Disusun Oleh:
Nursalsabila (41191396100083)
Pembimbing :
FAKULTAS KEDOKTERAN
Dalam kesempatan kali ini, kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak
yang telah membimbing kami dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini, terutama
kepada:
1. Pembimbing presentasi kasus dr. Vera Irawany, SpAn KIC yang telah mengajarkan
dan meluangkan waktu untuk mengarahkan dalam penyusunan makalah presentasi
kasus ini.
2. Semua dokter dan staf KSM Anestesi RSUP Fatmawati.
3. Teman-teman Kepaniteraan Klinik di KSM Anestesi RSUP Fatmawati atas bantuan
dan dukungannya dalam penyusunan makalah presentasi kasus ini.
Demikian makalah presentasi kasus ini kami tulis, semoga dapat memberikan manfaat
bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya.
Tim penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Sepsis didefinisikan sebagai keadaan disfungsi organ yang mengancam nyawa akibat
terjadinya disregulasi respon tubuh terhadap infeksi. Keterlambatan dalam deteksi dan
penanganan yang kurang baik dapat sepsis berkembang menjadi syok sepsis, kegagalan organ
multiple hingga kematian. Diperkirakan lebih dari 30 juta jiwa di seluruh belahan dunia
mengalami sepsis, dengan potensi 6 juta kematian setiap tahunnya. Sepsis dan Syok sepsis
adalah salah satu penyebab utama mortalitas pada pasien dengan kondisi kritis.1
Penyebab tersering sepsis adalah pneumonia, berkontribusi sekitar 50% kasus, diikuti
oleh infeksi intra abdomen dan saluran kemih.2 Pneumonia dan Acute Respiratory Distress
Syndrome (ARDS) berhubungan erat dengan pasien sakit kritis. ARDS seringkali dipersulit
oleh pneumonia khususnya pneumonia nosocomial, sementara infeksi paru khususnya
Community Acquired Pneumonia (CAP) merupakan penyebab tunggal paling sering dari
ARDS. Sampai saat ini sepsis tampak menjadi hubungan utama antara pneumonia dan ARDS.
Namun, data observasi pada urutan yang seharusnya tidak tersedia.3
Estenssoro dkk mengamati 3.050 pasien yang dirawat di unit perawatan intensif selama
15 bulan menemukan 235 memenuhi kriteria ARDS dan menggunakan ventilator. Etiologi
utamanya adalah sepsis (44%) dan pneumonia (65 kasus). Peneliti tidak membedakan antara
CAP dan pneumonia nosocomial. Sedangkan dalam sebuah studi kohort prospektif, 280 pasien
dengan CAP dimasukkan dan 31 pasien (11%) diidentifikasi memenuhi kriteria syok septik.
Sepuluh (4%) dari 280 pasien menderita ARDS. Dengan demikian, masih tidak dapat
ditentukan urutan antara sepsis atau syok sepsis, ARDS, dan pneumonia.3
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Pneumonia
Pneumonia merupakan istilah untuk inflamasi yang terjadi pada parenkim paru.
Sebagian besar penyebab pneumonia adalah mikroorganisme seperti virus atau bakteri
dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain misalnya aspirasi, radiasi, dan sebagainya.
Bakteri yang sering ditemukan menjadi penyebab pneumonia adalah Streptococcus
pneumoniae, Hemophilus influenza, Staphylococcus aureus, streptokokus grup B, serta
bakteri atipik klamidia dan mikoplasma.4,5
Pneumonia diklasifikasikan berdasarkan penyebab, klinis dan epidemiologis,
dan tempat predileksi infeksi. Berdasarkan penyebabnya, pneumonia terbagi menjadi
pneumonia bakteri/tipikal, pneumonia atipikal, pneumonia virus, dan pneumonia
jamur. Pneumonia berdasarkan klinis dan epidemiologisnya terbagi menjadi pneumonia
komuniti, pneumonia nosocomial, pneumonia aspirasi, dan pneumonia pada pasien
immunocompromised. Sedangkan berdasarkan tempat predileksinya, pneumonia
dibagi menjadi tiga, yakni pneumonia lobaris, bronkopneumonia, dan pneumonia
interstisial.4,5
Gambaran klinis pada pneumonia biasanya ditandai dengan gejala demam,
menggigil, suhu tubuh meningkat melebihi 40°C, serta batuk dengan dahak mucoid atau
purulent yang kadang-kadang disertai dengan darah, serta sesak napas dan nyeri dada.
Temuan pada pemeriksaan fisik dada tergantung dari luas lesi pada paru. Temuan yang
sering didapat pada pemeriksaan fisik diantaranya yaitu:4,5
1. Pada inspeksi dapat terlihat pergerakan dinding dada yang tidak simetris.
Bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas.
2. Pada palpasi fremitus dapat mengeras.
3. Perkusi ditemukan redup.
4. Pada auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial
yang dapat disertai ronkhi basah halus, yang kemudian menjadi ronkhi basah
kasar pada stadium resolusi.
2. 3. Sepsis
Secara bahasa, sepsis berasal dari bahasa Yunani, “Sepo” yang artinya
membusuk. Sedangkan pengertian sepsis secara istilah adalah keadaan disfungsi organ
yang mengancam jiwa, akibat adanya disregulasi respon tubuh terhadap infeksi.
Disfungsi organ dapat didiagnosis dengan menggunakan skor SOFA (Sequential Organ
Failure Assessment) ditandai dengan nilai skor SOFA ≥ 2.
Sepsis berat didefinisikan sebagai sepsis akibat disfungsi organ atau hipoperfusi
jaringan, dikatergorikan sebagai Sepsis-induced hypotension jika tekanan darah sistolik
<90 mmHg atau mean arterial pressure (MAP) <70 mmHg atau tekanan darah sistolik
yang turun >40 mmHg atau kurang dari dua standard deviasi di bawah normal tanpa
adanya penyebab hipotensi lain.
