Anda di halaman 1dari 24

Journal Reading

Radiological Features of Lung Abscess

Oleh :

Ayuni Fatricia
Ervrensi Cinta Laura
Katfazel purwadi
Ririn mayrizka
Sasabilla pratiwi

Pembimbing :

dr. Dina Ramsky, Sp. Rad

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABDURRAB
STASE ILMU RADIOLOGI
RSUD KOTA DUMAI
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan berkah dan
pengetahuan sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan journal reading tentang
“Radiological Features of Lung Abscess ” yang diajukan sebagai persyaratan untuk
mengikuti KKS Ilmu Radiologi.
Terimakasih kami ucapkan kepada dokter pembimbing yaitu dr. Dina
Ramsky, Sp. Rad yang telah bersedia membimbing kami, sehingga tugas ini dapat
selesai pada waktunya.
Penulis juga menyadari bahwa dalam pembuatan journal reading ini masih
memiliki kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk menyempurnakan journal
reading ini. Penulis berharap agar journal reading ini dapat memberi manfaat kepada
semua orang demi perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan.
Demikian yang dapat saya sampaikan, mudah- mudahan journal reading ini
dapat bermanfaat bagi para pembaca, khususnya bagi kami yang sedang menempuh
pendidikan.

Dumai, 18 Oktober 2022

Penulis
Terjemahan Jurnal

Karakteristik Radiologi Abses Paru

Vina Tri Septiana1, Budi Yulhasfi Febrianto2, Rahmi Afif3, Gurmeet Singh4
1Bagian Radiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Baiturrahmah, Padang, Indonesia
2Bagian Bedah, , Fakultas Kedokteran Universitas Baiturrahmah, Padang, Indonesia
3 Departemen Radiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia
4 Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,
Indonesia

Abstrak
Abses paru masih merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang
signifikan. Angka kematian di seluruh dunia berkisar antara 15% sampai 20%. Secara
radiologis, abses paru tampak sebagai rongga tunggal atau ganda yang dapat meniru
banyak proses patologis paru lainnya yang menimbulkan tantangan bagi ahli
radiologi untuk memahami penyakit ini. Kegagalan dalam diagnosis dan pengobatan
dini dapat menyebabkan prognosis yang buruk. Pemeriksaan radiologi seperti
radiografi konvensional, computed tomography (CT) scan, ultrasonografi (US dan
magnetic resonance imaging tersedia dalam menegakkan diagnosis abses paru di
mana CT scan memiliki kinerja diagnostik terbaik. Penggunaan modalitas radiologis
yang tepat diharapkan dapat membantu menyingkirkan banyak diagnosis banding
lainnya, sehingga diagnosis yang akurat dapat dibuat.
Kata kunci: Abses Paru-paru, Radiografi Konvensional, Computed Tomography
(CT) Scan, Ultrasonografi (AS), Magnetic Resonance Imaging (MRI), Diagnosis
Banding

1. PENDAHULUAN
Abses paru adalah lesi paru berupa supurasi sentral dan nekrosis jaringan
parenkim paru yang menyebabkan kerusakan parenkim paru dan terbentuknya satu
atau lebih rongga yang besar. Secara epidemiologi, abses paru masih merupakan
penyebab morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Angka kematian akibat abses
paru berkisar antara 15-20%, namun mengalami penurunan dibandingkan dengan era
preantibiotik dimana angka kematian akibat abses paru berkisar antara 30-40%.
Insiden abses paru telah menurun selama 30 tahun terakhir karena kemajuan ilmu
kedokteran, seperti teknik bedah dan anestesi yang lebih baik, diagnosis dini dan
penggunaan antibiotik, kecuali dalam kondisi yang lebih mudah dideteksi. aspirasi
dan pada populasi immunocompromised. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan
atau mendorong abses paru-paru yaitu alkoholisme.
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan penunjang yang berperan
sangat penting dalam diagnosis abses paru, mulai dari radiografi konvensional
sebagai skrining awal, hingga pemeriksaan canggih seperti CT scan dan USG.
Mengingat bahwa banyak penyakit paru lainnya memiliki morfologi yang mirip
dengan abses paru pada radiografi dada, CT scan memainkan peran penting dalam
mengesampingkan diagnosis banding. Pada rontgen dada kita dapat melihat bentuk
abses, radang parenkim paru dan ada tidaknya air-fluid level, sedangkan CT scan
dapat memberikan informasi tambahan penting lainnya seperti lokasi dan ukuran lesi,
batas luar, ketebalan dinding, isi rongga, lesi. Satelit tidak terlihat pada radiografi
dada, menilai ada tidaknya lesi endobronkial obstruktif dan melihat semua struktur
paru-paru.

