Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

APENDIKSITIS

A. Anatomi Fisiologis

Appendix adalah suatu pipa tertutup yang sempit yang melekat pada secum (bagian
awal dari colon). Bentuknya seperti cacing putih. Secara anatomi appendix sering disebut
juga dengan appendix vermiformis atau umbai cacing. Appendix terletak di bagian kanan
bawah dari abdomen. Tepatnya di ileosecum dan merupakan pertemuan ketiga taenia coli.
Muara appendix berada di sebelah postero-medial secum.
Penentuan letak pangkal dan ujung appendix yang normal adalah sebagai berikut :
 Menurut garis Monroe Pichter
Garis yang menghubungkan SIAS dan umbilicus. Pangkal appendix terletak pada
1/3 lateral dari garis ini (titik Mc Burney).
 Menurut garis Lanz
Diukur dari SIAS dextra sampai SIAS sinistra. Ujung appendix adalah pada titik 1/6
lateral dextra.
Seperti halnya pada bagian usus yang lain, appendix juga mempunyai mesenterium.
Mesenterium ini berupa selapis membran yang melekatkan appendix pada struktur lain
pada abdomen. Kedudukan ini memungkinkan appendix dapat bergerak. Selanjutnya
ukuran appendix dapat lebih panjang daripada normal. Gabungan dari luasnya
mesenterium dengan appendix yang panjang menyebabkan appendix bergerak masuk ke
pelvis (antara organ-organ pelvis pada wanita). Hal ini juga dapat menyebabkan appendix
bergerak ke belakang colon yang disebut appendix retrocolic. Appendix dipersarafi oleh
saraf parasimpatis dan simpatis. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n. vagus
yang mengikuti a. mesenterica superior dan a. appendicularis. Sedangkan persarafan
simpatis berasal dari n. thoracalis X. Karena itu nyeri viseral pada appendicitis bermula
disekitar umbilicus.Vaskularisasinya berasal dari a.appendicularis cabang dari a.ileocolica,
cabang dari a. mesenterica superior.
Fungsi appendix pada manusia belum diketahui secara pasti. Diduga berhubungan
dengan sistem kekebalan tubuh. Lapisan dalam appendix menghasilkan lendir. Lendir ini
secara normal dialirkan ke appendix dan secum. Hambatan aliran lendir di muara appendix
berperan pada patogenesis appendicitis.
Appendiks menghasilkan lendir 1 – 2 ml perhari yang bersifat basa mengandung
amilase, erepsin dan musin. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam bumen dan
selanjutnya mengalir ke caecum. Hambatan aliran lendir di muara appendiks berperan
pada patofisiologi appendiks.
Imunoglobulin sekretor yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue)
yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk appendiks, ialah Ig A. Imunglobulin itu
sangat efektif sebagai perlindungan terhadap infeksi tapi pengangkatan appendiks tidak
mempengaruhi sistem Imunoglobulin tubuh sebab jaringan limfe kecil sekali jika
dibandingkan dengan jumlah disaluran cerna dan seluruh tubuh.
Pergerakan Usus Halus
1. Kontraksi pencampuran (kontraksi segmentasi)
Bila bagian tertentu usus halus teregang oleh kimus, peregangan dinding usus
menyebabkan kontraksi konsentris local dengan jarak interval tertentu sepanjang usus
dan berlangsung sesaat dalam semenit. Kontraksi ini membagi usus menjadi segmen-
segmen ruang yang mempunyai bentuk rantai sosis. Bila satu rangkaian kontraksi
segmentasi berelaksasi maka timbul rangkaian baru, kontraksi terutama pada titik baru
di antara kontraksi sebelumnya. Frekuensi kontraksi maksimum pada duodenum dan
jejunum 12 kontraksi per menit dan pada ileum 8 sampai 9 kontraksi per menit.
Kontraksi segmentasi menjadi sangat lemah bila aktivitas perangsangan system saraf
enteric dihambat oleh atropine.
2. Gerakan propulsive
Kimus didorong melalui usus halus oleh gerakan peristaltic. Ini dapat terjadi pada bagian
usus manapun, dan bergerak menuju anus dengan kecepatan 0,5 sampai 2,0 cm/detik,
lebih cepat di bagian usus proksimal daripada distal. Pengaturan peristaltic dilakukan
oleh sinyal saraf dan hormone. Aktivitas usus meningkat setelah makan karena timbul
reflex gastroenterik. Factor hormone meliputi gastrin, CCK, insulin, motilin dan serotonin,
semuanya meningkatkan motilitas usus dan disekresikan selama berbagai fase
pencernaan makanan. Sebaliknya, sekretin dan glucagon menghambat motilitas usus.
Gerak peristaltic secara normal bersifat halus dan lemah. Gerak yang sangat kuat terjadi
pada diare infeksi yang berat akibat iritasi kuat mukosa usus.
3. Pergerakan Kolon
Pergerakan normal dari kolon sangat lambat, pergerakannya masih mempunyai
karakteristik yang serupa dengan pergerakan usus halus.
4. Gerakan mencampur (haustrasi)
Pada setiap konstriksi kira kira 2,5 cm otot sirkuler akan berkontraksi, kadang
menyempitkan kolon sampai hamper tersumbat. Pada saat yang sama, otot longitudinal
kolon yang terkumpul menjadi taenia cli akan berkontraksi. Kontraksi gabungan ini
menyebabkan bagian usus besar yang tidak terangsang menonjol keluar memberikan
bentuk serupa kantung (haustrasi).
5. Gerakan mendorong (pergerakan massa)
Pergerakan massa adalah jenis peristaltik yang dimodifikasi yang ditandai oleh
rangkaian peristiwa sebagai berikut : pertama, timbul sebuah cicicn konstriksi sebagai
respon dari tempat yang teregang atau teriritasi di kolon, biasanya pada kolon
transversum. Kemudian dengan cepat kolon sepanjang 20 cm atau lebih pada bagian
distal cincin konstriksi tadi akan kehilangan haustrasinya an justru berkontraksi sebagai
satu unit, mendorong maju materi feses pada segmen ini sekaligus untuk lebih menuruni
kolon.

