Anda di halaman 1dari 33

APPENDICITIS PERFORASI + CKD STAGE V+HT EMERGENCY+DM

TYPE II

Oleh:
Ayuni Fatricia, S.Ked
Katfazel Purwadi, S.Ked
Suhendra, S.ked

Pembimbing:
dr. Ferianto, Sp.An., M.Sc
dr. Matdhika Sakti, M.Ked (An)., Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU ANESTESIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABDURRAB
RSUD KOTA DUMAI
2022
DAFTAR ISI

BAB I.............................................................................................................................3
PENDAHULUAN.........................................................................................................3
BAB II...........................................................................................................................4
ILUSTRASI KASUS.....................................................................................................4
2.1 Indentitas Pasien.............................................................................................4
2.2 Riwayat Perawatan Pasien dalam Pengawasan...............................................4
BAB III..........................................................................................................................6
LAPORAN ANESTESI................................................................................................6
3.1 Preoperatif.......................................................................................................6
3.2 Premedikasi Anestesi : Ondansentron 4 mg...................................................6
3.3 Tindakan Anestesi..............................................................................................6
3.4 Pemantauan Setelah Tindakan Anestesi..............................................................7
BAB IV........................................................................................................................11
ANALISIS KASUS.....................................................................................................11
4.1 Pemeriksaan pra operatif...................................................................................11
4.2 Persiapan operasi..........................................................................................12
4.3 Maintanace.........................................................................................................13
BAB V.........................................................................................................................14
PEMBAHASAN..........................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................24

2
BAB I
PENDAHULUAN

Ilmu Anestesi dan Reanimasi adalah cabang Ilmu Kedokteran yang


mempelajari tatalaksana untuk me “matikan” rasa, baik rasa nyeri, takut dan rasa
tidak nyaman yang lain sehingga pasien nyaman dan ilmu yang mempelajari
tatalaksana untuk mempelajari tatalaksana untuk menjaga/mempertahankan hidup dan
kehidupan pasien selama mengalami “kematian” akibat obat anesthesia.1
Tindakan anestesi yang memadai, meliputi tiga komponen yang disebut trias
anestesi yaitu hipnotik (mati ingatan), analgesia (mati rasa) dan relaksasi otot rangka
(mati gerak). Untuk mencapai ke tiga target tersebut, dapat digunakan hanya dengan
satu jenis obat atau dengan memberikan beberapa kombinasi obat yang mempunyai
efek khusus seperti tersebut di atas.1
Pilihan anestesi yang digunakan pada operasi herniorapi adalah anestesi
regional (spinal atau epidural) atau anesthesia umum melalui pipa endotrakea dan
nafas kendali apabila ada permintaan khusus dari pasien. Anestesi spinal lebih disukai
untuk bedah dari thorakal 10 kebawah dikarenakan onset cepat, teknik sederhana,
relatif mudah dilakukan dan menimbulkan relaksasi otot yang sempurna
dibandingkan dengan anestesi epidural.

3
BAB II
ILUSTRASI KASUS

A. Indentitas Pasien
Nama : Ny. S
Umur : 52 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : jl.Samudra GG.surau
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
Status : Sudah menikah
Tanggal masuk : 8 September 2022

B. Riwayat Perawatan Pasien dalam Pengawasan


 Instalasi Gawat Darurat (8 september 2022 jam 09.05 WIB)
Keluhan Umum : nyeri perut sebelah kanan
KU : composmentis
GCS : E4V5M6
PUPIL : 2mm/2mm
RR : 22x/min
Suhu : 36.2 OC
TD : 200/100
SpO2 : 98%

S: pasien datang dengan keluhan nyeri perut sebelah kanan bagian


bawah sejak 3 hari yang lalu, awalnya pasien merasakan nyeri ulu hati

4
kemudian nyeri perut pindah ke perut kanan bawah. Nyeri dirasakan
tajam dan terasa seperti ditusuk, serta hilang timbul. Nyeri dirasakan
pada skala 5. Sejak timbulnya gejala nafsu makan berkurang, pasien
juga mengeluh demam(+), muntah 1x (+), BAB & BAK dbn, nyeri
dada (-), sesak nafas (-), Asma (-). RPD: DM (+), HT(+)
O:
Pemeriksaan fisik: KU: komposmentis
 Mata= CA (-/-), SI (-/-)
 Thorax= vesikuler (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-).
 Abdomen= nyeri pada regio iliaca dextra, nyeri lepas (+), psoas sign
(+), rovsing sign (+), obturator sign (+), perut kembung
 Ekstremitas: akral dingin, CRT <2 detik

A: appendicitis perforasi + ckd stage v+ht emergency+dm type II

P: Berikan O2 3Liter, mengikuti instruksi DPJP.


Pemberian obat/infus:
-IVFD kidmin: nacl 0,9 % 12 tpm
-inj ceftriaxone 1 gr
-Inj metoclopramide 1g/8jam
-Levofloxacin 500 mg
-drip furosemide 10 gr0,5 cc/jam
-candensartan 16 mg 1x1
-Amlodipine 10 mg 1x1
-Bisoprolol 1x5mg
-Bicnat 3x1
-acc operasi resiko tinggi: laparotomy CITO
-inj. Ketorolac 1 gr/8jam

5
C. Pemeriksaan Laboratorium:
Pemeriksaan dilakukan tanggal 08 September 2022
1. Pemeriksaan Hematologi
 Hemoglobin : 11,1 gr/dl (12-15)
 Leukosit : 14.500 mm3 (4.000-11.000)
 Trombosit : 305.000 mm3 (150.000-450.000)
 Eosinofil : 2% (0-5)
 Basofil : 0% (0-2)
 Netrofil Batang : 8% (2-6)
 Netrofil Segmen : 75% (50-70)
 Limfosit : 13% (20-40)
 Monosit : 2% (2-8)
 Eritrosit : 4.270.000 mm3 (4.200.000-6.100.000)
 MCV : 88 FL (80-100)
 MCH : 26 PG (27-32)
 MCHC : 29% (32-36)
 Hematokrit : 37% (36-52)
 RDW : 17.7
2. Pemeriksaan Gula Darah
º Gula Darah Sewaktu : 264 mg/dl (<140)
3. Faal Ginjal
º Ureum : 119 mg/dl
º Kreatinin : 6,8 mg/dl
º CCT/GDR : 8,86 m2
4. Pemeriksaan Elektrolit / Gas Darah
 Natrium : 136 mmol/L (125-149)
 Kalium : 4.2mmol/L (3,35-4,01)

6
 Klorida : 108 mmol/L (80,5-96,1)
5. Hematologi
 Golongan darah + rhesus : A positif
6. Hemoatasis
 Perdarahan : 2 menit (2-7 menit)
 Pembekuan : 3 menit (<5 menit)
7. Faal hati
 SGOT/AST : 11 mg/dl (<40)
 SGPT/ALT : 8 mg/dl (<30)
8. Imunoserologi
 Rapid antigen : Negatif
D. USG
‐ USG abdomen kanan bawah didapatkan bahwa appendiks tak terdekteksi
‐ tampak koleksi cairan di rongga abdomen ec ?

E. Catatan Perkembangan Pasien Selama di ICU


Tanggal/Waktu Subject Object Assessment Planning
09/09/2022 - KU : Tampak sakit - Post - Hemodinamik stabil
sedang appendicectomy H1
15.00 + ckd stage v+ht - lapor dr. Amrizal
GCS : E4M5V6 emergency+dm type Sp.PD 

Kesan : CM II - ivfd Nacl 30gtt/i

TD : 155/72 mmHG -drip fentanyl 2 amp


5cc/ j
HR : 75x/menit
-drip furosemide 10
RR : 22x/menit amp murni 0,5 cc/j
SpO2 : 100% - diit RP 1, RG 1
Protein 0,8 gr/KGBB
Dengan nasal kanul
- metokoperamid 3x1
5%

7
10/09/22 Os KU : Tampak sakit Post - Hemodinamik stabil
sedang
Jam 10:55 mengatakan appendectomy -jam 16:00 pasien
GCS : E4M5V6
nyeri bekas H2+ ckd stage di pindahkan ke
Kesan : CM
operasi v+ht Irna B
TD : 163/72 mmHG
emergency+dm
HR : 80x/menit
type II
RR : 16x/menit

SpO2 : 100%

Follow-up di irna B
Tanggal/Waktu Subject Object Assessment Planning

11/09/2022 Os KU : Tampak sakit Post appendectomy - Hemodinamik stabil


mengatakan ringan H3+ ckd stage v+ht
Jam 15:00 nyeri bekas emergency+dm
operasi GCS : E4M5V6 type II
Kesan : CM

TD : 130/90 mmHG

HR : 80x/menit

RR : 16x/menit

SpO2 : 100%

12/09/22 Bekas operasi KU : Tampak sakit Post appendectomy Os diperbolehkan


masih sedikit ringan H4+ ckd stage v+ht pulang
Jam 15:00 ngilu emergency+dm
GCS : E4M5V6 type II
Kesan : CM

TD : 130/90 mmHG

HR : 80x/menit

RR : 18x/menit

8
BAB III
LAPORAN ANESTESI

3.1 Preoperatif
Informed consent (+)
Puasa sekitar 7 jam
IV Line terpasang dengan infus kidmin: nacl 0,9 % 12 tpm, mengalir
lancar
Pasang foley kateter no 16
Keadaan umum tampak sakit sedang
Kesadaran compos mentis
Tanda vital:
TD : 148/80
RR : 16x/menit
Nadi : 88x/menit
Suhu : 36,20C
ASA : II

3.2 Premedikasi Anestesi : Ondansentron 4 mg

3.3 Tindakan Anestesi


Pasien dalam posisi duduk, kepala menunduk, kemudian menentukan
lokasi penyuntikkan di L3-L4, yaitu di atas titik hasil perpotongan antara
garis yang menghubungkan crista iliaca dekstra dan sinistra dengan garis
vertical tulang vertebra yang berpotongan di vertebral lumbal IV.
Kemudian dilakukan tindakan asepsis dan antisepsis dengan kassa steril
dan povidon iodine. Lalu dilakukan penyuntikkan di titik L3-L4
paramediana yang sudah ditandai sebelumnya dengan menggunakan jarum
spinal no. 27 G, kemudian jarum spinal dilepaskan hingga tersisa
kanulnya, lalu dipastikan bahwa LCS yang berwarna jernih mengalir
melalui kanul (ruang subarachnoid), kemudian obat anestesi, yaitu regivel
spinal (Bupivakain HCL 5 mg & Dextrose Monohydrate 80 mg) dengan
dosis 5 mg dengan volume 3 cc disuntikkan dengan terlebih dahulu
melakukan aspirasi untuk memastikan kanul spinal masih tetap di ruang
subarachnoid. Setelah Regivel disuntikkan setengah volumenya kembali
dilakukan tindakan aspirasi LCS untuk memastikan kanul tidak bergeser,
lalu Regivel disuntikkan semua. Setelah itu luka bekas suntikan ditutup
dengan kassa steril dan micropore. Kemudian pasien dibaringkan di meja
operasi.

3.4 Pemantauan Setelah Tindakan Anestesi


Dilakukan pemantauan keadaan pasien terhadap tindakan anestesi yang
telah dilakukan. Pemantauan dilakukan pada fungsi kardiovaskular, fungsi
respirasi, serta cairan.
- Kardiovaskular : pemantauan terhadap tekanan darah dan
frekuensi nadi setiap 5 menit
- Respirasi : inspeksi pernapasan spontan pasien & saturasi
oksigen
- Cairan : monitoring input cairan infus.
Lampiran Monitoring Tindakan Operasi

Pukul Tindakan TD Nadi Saturasi

15.20 Pasien masuk kamar operasi, dibaringkan 150/75 76 99


di meja operasi kemudian dilakukan
pemasangan manset di lengan kiri atas dan
pulse oxymetri di ibu jari tangan kanan.
Setelah itu dilakukan spinal anestesi

2
menggunakan spinocan no 27, Regivel 3cc

15.30 Operasi dimulai 120/80 71 99


RL 500 cc
Midazolam 1,5 mg

15.45 110/70 73 99

16.00 135/80 77 99

16.15 RL 500 cc 147/77 80 99

16.30 135/80 76 99

16.45 130/80 77 99

17.00 135/75 79 99

17.15 125/80 74 99

17.30 Ketorolac 30 mg 120/80 81 99

Laporan Anestesi
1. Diagnosis Pra Bedah
Appendicitis perforasi + ckd stage v+ht emergency+dm type II
2. Diagnosis Pasca Bedah
Post appendictomy+ ckd stage v+ht emergency+dm type II
3. Penatalaksanaan Preoperasi
Infus RL 500 cc
4. Penatalaksaan Anestesi
a. Jenis pembedahan : appendictomy
b. Jenis anestesi : regional anestesi (spinal anestesi)

3
c. Teknik anestesi :sub arachnoid block, L3-L4, LCS +,
jarum spinal no. 27 G
d. Mulai anestesi : 15.20 WIB
e. Mulai operasi : 15.30 WIB
f. Premedikasi : Ondansentron 4mg bolus IV
g. Medikasi : Regivel 3cc (Bupivakain HCL 5 mg &
Dextrose Monohydrate 80 mg)
h. Medikasi tambahan : Ketorolac
i. Maintainance : O2 3L/menit
j. Respirasi : pernapasan spontan
k. Cairan durante op : RL 1000 cc
l. Selesai operasi : 15.30WIB

3.1 Post Operatif

Pasien masuk ke dalam ruang pemulihan kemudian dibawa kembali ke ruang


ICU.

a. Observasi tanda vital:


Keadaan umum : tampak sakit ringan
Kesadaran : compos mentis
TD : 120/80
Nadi : 80x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : 36,2C

Penilaian pemulihan kesadaran


Skor Aldrete

4
Variabel Skor Skor
pasien

Motorik Gerak ke-4 anggota gerak atas 2 1


perintah 1
Gerak ke-2 anggota gerak atas 0
perintah
Tidak merespon

Respirasi Dapat bernapas dalam dan batuk 2 2


Dispnoe, hipoventilasi 1
Apneu 0

Sirkulasi Perubahan <20% TD sistol 2 2


preoperasi 1
Perubahan 20-50% sistol 0
preoperasi
Perubahan >50% TD sistol
preoperasi

Kesadaran Sadar penuh 2 2


Dapat dibangunkan 1
Tidak merespon 0

Perifer Merah 2 2
Pucat 1
Sianotik 0

Saturasi >94% tanpa suplemen O2 2 2


O2 >94% dengan suplemen O2 1
<94% dengan suplemen O2 0

5
Skor total 11

BAB IV
ANALISIS KASUS

4.1 Pemeriksaan pra operatif


 Informed consent
 Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium maka pasien
dapat diklasifikasikan dengan ASA II
 IV line 1 jalur RL 20 tpm
 Pemasangan cateter
 Jenis anestesi yang akan dilakukan adalah regional anestesi dengan
teknik spinal anestesi subarachnoid block. Blok subarachnoid adalah blok
regional yang dilakukan dengan jalan menyuntikkan obat anestetik local
ke dalam ruang sub arachnoid pada celah interspinosum L3-L4.1
Indikasi dilakukannya anestesi spinal sub arachnoid adalah untuk
pembedahan daerah tubuh yang dipersarafi cabang T10 ke bawah yaitu
daerah abdominal dan inguinal,daerah anorektal dan genitalia eksterna
serta daerah ekstremitas inferior. Adapun beberapa kontra indikasi pada
penggunaan teknik anestesi spinal sub arachnoid yng terbagi menjadi
kontra indikasi absolut dan relative. Kontra indikasi absolut meliputi
pasien yang menolak, infeksi di daerah lumbal, syok hipovolemia,
koagulopati atau mendapat terapi koagulan, tekanan intracranial tinggi,
fasilitas resusitasi minim, kurang pengalaman atau tanpa pendampingan
dari konsultan anesthesia. Sedangkan untuk kontra indikasi relative yaitu

6
infeksi sistemik (sepsis, bakteriemi), kelainan neurologis, kelainan psikis,
bedah lama, penyakit jantung dan nyeri punggung kronis.2

4.2 Persiapan operasi


 Sebelum operasi, pasien dipersiapkan terlebih dahulu untuk puasa
6-8 jam yang bertujuan mencegah terjadinya aspirasi isi lambung
karena regurgitasi
 Memastikan infus berjalan lancar supaya obat-obatan yang
diberikan melalui jalur intravena dapat bekerja secara efektif, lalu
memasang tensimeter dan saturasi O2 agar dapat dimonitor selama
operasi berlangsung, karena anestesi spinal menghambat saraf
simpatis sehingga dapat menyebabkan hipotensi.1
 Kemudian dilakukan anestesi terhadap pasien menggunakan obat
Bupivacaine 5mg/ml, yaitu anestesi local yang bekerja memblok
konduksi impuls saraf dengan meningkatkan ambang eksitasi
listrik pada saraf, dengan memperlambat penyebaran impuls, juga
mengurangi laju kenaikan potensial aksi. Bupivacaine mengikat
bagian saluran intraseluler natrium dan memblok masuknya
natrium ke dalam sel saraf sehingga mencegah depolarisasi,
dengan sifat reversible. Bupivacaine memiliki onset cepat dan
masa kerja panjang.3
 Pasien diberikan obat premedikasi yaitu Ondansetron 4 mg secara
bolus IV, agar dapat mengurangi rangsang muntah pada pasien
akibat obat-obat anestesi yang menyebabkan hiperperistaltik .
Ondansetron adalah suatu antagonis reseptor serotonin 5-HT3
selektif. Serotonin 5-hydroxytriptamine merupakan zat yang akan
dilepaskan jika terdapat toksin dalam saluran cerna, berikatan
dengan reseptornya dan akan merangsang saraf vagus

7
menyampaikan rangsangan ke CTZ (chemoreceptor trigger zone)
dan pusat muntah, sehingga terjadi mual & muntah.4