Syok sepsis merupakan kondisi lanjut dari sepsis dan sepsis berat. Syok sepsis
merupakan kondisi sepsis yang disertai hipotensi persisten dengan MAP ≥ 65 mmHg
dengan bantuan vasopressor dan kadar laktat serum >2 mmol/L (18mg/dl) walaupun
telah diberikan resusitasi yang adekuat.8
2. 4. Etiologi Sepsis
Sepsis paling sering disebabkan oleh bakteri Gram negative (60-70%). 20-40%
angka kejadian sepsis disebabkan oleh bakteri Staphylococci, pneumococci,
streptococci, dan bakteri Gram positif lain penyebab sepsis. Jamur oportunistik, virus,
dan protozoa juga dapat menimbulkan sepsis walaupun lebih jarang.9 Pada pemeriksan
hasil kultur darah pada pasien sepsis didapatkan positif hanya pada sepertiga kasus,
sedangkan kultur dari tempat lain didapatkan negatif pada sepertiga kasus.
Staphylococcus aureus dan Streptococcus pneumoniae merupakan bakteri gram positif
yang paling sering didapatkan, sedangkan Escherichia coli, Klebsiella species, dan
Pseudomonas Aeruginosa merupakan bakteri gram negatif yang paling sering
didapatkan dari kultur.
Bakteri patogen memiliki factor virulensi yang berguna untuk melindungi diri
dari system imum host. Salah satu factor virulensi bakteri yang paling penting adalah
toksin, diantaranya seperi endotoksin atau lipopolisakarida (LPS) pada bakteri gram
negative dan beberapa bakteri juga mensekresikan eksotoksin dan enterotoksin. Toksin
bakteri dibagi menjadi tiga tipe berdasarkan cara kerjanya. Toksin tipe I bekerja pada
sel host tanpa harus masuk ke dalam sel. Toksin tipe II bekerja dengan merusak
membrane sel host untuk menginvasi dan mengganggu mekanisme pertahanan di dalam
sel host, dan toksin tipe III bekerja dengan mengacaukan pertahanan sel host agar dapat
menyebar ke organ-organ lain.10
Bakteri gram negatif memiliki membrane luar yang terdiri dari lipopolisakarida
(LPS) atau endotoksin glikoprotein sebagai komponen utama yang berperan dalam
menstimulasi pengeluaran mediator proinflamasi. Komponen ini kemudian
menyebababkan terjadinya inflamasi sistemik dan jaringan. Peptidoglikan pada dinding
sel bakteri juga dapat menstimulasi pelepasan sitokin dan berperan penting dalam
proses agregasi trombosit.9
2. 5. Epidemiologi Sepsis
Angka kejadian sepsis di seluruh belahan dunia diperkirakan lebih dari 30 juta
jiwa mengalami sepsis dengan potensi 6 juta kematian setiap tahunnya. Insidensi sepsis
berat dan syok sepsis di Amerika serikat setiap tahun dapat mencapai 300 kasus dari
100.000 orang. Hampir setengah kasus tersebut terjadi diluar ICU. Syok sepsis
dikatakan memiliki tingkat mortalitas tertinggi hingga 50%.11
Hasil dari Riskesdas 2013 menyebutkan bahwa penyakit infeksi utama yang ada
di Indonesia meliputi ISPA, pneumonia, tuberkulosis, hepatitis, diare, dan malaria. Di
Indonesia infeksi saluran pernafasan dan tuberkulosis termasuk 5 besar penyebab
kematian.9
Pada tahun 1991, pertama kali oleh American College of Chest Physicians
(ACCP) dan Society of Critical Care medicine (SCCM) mengeluarkan suatu konsensus
mengenai Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), sepsis, dan sepsis berat.
Sindrom ini merupakan kelanjutan dari inflamasi yang memburuk dimulai dari SIRS
menjadi sepsis, sepsis berat, dan syok sepsis.
Tabel 1. Kriteria untuk SIRS, Sepsis, Sepsis Berat dan Syok septik
Pada bulan oktober tahun 1994 European Society Of Intensive Care Medicine
mengeluarkan suatu konsensus yang dinamakan sepsis-related organ failure assesment
(SOFA) score untuk menggambarkan secara kuantitatif dan subjektif mungkin tingkat
dari disfungsi organ. 2 hal penting dari skor SOFA ini adalah:
Respon Pejamu
Terdapat dua mekanisme pertahanan tubuh terhadap patogen yaitu respon imun
bawaan dan didapat. Respon imun bawaan berespon secara cepat melalui reseptor
selular dan solubel yang disebut sebagai Pattern-Recognition Receptor (PRR).
Reseptor selular diekpresikan pada membran dan sitoplasma oleh hampir semua sel
terutama sel fagosit (terutama makrofag dan neutrofil) dan sel dendritik. Empat
kelompok penting PRR adalah Toll-like receptor (TLR), nucleotide oligomerization
domain-containing protein-like receptors (NLRs), C-type lectin-like receptors (CLRs),
dan retinoid acid-inducible gene-like receptors (RLRs).14
Molekul solubel berperan pada respon awal terhadap mikroorganisme patogen
yang berada di aliran darah dan cairan ekstraselular lainnya. Komponen molekul
solubel utama adalah sistem komplemen, pentraxins, collentins, dan ficolins. Molekul
solubel dapat berperan sebagai opsonin melalui ikatan dengan mikroorganisme,
sehingga memudahkan sel fagosit yang memiliki reseptor membran spesifik terhadap
opsonin, untuk memfagosit patogen tersebut. Selain itu, molekul solubel dapat bersifat
kemoatraktan yang akan merangsang respon inflamasi dengan menarik lebih banyak
sel fagosit ke lokasi infeksi dan langsung mengeliminasi patogen tersebut.14
Respon imun didapat melibatkan sejumlah besar sel efektor dan molekul
antibodi yang berfungsi untuk eliminasi patogen, dan sel memori yang melindungi
pejamu dari infeksi berulang. Respon imun didapat melawan bakteri intrasel
melibatkan sel limfosit T dan aktivasi sel fagosit (cell-mediated immunity). Sel T
melawan infeksi melalui 2 cara, yaitu pertama sel T helper (CD4+) mengaktivasi sel