B. Pengertian

Apendisitis adalah kondisi dimana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus ringan
dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan
penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi,
dikarenakan oleh peritonitis dan shock ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur
(Elizabeth, 2009).
Apendiksitis adalah radang apendiks, suatu tambahan seperti kantung yang tak
berfungsi terletak pada bagian inferior dari sekum. Penyebab yang paling umum dari
apendisitis adalah abstruksi lumen oleh feses yang akhirnya merusak suplai aliran
darah dan mengikis mukosa menyebabkan inflamasi (Elizabeth, 2009).
Apenditis adalah ujung seperti jari yang kecil pangjangnya kira-kira 10 cm (4 inci),
melekat pada sekum tepat dibawah katup ileosekal. Apendiks berisi makanan dan
mengosongkan diri secara teratur ke dalam sekum. Karena pengosongannya tidak efektif,
dan lumennya kecil, apendiks cenderung menjadi tersumbat dan terutama rentan terhadap
infeksi (apendisitas).
C. Etiologi
Apendisitis akut dapat disebabkan oleh beberapa sebab terjadinya proses radang
bakteria yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus diantaranya hiperplasia jaringan
limfe, fekalith, tumor apendiks, dan cacing askaris yang menyumbat. Ulserasi mukosa
merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini. Namun ada beberapa faktor yang
mempermudah terjadinya radang apendiks, diantaranya:
a. Faktor sumbatan
Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%) yang diikuti
oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hiperplasia jaringan limfoid
submukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing dan sebab lainnya 1%
diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing. Obsrtruksi yang disebabkan oleh
fekalith dapat ditemui pada bermacam-macam apendisitis akut diantaranya: fekalith
ditemukan 40% pada kasus apendisitis kasus sederhana, 65% pada kasus
apendisitis akut ganggrenosa tanpa ruptur dan 90% pada kasus apendisitis akut
dengan ruptur.
b. Faktor Bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor patogenesis primer pada apendisitis akut.
Adanya fekolith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk dan
memperberat infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen
apendiks, pada kultur didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara
Bacteriodes fragililis dan E.coli, lalu Splanchicus, lacto-bacilus, Pseudomonas,
Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah
kuman anaerob sebesar 96% dan aerob.
c. Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan tedapatnya malformasi yang herediter dari organ,
apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang
mudah terjadi apendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan makanan
dalam keluarga terutama dengan diet rendah serat dapat memudahkan terjadinya
fekalith dan mengakibatkan obstruksi lumen.

