Anda di halaman 1dari 60

Laporan Kasus

G2P0A1H0 (GRAVID 39-40 MINGGU), KETUBAN PECAH DINI,


HIPERTENSI GESTASIONAL + JANIN TUNGGAL HIDUP
INTRAUTERINE, PRESENTASI KEPALA

P1A1H1 POST PARTUM PERVAGINAM DENGAN INDUKSI


PERSALINAN
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................3
2.1 Ketuban Pecah Dini................................................................3
2.1.1 Definisi........................................................................3
2.1.2 Epidemiologi...............................................................3
2.1.3 Faktor Risiko...............................................................3
2.1.4 Patogenesis..................................................................5
2.1.5 Penegakkan Diagnosis................................................8
2.1.6 Tatalaksana................................................................10
2.1.7 Komplikasi................................................................11
2.1.8 Prognosis...................................................................13
2.2 Hipertensi Gestasional..........................................................13
2.2.1 Definisi......................................................................13
2.2.2 Epidemiologi.............................................................14
2.2.3 Faktor Risiko.............................................................14
2.2.4 Etiopatogenesis.........................................................15
2.2.5 Penegakkan Diagnosis..............................................17
2.2.6 Tatalaksana...............................................................17
2.3 Induksi Persalinan.................................................................21
2.3.1 Definisi......................................................................21
2.3.2 Tujuan.......................................................................22
2.3.3 Indikasi......................................................................22
2.3.4 Kontraindikasi...........................................................23
2.3.5 Jenis Induksi Persalinan............................................24
2.3.6 Cara Induksi Persalinan............................................24
2.4 Persalinan Normal.................................................................35
BAB III STATUS PASIEN......................................................................39
BAB IV PEMBAHASAN.........................................................................51
BAB V KESIMPULAN...........................................................................54

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Ketuban pecah dini (KPD) didefinisikan sebagai pecahnya ketuban sebelum


permulaan persalinan. Ketika pecah ketuban terjadi sebelum persalinan dan
sebelum 37 minggu kehamilan, ini disebut sebagai KPD prematur/ preterm
premature rupture of membranes (PPROM). Pada aterm, PROM mempersulit
sekitar 8% kehamilan. KPD prematur memperumit sekitar 1% persalinan secara
keseluruhan, dan ini dua kali lipat lebih sering terjadi pada orang Afrika-
Amerika.1
Ada beragam mekanisme yang menyebabkan ketuban pecah sebelum
persalinan. Hal ini dapat terjadi akibat melemahnya fisiologis membran
dikombinasikan dengan kekuatan yang disebabkan oleh kontraksi uterus. Infeksi
intramniotik umumnya terkait dengan PPROM. Faktor risiko utama PPROM
termasuk riwayat PPROM, panjang serviks pendek, perdarahan vagina trimester
kedua atau ketiga, overdistensi uterus, defisiensi nutrisi tembaga dan asam
askorbat, gangguan jaringan ikat, indeks massa tubuh rendah, status sosial
ekonomi rendah, merokok, dan penggunaan obat-obatan terlarang. Meskipun
berbagai etiologi, seringkali tidak ada penyebab yang jelas yang diidentifikasi
pada pasien yang datang dengan KPD.1
Ketuban pecah sebelum persalinan membutuhkan perhatian
segera. Diagnosis yang akurat dan pengetahuan tentang usia kehamilan sangat
penting untuk menentukan manajemen pasien.2,3 Ketuban pecah dini pada
kehamilan aterm yaitu kehamilan > 37minggu penatalaksanaan berupa
penanganan aktif yaitu induksi dengan oksitosin, bila gagal induksi dilanjutkan
dengan seksio sesaria. Dapat pula diberikan misoprostol 25-50µg intravaginal tiap
6 jam maksimal 4 kali. Bila skor pelvik <5 lakukan pematangan serviks kemudian
induksi, jika skor pelvik >5 induksi persalinan.
Induksi persalinan yaitu suatu tindakan yang dilakukan terhadap ibu hamil
yang belum dalam persalinan untuk merangsang terjadinya persalinan. Induksi

1
persalinan terjadi antara 10% sampai 20% dari seluruh persalinan dengan indikasi
ibu maupun bayinya. Induksi persalinan banyak yang mengalami kegagalan atau
berakhir dengan tindakan persalinan perabdominal oleh karena beberapa faktor
yang mempengaruhinya yaitu antara lain: presentasi janin, kedudukan terendah
janin atau penurunan presentasi janin, paritas ibu dibandingkan dengan
primigravida induksi persalinan pada multigravida akan lebih berhasil karena
serviks sudah terbuka, umur ibu juga dapat mempengaruhi keberhasilan induksi
persalinan,spasing atau usia anak terakhir dan kondisi serviks yang belum
matang.4
Hipertensi adalah masalah yang paling sering dalam kehamilan. Hipertensi
merupakan 5-10% komplikasi dalam kehamilan dan merupakan salah satu dari
penyebab kematian tersering selain perdarahan dan infeksi, serta memberikan
kontribusi pada morbiditas dan mortalitas ibu hamil. Lima penyebab kematian ibu
terbesar di Indonesia diantaranya adalah karena hipertensi dalam kehamilan
(Kemenkes RI, 2014, 2015, 2016, 2018).
Hipertensi gestasional adalah hipertensi yang terjadi setelah 20 minggu
kehamilan tanpa proteinuria. Angka kejadiannya sebesar 6%. Sebagian wanita (>
25%) berkembang menjadi pre-eklampsia. Hipertensi gestasional berat adalah
kondisi peningkatan tekanan darah > 160/110 mmHg. Tekanan darah baru
menjadi normal pada post partum.14,15
Hipertensi pada kehamilan harus dikelola dengan baik agar dapat
menurunkan angka morbiditas dan mortalitas ibu / janin, yaitu dengan
menghindarkan ibu dari risiko peningkatan tekanan darah, mencegah
perkembangan penyakit, dan mencegah timbulnya kejang dan pertimbangan
terminasi kehamilan jika ibu atau janin dalam keadaan bahaya (Mudjari and
Samsu, 2015). Kelahiran bayi adalah pengobatan yang pasti, tetapi perlu
mempertimbangkan kesehatan ibu, janin, usia kehamilan. Menurut ACC/AHA
2017 dan ESC/ESH 2018 obat antihipertensi pada kehamilan yang
direkomendasikan hanya labetalol, methyldopa dan nifedipine, sedangkan yang
dilarang adalah ACE inhibitor, ARB dan direct renin inhibitors.14,15

2
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ketuban Pecah Dini
2.1.1. Definisi4
Ketuban Pecah Dini (amniorrhexis – premature rupture of the
membrane/PROM) adalah pecahnya selaput korioamniotik sebelum
terjadi proses persalinan. Secara klinis diagnosa KPD ditegakkan bila
seorang ibu hamil mengalami pecah selaput ketuban dan dalam waktu
satu jam kemudian tidak terdapat tanda awal persalinan, dengan
demikian untuk kepentingan klinis waktu 1 jam tersebut merupakan
waktu yang disediakan untuk melakukan pengamatan adanya tanda-
tanda awal persalinan.
Bila ketuban pecah dini terjadi sebelum usia kehamilan 37
minggu maka disebut ketuban pecah dini pada kehamilan prematur
atau disebut juga Preterm Premature Rupture of the Membranes
(PPROM). Sedangkan apabila ketuban pecah dini terjadi pada atau
setelah usia kehamilan 37 minggu disebut juga Premature Rupture of
the Membranes (PROM).

2.1.2. Epidemiologi5
Pada keadaan normal 8-10% perempuan hamil aterm akan
mengalami KPD. KPD preterm terjadi 1% dari seluruh kehamilan.
KPD preterm menyebabkan terjadinya 1/3 persalinan preterm dan
merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas perinatal.

2.1.3. Faktor Risiko4,6


a. Inkompetensia serviks
Inkompetensia serviks adalah kelainan pada otot-otot leher
atau leher rahim (serviks) yang terlalu lunak dan lemah, sehingga
sedikit membuka ditengah-tengah kehamilan karena tidak mampu
menahan desakan janin yang semakin besar. Serviks memiliki

4
suatu kelainan anatomi yang nyata, yang bisa disebabkan laserasi
sebelumnya melalui ostium uteri atau merupakan suatu kelainan
kongenital pada serviks sehingga memungkinkan terjadinya dilatasi
berlebihan tanpa perasaan nyeri dan mules dalam masa kehamilan
trimester kedua atau awal trimester ketiga yang diikuti dengan
penonjolan dan robekan selaput janin serta keluarnya hasil
konsepsi.
b. Peninggian tekanan inta uterin
Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara
berlebihan dapat menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini.
Misalnya:
 Trauma: hubungan seksual, pemeriksaan dalam, amniosintesis
 Gemelli
c. Kehamilan kembar
Suatu kehamilan dua janin atau lebih. Pada kehamilan gemelli
terjadi distensi uterus yang berlebihan, sehingga menimbulkan
adanya ketegangan rahim secara berlebihan. Hal ini terjadi karena
jumlahnya berlebih, isi rahim yang lebih besar dari kantung
(selaput ketuban) relatif kecil sedangkan dibagian bawah tidak ada
yang menahan sehingga mengakibatkan selaput ketuban tipis dan
mudah pecah.
d. Makrosomia
Makrosomia adalah berat badan neonatus >4000gr. Kehamilan
dengan makrosomia menimbulkan distensi uterus yang meningkat
atau over distensi dan menyebabkan tekanan pada intra uterin
bertambah sehingga menekan selaput ketuban, manyebabkan
selaput ketuban menjadi teregang, tipis, dan kekuatan membrane
menjadi berkurang, menimbulkan selaput ketuban mudah pecah.
e. Hidramnion
Hidramnion atau polihidramnion adalah jumlah cairan amnion
>2000mL. Uterus dapat mengandung cairan dalam jumlah yang

5
sangat banyak. Hidramnion kronis adalah peningakatan jumlah
cairan amnion terjadi secara berangsur-angsur. Hidramnion akut,
volume tersebut meningkat tiba-tiba dan uterus akan mengalami
distensi nyata dalam waktu beberapa hari saja.
f. Kelainan letak
Kelainan letak misalnya lintang, sehingga tidak ada bagian
terendah yang menutupi pintu atas panggul (PAP) yang dapat
menghalangi tekanan terhadap membran bagian bawah.
g. Penyakit infeksi
Infeksi yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban
maupun ascenden dari vagina atau infeksi pada cairan ketuban bisa
menyebabkan terjadinya KPD. Penelitian menunjukkan infeksi
sebagai penyebab utama ketuban pecah dini. Membrana
korioamniotik terdiri dari jaringan viskoelastik. Apabila jaringan
ini dipacu oleh persalinan atau infeksi maka jaringan akan menipis
dan sangat rentan untuk pecah disebabkan adanya aktivitas enzim
kolagenolitik. Infeksi merupakan faktor yang cukup berperan pada
persalinan preterm dengan ketuban pecah dini. Grup B
streptococcus mikroorganisme yang sering menyebabkan
amnionitis.
2.1.4. Patogenesis7
Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan
oleh kontraksi uterus dan peregangan berulang. Selaput ketuban
pecah karena pada daerah tertentu terjadi perubahan biokimia yang
menyebabkan selaput ketuban inferior rapuh, bukan karena seluruh
selaput ketuban rapuh. Terdapat ketidakseimbangan antara sintesis
dan degradasi matriks ekstraselular. Perubahan struktur, jumlah sel
dan katabolisme kolagen menyebabkan aktivitas kolagen berubah
dan menyebabkan selaput ketuban pecah. Degradasi kolagen
dimediasi oleh matriks metalloproteinase (MMP) yang dihambat
oleh inhibitor jaringan spesifik dan inhibitor protease. Mendekati

