikolinergik untuk premedikasi adalah untuk :

1.Mengurangi sekresi kelenjar : saliva, saluran cerna, dan saluran napas

2. Mencegah spasme laring dan bronkus

3. Mencegah bradikardi
17

4. Mengurangi motilitas usus

5. Melawan efek depresi narkotik terhadap pusat napas

Indikasi : mengeringkan secret, melawan bradikardi yang berlebihan; bersama

dengan neostigmin untuk mengembalikan penghambatan

neuromuskuler kompetitif.

Peringatan : penyakit kardiovaskuler

Efek samping : takikardi

Dosis : 0.01-0.06 mg/kgbb

b. Fentanyl

Adalah opioid sintetik kuat yang mirip dengan morfin tetapi menghasilkan

analgesia pada tingkat yang lebih besar. Agen farmakologis yang kuat ini biasanya 50

sampai 100 kali lebih kuat daripada morfin. Dosis hanya 100 mikrogram dapat

menghasilkan analgesia setara dengan sekitar 10 mg morfin. Secara klinis,

penggunaannya yang paling sering adalah sebagai obat penenang pada pasien yang

diintubasi dan pada kasus nyeri yang parah pada pasien dengan gagal ginjal karena

eliminasi utamanya di hati.

Banyak opioid yang biasanya digunakan pada manajemen anastesi (morfin,

meperidin, fentanil, sufentanil dan alfentanil) di inaktifasi oleh hati, beberapa

metabolitnya nantinya diekskresi di urin. Farmakokinetik remifentanil tidak terpengaruh

oleh fungsi ginjal karena hidrolisis ester yang cepat di dalam darah, kecuali morfin dan

meferidin, akumulasi metabolit biasanya tidak terjadi pada agen-agen ini. Akumulasi

morfin (morfin-6- glucuronide) dan metabolit meperidine pernah dilaporkan

memperpanjang depresi pernafasan pada beberapa pasien dengan gagal ginjal.


18

Peningkatan level normeperidine, metabolit meperidine, dihubungkan dengan kejang-

kejang. Farmakokinetik yang sering digunakan dari agonis-antagonis opioid

(butorphanol nalbuphine dan buprenorphine) tidak terpengaruh oleh gagal ginjal.

Indikasi :

Analgesia pra operasi, tambahan anestesi, tambahan anestesi regional, anestesi umum,

kontrol nyeri pasca operasi, nyeri akut sedang hingga berat.

Kontra indikasi :

Setelah intervensi operatif di saluran empedu, ini dapat memperlambat eliminasi obat di

hati. Dengan depresi pernapasan atau penyakit saluran napas obstruktif (yaitu, asma,

COPD, apnea tidur obstruktif, hiperventilasi obesitas, juga dikenal sebagai, sindrom

Pickwickian). Dengan gagal hati. Dengan intoleransi yang diketahui terhadap fentanil

atau obat mirip morfin lainnya, termasuk kodein, atau komponen apa pun dalam

formulasi. Dengan hipersensitivitas yang diketahui (yaitu, anafilaksis) atau eksipien

pengiriman obat yang umum (yaitu, natrium klorida, natrium hidroksida).

Efek samping :

Fentanyl mirip dengan heroin, yang menghasilkan euforia, kebingungan, depresi

pernapasan, kantuk, mual, gangguan penglihatan, diskinesia, halusinasi, delirium,

analgesia, sembelit, ileus narkotika, kekakuan otot, sembelit, kecanduan, kehilangan

kesadaran, hipotensi, koma, dan bahkan kematian.

Dosis : 1-2 mcg/kgbb.

2. Obat Induksi
19

a. Propofol

Deskripsi : putih seperti susu, emulsi alkohol yang menghasilkan onset cepat dengan

tanpa analgesik. Dimetabolisme dan diredistribusikan secara cepat sehingga

memberikan durasiaksi yang pendek. Propofol merupakan vasodilator poten depresi

jantung dengan hipotensi yang tampak setelah pemberian. Propofol menghasilkan

penurunan arteri sistemik hampir 30 % pada orang sehat dan lebih drastic lagi pada

hipovolemia. Juga pendepresi pernapasan yang poten.

Indikasi :ageninduksi,sedatif

Kontraindikasi :pasien dengan alergi telur atau susu kedelai.