d. Faktor ras dan diet


Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari. Bangsa
kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai risiko lebih tinggi dari
Negara yang pola makannya banyak serat. Namun saat sekarang, kejadiannya
terbalik. Bangsa kulit putih telah merubah pola makan mereka ke pola makan tinggi
serat. Justru Negara berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat kini beralih ke
pola makan rendah serat, memiliki risiko apendisitis yang lebih tinggi.
e. Faktor infeksi saluran pernapasan
Setelah mendapat penyakit saluran pernapasan akut terutama epidemi influenza dan
pneumonitis, jumlah kasus apendisitis ini meningkat. Namun, hati-hati karena penyakit
infeksi saluran pernapasan dapat menimbulkan seperti gejala permulaan apendisitis.
D. Klasifikasi
Apendisitis terbagi menjadi 2, yaitu:
1. Apendisitis akut, dibagi atas:
a. Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh akan timbul
striktur lokal.
b. Appendisitis purulenta difusi, yaitu sudah bertumpuk nanah.
2. Apendisitis kronis, dibagi atas:
a. Apendisitis kronis fokalis atau parsial, yaitu setelah sembuh akan timbul striktur
lokal.
b. Apendisitis kronis obliteritiva, yaitu appendiks miring, biasanya ditemukan pada
usia tua
E. Patofisiologis
Penyebab dari apendisitis adalah adanya obstruksi pada lumen appendiikel oleh
apendikolit, hiperlasia folikel limfoid submukosa, fekalit ( material garam kalsium, debris
fekal) atau parasit ( Katz, 2009).Studi epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan
makanan rendah serta dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis.
Konstipasi akan menaikkan tekanan inrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan
fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa (
Sjamsuhidayat, 2005).
Kondisi obstruksi akan meningkatkan tekanan intraluminal dan peningkatan
perkambangan bakteri. Hal lain akan terjadi peningkatan kongesti dan penurunan perfusi
pada dinding apendiks yang berlanjut pada nekrosis dan inflamasi apendiks ( Atassi, 2002).
Pada fase ini, pasien akan mengalami nyeri pada area periumbilikin. Dengan berlanjutnya
proses inflamasi, maka pembentukan eksudat akan terjadi pada permukaan serosa
apendiks. Ketika eksudat ini berhubungan dengan pariental peritoneum, maka intensitas
nyeri yang khas akan terjadi ( Santacroce, 2009).
Dengan berlanjutnya proses obstruksi, bakteri akan berproliferasi dan meningkatkan
tekanan intrluminal dan membentuk infiltrate pada mukosa dinding apendiks yang disebut
dengan apendisitis mukosa, dengan manifestasi ketidaknyamanan abdomen. Adanya
penurunan perfusi pada dinding akan menimbulkan iskemia dan nekrosis disertai
peningkatan tekanan intraluminal yang disebut apendisitis nekrosis, juga akan
meningkatkan resiko perfosi dari apendiks. Proses fagositosis terhadap respons
perlawanan pada bakteri memberikan manifestasi pembentukan nanah atau abses yang
terakumulasi pada lumen apendiks yang disebut dengan apendisitis supuratif.
Sebenarnya tubuh juga melakukan usaha pertahanan untuk membatasi proses
peradangan ini dengan cara apendiks dengan omentum dan usus halus sehingga terbentuk
massa periapendikular yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrate apendiks. Pada
bagian dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami
perforasi. Namun, jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa
periapendikural akan menjadi tenang dan selanjutnya akan menjadi tenang dan selanjutnya
akan mengurai diri secara lambat.
Berlanjutnya kondisi apendisitis akan meningkatkan resiko terjadinya perforasi dan
pembentukan massa periapendikular. Perforasi dengan cairan inflamsi dan bakteri masuk
ke rongga abdomen lalu memberikan respons inflamasi permukaan peritoneum atau terjadi
peritonitis.Apabila perforasi apendiks disertai dengan material abses, maka memberikan
manifestasi nyeri local akibat akumulasi abses dan kemudian juga akan memberikan
respons peritonitis. Manifestasi yang khas dari perforasi apendiks adalah nyeri hebat yang
tiba- tiba dating pada abdomen kanan bawah ( Tzanakis, 2005).
Material Hiperlasia folikel Parasit Kebiasaan diet rendah serta
apendikolen limfoid submukosa dan pengaruh kostipasi