fagosit melalui aksi ligan CD40 dan interferon gamma (IFN-γ), menyebabkan matinya
bakteri yang bertahan dan memperbanyak diri dalam sel fagosit, dan kedua sel T
sitotoksik (CD8+) menghancurkan sel terinfeksi termasuk mengeliminasi bakteri di
dalamnya. Terhadap bakteri ekstrasel respon imun melibatkan antibodi terhadap
antigen dinding sel dan toksin bakteri. Antibodi berperan melalui mekanisme
neutralisasi, opsonisasi, dan aktivasi komplemen melalui jalur klasik.14
Respon Inflamasi
Terdapat tiga fase respon inflamasi dalam sepsis: 1) pelepasan toksin bakteri;
2) pelepasan mediator (sitokin) sebagai respon terhadap infeksi; dan 3) efek dari
mediator spesifik yang berlebihan. Pada fase 1, bakteri Gram negatif dan positif mampu
menyebabkan sepsis melalui endotoksin dan eksotoksin. Bakteri Gram negatif memiliki
LPS sebagai endotoksin. Lipopolisakarida-binding protein (LBP) yang bersirkulasi di
darah dan cairan ekstrasel, mengikat lipid A (bagian yang bersifat bioaktif pada LPS)
dan membawa LPS ke cluster of differentiation14 (CD14) pada monosit, makrofag, dan
neutrofil. Interaksi antara kompleks LBP-LPS dan reseptor CD14, memungkinkan LPS
berikatan dengan TLR4, sehingga menimbulkan sinyal untuk dihantarkan ke inti sel,
untuk selanjutnya merangsang produksi dan pelepasan mediator inflamasi. Bakteri
Gram positif memiliki LTA dan muramyl dipeptides (MDP) sebagai endotoksin dan
superantigen sebagai eksotoksin.14
Pada fase 2, interaksi antara PRR dan PAMPs menyebabkan aktivasi nuclear
factor kappa B (NF-κB), suatu faktor transkripsi yang memicu sintesis dan pelepasan
berbagai sitokin pro-inflamasi seperti tumor necrosis factor-α (TNF-α), interleukin-1
(IL-1β), IL-6, dan CXCL-8 (IL-8). Sitokin TNF-α dan IL-1 mengaktifkan endotel dan
menyebabkan endotel meningkatkan ekspresi molekul adhesi seperti selektin-E,
intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1), dan vascular cell adhesion molecule-1
(VCAM-1) sebagai ligan untuk integrin dari leukosit. Selain itu, TNF-α dan IL-1
meningkatkan sekresi kemokin seperti CXCL1 yang akan terikat pada reseptornya di
neutrofil, dan CCL2 di monosit, sehingga meningkatkan afinitas intergrin leukosit
terhadap ligannya, dan meningkatkan migrasi leukosit. Sitokin TNF-α, IL-1, dan IL-6
juga menginduksi hati untuk mengekspresikan protein fase akut seperti CRP, serum
amyloid P (SAP), dan fibrinogen. (12) Superantigen mengaktifkan limfosit T dan
merangsang produksi IL-2 dan IFN-γ. Interleukin-2 adalah sitokin proinflamasi yang
berperan dalam proliferasi dan diferensiasi limfosit T naïve menjadi limfosit T efektor.
Interferon-γ berperan penting dalam imunitas yang dimediasi sel terhadap mikroba
intrasel, mengaktivasi inducible nitric oxide synthase (iNOS), dan meningkatkan
migrasi leukosit. Selain itu, IL-2 dan IFN-γ memicu makrofag untuk melepaskan TNF-
α dan IL-1.14
Pada fase 3, sitokin proinflamasi mengaktifkan sel endotel dengan
meningkatkan ekspresi reseptor adhesi dan menyebabkan kerusakan sel endotel dengan
menginduksi adhesi neutrofil, monosit, makrofag, dan trombosit ke sel endotel. Sel-sel
efektor ini melepaskan mediator seperti protease, oksidan, prostaglandin, dan
leukotrien, yang akan merusak endotel sehingga menyebabkan peningkatan
permeabilitas, vasodilatasi, dan gangguan keseimbangan prokoagulan-antikoagulan.
Peningkatan aktivitas iNOS meningkatkan sintesis berlebihan nitrikmoksida (NO),
yaitu suatu vasodilator poten dan merupakan mediator kunci pada syok septik.14
Abnormalitas Koagulasi
Pada sepsis dan syok septik, keadaan antikoagulasi normal dalam sistem
pembuluh darah menjadi terganggu. Sepsis menyebabkan keadaan hiperkoagulabilitas
yang ditandai oleh pembentukan trombus mikrovaskular, deposisi fibrin, pembentukan
neutrophil extracellular trap (NET), dan kerusakan endotel.10 Keadaan di atas terjadi
melalui beberapa mekanisme yang saling terkait, dengan melibatkan pelepasan sitokin
pro-inflamasi (IL-1, IL-6, IL-12, dan TNF-α), yaitu induksi ekspresi faktor jaringan
(tissue factor - TF), penurunan kadar antitrombin, penghambatan faktor anti-koagulan,
dan gangguan fibrinolisis. Sitokin pro-inflamasi menginduksi ekspresi berlebihan TF
pada permukaan sel endotel dan monosit, menyebabkan interaksi TF dengan faktor
VIIa, sehingga mengaktivasi koagulasi jalur ekstrinsik, pembetukan trombin, dan
fibrin. Fibrin yang terbentuk, bersama dengan trombosit akan membentuk trombus
mikrovaskular. Selain itu, permukaan bakteri Gram negatif dan positif dapat
berinteraksi dengan faktor kontak dan mengaktivasi koagulasi jalur intrinsik melalui
faktor XII.14,15
Secara normal, sebagai respon terhadap koagulasi yang terbentuk, faktor
antikoagulan seperti protein C, protein S, antitrombin III (AT III), dan tissue factor-
pathway inhibitor (TFPI) akan mengurangi koagulasi, meningkatkan fibrinolisis, dan
membersihkan mikrotrombus. Trombin dengan adanya kofaktor trombomodulin yang
dikeluarkan oleh sel endotel, mening-katkan aktivasi protein C menjadi protein C aktif.
Protein C aktif, dengan adanya kofaktor protein S, akan memecah F.Va dan F.VIIIa
menjadi bentuk yang tidak aktif, dan menurunkan sintesis plasminogen activator
inhibitor-1 (PAI-1), yaitu suatu inhibitor yang bekerja terhadap aktivator plasminogen.