6
waktu persalinan, keseimbangan antara MMP dan tissue inhibitors
metallo proteinase-1 (TIMP-1) mengarah pada degradasi proteolitik
dari matriks ekstraselular dan membran janin. Aktivitas degradasi
proteolitik ini meningkat menjelang persalinan.
Selaput ketuban sangat kuat pada kehamilan muda. Pada
trimester ketiga selaput ketuban mudah pecah. Melemahnya
kekuatan selaput ketuban ada hubungannya dengan pembesaran
uterus, kontraksi rahim, serta gerakan janin. Pada trimester terakhir
terjadi perubahan biokimia pada selaput ketuban sehingga
pecahnya ketuban pada kehamilan aterm merupakan hal fisiologis.
Ketuban pecah dini pada kehamilan preterm disebabkan oleh
adanya faktor-faktor eksternal misalnya infeksi yang menjalar dari
vagina. Disamping itu ketuban pecah dini preterm juga sering
terjadi pada polihidramnion, inkompeten servik, serta solusio
plasenta. Banyak teori, mulai dari defek kromosom, kelainan
kolagen, sampai infeksi. Pada sebagian besar kasus ternyata
berhubungan dengan infeksi (sampai 65%). Termasuk diantaranya:
high virulensi yaitu Bacteroides, dan low virulensi yaitu
Lactobacillus.
Kolagen terdapat pada lapisan kompakta ketuban, fibroblast,
jaringan retikuler korion dan trofoblas. Sintesis maupun degradasi
jaringan kolagen dikontrol oleh sistem aktifas dan inhibisi
interleukin-1 (iL-1) dan prostaglandin. Jika ada infeksi dan
inflamasi, terjadi peningkatan aktifitas iL-1 dan prostaglandin,
menghasilkan kolagenase jaringan, sehingga terjadi depolimerasi
kolagen pada selaput korion/amnion, menyebabkan ketuban tipis,
lemah dan mudah pecah spontan.
Mekanisme terjadinya KPD dimulai dengan terjadi
pembukaan premature serviks, lalu kulit ketuban mengalami
devaskularisasi. Setelah kulit ketuban mengalami devaskularisasi
selanjutnya kulit ketuban mengalami nekrosis sehingga jaringan

7
ikat yang menyangga ketuban makin berkurang. Melemahnya daya
tahan ketuban dipercepat dengan adanya infeksi yang
mengeluarkan enzim
yaitu enzim proteolitik dan kolegenase yang diikuti oleh ketuban
pecah spontan.
KPD juga dapat terjadi karena berkurangnya kekuatan membran
dan peningkatan tekanan intra uterin ataupun karena sebab keduanya.
Kemungkinan tekana intra uterin yang kuat adalah penyebab KPD dan
selaput ketuban yang tidak kuat dikarenakan kurangnya jaringan ikat
dan vaskularisasi akan mudah pecah dengan mengeluarkan air ketuban.
Hubungan serviks inkompeten dengan kejadian KPD adalah
bahwa serviks yang inkompeten adalah leher rahim yang tidak
memiliki kelenturan sehingga tidak kuat menahan kehamilan. Selain
karena infeksi dan tekanan intrauterin yang kuat, hubungan seksual
pada kehamilan tua berpengaruh terhadap terjadinya KPD karena
pengaruh prostaglandin yang terdapat dalam sperma dapat
menimbulkan kontraksi, tetapi bisa juga karena faktor trauma saat
berhubungan seksual. Pada kehamilan ganda juga dapat menyebabkan
KPD karena uterus yang meregang berlebihan yang disebabkan oleh
besarnya janin, dua plasenta dan jumlah air ketuban yang lebih banyak.

8
Gambar 1. Patogenesis KPD
2.1.5. Penegakkan Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratorium.
Anamnesis
Dari anamnesis dapat menegakkan 90% dari diagnosis. Kadang
kala cairan seperti urin dan vaginal discharge bisa dianggap cairan
amnion. Penderita merasa basah pada vaginanya atau mengeluarkan
cairan banyak dari jalan lahir.
Pemeriksaan Fisik
 Pemeriksaan Inspekulo
Merupakan langkah pertama untuk mendiagnosis KPD karena
pemeriksaan dalam seperti vaginal toucher dapat meningkatkan
resiko infeksi. Yang dinilai pada saat inspekulo adalah:

9
- Keadaan umum dari serviks, juga dinilai dilatasi dan
perdarahan dari serviks. Dilihat juga prolapsus tali pusat atau
ekstremitas janin. Bau dari amnion yang khas juga harus
diperhatikan.
- Pooling pada cairan amnion dari forniks posterior mendukung
diangnosis KPD. Melakukan perasat valsava atau menyuruh
pasien untuk batuk untuk memudahkan melihat pooling.
- Cairan amnion di konfirmasikan dengan menggunakan
nitrazine test. Kertas lakmus akan berubah menjadi biru jika
PH 6–6,5. Sekret vagina ibu memiliki PH 4–5, dengan kerta
nitrazin ini tidak terjadi perubahan warna. Kertas nitrazin ini
dapat memberikan positif palsu jika tersamarkan dengan darah,
semen atau vaginisis trichomiasis.
Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan alpha – fetoprotein (AFP), konsentrasinya tinggi
didalam cairan amnion tetapi tidak dicairan semen dan urin.
 Mikroskopis (tes pakis)
Jika terdapat pooling dan tes nitrazin masih samar dapat
dilakukan pemeriksaan mikroskopis dari cairan yang diambil dari
forniks posterior. Cairan diswab dan dikeringkan diatas gelas
objek dan 53 dilihat dengan mikroskop. Gambaran “ferning”
menandakan cairan amnion.

10
Gambar 2. Gambaran “Ferning” pada Tes Pakis

 Kultur Mikroorganisme
Dilakukan juga kultur dari swab untuk chlamydia, gonnorhea,
dan stretococcus group B.
 Pemeriksaan USG
Pemeriksan penunjang dengan USG untuk membantu dalam
menentukan usia kehamilan, letak janin, berat janin, letak plasenta
serta jumlah air ketuban dalam kavum uteri. Pada kasus ketuban
pecah dini terlihat jumlah cairan ketuban yang sedikit. Wanita
dengan KPD preterm sekitar 50-70% menunjukan gambaran
oligohidroamnion dengan tidak adanya “single pocket” cairan
ketuban yang lebih dari 2 cm dan indeks cairan amnion (AFI)
≤5cc.

2.1.6. Tatalaksana8
Penatalaksanaan ketuban pecah dini tergantung pada umur
kehamilan dan tanda infeksi intrauterin. Pasien dengan ketuban pecah
dini umumnya lebih baik untuk dibawa ke rumah sakit dan melahirkan
bayi yang usia gestasinya >37 minggu dalam 24 jam dari pecahnya
ketuban untuk memperkecil resiko infeksi intrauteri.
Penatalaksanaan konservatif ketuban pecah dini pada kehamilan
preterm antara lain:

a. Rawat di rumah sakit, ditidurkan dalam trendelenburg position,


tidak perlu dilakukan pemeriksaan dalam mencegah terjadinya
infeksi dan kehamilan diusahakan mencapai 37 minggu.
b. Berikan antibiotika (ampisilin 4×500mg atau eritromisin bila
tidak tahan ampisilin) dan metronidazol 2×500mg selama 7 hari.

11
c. Jika umur kehamilan <32-34 minggu dirawat selama air ketuban
masih keluar, atau sampai air ketuban tidak keluar lagi.
d. Pada usia kehamilan 32-37 minggu berikan steroid, untuk
memacu kematangan paru janin, dan kalau memungkinkan
periksa kadar lesitin dan spingomielin tiap minggu. Betametason
12 mg sehari dosis tunggal selama 2 hari atau deksametason 6 mg
sebanyak 4 dosis intramuskular dengan interval 12 jam.
e. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, belum partu, tidak ada infeksi,
tes busa negatif beri deksametason, observasi tanda-tanda infeksi,
dan kesejahteraan janin. Terminasi pada kehamilan 37 minggu.
f. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, sudah inpartu, tidak ada
infeksi, berikan tokolitik (salbutamol), deksametason dan induksi
sesudah 24 jam.
g. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, ada infeksi, beri antibiotik
dengan rejimen ampisilin 2g intravena setiap 6 jam selama 48
jam, diikuti oleh amoksisilin (500mg per oral tiga kali sehari atau
875mg secara oral dua kali sehari) selama lima hari dan lakukan
induksi.
h. Nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda infeksi
intrauterin).
Sedangkan ketuban pecah dini pada kehamilan aterm
penatalaksanaan berupa penanganan aktif, antara lain:

a. Kehamilan > 37 minggu, induksi dengan oksitosin, bila gagal


seksio sesaria. Dapat pula diberikan misoprostol 25-50µg
intravaginal tiap 6 jam maksimal 4 kali.
b. Bila ada tanda-tanda infeksi, berikan antibiotika dosis tinggi, dan
persalinan di akhiri:
• Bila skor pelvik <5 lakukan pematangan serviks kemudian
induksi. Jika tidak berhasil akhiri persalinan dengan seksio
sesaria.

12
• Bila skor pelvik >5 induksi persalinan, partus pervaginam.

2.1.7. Komplikasi
 Komplikasi Ibu:

- Endometritis
- Penurunan aktifitas miometrium (distonia, atonia)
- Sepsis (daerah uterus dan intramnion memiliki vaskularisasi
sangat banyak)
- Syok septik sampai kematian ibu
 Komplikasi Janin

- Asfiksia janin
- Sepsis perinatal sampai kematian janin.
Komplikasi yang timbul akibat KPD bergantung pada usia
kehamilan. Dapat terjadi infeksi maternal maupun neonatal, persalinan
prematur, hipoksia karena kompresi tali pusat, deformitas janin,
meningkatnya insiden seksio sesaria atau gagalnya persalinan normal.
a. Persalinan Prematur
Setelah ketuban pecah biasanya segera disusul oleh persalinan.
Periode laten tergantung umur kehamilan. Pada kehamilan aterm
90% terjadi dalam 24 jam setelah ketuban pecah. Pada kehamilan
antara 28-34 minggu persalinan dalam 24 jam. Pada kehamilan
kurang dari 26 minggu persalinan terjadi dalam 1 minggu.
b. Infeksi
Resiko infeksi ibu dan anak meningkat pada KPD. Pada ibu
terjadi korioamnionitis. Pada bayi dapat terjadi septicemia,
pneumonia, omfalitis. Umumnya terjadi korioamnionitis sebelum
janin terinfeksi. Pada Ketuban Pecah Dini prematur, infeksi lebih
sering daripada aterm. Secara umum insiden infeksi sekunder pada

13
Ketuban Pecah Dini meningkat sebanding dengan lamanya periode
laten.
c. Hipoksia dan Asfiksia
Dengan pecahnya ketuban terjadi oligohidramnion yang
menekan tali pusat hingga terjadi asfiksia atau hipoksia. Terdapat
hubungan antara terjadinya gawat janin dan oligohidramnion,
semakin sedikit air ketuban, janin semakin gawat.

d. Sindrom Deformitas Janin


Ketuban Pecah Dini yang terjadi terlalu dini menyebabkan
pertumbuhan janin terhambat, kelainan disebabkan oleh kompresi
muka dan anggota badan janin serta hipoplasi pulmonari.