Obstruksi pd lumen Fekalit ( material garam kalsium,


apendekeal debris fekal)

Iskemia dan nekrosis Apendisitis


dinding disertai nekrosis , Peningkatan tekanan intraluminal dan
peningkatan tekanan Apendisitis peningkatan perkembangan bakteri
intraluminal supuratif
Peningkatan kongesti intraluminal dan
Perfosi massa penurunan perfusi pd dinding apendik
Apendisitis
periapendikular
peritonitis kronis/ rekuren
Apendisitis akut

Gangguan Respon
Intervensi bedah Respans lokal saraf
gastrointestinal sistemik
apendektomi
terhadap inflamasi

Peningkatan
Mual, muntah,
Preoperatif Pascaoperatif suhu tubuh
Nyeri kembung,diare
, anoreksia
Respon psikologis Asupan
Port de entrée Kerusakan nutrisi tdk Hipertemi
misiinterprestasi
pascabedah jaringan adekulat
perawatan dan
pascabedah
penatalaksanaan
Resiko infeksi Perubahan
pengobatan Ketidakseimbangan
pola nutrisi
nutrisi kurang dari
pascabedah
kebutuhan
Kecemasan
pemenuhan
informasi
F. Manifestasi klinis
Apendisitis memiliki gejala kombinasi yang khas, yang terdiri dari
1. Mual, muntah dan nyeri yang hebat di perut kanan bagian bawah.
2. Nyeri bisa secara mendadak dimulai di perut sebelah atas atau di sekitar pusar, lalu
timbul mual dan muntah.
3. Setelah beberapa jam, rasa mual hilang dan nyeri berpindah ke perut kanan bagian
bawah.
4. Jika dokter menekan daerah ini, penderita merasakan nyeri tumpul dan jika
penekanan ini dilepaskan, nyeri bisa bertambah tajam.
5. Demam bisa mencapai 37,8-38,8° Celsius.
6. Pada bayi dan anak-anak, nyerinya bersifat menyeluruh, di semua bagian perut.
Pada orang tua dan wanita hamil, nyerinya tidak terlalu berat dan di daerah ini nyeri
tumpulnya tidak terlalu terasa.
7. Bila usus buntu pecah, nyeri dan demam bisa menjadi berat.
8. Infeksi yang bertambah buruk bisa menyebabkan syok.
9. Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan, penderita nampak sakit,
menghindarkan pergerakan, di perut terasa nyeri
Penyebaran rasa nyeri akan bergantung pada arah posisi/letak usus buntu itu sendiri
terhadap usus besar, Apabila ujung usus buntu menyentuh saluran kencing ureter,
nyerinya akan sama dengan sensasi nyeri kolik saluran kemih, dan mungkin ada gangguan
berkemih. Bila posisi usus buntunya ke belakang, rasa nyeri muncul pada pemeriksaan
tusuk dubur atau tusuk vagina. Pada posisi usus buntu yang lain, rasa nyeri mungkin tidak
spesifik (Anatomi, 2008).
G. Pemeriksaan penunjang
 Laboratium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktif (CRT). Pada
pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000/ ml (leukositosis)
dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang
meningkat. Pemeriksaan urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan
diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala
klinis yang hampir sama dengan apendisitis.
 Radiologi
Terdiri dari pemeriksaan ultrasonogafi dan CT-scan. Pada pemeriksaan ultrasonografi
ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks.
Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan. Bagian yang menyilang dengan
apendikalit serta perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya
pelebaran sekum.
 Abdominal X-Ray
Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab appendicitis. Pemeriksaan
ini dilakukan terutama pada anak- anak.

