Anda di halaman 1dari 16

LAPOEAN PENDAHULUAN

PERITONITIS

A. Pengertian

Peritonitis adalah peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi pada selaput
rongga perut (peritoneum)lapisan membran serosa rongga abdomen dan dinding perut
sebelah dalam. Peradangan ini merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi
akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya, apendisitis, salpingitis),
rupture saluran cerna atau dari luka tembus abdomen.

Infeksi peritonitis terbagi atas penyebab perimer (peritonitis spontan), sekunder


(berkaitan dengan proses patologis pada organ visceral), atau penyebab tersier (infeksi
rekuren atau persisten sesudah terapi awal yang adekuat). Infeksi pada abdomen
dikelompokkan menjadi pertitonitis infeksi (umum) dan abses abdomen (local infeksi
peritonitis relative sulit ditegakkan dan sangat bergantung dari penyakit yang
mendasarinya. Penyebab peritonitis ialah spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat
penyakit hati yang kronik.

B. Etiologi

Penyebab terjadinya peritonitis adalah invasi kuman bakteri ke dalam rongga


peritoneum. Kuman yang paling sering menyebabkan infeksi, meliputi:

1. Escherichia coli (40 %),

Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang pendek


yang memiliki panjang sekitar 2 μm, diameter 0,7 μm, lebar 0,4-0,7μm dan bersifat
anaerob fakultatif. E. coli membentuk koloni yang bundar, cembung, dan halus
dengan tepi yang nyata. ditemukan dalam usus manusia dan hewan dan diperlukan
untuk membantu dalam pemecahan selulosa dan penyerapan vitamin K (yang
membantu pembekuan darah). Namun, bakteri ini seringkali juga menjadi penyebab
infeksi saluran kemih, diare pada bayi, dan infeksi luka. (Smith-Keary, 1988).

2. Klebsilla pneumonia (7%),


Klebsiella adalah bakteri gram negatif yang berbentuk batang, non-motil, dan
memiliki kapsul. Kapsul yang melindungi sel bakteri Klebsiella membantu
memberikan resistensi terhadap banyak antibiotik. Bakteri ini memiliki dua jenis
antigen pada permukaan selnya. Antigen tersebut yaitu lipopolisakarida (antigen O)
dan polisakarida kapsuler (antigen K). Ada sekitar 9 antigen O dan 77 antigen K yang
terdapat pada sel bakteri Klebsiella.
3. pseudomonas species,
pseudomonas species bakteri gram-negatif berbentuk batang lurus atau
lengkung, berukuran sekitar 0,6 x 2 m. Dapat ditemukan satu-satu, berpasangan, dan
membentuk rantai pendek, tidak mempunyai spora, tidak mempunyai selubung
(sheath), serta mempunyai flagel monotrika (flagel tunggal pada kutub) sehingga
selalu bergerak.
4. proteus species,
Invasi kuman ke lapisan peritoneum dapat di sebabkan oleh berbagai kelainan pada
system gastrointestinal dan penyebaran infeksi dari organ di dalam abdomen.
(Rotstein, 1997) atau perforasi organ pascatrauma abdomen (Ivatury, 1988).

C. Patofisiologi

Peritonitis menyebabkan penurunan aktivitas fibrinolitik intra-abdomen


(peningkatan aktivitas inhibitor activator plasminogen) dan fibrin karantina dengan
pembentukan adhesi berikutnya. Produksi eksudat fibrinosa merupakan reaksi penting
pertahanan tubuh, tetapi sejumlah besar bakteri dapat di karantina dalam matriks fibrin.
Matriks fibrin tersebut memproteksi bakteri dari mekanisme pembentukan oleh tubuh
(smetzer, 1998). Efek utama (penahanan vs infeksi persisten) dari fibrin mungkin
berhubungan dengan tingkat kontaminasi bakteri peritoneal. Pada studi dengan bakteri
campuran , hewan peritonitis mengalami efek sistemik defibrigenisasi dan kontaminasi
peritoneal berat menyebabkan peritonitis berat dengan kematian dini (<48 jam) karena
sangat sepsis (Peralta, 2006).

