Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kolitis berasal dari kata kolon (usus besar) dan itis (peradangan). Kolon memiliki berbagai
fungsi, Tugas utama kolon ialah untuk menyimpan sisa makanan yang nantinya harus dikeluarkan,
absorpsi air, elektrolit dan asam empedu. Absorpsi terhadap air dan elektrolit terutama dilakukan
di kolon sebelah kanan, yaitu di coecum dan kolon asenden, dan sebagian kecil dibagikan kolon
lainnya. Ciri khas dari gerakan usus besar adalah pengadukan haustral. Gerakan meremas dan tidak
progresif ini menyebabkan isi usus bergerak bolak balik, sehingga memberikan waktu untuk
terjadinya absorbsi.

Kolitis adalah suatu peradangan kolon akut atau kronik dapat disebabkan oleh berbagai
infeksi yaitu virus, bakteri, atau parasit. Kolitis dapat menyebabkan luka yang disebut dengan
ulkus. Radang usus besar dapat menyebabkan nyeri perut, diare, BAB berdarah, mulas, demam,
dan nafsu makan berkurang. Pada kasus yang berat darah secara kasar dapat ditemukan dalam
feses, dan gambaran klinik dan sigmoidoskopi dapat menyerupai kolitis ulserativa akut.

Adapun manifestasi ekstraintestinal dominan berupa Kholitis kronik dalam bentuk


Perikholangitis atau Primary Sclerosing Cholangitis (PSC) yang muncul setelah beberapa tahun
kemudian dari timbulnya kasus IBD dengan incidence rate 5%. Ingin mengetahui angka insidensi
(incidence rate) IBD serta PSC pada semua pasien yang dikolonoskopi dari 1 Maret 2016 - 28
Februari 2017 di Pusat Endoskopi RSPAD Gatot Soebroto. Subyek penelitian adalah semua pasien
yang dikolonoskopi selama satu tahun. Data Kholitis kronik (Khk) didasarkan atas temuan AST
(SGOT) dan bilirubin total serum yang meningkat serta albumin serum yang menurun, dipilah
menjadi kelompok Khk-IBD atau PSC, Khk-non-IBD, Non-Khk-IBD, Non-Khk-non-IBD.
Insidensi PSC dan korelasi antara PSC dengan IBD diuji dengan uji mutlak Fisher. Bahan
penelitian diambil secara retrospektif deskriptif, Data PSC dan IBD pasien yang mengalami
kolonoskopi. angka Insidensi IBD dan PSC 18,6%, 5,4%; ada Korelasi PSC dengan IBD sebagai
manifestasi ekstra intestinal (p = 0,000); Dari data demografi IBD (30 orang), lakilaki 62,4% (18
orang), rerata umur 50,6 tahun, angka kejadian terbanyak pada usia 40 - 59 tahun. Berdasarkan

1
masalah dan kasus diatas, maka penulis tertarik untuk mengangkat Kolitis Ulseratif sebagai judul
makalah.

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Setelah mengikuti diskusi ini diharapkan mahasiswa mampu memahami tentang
Asuhan Keperawatan Kolitis.

2. Tujuan Khusus
Mahasiswa dapat menjelaskan Antomi Fisiologi Pencernaan, Pengertian Kolitis,
Etiologi Kolitis, Tanda dan Gejala Kolitis, Patofisiologi Kolitis, Pemeriksan Diagnostik
Kolitis, Terapi Medis Kolitis dan Komplikasi Kolitis.

C. Sistematika Penulisan
Makalah ini disusun menjadi 5 Bab. Terdiri dari bab 1 pendahuluan yang berisikan latar
belakang, Tujuan Penulisan dan sistematika penulisan. Bab 2 pembahasan yang berisikan
antomi fisiologi sistem pencernaan, pengertian kolitis, etiologi kolitis, tanda dan gejala kolitis,
patofisiologi kolitis, pemeriksan diagnostik kolitis, terapi medis kolitis dan komplikasi kolitis.
Bab 3 konsep dasar asuhan keperawatan yang berisikan pengkajian, diagnosa keperawatan,
intervensi keperawatan, implementasi keperawatan dan evaluasi secara umum. Bab 4 asuhan
keperawatan pada kasus kolitis yang berisikan pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi
keperawatan, implementasi keperawatan dan evaluasi kasus kolitis. Dan terakhir bab 5 yang
berisikan kesimpulan dari keseluruhan isi makalah.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Anatomi Fisiologi Kolon

Gambar 2.1 anatomi fisiologi kolon (Nurdiah, 2012)


Usus besar merupakan tabung muskular berongga dengan panjang sekitar 5 kaki yang
terbentang dari sekum sampai canalis ani. Usus besar dibagi menjadi sekum, colon (ascenden,
tranversum, descenden, sigmoid) dan rektum. Pada sekum terdapat katup illeosekal dan
appendik yang melekat pada ujung sekum. Sekum menempati 2/3 atau 3 inchi pertama dari
usus besar. Katup illeosekal mengontrol aliran kimus dari ileum ke sekum. (anonym, 2012)
Colon dibagi menjadi colon ascenden, tranversum, desenden dan sigmoid. Colon sigmoid
mulai dari krista iliaka dan berbentuk lekukan seperti huruf S. Usus bear memilki 4 lapisan
seperti juga pada usus lainnya. Akan tetapi ada beberapa gambaran khas pada usus besar.
Lapisan otot longitudinal usus besar tidak sempurna tetapi berkumpul dalam 3 pita yang
dinamakan taenia colli. Taenia bersatu pada sigmoid distal menjadi satu lapisan otot
longitudinal yang lengkap. Panjang taenia lebih pendek dari pada usus kecil, hal ini
menyebabkan usus tertarik dan berkerut membentuk kantong- kantong kecil yang disebut
haustra. Lapisan mukosa usus besar jauh lebih tebal daripada lapisan mukosa usus halus dan
tidak mengandung villi atau rugae. Krista lieberkuhn (kelenjar intestinal) terletak lebih dlam
dan mempunyai lebih banyak sel goblet daripada usus halus.
Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan sesuai dengan suplai darah
yang diterima. Arteri mesenterika superior memvaskularisasi belahan bagian kanan (sekum,
kolon ascenden, dan 2/3 proksimal kolon tranversum), dan arteri mesenterika inferior untuk
belahan bagian kiri (1/3 distal kolon tranversum, kolon descenden, sigmoid, dan bagian
proksimal rektum). Aliran balik vena dari kolon dan rektum superior melalui vena mesenterika

3
superior dan inferior, dan vena hemoroidalis superior, yaitu bagian dari sistem portal yang
mengalirkan darah ke hati.
Persyarafan usus besar disuplai oleh sistem syaraf otonom dengan pengecualian m. sfingter
ani eksterna berada dibawah kontrol volunter. Serabut syaraf parasimpatis berjalan melalui
syaraf vagus kebagian tengan kolon tranversum, dan syaraf pelvikus yang berasal dari daerah
sakral memsuplai bagian distal. Serabut simpatis meninggalkan medula spinalis melalui syaraf
splangnikus untuk mencapai kolon. Peransangan simpatis menyebabkan hambatan sekresi,
kontraksi, dan perangsangan sfingter rektum, edangkan perangsangan parasimpatis
mempunyai efek yang berlawanan.
Usus besar mempunyai fungsi yang berkaitan dengan proses akhir isi usus. Fungsi yang
paling penting adalah mengabsorbsi air dan elektrolit, yang sudah hampir lengkap pada kolon
bagian kanan. Kolon sigmoid berfungsi sebagai reservoir untuk menampung masa feses yang
sudah dehidrasi sampai defekasi berlangsung. Kapasitas absorbsi usus besar adalah sekitar
2000ml per hari, bila jumlah ini dilampaui maka akan terjadi diare. Sedikit pencernaan yang
terjadi di usus besar, terutama diakibatkan oleh bakteri dan bukan karena kerja enzim. Usus
besar mensekresi mukus alkali yang tidak mengandung enzim yang berfungsi untuk melumasi
dan melindungi mukosa.
Pada umumnya pegerakan usus besar adalah lambat, dan gerakan yang khas adalah gerakan
mengaduk haustra, dimana haustra teregang dan dari waktu- ke waktu otot sirkuler akan
berkontraksi untuk mengosongkannya. Pergerakan ini menyebabka isi usus bergerak bolak-
balik dan meremas- remas sehingga memberi cukup waktu untuk absorbsi.
Rektum dan anus merupakan tempat penyakit yang sering ditemukan pada manusia misalnya
inkontinensia alvi bisa disebakan oleh kerusakan otot sfingter atau kerusakan medula spinalis
dan daerah anorektal sering menjadi tempat abses dan fistula.