2. METODE
Anatomi Paru-paru
Paru-paru terbentuk setelah embrio panjangnya 3 mm. Pembentukan paru-
paru dimulai pada alur yang berasal dari usus depan (Gbr. 1). Setiap paru-paru dibagi
menjadi beberapa lobus; dua lobus di paru-paru kiri dan tiga lobus di paru-paru
kanan. Pada paru kanan terdapat 10 ruas bronkopulmonalis kanan, yaitu 3 ruas pada
lobus kanan atas (apikal, anterior dan medial), 2 ruas pada lobus tengah kanan
(medial dan lateral) dan 5 ruas pada lobus kanan bawah ( superior, medial, anterior,
lateral dan posterior) dan 8 segmen bronkopulmonalis kiri yaitu 4 segmen di lobus
kiri atas (apicoposterior, anterior, lingula superior dan lingula inferior) dan 4 segmen
di lobus kiri bawah (superior, anteromedial, lateral dan posterior) (Gbr. 3). Masing-
masing segmen ini akan bercabang lagi, dan setelah 6-20 divisi segmen bronkial ini
tidak lagi memiliki struktur tulang rawan di dindingnya dan disebut bronkiolus.
Bronkiolus bercabang menjadi bronkiolus terminal. Di ujung bronkiolus terminal ini
terdapat acini, unit terkecil paruparu yang merupakan tempat pertukaran gas
pernapasan. 7,10,11

Gambar 1. Embriologi Paru


Gambar 2. Anatomi Paru

Gambar 3. Segmen Paru


Pembuluh darah paru terutama dibentuk oleh arteri dan vena pulmonalis.
Setiap segmen bronkopulmonalis memiliki cabang arteri pulmonalisnya sendiri.
Arteri pulmonalis utama berasal dari ventrikel kanan dan terbagi menjadi 2 cabang.
Arteri pulmonalis kanan melewati antara vena cava superior dan bronkus utama
kanan dan kemudian bercabang menjadi cabang atas (truncus anterior) dan cabang
interlobar desendens. Arteri pulmonalis kiri berjalan di sepanjang bronkus utama kiri.
Di paru kanan ada 3 vena pulmonalis; vena pulmonalis superior desendens, vena
lobus tengah, dan vena pulmonalis inferior. Di paru-paru kiri ada 2 vena; Vena
pulmonalis superior mensuplai lobus atas dan lingula, dan vena pulmonalis inferior
mensuplai lobus bawah (Gbr. 4). 7,10,11

Gambar 4. Vaskularisasi dan Sistem Limfatik Paru

Sistem limfatik paru dimulai dari pembuluh limfe yang menuju ke kelenjar getah
bening intra-parenkim paru, kemudian mengalir ke kelenjar getah bening peri-
bronkial (hilar), sub-carina, trakeobronkial tree, dan paratrakea. Sistem limfatik paru
berhubungan dengan sistem vena melalui limfatik bronkomediastinum dan saluran
toraks atau melalui kelenjar getah bening servikal inferior yang dalam (skalenus)
(Gbr. 4).7,10,11
Epidemiologi
Insiden dan kematian dari abses paru telah menurun secara dramatis dalam beberapa
dekade terakhir karena meningkatnya penggunaan antibiotik dan ketersediaan pilihan
terapi lainnya. Saat ini terjadi perubahan pola penyakit abses paru di negara maju
dimana abses paru sekunder akibat keganasan dan imunosupresi lebih sering terjadi.
Di Prancis, peningkatan insiden abses paru ditemukan pada populasi anak pada tahun
1999 dan 2003. Insiden abses paru sekitar 4-5 per 10.000 pasien rawat inap per tahun.
Abses paru dapat ditemukan pada semua usia, sebagian besar pada dekade keenam
hingga kedelapan kehidupan, dan lebih sering terjadi pada pria.