Pembentukan abses merupakan strategi pertahanan tubuh untuk mencegah


penyebaran infeksi, namun proses ini dapat mengakibatkan infeksi persisten dan sepsis
yang mengancam jiwa. Awal pembentukan abses melibatkan pelepasan bakteri dan agen
potensi abses menuju ke lingkungan steril. Pertahanan tubuh tidak dapat mengeliminasi
agen infeksi dan mencoba mengontrol penyebaran melalui system kompartemen.proses
ini di bantu oleh kombinasi faktor-faktor yang memiliki fitur yang umum, yaitu
fagositesis. Kontaminasi transien bakteri pada perinoteal (yang di sebabkan oleh
penyakit visceral primer) merupakan kondisi umum. Resultan paparan antigen bakteri
telah ditunjukan untuk mengubah respon imun ke enokulasi peritoneal berulang. Hal ini
dapat meningkatkan insiden pembentukan abses, perubahan konten bakteri, dan
meningkatnya angka kematian. Studi terbaru menunjukan bahwa infeksi nosokomial di
organ lain (misalnya pneumonia, sepsis, infeksi luka) juga meningkatkan kemungkinan
pembentukan abses abdomen berikutnya (Bandy, 2008).

Factor-faktor virulasi bakteri akan menghambat proses fagositosis sehingga


menyebabkan peningkatan infeksi dan pembentukan abses. Factor-faktor ini adalah
pembentukan kapsul, pertumbuhan fakultatif anaerob, kemampuan adhesi, dan produksi
asam suksinat. Sinergi antara bakteri dan jamur tertentu mungkin juga memainkan peran
penting dalam merusak pertahanan tubuh. Sinergi seperti itu mungkin terdapat antara B
frangilis dan bakteri gram negatif, terutama E coli, di mana ko-inokulasi bakteri secara
signifikan meningkatkan keparahan dan virulensi dari infeksi peritoneal. Dalam model
hewan peritotinis dengan e coli dan B frangilis, manifestasi sistemik dari infeksi dan
peritoneal di dapatkan peningkatan konsentrasi bakteri dalam cairan peritoneal dan
peningkatan pembentukan bases ( Dougherty, 1984)
Abses peritoneal menggambarkan pembentukan sebuah kumpulan cairan yang
terinfeksi dienkapsulasi oleh eksudat fibrinosa, omentum dan/ atau di sebelah oragn
visceral. Mayoritas abses terjadi selanjutnya pada peritonitis. Sekitar setengah dari pasien
mengembangkan abses sederhana, sedangkan separuh pasien yang lain mengembangkan
sekunder abses kompleks fibrinosa dan organisasi dari bahan abses. Pembentukan abses
terjadi paling sering di daerah subhepatik dan panggul, tetepi mungkin juga terjadi di
daerah perisplenik, kantung yang lebih kecil, dan antara putaran usus kecil, serta
mesenterium ( Sawyer, 1999)

Selanjutnya abses yang terbentuk di antara perleketan fibrinosa, menempel


menjadi satu dengan perukaan sekitarnya. Perleketan biasanya menghilang bila infeksi
menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita- pita fibrosa. Bila bahan yang menginfeksi
tersebar luas pada permukaan peritoneum, maka aktivitas motilitas usus menurun dan
meningkatkan risiko ileus paralitik( Price, 1995) Respons peradangan peritonitis juga
menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membrane mengalami kebocoran.
Jika deficit cairan tidak di koreksi dengan cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan
kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, misalnya interleukin, dapat memulai respons
hiperinflamatorius sehingga membawa perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak
organ. Oleh karena tubuh mencoba untuk mengompensasi dengan cara retensi cairan dan
elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardia awalnya
meningkatkan curah jantung, tetap kemudian akan segera terjadi brakikardia begitu
terjadi hipovolemia( Finlay, 1999)

Organ- organ di dalam kavum peritoneum termasuk dinding abdomen


mengalami edema. Edema di sebabkan olehpermeabilitas pembuluh darah kapiler organ-
organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan di dalam rongga peritoneum dan lumen-
lumen usus, serta edema seluruh organ intraperitoneal dan edema dinding abdomen
termasuk jaringanretroperioneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah
dengan adanya kenaikan suhu, intake yang tidak ada, serta muntah. Terjebaknya cairan di
rongga peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekanan intraabdomen,
membuat usaha pernafasan penuh mnjadi sulit, dan menimbulkan penurunan perfusi.