4
B. Pengertian
Kolitis ulseratif (ulcerative colitis) adalah peradangan kronis dari usus besar (kolon)
sampai menimbulkan ulserasi. Ulserasi dan peradangan lapisan dalam usus besar
menyebabkan gejala sakit perut, diare, dan perdarahan rektum. Kondisi ini terkait erat dengan
peradangan usus yang disebut penyakit Crohn. Bersama-sama, mereka sering disebut sebagai
penyakit radang usus (inflammatory bowel disease).
Kolitis ulseratif adalah penyakit inflamasi usus karena penyebab yang tidak diketahui,
biasanya mengenai lapisan mukosa kolon, dapat ringan, kronis, atau akut (Capernito
Lynda,1998)

Kolitis adalah suatu peradangan akut atau kronis pada kolon yang berdasarkan penyebab
dapat diklarifikasikan sebagai berikut:

 Kolitis infeksi misalnya shigelosis, kolitis tuberkulosa, colitis amebik, kolitis


pseudomembran, kolitis akrena virus atau bakteri atau parasite lain;

 Kolitis non-infeksi misalnya kolitis ulsetarif, penyakit Chron’s, kolitis radiasi, kolitis
iskemik, kolitis mikroskopik, kolitis non-spesifik (sample colitis ).

Menurut Kelompok 5, Kolitis ulseratif merupakan peradangan pada usus besar (kolon).
Peradangan tersebut dimulai dari kolon rektosigmoid dan meluas kearah atas sampai ke seluruh
bagian kolon. Peradangan tersebut menimbulkan lesi. Lesi pada colitis ulseratif merupakan
ulserasi mukosa yang mudah berdarah.

5
C. Etiologi

Etiologi kolitis ulseratif, tidak diketahui. Faktor genetik tampaknya berperanan


dalam etiologi, karena terdapat hubungan familial yang jelas antara kolitis ulseratif,
penyakit crohn, dan spondilitis ankilosa. Telah dijelaskan beberapa teori mengenai penyebab
kolitis ulseratif, namun tidak ada yang terbukti. Teori yang paling terkenal adalah teori
reaksi sistem imun tubuh terhadap virus atau bakteri yang menyebabkan terus
berlangsungnya peradangan dalam dinding usus. Penderita kolitis ulseratif memang
memiliki kelainan sistem imun, tetapi tidak diketahui hal ini merupakan penyebab atau akibat
efek ini; kolitis ulseratif tidak disebabkan oleh distress emosional atau sensitifitas terhadap
makanan , tetapi factor – factor ini mungkin dapat memicu timbulnya gejala pada beberapa
orang (Price, 2005).

D. Tanda dan Gejala

Kolitis ulseratif memiliki gejala awal seperti diare, perdarahan dari rectum, nyeri
abdomen, demam, malaise, anoreksia, berat badan turun, dan anemia. Anak – anak pada
mulanya tampak dengan gejala yang tidak jelas seperti pertumbuhan terganggu, anoreksia,
demam, dan nyeri sendi dengan atau tanpa gejala gastrointestinal (Priyanto, 2009).

Gejala dan keluhan yang paling sering dilaporkan adalah sakit perut dan diare, tinja dan
lendir berdarah. Buang air besar dapat menghilangkan rasa sakit di bagian kiri perut. Saat UC
menjadi lebih parah, frekuensi dan jumlah diare bertambah sepanjang hari. Penyembuhan
dapat terjadi, namun pada lebih dari 75% penderita akan kambuh.

Gejala lain yang ditimbulkan termasuk kelelahan, turunnya berat badan, anoreksia, dan
demam. Gejala lain juga dapat dipengaruhi oleh masalah dalam usus besar ini, termasuk nyeri
sendi, biasanya di lutut, pergelangan kaki, dan pergelangan tangan. Masalah dengan mata juga
dapat terjadi. Komplikasi yang dapat dialami termasuk pendarahan parah, perforasi usus, usus
hipertrofik (perenggangan usus) dan radang selaput perut. Penderita UC juga berisiko lebih
besar terkena kanker usus besar.

6
E. Patofisiologi
Patofisiologi, Kolitis ulseratif adalah penyakit ulseratif dan inflamasi berulang dari lapisan
mukosa kolon dan rektum. Penyakit ini umumnya mengenai orang Kaukasia, termasuk
keturunan Yahudi. Puncak insidens adalah pada usia 30-50 tahun. Kolitis ulseratif adalah
penyakit serius, disertai dengan komplikasi sistemik dan angka moralitas yang tinggi.
Akhirnya 10% sampai 15% pasien mengalami karsinoma kolon.
Kolitis ulseratif mempengaruhi mukosa superfisial kolon dan dikarakteristikkan dengan
adanya ulserasi multipel, inflamasi menyebar, dan deskuamasi atau pengelupasan epitelium
kolonik. Perdarahan terjadi sebagai akibat dari ulserasi. Lesi berlanjut, yang terjadi satu secara
bergiliran, satu lesi diikuti oleh lesi yang lainnya. Proses penyakit mulai pada rektum dan
akhirnya dapat mengenai seluruh kolon. Akhirnya usus menyempit, memendek, dan menebal
akibat hipertrofi muskuler dan deposit lemak.

F. Pemeriksaan Diagnostik
Tidak ada pemeriksaan atau test khas. Pada rektosigmoidoskopi akan tampak gambaran
radang, dan pemeriksaan laboratorium di dapat adanya anemia, leukositosis, dan
peninggian laju endap darah. Pemeriksaan pencitraan kolon dapat terlihat kelainan mukosa
dan hilangnya haustra. Pemeriksaan radiologi dengan barium pada kolon membantu
menentukan luas perubahan pada kolon yang lebih proksimal, tetapi sebaiknya tidak
dilakukan pada saat terjadi serangan akut, karena dapat mempercepat terjadinya

7
megakolontoksik dan perforasi. Kolonoskopi dan biopsi dapat seringkali membantu
membedakan kolitis ulseratif dan kolitis granulomatosa. Biopsi mukosa untuk tingkat berat
ringannya kelainan, menyingkirkan adnya lesi lain dan deteksi terhadap karsinoma, menilai
hasil pengobatan serta dalam rangka penelitian terhadap penyakit ini. Kolonoskopi
dilakukan dengan hati- hati karena dinding kolon sangat tipis.
G. Penatalaksanaan Medik
1. Terapi Lama

Ada dua tujuan dari terapi yaitu menghentikan serangan akut dan simptomatik dan mencegah
serangan kambuhan. Menghentikan serangan akut dan simptomatik

a. Asam 5- aminosalisilat
Asam 5- minosalisilat atau yang dikenal sebagai sulfasalazine menjadi obat pilihan utama
dalam pengobatan kolitis ulseratif yang ringan sampai sedang. Sedikit penelitian yang
menerangkan adanya obat baru yang lebih baik dari sulfasalazine dalam mengontrol
inflamasi. 20 dari 30% pasien mengalami intoleansi terhadap sulafasalazine atau dapat
dikatakan alergi terhadap obat ini (McQuaid, 2005).
b. Kortikosteroid
Prednison dengan dosis 40- 60 mg/ hari secara oral terbukti dapat menyembuhkan 75- 90%
pasien dengan kolitis ulseratif. Seperti pada penyakit crohn, pengunaan kortikosteroid
jangka panjang tidak dianjurkan. Pasien yang diterapi dengan kortikosteroid harus diterapi
berbarengan dengan asam 5-aminosalisilat untuk mendapatkan keuntungan obat tersebut
yaitu ”steroid sparing effect”. Setelah terlihat adanya perbaikan, maka kortikosteroid di
turunkan dngan cara ”tappering off” dalam jangka waktu 6-8 minggu.
Pasien yang tidak responsif terhadap asam 5-aminosalisilat, kemudan diterapi dengan
hidrocortisone enema (100mg) satu sampai dua kali sehari. Kortikosteroid foam dan
suppositoria dapat digunakan untuk pengobatan ulseratif proktitis. Tetapi absorbsi sistemik
yang signifikan preparat tersebut dapat menyebabkan Cushing’s sindrome yang cepat
(McQuaid, 2005).