Tabel 1. Penyebab Abses Paru


Tipe Abses Organisme
Primer S. aureus
H. influenza
S. viridans, pneumonia
S. alpha hemolyticus
Neisseria sp
M. pnerumonia

Sekunder Aerobics
H. aphropilus
H. parainfluenzae
S. group B
K. pneumonia
E. coli
P. pyocyanea
A. aeruginosa Candidate
Rhizopus sp
A. Fumigatus Nocardia sp
E. corrode
S. marcescens
Anaerobic
P. constellation
Veillonella sp
Bacteriodes sp
Fusobacterium sp
Bifidobacterium sp

Patogenesis
Abses paru diklasifikasikan berdasarkan faktor-faktor berikut: (1) organisme
penyebab (seperti abses paru anaerobik atau abses paru stafilokokus), (2) adanya bau
pada dahak (abses paru pupil), (3) durasi gejala sebelum diagnosis (akut, gejala
muncul kurang dari dua minggu; sub-akut, gejala muncul lebih dari dua minggu;
kronis, gejala muncul lebih dari satu bulan); atau (4) ada atau tidak adanya kondisi
terkait lainnya (seperti kanker paru-paru, AIDS, imunosupresi). Istilah abses paru
primer digunakan ketika abses terjadi pada individu yang diaspirasi atau individu
yang sebelumnya sehat. Abses paru sekunder menunjukkan adanya neoplasma atau
benda asing yang menghalangi jalan napas, komplikasi pembedahan toraks, atau
kondisi atau pengobatan sistemik yang mengakibatkan melemahnya sistem kekebalan
tubuh, seperti pada pasien dengan AIDS dan terapi imunosupresan. Sekitar 80% abses
paru adalah abses paru primer.
Kejadian abses paru pada pasien yang sebelumnya diketahui mengalami
aspirasi disebabkan oleh gangguan kesadaran, seperti pada pecandu alkohol,
gangguan kejang, stroke, penyalahgunaan obat, dan pasien yang mendapat anestesi
umum. Penyebab lain dari aspirasi termasuk disfagia karena gangguan esofagus dan
saraf, gangguan otot pernapasan karena sklerosis lateral myotrophic, penyakit
Parkinson, pencabutan gigi, dan penggunaan alat mekanis seperti nasogastric tubes
(NGT) dan endotrakea tubes (ETT). Pada umumnya penderita abses paru memiliki
oral hygiene yang buruk disertai gingivitis yang memudahkan tumbuhnya bakteri
anaerob. Beberapa penelitian menyatakan bahwa 50% kasus abses paru pada populasi
diatas 50 tahun berhubungan dengan karsinoma paru, baik karena infeksi karena
penyumbatan oleh tumor atau karena infeksi karena proses nekrosis tumor itu sendiri.
Penyebab lain dari obstruksi jalan napas yang dapat menyebabkan abses paru adalah
benda asing dan kompresi ekstrinsik kelenjar getah bening yang membesar. 1.2

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pemeriksaan Radiologi
Radiografi Konvensional
Gambaran radiologis abses paru ini mungkin normal atau dengan infiltrat
alveolar difus atau lokal dalam 72 jam pertama, dan akan berubah dalam beberapa
hari. Rongga yang terbentuk berdinding tebal, tidak beraturan, berbentuk bulat
dengan diameter > 2 cm (tetapi bisa juga >12 cm), batasnya tidak jelas dan biasanya
terdapat air-fluid level di dalamnya (Gbr. 6). Ketebalan dinding abses dapat berubah
dari tebal menjadi tipis dan dari tidak jelas menjadi terdefinisi dengan baik saat
proses perbaikan infeksi terjadi. Ciri dari abses paru ini adalah dimensi lesi pada
proyeksi frontal hampir sama dengan dimensi pada proyeksi lateral. Abses paru dapat
meluas ke permukaan pleura sehingga membentuk sudut lancip dengan permukaan
pleura (Gbr. 9). Rongga yang terbentuk bisa multiple dan multilobar (necrotizing
pneumonia), biasanya terjadi pada pasien immunocompromised (Gbr. 8).
1,6,12,13,14,15,
Gambar 6. Abses paru bakteri. (A). Gambar 7. Abses paru, proyeksi frontal
Rontgen dada saat dirawat di rumah sakit, dan lateral.

menunjukkan infiltrat yang luas tanpa


rongga yang jelas. (B), Xray setelah enam
hari perawatan, menunjukkan rongga besar
berdinding tebal dengan tingkat cairan-
udara.