Peritonitis tersier peritonitis yang bersifat persisten atau rekuren. Pasien


dengan peritonitis tersier biasanya hadir dengan abses, atau phegmon, dengan atau
tanpa fistula. Peritonitis tersier berkembang lebih sering pada pasien dengan kondisi
penyakit signifikan yang sudah asa sebelumnya dan pada pasien dengan penurunan
fungsi imun. Meskipun jarang di amati pada peritonitis tanpa komplikasi, inseden
peritonitis tersier pada pasien yang memerlukan masuk ICU pada peritonitis yang parah
dapat mencapai 50-70% (Sawyer, 1991).
Patway

Invasi kuman E. coli

Responns peradangan pada peritoneum dan


organ di dalamnya.

Respons sistemik
Peritonitis.

Penurunan aktivitas fibrinolitik


Peningkatan suhu
intra-abdomen.
tubuh.

Pembentukan eksudat Hipertermi


fibronosa atau abses pada
peritoneum

Intervensi bedah Respon lokal saraf


terhadap inflamasi Gangguan
laparatomi
gastrointestinal

Destensi Mual dan


preoperatif pascaoperatif abdomen muntah

Respons Part de nyeri


psikologis entree
misinterpretasi pascab
Intake nutrisi tidak
perawatan dan edah Cairan banyak
adekuat
penatalaksanaan keluar
pengobatan
Dehidrasi
Ketidak se
Kecemasan imbangan nutrisi
Resiko
pemenuhan kurang dari kbthan
Infeksi
informasi

Penurunan kemampuan
Volume cairan
batuk efektif
kurang dari
kebutuhan
Resiko ketidak efektifan
bersihan pola nafas
D. Menifestasi Klinis

 Sakit perut (biasanya terus menerus)


 Mual dan muntah
 Abdomen yang tegang, kaku, nyeri
 Demam dan leukositosis
 Dehidrasi (Price, 1995 : 402)
 Kemerahan
 Edema
 Dehidrasi (C. Long 1996 : 228)
 Pasien tidak mau bergerak
 Perut kembung
 Nyeri tekan abdomen
 Bunyi usus berkurang/menghilang (Mubin 1994 : 276)

E. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan penunjang meliputi (laroche, 1998) hal-hal sebagai berikut,
a) Sebagian besar pasien dengan infeksi intra-abdomen menunjukkan
leukositosis (>11.000 sel).
b) Kimia darah dapat mengungkapkan dehidrasi dan asidosis
c) Pemeriksaan waktu pembekuan dan perdarahan untuk mendeteksi
disfungsi pembekuan.
d) Tes fungsi hati jika di indikasikan secra klinis.
e) Urinalisis penting untuk menyingkirkan penyakit slauran kemih
( misalnya: pielonifritis, batu ginjal penyakit), namun pasien dengan
perut bagian bawah dan inveksi panggul sering menunjukan sel darah
putih dalam air seni dan mikrohematuria.
f) Kultur darah untuk mendeteksi agen inveksi septikimia cairan
peritoneal( yaitu: parasentesis, aspirasi cairan perut dan kultur cairan
peritoneal ). Pada peritolitis tuberkulosa, cairan peritonel mengandung
banyak protein ( lebih dari 3 gram / 100ml ) dan banyak limfosit ; basil
tuberkul diindetifikasi dengan kulur
2. Pemriksaan radiografi
a) Foto polos abdomen
Walaupun identifikasi sangat terbatas, kondisi ileus mungkin di
dapatkan usus halus dan usus besar berdilatasi. Udara bebas hadir dlam
kebanyakan kasus anterior perfolasi lambung dan duodenum, tetapi
jauh lebih jarang dengan perforasi dari usus kecil , dan usus besar ,
serta tidak biasa dengan appendiks perforasi. Tegak fil berguna untuk
mengindentifikasi udara bebas di bawah diafragma ( paling sering di
sebalah kanan ) seabagai indikasi adanya fiskus berlubang ( Bandy,
2008).
b) Computet tomography scan.