Protein C aktif juga menurunkan apoptosis, adhesi leukosit, dan produksi sitokin. Peran
protein C aktif menurunkan apoptosis sel endotel melalui penekanan dua gen pro-
apoptosis, yaitu calreticulin dan TRMP-2, suatu protein retikulum endoplasma,
sebaliknya meningkatkan gen anti apoptosis seperti A1 Bcl-2 homologue, Gu helicase,
dan inhibitor of apoptosis protein (IAP). Protein C aktif menghambat adhesi leukosit
yang diperantarai oleh selektin-E, melalui struktur karbohidrat polylactosamine protein
C yang lebih poten sebagai ligan selektin-E dibanding sialyl-Lewis X (diekspresikan
oleh granulosit dan monosit). Protein C aktif mengurangi produksi TNF oleh monosit
akibat stimulasi LPS, dengan cara menghambat faktor transkripsi nuclear factor kappa-
light-chain-enhancer of acti-vated B cells (NF-κB) dan protein aktivator-1.14
Antitrombin III menghambat aktivitas trombin, selain itu juga menghambat
F.XIIa, F.XIa, F.Xa, F.IXa, F.VIIa, plasmin, dan kalikrein. Koagulasi yang diinduksi
TF dapat dihambat oleh TFPI, melalui pembentukan kompleks TFPI dengan F.Xa pada
awalnya, dan selanjutnya mengikat kompleks F.VIIa-TF sehingga terbentuk kompleks
kuartener. Sekali hal ini terjadi, maka F.Xa hanya akan terbentuk melalui kompleks
F.IXa-F.VIIIa.14
Sepsis akan menurunkan protein C, protein S, AT III, dan TFPI, sebaliknya akan
meningkatkan sintesis dan aktivitas PAI-1 dan menurunkan aktivitas plasmin.
Plasminogen activator inhibitor-1 merupakan protein fase akut positif yang disintesis
oleh hepar sebagai respon terhadap infeksi/inflamasi. Lipopolisakarida dan TNF-α
menurunkan sintesis trombomodulin dan reseptor protein C endotel (endothelial
protein C receptor - EPCR) sehingga menurunkan aktivasi protein C, yang pada
9
akhirnya menurunkan fibrinolisis. Kadar AT III sangat menurun karena beberapa
faktor, yaitu sintesis hepar berkurang terhadap protein fase akut negatif ini, konsumsi
karena pembentukan kompleks trombin-AT III, dan degradasi oleh elastase dari
neutrofil yang teraktivasi.15
Aktivasi koagulasi pada sepsis dapat terjadi dari derajat ringan sampai berat,
yaitu terjadinya disseminated intravascular coagulation (DIC). Transisi dari keadaan
hiperkoagulabilitas menjadi DIC ditandai dengan fibrinolisis yang disertai pening-
katan fibrin degradation products (FDP) di sirkulasi, trombositopenia, dan sangat ber-
kurangnya faktor-faktor pembekuan akibat konsumsi berlebihan yang tidak dapat
diimbangi oleh kecepatan produksinya.16
Disfungsi Organ
Terjadinya deposisi fibrin mikro-vaskular pada DIC sering dihubungkan dengan
berkembangnya disfungsi multi organ (multiorgan dysfunction syndrome - MODS)
yang disebabkan oleh gangguan sirkulasi. Multiorgan dysfunction syndrome
didefinisikan sebagai sindrom klinis yang ditandai dengan perkembangan disfungsi
fisiologis yang progresif dari ringan sampai kegagalan ireversibel dari dua atau lebih
organ, dengan ditandai ketidakmampuan mempertahankan homeostasis tanpa inter-
vensi terapi. Multiorgan dysfunction syndrome diklasifikasikan menjadi awal (primer),
yaitu yang terjadi dalam 7 hari pertama sakit, dan lambat (sekunder), yang terjadi
setelah 7 hari sakit.17
Gangguan oksigenasi jaringan diang-gap berperan penting terhadap terjadinya
MODS. Faktor yang berkontribusi adalah vasodilatasi, hipotensi, berkurangnya defor-
mabilitas eritrosit, dan trombosis mikro-vaskular, yang akhirnya menyebabkan
berkurangnya hantaran oksigen pada syok septik. Berkurangnya oksigenasi jaringan
makin diperberat oleh hilangnya integritas endotel karena beberapa faktor, yaitu
hilangnya fungsi molekul adhesi vascular endothelial (VE) chaderin pada sambungan
antar sel endotel, gangguan keseimbangan sphingosine-1 phosphate receptor 1 (S1P1)
dan S1P3 (yang berperan pada struktur sel endotel) karena aktivasi protease activated
receptors (PARs), dan meningkatnya kadar angiopoietin 2 (faktor proangiogenik).
Rusaknya mitokondria oleh stres oksidatif juga mengganggu penggunaan oksigen
selular. Selain itu, mitokondria yang cedera melepaskan DAMPs ke lingkungan ekstra-
sel, yang dapat mengaktivasi respon imun jaringan dan menyebabkan kerusakan lebih
lanjut.10 Modifikasi komponen membran eritrosit seperti protein, lipid, dan karbohidrat
menyebabkan terjadi penurunan deformabilitas eritrosit pada sepsis. Modifikasi
komponen protein berupa peningkatan rasio band-3/α-spectrin menyebabkan
perubahan struktur integral membran. Pada komponen lipid, terjadi pembentukan
seramid membran yang menyebabkan peningkatan konsentrasi Ca2+ intrasel dan
selanjut-nya merangsang kanal K+-Ca2+ dan kanal Cl-, sehingga KCl akan keluar dari
sel, dan akibatnya terjadi dehidrasi sel.14
Umumnya paru-paru merupakan organ yang pertama terlibat, mulai dari
disfungsi ringan sampai sindrom gagal nafas akut (acute respiratory distress syndrome
- ARDS). Hal ini diduga disebabkan oleh kebocoran kapiler sehingga alveolar terisi
cairan, dan deaktivasi surfaktan. Organ kedua ialah miokardium, disebabkan teruta-ma
oleh peningkatan sintesis NO. Otak sering terpengaruh pada MODS awal, dengan
mekanisme penyebab yang multifaktorial dan melibatkan gangguan sawar darah-otak,
dengan peningkatan permea-bilitas terhadap sitokin dan neuroamin. Disfungsi hati akut
yang sering terjadi saat penurunan perfusi selama syok, biasanya reversibel setelah
resusitasi, namun setelah periode laten, disfungsi hati ireversibel dapat terjadi.