2.1.8. Prognosis
Prognosis pada ketuban pecah dini sangat bervariatif tergantung
pada:
 Usia kehamilan
 Adanya infeksi / sepsis
 Faktor resiko / penyebab
 Ketepatan diagnosis awal dan penatalaksanaan
Prognosis dari KPD tergantung pada waktu terjadinya, lebih cepat
kehamilan, lebih sedikit bayi yang dapat bertahan. Bagaimanapun,
umumnya bayi yang lahir antara 34 dan 37 minggu mempunyai
komplikasi yang tidak serius dari kelahiran prematur.

2.2 Hipertensi Gestasional


2.2.1. Definisi9
Hipertensi gestasional didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik
>140 mmHg atau tekanan darah diastolik >90 mmHg, atau keduanya,
pada dua pemeriksaan setidaknya 4 jam terpisah setelah usia kehamilan
20 minggu pada wanita dengan tekanan darah yang sebelumnya normal.
Hipertensi gestasional dianggap berat ketika tingkat sistolik mencapai

14
160 mm Hg atau tingkat diastolik mencapai 110 mm Hg, atau
keduanya.
Hipertensi gestasional terjadi ketika hipertensi tanpa proteinuria
atau kejadian berat berkembang setelah usia kehamilan 20 minggu dan
tekanan darah tingkat kembali normal pada periode postpartum. Hingga
50% wanita dengan hipertensi gestasional pada akhirnya akan
mengembangkan proteinuria atau disfungsi organ akhir lainnya yang
konsisten dengan diagnosis preeklamsia, dan perkembangan ini lebih
mungkin terjadi ketika hipertensi didiagnosis sebelum 32 minggu
kehamilan.

2.2.2. Epidemiologi
Gangguan hipertensi dalam kehamilan adalah salah satu penyebab
utama kematian ibu, bersama dengan tromboemboli, perdarahan dan
cedera nonobstetrik. Antara 2011 dan 2013, hipertensi yang diinduksi
kehamilan menyebabkan 7,4% kematian ibu di Amerika Serikat. 10
Hipertensi gestasional diperkirakan mempengaruhi 7-10% dari semua
kehamilan di Amerika Serikat.9

2.2.3. Faktor Risiko11


a. Hubungan peningkatan usia maternal terhadap hipertensi
kehamilan adalah sama, dan meningkat lagi saat usia diatas 35
tahun. Hipertensi karena kehamilan paling sering mengenai wanita
tua. Telah dilaporkan di RSUP Dr. Kariadi Semarang pada tahun
2008, bahwa wanita diatas 35 tahun mengalami hipertensi dalam
kehamilan dengan 29 kehamilan mengalami preeklamsia berat, 22
preeklamsia ringan, 3 eklamsia, 7 superimpose preeklamsia, 11
hipertensi gestasional dan 4 hipertensi kronis.
b. Graviditas merupakan jumlah dari kehamilan terlepas dari usia
kehamilan. Catatan statistik menunjukkan dari seluruh insiden
dunia, dalam 5%-8% hipertensi dalam kehamilan dari semua
kehamilan, terdapat lebih dari 12% dikarenakan oleh primigravida

15
(kehamilan pertama). Faktor yang mempengaruhi hipertensi dalam
kehamilan frekuensi primigravida lebih tinggi bila dibandingkan
dengan multigravida, terutama primigravida muda. Persalinan yang
berulang-ulang akan mempunyai banyak risiko terhadap
kehamilan, telah terbukti bahwa persalinan kedua dan ketiga adalah
persalinan yang paling aman.
c. Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah salah satu pengukuran
antropometri dengan rasio berat badan dan tinggi badan untuk
penilaian status gizi. Peningkatan IMT sangat erat kaitannya
dengan terjadinya hipertensi ringan dan atau preeklamsia. Dari
hasil penelitian terdahulu pada tahun 2010 terhadap primigravida,
didapatkan hasil yang signifikan antara obesitas dengan kejadian
hipertensi dalam kehamilan.
2.2.4. Etiopatogenesis12
 Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
Pada hipertensi dalam kehamilan terjadi kegagalan
remodelling arteri spiralis sehingga mengakibatkan iskemia
plasenta. Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan
menghasilkan oksidan atau radikal bebas. Radikal bebas akan
merusak membran sel yang mengandung banyak asam lemak tidak
jenuh menjadi proksida lemak. Peroksida lemak akan merusak
membran sel, nukleus, dan protein sel endotel.12
Sel endotel yang terpapar oleh peroksida lemak akan
mengalami kerusakan sel endotel yang dimail dari kerusakan pada
membran sel endotel. Hal ini mengakibatkan terjadinya disfungsi
sel endotel. Pada waktu terjadi disungsi sel endotel maka akan
terjadi:
- Gangguan metabolisme prostaglandin sehingga menyebabkan
menurunnya produksi prostasiklin (PGE2) yang merupakan
vasodilator kuat.

16
- Agregrasi trombosit pada daerah endotel yang mengalami
kerusakan. Agregrasi trombosit memproduksi tromboksan
(TXA2) suatu vasokonstriktor kuat.
- Perubahan khas sel endotel pada kapiler glomerulus.
- Peningkatan permeabilitas kapiler.
- Peningkatan produksi bahan-bahan vasopressor yaitu
endothelin. Kadar NO menurun sedangkan endotelin meningkat.
- Peningkatan faktor koagulasi.
 Toleransi imunologis yang bersifat maladaptif diantara jaringan
maternal, paternal (plasental), dan fetal
Dugaan bahwa faktor imunologik berperan terhadap terjadinya
hipertensi dalam kehamilan terbukti dengan fakta sebagai berikut:
- Primigravida mempunyai risiko lebih besar terjadinya
hipertensi dalam kehamilan jika dibandingkan dengan
multigravida.
- Ibu multipara yang kemudian menikah lagi mempunyai risiko
lebih besar terjadinya hipertensi dalam kehamilan jika
dibandingkan dengan suami sebelumnya.
- Seks oral mempunyai risiko lebih rendah terjadinya hipertensi
dalam kehamilan.
Pada perempuan hamil normal, respon imun tidak menolak
adanya hasil konsepsi yang bersifat asing. Hal ini disebabkan
adanya human leukocyte antigen protein G (HLA-G) yang berperan
penting dalam modulasi respon imun, sehingga si ibu tidak
menolak hasil konsepsi (plasenta). Adanya HLA-G pada plasenta
dapat melindungi trofoblas janin dari lisis sel Natural Killer (NK)
ibu.
Selain itu adanya HLA-G akan mempermudah invasi sel
trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu. Jadi HLA-G merupakan
prakondisi untuk terjadinya invasi trofoblas ke dalam jaringan
deisuda ibu, di samping untuk menghadapi sel Natural Killer. Pada

17
plasenta hipertensi dalam kehamilan, terjadinya penurunan ekspresi
HLA-G. Berkurangnya HLA-G di desidua daerah plasenta
mengakibatkan terhambatnya invasi trofoblas ke dalam desidua.
Invasi trofoblas sangat penting agar jaringan desidua menjadi
lunak, gembur sehingga memudahkan terjadinya dilatasi arteri
spiralis. HLA-G juga merangsang produksi sitokin, sehingga
memudahkan terjadinya reaksi inflamasi.
 Maladaptasi maternal terhadap perubahan kardiovaskular atau
inflamatorik yang terjadi pada kehamilan normal
Pada hamil normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan-
bahan vasopresor. Pada kehamilan normal terjadinya refrakter
pembuluh darah terhadap bahan vasopressor adalah akibat
dilindungi oleh adanya sintesis prostaglandin oleh sel endotel
pembuluh darah. Hal ini dibuktikan bahwa daya refrakter terhadap
bahan vasopressor akan hilang bila diberi prostaglandin sintesa
inhibitor. Prostaglandin ini dikemudian hari ternyata adalah
prostaskilin.
Pada hipertensi dalam kehamilan kehilangan daya refrakter
terhadap bahan vasokonstriktor dan ternyata terjadi peningkatan
kepekaan terhadap bahan-bahan vasopressor. Artinya daya
refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopressor hilang
sehingga pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahan
vasopressor.

2.2.5. Penegakkan Diagnosis


Berdasarkan American Society of Hypertension ibu diberi
kesempatan duduk tenang dalam 15 menit sebelum dilakukan
pengukuran tekanan darah pemeriksaan. Pengukuran dilakukan pada
posisi duduk. Posisi manset setingkat dengan jantung, dan tekanan
diastolik diukur dengan mendengar bunyi korotkoff V (hilangnya
bunyi). Ukuran manset yang sesuai dan kalibrasi alat juga senantiasa
diperlukan agar tercapai pengukuran tekanan darah yang tepat.

18
Pemeriksaan tekanan darah pada wanita dengan hipertensi kronik harus
dilakukan pada kedua tangan, dengan menggunakan hasil pemeriksaan
yang tertinggi.
Diagnosa hipertensi gestasional ditegakkan pada ibu hamil yang
memiliki tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih untuk pertama kalinya
pada masa kehamilan namun tidak ditemukan proteinuria. Hipertensi
gestasional disebut hipertensi transient bila tidak berkembang menjadi
preeklamsi dan tekanan darah kembali normal setelah 12 minggu post-
partum.13

2.2.6. Tatalaksana7,12
 Pengobatan Hipertensi Akut pada Kehamilan
Hipertensi berat akut pada kehamilan adalah keadaan darurat
medis yang memerlukan pengobatan untuk menurunkan tekanan
darah dalam waktu 30 menit setelah konfirmasi untuk mengurangi
risiko stroke ibu. Menurut Opini Komite ACOG Februari 2015
#623 “Terapi Darurat untuk Onset Akut, Hipertensi Berat Selama
Kehamilan dan Periode Pasca Melahirkan”, pilihan lini pertama
untuk pengobatan termasuk nifedipin oral, labetalol IV, dan
hidralazin IV.
 Tirah baring dan rawat inap
Wanita dengan hipertensi yang memburuk selama kehamilan
sering ditempatkan di tempat tidur atau aktivitas terbatas, meskipun
tidak ada bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa ini bermanfaat
dalam memperpanjang kehamilan atau mengurangi
morbiditas/mortalitas ibu atau janin. Wanita dengan hipertensi dan
dugaan preeklamsia biasanya dirawat di rumah sakit untuk
observasi dan penyelidikan yang ketat.
 Pertimbangan farmakologis
Meskipun risiko utama hipertensi kronis pada kehamilan
adalah perkembangan superimposed preeklamsia, tidak ada bukti