Gambar 8. Abses paru multiloculated Gambar 9. Necrotizing cavitating


pneumoniae akibat S. aureus pada pasien
AIDS.
Gambar 10. Abses paru, pada radiografi konvensional
dapat berupa lesi padat, dan jika terdapat hubungan
dengan bronkus akan membentuk air-fluid level.

Computer Tomography

CT scan secara luas diakui sebagai modalitas radiologi yang paling unggul dalam
menilai parenkim paru. Kemampuan resolusi kontras yang baik dan adanya struktur
toraks non-superiomposed memungkinkan CT resolusi tinggi (HRCT) menjadi
modalitas pencitraan yang paling sensitif untuk menilai proses patologis di parenkim
paru, termasuk abses paru.

Gambar 11. CT scan dapat digunakan Gambar 12. Abses paru. (A, B, C), CT
untuk menemukan lokasi lesi dan untuk scan aksial dan koronal, menunjukkan
menempatkan jarum drainase dan rongga dengan air-fluid level. Dinding
mengaspirasi isi lesi. abses tampak keras dengan air-fluid level
di dalamnya.

Gambar 13. (A). Abses paru, CT scan Gambar 14. Abses paru. CT scan dengan
menunjukkan abses berdinding tebal yang kontras axial shunt, menunjukkan rongga
kuat dengan air-fluid level. (B). CT scan besar di lobus kiri bawah dengan dinding
pasien leukemia, menunjukkan rongga tebal (panah hitam), dinding bagian dalam
dengan airfluid level. Pada pemeriksaan yang halus dan airfluid level (panah putih).
bronchoalveolar lavage didapatkan hasil Ada juga reaksi peradangan di sekitar paru-
Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan ultrasonografi merupakan modalitas yang kurang optimal untuk
kasus parenkim paru terutama abses paru karena transmisi gelombang suara yang
buruk saat melewati benda yang banyak mengandung udara seperti paru-paru.
Namun, baru-baru ini telah terjadi peningkatan penggunaan USG untuk evaluasi
penyakit parenkim paru yang terletak di perifer, pleura dan dinding dada. Studi Yang
PC et al pada tahun 1992 menemukan bahwa USG lebih sensitif daripada radiografi
konvensional dalam menilai nekrosis paru dan abses. Ultrasound sangat berguna
karena bersifat real-time dan multiplanar. Selain itu, USG bersifat portable sehingga
dapat digunakan untuk pasien IGD dan Intensive Care Unit (ICU). Selain itu, saat ini
USG bahkan digunakan sebagai panduan dalam prosedur intervensi seperti biopsi dan
pemasangan drainase dada interkostal.
Penampakan abses paru pada ultrasonografi cukup khas, dengan lesi
hipoekoik bulat atau oval dengan batas ireguler (Gbr. 12). Bagian tengah abses sering
anechoic tetapi mungkin juga bersepta dengan internal echoes. Internal echoes yang
kabur menunjukkan adanya sejumlah besar nanah yang kaya protein, sedangkan septa
muncul sebagai foating echo stripes. Pada tahap awal, abses paru kecil terlihat
sebagai kumpulan patologis cairan dalam konsolidasi paru yang memberikan
tampilan bertekstur pada hati. Abses paru dengan air-fluid level akan tampak lebih
tidak homogen.
Gambar 14. (A).USG grayscale menunjukkan lesi hypoechoic dengan tanda microbubble
(panah), ketebalan dinding bervariasi dengan kontur dinding luar dan dalam yang tidak
teratur (panah). (B).USG Color Doppler menunjukkan vaskularisasi di sekitar rongga
(panah).

Gambar 15. Abses paru. (A). Ultrasonografi skala abu-abu, menunjukkan lesi hiperkoik
dengan tanda gelembung mikro (panah), dikelilingi oleh parenkim paru. (B). Ultrasonografi
Doppler Warna, menunjukkan sinyal vaskular dalam konsolidasi di sekitar rongga.
Pembuluh darah tampak tersumbat, bercabang dan melingkar.