CT scan abdomen dan panggul tetap menjadi studi diagnostic


pilihan untuk absen peritoneal. CT scan di tunjukkan dalam semua
kasus dimana diagnosis tidak dapat di bangun atas dasar klinis dan
temuan di foto polos abdomen. Absen peritoneal dan cairan lain dapat
di ambil untuk diagnosis atau terapi di bawah bimbingan CT
(Kleinhaus, 1982).
c) Magnetic Resonance Imaging

Magnetic Resonance Imaging ( MRI ) adalah suatu modalitas


pencintraan muncul unutk diagnosis di curigai absen intra –abdomen .
absen abdomen menunjukkan penuruna intensitas sinyal pada gambar
T1 – weighted dan homogen atau peningkatan intensitas sinyal
heterogen pada gambar T2- weighted ( peralta, 2006).
Terbatasnya ketersediaan dan biaya tinggi, serta kebutuhan MRI yang
kompatibel dengan dukungan perlatan dan waktu pemeriksaan yang
lama membatasi kegunaanya sebagai alat diagnostic peritonitis,
terutama bagi pasien yang sakir kritis.

3. USG
USG abdomen dapat membantu dalam evaluasi kuadran kanan atas
( misalnya perihepatic absen , kolesistitis, biloma, pancreatitis, pancreas
pseudocyst ), kudran kanan bawah, dan patoli pelvis ( misalnya : apendisitis,
absen tuba – ovarium, absen Douglas), tetapi terkadang pemeriksaan menjadi
terbatas karena adanya nyeri, distensi perut, dan gangguan gas usus. USG
dapat mendeteksi jumlah cairan peritoneal ( asites ), tetapi kemampuan untuk
mendeteksi jumlah kurang dari 100ml sangat terbatas ( Peralta, 2006 ).

F. Penatalaksanaan
1. Farmakologi
1) Terapi ditujukan pada kelainan serta akibat lanjut dari proses peritonitis. Terapi
suportif untuk hipovolemi, pengaturan suhu tubuh (pada neonatus terdapat
hipotermi, sedang pada bayi lebih besar, atau pada anak-anak terdapat
hipertermi).
2) Antibiotika dengan spektrum luas sensitif terdapat kuman gram negatif, gram
positif serta untuk kuman aerob dan anaerob. Diberikan intravena sebelum
pembedahan.
3) Pembedahan ditujukan untuk menghentikan sumber infeksi serta membersihkan
rongga peritoneal dari cairan infeksius dengan pencucian dengan cairan NaCl
steril. Pencucian harus benar-benar bersih.
4) Drain intraperitoneal tidak perlu dipasang bila telah diyakini rongga peritoneal
telah bersih.
5) Perawatan pasca bedah perlu diperhatikan ialah balance cairan, pengaturan suhu
tubuh, antibiotika diteruskan, dekompresi lambung dan usus dipertahankan
(FKUI, 1995).

2. Non Farmakologi
1) Diet
 Makanan mengandung cukup cairan, kalori dan tinggi protein
 Bahan tidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang, dan
menimbulkan gas.
 Susu 2 kali sehari perlu diberikan.
 Bila anak sadar dan nafsu makan baik, dapat diberikan makanan lunak.

2) Obat-obatan
 Dumoxin
Dosis: Dewasa dan anak-anak diatas umur 8 tahun dengan berat badan > 45 kg
: 200 mg per hari
 Ceftazidime
Dosis: Dosis Ceftazidime yang digunakan untuk orang dewasa adalah 1-6
gram per hari, dapat diberikan dosis masing-masing 500 mg, 1 g atau
2 g setiap 12 atau 8 jam secara IV atau IM.

G. Komplikasi

1. Penumpukan cairan mengakibatkan penurunan tekanan vena sentral yang


menyebabkan gangguan elektrolit bahkan hipovolemik, syok dan gagal ginjal.