19
yang menunjukkan bahwa pengobatan farmakologis hipertensi
ringan mengurangi kejadian preeklamsia pada populasi ini. Sebuah
studi oleh Magee et al yang menganalisis 987 wanita pada usia
kehamilan 14 hingga 34 minggu untuk menguji hasil dari kontrol
hipertensi yang kurang ketat vs. ketat menemukan bahwa meskipun
tingkat hasil primer serupa, hipertensi berat (≥160/110 mm Hg)
berkembang pada frekuensi yang lebih tinggi pada kelompok
kontrol yang kurang ketat (40,6% vs 27,5%).
Pada kehamilan normal, tekanan arteri rata-rata wanita turun
10-15 mmHg selama paruh pertama kehamilan. Kebanyakan
wanita dengan hipertensi kronis ringan (yaitu, tekanan darah
sistolik 140-160 mmHg, tekanan darah diastolik 90-100 mmHg)
memiliki penurunan tekanan darah yang serupa dan mungkin tidak
memerlukan obat apa pun selama periode ini. Sebaliknya, tekanan
darah diastolik lebih besar dari 110 mm Hg telah dikaitkan dengan
peningkatan risiko solusio plasenta dan pembatasan pertumbuhan
intrauterin, dan tekanan darah sistolik lebih besar dari 160 mmHg
meningkatkan risiko perdarahan intraserebral ibu. Oleh karena itu,
pasien hamil harus memulai terapi antihipertensi jika tekanan darah
diastolik lebih besar dari 160 mmHg atau DBP lebih besar dari
100-105 mmHg.
Tujuan atau target pengobatan farmakologis yaitu tekanan
darah diastolik harus menjadi kurang dari 100-105 mmHg dan
tekanan darah sistolik kurang dari 160 mmHg. Wanita dengan
kerusakan organ akhir yang sudah ada sebelumnya dari hipertensi
kronis harus memiliki ambang batas yang lebih rendah untuk
memulai pengobatan antihipertensi (yaitu> 139/89) dan target
tekanan darah yang lebih rendah (< 140/90).
European Society of Cardiology (ESC) guidelines 2010
merekomendasikan pemberian antihipertensi pada tekanan darah
sistolik ≥ 140 mmHg atau diastolik ≥ 90 mmHg pada wanita

20
dengan hipertensi gestasional, hipertensi kronik superimposed,
hipertensi dengan gejala atau kerusakan organ subklinis pada usia
kehamilan berapa pun. Pada keadaan lain, pemberian antihipertensi
direkomendasikan bila tekanan darah ≥ 150/95 mmHg.
- Calcium Channel Blocker
Calcium channel blocker bekerja pada otot polos arteriolar dan
menyebabkan vasodilatasi dengan menghambat masuknya kalsium
ke dalam sel. Berkurangnya resistensi perifer akibat pemberian
calcium channel blocker dapat mengurangi afterload, sedangkan
efeknya pada sirkulasi vena hanya minimal. Pemberian calcium
channel blocker dapat memberikan efek samping maternal,
diantaranya takikardia, palpitasi, sakit kepala, flushing, dan edema
tungkai akibat efek lokal mikrovaskular serta retensi cairan.
Nifedipin merupakan salah satu calcium channel blocker yang
sudah digunakan sejak dekade terakhir untuk mencegah persalinan
preterm (tokolisis) dan sebagai antihipertensi. Berdasarkan RCT,
penggunaan nifedipin oral menurunkan tekanan darah lebih cepat
dibandingkan labetalol intravena, kurang lebih 1 jam setelah awal
pemberian. Nifedipin selain berperan sebagai vasodilator arteriolar
ginjal yang selektif dan bersifat natriuretik, dan meningkatkan
produksi urin.
Regimen yang direkomendasikan adalah 10 mg kapsul oral,
diulang tiap 15 – 30 menit, dengan dosis maksimum 30 mg.
Penggunaan berlebihan calcium channel blocker dilaporkan dapat
menyebabkan hipoksia janin dan asidosis. Hal ini disebabkan
akibat hipotensi relatif setelah pemberian calcium channel blocker.
- Beta Blocker
Labetalol memiliki onset kerja yang lebih cepat, dapat
diberikan secara oral atau parenteral, dan umumnya lebih disukai
sebagai agen lini pertama. Satu studi retrospektif kasus-kontrol
kecenderungan-skor yang cocok mengevaluasi hubungan antara

21
paparan trimester akhir terhadap blokade beta-adrenergik dengan
labetalol, metoprolol, dan atenolol. Ada hubungan kecil antara
labetalol dan hipoglikemia neonatal pada kelompok terpajan adalah
4,3% vs. 1,2% pada kelompok yang tidak terpajan skor
kecenderungan.
Labetalol adalah obat yang ditoleransi dengan baik dan efektif
yang masih dapat dianggap sebagai agen lini pertama, dan seperti
obat ibu lainnya, obat ibu harus ditinjau oleh dokter anak untuk
menentukan pemantauan neonatal yang tepat. Jika agen beta-
blocking lainnya diperlukan untuk pengobatan hipertensi untuk
kondisi jantung, nadolol dan metoprolol adalah pilihan yang masuk
akal.
Atenolol merupakan beta-blocker kardioselektif (bekerja pada
reseptor P1 dibandingkan P2). Atenolol dapat menyebabkan
pertumbuhan janin terhambat, terutama pada digunakan untuk
jangka waktu yang lama selama kehamilan atau diberikan pada
trimester pertama, sehingga penggunaannya dibatasi pada keadaan
pemberian anti hipertensi lainnya tidak efektif.
- Metildopa
Metildopa, agonis reseptor alfa yang bekerja di sistem saraf
pusat, adalah obat antihipertensi yang paling sering digunakan
untuk wanita hamil dengan hipertensi. Digunakan sejak tahun
1960, metildopa mempunyai safety margin yang luas (paling
aman). Walaupun metildopa bekerja terutama pada sistem saraf
pusat, namun juga memiliki sedikit efek perifer yang akan
menurunkan tonus simpatis dan tekanan darah arteri. Frekuensi
nadi, cardiac output, dan aliran darah ginjal relatif tidak
terpengaruh. Efek samping pada ibu antara lain letargi, mulut
kering, mengantuk, depresi, hipertensi postural, anemia hemolitik
dan drug-induced hepatitis.

22
Metildopa biasanya dimulai pada dosis 250-500 mg per oral 2
atau 3 kali sehari, dengan dosis maksimum 3 g per hari. Efek obat
maksimal dicapai 4-6 jam setelah obat masuk dan menetap selama
10-12 jam sebelum diekskresikan lewat ginjal. Alternatif lain
penggunaan metildopa adalah intra vena 250-500 mg tiap 6 jam
sampai maksimum 1 g tiap 6 jam untuk krisis hipertensi. Metildopa
dapat melalui plasenta pada jumlah tertentu dan disekresikan di
ASI.
2.3 Induksi Persalinan
2.3.1. Definisi
Induksi persalinan ialah suatu tindakan terhadap ibu hamil yang
belum inpartu, baik secara operatif maupun medicinal, untuk
merangsang timbulnya kontraksi rahim sehingga terjadi persalinan.
Induksi persalinan berbeda dengan akselerasi persalinan, di mana pada
akselerasi persalinan tindakan-tindakan tersebut untuk wanita hamil
yang sudah inpartu. Persalinan induksi merupakan tindakan yang
banyak dilakukan untuk mempercepat proses persalinan. Persalinan
induksi dengan menambah kekuatan dari luar tidak boleh merugikan
ibu dan janinnya dalam usaha menuju well born baby dan well health
mother, sehingga diperlukan indikasi yang tepat, waktu yang baik, dan
disertai evaluasi yang cermat. Disamping itu, untuk menanggapi atau
menghadapi komplikasi dan tindakan lebih lanjut, induksi persalinan
harus dilakukan di rumah sakit yang memiliki fasilitas tindakan operasi.
Tujuan tindakan tersebut ialah mencapai his 3 kali dalam 10 menit,
lamanya 40 detik.

2.3.2. Tujuan
Tujuan melakukan induksi antara lain:
 Mengantisipasi hasil yang berlainan sehubungan dengan kelanjutan
kehamilan.

23
 Untuk menimbulkan aktifitas uterus yang cukup untuk perubahan
serviks dan penurunan janin tanpa menyebabkan hiperstimulasi
uterus atau komplikasi janin
 Agar terjadi pengalaman melahirkan yang alami dan seaman
mungkin dan memaksimalkan kepuasan ibu.

2.3.3. Indikasi
 Kehamilan lewat waktu (postmaturitas)
 Ketuban pecah dini (PROM)
 Janin mati dalam kandungan (IUFD)
 Ibu dengan penyakit sistemik yang diperberat oleh kehamilan
(misalnya preeklampsia berat, diabetes mellitus, gagal ginjal,
gangguan fungsi hati yang berat)

Gambar 3. Indikasi dan Kontraindikasi Induksi Persalinan

2.3.4. Kontraindikasi
 Malposisi dan malpresentasi janin
 Insufisiensi plasenta
 Disproporsi sefalopelvik

24
 Riwayat insisi uterus sebelumnya (ex: seksio sesarea, enukleasi
miom)
 Gestasi janin lebih dari satu
 Makrosomia
 Hidrosefalus berat
 Plasentasi abnormal

Gambar 4. Penjelasan Kontraindikasi Induksi Persalinan

2.3.5. Jenis Induksi Persalinan


- Medicinal
 Infus Oksitosin
 Prostaglandin
 Cairan hipertonik intrauterin
- Manipulatif / Tindakan
 Amniotomi
 Stripping of the Membrane
 Pemakaian rangsangan listrik

25
 Rangsangan pada puting susu

2.3.6. Cara Induksi Persalinan


Induksi partus dapat dilakukan dengan berbagai cara:
a. Secara Medis
 Infus Oksitosin
Dewasa ini telah ada oksitosin sintesis (bebas dari faktor
vasopresin) yaitu sintosinon dan pitosin. Dalam pemberian
oksitosin perlu diingat bahwa enzim oksitosinase yang
diproduksi di plasenta dapat menginaktifkan secara cepat
oksitosin yang diberikan itu. Oksitosinase diperkirakan bekerja
sebagai pelindung kehamilan. Kadar oksitosinase dalam
plasma wanita hamil meningkat dengan tuanya kehamilan
oksitosinase dalam plasma wanita hamil meningkat dengan
tuanya kehamilan dengan kadar yang bervariasi hingga
menimbulkan keadaan kehamilan yang bervariasi pula seperti
abortus iminens, partus prematur dsb. Peranannya dalam klinik
masih tetap belum ditentukan. Agar infuse oksitosin berhasil
dalam menginduksi persalinan dan tidak memberikan penyulit
baik pada ibu maupun janin, maka diperlukan syarat–syarat
sebagai berikut:
- Kehamilan aterm
- Ukuran panggul normal
- Tidak ada CPD
- Janin dalam presentasi kepala
- Servik telah matang (portio lunak, mulai mendatar dan
sudah mulai membuka)
Untuk menilai serviks ini dapat juga dipakai score Bishop,
yaitu bila nilai Bishop lebih dari 8, induksi persalinan
kemungkinan besar akan berhasil.