Resonansi magnetis
Gambar (MRI)
Secara umum MRI memiliki kemampuan yang sangat baik untuk menilai
jaringan lunak, namun penggunaan MRI dalam evaluasi proses patologis paru sangat
terbatas karena adanya artefak dan resolusi spasial yang relatif rendah. Struktur
vaskular juga lebih sulit untuk dinilai terutama pada jenis non-kontras. Namun, dalam
kondisi di mana evaluasi radiologis berulang diperlukan, seperti dalam kasus: abses
paru pada anak, MRI merupakan pilihan pertama karena kemampuannya sebagai
modalitas radiologis bebas radiasi.
Gambar 16. MRI aksial. (A) T2W HASTE, (B) syngo BLADE, (C) T1W VIBE pasca kontras,
menunjukkan abses paru di lobus bawah paru kanan. Area homogen dengan peningkatan
pensinyalan T2W (konsolidasi) di lobus kanan bawah (1) dan inklusi multipel pada hiper T2W
Diagnosis Diferensial
dan hipointens Radiologis
T1W dengan peningkatan perifer (2). Efusi pleura bilateral juga terlihat (3).
Gambaran radiologis abses paru juga dapat ditemukan pada banyak proses
patologis paru lainnya. Adanya kavitas dapat digunakan untuk menyingkirkan
diagnosis banding lainnya tetapi harus dikombinasikan dengan data klinis dan
laboratorium untuk mencapai diagnosis yang tepat dan akurat.

Empiema
Empiema toraks atau pyothorax mengacu pada infeksi purulen dari efusi
pleura. Pada pemeriksaan radiografi konvensional, empiema dapat menyerupai abses
paru perifer. Empiema membentuk sudut tumpul dengan dinding dada, dan karena
bentuknya yang lentikular maka akan tampak lebih besar dalam satu proyeksi
(misalnya frontal) dari pada dalam proyeksi ortogonal (misalnya proyeksi lateral)
(Gbr. 17). Pada CT scan akan tampak empiema sebagai amplifikasi pleura, terutama
pleura. parietal dan adanya tanda split-pleura (Gbr. 18).
Gambar 17. Empiema. (A), proyeksi Gambar 18. (A). Tanda split-pleura.
PA. (B), proyeksi lateral. Kumpulan Pembesaran dan pemisahan pleura
cairan perifer muncul dengan tepi luar viseral (P) dan parietal (V) terlihat dan
yang halus, disertai dengan udara bebas peningkatan lemak ekstra-pleura
intralesi. (panah). Bandingkan ini dengan efusi
pleura di paru kiri. (B). Empiema toraks
dengan septa.

Kanker Kavitas Paru-Paru


Kavitas terlihat pada 2-16% dari semua kanker paru-paru. Kavitas yang
terdeteksi pada radiografi konvensional menyumbang 7-11% dari semua kanker paru
primer, sedangkan yang terdeteksi pada CT scan menyumbang 22%. Pada
pemeriksaan radiologis, massa dapat terletak di perifer atau sentral, memiliki tepi
yang halus atau tidak teratur dan dapat mengalami kavitasi. Rongga yang terbentuk
biasanya berdinding tebal (tebal >5 mm), berbentuk eksentrik dan memiliki batas
internal nodular (Gbr. 19).
Gambar 19. Karsinoma paru bukan sel kecil. Rongga muncul dengan air-fluid level.

Metastasis paru-paru
Kavitas pada metastasis paru biasanya berdinding tebal dan tidak teratur,
tetapi dapat juga berdinding tipis, terutama pada adenokarsinoma dan sarkoma. Pada
CT scan paru akan terlihat metastasis berupa nodul dengan tepi halus dan tidak
beraturan, batas dapat tegas atau tidak jelas. Nodul ini memiliki atenuasi jaringan
lunak dan memiliki pembuluh darah paru besar yang menonjol (Gbr. 20).