2. Buruknya integritas kulit sehubungan dengan dehisensi luka atau eviserasi. Dehisensi
luka merupakan terbukanya tepi-tepi luka. Eviserasi luka adalah keluarnya organ-
organ dalam melalui insisi. Faktor penyebab dehisensi atau eviserasi adalah infeksi
luka, kesalahan menutup waktu pembedahan, ketegangan yang berat pada dinding
abdomen sebagai akibat dari batuk dan muntah.

3. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis. Tromboplebitis


postoperasi biasanya timbul 7 - 14 hari setelah operasi. Bahaya besar tromboplebitis
timbul bila darah tersebut lepas dari dinding pembuluh darah vena dan ikut aliran
darah sebagai emboli ke paru-paru, hati, dan otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu
latihan kaki post operasi, ambulatif dini dan kaos kaki TED yang dipakai klien
sebelum mencoba ambulatif.

4. Buruknya integritas kulit sehubungan dengan dehisensi luka atau eviserasi. Dehisensi
luka merupakan terbukanya tepi-tepi luka. Eviserasi luka adalah keluarnya organ-
organ dalam melalui insisi. Faktor penyebab dehisensi atau eviserasi adalah infeksi
luka, kesalahan menutup waktu pembedahan, ketegangan yang berat pada dinding
abdomen sebagai akibat dari batuk dan muntah.

ASUHAN KEPERAWATAN TEORI


PERITONITIS

A. Pengkajian
1) Anamnesa
a. Identitas Klien

Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.

a) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut
bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh
pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:

(1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi
faktor presipitasi nyeri.
(2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan
klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
(3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
(4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien,
bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya.
(5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk
pada malam hari atau siang hari.
b) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang
nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa
kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan
yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui
mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain
(Ignatavicius, Donna D, 1995).

c) Riwayat Penyakit Dahulu


Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk
berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti
kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering
sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt
beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat
proses penyembuhan tulang

d) Riwayat Penyakit Keluarga


Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu
faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi
pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara
genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995).

e) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien
dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan
sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D,
1995).

Dasar Data Pengkajian


 Aktifitas / istirahat.
Gejala. Kelemahan.
Tanda :kesulitan ambulasi.
 Sirkulasi
Gejala : -
Tanda :takikardi, berkeringat, pucet, hipotensi atau tanda syok, edema jaringan.
 Eliminasi
Gejala : ketidak mampuan defikasi dan flatus, diare (kadang-kadang).
Tanda: cegukan, dispensi abdomen diam. Penurunan haluaran urin, warna gelap.
Penurunan atau tak ada bising usus(ileus), bunyi keras hilang timbul,
bising usus kasar(obstruksi), kekakuan abdomen, nyeri tekan.
Hiporesonan atau timpani(ileus), hilang suara pekak diatas hati(udara
bebasdalam abdomen).
 Makanan & cairan
Gejala : anoreksia, mual atau muntah.
Tanda : muntah proyektil. Mukosa kering, lidah bengkak, turgor kulit menurun.
 Nyeri/kenyamanan
Gejala : nyeri abdomen tiba-tiba berat, umum atau lokal, menyebar kebahu,
terus menerus oleh gerakan.
Tanda : distensi, kaku, nyeri tekan. Otot tegang (abdomen), lutut flexi, perilaku
distraksi, gelisah, fokus pada diri sendiri.
 Pernafasan
Tanda: pernafasan dangkal, takipnea,
Gejala: -
 Keamanan
Tanda: -
Gejala: riwayat inflamasi, organ pelvik (salvingitis), infeksi pasca-melahirkan,
absen retroperitoneal.

3.1 Diagnosa Keperawatan


1. Nyeri b.d iritasi instestinal, respos pembedahan.
2. Risiko tinggi infeksi b.d adanya port de entree dari luka pembedahan.
3. Resiko ketidak efektifan pola napas b.d kemampuan batuk menurun, nyeri pasca
bedah.
4. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kurangnya asupan makanan yang adekuat.
5. Kekurangan volume cairan b.d keluarnya cairan tubuh dari muntah.