26
Gambar 5. Skor Bishop
Induksi persalinan lebih mungkin berhasil jika serviks ideal
(favorability). Beberapa teknik telah dievaluasi untuk menilai
kemampuan serviks dan memprediksi kemungkinan keberhasilan
induksi persalinan. Untuk memprediksi keluaran induksi persalinan
digunakan skor Bishop. Favourable cervix adalah serviks dengan skor
bishop >6. Skor bishop >8 menunjukkan kecenderungan yang tinggi
untuk keberhasilan induksi. Sebagian besar praktisi menganggap bahwa
dilatasi servisk 2cm, menipis 80%, lembek, berada diposisi tengah, dan
oksiput janin pada station-1 akan mengalami keberhasilan induksi
persalinan. Skor Bishop <4 menunjukkan serviks yang tidak ideal
(unfavourable) dan mungkin merupakan indikasi untuk pematangan
serviks. Jika skor Bishop >8 maka favourable untuk induksi atau
kemungkinan persalinan pervaginam dengan induksi mirip dengan
persalinan spontan. Skor Bishop <6 dianggap unfavourable untuk
induksi dan diindikasikan untuk cervical ripening (pematangan
serviks).7,8
Teknik infus oksitosin
1. Semalam sebelum infuse oksitosin, hendaknya klien sudah tidur
dengan nyenyak.
2. Pagi harinya penderita diberi pencahar (Kandung kemih dan
rektum dikosongkan)

27
3. Infuse oksitosin hedaknya dikerjakan pada pagi hari dengan
observasi yang baik.
4. Satu ampul 1mL yang mengandung 10 unit biasanya dilarutkan ke
dalam 1000mL larutan kristaloid dan diberikan melalui infus. Infus
yang biasa digunakan mengandung 10 atau 20 unit atau 10,000
sampai 20,000 mU dicampur dalam 1000 mL larutan Ringer laktat.
Campuran ini menghasilkan konsentrasi oksitosin 10 atau 20 mU/
mL, secara berurutan. Untuk menghindari pemberian secara bolus,
infus sebaiknya dimasukkan ke dalam jalur intravena utama yang
dekat dengan tempat penusukan.
5. Timbulnya kontraksi rahim dinilai dalam setiap 15 menit. Bila
dalam waktu 15 menit ini HIS tetap lemah, tetesan dapat dinaikan.
Umumnya tetesan maksimal diperbolehkan sampai mencapai kadar
oksitosin 30-40 tetes/menit, maka berapapun kadar oksitosin yang
dinaikan tidak akan menimbulkan tambahan kekuatan kontraksi
lagi. Sebaiknya infuse oksitosin dihentikan.
6. Penderita dengan infus oksitosin harus diamati secara cermat untuk
kemungkinan timbulnya tetania uteri, maupun tanda-tanda gawat
janin. Bila kontraksi timbul secara teratur dan adekuat, maka kadar
tetesan oksitosin dipertahankan. Sebaliknya bila tejadi kontraksi
rahim yang sangat kuat, jumlah tetesan dapat dikurangi atau
sementara dihentikan.
7. Infus oksitosin ini hendaknya tetap dipertahankan sampai
persalinan selasai yaitu sampai satu jam sesudah lahirnya plasenta.
8. Evaluasi kemajuan janin pembukaan serviks dapat dilakukan
dengan periksa dalam bila HIS telah kuat dan adekuat. Pada waktu
pemberian infuse oksitosin bila ternyata kemudian persalinan telah
berlangsung, maka infuse oksitosin dilanjutkan sampai pembukaan
lengkap. Segera setelah kala II dimulai, maka tetesan infuse
oksitosin dipertahankan dan ibu dipimpin mengejan atau dipimpin
dengan persalinan buatan sesuai dengan indikasi yang ada pada

28
waktu itu. Tetapi bila sepanjang pemberiaan infuse oksitosin timbul
penyulit pada ibu maupun janin. Maka infuse oksitosin harus
segera dihentikan dan kehamilan segera diselesaikan dengan seksio
sesarea.

Gambar 6. Tabel Dosis Infus Oksitosin


Bahaya pemberian infus oksitosin:
1. Aktivitas miometrium yang sangat meningkat. Hiperkontraktilitas
yang timbul 5 menit atau lebih dapat menimbulkan tekanan
intrauterin lebih 25mmHg dan ini dapat mempengaruhi pengaliran
oksigen ke janin.
2. Ruptur uterus terjadi pada grande multipara atau bekas seksio
saesarea, miomektomi atau bila ada disporporsi fetopelvik.
3. Intoksikasi air. Pemberian infus oksitosin dengan cairan bebas
elektrolit dalam waktu yang lama membuat penderita mengandung
air lebih banyak oleh karena oksitosin dalam dosis 50 mU/ menit
bekerja sebagai anti diuretik.
Seksio saesarea pada distosia disebabkan kelainan his dilakukan pada:
- Pembukaan tidak ada kemajuan.
- Serviks yang sudah datar dan tipis menjadi tebal, bengkak dan biru.
- Tidak ada kemajuan dengan pemberian oksitosin.
- Air ketuban bercampur mekonium pada letak kepala dan denyut
jantung janin menjadi lambat.
- Mulai adanya febris, takikardi, preeklampsia.

29
 Prostaglandin
Prostagladin dapat merangsang otok–otot polos termsuk juga otot-
otot rahim. Prostagladin yang spesifik untuk merangsang otot rahim
ialah PGE2 dan PGF2 alpha. Untuk induksi persalinan dapat diberikan
secara intravena, oral. Pada kehamilan aterm, induksi persalinan dengan
prostagladin cukup efektif. Pengaruh sampingan dari pemberian
prostaglandin ialah mual, muntah, diare.
- Induksi persalinan dengan misoprostol
Pada keadaan serviks yang belum matang dan kurang
mendukung, proses pematangan tentulah sangat perlu
dipertimbangkan sebelum melakukan induksi. Misoprostol selain
memiliki efek uterotoniknya juga memiliki efek pada serviks yang
sangat berguna pada serviks dengan skor bishop kurang dari 5.
Meta analisis dari data base Cochrane menyimpulkan bahwa
misoprostol vagina lebih efektif untuk menginduksi persalinan
dibandingkan dengan metode konvensional menggunakan
oksitosin. Namun efek samping yang paling ditakuti adalah
hiperstimulasi sehingga perlu pengawasan ketat dan dibutuhkan
studi-studi lanjutan. Juga didapatkan angka kegagalan induksi yang
lebih rendah sehingga didapatkan pula angka seksio sesaria yang
rendah.
Efek biokimia yang diketahui terjadi pada serviks adalah
berkurangnya kolagen, peningkatan solubilitas kolagen, dan
peningkatan kolagenase. Prostaglandin analog telah dibuktikan
memiliki fungsi dalam pematangan serviks. Misoprostol
mengurangi kandungan hidroksipolin pada serviks gravid.
Perubahan histokimia yang terjadi pada serviks gravid setelah
penggunaan misoprostol telah dipelajari dalam studi menggunakan
mikroskop electron dan penilaian ambilan prolin. Hasil yang

30
didapatkan adalah kandungan kolagen yang lebih rendah
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Diameter kolagen juga
disebutkan lebih rendah. Ini mengindikasikan bahwa misoprostol
bekerja pada jaringan ikat, dengan adanya bukti disintegrasi dan
disolusi kolagen. Proses pematangan sendiri juga dimediasi oleh
respon inflamasi. Misoprostol sebagai analog prostaglandin dapat
meningkatkan permeabilitas vascular dan memfasilitasi influx dari
sel inflamasi seperti neutrophil dan makrofag. Respon inflamasi ini
meningkatkan jumlah enzim matriks metalloproteinase dan
mengakibatkan degradasi kolagen yang berujung pada pelunakan
serviks.
Karakteristik misoprostol
Misoprostol adalah obat yang digunakan untuk pencegahan
ulkus gaster akibat obat antiinflamasi non steroid, untuk kematian
janin dalam kandungan, mengeluarkan konsepsi pada abortus dini
serta saat ini banyak digunakan sebagai induksi persalinan. Secara
farmakologis misoprostol adalah analog sintetis prostaglandin E1
(PGE1 analog). Misoprostol tersedia hampir di semua negara
dalam sediaan tablet 100 atau 200µg.
Misoprostol diabsorpsi secara baik dan melewati deesterifikasi
cepat oleh hati untuk kemudian menjadi bentuk asam bebas. Tidak
seperti struktur dasarnya, bentuk asam bebas ini dapat dideteksi
dalam plasma. Misoprostol dikembangkan dalam beberapa regimen
untuk beberapa rute penggunaan, seperti tablet, sediaan vaginal,
supositoria, sublingual dan bukal. Masing-masing regimen
memiliki farmako kinetik dan farmako dinamik tersendiri.
Prostaglandin E natural telah terbukti memiliki efek untuk
menghambat sekresi asam lambung dan kontraksi otot polos.
Misoprostol berbeda dengan prostaglandin E alami dalam hal
struktur metylesternya pada rantai karbon 1, rantai metyl pada
karbon 16 dan hidroksil pada karbon 16. Struktur ini bertanggung

31
jawab terhadap sifatnya sebagai anti sekretorik gaster. Sifat
uterotonik dan pelunakan serviks dari misoprostol pada jalan lahir
pada mulanya hanya dianggap sebagai efek samping dibandingkan
dengan efek terapeutiknya. Efek yang terjadi pada pemberian
misoprostol oral dosis tunggal adalah peningkatan tonus
intrauterine. Dengan penggunaan yang berulang dan teratur maka
efek kontraksi regulernya baru akan muncul. Konsentrasi plasma
dari misoprostol sangat dibutuhkan untuk mendapatkan kontraksi
yang reguler. Kontraksi regular sangat diperlukan untuk
keberhasilan induksi atau proses aborsi. Pada serviks, analog
prostaglandin mengurangi hidroksipolidin dari serviks, disintegrasi
dan disolusi kolagen sehingga serviks dapat melebar. Beberapa
percobaan klinis membuktikan jika penggunaan misoprostol
pervagina lebih efektif dibandingkan dengan penggunan oral.
Berbanding terbalik dengan penggunaan oral, konsentrasi plasma
pada penggunaan pervagina bertambah secara bertahap, mencapai
level maksimal setelah 70-80 menit. Kemudian secara pelan
konsentrasinya berkurang, dengan level yang masih dideteksi
sampai 6 jam setelah penggunaan pertama. Bioavailabilitas dari
misoprostol pervaginam juga lebih tinggi dibandingkan
penggunaan oral, sublingual dan rectal.

32
Gambar 7. Tabel Dosis Misoprostol

Prosedur penggunaan misoprostol untuk induksi persalinan:


1. Buat prosedur tetap penggunaan misoprostol, termasuk
prosedur bila ada penyulit
2. Pertindik yang dimengerti dan disetujui, pertindik ini juga
berisi informasi mengenai status off-labelnya
3. Pemeriksaan kardiotopografi, sebelumnya harus normal
4. Harus dengan syarat, indikasi dan kontra indikasi yang jelas
dan bukan untuk akselerasi.
5. Periksa sendiri hasil rekaman kardiotopografi dan skor pelvis
6. Dosis 25-50 mcg tiap 6 sampai 8 jam pervaginam maksimal 4x
pemberian. Pemberian oral dianjurkan dengan dosis yang
sama.
7. Jangan melakukan manipulasi lain misalnya pemberian
uteritonika lain ataupun kristeler.
 Cairan hipertonik intra uteri
Pemberian cairan hipertonik intramnion dipakai untuk
merangsang kontraksi rahim pada kehamilan dengan janin mati.