Katekolamin dari usus, terutama norepinefrin, diduga menginduksi kegagalan hati.
Ginjal dianggap dapat mempertahankan perfusi selama sepsis dan mekanisme
kegagalan ginjal selama MODS disebabkan terutama oleh apoptosis yang diinduksi
sitokin.17
Infeksi, diidentifikasi atau dicurigai, dan beberapa (2 atau lebih) hal berikut :
Variabel umum
Demam (>38,3°C)
Hipotermia (suhu inti tubuh <36°C)
Laju jantung >90/menit atau lebih dari dua SD diatas nilai normal untuk usia
tersebut
Takipnea
Perubahan status mental
Edema signifikan atau keseimbangan cairan positif (>20 mL/Kg dalam 24 jam)
Hiperglikemia (glukosa plasma >140mg/dL atau 7,7 mmol/L) tanpa ada
diabetes
Takipnea didefinisikan sebagai laju napas >20x/menit atau PCO2 32 mmHg. Khusus
pada populasi luka bakar, takipnea didefinisikan sebagai laju nafas >24x/menit. Yang
dimaksud dengan perubahan status mental adalah perubahan status mental yang terjadi
secara akut, data berupa peningkatan (gaduh, gelisah) atau penurunan kesadaran. Pada
pasien luka bakar, edema tidak digunakan sebagai variabel umum sepsis.
Variabel inflamasi
Leukositosis (hitung leukosit >12.000/µL)
Leukopenia (hitung leukosit <4.000/µL)
Hitung leukosit normal dengan lebih dari 10% bentuk imatur
C-reactive protein plasma lebih dari dua SD diatas nilai normal
Prokalsitonin plasma lebih dari dua SD diatas nilai normal
Variabel hemodinamik
Hipotensi arterial (TDS <90mmHg, MAP <70mmHg, atau penurunan TDS >40mmHg
pada orang dewasa, atau kurang dari dua SD dibawah nilai normal usia tersebut).
Variabel disfungsi organ
Hipoksemia arterial (PaO2/FiO2 < 300)
Oliguria akut (produksi urin < 0,5 mL/kg/jam selama paling tidak 2 jam
meskipun mendapat resusitasi cairan adekuat)
Peningkatan kreatinin >0,5 mg/dL atau aPTT > 60 detik)
Ileus (tidak adanya bising usus)
Trombositopenia (hitung trombosit < 100.000/µL)
Hiperbilirubinemia (bilirubin total plasma > 4 mg/dL atau 70 µmol/L)
Kondisi yang telah ada sebelum episode sepsis ini tidak termasuk dalam kriteria.
Bila pemeriksaan bilirubin tidak dikerjakan, penilaian ikterus secara klinis dapat
digunakan sebagai pengganti
Variabel perfusi jaringan
Hiperlaktatemia (> 1 mmol/L)
Perlambatan pengisian kapiler kulit atau kulit bercak-bercak (mottle)
Beberapa laboratorium menggunakan standar >2 mmol/L sebagai batasan penilaian
hiperlaktatemia
Keterangan
1. TDS : tekanan darah sistolik
2. INR : international normalized ratio
3. aPTT : activated partial thromboplastin time
4. SD : standar deviasi
5. MAP : mean arterial pressure
Pada tahun 2016 the European Society of Intensive Care Medicine dan SCCM
merumuskan kriteria baru diagnosis sepsis yang didasarkan pada perubahan definisi
sepsis yang menekankan pada terjadinya disfungsi organ pada seorang yang terinfeksi.
Sistem skor Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) digunakan sebagai cara
penilaian disfungsi organ. Penambahan akut dua atau lebih nilai SOFA sebagai akibat
infeksi digunakan sebagai dasar diagnosis sepsis. Kelompok ahli juga mengajukan
kriteria baru yang dapat digunakan sebagai penapis pasien sepsis yang dikenal dengan
istilah quick SOFA (qSOFA). Tiga kriteria qSOFA adalah laju napas lebih dari sama
dengan 22 napas/menit, perubahan kesadaran, tekanan darah sistolik kurang dari sama
dengan 100 mmHg.9
Sistem 0 1 2 3 4
Respirasi ≥400 <400 <300 (40) <200 (26.7) <100 (13.3)
PaO₂/FiO₂ (53.3) (53.3) dengan dengan
mmHg (kPa) bantuan bantuan
pernapasan pernapasan
Koagulasi ≥150 <150 <100 <50 <20
Platelet x103/ul
Liver <1.2 (20) 1.2 – 1.9 2.0 – 5.9 (33- 6.0-11.9 >12.0 (204)
Bilirubin, (20-32) 101) (102-204)
mg/dl
Kardiovaskular MAP MAP Dopamin Dopamin Dopamin >15
≥70mmHg <70mmHg <5/dobutamin 5.1-15 / / epinefrin
e (ug/kg/min) epinefrin 0.1 /
≤0.1 / norepinefrin.