3.2 Intervensi
3.3.1 Nyeri akut berhubungan dengan peradangan pada peritoneum

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam nyeri berkurang
atau terkontrol.
Kriteria Hasil :
 TTV dalam batas normal
 Melaporkan nyeri hilang atau terkontrol
 Mendemonstrasikan penggunaan teknik relaksasi napas dalam
Intervensi Rasional
Kaji tingkat nyeri, catat intensitas, dan Merupakan pengalaman subyektif dan
karakteristik nyeri harus dijelaskan oleh pasien atau
identifikasi karakteristik nyeri dan faktor
yang berhubungan dengan kondisi
penyakitnya serta merupakan suatu hal
yang amat penting untuk memilih
intensitas yang cocok untuk
mengevaluasi keefektifan dari terapi
yang diberikan.
memonitor TTV: TD, N, RR, S Untuk mengetahui adanya komplikasi
lebih lanjut sehingga dapat ditentukan
tindakan selanjutnya
Ajarkan teknis distraksi dan relaksasi Merupakan ketegangan otot yang dapat
napas dalam merangsang timbulnya nyeri
Ciptakan lingkungan yang tenang Menurunkan stimulus yang berlebihan
yang dapat menurunkan nyeri.
Kolaborasi, pemberian analgesik; Membantu menghilangkan nyeri,
morfin, metadon. meningkat kenyamanan.

3.3.2 Resiko tinggi infeksi b.d adanya port de entree luka pascabedah.
Tujuan: dalam waktu 12 x 24 jam tidak terjadi infeksi, terjadi perbaikan pada
integritas jaringan lunak.

Kriteria Hasil:
 Jahitan dilepas pada hari ke-12 tanpa adanya tanda-tanda infeksi dan
peradangan pada area luka pembedahan.
 Leokosit dalam batas normal, TTV dalam batas normal.

Intervensi Rasional
Kaji jenis pembedahan, hari pembedahan, Mengidentifikasi kemajuan atau
dan apakah adanya order khusus dari tim penyimpangan dari tujuan yang
dokter bedah dalam melakukan perawatan diharapkan.
luka.
Buat kondisi balutan dalam keadaan Kondisi bersih dan kering akan
bersih dan kering menghindari kontaminasi komensal dan
akan menyebabkan respons inflamasi
lokal dan akan memperlama
penyembuhan luka.
Lakukan perawatan luka Perawatan luka sebaiknya tidak setiap
 Lakukan perawatan luka steril hari untuk menurunkan kontak tindakan
pada hari kedua pascabedah dan dengan lka yang dalam kondisi steril
diulang setiap 2 hari sekali pada sehingga mencegah kontaminasi kuman
luka abdomen. ke luka bedah.
 Lakukan perawatan luka pada Drain pasca bedah merupakan material
sekitar drain. yang dapat menjadi jalan masuk kuman.
Perawat melakukan perawatan luka setiap
hari atau disesuaikan dengan kondisi
pembalut drain, apabila kotor harus
diganti.
 Buka balutan secara perlahan Pelepasan balutan di lakukan perlahan
untuk menurunkan respons nyeri. Teknik
menekan dan berputar dapat menurunkan
stimulus nyeri pada pasien. Apabila
plester yang melekat dikulit terlalu kuat,
maka gunakan alkohol untuk membasahi
plester agar lebih mudah untuk melepas.
 Bersihkan luka dan drainase Pembersihan debris (sisa fagositosis,
dengan cairan antiseptik jenis jaringan mati) dan kuman sekitar luka
iodine providum dengan cara dengan mengoptimalkan kelebihan dari
swabbing dari arah dalam ke luar. iodini providum sebagai antiseptik dan
dengan arah dari dalam keluar dapat
mencegah konstaminasi kuman
kejaringan luka.
 Bersihkan bekas sisa iodine Antiseptik iodine providum mempunnyai
providum dengan alkohol 70% kelemahan dalam menurunkan prosas
atau normal salin dengan cara epitelisasi jaringan sehingga
swabbing dari arah dalam keluar. memperlambat pertumbuhan luka, maka
harus dibersihkan dengan alkohol atau
norma salin.
 Tutup luka dengan kasa steril dan Penutupan secara menyeluruh dapt
tutup dengan plaster adhesif yang menghindari kontaminasi dari benda atau
menyeluruh menutupi kasa. udara yang bersentuhan dengan luka
bedah.
Angkat drainase pascabedah sesuai Pelepasan sesuai indikasi bertujuan untuk
pesanan medis. menurunkan resiko infeksi.
Kolaborasi penggunaan antibiotik Antibiotik injeksi diberikan selama tiga
hari pascabedah yang kemudian
dilanjutkan dengan antibiotik oral sampai
jahitan dilepas. Peran perawat mengkaji
adanya reaksi dan riwayat alergi
antibiotik, serta memberikan antibiotik
sesuai pesanan dokter.