H. Penatalaksanaan
Pada apendisitis akut, pengobatan yang paling baik adalah operasi appendiks. Dalam
waktu 48 jam harus dilakukan. Penderita di observasi, istirahat dalam posisi fowler,
diberikan antibiotic dan diberikan makanan yang tidak merangsang peristaltik, jika terjadi
perforasi diberikan drain di perut kanan bawah
a) Tindakan pre operatif, meliputi penderita dirawat, diberikan antibiotik dan kompres
untuk menurunkan suhu penderita, pasien diminta untuk tirah baring dan
dipuasakan
b) Tindakan operatif : appendiktomi
c) Tindakan post operatif, satu hari pasca bedah klien dianjurkan untuk duduk tegak
ditempat tidur selama 2x30 menit,hari berikutnya makanan lunak dan berdiri tegak
diluar kamar, hari ketujuh luka jahitan diangkat, klien pulang.
I. Komplikasi Apendisitis
Keterlambatan untuk mencari pengobatan menyebabkan meningkatnya angka komplikasi.
Adapun komplikasi apendisitis yaitu:
a) Perforasi
Perforasi disertai nyeri abdomen yang hebat, dan demam yang lebih tinggi. Dikatakan
leukosit > 18.000/mm3 mengindikasikan telah terjadi perforasi.
b) Peritonitis
Merupakan komplikasi paling sering (30- 45 %penderita ). Peritonitis lokal
disebabkan karena mikroperforasi dari apendiks gangrenosa dan diblokade oleh
omentum. Bila perforasi berlanjut terjadilah peritonitis generalisata.
c) Abses apendiks
Terjadi karena infeksi periapendiceal diliputi oleh omentum dan viscera yang
berdekatan. Gejala klinis sama dengan apendisitis akut dan ditemukan masa pada
kuadran kanan bawah. Sekitar 10 % anak-anak dengan apendisitis .
d) Pylephlebitis
Merupakan thrombophlebitis akut sistem vena porta. Gejala berupa demam tinggi,
menggigil, ikterus ringan dan abses hepar .
ASUHAN KEPERAWATAN TEORI
APENDISITIS
A. Pengkajian
1. Anamnesa
a. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal
MRS, diagnosa medis.
b. Keluhan utama
Biasanya nyeri di sekitar epigastrium menjalar ke perut kanan bawah. Timbul
keluhan Nyeri perut kanan bawah mungkin beberapa jam kemudian setelah nyeri di
pusat atau di epigastrium dirasakan dalam beberapa waktu lalu. Sifat keluhan Nyeri
dirasakan terus-menerus, dapat hilang atau timbul nyeri dalam waktu yang lama.
Keluhan yang menyertai Biasanya klien mengeluh rasa mual dan muntah, panas.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Biasanya nyeri di sekitar epigastrium menjalar ke perut kanan bawah. Timbul
keluhan Nyeri perut kanan bawah mungkin beberapa jam kemudian setelah nyeri di
pusat atau di epigastrium dirasakan dalam beberapa waktu lalu. Sifat keluhan Nyeri
dirasakan terus-menerus, dapat hilang atau timbul nyeri dalam waktu yang lama.
Keluhan yang menyertai Biasanya klien mengeluh rasa mual dan muntah, panas.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Biasanya berhubungan dengan masalah kesehatan klien sekarang Pemeriksaan
fisik Keadaan umum Klien tampak sakit ringan/sedang/berat. Berat badan Sebagai
indicator untuk menentukan pemberian obat.
e. Riwayat Penyakit Keluarga