33
Cairan hipertonik yang dipakai dapat berupa cairan garam hipertonik
20%, urea dan lain-lain. Kadang-kadang pemakaian urea dicampur
dengan prostagladin untuk memperkuat rangsangan pada otot-otot
rahim. Cara ini dapat menimbulkan penyakit yang cukup berbahaya,
misalnya hipernatremia, infeksi dan gangguan pembekuan darah.
b. Secara Manipulatif
 Amniotomi
Amniotomi artifisialisis dilakukan dengan cara memecahkan
ketuban baik di bagian bawah depan (fore water) maupun dibagian
belakang (hind water) dengan suatu alat khusus (drewsmith
catheter). Sampai sekarang belum diketahui dengan pasti bagaimana
pengaruh amniotomi dalam merangsang timbulnya kontraksi rahim.
Beberapa teori mengemukakan bahwa:
- Amniotomi dapat mengurangi beban rahim sebesar 40%
sehingga tenaga kontraksi rahim dapat lebih kuat untuk
membuka serviks.
- Amniotomi menyebabkan berkurangnya aliran darah didalam
rahim kira–kira 40 menit setelah amniotomi dikerjakan,
sehingga berkurangnnya oksigenasi otot-otot rahim dan keadaan
ini meningkatkan kepekaan otot rahim.
- Amniotomi menyebabkan kepala dapat langsung menekan
dinding serviks dimana didalamnya terdapat banyak saraf-saraf
yang merangsang kontraksi rahim.
- Bila setelah amniotomi dikerjakan 6 jam kemudian, belum ada
tanda-tanda permulaan persalinan, maka harus diikuti dengan
cara-cara lain untuk merangsang persalinan, misalnya dengan
infus oksitosin.
Pada amniotomi perlu diingat akan terjadinya penyulit-penyulit
sebagai berikut:
- Infeksi
- Prolapsus funikuli

34
- Gawat janin
- Tanda-tanda solusio plasenta (bila ketuban sangat banyak dan
dikeluarkan secara tepat).
Teknik amniotomi:
1. Jari telunjuk dan jari tengah tangan kanan di masukkan kedalam
jalan lahir sampai sedalam kanalis servikalis.
2. Setelah kedua jari berada dalam kanalis servikalis, maka posisi
jari diubah sedemikian rupa, sehingga telapak tangan
menghadap kearah atas.
3. Tangan kiri kemudian memasukan pengait khusus kedalam jalan
40 lahir dengan tuntunan kedua jari yang telah ada didalam.
4. Ujung pengait diletakkan diantara jari telunjuk dan jari tengah
tangan yang didalam.
5. Tangan yang diluar kemudian memanipulasi pengait khusus
tersebut untuk dapat menusuk dan merobek selaput ketuban.
6. Selain itu menusukkan pengait ini dapat juga dilakukan dengan
satu tangan, yaitu pengait dijepit diantara jari tenga nh dan jari
telunjuk tangan kanan, kemudian dimasukkan kedalam jalan
lahir sedalam kanalis servikalis.
7. Pada waktu tindakan ini dikerjakan, seorang asisten menahan
kepala janin kedalam pintu atas panggul. Setelah air ketuban
mengalir keluar, pengait dikeluarkan oleh tangan kiri, sedangkan
jari tangan yang didalam melebar robekan selaput ketuban. Air
ketuban dialirkan sedikit demi sedikit untuk menjaga
kemungkinan terjadinya prolaps tali pusat, bagian-bagian kecil
janin, gawat janin dan solusio plasenta. Setelah selesai tangan
penolong ditarik keluar dari jalan lahir.
 Stripping of the membrane
Yang dimaksud dengan stripping of the membrane, ialah
melepaskan ketuban dari dinding segmen bawah rahim secara

35
menyeluruh setinggi mungkin dengan jari tangan. Cara ini dianggap
cukup efektif dalam merangsang timbulnya his.
Beberapa hambatan yang dihadapi dalam melakukan tindakan
ini, ialah:
- Serviks yang belum dapat dilalui oleh jari.
- Bila didapatkan persangkaan plasenta letak rendah, tidak boleh
dilakukan.
- Bila kepala belum cukup turun dalam rongga panggul.
 Pemakaian rangsangan listrik
Dengan dua electrode, yang satu diletakkan dalam servik,
sedangkan yang lain ditempelkan pada dinding perut, kemudian
dialirkan listrik yang akan memberi rangsangan pada serviks untuk
menimbulkan kontraksi rahim. Bentuk alat ini bermacam–macam,
bahkan ada yang ukurannya cukup kecil sehingga dapat dibawa–
bawa dan ibu tidak perlu tinggal dirumah sakit. Pemakaian alat ini
perlu dijelaskan dan disetujui oleh pasien.
 Rangsangan pada puting susu (breast stimulation)
Sebagaimana diketahui rangsangan puting susu dapat
mempengaruhi hipofisis posterior untuk mengeluarkan oksitosin
sehingga terjadi kontraksi rahim. Dengan pengertian ini maka telah
dicoba dilakukan induksi persalinan dengan merangsang puting susu.
Pada salah satu puting susu, atau daerah areola mammae dilakukan
masase ringan dengan jari si ibu. Untuk menghindari lecet pada
daerah tersebut, maka sebaiknya dilakukan selama ½jam-1 jam,
kemudian istirahat beberapa jam dan kemudian dilakukan lagi,
sehingga dalam 1 hari maksimal dilakukan 3 jam. Tidak dianjurkan
untuk melakukan tindakan ini pada kedua payudara bersamaan,
karena ditakutkan terjadi perangsangan berlebihan. Menurut
penelitian di luar negeri cara induksi ini memberi hasil yang baik.
Cara-cara ini baik sekali untuk melakukan pematangan serviks pada
kasus-kasus kehamilan lewat waktu.

36
2.4 Persalinan Normal4,7
- Fase Persalinan
 Kala I
Kala I disebut sebagai kala pembukaan. Kala ini dimulai dari his
yang teratur sampai pembukaan lengkap. Proses membukanya
serviks dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Fase laten: pembukaan serviks 1 hingga 3 cm, sekitar 8 jam.
2. Fase aktif: pembukaan serviks 4 cm hingga pembukaan lengkap
(10 cm) sekitar 6 jam. Fase aktif dibagi menjadi 3 fase yaitu
fase akselerasi dalam waktu 2 jam pembukaan 3 cm menjadi
4cm, fase akselerasi dalam waktu 2 jam pembukaan berlangsung
sangat cepat dari 4 cm menjadi 9 cm, dan fase deselerasi
pembukaan menjadi lambat kembali dalam waktu 2 jam
pembukaan 9 cm menjadi lengkap 10 cm.

 Kala II
Fase ini dimulai dari pembukaan lengkap dan berakhir dengan
pengeluaran janin. Beberapa tanda bahwa pasien memasuki kala II
yaitu ibu mempunyai keinginan untuk meneran, ibu merasa tekanan
yang semakin meningkat pada rektum/vaginanya, perineum
menonjol/menipis, vulva vagina dan sfingter ani terbuka. Pada kala
II jika bayi belum lahir dalam 120 menit (2 jam) meneran untuk
primigravida atau 60 menit (1jam) meneran untuk multigravida
maka segera hubungi dokter spesialis obstetri dan ginekologi.
 Kala III
Fase ini setelah bayi lahir sampai plasenta lahir lengkap, sekitar
30 menit. Adapun tanda-tanda pelepasan plasenta yaitu uterus
menjadi globular dan lebih kaku, umumnya keluar sejumlah darah
yang banyak dan tiba-tiba, tali pusat memanjang.
Ada 2 mekanisme pelepasan plasenta:

37
- Pelepasan plasenta dari tengah/sentral (Schultze): Ditandai
dengan makin panjang keluarnya tali pusat dari vagina tanpa
adanya perdarahan pervaginam.
- Pelepasan plasenta dari pinggir/marginal (Methews-Duncan):
Ditandai dengan adanya perdarahan pervaginam bila plasenta
mulai terlepas.
Perasat untuk mengetahui plasenta telah terlepas dari tempat
implantasi:
- Perasat Kustner: Tangan kanan meregangkan tali pusat
sedangkan tangan kiri diatas simphisis pubis bila tali pusat
masuk kembali ke dalam vagina berarti plasenta belum lepas
dari dinding uterus.
- Perasat Stassmann: Tegangkan tali pusat dan ketok fundus uteri,
bila getaran tali pusat terasa berarti plasenta belum terlepas, jika
tidak bergetar berarti sudah terlepas.
- Perasat Klein: Rahim didorong sedikit bila tali pusat kembali
masuk ke dalam vagina berarti belum terlepas, jika tali pusat
diam atau turun berarti sudah terlepas.
 Kala IV
Segera setelah lahirnya plasenta hingga 2 jam postpartum.

2.2.2 Mekanisme Persalinan


1. Engagement: mekanisme ketika diameter biparietal- diameter
transversal terbesar pada presentasi oksiput melewati apertura
pelvis superior.
2. Desensus: merupakan penurunan kepala lebih lanjut. Desensus
ditimbulkan oleh tekanan cairan amnion, tekanan langsung
fundus pada bokong saat berkontraksi, tekanan ke bawah oleh
otot-otot abdomen maternal, ekstensi dan pelurusan tubuh
janin.

38
3. Fleksi: Saat kepala sedang desensus maka akan mengalami
hambatan dari serviks, dinding pelvis yang normalnya terjadi
fleksi kepala. Pada gerakan ini dagu mengalami kontak lebih
dekat dengan dada janin dan diameter suboksipitobregmatikum
yang lebih pendek menggantikan suboksipitofrontalis yang
lebih panjang.
4. Rotasi internal: Gerakan ini terdiri dari perputaran kepala
sedemikian rupa sehingga oksiput secara bertahap bergerak ke
arah simphisis pubis dibagian anterior.
5. Ekstensi: Dengan distensi progresif perineum dan pembukaan
vagina bagian oksiput perlahan-lahan akan semakin terlihat.
Kepala lahir dengan urutan oksiput, bregma, dahi, hidung,
mulut, dan akhirnya dagu melewati tepi anterior perineum.
Segera setelah lahir kepala menghadap ke bawah sehingga
dagu terletak di atas anus maternal.
6. Rotasi eksternal: Putaran paksi luar merupakan gerakan untuk
menyesuaikan kedudukan kepala dengan punggung anak.
7. Ekspulsi Segera setelah rotasi eksternal, bahu anterior terlihat
di bawah simphisis dan perineum segera terdistensi oleh bahu
posterior. Setelah pelahiran bahu bagian tubuh lainnya lahir
dengan cepat.