Gambar 20. (A). Radiografi proyeksi PA konvensional. Metastasis paru kavitasi pada
karsinoma sel skuamosa. Sebuah rongga dengan air-fluid level ditunjukkan (panah).
(B). CT-scan aksial.
Penyakit granulomatosa
Sistem pernapasan (95% kasus). Pada radiografi konvensional, mereka terlihat
sebagai nodul multipel dengan ukuran bervariasi, dan kira-kira setengah dari semua
nodul kavitasi. Dalam beberapa kasus, konsolidasi fokal perifer juga mengalami
kavitasi. Pada CT scan rongga terletak di perifer, berdekatan dengan pleura dan
pembuluh darah di sekitar rongga dapat terlihat (Gbr. 21)

Gambar 21. Granulomatosis Wegener. (A). Radiografi konvensional menunjukkan


beberapa rongga. (B). CT scan menunjukkan rongga dengan air-fluid level. Diambil
dari: Kuhlman JE, dkk. Ruang Berisi Udara Abnormal di Paru-paru.

Infeksi Pneumotocele
Pneumatoceles adalah lesi kistik berisi udara intrapulmoner yang bervariasi
dalam ukuran dan penampilan. Pneumatocele muncul sebagai lesi kistik
intraparenkim yang berisi udara, berdinding tebal. Namun, jika pemeriksaan
radiologis dilakukan pada saat pembentukan pneumatokel, konsolidasi mungkin
terlihat dan sulit dibedakan dari abses paru (Gbr. 22).
Gambar 22. Pneumatokel. (A, B). Radiografi konvensional menunjukkan opacity
dengan air-fluid level.

Penatalaksanaan
Terapi antibiotik
Terapi konservatif merupakan pilihan utama pada kasus abses paru. Pilihan
antibiotik awal yang digunakan tergantung pada organisme penyebab yang mungkin.
Keterlibatan bakteri gram negatif harus dicurigai pada pasien imunosupresi, abses
karena komplikasi pneumonia, abses paru yang didapat di rumah sakit, atau
pneumonia nekrotikans. Banyak ahli merekomendasikan antibiotik parenteral selama
2-3 minggu, diikuti dengan antibiotik oral hingga 4-6 minggu. Penisilin adalah
antibiotik utama dalam pengobatan abses paru. Penisilin oral dosis tinggi telah
terbukti memiliki kemanjuran tinggi bahkan pada pasien dengan rongga abses
tertutup yang lama. Telah lama diketahui bahwa penisilin adalah antibiotik pilihan
untuk bakteri anaerob. tetapi dalam beberapa dekade terakhir telah ditemukan bahwa
banyak bakteri anaerob oral menghasilkan penisilinase. Sebagai tambahan, dua studi
uji klinis menunjukkan bahwa klindamisin lebih unggul daripada penisilin dalam
pengobatan abses paru. Penggunaan Metronidazol sebagai terapi tunggal
menunjukkan hasil yang mengecewakan dan lebih rendah daripada klindamisin.
Kombinasi Metronidazol dengan Penisilin memberikan hasil yang baik dengan harga
yang lebih terjangkau dan lebih dapat ditoleransi.
Fisioterapi Dada Dan Drainase Postur
Pasien dengan abses paru besar harus diposisikan pada posisi dekubitus lateral
dengan abses di bagian bawah. Hal ini untuk mencegah asfiksia dan keluarnya isi
abses yang menyebabkan aspirasi atau penyebaran infeksi ke segmen paru lainnya.
Fisioterapi dada dan drainase postural dapat meningkatkan pembersihan nanah
nekrotik dan purulen dari abses, tetapi hal ini masih menjadi perdebatan.

Bronkoskopi
Bronkoskopi masih sering dilakukan, terutama pada pasien dengan air-fluid
level persisten, pasien dengan sepsis yang bertahan selama 3-4 hari dengan antibiotik,
atau dalam situasi di mana diduga tumor endobronkial. Prosedur bronkoskopi jarang
digunakan untuk drainase abses paru. Bronkoskopi kaku memiliki kapasitas hisap
yang lebih besar tetapi merupakan teknik yang kurang populer saat ini. Tidak
dianjurkan menggunakan bronkoskopi untuk mengeringkan abses besar (diameter >6-
8 cm) karena risiko asfiksia atau sindrom gangguan pernapasan akut.