PEMERIKSAAN FISIK
a. Menurut Arif Muttaquin,2010 pada Pemeriksaan Fisik focus akan didapatkan
Inspeksi
Pasien terlihat kesakitan dan lemah. Ada distensi abdomen,pasien akan sering
menghindari semua gerakan dan menjaga pinggul tertekuk untuk mengurangi
ketegangan dinding perut. Perut sering menggembung disertai tidak adanya bising
usus.temuan ini mencerminkan ileus umum.Terkadang,pemeriksaan perut juga
mengungkapkan peradangan massa
Auskultasi
Penurunan atau hilangnya bising usus merupakan salah satu tanda ileus obstruktif.
Palpasi
Nyeri tekan abdomen(tenderness),peningkatan suhu tubuh.
Perkusi
Nyeri ketuk dan bunyi timpani terjadi akibat adanya flatulen.
b. Sistem Respirasi
Pola nafas irregular (RR> 20x/menit), dispnea, retraksi otot bantu pernafasan serta
menggunakan otot bantu pernafasan.adanya peningkatan tekanan intraabdomen
membuat usaha pernafasan menjadi sulit.
c. Sistem kardiovaskuler
Pasien mengalami takikardi karena mediator inflamasi dan hipovelemia vaskular
karena anoreksia dan vomit. Didapatkan irama jantung irregular akibat pasien syok
(neurogenik, hipovolemik atau septik), akral : dingin, banyak berkeringat dan pucat.
d. Sistem Persarafan
Pasien dengan apendisitis tidak mengalami gangguan pada otak namun hanya
mengalami penurunan kesadaran.
e. Sistem Perkemihan
Terjadi penurunan produksi urine.pasien biasanya mengalami penuruna kemampuan
untuk berkemih.
f. Sistem Pencernaan
Pasien akan mengalami anoreksia dan nausea. Vomitus atau muntah dapat muncul
akibat proses patologis organ visceral (seperti obstruksi) atau secara sekunder
akibat iritasi peritoneal. Selain itu terjadi distensi abdomen, bising usus menurun,
dan gerakan peristaltic usus turun (<12x/menit).
g. Sistem Muskuloskeletal dan Integumen
Penderita akan mengalami letih, sulit berjalan, nyeri perut dengan aktivitas.
Kemampuan pergerakan sendi terbatas, kekuatan otot mengalami kelelahan, dan
turgor kulit menurun akibat kekurangan volume cairan.
h. Pengkajian Psikososial
terdiri dari interaksi sosial menurun terkait dengan keikutsertaan pada aktivitas sosial
yang sering dilakukan.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Pre Operasi
1. Nyeri berhubungan dengan distensi abdomen akibat adanya proses peradangan
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
nutrisi tidak adekuat akibat mual,muntah,kembung,anoreksia
3. Deficit volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan penurunan suplai cairan
elektrolit akibat retensi cairan dan elektrolit disertai muntah
4. Hipertermi berhubungan dengan Respon sistemik dari proses peradangan akibat
proses patologis
5. Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan distensi abdomen akibat adanya proses
patologis penyakit
Post Operasi
1. Nyeri berhubungan dengan resppon saraf terhadap inflamasi pasca dilakukan prosedur
operatif
2. Resiko infeksi berhubungan dengan proses penyembuhan luka yang lama
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
tidak adekuat akibat penurunan fungsi kerja saluran intestinal pasca operasi
4. Imobilisasi fisik berhubungan dengan keterbatasan aktivitas akibat nyeri pasca
dilakukan prosedur operatif