39
Gambar 7. Mekanisme Persalinan

40
BAB III
STATUS PASIEN

3.1 Identitas Pasien

Nama : Ny. N Nama : Tn. H


Umur : 25 tahun Umur : 28 tahun
Pendidikan : S1 Pendidikan : SMA
Pekerjaan : IRT Pekerjaan : Pertamina
Agama : Islam Agama : Islam
Suku : Melayu Suku : Melayu
Alamat : Jln. Sukadamai Alamat : Jln. Sukadamai
No MR : 393330

3.2 Anamnesis
 Keluhan Utama
Keluar air-air sejak 4 jam sebelum masuk rumah sakit.
 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien G2P0A1H0 datang ke IGD PONEK RSUD Kota Dumai pada
tanggal 26 Oktober 2021 rujukan dari Puskesmas Purnama dengan
diagnosa G2P0A1 (gravid 37minggu) + KPD.
Keluhan keluar air-air sejak 4 jam sebelum masuk rumah sakit. Keluar
air-air terjadi tiba-tiba dan merembes saat pasien sedang duduk. Cairan
yang keluar hanya menembus celana dalam pasien. Cairan jernih, tidak
berwarna dan tidak berbau. Pasien menyatakan tidak ada nyeri pinggang
menjalar ke ari-ari. Tidak ada keluar lendir bercampur darah dari jalan
lahir. Tidak ada perdarahan dari jalan lahir. Gerakan janin aktif dirasakan
sejak usia kehamilan 16 minggu. Tidak ada keluhan demam, keputihan,
nyeri kepala, gangguan penglihatan, nyeri ulu hati, ataupun sesak.
 Riwayat Hamil Muda
Mual (+), muntah (+), hipertensi (-), perdarahan (-).

 Riwayat Hamil Tua


Mual (-), muntah (-), hipertensi (+), perdarahan (-).

41
 Riwayat Pre Natal Care
Pasien kontrol kehamilan rutin, dilakukan setiap bulan di bidan.
Kontrol dengan Sp.OG sebanyak 1x dan USG sebanyak 3x. Tekanan darah
setiap kontrol kehamilan berkisar 120/80 mmHg-140/90 mmHg. Perut
bertambah besar sesuai usia kehamilan. Berat badan bertambah seiring
bertambahnya usia kehamilan.
 Riwayat Makan Obat
Pasien mengonsumsi vitamin, obat tambah darah, dan kalsium yang
diperoleh dari bidan. Pasien tidak ada mengonsumsi obat-obatan yang lain
dan jamu selama hamil.
 Riwayat Penyakit Dahulu
Asma (-), diabetes melitus (-), hipertensi (-), penyakit jantung (-),
penyakit ginjal (-), alergi (-), riwayat operasi (-).
 Riwayat Penyakit Keluarga
Asma (-), diabetes melitus (-), hipertensi (-), penyakit jantung (-),
penyakit ginjal (-).
 Riwayat Haid
Menarche pada usia 13 tahun, siklus haid teratur tiap 28 hari, lamanya
haid 5 hari, haid tidak disertai dengan dysmenorrhea, jumlah darah haid
sekitar 2-3x ganti pembalut dalam sehari, HPHT pasien 25/01/2021.
 Riwayat Perkawinan
Pasien menikah pada tahun 2019 dan usia pasien saat menikah yaitu
23 tahun. Usia pernikahan saat ini yaitu 2 tahun.
 Riwayat Kehamilan
Kehamilan pertama tahun 2020, mengalami abortus saat usia
kehamilan 12minggu dan dilakukan kuretase di RSUD Dumai. Kehamilan
saat ini merupakan kehamilan kedua.
 Riwayat KB
Pasien tidak pernah menggunakan kontrasepsi.

42
3.3 Pemeriksaan Fisik
 Tanda Vital
Keadaan umum : tampak sakit ringan
Kesadaran : komposmentis
Tekanan darah : 140/100 mmHg
Nadi : 82 x/ menit
Temperatur : 36,5oC
Respirasi : 20 x/menit
 Status Generalis
Kepala : normocephal
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, RC +/+
THT : bentuk normal, sekret (-), darah (-), membran timpani intak
Leher : simetris, trakea lurus ditengah, tidak ada pembesaran KGB
Thorax : pengembangan dinding dada simetris, tidak ada retraksi
Pulmo : auskultasi vesikular (+), rhonki (-), wheezing (-)
Cor : bunyi jantung S1 dan S2, mur-mur (-), gallop (-)
Abdomen : bising usus (+), status obstetrikus
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik, ekstremitas edema (-)
 Status Obstetrikus
Muka : chloasma gravidarum (-)
Mamae : hiperpigmentasi mamae (+)
Abdomen :
Inspeksi : perut tampak membesar, linea nigra (+), striae livid (+),
striae albican (+)
Palpasi : L1 : TFU 33 cm, teraba massa bulat, lunak, kurang bulat,
tidak melenting (kesan bokong).
L2 :Teraba tahanan memanjang pada sisi kanan ibu dan
teraba bagian-bagian kecil pada sisi kiri ibu.
L3 :Teraba massa bulat, keras, melenting (kesan kepala)
L4 :Konvergen 5/5
TFU : 33 cm TBJ : 3.100 gram HIS : (-)
Genitalia eksterna : vulva dan uretra tampak tenang
VT / Bimanual Palpasi :
- Panggul dalam Promontorium : promontorium tidak teraba

43
Sakrum : cekung
Spina iskiadika : Tumpul
Arkus pubis : > 90o
Os. Koksigis : Mobile
- Janin Presentasi : kepala
Situs : memanjang
Hodge : hodge I
Ketuban : (+)
-Porsio Pembukaan :0
Penipisan : 0%
Konsistensi : keras
Arah sumbu : arah posterior
- Test Lakmus (+)

3.4 Pemeriksaan Penunjang


 Hematologi
o Hb : 11,1 GR/DL
o Leukosit : 9.500mm3
o Trombosit : 174.000mm3
o Eosinofil : 2%
o Basofil : 0%
o Natrofil batang: 1%
o Netrofil segment: 64%
o Limfosit : 27%
o Monosit : 6%
o Eritrosit : 3.680.000mm3
o MCV : 83 FL
o MCH : 30 PG
o MCHC : 36 %
o Hematokrit : 30 %

44
o RDW : 16,3%
 Hemostasis
o Masa perdarahan: 4 menit
o Masa pembekuan: 3 menit
 Pemeriksaan gula darah
o KGD AD Random: 94mg/dl
 Faal hati
o SGOT / AST : 17mg/dl
o SGPT / ALT : 11mg/dl
 Faal ginjal
o Ureum : 10mg/dl
o Kreatinin : 0,4mg/dl
 Urinalisa
o Protein : Negatif
 CTG

Interpretasi :
- Baseline : 145dpm
- Variabilitas: 15dpm
- Akselerasi (+)
- Deselerasi (-)
- Gerakan janin (-)

45
- Kontraksi (+)
- Kesan: CTG Kategori I
 USG

Janin : Tunggal, Intrauterin


Letak : Memanjang
Presentasi : Kepala
Punggung : Kiri
DJJ : 157dpm
Biometri:
BPD : 9,50cm
AC : 32,74cm
HC : 33,9cm
FL : 7,40cm
Usia Gestasi : 38-39minggu
TBJ : 3.148gram
AFI : 5,59cm
Plasenta : Implantasi: Fundus

46
Kesimpulan : G2P0A1 (gravid 38-39minggu) + Janin Tunggal Hidup
Intrauterin, Presentasi Kepala

3.5 Diagnosis Kerja


G2P0A1H0 (gravid 38-39minggu), KPD, Hipertensi Gestasional + Janin
Tunggal Hidup Intrauterin, Presentasi Kepala

3.6 Penatalaksanaan
IVFD RL 20tpm
Injeksi Cefotaxime 1g/12jam
Methyldopa 3x250mg

3.7 Rencana Tindakan


Partus pervaginam dengan induksi.

3.8 Prognosis
Kehamilan: ad bonam
Persalinan: ad bonam

47
3.8 Follow Up
Tanggal S O A P
26/10/2021 Keluar air-air KU: Tampak sakit sedang G2P0A1H0 (gravid 38- Observasi KU, TTV, DJJ, HIS
Jam 07.00 Kesadaran: CM 39minggu), KPD, IVFD RL 20tpm
TD: 140/90 mmHg Hipertensi Gestasional + Injeksi Cefotaxime 1g/12jam
HR: 80 x/menit Janin Tunggal Hidup Methyldopa 3x250mg
RR: 20 x/menit Intrauterin, Presentasi
T: 36,5oC Kepala
DJJ: 144x/menit
kontraksi: -

VT: Portio keras, arah tengah, EFF


0%, pembukaan 0cm.
Skor bishop: 0

CTG:
- Baseline: 145dpm
- Variabilitas: 15dpm
- Akselerasi (+)

48
- Deselerasi (-)
- Gerakan janin (-)
- Kontraksi (+)
- Kesan: CTG Kategori I
26/10/2021 Keluar air-air KU: TSS G2P0A1H0 (gravid 38- Induksi Persalinan: RL+
Jam 11.30 Kesadaran: CM 39minggu), Inpartu Kala I oxytocin 10IU mulai 10tpm naik
TD: 120/80 mmHg Fase Laten, HTG, KP 10 5tpm/30 detik hingga his
HR: 80x/menit jam + Janin Tunggal adekuat atau maksimal 50tpm.
RR: 20x/menit Hidup Intrauterin, Terapi lain lanjut.
T: 36,5oC Presentasi Kepala
DJJ: 139x/menit
kontraksi: 1-2x/10’/20”
VT: Portio lunak, arah axial, EFF
90%, pembukaan 2cm, ketuban (-)
sisa jernih, presentasi kepala, hodge
I. Skor bishop =8.
26/10/2021 Nyeri pinggang menjalar KU: TSS G2P0A1H0 (gravid 38- Observasi KU, TTV, DJJ, HIS
Jam 19.00 ke ari-ari Kesadaran: CM 39minggu), Inpartu Kala I Induksi oxytocin kolf II
TD: 130/90 mmHg Fase Aktif, HTG, KP 18
HR: 92 x/menit jam + Janin Tunggal

49
RR: 20 x/menit Hidup Intrauterin,
T: 36,5oC Presentasi Kepala
DJJ: 145 x/menit
HIS: 3x/10’/30”

VT: Portio lunak, arah aksial, EFF


100%, pembukaan 7-8cm, ketuban
(-), presentasi kepala, hodge II
26/10/2021 Nyeri pinggang menjalar KU: TSS G2P0A1H0 (gravid 38- Observasi KU, TTV, DJJ, HIS,
Jam 20.30 ke ari-ari, nyeri semakin Kesadaran: CM 39minggu), Inpartu Kala kemanjuan persalinan dengan
lama semakin sering, TD: 130/80 mmHg II, HTG, KP 19jam + partograf
gerak janin (+) HR: 80 x/menit Janin Tunggal Hidup Induksi oxytocin kolf II
RR: 20x/menit Intrauterin, Presentasi
T: 36,6oC Kepala
DJJ: 149 x/menit
HIS: 4x/10’/40”