8
c. Obat imunosupresant
Ada bukti yang mendukung keuntungan penggunaan analog purin, 6- mercaptopurine dan
azathioprine untuk terapi kolitis ulseratif. Penggunaan imunosupresant diindikasikan jika
pasien tidak respon atau ketergantungan terhadap kortikosteroid. Masih dimungkinkan
untuk penggunaan 6- mercaptopurin dalam tahap awal penyakit pada beberapa pasien,
tetapi penggunaannya jangan menunda keempatan untuk operasi pada kolitis yang
ekstensif yang juga beresiko untuk menderita kanker. Penggunaan cyclosporin pada terapi
kolitis ulseratif yang refrakter terhadap kortikosteroid intravena dapat dicoba. Pada
kelompok pasien ini cyclosporin intravena tampaknya menginduksi remisi cepat pada lebih
80% pasien. Toksisitas berkaitan dengan cyclosporin berupa kejang, hipertensi,
nefrotoksik, dan juga resiko infeksi. Adanya efek samping tersebut harus dipertimbangkan
untuk penggunaan jangka lama pada pasien yang gagal dengan terapi 6-mercaptopurin
(McQuaid, 2005).
Penggunaan methotrexate pada terapi kolitis ulseratif yang refrakter juga dapat dicoba. Hal
yang terpenting adalah penggunaan obat imunosupresant harus dipikirkan kemanjuran dan
toksisitasnya dibandingkan dengan outcome operasi (McQuaid, 2005).
d. Mencegah kekambuhan
Pasien yang gagal mencapai remisi harus diprogramkan untuk terapi rumatan dengan 5-
asam aminosalisilat (Asacol, 800 mg-2.4 g/hari). Untuk penyakit yang ekstensif,
sulfasalazine (1 g oral 2x1) atau olsalazine (500 mg atau 1 g 2x1) dapat digunakan. Pasien
dengan lesi terbatas dapat diterapi dengan preparat rektal setiap 3 hari sekali. Dosis optimal
untuk semua pasien harus diindividualisasikan (McQuaid, 2005).
2. Terapi Baru (Pembedahan )
Secara umum indikasi terapi pembedahan adalah klitis ulseratif disertai perforasi,
perdarahan hebat, displasia atau kanker, dan tidak respon terhadap 7-10 hari terapi
kortikosteroid ataupun cyclosporin. Peran proktokolektomi pada pasien dengan penyakit
ekstensif yang lama masih kontroversial. Di masa lalu operasi standar untuk kolitis ulseratif
adalah proctokolectomy baik disertai dengan ileostomy (Brooke) atau teknik yang lebih sulit
continent ileostomy (Koch). Pada 15 tahun terakhir ilmu pembedahan modern telah
menggantikan prosedur proctokolectomy sebelumnya. Prosedur ini adalah abdominal
colectomi yang dilakukan dengan membuat anastomosis antara kantong (pouch) distal ileum

9
dengan rektum distal (cuff). Biasanya diverting ileostomy dilakukan juga untuk
memungkinkan pouch dan anastomosis menyembuh dalam beberapa bulan. Operasi ini disebut
ileoanal pullthrough atau ileal pouch-anal anastomosis. Modifikasi terbaru dari operasi ini
dilakukan dengan rectal mucosectomy dimana anastomosis dari ileal pouch ke rectum distal
mendekati bagian atas linea dentate (1-4 cm). anastomosis ileal pouchdistal rectum ini lebih
mudah dikerjakan terkadang tanpa harus dilakukan lagi diverting ileostomy (McQuaid, 2005).

H. Komplikasi

Komplikasi koitis ulseratif dapat bersifat lokal ataupun sistemik. Fistula, fisura dan
abses rektal tidak sering seperti pada colitis granulomatosa. Kadang- kadang terbentuk
fistula rektovagina, dan beberapa penderita dapat mengalami penyempitan lumen usus
akibat fibrosis yang umumnya lebih ringan.

Salah satu komplikai yang lebih berat adalah dilatasi toksik atau megakolon, dimana
terjadi paralisis fungsi motorik kolon tranversum disertai dilatasi cepat segmen usus
tersebut. Megakolon toksik paling sering menyertai pankolitis, mortalitas sekitar 30% dan
perforasi usus sering terjadi. Pengobatan untuk komplikasi ini adalah kolektomi darurat.
Komplikasi lain yang cukup bermakna adalah karsinoma kolon, dimana frekuensinya
semakin meningkat pada penderita yang telah menderita lebih dari 10 tahun pertama
penyakit, mungkin hal ini mencerminkan tingginya angka pankolitik pada anak.

Perkembangan karsinoma kolon yang terdapat dala pola penyakit radang usus
menunjukkan perbedaan penting jika dibandinkan dengan karsinoma yang berkembang
pada populasi nonkolitik. Secara klinis banyak tanda peringatan dini dari neoplasma yaitu
perdarahan rektum, perubahan pola buang air besar) akan menyulitkan interpretasi pola
kolitis. Pada pasien kolitis distribusi pada kolon lebih besar dari pada pasien nonkolitis.
Pada pasien non kolitis sebagian esar karsinoma pada bagian rekosigmoid, yang dapat
dicapai dengan sigmoidoskopi. Pada pasien kolitis, tumor seringkali multiple, datar dan
menginfiltrasi dan tampaknya memilki tingkat keganasan yang lebih tinggi.

10
Komplikasi sistemik yang terjadi sangat beragam, dan sukar dihubungkan secara kausal
terhadap penyakit kolon. Komplikasi ini berupa pioderma gangrenosa, episkleritis, uveitis,
skleritis, dan spondilitis anilosa. Gangguan fungsi hati sering terjadi pada kolitis ulseratif
dan sirosis hatimerupakan komplikasi yang sudah dapat diterima. Adanya komplikasi
sistemik berat dapat menjadi indikasi pembedahan pada kolitis ulseratif, bahkan bila
gejala- gejala kolon adalah ringan sekalipun.

11
BAB III

KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Identitas
a. Identitas pasien
Meliputi : Nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, agama, pekerjaan, alamat, tanggal
masuk rumah sakit.
b. Identitas penanggung jawab
Meliputi : Nama, umur, pendidikan, pekerjaan, alamat, dan hubungan dengan klien.
2. Keluhan utama saat Masuk Rumah Sakit
Pada anamnesis, keluhan utama yang lazim didapatkan adalah nyeri abdomen,
diare, tenesmus intermiten, dan pendarahan rektal. Keluhan nyeri biasanya bersifat kronis,
yaitu berupa nyeri kram pada kuadran periumbilikal kiri bawah. Kondisi rasa sakit bisa
mendahului diare dan mungkin sebagian pasien melaporkan perasaan nyaman setelah
BAB. Diare biasanye disertai darah. Pasien melaporkan mengeluarkan feses cair 10 – 20
kali sehari. Pasien juga mengeluh saat BAB seperti ada yang menghalangi.
3. Riwayat kesehatan
a. Riwayat penyakit sekarang
Kondisi ringan karena colitis ulseratif adalah penyakit mukosa yang terbatas
pada kolon, gejala yang paling umum adalah pendarahan anus, diare, dan sakit perut.
Pada kondisi colitis ulseratif berat terjadi pada sekitar 10 % dari pasien, didapat
keluhan lainnya yang menyertai, seperti peningkatan suhu tubuh, mual, muntah,
anoreksia, perasaan lemah, dan penurunan nafsu makan. Pasien dengan colitis yang
parah dapart mengalami komplikasi yang yang mengancam nyawa, termasuk
pendarahan darah, megakolon toksik atau perforasi usus.

b. Riwayat penyakit dahulu


Penting digali untuk menentukan penyakit dasar yang menyebabkan kondisi
enteritis regional. Pengkajian predisposisi seperti genetic, lingkungan, infeksi,