Terapi Bedah
Pada era pra-antibiotik, lebih dari 45% pasien abses paru menjalani perawatan
bedah, dan sepertiga kasus berakhir dengan kematian. Dalam beberapa tahun terakhir,
kurang dari 15% (11-21%) pasien menjalani operasi dan angka kematian keseluruhan
berkisar antara 10%. Intervensi drainase yang dilakukan pada abses paru dapat
meliputi: (1) Video-assisted thoracoscopy, lebih non-invasif daripada terapi reseksi.
(2) Reseksi paru-paru yang terlibat dengan lobektomi atau reseksi segmen-tal.
Indikasi untuk reseksi ini tidak disepakati dengan baik, tetapi umumnya diindikasikan
untuk pasien dengan rongga besar, perdarahan masif, empiema, neoplasma obstruktif,
dan infeksi yang disebabkan oleh bakteri atau jamur multiresisten. Harapan hidup
setelah reseksi paru berkisar antara 89-95%. (3) CT scan dan drainase perkutan
dipandu USG. Tingkat keberhasilannya sekitar 90% dan harus dipertimbangkan
sebagai terapi awal pada pasien yang gagal dengan terapi konservatif.
4. KESIMPULAN
Kematian pasien dengan abses paru primer jarang terjadi (sekitar 2-5%), tetapi
hasil fatal terlihat pada 65% kasus yang berhubungan dengan penyakit saluran napas
obstruktif, gangguan kekebalan tubuh dan infeksi nosokomial. Beberapa faktor yang
berhubungan dengan prognosis buruk adalah usia lanjut, gejala yang berkepanjangan,
adanya penyakit penyerta, infeksi nosokomial dan gigi berlubang yang besar.
2,6,15,44 Abses paru dengan gambaran radiologis yang dapat meniru banyak proses
patologis paru lainnya adalah sesuatu yang harus dipahami dengan baik oleh ahli
radiologi. Tersedianya berbagai modalitas radiologi saat ini diharapkan dapat lebih
meningkatkan ketajaman diagnosis radiologis sehingga penanganan pasien dapat
dilakukan lebih dini.