VT: Portio lunak, arah anterior,


EFF 100%, pembukaan lengkap,

50
ketuban (-), presentasi kepala,
Hodge III.
26/10/2021 Lahir bayi perempuan KU: TSS P1A1H1 post partus Cefadroxil 2x500mg
20.50 BBL: 2.840gr Kesadaran: CM pervaginam + post Asam Mefenamat 3x500mg
PB: 50cm TD: 120/80 mmHg perineoraphy a/i laserasi Metilergometrin 3x1
Lahir plasenta HR: 72x/menit episiotomy grade II Lactafit 2x1
selaput&kotiledon kesan RR: 20x/menit Hemafort 1x1
lengkap. T: 36,5oC
Eksplorasi jalan lahir
laserasi episiotomy grade
II perineoraphy
27/10/2021 S: tidak ada keluhan KU: Baik P1A1H1 post partus Cefadroxil 2x500mg
07.00 B: asi sudah keluar tetapi Kesadaran: CM pervaginam + post Asam Mefenamat 3x500mg
belum lancer TD: 120/80 mmHg perineoraphy a/i laserasi Metilergometrin 3x1
U: 2 jari di bawah pusar, HR: 74 x/menit episiotomy grade II Lactafit 2x1
kontraksi baik RR: 18x/menit Hemafort 1x1
B: BAK lancar T: 36,5oC Pasien dipulangkan dan
B: BAB (-), flatus (+) dianjurkan kontrol ulang 5 hari
L: loukia rubra 2x ganti kemudian di Poli KB RSUD
pembalut tidak penuh Dumai

51
E: luka episiotomi kering
M: sudah bisa berjalan

52
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien G2P0A1H0 datang ke IGD PONEK RSUD Kota Dumai pada tanggal 26
Oktober 2021 rujukan dari Puskesmas Purnama dengan keluhan keluar air-air
sejak 4 jam sebelum masuk rumah sakit yang terjadi tiba-tiba dan merembes saat
pasien sedang duduk. Cairan yang keluar hanya menembus celana pasien. Cairan
jernih, tidak berwarna dan tidak berbau. Pasien menyatakan tidak ada nyeri
pinggang menjalar ke ari-ari. Tidak ada keluar lendir bercampur darah dari jalan
lahir. Pada pemeriksaan dalam diperoleh serviks belum berdilatasi, portio keras,
tertutup dan effacement 0%. Hasil pemeriksaan test lakmus positif.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien tidak ada tanda
inpartu. Partus dimulai (inpartu) terjadi bila timbul his dan lendir bercampur
darah, serta sudah ada dilatasi serviks. Oleh karena pada pasien terdapat rembesan
cairan ketuban yang dipastikan dengan hasil test lakmus positif tetapi belum ada
tanda inpartu maka pasien didiagnosis dengan KPD. KPD adalah pecahnya
selaput korioamniotik sebelum terjadi proses persalinan. Secara klinis diagnosa
KPD ditegakkan bila seorang ibu hamil mengalami pecah selaput ketuban dan
dalam waktu satu jam kemudian tidak terdapat tanda awal persalinan.4
Pada anamnesis, pasien menyatakan bahwa pasien memiliki riwayat tekanan
darah tinggi pada waktu hamil tua, sebelum hamil tidak ada riwayat hipertensi dan
pada pemeriksaan tanda-tanda vital, tekanan darah pasien adalah 140/90, setelah
dilakukan pemeriksaan ulang tensi pasien tetap 140/90. Tidak ada keluhan nyeri
kepala, gangguan penglihatan, nyeri ulu hati, ataupun sesak. Hasil pemeriksaan
urine pada pasien didapatkan proteinuria (-). Pasien didiagnosis dengan hipertensi
gestasional. Hipertensi gestasional didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik
>140mmHg atau tekanan darah diastolik >90mmHg, atau keduanya, pada dua
pemeriksaan setidaknya 4 jam terpisah setelah usia kehamilan 20 minggu pada
wanita dengan tekanan darah yang sebelumnya normal tanpa proteinuria.9
Pada pasien diberikan dopamet 3x250mg untuk terapi hipertensi gestasional.
Metildopa adalah obat golongan agonis reseptor alfa yang bekerja di sistem saraf

53
pusat. Merupakan obat antihipertensi yang paling sering digunakan untuk wanita
hamil dengan hipertensi. Digunakan sejak tahun 1960, metildopa mempunyai
safety margin yang luas (paling aman). Walaupun metildopa bekerja terutama
pada sistem saraf pusat, namun juga memiliki sedikit efek perifer yang akan
menurunkan tonus simpatis dan tekanan darah arteri.12
Ketuban pecah dini pada kehamilan aterm penatalaksanaan berupa
penanganan aktif yaitu pada kehamilan >37 minggu, induksi dengan oksitosin,
bila gagal seksio sesaria. Bila skor pelvik <5 lakukan pematangan serviks
kemudian induksi. Jika tidak berhasil akhiri persalinan dengan seksio sesaria. Bila
skor pelvik >5 induksi persalinan, partus pervaginam.4
Pada pemeriksaan Leopold 1, TFU 33 cm. Dengan rumus Johnson-
Toshach ([TFU-n] x 155) didapatkan taksiran berat janin 3.100 gram. Usia
kehamilan dapat dihitung dari TFU dengan menggunakan rumus Mc.Donald yaitu
TFU dikali 8 kemudian dibagi 7 didapatkan usia kehamilan pasien 38 minggu.
Pada pemeriksaan leopold III teraba massa bulat, keras, melenting (kesan kepala)
yang masih dapat digerakkan (floating) dilanjutkan dengan pemeriksaan leopold
IV dengan hasil konvergen 5/5yang berarti kepala janin belum masuk pintu atas
panggul.
Berdasarkan TFU dan hasil pemeriksaan USG usia kehamilan pasien yaitu
38-39minggu. Usia kehamilan pasien saat ini sudah aterm, tetapi belum inpartu
dan pasien mengalami KPD serta dari pemeriksaan tidak ditemukan
kontraindikasi dari induksi persalinan maka pada pasien diberikan tatalaksana
berupa penangganan aktif dengan induksi persalinan. Induksi persalinan adalah
suatu tindakan terhadap ibu hamil yang belum inpartu, baik secara operatif
maupun medicinal untuk merangsang timbulnya kontraksi rahim sehingga terjadi
persalinan. Pada saat dilakukan pemeriksaan VT didapatkan portio keras, arah
tengah, effacement 0%, pembukaan 0cm, sehingga skor bishop pasien adalah 0.
Skor bishop <6 dianggap unfavourable untuk induksi dan diindikasikan untuk
cervical ripening (pematangan serviks). Pematangan serviks pada pasien ini
menggunakan misoprostol 25mcg/6jam.

54
Pada pasien dilakukan pemeriksaan VT kembali pada pukul 11.30 WIB,
kemudian didapatkan hasil berupa portio lunak, arah axial, effacement 90%,
pembukaan 2cm, hodge I. Sehingga didapatkan skor bishop 8. Pada pasien
selanjutnya dilakukan induksi persalinan dengan infus oxytocin (RL+oxytocin
10IU) mulai dari 10tpm kemudian ditingkatkan 5tpm setiap 30 detik hingga
mencapai his yang adekuat atau maksimal 50tpm.
Pada pukul 19.00 WIB, dilakukan VT diperoleh hasil portio lunak, arah aksial,
effacement 100%, pembukaan 7-8cm, ketuban (-), presentasi kepala, hodge II. His
3x/10’/30’’. Hal ini menandakan induksi berhasil dilakukan dan saat ini pasien
sedang dalam kala I fase aktif.
Pada pukul 20.30 WIB, pasien mengeluhkan nyeri pinggang menjalar ke ari-
ari, nyeri semakin lama semakin sering, serta perasaan ingin meneran. Dilakukan
VT didapatkan hasil portio lunak, arah anterior, effacement 100%, pembukaan
lengkap, ketuban (-), presentasi kepala, Hodge III. Pasien mengatakan ingin
meneran seperti mau BAB dan ingin mengejan, kemudian tampak tekanan anus,
perineum menonjol, vulva membuka yang merupakan tanda Kala II. Hal ini
menandakan pasien dalam persalinan kala II. Kemudian ibu dipimpin persalinan
pada pukul 20.30 WIB dan bayi lahir perempuan pada pukul 20.50 WIB dengan
BBL 2.840gr, PB 50cm, apgar score 7/8.

55
BAB V
KESIMPULAN

Ny. N, 25tahun didiagnosis dengan G2P0A1H0 (gravid 38-39minggu), KPD,


Hipertensi Gestasional + Janin Tunggal Hidup Intrauterin, Presentasi Kepala.
Pada pasien dilakukan terminasi kehamilan dengan induksi persalinan
menggunakan infus oxytocin karena pasien mengalami KPD dan usia kehamilan
pasien sudah aterm dimana sebelumnya dilakukan pematangan serviks karena
skor bishop <6. Pasien mengalami hipertensi gestasional sehingga diberikan
pengobatan antihipertensi berupa methyldopa.

56
DAFTAR PUSTAKA

1. Dayal, Shailja et al. Premature Rupture of Membranes. NCBI. 2021.


2. Duncan JR, Tobiasz AM, Dorsett KM, Aziz MM, Thompson RE, Bursac
Z, Talati AJ, Mari G, Schenone MH. Akurasi prognostik
percepatan/waktu ejeksi arteri pulmonalis janin untuk komplikasi
pernapasan pada ketuban pecah dini sebelum persalinan. J Matern Janin
Neonatal Med. 2020 Juni; 33(12) :2054-2058. 
3. Tsakiridis I, Mamopoulos A, Chalkia-Prapa EM, Athanasiadis A, Dagklis
T. Ketuban Pecah Dini Prematur: Tinjauan 3 Pedoman Nasional. Obstet
Ginekol Surv. 2018 Juni; 73(6):368-375.
4. F. G. Cunningham, K. J. Leveno, S. L. Bloom, J. c Hauth, D. J. Rouse, dan
C. Y. Spong. Williams Obstetrics, 23 ed. New York: McGraw-Hill. 2013.
5. Quintero R, Morales W, Allen M, Bornick P, Arroyo J, LeParc G.
Treatment of Iatrogenic Previable Premature Rupture of Membranes with
Intraamniotic Injection of Platelets and Cryoprecipitate (Amniopatch):
Preliminary Experience. Am J Obstet Gynecol. 2017.
6. Manuaba I.B.G, Chandranita Manuaba I.A, Fajar Manuaba I.B.G. Bab 6:
Komplikasi Umum Pada Kehamilan. Ketuban Pecah Dini. Jakarta.
Penerbit EGC. 2007.
7. Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2014.
8. Kusuma J, Ketuban Pecah Dini Dan Peranan Amniopatch Dalam
Penatalaksanaan Ketuban Pecah Dini Preterm. Obstetri dan Ginekologi
FK UNUD/RSUP Sangalah Denpasar. 2016.
9. Espinoa, Jimmy et al. Gestational Hypertension and Preeclampsia. The
American College of Obstetricians and Gynecoloists. 4(135): 237-260.
2020.
10. Carson, Michael MD et al. Hypertension and Pregnancy. Medscape. 2018

57
11. Granger, J P et ali. Pathophysiology of Pregnancy-Induced Hypertension.
American Journal of Hypertension: 14(3); 178-185. 2018.
12. Braunthal, S, Brateanu, A. Hypertension in Pregnancy: Pathophysiology
and Treatment. StatPearls Publishing. 2019.
13. Sari, W E. Kehamilan dengan Hipertensi Gestasional. J medulla Unila:
4(3); 145-148. 2016.
14. Kario. Central Sympathetic Agents and Direct Vasodilators in
Hypertension. A Companion to Braunwald's Heart Disease (Third Edition)
Ch 26. Elsevier. 2018.
15. Hoeltzenbein et al. Pregnancy Outcome After First Trimester Use of
Methyldopa Hypertension. Vol 70 (1): 201-8. 2017.

58

Anda mungkin juga menyukai