norepinefrin 0.1
≤0.1 (ug/kg/min)
(ug/kg/min)
SSP 15 13-14 10-12 9 <6
Glasgow Coma
Scale
Ginjal <1.2 1.2-1.9 2.0-3.4 3.5-4.9 >5.0
Kreatinin,
mg/dl
Urin Output <500 <200
(ml/hari)
Sepsis memiliki diagnosis banding yang sangat luas. Sindrom yang menyerupai
sepsis antara lain hypovolemia, kehilangan darah akut, emboli paru akut, infark
miokard akut, pankreatitis akut, reaksi transfuse, ketoasidosis diabetikum, dan
insufisiensi renal.22
Infark miokard akut dan gagal jantung meningkatkan risiko terjadinya emboli
paru. Emboli paru akut akan mengganggu sirkulasi dan pertukaran gas. Obstruksi
anatomis dan vasokonstriksi yang diinduksi emboli paru menyebabkan hipoksia dan
peningkatan resistensi vascular paru pada area yang terkena. Tanda dan gejala emboli
paru akut tidak spesifik. Dalam beberapa kasus dapat timbul tanpa gejala atau
ditemukan secara kebetulan selama pemeriksaan diagnostic untuk penyakit lain. Gejala
sesak bisa terjadi akut dan parah pada emboli paru sentral, sedangkan pada emboli paru
perifer sering terjadi ringan dan sementara. Pada pasien dengan gagal jantung atau
penyakit paru yang sudah ada sebelumnya, dyspnea yang memburuk menjadi gejala
emboli paru. Nyeri dada juga sering didapat pada emboli paru sentral. Hipoksemia
sering terjadi tetapi pada ≤40% pasien memiliki saturasi oksigen arteri normal dan 20%
memiliki gradient oksigen arteri alveolar yang normal. Hipokapnia juga sering
muncul.24
Ketoasidosis diabetic adalah salah satu penyulit yang sering terjadi pada
penderita diabetes mellitus yang ditandai dengan kadar glukosa serum >250 mg/dL, pH
darah < 7,3, kadar HCO3- serum <18 mEq/L, peningkatan kadar keton serum, dan
dehidrasi. Kekurangan insulin adalah faktor pencetus utama. Gejala umum termasuk
polyuria dengan polydipsia, penurunan berat badan, kelelahan, dyspnea, muntah,
penyakit demam sebelumnya, sakit perut, dan polifagia. Pengukuran HbA1C, nitrogen
urea darah, kreatinin, glukosa serum, elektrolit, pH, dan keton serum, hitung darah
lengkap, urinalisis, ekeltrokardiografi, dan perhitungan anion gap dan osmolar gap
dapat membedakan ketoasidosis diabetic dari keadaan hiperglikemik hyperosmolar,
gastroenteritis, ketosis kelaparan, dan sinndrom metabolic lainnya sehingga dapat
membantu dalam mendiagnosis kondisi komorbid.25
2. 12. Tatalaksana
Penatalaksanaan sepsis secara dini yang terarah (Early Goal-Directed Therapy)
harus dilakukan dalam 6 jam pertama setelah dugaan sepsis atau syok sepsis.
Penatalaksanaan dini yang pertama dilakukan adalah stabilisasi pernapasan. Oksigen
tambahan harus diberikan kepada semua pasien. Ventilasi mekanik dianjurkan bila
oksigen tambahan gagal meningkatkan oksigenasi, terjadi kegagalan pernapasan, atau
bila jalan napas terhambat. Kemudian perfusi dinilai setelah stabilisasi pernapasan.
Hipotensi menandakan perfusi jaringan yang tidak adekuat. Setelah stabilisasi
pernapasan awal, terapi yang dilakukan terdiri dari resusitasi cairan, terapi vasopressor,
identifikasi dan pengendalian infeksi, pemberian antibiotik segera, dan pembuangan
atau drainase sumber infeksi.22
3. 1. Identitas Pasien
No. Rekam Medik : 01785835
Nama : Ny. R
TTL : Jakarta, 20 Juni 1994
Usia : 26 Tahun
Alamat : Jakarta Barat
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan : SLTA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status Perkawinan : Kawin
3. 2. Anamnesis
3. 2. 1 Keluhan utama
Sesak napas 1 minggu SMRS
Pasien mempunyai riwayat anemia. Riwayat Hipertensi (-), DM (-), alergi (-),
asma (-).
3. 2. 4 Riwayat penyakit keluarga
Dikeluarga tidak ada penyakit serupa.
3. 2. 5 Riwayat sosial
Riwayat merokok, alkohol dan mengonsumsi obat-obatan disangkal. Suami
pasien seorang perokok. Lingkungan rumah padat penduduk tetapi ventilasi
rumah dan sanitasi air baik. Tidak ada riwayat perjalanan jauh dan tidak ada
riwayat kontak dengan pasien COVID19.
3. 3. Pemeriksaan fisik
3. 3. 1 Keadaan umum
Keadaan umum : tampak sakit berat
Kesadaran : Apatis (E3M6Vett)
3. 3. 2 Tanda vital
Suhu : 37,4 °C
3. 3. 3 Antropometri
Tinggi badan : 167 cm
Berat badan : 72,5 kg
Indeks massa tubuh : 26 (overweight)
3. 3. 4 Status Generalis
Kepala : Normosefali, rambut warna hitam
THT : Deviasi septum (-/-), sekret pada hidung (-/-), edema concha
Wheezing -/-
Jantung
Auskultasi : Bunyi jantung I-II normal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Ekstremitas
Akral dingin CRT > 2 detik, pitting edema di kedua tungkai (+/+)
3. 4. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Laboratorium 11/03/2021
HEMATOLOGI
Hematokrit 26.9 33 – 45 %
VER/HER/KHER/RDW
HITUNG JENIS
Basofil 0 0-1 %
Eosinofil 1 1-3 %
Netrofil 84 50-70 %
Limfosit 9 20-40 %
Monosit 4 2-8 %
Luc 2 <5
KIMIA KLINIK
FUNGSI GINJAL
FUNGSI HATI
SGOT 95 ≤ 32 U/L
SGPT 55 ≤ 33 U/L
FUNGSI JANTUNG
KIMIA LAIN
SERO- IMUNOLOGI
Hematokrit 28.4 33 – 45 %
VER/HER/KHER/RDW
HITUNG JENIS
Basofil 0 0-1 %
Eosinofil 0 1-3 %
Netrofil 85 50-70 %
Limfosit 8 20-40 %
Monosit 7 2-8 %
Luc 0 <5
FUNGSI HATI
HEMATOLOGI
Hematokrit 27.7 33 – 45 %
VER/HER/KHER/RDW
HITUNG JENIS
Basofil 0 0-1 %
Eosinofil 0 1-3 %
Netrofil 87 50-70 %
Limfosit 8 20-40 %
Monosit 4 2-8 %
Luc 1 <5
SERO- IMUNOLOGI
HEMATOLOGI
Hematokrit 31.2 33 – 45 %
VER/HER/KHER/RDW
HITUNG JENIS
Basofil 0 0-1 %
Eosinofil 1 1-3 %
Netrofil 82 50-70 %
Limfosit 9 20-40 %
Monosit 7 2-8 %
Luc 2 <5
Pemeriksaan Hasil
Eritrosit Mikrositik hipokrom,
anisopoikilositosis
Leukosit Kesan Jumlah dan morfologi normal
Trombosit Kesan jumlah dan morfologi normal
Kesan Anemia mikrositik hipokrom
Saran Periksa SI, TIBC, Feritin
BP 733.7
KIMIA LAIN
ELEKTROLIT DARAH
DIABETES
KIMIA LAIN
KIMIA KLINIK
ELEKTROLIT DARAH
DIABETES
Kesan:
TB milier disertai pleuropneumonia bilateral, saat ini infiItrat miler di kedua paru
bertambah luas.