3.3.3 Ketidakefektifan pola nafas b.d penurunan kedalaman pernafasan sekunder distensi
abdomen dan menghindari nyeri.

Tujuan: Pola nafas efektif, ditandai bunyi nafas normal, tekanan O 2 dan saturasi O2
normal.

Kriteria Hasil:

 Pernapasan tetap dalam batas normal


 Pernapasan tidak sulit
 Istirahat dan tidur dengan tenang
 Tidak menggunakan otot bantu napas

Intervensi Rasional
Pantau hasil analisa gas darah dan Indikator hipoksemia; hipotensi,
indikator hipoksemia: hipotensi, takikardi, hiperventilasi, gelisah, depresi
takikardi, hiperventilasi, gelisah, depresi SSP, dan sianosis penting untuk
SSP, dan sianosis. mengetahui adanya syok akibat inflamasi
(peradangan).
Auskultasi paru untuk mengkaji ventilasi Gangguan pada paru (suara nafas
dan mendeteksi komplikasi pulmoner. tambahan) lebih mudah dideteksi dengan
auskultasi.
Pertahankan pasien pada posisi Posisi membantu memaksimalkan
semifowler. ekspansi paru dan menurunkan upaya
pernafasan, ventilasi maksimal membuka
area atelektasis dan meningkatkan
gerakan sekret kedalam jalan nafas besar
untuk dikeluarkan.
Berikan O2 sesuai program Oksigen membantu untuk bernafas secara
optimal
3.3.4 Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d muntah dan anoreksia.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5x24 jam nutrisi tubuh
adekuat
Kreteria Hasil:
 BB dalam batas ideal
 Pasien dapat menunjukkan terpenuhinya kebutuhan nutrisi secara adekuat,
 mempertahankan jalan nafas pasien.
Intervensi Rasional
Ukur masukan diit harian dengan Memberikan informasi tentang kebutuhan
jumlah kalori. pemasukan/defisiensi
menimbang berat badan sesuai indikasi Mungkin sulit untuk menggunakan berat
dan bandingakan dengan perubahan badan sebagai indikator langsung status
status cairan dan riwayat badan nutrisi karena ada gambaran edema/asites.
Lipatan kulit trisep berguna dalam
mengkaji perubahan massa otot dan
simpanan lemak subkutan.
B berikanan makanan sedikit tapi sering Buruknya toleransi terhadap makan banyak
mungkin berhubungan dengan peningkatan
tekanan intra-abdomen/asites
Tingkatkan periode tidur tanpa Penyimpanan energi menurunkan
gangguan khususnya sebelum makan kebutuhan metabolik pada hati dan
meningkatkan regenerasi seluler
. Berikan obat sesuai indikasi (tambahan Pasien kekurangan vitamin karena diet yang
vitamin, zat besi, asam folat, enzim buruk sebelumnya
pencernaan, antiemetik)

3.3.5 Resiko ketidak seimbangan cairan dan elektrolit b.d keluarnya cairan dari muntah
yang berlebihan
Tujuan: dalam waktu 1 x 24 jam tidak terjadi ketidak seimbangan cairan dan
elektrolit.

Kreteria Hasil:

 Pasien tidak mengeluh pusing, membran mukosa lembap, turgot kulit


normal, ttv dalam batas normal, CRT >3 detik, urine >600 ml/hari.
 Laboratorium: nilai elektrolit normal, nilai hematrokrit dan protein serum
meningkat, BUN/ kreatinin menurun.