12
imunitas, makanan dan merokok perlu di dokumentasikan. Anamnesis penyakit
sistemik , seperti DM, hipertensi, dan tuberkolosis dipertimbangkan sebagai sarana
pengkajian proferatif.
c. Riwayat Kesehatan Keluarga
Perawat menanyakan tentang penyakit yang pernah dialami oleh keluarga serta
bila ada anggota keluarga yang meninggal maka penyebab kematiannya juga
ditanyakan.
4. Riwayat Keperawatan Klien
a. Pola Aktivitas Sehari-hari (ADL)
1) Nutrisi dan Cairan
 Anoreksia, mual/muntah
 Penurunan berat badan
 Tidak toleran terhadap diet/sensitif misalnya produk susu, makanan dingin
dan makanan berlemak.
2) Pola Eliminasi
 Tekstur feses bervariasi dari bentuk lunak sampai batu atau berair
 Episode diare berdarah tak dapat diperkirakan, hingga timbul, sering tak dapat
dikontrol (sebanyak 10-20 kali defekasi/hari)
 Perasaan dorongan/kram (temosmus), defekasi berdarah/pus/mukosa dengan
atau tanpa keluar feses.
 Perdarahan per rectal
 Oliguria dan anuria pada dehidrasi berat
3) Pola Istirahat Tidur
 Kelemahan, kelelahan, malaise, cepat lelah
 Insomnia, tidak tidur semalaman karena diare
 Merasa gelisah dan ansietas
 Pembatasan aktivitas/kerja sehubungan dengan efek proses penyakit.
4) Pola Kebersihan Diri (Personal Hygiene)
 Ketidakmampuan mempertahankan perawatan diri
 Stomatitis menunjukkan kekurangan vitamin
 Bau badan
13
b. Pola Pemenuhan Kebutuhan:
1) Aspek biologi : Keletihan, kelemahan, anoreksia, penurunan berat badan.
2) Aspek psiko : Perilaku berhati-hati, gelisah, peningkatan kecemasan
karena nyeri abdomen
3) Aspek sosio : Ketidakmampuan aktif dalam sosial.
5. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum : Terjadi perubahan tingkat kesadaran berhubungan
dengan penurunan perfusi ke otak
b. Tanda-tanda vital
 Tekanan darah : Diatas batas normal (Hipertensi)
 Nadi : Takikardia atau diatas normal (> 100 x/menit)
 Suhu : Klien mengalami demam (38°C )
 Respirasi : Takipnea dapat hadir karena sembelit atau
sebagai mekanisme kompensasi asidosi dalam kasus dehidrasi parah.
c. Pemeriksaan sistem tubuh
1) Sistem pencernaan:
a) Inspeksi:
Kram abdomen, Perut didapatkan kembung. Pada kondisi kronis, status nutrisi
bisa didapatkan tanda-tanda kekurangan gizi, seperti atrofi otot dan pasien
terlihat kronis.
b) Palpasi:
Nyeri tekan abdomen (tenderness), menunjukkan penyakit parah dan
kemungkinan perforasi. Nyeri lepas dapat terjadi pada kuadran kiri bawah.
Sebuah masa dapat teraba menunjukkan abstruksi atau megakolon. Pembesaran
limpa mungkin menunjukkan hipertensi portal dari hepatitis autoimun terkait
atau kolangitis sclerosis.
c) Perkusi:
Nyeri ketuk dan timpani akibat adanya flatulen
d) Auskultasi:
Bising usus meningkat. Nada gemerincing bernada tinggi dapat ditemukan
dalam kasus-kasus obstruksi.

14
2) Sistem pernafasan:
 Takipnea dapat hadir karena sembelit atau sebagai mekanisme kompensasi
asidosi dalam kasus dehidrasi parah.
3) Sistem kardiovaskuler:
 Peningkatan nadi (takikardi) Takikardial dapat terjadi karena anemia atau
hipopolemia. (> 100 x/menit)
4) Sistem integumen:
 Kulit dan membran mukosa kering
 Turgor kulit >3 detik menandakan gejala dehidrasi.
 Eritema nodosum dapat terlihat pada permukaan ekstensor.
5) Sistem musculoskeletal:
 Kelemahan otot dan tonus otot buruk
 Kelemahan pada anggota gerak
6) Sistem eliminasi:
 Pada saat buang air besar mengalami diare
 Feses mengandung darah, mucus, atau nanah
d. Pemeriksaan diagnostik
1) Pemeriksaan laboratorium
Temukan pada pemeriksaan laboratorium dalam evaluasi colitis ulseratif mungkin
menunjukkan tanda-tanda berikut.
a) Anemia ( yaitu hemoglobin < 14 g/dL pada pria dan < 12 g/dL pada wanita).
b) Trombositosis ( yaitu platetet > 350.000/µL).
c) Peningkatan tingkat sedimentasi ( variable referensi rentang, biasanya 0-33
mm/jam) dan peningkatan C-reactiv protein ( yaitu >100 mg/L). kedua temuan
ini berkolerasi dengan aktivitas penyakit.
d) Hipoalbuminemia ( yaitu albumin < 3,5 g/dl).
e) Hipokalemia ( yaitu kalium < 3,5 mEq/dL).
f) Hipomagnesemia ( yaitu magnesium < 1,5 mg/dL).
g) Peningkatan alkalin fosfatase; lebih dari 125 U/L menunjukkan kolangitis
sclerosing primer ( biasanya > 3 kali batas atas dari kisaran referensi).

15
h) Pada diagnosis colitis ulseratif kronis, pemeriksaan feses yang cermat
dilakukan untuk membedakan dengan disentri yang disebabkan oleh organisme
usus umum, khususnya Entamoeba histolytica. Feses positif terhadap darah.
2) Pemeriksaan radioaktif
a) Foto polos abdomen
Sinar rontgen mungkin menunjukkan dilatasi kolon, dalam kasus yang
parah bisa mengakolon toksik. Selain itu, bukti perforasi, atau ileus juga dapat
diamati (Khan, 2009)
b) Studi kontras barium
Barium enema dapat dilakukan dengan aman dalam kasus ringan.
Dengan barium enema dapat dilihat adalanya mengakolon toksik, kondisi
ulkus, dan penyempitan kolon. Selain itu, enema barium akan menunjukan
iregulasi mucosal, pemendekan kolon, dan dilatasi lekung usus
c) CT Scan.
Secara umum CT scan memainkan peran kecil dalam diagnosis colitis
ulseratif. CT ulseratif scan dapat menunjukan penebalan dinding kolon dan
dilatasi bilier primer kolangitis skleorosis.
3) Prosedur endoskopi
Endoskopi dapat menunjukan mukosa yang rapuh, mukosa terinflasi
dengan eksudat dan ulserasi. Temuan di sigmoidoskopi fleksibel dapat memberikan
diagnosis colitis . tujuan lain dari pemeriksaan ini adalah untuk mendukomenyasian
sejauh mana progresivitas penyakit, untuk memantau aktivitas penyakit , dan
sebagai surveilans untuk dysplasia atau kanker. Namun , berhati –hati dalam upaya
kolonoskopi dengan biopsy pada pasien dengan penyakit parah karena risiko yang
mungkin perforasi lainnya komplikasi

16
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri b.d. iritasi intestinal, diare, kram abdomen, respons pembedahan.
2. Risiko ketidakseimbangan cairan tubuh b.d. keluar cairan tubuh dari muntah.
3. Actual / risiko tinggi ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. intake
makanan yang kurang adekuat.
4. Pemenuhan informasi b.d. adanya evaluasi diagnostic, rencana pembedahan, dan rencana
perawatan rumah.
5. Ganguan aktivitas sehari-hari b.d. kelemahan fisik umum, keletihan pasca nyeri dan diare.
6. Risiko injuri b.d. pasca prosedur bedah kolektomy atau ilestomy.
7. Actual / risiko ketidakefektifan kebersihan jalan nafas b.d. kemapuan batuk menurun, nyeri
pasca bedah.
8. Risiko tinggi infeksi b.d. adanya port de entrée luka pascabedah.
9. Kecemasan b.d prognosis penyakit,misinterprestasi informasi, rencana pembedahan.

C. Intervensi
1. Diagnosa I
Nyeri b.d. iritasi intestinal, diare, kram abdomen, sembelit, respons pembedahan
Tujuan : nyeri berkurang atau teradaptasi.
Kriteria hasil:
 Secara subjektif pernyataan nyeri berkurang atau teradaptasi
 Skala nyeri 0-1 (0-4).
 TTV dalam batas normal, wajah pasien rileks.
Intervensi Rasional
Jelaskan dan bantu pasien dengan Pendekatan dengan menggunakan relaksasi
tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan nonfarmakologi lainnya telah
dan noninvasif. menunjukkan keefektifan dalam mengurangi
nyeri.
Lakukan manajemen nyeri
keperawatan, meliputi:
Kaji nyeri dengan pendekatan Pendekatan PQRST dapat secara
PQRST komprehensif menggali kondisi nyeri pasien.
P : penyebab nyeri dapat diakibatkan oleh
respons diare, kram abdomen, dan sembelit
atau kerusakan jaringan pascabedah.
Q: kualitas nyeri seperti tumpul, kram, dan
mulas.
R : area nyeri pada abdomen bawah kiri.