C. INTERVENSI NANDA NIC-NOC

DIAGNOSA NOC NIC


Nyeri  Pain Level, Pain Management
 Pain control 1. Lakukan pengkajian nyeri
 Comfort level secara komprehensif termasuk
Kriteria Hasil : lokasi, karakteristik, durasi
 Mampu mengontrol nyeri frekuensi, kualitas dan faktor
(tahu penyebab nyeri, presipitasi
mampu menggunakan 2. Observasi reaksi nonverbal
tehnik nonfarmakologi dan ketidaknyamanan
untuk mengurangi nyeri, 3. Gunakan teknik komunikasi
mencari bantuan) terapeutik untuk mengetahui
 Melaporkan bahwa nyeri pengalaman nyeri pasien
berkurang dengan 4. Kaji kultur yang mempengaruhi
menggunakan manajemen respon nyeri
nyeri 5. Evaluasi pengalaman nyeri
 Mampu mengenali nyeri masa lampau
(skala, intensitas, 6. Evaluasi bersama pasien dan
frekuensi dan tanda nyeri) tim kesehatan lain tentang
 Menyatakan rasa nyaman ketidakefektifan kontrol nyeri
setelah nyeri berkurang masa Iampau
7. Bantu pasierl dan keluarga
untuk mencari dan
menemukan dukungan
8. Kontrol lingkungan yang dapat
mempengaruhi nyeri seperti
suhu ruangan, pencahayaan
dan kebisingan
9. Kurangi faktor presipitasi nyeri
10. Pilih dan lakukan penanganan
nyeri (farmakologi, non
farmakologi dan inter personal)
11. Kaji tipe dan sumber nyeri
untuk menentukan intervensi
12. Ajarkan tentang teknik non
farmakologi
13. Berikan anaIgetik untuk
mengurangi nyeri
14. Evaluasi keefektifan kontrol
nyeri
15. Tingkatkan istirahat
16. Kolaborasikan dengan dokter
jika ada keluhan dan tindakan
nyeri tidak berhasil
17. Monitor penerimaan pasien
tentang manajemen nyeri
Analgesic Administration
1. Tentukan lokasi, karakteristik,
kualitas, dan derajat nyeri
sebelum pemberian obat
2. Cek instruksi dokter tentang
jenis obat, dosis, dan frekuensi
3. Cek riwayat alergi
4. Pilih analgesik yang diperlukan
atau kombinasi dari analgesik
ketika pemberian lebih dari
satu
5. Tentukan pilihan analgesik
tergantung tipe dan beratnya
nyeri
6. Tentukan analgesik pilihan,
rute pemberian, dan dosis
optimal
7. Pilih rute pemberian secara IV,
IM untuk pengobatan nyeri
secara teratur
8. Monitor vital sign sebelum dan
sesudah pemberian analgesik
pertama kali
9. Berikan analgesik tepat waktu
terutama saat nyeri hebat
10. Evaluasi efektivitas analgesik,
tanda dan gejala

Resiko infeksi  Immune Status Infection Control (Kontrol


 Knowledge : Infection infeksi)
control 1. Bersihkan lingkungan setelah
 Risk control dipakai pasien lain
2. Pertahankan teknik isolasi
Kriteria Hasil: 3. Batasi pengunjung bila perlu
 Klien bebas dari tanda 4. Instruksikan pada pengunjung
dan gejala infeksi untuk mencuci tangan saat
 Mendeskripsikan proses berkunjung dan setelah
penularan penyakit, berkunjung meninggalkan
faktor yang pasien
mempengaruhi 5. Gunakan sabun antimikrobia
penularan serta untuk cuci tangan
penatalaksanaannya 6. Cuci tangan setiap sebelum dan
 Menunjukkan sesudah tindakan keperawatan
kemampuan untuk 7. Gunakan baju, sarung tangan
mencegah timbulnya sebagai alat pelindung
infeksi 8. Pertahankan lingkungan aseptik
 Jumlah leukosit dalam selama pemasangan alat
batas normal 9. Ganti letak IV perifer dan line
 Menunjukkan perilaku central dan dressing sesuai
hidup sehat dengan petunjuk umum
10. Gunakan kateter intermiten
untuk menurunkan infeksi
kandung kencing
11. Tingktkan intake nutrisi
12. Berikan terapi antibiotik bila
perlu
13. Infection Protection (proteksi
terhadap infeksi)
14. Monitor tanda dan gejala
infeksi sistemik dan lokal
15. Monitor hitung granulosit,
WBC
16. Monitor kerentangan terhadap
infeksi
17. Batasi pengunjung
18. Sering pengunjung
19. terhadap penyakit menular
20. Pertahankan teknik aspesis
pada pasien yang beresiko
21. Pertahankan teknik isolasi k/p
22. Berikan perawatan kulit pada
area epidema
23. Inspeksi kulit dan membran
mukosa terhadap kemerahan,
panas, drainase
24. Inspeksi kondisi luka / insisi
bedah
25. Dorong masukkan nutrisi yang
cukup
26. Dorong masukan cairan
27. Dorong istirahat
28. Instruksikan pasien untuk
minum antibiotik sesuai resep
29. Ajarkan pasien dan keluarga
tanda dan gejala infeksi
30. Ajarkan cara menghindari
infeksi
31. Laporkan kecurigaan infeksi
32. Laporkan kultur positif
Ketidakseimbangan  Nutritional Status Nutrition Management
nutrisi kurang dari  Nutritional Status : food 1. Kaji adanya alergi makanan
kebutuhan tubuh and Fluid Intake 2. Kolaborasi dengan ahli gizi
 Nutritional Status: untuk menentukan jumlah
nutrient Intake kalori dan nutrisi yang
 Weight control dibutuhkan pasien.
3. Anjurkan pasien untuk
Kriteria Hasil : meningkatkan intake F
 Adanya peningkatan 4. Anjurkan pasien untuk
berat badan sesuai meningkatkan protein dan
dengan tujuan vitamin C
 Berat badan ideal sesuai 5. Berikan substansi gula
dengan tinggi badan 6. Yakinkan diet yang dimakan
 Mampu mengidentifikasi mengandung tinggi serat
kebutuhan nutrisi untuk mencegah konstipasi
 Tidak ada tanda-tanda 7. Berikan makanan yang terpilih
malnutrisi (sudah dikonsultasikan
 Menunjukkan dengan ahli gizi)
peningkatan fungsi 8. Ajarkan pasien bagaimana
pengecapan dan membuat catatan makanan
menelan harian.
 Tidak terjadi penurunan 9. Monitor jumlah nutrisi dan
berat badan yang berarti kandungan kalori
10. Berikan informasi tentang
kebutuhan nutrisi
11. Kaji kemampuan pasien
untuk mendapatkan nutrisi
yang dibutuhkan
Nutrition Monitoring
1. BB pasien dalam batas
normal
2. Monitor adanya penurunan
berat badan
3. Monitor tipe dan jumlah
aktivitas yang biasa dilakukan
4. Monitor interaksi anak atau
orangtua selama makan
5. Monitor lingkungan selama
makan
6. Jadwalkan pengobatan dan
perubahan pigmentasi
7. Monitor turgor kulit
8. Monitor kekeringan, rambut
kusam, dan mudah patah
9. Monitor mual dan muntah
10. Monitor kadar albumin, total
protein, Hb, dan kadar Ht
11. Monitor pertumbuhan dan
perkembangan
12. Monitor pucat, kemerahan,
dan kekeringan jaringan
konjungtiva
13. Monitor kalori dan intake
nutrisi
14. Catat adanya edema,
hiperemik, hipertonik papila
lidah dan cavitas oral.
15. Catat jika lidah berwarna
magenta, scarlet