REFERESI
1. Gurney JW, et al. Lung Abscess. In: Diagnostic Imaging Chest. Ed-1. Canada:
Amirsys Publishing, 2006. p. I.1.12
2. Lorber B. Bacterial Lung Abscess. In: Bennet JE, Doln R, Blaser MJ, editors.
Principle and Practice of Infectious Disease. Ed-8. Philadelphia: Elsevier, 2015. p.
855-9
3. Lakser O. Pulmonary Abscess. In: Kliegman RM, Stanton BF, Geme JW, Schor NF,
Behrman RE, editors. Nelson’s Textbook of Paediatrics. Ed-19. Philadelphia:
Elsevier, 2011. p. 1480-1
4. Torres A, Menendez R, Wunderink R. Pyogenic Bacterial Pneumonia and Lung
Abscess. In: Mason RJ, et al, editors. Murray and Nadel’s Textbook of Respiratory
Medicine. Ed5. Philadelphia: Elsevier, 2010. p. 699-740
5. Ferri FF. Lung Abscess. Ferri’s Clinical Advisor. Ed-1. Philadelphia: Elsevier, 2014.
p. 14-5
6. Sopirola MM, Mangino JE. Lung Abscess and Pleural Abscess. In Cohen J, Opal
SM, Powderly WG, editors. Infectious Disease. Ed-3. Philadelphia: Elsevier, 2010. p.
300-8
7. Prokop M. Lungs and Tracheobronchial System. In: Spiral and Multislice of
Computed Tomography of the Body. Stuttgart: Thieme, 2003.p.282-286
8. Verschakelen JA. Introduction. In: Leuven ALB, Gottingen MK, Heidelberg KS,
editors. Computed Tomography of the Lung A Pattern Approach. Ed-1. Berlin:
Springer. p. 1-2
9. Rumende CM. The Role of Ultrasonography in the Management of Lung and Pleural
disease. Acta Medica Indonesiana. p. 173-5
10. Diaz JJ, Mendoza. Lung Anatomy. Downloaded from:
www.emedicine.medscape.com
11. Collins J, Stern EJ. Normal Anatomy of the Chest. In: Collins J, Stern EJ, editors.
Chest Radiology The Essentials. Ed-2. London: Lippincot Williams & Wilkins,
2008. p. 2-16
12. Lung Abscess. Downloaded from www.bestpractice.bmj.com
13. Muller NL, Franquet T, Lee KS. Bacterial Pneumonia. In: Silva CIS, editors.
Imaging of Pulmonary Infections. Ed-1. London: Lippincot Williams & Willkins,
2007. p. 21-5
14. Misra R, Planner A, Uthappa M. Lung Abscess. In: A-Z of Chest Radiology. New
York: Cambridge University Press, 2007. p. 22-6
15. Allen CM, Al-Jahdali HH, et al. Imaging Lung Manifestation of HIV/AIDS. Journal
Annals of Thoracic Medicine,2010; 5(4): 201-216
16. Naidich DP, et al. Pleura, Chest Wall and Diaphragma. In: CT and MRI of the
Thorax. Ed-4. London: Lippincot Williams &Wilkins, 2007. P. 770
17. Kamangar N. Lung Abscess Workup. Downloaded from
www.emedicine.medscape.com/articles/lung-abscess
18. Abdulazeez RAJ. CT Characterization of Cavitary Lung Lesions. Thi-Qar Medical
Journal, 2012; 6(1): 32-47
19. Gadkowski LB, stout JE. Cavitary Pulmonary Lesions. Clinical Microbiology
Review, 2008; 21 (2): 305-33
20. Lange S. Radiology of the Chest Disease. Stuttgart: Thieme, 1990.p.66-68
21. Usaola NS, et al. Cavitated Lung Lesions A Diagnostic Approach. Downloaded from
www.myESR.org
22. Lichtenstein DA. US in the Management of Thoracic Disease. Critical Care
Medicine. 2007; 35(5): 250-261
23. Mathis G. Subpleural Lung Consolidation. In: Chest Sonography. Ed-2. Berlin:
Springer, 2008. p. 54-5
24. Koh DM, Burke S, Davies N, Padley SP. Tranthoracic US of the Chest: Clinical Uses
and Applications. Radiographics. 2002; 22(1):
25. Chen HJ, et al. Ultraound in Peripheral Pulmonary Air-Fluid Lesion. Chest. 2009;
135: 1426-1432
26. Ryu JH, Swensen SJ. Cystic and Cavitary Lung Disease: Focal and Diffuse. Mayo
Clinic Procedures. 2003; 78: 744-52
27. Odeu K, Ozbiner H. Imaging Findings of Focal and Multiple Cystic and Cavitary
Lung Lesions. Eur J Gen Med. 2012; 9: 3-14
28. Kim NR, Han J. Pathologic Review of Cysyic and Cavitary Lung Disease. The
Korean Journal of Pathology. 2012; 46: 407-14
29. Limsukon A. Parapneumonic Pleural Effusion and Empyema Thoracis. Empyema.
Downloaded from www.emedicine.medscape.com
30. Brims FJH, Lansley SM, Watener GW, Lee YGC. Empyema Thoracis: New Insight
into an Old Disease. Eur Respiratory Review. 2010; 19(117): 220-8
31. McLoud TC, Boiselle PM. The Pleura. In: McLoud TC, Boiselle PM, editors.
Thoracic Radiology. Ed-2. Philadelphia: Elsevier, 2010. p. 385-6
32. Kraus GJ. Sign in Imaging: The Split-Pleura Sign. Radiology. 2010; 243(1):
33. O’Donovan PB. The Radiologic Appearance of Lung Cancer. Cancernetwork.
1997.p.1- 12. Downloaded from www.cancernetwork.com
34. Ellis Sm, Flower C. Lung Tumours. IN: Ostensen H, Peterson H, editors. The WHO
Manual of Diagnostic Imaging. Ed-1. Singapore: WHO, 2006. p.
35. Irshad A. Imaging in Small Lung Cancer. Downloaded from
www.emedicine.medscape.com
36. Seo JB, Im JG, et al. atypical Pulmonary Metastasis: Spectrum of Radiologic
Findings. Radiographics. 2001; 21(2):
37. Cavitary Pulmonary Metastasis. www.learningradiology.com
38. Tracy CL. Granulomatosis with Polyangitis (Wegener granulomatosis). Downloaded
from www.emedicine.medscape.com
39. Kuhlman JE, et al. Abnormal air-filled Spaces in the Lung. Radiographics. 1993; 14:
40. Mehra S, Aggarwal S. CT Diagnosis of Pulmonary Wegener’s Granulomatosis: A
Case Report and Review of Literature. JIACM 2008; 9(4): 321-5

Anda mungkin juga menyukai