Kardiomegali.
Cardiomegali
Pneumonia bilateral dengan efusi pieura kanan, kesan belum perbaikan
Dibandingkan foto lama tanggal 11/3/2021. dd/ TB Milier dengan Covid
Kesan:
3. 5. Resume
NY. R 26 tahun datang ke IGD RS Fatmawati dengan sesak napas sejak 1
minggu dan sesak memberat dalam 2 hari SMRS. Pasien dirawat di RS Permata Ibu
dengan diagnosis ARDS probable COVID-19. Sebelumnya pasien mengeluh lelah,
lemas dan demam sejak 2 minggu SMRS. Setelah gejala demam sudah membaik dan
hilang timbul, pasien mulai merasa sesak napas. Pasien batuk dan demam sejak 1
minggu SMRS. Pasien mempunyai riwayat anemia. Riwayat hipertensi dan DM
disangkal. Riwayat kontak dengan pasien COVID dan perjalanan disangkal.
3. 6. Diagnosis
Pneumonia dengan ARDS
Sepsis
Suspek CAD
Anemia
3. 7. Tatalaksana
Airway : NGT
Drug :
meropenem 3x1g
Lasix 10mg/jam
3. 8. Prognosis
Ad vitam : Dubia ad malam
9/3/2021 – IGD
Pasien datang ke IGD dengan keluhan trias pneumonia sejak 1 minggu yang lalu: Demam,
batuk produktif, dan sesak.
Hasil pemeriksaan fisik yang menunjang: ronkhi +/+, RR 32x/menit (takipneu), suhu: 36C
(tidak demam), SaO2 93% dengan bantuan NRM.
TD: 105/78 mmHg → MAP: 87 → perfusi jaringan masih baik.
Gejala dan pemeriksaan fisik mengarah ke pneumonia. Curiga pneumonia COVID-19 →
pasien di isolasi di rg Anggrek lt. 5.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk menunjang diagnosis:
- Pemeriksaan lab darah lengkap
- Tes swab PCR ke 2. Swab PCR pertama (-)
- Rontgent thoraks
12/3/2021
Hasil swab PCR ke-2 didapatkan (-) → Pneumonia COVID-19 tersingkirkan.
Napas pasien membaik dengan SaO2 97%. TD 135/76 mmHg → MAP: 95 → perfusi jaringan
membaik dari sebelumnya. Tetapi nilai Hb 8,3 dan Ht 26,9. Masih sama seperti sebelumnya.
13/3/2021
Pasien sesak, dengan bantuan optiflow 60/90/32 → SaO2 99%.
Hb 8,8 dan Ht 27,7% → membaik dari sebelumnya, tetapi masih anemia → anemia mikrositik
hipokrom dengan nilai MCV/MCH/MCHC: 62,2/19,8/31,8.
Kecurigaan sepsis semakin tinggi karena terjadi peningkatan CRP: 14,4 yang memperkuat data
adanya kerusakan organ dari data sebelumnya.
14/3/2021
Sesak pasien berkurang, SaO2 98% dengan optiflow 50/80/32.
15/3/2021
SaO2 98%, dengan optiflow 50/90/32. Post transfusi PRC nilai Hb 9,9 dan Ht 28,4 → membaik
dari sebelumnya, tetapi masih anemia dengan nilai MCV/MCH/MCHC: 61,4/19,4/31,6 dan
nilai serum iron: 14 ug/dL.
16/3/2021
Pasien sesak, SaO2 100% dengan optiflow. TD 140/80 → MAP: 100 → perfusi jaringan
membaik dari sebelumnya dengan Hb 9,9 dan Ht 28,4.
Hasil AGD:
- pH 7,54
- PCO2 31,8
Kesan: alkalosis respiratorik tidak terkompensasi.
17/3/2021
Pasien masih sesak napas, SaO2 95% dengan optiflow. Hemodinamik pada pagi hari membaik
dari sebelumnya (TD 131/86 mmHg dengan MAP: 101). Tetapi pada malam hari, tekanan
darah pasien naik menjadi TD: 158/98 mmHg MAP: 118 dengan RR 30-35x/menit. SpO2
99-100% optiflow 50Lpm, FiO2 80%.
Rasio PaO2/FiO2 = 172,8/0,8 = 216 mmHg. Maka derajat hipoksemia pada ARDS yang
berdasarkan rasio PO2/FiO2 ialah Ringan karena nilai kurang dari 300mmHg. Sehingga
diagnosis tegak ARDS, Pneumonia non COVID19.
18/3/2021
Pasien dipindahkan ke ICU Bougenville lt 4 pada pukul 02.00 am. Pasien masih sesak napas
dan batuk, keadaan pasien tampak sakit berat dan keadaan umum Apatis, akral dingin dan
pitting udema (+/+). TD 114/67 mmHg MAP: 248, Frekuensi nadi 120x/menit, RR
34x/menit , suhu 38,7 0C, SaO2 95%, FiO2 60%, BB/TB 72/167, terpasang ETT no. 7,5 dan
Urine Output 1,95 ml/kgBB/jam. CRT >50% kardiomegali
Pada pasien ini mengalami sesak napas, batuk dan demam sehingga ditegakkan sebagai
Pneumonia. Lalu, rasio PaO2/FiO2 ialah 288 mmHg yang menandakan hipoksemia, Onset
akut (sesak napas <1minggu), dan ada opasitas bilateral pada thoraks yang menandakan
ARDS. Kemungkinan pasien ini juga mengalami ALI (Acute Lung Injury) karena rasio
PaO2/FiO2 <300mmHg dan berlangsung akut (sesak napas <1minggu SMRS), tetapi
diperlukan pemeriksaan lanjutan.