Hambatan mobilitas  Joint Movement : Active Exercise therapy : ambulation


fisik  Mobility level 1. Monitoring vital sign
 Self care : ADLs sebelum/sesudah latihan dan
 Transfer performance lihat respon pasien saat
latihan
Kriteria Hasil: 2. Konsultasikan dengan terapi
 Klien meningkat dalam fisik tentang rencana
aktivitas fisik ambulasi sesuai dengan
 Mengerti tujuan dan kebutuhan
peningkatan mobilitas 3. Bantu klien untuk
 Memverbalisasikan menggunakan tongkat saat
perasaan dalam berjalan dan cegah terhadap
meningkatkan kekuatan cedera
dan kemampuan 4. Ajarkan pasien atau tenaga
berpindah kesehatan lain tentang teknik
 Memperagakan ambulasi
penggunaan alat 5. Kaji kemampuan pasien
 Bantu untuk mobilisasi dalam mobilisasi
(walker) 6. Latih pasien dalam
pemenuhan kebutuhan ADLs
secara mandiri sesuai
kemampuan
7. Dampingi dan Bantu pasien
saat mobilisasi dan bantu
penuhi kebutuhan ADLs
pasien.
8. Berikan alat bantu jika klien
memerlukan.
9. Ajarkan pasien bagaimana
merubah posisi dan berikan
bantuan jika diperlukan.

\
DAFTAR PUSTAKA

Elizabeth, J, Corwin. (2009). Buku saku Fatofisiologi, EGC, Jakarta.

Johnson, M.,et all, 2002, Nursing Outcomes Classification (NOC) Second


Edition, IOWA Intervention Project, Mosby.

Mansjoer, A. (2001). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius FKUI.

Mc Closkey, C.J., Iet all, 2002, Nursing Interventions Classification (NIC) second
Edition, IOWA Intervention Project, Mosby.

NANDA, 2012, Diagnosis Keperawatan NANDA : Definisi dan Klasifikasi.

Smeltzer, Bare (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner &
suddart. Edisi 8. Volume 2. Jakarta, EGC

Anda mungkin juga menyukai