17
S : pasien mengalami skala nyeri 3 (0-4).
T : nyeri bertambah bila tidak bisa melakukan
BAB.

Pemberian oksigen dilakukan untuk memenuhi


kebutuhan oksigen pada saat pasien
mengalami nyeri pascabedah yang dapat
eri berikan oksigen nasal apabila skala mengganggu kondisi hemodinamik.
nyeri
≥ 3 (0-4). Istirahat diperlukan untuk menurunkan
peristaltic usus.
Istirahat secara fisiologis dan melakukan

Istirahatkan pasien pada saat nyeri BAB di tempat tidur akan menurunkan
muncul. kebutuhan oksigen yang diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme basal pada
aktivitas dan menurunkan keletihan
Biasakan pasien untuk BAB di tempat pascanyeri.
tidur.
Pengaturan posisi semipowler dapat
membantu merelaksasi otot-otot abdomen
pascabedah sehingga dapat menurunkan
stimulus nyeri dari luka pascabedah.
Atur posisi fisiologis.

Memberi respons vasodilatasi. Kompres ini


hanya dilakukan pada pasien tanpa
pembedahan.

Beri kompres hangat pada


abdomen.
Ajarkan teknik relaksasi pernafasan Meningkatkan intake oksigen sehingga akan
dalam pada saat nyeri muncul. menurunkan sekunder dari iskemia spina.

Ajarkan teknik distraksi pada saat Distraksi ( pengalihan perhatian ) dapat


nyeri. menurunkan stimulus internal.

Lakukan manajemen sentuhan. Manajemen sentuhan pada saat nyeri berupa


sentuhan dukungan psikologis dapat
membantu menurunkan nyeri.

Tingkatkan pengetahuan tentang : Pengetahuan yang akan dirasakan membantu


sebab-sebab nyeri dan mengurangi nyerinya dan dapat membantu

18
menghubungkan berapa lama nyeri mengembangkan kepatuhan pasien terhadap
akan berlangsung. rencana terapeutik.

Kolaborasi dengan tim medis untuk


pemberian: Analgenik diberikan untuk membantu
Analgenik via intravena. menghambat stimulus nyeri ke pusat persepsi
nyeri di korteks serebri sehingga nyeri dapat
berkurang.

Penurunan respons diare dapat menurunkan


Antidiare. stimulus nyeri.

2. Diagnosa II
Risiko tinggi nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. intake makanan yang
kurang adekuat.
Tujuan : intake nutrisi dapat optimal dilaksanakan.
Kriteria evaluasi :
Pasien dapat menunjukkan metode menelan makanan yang tepat.
Keluhan mual dan muntah berkurang.
Secara subjektif melaporkan peningkatan nafsu makan.
Berat badan pada hari ke-7 pascabedah meningkat 0,5 kg.
Intervensi Rasional
Kaji dan berikan nutrisi sesuai Pemberian nutrisi pada pasien dengan
tingkat toleransi individu. enteritis regional bervariasi sesuai dengan
kondisi klinik dan tingkat toleransi
individu.
Sajikan makanan dengan cara yang Membantu merangsang nafsu makan. Hal
menarik. ini dapat diberikan bila toleransi oral tidak
menjadi masalah pada pasien.
Fasilitasi pasien memperoleh diet Diet diberikan pada pasien dengan gejala
rendah lemak. malabsorpsi akibat hilangnya fungsi

19
penyerapan permukaan mukosa,
khususnya penyerapan lemak, keterlibatan
ileum terminal dapat mengakibatkan
steatorrhea ( buang air besar dengan feses
bercampur lemak).
Fasilitasi pasien memperoleh diet Suplemen serat dikatakan bermanfaat bagi
dengan kandungan serat tinggi. pasien dengan penyakit kolon karena fakta
bahwa serat makanan dapat diubah
menjadi rantai pendek asam lemak, yang
menyediakan bahan bakar untuk
penyembuhan mukosa kolon.

Fasilitasi pasie memperoleh diet Diet rendah serat biasanya diindikasikan


rendah serat pada gejala obsrtuksi. untuk pasien dengan gejala obstruksi.
Fasilitasi untuk pemberian nutrisi Nutrisi peranteral total (TPN ) digunakan
parenteral total. bila gejala penyakit usus inflamasi
bertambah berat. Dengan TPN, perawat
dapat mempertahankan catatan actual
tentang intake dan output cairan, serta
berat basdan pasien setiap hari. Berat
badan pasien harus meningkat 0,5 kg setiap
hari selama terapi. Urine diuji setiap hari
terhadap adanya glukosa, aseton dan berat
jenis bila TPN digunakan. Pemberian
makan yang tinggi protein, rendah lemak,
dan residu dilakukan setelah terapi TPN
karena makanan ini dicerna terutama pada
jejunum, tidak merangsan sekresi usus, dan
memungkinkan usus beristirahat.
Intoleransi dicatat bila pasien

20
menunjukkan mual, muntah, diare, atau
distensi abdomen.
Pantau intake dan output, anjurkan Berguna dalam mengukur keefektifan
untuk timbang berat badan secara nutrisi dan dukungan cairan.
periodik ( sekali seminggu ).
Lakukan perawatan mulut. Intervensi ini untuk menurunkan resiko
infeksi oral.
Kolaborasi dengan ahli gizi Ahli gizi harus terlibat dalam penentuan
mengenai jenis nutrisi yang akan komposisi dan jenis makanan yang akan
digunakan pasien. diberikan sesuai dengan kebutuhan
individu.

3. Diagnosa III
Actual/resiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit b.d. diare, kehilangan cairan dari
gastrointestinal, ganggguan absorpsi usus besar, pengeluaran elektrolit dari muntah.
Tujuan : tidak terjadi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.
Kriteria :
Pasien tidak mengeluh pusing TTV dalam batas normal, kesadaran optimal.
Membran mukosa lembab, turgor kulit normal, CRT > 3 detik.
Laboratorium : nilai elektrolit normal, analisis gas darah normal.
Intervensi Rasional
Kaji terhadap adanya tanda Memantau adanya tanda tanda dehidrasi
kekurangan volume cairan : kulit dan
membrane mukosa kering, penuruna
turgor kulit, oliguria, kelelahan,
penurunan suhu, peningkatan
hematokrit, peningkatan berat jenis
urine, dan hipotensi.
Intervensi pemenuhan cairan :
Identifikasi faktor penyebab, Parameter dalam menentukan intervensi
awitan (onset), spesifikasi usia dan kedaruratan. Adanya riwayat keracunan dan
adanya riwayat penyakit lain. usia anak atau lanjut usia membeerikan tingkat
keparahan dari kondisi ketidakseimbangan
cairan dan elektrolit.

Lakukan pemasangan IVFD Apabila kondisi diare dan muntah berlanjut,


maka lakukan pemasangan IVFD. Pemberian

21
cairan intravena disesuaikan dengan derajat
dehidrasi.
Pemberian 1-2 L cairan Ringer laktat dengan
tetesan cepat sebagai kompensasi awal hidrasi
cairan di berikan untuk mencegah syok
hipovolemik (lihat intervensi kedaruratan syok
hipovolemik).

Dokumentasi dengan akurat Sebagai evaluasi penting dari intervensi hidrasi


tentang asupan dan haluaran cairan. dan mencegah terjadinya over hidrasi.

Bantu pasien apabila muntah Aspirasi muntah dapat terjadi terutama pada
usia lanjut dengan perubahan kesadaran.
Perawat mendekatkan tempat muntah dan
memberikan masase ringan pada pundak untuk
membantu menurunkan respons nyeri dari
muntah.
Intervensi pada penurunan kadar
elektrolit.
Evaluasi kadar elektrolit serum Untuk mendeteksi adanya kondisi hiponatremi
dan hipokalemi sekunder dari hilangnya
elektrolit dari plasma.

Dokumentasikan perubahan klinik Perubahan klinik seperti penurunan urine


dan laporkan dengan tim medis. output secara akut perlu diberitahu kepada tim
medis untuk mendapatkan intervensi
selanjutnya dan menurunkan risiko terjadinya
asidosis metabolik.

Monitor khusus
ketidakseimbangan elektrolit pada Individu lansia dapat dengan cepat mengalami
lansia. dehidrasi dan menderita kadar kalium rendah
(hipokalemia) sebagai akibat diare. Individu
lansia yang menggunakan digitalis harus
waspada terhadap cepatnya dehidrasi dan
hipokalemia pada diare. Individu ini juga
diinstruksikan untuk mengenali tanda-tanda
hipokalemia karena kadar kalium rendah dapat
memperberat kerja digitalis, yang dapat
menimbulkan toksisitas digitalis.
Kolaborasi dengan tim medis terapi
farmakologis :
Antimikroba. Antimikroba diberikan sesuai dengan
pemeriksaan feses agar pemberian antimikroba

22
dapat rasional diberikan dan mencegah
terjadinya resistensi obat.

Antidiare/antimotilitas. Agen ini digunakan untuk menurunkan


frekuensi diare. Salah satu obat yang lazim
diberikan adalah loperamide (Imodium).