Intervensi Rasional
Monitoring status cairan (turgor kulit, Jumlah dan tipe cairan pengganti di
membran mukosa, urine output) tentukan dari keadaan status cairan.
Penurunan volume cairan mengakibatkan
menurunnya produksi urine, monitoring
yang ketat pada produksi urine, apabila
<600 ml/hari merupakan tanda-tanda
terjadinya syok hipovolemi
Kaji sumber kehilangan cairan Kehilangan cairan dari muntah dapat di
sertai dengan keluarnya natrium via oral
yang juga akan meningkatkan resiko
gangguan elektrolit
Auskultasi TD Hipotensi dapat terjadi
Kaji warna kulit, suhu, sianosis, nadi Mengetahui adanya pengaruh adanya
perifer, dan diaforesis secara teratur peningkatan tahanan perifer.

Kolaborasi Jalur yang paten penting untuk pemberian


 Pertahanan pemberian cairan cairan cepat dan memudahkan perawat
secara intervena dalam melakukun kontrol intake dan output
cairan.
 Evaluasi kadar elektrolit Sebagai deteksi awal menghindari gangguan
elektrolit sekunder dari muntah pada pasien
peritonitis.

3.4 Implementasi
a) Intervensi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi.
b) Keterampilan interpersonal, intelektual, teknikal dilakukan dengan cermat dan
efisien pada situasi yang tepat.
c) Keamanan fisik dan psikologis dilindungi.
d) Dokumentasi intervensi dan respons klien.

3.5 Evaluasi

Hasil yang diharapkan setelah dilakukan tindakan keperawatan adalah sebagai berikut.

1. Tidak terjadi syok hipovolemik


2. Informasi kesehatan terpenuhi
3. Tidak mengalami injuri pascaprosedur bedah laparatomi.
4. Nyeri berkurang atau teradaptasi.
5. Jalan nafas pascabedah optimal.
6. Asupan nutrisi optimal sesuai tingkatan toleransi individu.
7. Tidak terjadi keseimbamgan cairan dan elektrolit.
8. Infeksi luka operasi tidak terjadi
9. Kecemasan berkurang.

BAB 4

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Peritonitis merupakan peradangan peritonium, selaput tipis yang melapisi
dindingabdomen dan meliputi organ-organ dalam, peradangan sering disebabkan oleh
bakteri atauinfeksi jamur membran ini. Peritonitis menyebabkan penurunan aktivitas
fibrinolitik intra-abdomen (peningkatan aktivitas inhibitor activator plasminogen) dan
fibrin karantina dengan pembentukan adhesi berikutnya. Produksi eksudat fibrinosa
merupakan reaksi penting pertahanan tubuh, tetapi sejumlah besar bakteri dapat di
karantina dalam matriks fibrin. Matriks fibrin tersebut memproteksi bakteri dari
mekanisme pembentukan oleh tubuh Penyebab peritonitis sekunder ialah perforasi
apendisitis, perforasi ulkus peptikum dan duodenum, perforasi kolon akibat
diverdikulitis, volvulus dan kanker, dan strangulasi kolon asendens

4.2 Saran

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa yang ingin membuat makalah
tentang asuhan keperawatan peritonitis system pencernaan dan dapat menambah
wawasan bagi profesi keperawatan. Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan maka
dari itu kritik dan saran sangat kami harapkan. Kita sebagai seorang perawat dalam
mengatasi masalah peritonitis di masyarakat dapat memberikan berbagai cara untuk
mencegah peritonitis dan diharapkan mahasiswa/i dapat memberikan asuhan
keperawatan khususnya pada klien yang mengalami peritonitis yang sesuai dengan apa
yang dipelajari.

DAFTAR PUSTAKA

Swearingen. 2001. keperawatn Medikal Bedah. EGC. Jakarta

Jong at al, 2000, Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta.

Smeltzer and Brenda. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. EGC Jakarata.

Muttaqin, Arif. 2011. Gangguan Gastrointestinal Salemba Medika. Jakarta

Nanda. 2009-2011. Diagnosis Keperawatan. EGC Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai