TYPE II
Oleh:
Ayuni Fatricia, S.Ked
Katfazel Purwadi, S.Ked
Suhendra, S.ked
Pembimbing:
dr. Ferianto, Sp.An., M.Sc
dr. Matdhika Sakti, M.Ked (An)., Sp.An
BAB I.............................................................................................................................3
PENDAHULUAN.........................................................................................................3
BAB II...........................................................................................................................4
ILUSTRASI KASUS.....................................................................................................4
2.1 Indentitas Pasien.............................................................................................4
2.2 Riwayat Perawatan Pasien dalam Pengawasan...............................................4
BAB III..........................................................................................................................6
LAPORAN ANESTESI................................................................................................6
3.1 Preoperatif.......................................................................................................6
3.2 Premedikasi Anestesi : Ondansentron 4 mg...................................................6
3.3 Tindakan Anestesi..............................................................................................6
3.4 Pemantauan Setelah Tindakan Anestesi..............................................................7
BAB IV........................................................................................................................11
ANALISIS KASUS.....................................................................................................11
4.1 Pemeriksaan pra operatif...................................................................................11
4.2 Persiapan operasi..........................................................................................12
4.3 Maintanace.........................................................................................................13
BAB V.........................................................................................................................14
PEMBAHASAN..........................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................24
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
BAB II
ILUSTRASI KASUS
A. Indentitas Pasien
Nama : Ny. S
Umur : 52 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : jl.Samudra GG.surau
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
Status : Sudah menikah
Tanggal masuk : 8 September 2022
4
kemudian nyeri perut pindah ke perut kanan bawah. Nyeri dirasakan
tajam dan terasa seperti ditusuk, serta hilang timbul. Nyeri dirasakan
pada skala 5. Sejak timbulnya gejala nafsu makan berkurang, pasien
juga mengeluh demam(+), muntah 1x (+), BAB & BAK dbn, nyeri
dada (-), sesak nafas (-), Asma (-). RPD: DM (+), HT(+)
O:
Pemeriksaan fisik: KU: komposmentis
Mata= CA (-/-), SI (-/-)
Thorax= vesikuler (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-).
Abdomen= nyeri pada regio iliaca dextra, nyeri lepas (+), psoas sign
(+), rovsing sign (+), obturator sign (+), perut kembung
Ekstremitas: akral dingin, CRT <2 detik
5
C. Pemeriksaan Laboratorium:
Pemeriksaan dilakukan tanggal 08 September 2022
1. Pemeriksaan Hematologi
Hemoglobin : 11,1 gr/dl (12-15)
Leukosit : 14.500 mm3 (4.000-11.000)
Trombosit : 305.000 mm3 (150.000-450.000)
Eosinofil : 2% (0-5)
Basofil : 0% (0-2)
Netrofil Batang : 8% (2-6)
Netrofil Segmen : 75% (50-70)
Limfosit : 13% (20-40)
Monosit : 2% (2-8)
Eritrosit : 4.270.000 mm3 (4.200.000-6.100.000)
MCV : 88 FL (80-100)
MCH : 26 PG (27-32)
MCHC : 29% (32-36)
Hematokrit : 37% (36-52)
RDW : 17.7
2. Pemeriksaan Gula Darah
º Gula Darah Sewaktu : 264 mg/dl (<140)
3. Faal Ginjal
º Ureum : 119 mg/dl
º Kreatinin : 6,8 mg/dl
º CCT/GDR : 8,86 m2
4. Pemeriksaan Elektrolit / Gas Darah
Natrium : 136 mmol/L (125-149)
Kalium : 4.2mmol/L (3,35-4,01)
6
Klorida : 108 mmol/L (80,5-96,1)
5. Hematologi
Golongan darah + rhesus : A positif
6. Hemoatasis
Perdarahan : 2 menit (2-7 menit)
Pembekuan : 3 menit (<5 menit)
7. Faal hati
SGOT/AST : 11 mg/dl (<40)
SGPT/ALT : 8 mg/dl (<30)
8. Imunoserologi
Rapid antigen : Negatif
D. USG
‐ USG abdomen kanan bawah didapatkan bahwa appendiks tak terdekteksi
‐ tampak koleksi cairan di rongga abdomen ec ?
7
10/09/22 Os KU : Tampak sakit Post - Hemodinamik stabil
sedang
Jam 10:55 mengatakan appendectomy -jam 16:00 pasien
GCS : E4M5V6
nyeri bekas H2+ ckd stage di pindahkan ke
Kesan : CM
operasi v+ht Irna B
TD : 163/72 mmHG
emergency+dm
HR : 80x/menit
type II
RR : 16x/menit
SpO2 : 100%
Follow-up di irna B
Tanggal/Waktu Subject Object Assessment Planning
TD : 130/90 mmHG
HR : 80x/menit
RR : 16x/menit
SpO2 : 100%
TD : 130/90 mmHG
HR : 80x/menit
RR : 18x/menit
8
BAB III
LAPORAN ANESTESI
3.1 Preoperatif
Informed consent (+)
Puasa sekitar 7 jam
IV Line terpasang dengan infus kidmin: nacl 0,9 % 12 tpm, mengalir
lancar
Pasang foley kateter no 16
Keadaan umum tampak sakit sedang
Kesadaran compos mentis
Tanda vital:
TD : 148/80
RR : 16x/menit
Nadi : 88x/menit
Suhu : 36,20C
ASA : II
2
menggunakan spinocan no 27, Regivel 3cc
15.45 110/70 73 99
16.00 135/80 77 99
16.30 135/80 76 99
16.45 130/80 77 99
17.00 135/75 79 99
17.15 125/80 74 99
Laporan Anestesi
1. Diagnosis Pra Bedah
Appendicitis perforasi + ckd stage v+ht emergency+dm type II
2. Diagnosis Pasca Bedah
Post appendictomy+ ckd stage v+ht emergency+dm type II
3. Penatalaksanaan Preoperasi
Infus RL 500 cc
4. Penatalaksaan Anestesi
a. Jenis pembedahan : appendictomy
b. Jenis anestesi : regional anestesi (spinal anestesi)
3
c. Teknik anestesi :sub arachnoid block, L3-L4, LCS +,
jarum spinal no. 27 G
d. Mulai anestesi : 15.20 WIB
e. Mulai operasi : 15.30 WIB
f. Premedikasi : Ondansentron 4mg bolus IV
g. Medikasi : Regivel 3cc (Bupivakain HCL 5 mg &
Dextrose Monohydrate 80 mg)
h. Medikasi tambahan : Ketorolac
i. Maintainance : O2 3L/menit
j. Respirasi : pernapasan spontan
k. Cairan durante op : RL 1000 cc
l. Selesai operasi : 15.30WIB
4
Variabel Skor Skor
pasien
Perifer Merah 2 2
Pucat 1
Sianotik 0
5
Skor total 11
BAB IV
ANALISIS KASUS
6
infeksi sistemik (sepsis, bakteriemi), kelainan neurologis, kelainan psikis,
bedah lama, penyakit jantung dan nyeri punggung kronis.2
7
menyampaikan rangsangan ke CTZ (chemoreceptor trigger zone)
dan pusat muntah, sehingga terjadi mual & muntah.4
4.3 Maintanace
Oksigenasi
3L/menit dengan kanul
Terapi cairan RL
8
BAB V
PEMBAHASAN
Seorang pasien wanita datang ke IGD RSUD Dumai dengan keluhan nyeri perut
sebelah kanan bagian bawah sejak 3 hari yang lalu, awalnya pasien merasakan nyeri
ulu hati kemudian nyeri perut pindah ke perut kanan bawah. Nyeri dirasakan tajam
dan terasa seperti ditusuk, serta hilang timbul. Nyeri dirasakan pada skala 5. Sejak
timbulnya gejala nafsu makan berkurang, pasien juga mengeluh demam(+), muntah
1x (+). Pada keadaan umu pasien didapatkan TD: 200/100 mmhg, pada pemeriksaan
fisik didapatkan pemeriksaan Abdomen terdapat nyeri pada regio iliaca dextra, nyeri
lepas (+), psoas sign (+), rovsing sign (+), obturator sign (+), perut kembung (+).
Serta pada pemeriksaan penunjang didapatkan Leukosit: 14.500 mm3, GDR: 264
mg/dl, dan faal ginjal ureum: 119 mg/dl, creatinin: 6,8 mg/dl. Dan pada pemeriksaan
USG abdomen kanan bawah didapatkan bahwa appendiks tak terdekteksi serta
tampak koleksi cairan di rongga abdomen. Dari Anamnesis yang didapat serta
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang maka pasien tersebut didiagnosis
Appendicitis Perforasi + Ckd Stage V+Ht Emergency+Dm Type II sehingga pasien
perlu dilakukan tindakan operasi segara.
Jenis anestesi yang akan dilakukan adalah regional anestesi dengan teknik spinal
anestesi subarachnoid block. Blok subarachnoid adalah blok regional yang dilakukan
dengan jalan menyuntikkan obat anestetik local ke dalam ruang sub arachnoid pada
celah interspinosum L3-L4.1 Indikasi dilakukannya anestesi spinal sub arachnoid
adalah untuk pembedahan daerah tubuh yang dipersarafi cabang T10 ke bawah yaitu
daerah abdominal dan inguinal,daerah anorektal dan genitalia eksterna serta daerah
ekstremitas inferior. Kelengkungan tulang belakang yang tidak normal, seperti
skoliosis dan kifoskoliosis, memiliki banyak efek pada anestesi spinal. Penempatan
9
blok menjadi lebih sulit karena rotasi dan angulasi corpus vertebra dan processus
spinosus. Menemukan garis tengah dan ruang interlaminar mungkin sulit.
Kelengkungan tulang belakang mempengaruhi tingkat tertinggi dengan mengubah
kontur ruang subarachnoid.
Status fisik pada pasien ini dimasukkan ke dalam ASA II (pasien dengan kelainan
sistemik ringan sampai dengan sedang akibat kelainan bedah atau proses
patofisiologis, angka mortalitas 16%). Pada pasien ini dilakukan regional anestesi.
Pemilihan anestesi regional sebagai teknik anestesi pada pasien ini berdasarkan
pertimbangan bahwa pasien akan menjalani operasi apendicitis sehingga pasien
memerlukan blockade pada regio bawah.
Pada pasien ini diberikan obat premedikasi berupa injeksi ondansentron.
Ondansentron sebagai suatu antagonis reseptor serotonin yang biasa digunakan
sebagai anti emetik dan untuk mencegah terjadinya mual atau muntah.
Faktor risiko AKI pada pengaturan perioperatif termasuk gangguan ginjal yang
sudah ada sebelumnya, diabetes mellitus, penyakit kardiovaskular, hipovolemia, dan
penggunaan obat yang berpotensi nefrotoksik oleh pasien usia lanjut. Indeks risiko
untuk mengidentifikasi prediktor pra operasi dari AKI setelah operasi umum
( Morgan dan Mikhail’s , 2013).
Indeks risiko cedera ginjal akut untuk pasien yang menjalani operasi umum.
Faktor risiko
o Usia 56 tahun
o Jenis kelamin pria
o Gagal jantung kongestif aktif
o Asites
o Hipertensi
o Operasi darurat
o Pembedahan intraperitoneal
10
o Insufisiensi ginjal—ringan atau sedang
o Diabetes mellitus—terapi oral atau insulin
Klasifikasi Indeks Risiko didasarkan pada jumlah faktor risiko yang ada:
Studi klinis mencoba untuk mendefinisikan efek agen anestesi pada fungsi ginjal
tetapi penelitiannya rumit dan sulit. Namun, beberapa kesimpulan dapat dinyatakan:
1. Penurunan RBF, GFR, urin yang reversible aliran, dan ekskresi natrium terjadi
selama anestesi regional dan umum.
2. Perubahan seperti itu biasanya kurang terasa selama anestesi regional.
3. Sebagian besar perubahan ini bersifat tidak langsung dan bersifat dimediasi oleh
otonom dan hormonal respon terhadap pembedahan dan anestesi.
4. AKI lebih kecil kemungkinannya bila memadai volume intravaskular dan darah
normal tekanan dipertahankan.
5. Tidak ada bukti yang saat ini digunakan agen anestesi uap menyebabkan AKI pada
pasien. Namun, beberapa penelitian telah melaporkan Senyawa produk penguraian
dari sevoflurane, menghasilkan toksisitas ginjal bila diberikan pada laju aliran
rendah di hewan laboratorium.
11
kerusakan ginjal pada hewan laboratorium. Akumulasinya di pernapasan pada laju
aliran yang rendah. Tidak ada studi klinis yang mendeteksi cedera ginjal yang
signifikan pada manusia selama anestesi dengan sevoflurane; Namun,beberapa ahli
merekomendasikan pemberian 02 minimal 2 L/menit dengan sevofl urane untuk
mencegah masalah teoretis ini (Morgan dan Mikhail’s , 2013).
Pada pemberian Agen intravena (Opioid dan propofol) menunjukkan efek
minimal, jika ada pada ginjal bila digunakan sendiri. Ketamine meberikan efek
minimal yang mempengaruhi fungsi ginjal dan mungkin, relatif terhadap agen
anestesi lainnya, menjaga fungsi ginjal selama hipovolemia hemoragik. Agen dengan
Aktivitas penghambatan alfa-adrenergik dapat mencegah redistribusi RBF yang
diinduksi kate kolamin. obat dengan aktivitas antidopaminergik — seperti
metoclopramid, fenotiazin, dan droperidol — dapat mengganggu respon ginjal
terhadap dopamine. Penghambatansintesis prostaglandin oleh NSAID seperti
ketorolac mencegah produksi prostaglandin vasodilatasi pada pasien dengan tingkat
tinggi angiotensin II dan norepinefrin; pelemahan prostaglandin sintesis dalam
pengaturan ini dapat menyebabkan AKI. Ace-inhibitor memblokir efek protektif dari
angiotensin II dan dapat mengakibatkan penurunan GFR selama anestesi (Morgan
dan Mikhail’s , 2013).
APPENDICITIS PERFORASI
Definisi
Apendicitis merupakan peradangan yang terjadi pada appendiks
vermiformis, dan merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering.
Appendicitis dapat disebabkan karena infeksi atau obstruksi pada appendiks.
Obstruksi menyebabkan appendiks menjadi bengkak, perubahan flora normal
dan mudah diinfeksi oleh bakteri. Jika diagnosis lambat ditegakkan, dapat
terjadi perforasi pada appendiks.9
Penyebab
12
Apendisitis sering disebabkan oleh sumbatan lumen yang diikuti oleh
invasi bakteri. Sumbatan terutama disebabkan oleh hiperplasia folikel limfoid
submukosa, fecalith, dan bakteri. Pembesaran folikel-folikel limfoid
disebabkan oleh adanya infeksi virus seperti measles, cacing seperti
pinworms, ascaris dan taenia dan tumor. Hal ini dapat menyebabkan
penyumbatan lumen apendiks terutama pada anak-anak. 10
Manifestasi Klinis
Gejala :
Appendisitis infiltrat didahului oleh keluhan appendisitis akut yang
kemudian disertai adanya massa periapendikular. Gejala klasik apendisitis
akut biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus yang
berhubungan dengan muntah. Dalam 2-12 jam nyeri beralih ke kuadran
kanan, yang akan menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk. Terdapat
juga keluhan anoreksia, malaise, dan demam yang tidak terlalu tinggi.
Biasanya juga terdapat konstipasi tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual
dan muntah. Pada permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen
yang menetap. Namun dalam beberapa jam nyeri abdomen kanan bawah akan
semakin progresif. 11
Tanda :
13
Gambar 2. Lokasi Titik McBurney garis antara umbilicus
dengan SIAS dextra kemudian dibagi 3. 1/3 lateral adalah letak
appendiks.
HIPERTENSI EMERGENSI
DIABETES MELITUS
14
Anestesi Spinal
Definisi
Anestesi spinal ialah pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang
subarackhnoid. Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik
lokal ke dalam ruang subarachnoid. Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga
sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal. Untuk mencapai
cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan menembus kulis subkutis
Lig. Supraspinosum Lig. Interspinosum Lig. Flavum ruang epidural
durameter ruang subarachnoid.6
15
Oleh karena itu, anestesi/analgesi spinal dilakukan ruang sub arachnoid di
daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5.6
Indikasi: 6
1. Bedah ekstremitas bawah
2. Bedah panggul
3. Tindakan sekitar rektum perineum
4. Bedah obstetrik-ginekologi
5. Bedah urologi
16
6. Bedah abdomen bawah
7. Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya
dikombinasikan v dengan anesthesia umum ringan
17
1. Informed consent
Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anesthesia spinal
2. Pemeriksaan fisik
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung
18
hiperbarik. Anastetik lokal dengan berat jenis lebih kecil dari css disebut
hipobarik. Anastetik lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik
diperoleh dengan mencampur anastetik local dengan dextrose. Untuk jenis
hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur
dengan air injeksi.
Anestetik lokal yang paling sering digunakan:
1. Lidokaine(xylobain,lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobarik,
dosis 20-100mg (2-5ml)
2. Lidokaine(xylobain,lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis
1.033, sifat hyperbarik, dosis 20-50 mg (1-2ml)
3. Bupivakaine(markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobarik,
dosis 5-20mg (1-4ml)
4. Bupivakaine(markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027,
sifat hiperbarik, dosis 5-15mg (1-3ml)
Tabel 1. Dosis dan durasi obat yang umum di gunakan pada anestesi
spinal.7
Teknik analgesia spinal
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada
garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya
dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan
sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30
menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral
dekubitus. Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya
19
tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar
processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.
20
aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.
Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor
tidak keluar, putar arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk
analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan kateter.
21
Penyebaran anastetik lokal tergantung:
1. Faktor utama:
a. Berat jenis anestetik lokal (barisitas)
b. Posisi pasien
c. Dosis dan volume anestetik lokal
2. Faktor tambahan
a. Ketinggian suntikan
b. Kecepatan suntikan/barbotase
c. Ukuran jarum
d. Keadaan fisik pasien
e. Tekanan intra abdominal
Lama kerja anestetik lokal tergantung:
1. Jenis anestetia lokal
2. Besarnya dosis
3. Ada tidaknya vasokonstriktor
4. Besarnya penyebaran anestetik lokal
22
Komplikasi tindakan anestesi spinal :
1. Hipotensi berat
Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah
dengan memberikan infus cairan elektrolit 1000ml atau koloid 500ml
sebelum tindakan.
2. Bradikardia
Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia,terjadi akibat blok
sampai T-2
3. Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas
4. Trauma pembuluh saraf
5. Trauma saraf
6. Mual-muntah
7. Gangguan pendengaran
8. Blok spinal tinggi atau spinal total
23
DAFTAR PUSTAKA
24
11. Mansjoer,A., dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Kedua.
Penerbit MediaAesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta.
12. Sandy Craig. 2018. Appendicitis. Diakses melalui :
https://emedicine.medscape.com/article/773895-overview#a2.
13. Hardin DM. Acute Appendicitis: Review and Update. American Academy of
Family Physician News and Publication. 1999;60: 2027-34. Retrieved at
th
October 20 2011. From: http://www.aafp.org/afp/991101ap/2027.html
25