4. Diagnosa IV
Kecemasan b.d prognosis penyakit,misinterprestasi informasi, rencana pembedahan
Tujuan : kecemasan berkurang atau teratasi.
Criteria evaluasi:
- Mengidentifikasi situasi stres dan tindakan khusus untuk menerimannya.
- Berpatisipasi dalam program pengobatan
- Melakukan perubahan pla hidup tertentu

Intervensi Rasional

Lakukan manajemen nyeri


keperawatan, meliputi:

Tentukan persepsi pasien tentang Membuat pengetahuan dasar dan


Penyakit memberikan kesadaran kebutuhan belajar
individu

Kaji ulang obat, tujuan, frekuensi, Meningkatkan pemahaman dan dapat


dosisi, dan kemungkinan efek samping meningkatkan kerjasama dalam program

D. Implementasi
Implementasi dilakukan sesuai dengan jumlah intervensi yang ada dan disesuaikan
dengan kondisi pasien.
1) Mengawasi masukan dan keluaran, karakter dan jumlah feses; perkirakan kehilangan yang
tak terlihat, misalnya berkeringat, ukur berat jenis urine, observasi oliguria.
2) Mengobservasi TTV (TD, nadi, suhu, pernafasan)
3) Mengobservasi kulit kering berlebihan dan membran mukosa, penurunan turgor kulit,
pengisian kapiler lambat.
4) Berkolaborasi dalam pemberian cairan parenteral, transfusi darah bila perlu.
5) Mengobservasi dan catat frekuensi defekasi konsistensi karakteristik, jumlah dan faktor
pencetus
6) Berkolaborasi untuk pemberian obat

23
E. Evaluasi
Hasil yang diharapkan setelah dilakukan tindakan keperawatan adalah sebagai berikut.
1. Nyeri dilaporkan berkurang atau terdaptasi.
2. Status hidrasi optimal.
3. Pemenuhan nutrisi optimal.
4. Pemenuhan informasi kesehatan optimal.
5. Tidak terjadi injuri.
6. Jalan nafas efektif.
7. Tidak terjadi infeksi pascabedah.
8. Penurunan respons kecemasan.

24
BAB IV

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KASUS KOLITIS

FORMAT PENGUMPULAN DATA UMUM KEPERAWATAN

Tgl. Pengkajian : 21 Januari 2015 No. Register : 07.39.03


Jam pengkajian : 08.00 WIB Tgl. MRS : 18 Januari 2015
Ruang/Kelas : Arum/305
Kelurahan : Mangun Jaya
Kecamatan : Tambun Selatan

A. Pengkajian

1. Identitas Pasien 2. Identitas Penanggung Jawab


Nama : Ny. Y Nama : Tn. C
Umur : 35 tahun Umur : 42 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam Agama : Islam
Pendidikan : SLTA Sederajad Pekerjaan : Karyawan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Swasta
Gol. Darah : AB Alamat : Jl. Ayani 2 Gg
Alamat : Jl. Ayani 2 Gg Buntu
Buntu Hubungan dengan klien: Suami

3. Keluhan Utama
 Keluhan Utama Saat MRS
Pasien datang ke Rumah Sakit dengan keluhan nyeri abdomen, BAB cair lebih dari 10x/
hari, pusing.

25
 Keluhan Utama Saat Pengkajian

Pasien mengatakan tidak nafsu makan, mual, muntah dan sering BAB dengan konsistensi
cair. Terjadi penurunan BB sampai 4 kg.

4. Diagnosa Medis

Kolitis Ulseratif

5. Riwayat Kesehatan
i. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke Rumah Sakit dengan keluhan nyeri abdomen, BAB cair lebih
dari 10x/ hari, pusing. Serta pada saat pengkajian pasien mengatakan tidak nafsu makan,
mual, muntah dan sering BAB dengan konsistensi cair. Terjadi penurunan BB sampai 4
kg.

ii. Riwayat Penyakit Yang Lalu


Pasien mengatakan pernah beberapa kali terkena diare. Namun tidak sampai
berhari-hari dan tidak sampai dibawa ke Rumah Sakit.
iii. Riwayat Kesehatan Keluarga
Pasien mengatakan tidak dirinya beresiko terkena hipertensi karena faktor
keturunan.

26
6. Riwayat Keperawatan Klien
 Pola Aktivitas Sehari-hari (ADL)

Rumah Rumah Sakit


No. Pola Aktivitas Sehari-Hari (ADL)
(Sebelum Sakit) (Saat Pengkajian)

1. Nutrisi dan cairan


Makan :……………x/hr 3x/hr 1 porsi penuh 3x/hr ¼ porsi
5-6 gelas/hr
Minum :……………x/hr 5-6 gelas/hr

2. Pola Eliminasi ±5-6 x/hr


BAK :....................x/hr 1-2 x/hr ±2-3 x/hr
BAB :……………x/hr Lunak 10 x/ Sehari
Konsistensi Kekuningan Cair
Warna Pucat kekuningan
±8 jam/hr
3. Pola Istirahat Tidur :……… jam/hr Malam 3 jam
Siang 1 jam
Insomnia karena
diare
4. Pola Kebersihan Diri (PH) 2x/hr
Mandi :………… x/hr 1x/2 hr 1x/hr dilap
Keramas :………… x/hr 2x/hr Tidak keramas
Sikat gigi :………… x/hr Tidak sikat gigi

 Pola Pemenuhan Kebutuhan :


a. Riwayat Psikologi (cemas, takut, kehilangan)
Pasien tampak gelisah, cemas dan khawatir karena nyeri abdomen. Pasien
juga memikirkan tentang penyakitnya serta kondisinya yang lemah.
b. Riwayat Riwayat Sosial (Perubahan peran dalam keluarga/lingkungan rumah)
Terjadi perubahan fungsi dan peran pasien sebagai ibu rumah tangga dalam
keluarga karena penyakit yang diderita pasien. Serta terjadi ketidakmampuan pasien
aktif dalam sosial dikarenakan sakit.
c. Riwayat Spiritual (Kegiatan ibadah sesuai keyakinan)

27
Selama sakit, ibadah pasien terganggu karena adanya penurunan fungsi tubuh.
Namun pasien tidak pernah lupa untuk selalu berdo’a kepada Tuhan agar diberi
kekuatan dalam menghadapi penyakitnya.
7. Pemeriksaan Fisik
No. Kompenen Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan
1 a. Keadaan Umum Tampak Lemah
b. Kesadaran Compos Mentis
2 Pemeriksaan Tanda-Tanda Vital
a. TD 130/90 mmHg
b. N 110 x/menit
c. S 38 ºC
d. RR 30 x/menit
e. BB 40 kg
3 Pemeriksaan Kepala
a. Bentuk Kepala Simetris
b. Nyeri Kepala Tidak ada nyeri kepala
c. Luka pada kepala Tidak ada luka pada kepala
4 Pemeriksaan Mata
a. Pergerakan bola mata Terkontrol, dapat bergerak sesuai arahan,
tidak juling
b. Refleks cahaya pada pupil Reflek terhadap cahaya miosis
c. Konjungtiva Anemis
d. Sklera Tidak ikterik, putih bersih
e. Alat bantu Tidak menggunakan alat bantu kacamata/
kontak lensa
5 Pemeriksaan Hidung
a. Bentuk Simetris
b. Mukosa Lembab, tidak ada luka / peradangan
c. Sekret Bersih, tidak ada secret

28
6 Pemeriksaan Telinga
a. Bentuk Simetris
b. Sekret Bersih, tidak ada sekret
c. Nyeri/gatal Tidak ada nyeri ataupun gatal
d. Benda asing Tidak ada benda asing didalam telinga
e. Ketajaman pendengaran Baik, pendengaran masih tajam, serta
dapat menjawab pertanyaan dengan
baik dalam jarak 90-120 cm
7 Pemeriksaan Mulut
a. Bibir Kering
b. Mukosa mulut Tidak ada lesi
c. Lidah Bersih
d. Kebersihan rongga mulut Gigi cukup bersih, rapi dan tidak
berlubang
8 Pemeriksaan Tenggorokan
a. Nyeri telan Tidak ada nyeri telan
b. Warna Merah muda
c. Tonsil Tidak ada pembesaran tonsil
9 Pemeriksaan Dada
a. Bentuk dada Simetris
b. Pola nafas
 Bunyi nafas Vesikuler
 Sesak nafas Tidak ada sesak nafas
 Irama nafas Teratur
c. Alat bantu pernafasan Tidak terpasang alat bantu
d. Batuk Tidak batuk
10 Pemeriksaan Sirculasi Darah
a. Nyeri dada Tidak ada nyeri dada
b. Oedem Tidak ada oedem