Perhatian : pasientua, hipovolemia, hipertensi kurangi dosis jika diperlukan,

mungkin menyebabkan iritasi vascular jika diberikan pada vena kecil, campuran emulsi

memicu pertumbuhan bakteri dan dianjurkan untuk sekali pemakain

Dosis : 2-2,5 mg/kgbb. Rute:intravena

Farmakokinetik propofol tidak mempunyai efeknya secara signifikan pada

gangguan fungsi ginjal. Penurunan ikatan protein dari etomidate pada pasien

hipoalbuminemia bisa mempercepat efek–efek farmakologi.

b. Ketamine

Farmakokinetik ketamin berubah sedikit karena penyakit ginjal. Beberapa

metabolit yang aktif di hati tergantung pada ekskresi ginjal dan bisa terjadi potensial

akumulasi pada gagal ginjal. Hipertensi sekunder akibat efek ketamin bisa tidak

diinginkan pada pasien-pasien hipertensi ginjal.

Deskripsi : ketamine adalah turunan phencyclidine yang menghasilkan aksi cepat

anestesia “disosiatif”, dengansedasi, amnesia, menghasilkan analgesia dan immobilitas.


20

Mempunyai efek minimal depresi jantung dan meningkatkan denyut nadi dan tekanan

darah melalui stimulasi sentral simpatis. Induksi dengan ketamine menyebabkan

peningkatan hampir 25% tekanan darah arteri. Ketamin merupakan bronkodilator dan

mempunyai efek minimal depresi pernapasn. Mempunyai karakteristik meningkatkan

sekresi saliva. Ketamine mempunyai efekan algesic

Indikasi : obatinduksi, analgesik.

Kontraindikasi : pasiendenganpeningkatantekananintrakranial.

Perhatian : Hipotensi mungkin tampak pada pasien yang bergantung pada

symphateticdrive-nya, pasien dengan hipertensi dan penyakit jantung, halusinasi dan

reaksi emergence biasaterjadi

Dosis : 1-2mg/kgbb, Rute: intravena

3. Obat Pelumpuh Otot

a. Suksinilkolin

SC bisa digunakan secara aman pada gagal ginjal, dengan konsentrasi serum

kalium kurang dari 5 mEq/L pada saat induksi. Bila K serum lebih tinggi, pelumpuh

otot nondepol sebaiknya digunakan .Walaupun penurunan level pseudocholinesterase

pernah dilaporkan pada beberapa pasien uremik yang mengikuti dialisis, perlamaan

signifikan dari blokade neuromuscular jarang terlihat.

Deskripsi : Merupakan obat pelumpuh otot golongan depolarisasi. Dibentuk oleh

kombinasi dua molekul asetil kolin bersama-sama. Ini melepaskan reseptor asetil kolin

dari saraf dan menyebabkan saraf menjadi depolarisasi yang tampak sebagai fasikulasi

otot. Bukan obat yang kompetitif, sehingga akan menetap sampai di metabolism oleh

enzim kolinesterase plasma. Merupakan obat yang mempunyai aksiultra pendek hamper
21

kurang lebih 5 menit. Mempunyai onset aksi yang pendek disbanding obat pelumpuh

manapun.Efek kardiovaskular minimal, meskipun bradikardi dan aritmia tampak.

Fasikulasi dapat menyebabkan peningkatans ementara konsentrasi kalium serum pada

pasien normal. Hanya sebagai agen pelumpuh, tidak mempunyai efek sedasi atau

analgesi.

Indikasi: pelumpuhotot skeletal cepat.

Kontraindikasi: pasien dengan defisiensi enzim pseudokolinesterase, pasien riwayat

atau riwayat hiper termimaligna, trauma matapenetrasi.

Perhatian: digunakan dengan perhatian jika sama sekali, pada setiap pasien dicurigai

mempunyai jalan nafas sulit. Pada pasien dengan hiperkalemia, seperti: cedar tulang

belakang, luka bakar, stroke, crush injury masif, penyakit otot degeneratif, pasien yang

terekspos pada temperature yang ekstrim dan kelumpuhan pada periode waktu lama

yang tidak diketahui, serta pasien penyakit ginjal, hiperkalemia menyebabkan fibrilasi

ventrikel dengan kolaps kardiovaskuler. Waktupuncak onset dari mulai timbul tidak

diketahui tetapi secara primer terlihat setelah 7 hari pasca cedrera, dan durasi dari

respon tidak diketahui. Secara umum aman diberikan dalam 24 jam dari cedera.