19/3/2021
Sesak mulai membaik, keadaan umum Apatis, TD 109/67 mmHg MAP:243 , HR 113x/mnt,
RR 23x/mnt, saturasi menurun dari sebelumnya yaitu SaO2 90%, FiO2 70% dan Urine Output
1,98 ml/KgBB/jam.
Hasil Lab baru yaitu Asam laktat 3,1 mmol/L meningkat terjadi karena metabolisme selular
berubah dari aerobik menjadi anaerobik dan bisa dikarenakan efek samping penggunaan obat.
Lalu dengan skor qSOFA dengan RR>22x/mt dan perubahan status mental (Apatis)
menandakan Sepsis.
20/3/2021
Pasien masih sesak (RR 27x/mnt), Apatis, Tekanan darah menurun 121/77 mmHg, nadi
146x/mnt, SaO2 94%, urine output 1,22 ml/KgBB/jam dan asam laktat meningkat lebih dari
sebelumnya yaitu 4,1 mmol/L.
Pada rontgen thorax didapatkan kesan: efusi pleura kanan, gambaran pneumonia di kedua
lapang paru, dan tampak kardiomegali.
Pada pasien ini kemungkinan juga suspek ADFH (Acute decompensated heart failure) karena
mempunyai kriteria seperti efusi pleura, batuk, sesak napas, edema (+/+) dan takikardi.
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini pasien Ny. R, usia 26 tahun mengalami sepsis akibat pneumonia dengan ARDS.
Sepsis pneumonia dengan ARDS pada pasien ini ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Kecurigaan terhadap adanya infeksi saluran
pernapasan berdasarkan adanya demam, lemas, dan lelah sejak 2 minggu SMRS lalu batuk,
dan sesak nafas sejak 1 minggu. Kemudian sesak memberat dalam 2 hari SMRS. Saat pasien
mengalami demam, lemas, dan lelah 2 minggu SMRS, pasien dirawat di RS Permata Ibu
dengan diagnosis ARDS probable COVID19. Namun hasil pemeriksaan swab PCR diperoleh
hasil negatif sebanyak 2 kali. Pada pemeriksaan fisik ditemukan ronkhi kasar di kedua lapang
paru dan pada foto rontgent thoraks ditemukan adanya infiltrat luas di kedua lapang paru.
Ketika mendapatkan pasien infeksi perlu dilakukan skrining kemungkinan terjadinya sepsis.
Metode yang digunakan dengan quick SOFA (qSOFA). Pada kasus ini, kesadaran pasien
adalah apatis dengan hasil GCS pasien adalah E3M6Vett, hal ini memberi poin 1 untuk qSOFA
karena GCS ≤15, frekuensi napas pasien adalah 28x/menit, hal ini memberikan 1 poin karena
≥22 x/menit, dan yang terakhir untuk menilai qSOFA adalah nilai tekanan darah sistolik. Pada
pasien tekanan darahnya adalah 109/50 mmHg hal ini memberikan poin. Terpenuhinya 2 poin
dari 3 kriteria menunjukan hasil qSOFA positif.
Dari hasil qSOFA yang positif, maka dilakukan skoring dengan menggunakan metode
SOFA. (11/03/2021)
Pada kasus ini, dari hasil diatas didapatkan nilai SOFA ≥2 sehingga tegak diagnosis sepsis yang
diakibatkan oleh pneumonia. Kriteria ARDS pada pasien ini juga tegak dengan adanya sesak
nafas yang akut (< 1 minggu), adanya opasitas bilateral pada rontgent thoraks, dan nilai
PaO₂/FiO₂ <300 yanng menandakan adanya hipoksemia berat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Alataby H, Nfonoyim J, Diaz K. The Levels of Lactate, Troponin, and N-Terminal Pro-
B-Type Natriuretic Peptide Are Predictors of Mortality in Patients with Sepsis and
Septic Shock: A Retrospective Cohort Study. Med Sci Monit Basic Res; 27. Epub ahead
of print 2021. DOI: 10.12659/MSMBR.927834.
2. Hoyert D, Andert D, Anderson R, et al. Age-adjusted death rate. Natl Vital Stat Rep
2001; 49: 1–6.
3. Bauer TT, Ewig S, Rodloff AC, et al. Acute respiratory distress syndrome and
pneumonia: A comprehensive review of clinical data. Clin Infect Dis 2006; 43: 748–
756.
7. Bakhtiar A, Maranatha RA. Acute Respiratory Distress Syndrome. Hosp Med Clin 2015;
4: 500–512.
14. Purwanto D, Astrawinata D. Mekanisme Kompleks Sepsis dan Syok Septik. J Biomedik
2018; 10: 143–151.
15. King E, Bauza G, Mella J. Pathophysiologic mechanism in septic shock. Lab Invest
2014; 94: 4–12.
16. Hotchkiss R, Moldawer L, Opal S, et al. Sepsis and septic shock. Nat Rev 2016; 2: 1–
20.
17. Ramirez M. Multi organ dysfunction syndrome. Curr Probl Pediatr Adolesc Heal Care
2013; 43: 4–12.
18. Hermawan A. Sepsis. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing,
2017, hal. 629–699.
19. Yealy D, Kellum J, Juang D. A randomized trial of protocol-based care for early septic
shock. N Engl J Med 2014; 370: 1683–1693.
20. Irvan. Sepsis dan Tata Laksana Berdasarkan Guideline Terbaru. UKDW.
21. Evans T. Diagnosis and Management of Sepsis. C Infect Dis Clin Med 2018; 18: 146–
149.
22. Gauer RL, Army W, Bragg F, et al. Early Recognition and Management of Sepsis in
Adults: The First Six Hours.
24. Konstantinides S V., Meyer G, Bueno H, et al. 2019 ESC Guidelines for the diagnosis
and management of acute pulmonary embolism developed in collaboration with the
European respiratory society (ERS). Eur Heart J 2020; 41: 543–603.
25. Westerberg DP. Diabetic Ketoacidosis: Evaluation and Treatment. Am Fam Physician
2013; 87: 337–346.
26. KARK RM, KOLFF WJ, POLLAK VE, et al. Renal failure. Postgraduate medicine
1960; 27: 512–521.