29
c. Cianosis Tidak ada cyanosis

11 Pemeriksaan Abdomen
a. Bentuk (membesar/tidak, Tidak membesar, datar dan lunak
tegang/lunak)
b. Nyeri tekan Nyeri tekan pada kuadran kiri bawah
c. Peristaltik usus 26 x/menit
12 Pemeriksaan Punggung
a. Nyeri ketuk (perkusi) Tidak terdapat nyeri ketuk pada
punggung kanan maupun kiri
13 Pemeriksaan
Muskuloskeletal dan
Integumen seluruh tubuh
a. Kemampuan pergerakan Tangan maupun kaki dapat digerakan
sendi (ROM) fleksi, ekstensi dan rotasi tanpa bantuan
perawat.
b. Fraktur Tidak ada fraktur
c. Turgor Kurang elastis
d. Kebersihan Cukup bersih
e. Oedem Tidak ada oedem
14 Pemeriksaan Genitalia
a. Nyeri pada genitalia Tidak ada nyeri pada organ genitalia
b. Kebersihan genitalia Genitalia bersih
c. Alat bantu Tidak menggunakan alat bantu DC
15 Aspek Psikososial
a. Ekspresi afek dan emosi Ekspresi wajah cemas dan emosi stabil
b. Hubungan dengan Baik dan akrab
keluarga
c. Dampak hospitalisasi Keluarga jadi benar-benar mengetahui
bagi keluarga informasi tentang penyakit

30
pasien serta kondisi pasien secara
keseluruhan

8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan feces
Tanggal: 20 Januari 2015

31
9. Analisa Data
No Data Problem Etiologi
1 Data subjektif: Volume cairan Output yang
 Sering BAB encer, kadang kurang dari berlebih
bercampur darah dan nyeri perut. kebutuhan tubuh
 Mual muntah, Anoreksia
Data objektif:
 S : 38 ºC
 N : 110 x/menit
 TD : 130/90 mmHg
 RR : 30 x/menit
 Membran mukosa dan kulit kering
 Turgor kulit >3 detik
 Bibir pecah-pecah
 Keluaran urine sedikit 1 ml/jam
2 Data Subjektif: Nutrisi kurang dari Gangguan absorbsi
 Pasien mengatakan tidak nafsu kebutuhan tubuh usus
makan
 Klien mengeluh mual muntah
Data objektif:
 BB menurun
 Penurunan lemak subkutan
 Tonus otot buruk
 Bunyi usus hiperaktif
 Konjungtiva dan membran
mukosa pucat
 Pasien muntah
3 Data Subjektif: Gangguan Meningkatnya
 Defekasi sering dan berair eliminasi alvi motilitas usus
 Nyeri perut tiba-tiba
Data Objektif:
 Peningkatan bunyi usus/peristaltic
 Feses tampak bercampur darah
 Wajah tampak meringis

B. Diagnosa Keperawatan
1. Volume cairan kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan Output yang berlebih.
2. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan Gangguan absorbsi usus.
3. Gangguan eliminasi alvi berhubungan dengan Meningkatnya motilitas usus.

C. Intervensi Keperawatan
1. Diagnosa I: Volume cairan kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan Output yang
berlebih.

32
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan Volume
cairan adekuat.
Kriteria hasil:
 Membran mukosa lembab
 Turgor kulit baik
 Pengisian kapiler baik
 Keseimbangan intake dan output dengan urine rata-rata 1 ml/menit
 Tanda-tanda vital:
S: 37 ºC
N: 80 x/menit
TD: 120/80 mmHg
P: 20 x/menit
Intervensi:
1) Awasi masukan dan keluaran, karakter dan jumlah feses; perkirakan kehilangan yang
tak terlihat, misalnya berkeringat, ukur berat jenis urine, observasi oliguria.
Rasional: Memberikan informasi tentang keseimbangan cairan, fungsi ginjal, dan
kontrol penyakit usus juga merupakan pedoman untuk penggantian cairan.
2) Observasi TTV (TD, nadi, suhu, pernafasan)
Rasional: Hipotensi, takikardi, demam, takipnea dapat menunjukkan respon terhadap
dan atau efek kehilangan cairan
3) Observasi kulit kering berlebihan dan membran mukosa, penurunan turgor kulit,
pengisian kapiler lambat.
Rasional: Menunjukkan kehilangan cairan berlebihan/dehidrasi
4) Kolaborasi cairan parenteral, transfusi darah bila perlu.
Rasional: Mempertahankan istirahat usus akan memerlukan penggantian cairan untuk
memperbaiki kehilangan.
5) Awasi hasil laboratorium: elektrolit (kalium, magnesium), GDA
Rasional: Menentukan kebutuhan penggantian dan keefektifan terapi.

2. Diagnosa II: Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan Gangguan absorbsi
usus.

33
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan semala 3x24 jam diharapkan Kebutuhan nutrisi dapat
dipertahankan.
Kriteria hasil:
 BB meningkat secara bertahap
 Tidak ada tanda malnutrisi seperti kulit kering, turgor kulit kurang elastis
 Klien mengatakan nafsu makan meningkat
Intervensi:
1) Berikan dorongan masukan cairan yang mengandung kalori daripada masukan cairan
seperti soda. Hindari makanan yang menyebabkan kram abdomen.
Rasional: Minuman yang banyak mengandung kalori dapat membantu mencegah
malnutrisi, mencegah serangan akut.
2) Kaji penerimaan klien dan respons terhadap masukan cairan per oral.
Rasional: Kemampuan untuk mengabsorpsi nutrien harus dievaluasi setiap hari.
3) Mulai makanan formula dalam bentuk yang diencerkan dan tingkatkan sampai bentuk
terkental yang dapat ditoleransi
Rasional: Bila klien tak dapat mentoleransi diet reguler dapat diberikan elemen
makanan karena eleman makanan dapat ditoleransi karena batas zat sisa,
nutrisi seimbang.
4) Berikan berbagai rasa elemen makanan dan pertahankan agar tetap dingin.
Rasional: Diet elemen mempunyai bau dan rasa tak sedap karena adanya asam amino.
5) Bantu klien dengan beralih pada makanan lunak, saring dan makanan padat rendah sisa
dan berikan dorongan untuk resing makan tinggi kalori.
Rasional: Diperlukan pengenalan makanan padat secara bertahap untuk mengungkap
nyeri dan peningkatan toleransi .
6) Ajarkan klien untuk menghindari buah mentah, rempah, alkohol, makanan gorengan.
Rasional: Makanan dan cairan jenis ini dapat mengiritasi saluran GI.
7) Berikan kebersihan oral
Rasional: Mulut yang bersih dapat meningkatkan rasa makanan.
8) Timbang berat badan tiap hari
Rasional: Memberikan informasi tentang kebutuhan diet/keefektifan terapi.
9) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat: Donnatal, natrium barbital.

34
Rasional: Antikolinorgik diberikan 15 – 30 menit sebelum makan memberikan
penghilangan kram dan diare.
10) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian imeron injeksi.
Rasional: Mencegah/mengobati anemia, oral tidak diberikan karena gangguan usus.

3. Diagnosa III: Gangguan eliminasi alvi berhubungan dengan Meningkatnya motilitas usus.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam dharapkan Diare
terhenti.
Kriteria hasil:
 Frekuensi defekasi kembali normal
 Peristaltik normal
 Nyeri dan kram abdomen tidak ada

Intervensi:
1) Observasi dan catat frekuensi defekasi konsistensi karakteristik, jumlah dan faktor
pencetus
Rasional: Membantu membedakan penyakit individu dan mengkaji berat dan episode.
2) Mulai lagi memasukkan cairan peroral secara bertahap
Rasional: Memberikan istirahat colon dan menghilangkan atau menurunkan rangsang
makanan / cairan, maka kembali secara bertahap mencegah kram dan diare
berulang.
3) Identifikasi makanan dan cairan yang mencetuskan diare misalnya: bumbu-bumbu,
produk susu.
Rasional: Menghindari iritan, meningkatnya istirahat usus.
4) Observasi demam, takikardi, letargi, leukositosis, penurunan protan serum.
Rasional: Tanda bahwa toksik megakolon oleh perforasi dan peritonitis akan
terjadi/telah terjadi memerlukan intervensi medik segera.
5) Berikan kesempatan untuk menyatakan frustasi sampai dengan proses penyakit.
Rasional: Adanya penyakit dengan penyebab tidak diketahui sulit untuk sembuh dan
yang memerlukan intervensi bedah dapat menimbulkan stress.
6) Tingkatkan tirah baring, berikan alat-alat di samping tempat tidur.