4.3 Maintanace
 Oksigenasi
3L/menit dengan kanul
 Terapi cairan RL

8
BAB V
PEMBAHASAN

Seorang pasien wanita datang ke IGD RSUD Dumai dengan keluhan nyeri perut
sebelah kanan bagian bawah sejak 3 hari yang lalu, awalnya pasien merasakan nyeri
ulu hati kemudian nyeri perut pindah ke perut kanan bawah. Nyeri dirasakan tajam
dan terasa seperti ditusuk, serta hilang timbul. Nyeri dirasakan pada skala 5. Sejak
timbulnya gejala nafsu makan berkurang, pasien juga mengeluh demam(+), muntah
1x (+). Pada keadaan umu pasien didapatkan TD: 200/100 mmhg, pada pemeriksaan
fisik didapatkan pemeriksaan Abdomen terdapat nyeri pada regio iliaca dextra, nyeri
lepas (+), psoas sign (+), rovsing sign (+), obturator sign (+), perut kembung (+).
Serta pada pemeriksaan penunjang didapatkan Leukosit: 14.500 mm3, GDR: 264
mg/dl, dan faal ginjal ureum: 119 mg/dl, creatinin: 6,8 mg/dl. Dan pada pemeriksaan
USG abdomen kanan bawah didapatkan bahwa appendiks tak terdekteksi serta
tampak koleksi cairan di rongga abdomen. Dari Anamnesis yang didapat serta
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang maka pasien tersebut didiagnosis
Appendicitis Perforasi + Ckd Stage V+Ht Emergency+Dm Type II sehingga pasien
perlu dilakukan tindakan operasi segara.
Jenis anestesi yang akan dilakukan adalah regional anestesi dengan teknik spinal
anestesi subarachnoid block. Blok subarachnoid adalah blok regional yang dilakukan
dengan jalan menyuntikkan obat anestetik local ke dalam ruang sub arachnoid pada
celah interspinosum L3-L4.1 Indikasi dilakukannya anestesi spinal sub arachnoid
adalah untuk pembedahan daerah tubuh yang dipersarafi cabang T10 ke bawah yaitu
daerah abdominal dan inguinal,daerah anorektal dan genitalia eksterna serta daerah
ekstremitas inferior. Kelengkungan tulang belakang yang tidak normal, seperti
skoliosis dan kifoskoliosis, memiliki banyak efek pada anestesi spinal. Penempatan

9
blok menjadi lebih sulit karena rotasi dan angulasi corpus vertebra dan processus
spinosus. Menemukan garis tengah dan ruang interlaminar mungkin sulit.
Kelengkungan tulang belakang mempengaruhi tingkat tertinggi dengan mengubah
kontur ruang subarachnoid.
Status fisik pada pasien ini dimasukkan ke dalam ASA II (pasien dengan kelainan
sistemik ringan sampai dengan sedang akibat kelainan bedah atau proses
patofisiologis, angka mortalitas 16%). Pada pasien ini dilakukan regional anestesi.
Pemilihan anestesi regional sebagai teknik anestesi pada pasien ini berdasarkan
pertimbangan bahwa pasien akan menjalani operasi apendicitis sehingga pasien
memerlukan blockade pada regio bawah.
Pada pasien ini diberikan obat premedikasi berupa injeksi ondansentron.
Ondansentron sebagai suatu antagonis reseptor serotonin yang biasa digunakan
sebagai anti emetik dan untuk mencegah terjadinya mual atau muntah.
Faktor risiko AKI pada pengaturan perioperatif termasuk gangguan ginjal yang
sudah ada sebelumnya, diabetes mellitus, penyakit kardiovaskular, hipovolemia, dan
penggunaan obat yang berpotensi nefrotoksik oleh pasien usia lanjut. Indeks risiko
untuk mengidentifikasi prediktor pra operasi dari AKI setelah operasi umum
( Morgan dan Mikhail’s , 2013).

Indeks risiko cedera ginjal akut untuk pasien yang menjalani operasi umum.

Faktor risiko

o Usia 56 tahun
o Jenis kelamin pria
o Gagal jantung kongestif aktif
o Asites
o Hipertensi
o Operasi darurat
o Pembedahan intraperitoneal

10
o Insufisiensi ginjal—ringan atau sedang
o Diabetes mellitus—terapi oral atau insulin

Klasifikasi Indeks Risiko didasarkan pada jumlah faktor risiko yang ada:

 kelas I (0-2 faktor risiko),


 kelas II (3 faktor risiko),
 kelas III (4 faktor risiko),
 kelas IV (5 faktor risiko),
 kelas V (6 faktor risiko).
 Kreatinin serum sebelum operasi >1,2 mg/dL.