Fasikulasi menyebabkan tekanan intra okuler meningkat dan merusak bola mata

terbuka; mungkin juga meningkatkan tekanan intrakranial (secara klinis tidak

signifikan)

Dosis: 1-2mg/kg . rute : intravena


22

a. Recuronium

Eliminasi dari vecuronium secara primer ada di hati, tapi lebih dari 20% dari obat

dieliminasi di urine. Efek dari dosis besar vecuronium (> 0,1 mg/kg) hanya di perpanjang

sedikit pada pasien-pasien renal insufisiensi. Rocuronium secara primer dieliminasi di hati,

tapi perpanjangan kerja pada penyakit ginjal berat pernah dilaporkan.

Deskripsi : mempunyai onset cepat (60 detik). Onset dan durasi tergantung dosis.

Secara umum antara 15-20 menit untuk durasinya. Efek recuronium dilawan dengan

pemberian antikolin esterase dimana akan meningkatkan sejumlah asetilkolin pada

resptor untuk kompet isi dengan rocuronium. Efek kardiovaskular minimal, mungkin

terlihat takikardi. Recuronium mempunyai onset yang diharapkan sehingga menjadi

obat pilihan untuk obat RSI ketika suksinilkolin menjadi kontra insikasi. Jika intubasi

gagal dilakukan dan ini menghasilkan keadaan ‘tidak dapat intubasi dan tidak bias

ventilasi, maka hal ini mengapasuksinil tetap menjadi pilihan untuk RSI pada pasien

trauma.

Indikasi : pelumpu hotot.

Perhatian : digunakan dengan perhatian, jika sama sekali, pada pasien dengan

kemungkinan intubasi sulit.

Dosis: intubasi pada RSI 1mg/kgbb, pemeliharaan 0,1mg/kgbb.

Rute: Intravena

c. Atrakurium Besylate

Atracurium merupakan pelemas otot non depolarisasi dengan lama kerja

menengah (durasi kerja 20-45 menit). Atrakurium mengalami metabolism non-

enzimatik yang tidak bergantung padafungsi hati dan ginjal, sehingga dapat digunakan
23

pada pasien dengangan gguan hati atau ginjal. Efek kardiovaskular akibat penggunaan

atracurium jarang terjadi, kecuali bila dosis melebihi 0,5 mg/kgBB.

Atracurium dapat meningkatkan pelepasan histamin. Atracurium sebaiknya

dihindari pada pasien dengan asma karena dapat menyebabkan bronco spasme berat.

Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan sesudah masa kerjanya

berakhir, atau apabila diperlukan bias diberikan obat antikolin esterase.

Sediaan : ampul 10 mg/ml ; Notrixum, Tramus ; Ampul 25 mg/2.5 ml : Tracrium.

e. Curarre

Eliminasi dari curare tergantung baik pada ginjal maupun ekskresi empedu; 40-

60% dosis curare secara normal dieksresi di dalam urin. Peningkatan efek pemanjangan dilihat

pada dosis berulang pada pasien-pasien dengan gangguan renal yang signifikan. Dosis lebih

rendah dan perpanjangan interval pemberian dosis diperlukan untuk rumatan agar pelumpuh otot

optimal.

4. Obat – obat Reversal

Ekskresi ginjal adalah rute utama eliminasi bagi edrophonium, neostigmine &

pyridostigmine. Waktu paruh dari obat-obat ini pada pasien dengan gangguan gagal ginjal

memanjang setidaknya sama dengan pelumpuh otot sebelumnya diatas. Masalah-masalah

dengan tidak adekuatnya reversal dari blokade neuromuscular biasanya dihubungkan dengan

faktor-faktor lain.

5. Sedatif/ Analgesik

a. Midazolam

Deskripsi: Merupakan golongan benzodiazepin, sama seperti diazepam. Penggunaan

midazolam untuk induksi intravena memerlukan dosis tinggi yang mempunyai korespon
24

densi dengan efek kardi vasculer yang dramatis. Mempunyai efek pendepresi

parnapasan yang baik. Efek dilawan dengan pemberian antagonis flumazenil. Golongan

benzodiazepine seharusnya tidak digunakan untuk obat induksi intravena RSI

Indikasi: sedative

Perhatian : depresi pernapasan mungkin memperburuk tekanan intrakranial. Gunakan

pengurangan dosis pada pasien tua dan hipovolemia.

Dosis: 0,5-1 mg/kgbb, titrasi untuk mencapai efek yang diharapkan.

Rute : intravena

b. Fentanyl

Deskripsi : merupakanan algesik opioid dengan potensi sangat tinggi. 100 kali lebih

poten dari morphin. Mempunyai onset cepat dan durasi aksi pendek. Pengaruh pada

kardiovaskular relative stabil dan mendukung tekanan darah. Tidak bersifat

mengeluarkan histamine seperti morphin. Biasa terjadi depresi nafas dan tergantung

dosis. Memiliki efek sedasi. Efek fentanyl dapat dilawan dengan nalokson.

Indikasi: analgesik/sedasi, premedikasi sebelum dilakukan intubasi.

Perhatian : Pasien tua, hipovolemia atau pasien dengan obat sedatif lain harus ada

pengurangan dosis.

Dosis : 25-100 mcg titrasi untuk memperoleh efek 3-5 mcg/kgbb 3-5 menit sebelum

dilakukan intubasi.

Rute : intravena.

c. Lidokain

Deskripsi: merupakan anestesilokal golongan amida. Mekanisme aksi dengan

stabilisasi membrane dari jaringan saraf melalui penghambatan jalurn atrium yang
25

diperlukan untuk penjalaran impuls. Juga digunakan sebagai obat anti distrimia

terutama untuk aritmiaventrikel.

Indikasi: anestesi lokal, menumpulkan respon hemodinamik pada intubasi, pengobatan

aritmia ventrikel.

Perhatian : pasien dengan blockade jantung, hipovolemia berat, gagal jantung

kongestif.

Dosis : 1-2mg/kgbb 3-5 menit sebelum dilakukan intubasi.

Rute : intravena, endotracheal.

3.9 Pemantauan Selama Anastesi

Pemantauan yang perlu dilakukan pada kondisi pasien anestesia adalah jalan nafas,

oksigenasi, ventilasi, dan sirkulasi pasien harus dievaluasi teratur. Pemantaun jalan nafas

digunakan untuk mempertahankan keutuhan jalan nafas. Oksigenasi dipantau untuk

memastikan kadar zat asam di dalam udara/gas inspirasi dan didalam darah. Ventilasi

dipantau untuk keadekuatan ventilasinya. Sirkulasi juga harus adekuat. Serta suhu tubuh

pasien harus dipantau. Diperlukan pemantauan khusus pada tekanan vena sentral, sebab

tekanan vena sentral mencerminkan keseimbangan antara volume intravaskular, kapasitas

vena, dan fungsi ventrikular kanan. Ratarata normal tekanan vena sentral adalah 1-7

mmHg. Produksi urin, elektrolit, dan analisis gas darah pada kasus gagal ginjal juga harus

dilakukan pemantauan. (Mangku, 2010)

3.10 Terapi cairan dan tranfusi darah

Ketika pendarahan yang terjadi < 20% dari perkiraan volume darah pasien, berikan cairan

pengganti kristaloid atau koloid, akan tetapi apabila terjadi perdarahan >20% dari perkiraan

volume darah pasien, berikan transfusi darah. Tujuan dari cairan pengganti antara lain untuk

penggantian air tubuh yang hilang karena sekuestrasi atau proses patologi seperti dehidrasi dan
26

perdarahan saat pembedahan. Cairan pengganti yang digunakan adalah kristaloid seperti NaCl

0.9% dan ringer laktat atau koloid seperti Dextrans 40 dan 70. Cairan nutrisi juga digunakan

untuk nutrisi parenteral bagi pasien yang tidak ada nafsu makan, dilarang makan dan tidak bisa

makan peroral. (Mangku, 2010)

3.11 Pemulihan selama anastesi

Segera setelah operasi selesai, hentikan aliran obat anestesi, berikan pasien obat penawar

pelumpuh otot yaitu neostigmine (0.03-0.07 mg/kg) atau edrophonium (0.5-1 mg/kg) bersamaan

dengan agen anti kolinergik (glikopirulat, 0.01 mg/kg, atau atropin 0.01-0.02 mg/kg). Untuk

anestesi general pantenkan jalan nafas, tanda tanda vital, oksigenasi, dan level kesadaran pasien

harus tetap di evaluasi saat pasien sudah berada di ruang perawatan. Pengukuran yang kontinyu

dari tekanan darah, denyut nadi, dan laju pernafasan dilakukan setiap 5 menit selama 15 menit

atau sampai stabil, dan setiap 15 menit setelahnya. Oximetri harus di monitor pada semua pasien.

Semua pasien yang dalam pemulihan anestesi umum harus mendapatkan suplementasi oksigen

dan monitor oximetri. Untuk pasien sedasi berat dan hemodinamiknya tidak stabil akibat anestesi

regional harus mendapat suplementasi oksigen di ruang pemulihan. Sensori dan motorik harus di

catat regresi dari blokadenya. Tekanan darah harus di monitor pada anestesi spinal dan epidural.

Jalan nafas dibersihkan dengan kateter suction. Setelah pasien nafas spontan dan adekuat, lakukan

ekstubasi.(Nugroho, 2011)

3.12 Pasca Anastesi / Bedah

Usaha penanggulangan nyeri ringan sampai sedang dapat diterapi secara oral

dengan acetaminophen, ibuprofen, hidrkortison, dan oksikodon. Selain itu,

acetaminophen (15 mg/kg, atau 1g jika pasien >50 kg) dapat di masukkan secara

intravena. Nyeri sedang sampai berat pasca operasi lebih sering di terapi dengan opioid

lewat oral atau parenteral (Morgan, 2002). Untuk prosedur PCNL dan URS dengan nyeri

ringan dapat diberikan morfin 2-4mg IV q 1015 menit prn, fentanyl 25-50 mcg IV, dan
27

ketororac 15-30 mg IM atau IV. Sementara untuk prosedur pyelolitotomi dan

ureterolitotomi dapat diberikan morfin 0.1-0.3 mg/kg IV sebagai dosis apabila

menggunakan tambahan anestesi epidural. Patient Controlled Anesthesia (PCA) dapat

digunakan pada pasien pielolitotomi dan ureterolitotomi berusia >5 tahun. Lockout time

diatur di 10 menit, pada fentanyl dapat lebih cepat menjadi 5 menit. Obat yang biasa

digunakan pada PCA antara lain morfin, hidromorfon, dan fentanyl. Apabila penggunaan

PCA tidak memungkinkan (pada anak kecil yang tidak mengerti PCA) infusi intravena

kontinyu dengan opiat dapat digunakan (Jaffe, 2014). Pasien dikirim kembali ke ruangan

setelah memenuhi kriteria pemulihan. Pasien dianalisis segera pasca bedah sesuai standar

ASA untuk perawatan post anestesi yaitu monitor parameter ganda selama fase

pemulihan termasuk respirasi dan fungsi jantung, fungsi neuromuskular, status mental,

suhu tubuh, nyeri, mual dan muntah, drainase dan pendarahan, dan output urin. Frekuensi

dan durasi monitoring tergantung status klinis pasien.


28

DAFTAR PUSTAKA

CKS.nice.org.uk/renal-colic-acute. Kidney Disease and Urology.2009

Davey P. Batu saluran kemih in At a glance medicine. Erlangga . Jakarta, 2006 : 242-243

Holgate A, Pollock T. Nonsteroidal anti inflammatory drugs (NSAIDS) versus opoids for acute

renal colic. The cochrane Collaboration Willey 2009.

Jaffe RA. Anesthesiologist's manual of surgical procedures. Lippincott Williams & Wilkins;

2014.

Kallidonis P, Liourdi d, Liatsikos E. Medical treatment for renal colic and stone expulsion.

European urology supplements 10 (2011) 415-422

Mangku G, Senapathi TG. Buku ajar ilmu anestesia dan reanimasi. Jakarta: Indeks. 2010

Masarani M, Dinneen M. Ureteric colic : new trends in diagnosis and treatment : Review.

Postgraduate Med J. Jul 2007;83(981):46

Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Kleinman W, Nitti GJ, Nitti JT, Raya J, Bedford RF,

Bion JF, Butterworth J, Cohen NH. Clinical anesthesiology. New York: McGraw-hill;

2002.

Noegroho, B. S. et al. (2018) Panduan Penatalaksanaan Klinis Batu Saluran Kemih. Edisi Pert,

Ikatan Ahli Urologi ndonesia (IAUI). Edisi Pert. Edited by N. Rasyid, G. W. K. Duarsa,

and W. Atmoko. Jakarta: Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI).

Nugroho D, Ponco B, Nur R. Percutaneous Nephrolithotomy sebagai Terapi Batu Ginjal. Maj

Kedokt Indonesia. 2011. 61(3), 132-133 11. Stoelting RK, Miller RD. Basics of

anesthesia. Churchill Livingstone,; 2015 May 22.


29

Teichman JMH. Acute renal colic from ureteral calculus. N Engl J Med 2004;350:684-93.

Anda mungkin juga menyukai