35
Rasional: Istirahat menurunkan motilitas usus juga memerlukan laju metabolisme bila
infeksi dan perdarahan sebagai komplikasi. Defekasi tiba-tiba dapat terjadi
tanpa terasa dan gejala peningkatan resiko inkotinensia/jatuh bila alat-alat
dalam jangkauan tangan.
7) Kolaborasi untuk pemberian obat seperti:
a. Antikolinergik, atropine, belladonna
Rasional: Menurunkan motilitas GI yang menurunkan sekresi digestik.
b. Sulfasalazin (azulfidine)
Rasional: Pengobatan eksasorbasi ringan dan sedang.
c. Psillium (Metamucil)
Rasional: Mengabsorbsi air meningkatkan bulk feses
d. Steroid misalnya: ACTH prodrisolom
Rasional: Untuk menurunkan proses inflamasi
e. Antibiotik
Rasional: Mengobati infeksi supuratik lokal.

36
D. Implementasi
1. Mengawasi masukan dan keluaran, karakter dan jumlah feses; perkirakan kehilangan
yang tak terlihat, misalnya berkeringat, ukur berat jenis urine, observasi oliguria.
2. Mengobservasi TTV (TD, nadi, suhu, pernafasan).
3. Mengobservasi kulit kering berlebihan dan membran mukosa, penurunan turgor kulit,
pengisian kapiler lambat.
4. Berkolaborasi dalam pemberian cairan parenteral, transfusi darah bila perlu.
5. Memantau hasil laboratorium: elektrolit (kalium, magnesium), GDA.
6. Memberikan dorongan masukan cairan yang mengandung kalori daripada masukan
cairan seperti soda. Hindari makanan yang menyebabkan kram abdomen.
7. Mengkaji penerimaan klien dan respons terhadap masukan cairan per oral.
8. Memberi makanan formula dalam bentuk yang diencerkan dan tingkatkan sampai
bentuk terkental yang dapat ditoleransi
9. Memberikan berbagai rasa elemen makanan dan pertahankan agar tetap dingin.
10. Membantu klien dengan beralih pada makanan lunak, saring dan makanan padat rendah
sisa dan berikan dorongan untuk resing makan tinggi kalori.
11. Mengajarkan klien untuk menghindari buah mentah, rempah, alkohol, makanan
gorengan.
12. Memberikan kebersihan oral
13. Memantau berat bada.
14. Bekolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat: Donnatal, natrium barbital, imeron
injeksi.
15. Mengobservasi dan catat frekuensi defekasi konsistensi karakteristik, jumlah dan faktor
pencetus
16. Mengidentifikasi makanan dan cairan yang mencetuskan diare misalnya: bumbu-
bumbu, produk susu.
17. Mengobservasi demam, takikardi, letargi, leukositosis, penurunan protan serum.
18. Memberikan kesempatan untuk menyatakan frustasi sampai dengan proses penyakit.
19. Membantu meningkatkan tirah baring, berikan alat-alat di samping tempat tidur.

37
20. Berkolaborasi untuk pemberian obat seperti: Antikolinergik, atropine, belladonna,
Sulfasalazin (azulfidine), Psillium (Metamucil), Steroid misalnya: ACTH prodrisolom,
Antibiotik
E. Evaluasi
1. Diagnosa I: Volume cairan kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan Output yang
berlebih.
S=-
O = -Membran mukosa lembab
-Turgor kulit baik
-Pengisian kapiler baik
-Input cairan pasien sama dengan output
-S: 37 ºC
-N: 80 x/menit
-TD: 120/80 mmHg
-RR: 20 x/menit
A = Masalah teratasi
P = Intervensi dihentikan
2. Diagnosa II: Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan Gangguan absorbsi
usus.
S = Klien mengatakan nafsu makan meningkat
O = -BB meningkat secara bertahap
-Tidak ada tanda malnutrisi seperti kulit kering
A = Masalah teratasi
P = Intervensi dihentikan
3. Diagnosa III: Gangguan eliminasi BAB berhubungan dengan Meningkatnya motilitas usus.
S = Pasien mengatakan tidak ada nyeri dan kram abdomen
O = -Frekuensi defekasi kembali normal
-Peristaltik normal
A = Masalah teratasi
P = Intervensi dihentikan

38
BAB V
KESIMPULAN

Menurut Kelompok 5, Kolitis ulseratif merupakan peradangan pada usus besar (kolon).
Peradangan tersebut dimulai dari kolon rektosigmoid dan meluas kearah atas sampai ke seluruh
bagian kolon. Peradangan tersebut menimbulkan lesi. Lesi pada colitis ulseratif merupakan
ulserasi mukosa yang mudah berdarah.

Usus besar merupakan tabung muskular berongga dengan panjang sekitar 5 kaki yang
terbentang dari sekum sampai canalis ani. Usus besar dibagi menjadi sekum, colon (ascenden,
tranversum, descenden, sigmoid) dan rektum. Pada sekum terdapat katup illeosekal dan
appendik yang melekat pada ujung sekum. Sekum menempati 2/3 atau 3 inchi pertama dari
usus besar.

Etiologi kolitis ulseratif, tidak diketahui. Faktor genetik, perokok pasif, diet, dan
infeksi. Terdapat hubungan familial yang jelas antara kolitis ulseratif, penyakit crohn, dan
spondilitis ankilosa. Gejala dan keluhan yang paling sering dilaporkan adalah sakit perut dan
diare, tinja dan lendir berdarah. Buang air besar dapat menghilangkan rasa sakit di bagian kiri
perut.

Patofisiologi, Kolitis ulseratif adalah penyakit ulseratif dan inflamasi berulang dari lapisan
mukosa kolon dan rektum. Kolitis ulseratif adalah penyakit serius, disertai dengan komplikasi
sistemik dan angka moralitas yang tinggi. Akhirnya 10% sampai 15% pasien mengalami
karsinoma kolon. Penatalaksanaan medik kolitis ulseratif diantaranya terapi lama dan terapi
baru. Berupa pemberian asam 5- aminosalisilat, kortikosteroid, dan pembedahan.

Tidak ada pemeriksaan atau test khas. Pemeriksaan pencitraan kolon pemeriksaan
radiologi kolonoskopi dan biopsy. Komplikasi koitis ulseratif dapat bersifat lokal ataupun
sistemik. Fistula, fisura dan abses rektal tidak sering seperti pada colitis granulomatosa.
Asuhan keperawatan yang dilakukan pada pasien kolitis ulseratif dengan mengkaji
riwayat kesehatan klien, memberikan terapi medik sesuai anjuran dokter, dan memberikan
pendidikan kesehatan berupa pencegahan.

39
DAFTAR PUSTAKA

Rachman, Sani. 2009. Deskripsi Singkat Kolitis Ulseratif. Diambil dari :

http://sanirachman.blogspot.com/2009/11/kolitis-ulseratif-deskripsi-singkat.html. Diakses

pada : 3 September 2018

Marianti. 2015. Kolitis Ulseratif. Di ambil dari : https://www.alodokter.com/kolitis-ulseratif


diakses pada 15 Agustus 2018
Susanto, Nugroho. 2013. Colitis Ulseratif. Diambil dari :

https://nugrohosusantoborneo.files.wordpress.com/2013/02/colitis-materi-kuliah.pptx
diakses pada : 15 Agustus 2018)

Suzanne & Brenda. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah vol. 2. Jakarta : EGC
Mariann, dkk. 2012. Critical thinking case in nursing. USA : Elsevier
Swearingen, Pamela. 2015. All in one nursing care planning resource. Canada : Elsevier

Herdman & Kamitsuru. 2014. NANDA International Nursing Diagnoses : Definitions &

Clasification, 2015 – 2017. Oxford : Wiley Blackwell

Nurdiah. 2016. Anatomi kolitis. Diambil dari :

http://www.pintarbiologi.com/2016/09/fungsi-kolon-dan-rektum-dan-mekanisme-
buang-air-besar.html (diunduh pada 15 Agustus 2018)

Capernito Lynda, J. (1998) . Handbook of Nursing Diagnosis, Edisi 6 (Alih Bahasa Yasmin Asih).

Jakarta : EGC

McQuaid, K. R. 2005. Alimentary Tract in Current Medical Diagnosis & Treatment, 44th.

Mc Graw-Hill companies.

Price. S, Wilson. L. M. 2012. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta : EGC

40

Anda mungkin juga menyukai