Studi klinis mencoba untuk mendefinisikan efek agen anestesi pada fungsi ginjal
tetapi penelitiannya rumit dan sulit. Namun, beberapa kesimpulan dapat dinyatakan:

1. Penurunan RBF, GFR, urin yang reversible aliran, dan ekskresi natrium terjadi
selama anestesi regional dan umum.
2. Perubahan seperti itu biasanya kurang terasa selama anestesi regional.
3. Sebagian besar perubahan ini bersifat tidak langsung dan bersifat dimediasi oleh
otonom dan hormonal respon terhadap pembedahan dan anestesi.
4. AKI lebih kecil kemungkinannya bila memadai volume intravaskular dan darah
normal tekanan dipertahankan.
5. Tidak ada bukti yang saat ini digunakan agen anestesi uap menyebabkan AKI pada
pasien. Namun, beberapa penelitian telah melaporkan Senyawa produk penguraian
dari sevoflurane, menghasilkan toksisitas ginjal bila diberikan pada laju aliran
rendah di hewan laboratorium.

Sehingga pada pasien tersebut dilakukan anestesi regional dibandingkan


dengan anestesi general, selain itu Agen Volatil (Halothane, sevoflurane, desflurane,
dan isofl urane) menurunkan resistensi pembuluh darah ginjal. Seperti disebutkan
sebelumnya, senyawa produk penguraian sevofluran, telah terbukti menyebabkan

11
kerusakan ginjal pada hewan laboratorium. Akumulasinya di pernapasan pada laju
aliran yang rendah. Tidak ada studi klinis yang mendeteksi cedera ginjal yang
signifikan pada manusia selama anestesi dengan sevoflurane; Namun,beberapa ahli
merekomendasikan pemberian 02 minimal 2 L/menit dengan sevofl urane untuk
mencegah masalah teoretis ini (Morgan dan Mikhail’s , 2013).
Pada pemberian Agen intravena (Opioid dan propofol) menunjukkan efek
minimal, jika ada pada ginjal bila digunakan sendiri. Ketamine meberikan efek
minimal yang mempengaruhi fungsi ginjal dan mungkin, relatif terhadap agen
anestesi lainnya, menjaga fungsi ginjal selama hipovolemia hemoragik. Agen dengan
Aktivitas penghambatan alfa-adrenergik dapat mencegah redistribusi RBF yang
diinduksi kate kolamin. obat dengan aktivitas antidopaminergik — seperti
metoclopramid, fenotiazin, dan droperidol — dapat mengganggu respon ginjal
terhadap dopamine. Penghambatansintesis prostaglandin oleh NSAID seperti
ketorolac mencegah produksi prostaglandin vasodilatasi pada pasien dengan tingkat
tinggi angiotensin II dan norepinefrin; pelemahan prostaglandin sintesis dalam
pengaturan ini dapat menyebabkan AKI. Ace-inhibitor memblokir efek protektif dari
angiotensin II dan dapat mengakibatkan penurunan GFR selama anestesi (Morgan
dan Mikhail’s , 2013).

APPENDICITIS PERFORASI
Definisi
Apendicitis merupakan peradangan yang terjadi pada appendiks
vermiformis, dan merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering.
Appendicitis dapat disebabkan karena infeksi atau obstruksi pada appendiks.
Obstruksi menyebabkan appendiks menjadi bengkak, perubahan flora normal
dan mudah diinfeksi oleh bakteri. Jika diagnosis lambat ditegakkan, dapat
terjadi perforasi pada appendiks.9
Penyebab

12
Apendisitis sering disebabkan oleh sumbatan lumen yang diikuti oleh
invasi bakteri. Sumbatan terutama disebabkan oleh hiperplasia folikel limfoid
submukosa, fecalith, dan bakteri. Pembesaran folikel-folikel limfoid
disebabkan oleh adanya infeksi virus seperti measles, cacing seperti
pinworms, ascaris dan taenia dan tumor. Hal ini dapat menyebabkan
penyumbatan lumen apendiks terutama pada anak-anak. 10

Manifestasi Klinis
Gejala :
Appendisitis infiltrat didahului oleh keluhan appendisitis akut yang
kemudian disertai adanya massa periapendikular. Gejala klasik apendisitis
akut biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus yang
berhubungan dengan muntah. Dalam 2-12 jam nyeri beralih ke kuadran
kanan, yang akan menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk. Terdapat
juga keluhan anoreksia, malaise, dan demam yang tidak terlalu tinggi.
Biasanya juga terdapat konstipasi tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual
dan muntah. Pada permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen
yang menetap. Namun dalam beberapa jam nyeri abdomen kanan bawah akan
semakin progresif. 11
Tanda :

Pada pemeriksaan fisik, ditemukan rasa nyeri abdomen yang


meningkat pada saat batuk terutama pada anak usia muda. Rasa nyeri yang
menunjukan apendisitis terjadi di kuadran kanan bawah yang berdekatan
dengan titik McBurney dan area pinggang kanan (Flank region). Defans
muskular (Muscle guarding) akan didapatkan dengan pola volunter saat awal
dan kemudian akan menjadi tegang (muscle rigidity) yang involunter. 12

13
Gambar 2. Lokasi Titik McBurney garis antara umbilicus
dengan SIAS dextra kemudian dibagi 3. 1/3 lateral adalah letak
appendiks.

Peradangan yang menjalar ke area peritoneal parietal akan


menyebabkan nyeri lepas (Rebound tenderness), nyeri tekan berpindah
(rovsing‟s sign) dan nyeri lepas berpindah (reffered rebound tenderness). Jika
peradangan apendiks mengiritasi otot psoas, maka psoas sign positif dan jika
peradangan apendiks mengiritasi otot obturator, maka obturator sign positif
yang menunjukan nyeri di hipogastrik kanan. Pada pemeriksaan rektum
didapatkan rasa nyeri di sisi kanan rektum. Akan tetapi perlu diperhitungkan
penyebab lain selain karena apendisitis misalnya karena peradangan adneksa
dan atau peradangan vesikula seminalis.
Tatalaksana
Appendiktomi merupakan tindakan pemotongan appendiks. Dapat
dilakukan secara terbuka atau laparoskopi. Pada appendektomi terbuka, insisi
Mc Burney paling banyak dipilih. Jika apendiks mengalami perforasi maka
abses disedot dan diguyur dengan NaCl dan disedot hingga bersih.13

CRONIC KIDNEY DISEASE

HIPERTENSI EMERGENSI

DIABETES MELITUS

14
Anestesi Spinal
Definisi
Anestesi spinal ialah pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang
subarackhnoid. Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik
lokal ke dalam ruang subarachnoid. Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga
sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal. Untuk mencapai
cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan menembus kulis  subkutis 
Lig. Supraspinosum  Lig. Interspinosum  Lig. Flavum  ruang epidural
 durameter  ruang subarachnoid.6

Gambar 1. Anastesi spinal 6


Medulla spinalis berada didalam kanalis spinalis dikelilingi oleh cairan
serebrospinal, dibungkus oleh meningens (duramater, lemak dan pleksus
venosus). Pada dewasa berakhir setinggi L1, pada anak L2 dan pada bayi L3.

15
Oleh karena itu, anestesi/analgesi spinal dilakukan ruang sub arachnoid di
daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5.6

Gambar 2. Anatomi Vertebrae 7

 Indikasi: 6
1.  Bedah ekstremitas bawah
2.  Bedah panggul
3.  Tindakan sekitar rektum perineum
4.  Bedah obstetrik-ginekologi
5.  Bedah urologi

16
6.  Bedah abdomen bawah
7.  Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya
dikombinasikan v dengan anesthesia umum ringan

Kontra indikasi absolut:


1.  Pasien menolak
2.  Infeksi pada tempat suntikan
3.  Hipovolemia berat, syok
4.  Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan
5.  Tekanan intrakranial meningkat
6.  Fasilitas resusitasi minim
7.  Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi.

 Kontra indikasi relatif:


1.  Infeksi sistemik
2.  Infeksi sekitar tempat suntikan
3.  Kelainan neurologis
4.  Kelainan psikis
5.  Bedah lama
6.  Penyakit jantung
7.  Hipovolemia ringan
8.  Nyeri punggung kronik

 Persiapan analgesia spinal


Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada
anastesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan
menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung
atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus spinosus.
Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini:

17
1.      Informed consent
Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anesthesia spinal
2.      Pemeriksaan fisik
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung

3.      Pemeriksaan laboratorium anjuran


Hb, Ht, PT (Protrombin Time) , PPT (Partial Tromboplastin Time)

 Peralatan analgesia spinal


1.      Peralatan monitor: tekanan darah, nadi, saturasi oksigen, dll.
2.      Peralatan resusitasi
3.      Jarum spinal
Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing/quinckebacock)
atau jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil point whitecare)

 Anastetik lokal untuk analgesia spinal


Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah
1.003-1.008.  Anastetik lokal dengan berat jenis sama dengan css disebut
isobarik. Anastetik lokal dengan berat jenis lebih besar dari css disebut

18
hiperbarik. Anastetik lokal dengan berat jenis lebih kecil dari css disebut
hipobarik. Anastetik lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik
diperoleh dengan mencampur anastetik local dengan dextrose. Untuk jenis
hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur
dengan air injeksi.
Anestetik lokal yang paling sering digunakan:
1. Lidokaine(xylobain,lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobarik,
dosis 20-100mg (2-5ml)
2. Lidokaine(xylobain,lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis
1.033, sifat hyperbarik, dosis 20-50 mg (1-2ml)
3. Bupivakaine(markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobarik,
dosis 5-20mg (1-4ml)
4. Bupivakaine(markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027,
sifat hiperbarik, dosis 5-15mg (1-3ml)

Tabel 1. Dosis dan durasi obat yang umum di gunakan pada anestesi
spinal.7
 Teknik analgesia spinal
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada
garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya
dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan
sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30
menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral
dekubitus. Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya

19
tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar
processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.

2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista


iliaka, misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau
diatasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-
2% 2-3ml
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,
23G, 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G
atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik
biasa semprit 10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak
sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut
mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam
(Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat
duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah keatas atau
kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat
timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resistensi menghilang,
mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi
obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi

20
aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.
Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor
tidak keluar, putar arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk
analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan kateter.

6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah


hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum
flavum dewasa ± 6cm.

21
 Penyebaran anastetik lokal tergantung:
1. Faktor utama:
a. Berat jenis anestetik lokal (barisitas)
b. Posisi pasien
c. Dosis dan volume anestetik lokal
2. Faktor tambahan
a. Ketinggian suntikan
b. Kecepatan suntikan/barbotase
c. Ukuran jarum
d. Keadaan fisik pasien
e. Tekanan intra abdominal
 Lama kerja anestetik lokal tergantung:
1.  Jenis anestetia lokal
2.  Besarnya dosis
3.  Ada tidaknya vasokonstriktor
4.  Besarnya penyebaran anestetik lokal

22
 Komplikasi tindakan anestesi spinal :
1. Hipotensi berat
Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah
dengan memberikan infus cairan elektrolit 1000ml atau koloid 500ml
sebelum tindakan.
2. Bradikardia
Dapat terjadi tanpa  disertai hipotensi atau hipoksia,terjadi akibat blok
sampai T-2
3. Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas
4. Trauma pembuluh saraf
5. Trauma saraf
6. Mual-muntah
7. Gangguan pendengaran
8. Blok spinal tinggi atau spinal total

 Komplikasi pasca tindakan


1.  Nyeri tempat suntikan
2.  Nyeri punggung
3.  Nyeri kepala karena kebocoran likuor
4.  Retensio urine
5.  Meningitis

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Soenarto RF, Chandra S. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta 2014: Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta 2014
2. Soenarjo, Jatmiko HD. Anestesiologi. Ikatan Dokter Spesialis Anestesi Dan
Reanimasi. Semarang 2002.
3. Bupivacaine: Medscape Reference. Bupivacaine. [Online]. Updated January
2014. Available at http://reference.medscape.com/drug/marcaine-sensorcaine-
bupivacaine-343360. Accesed 21 December, 2014.
4. Ondansetron: Medscape reference. Ondansetron. [Online]. Updated January
2014. Available at http://reference.medscape.com/drug/zofran-zuplenz-
ondansetron-342052. Accessed 21 December, 2014.
5. Ketorolac: Medscape Reference. Ketorolac. [Online]. Updated January 2014.
Available at http://reference.medscape.com/drug/Ketorolac-343360. Accessed
21 December, 2014.
6. Anastesi spinal : USU. Anestesi. [Online]. Updated March 2014. Available at
http://repository.usu.ac.id. Accessed 21 December, 2014.
7. Morgan, G Edward, S Mikhail. Clinical Anesthesiology. New York: MC
Graw Hill; 2006.
8. Morgan, G Edward, S Mikhail. Clinical Anesthesiology. New York: MC
Graw Hill; 2013.
9. Schwartz’s. Principles of Surgery 9th Edition. United States. Mc-Graw Hill.
2011. P. 1241-1257)
10. Cavallaro, A., Catania, V., Cavallaro, M., et al. 2008, „Management of
Secondary Peritonitis: Our Experience‟, Annali Italiani di Chirurgia, vol. 79,
no. 4, pp.255-257.

24
11. Mansjoer,A., dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Kedua.
Penerbit MediaAesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta.
12. Sandy Craig. 2018. Appendicitis. Diakses melalui :
https://emedicine.medscape.com/article/773895-overview#a2.
13. Hardin DM. Acute Appendicitis: Review and Update. American Academy of
Family Physician News and Publication. 1999;60: 2027-34. Retrieved at

th
October 20 2011. From: http://www.aafp.org/afp/991101ap/2027.html

25

Anda mungkin juga menyukai