Anda di halaman 1dari 51

PRESENTASI KASUS

PENEGAKAN DIAGNOSIS SEPSIS PADA ARDS PNEUMONI

Disusun Oleh:

Afifah Raisa Halim (41191096100024)

Nursalsabila (41191396100083)

Hibban Ahmad Daffa (41191396100060)

Pembimbing :

dr.Vera Irawany, Sp.An KIC

KEPANITERAAN KLINIK ANESTESI RSUP FATMAWATI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

PERIODE 8-26 MARET 2021


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Bismillahirahmaanirrahiim, dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi


Maha Penyayang, penulis ucapkan alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan
atas kehadirat Allah SWT, atas nikmat dan anugerahnya penulis dapat menyelesaikan makalah
presentasi kasus yang berjudul “Penegakan Diagnosis Sepsis pada ARDS Pneumonia”.
Makalah presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam kepaniteraan
klinik di bagian Anestesi RSUP Fatmawati.

Dalam kesempatan kali ini, kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak
yang telah membimbing kami dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini, terutama
kepada:

1. Pembimbing presentasi kasus dr. Vera Irawany, SpAn KIC yang telah mengajarkan
dan meluangkan waktu untuk mengarahkan dalam penyusunan makalah presentasi
kasus ini.
2. Semua dokter dan staf KSM Anestesi RSUP Fatmawati.
3. Teman-teman Kepaniteraan Klinik di KSM Anestesi RSUP Fatmawati atas bantuan
dan dukungannya dalam penyusunan makalah presentasi kasus ini.

Demikian makalah presentasi kasus ini kami tulis, semoga dapat memberikan manfaat
bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya.

Jakarta, Maret 2021

Tim penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Sepsis didefinisikan sebagai keadaan disfungsi organ yang mengancam nyawa akibat
terjadinya disregulasi respon tubuh terhadap infeksi. Keterlambatan dalam deteksi dan
penanganan yang kurang baik dapat sepsis berkembang menjadi syok sepsis, kegagalan organ
multiple hingga kematian. Diperkirakan lebih dari 30 juta jiwa di seluruh belahan dunia
mengalami sepsis, dengan potensi 6 juta kematian setiap tahunnya. Sepsis dan Syok sepsis
adalah salah satu penyebab utama mortalitas pada pasien dengan kondisi kritis.1

Penyebab tersering sepsis adalah pneumonia, berkontribusi sekitar 50% kasus, diikuti
oleh infeksi intra abdomen dan saluran kemih.2 Pneumonia dan Acute Respiratory Distress
Syndrome (ARDS) berhubungan erat dengan pasien sakit kritis. ARDS seringkali dipersulit
oleh pneumonia khususnya pneumonia nosocomial, sementara infeksi paru khususnya
Community Acquired Pneumonia (CAP) merupakan penyebab tunggal paling sering dari
ARDS. Sampai saat ini sepsis tampak menjadi hubungan utama antara pneumonia dan ARDS.
Namun, data observasi pada urutan yang seharusnya tidak tersedia.3

Estenssoro dkk mengamati 3.050 pasien yang dirawat di unit perawatan intensif selama
15 bulan menemukan 235 memenuhi kriteria ARDS dan menggunakan ventilator. Etiologi
utamanya adalah sepsis (44%) dan pneumonia (65 kasus). Peneliti tidak membedakan antara
CAP dan pneumonia nosocomial. Sedangkan dalam sebuah studi kohort prospektif, 280 pasien
dengan CAP dimasukkan dan 31 pasien (11%) diidentifikasi memenuhi kriteria syok septik.
Sepuluh (4%) dari 280 pasien menderita ARDS. Dengan demikian, masih tidak dapat
ditentukan urutan antara sepsis atau syok sepsis, ARDS, dan pneumonia.3

Angka kematian sepsis berkisar antara 25 - 80 % diseluruh dunia tergantung beberapa


faktor seperti umur, jenis kelamin, ras, penyakit penyerta, riwayat trauma paru akut, ARDS,
gagal ginjal dan jenis infeksinya yaitu nosokomial, polimikrobial atau jamur sebagai
penyebabnya. Angka mortalitas untuk semua kasus sepsis pada tahun 2008-2009 didapatkan
sebesar 30,5% dengan angka mortalitas sebesar 45,2% pada pasien dengan sepsis berat dan
20,9% pada pasien sepsis yang tidak berkembang menjadi berat.2 Tingginya angka kematian
dan konsekuensi biaya yang harus dikeluarkan mengharuskan untuk menelaah lebih lanjut dari
segi tindakan yang baru dikerjakan setelah sepsis dan komplikasi yang terjadi sampai ke arah
tindakan penanganan infeksi sebelum terjadinya komplikasi. Makalah ini bertujuan untuk
membahas tentang penegakan diagnosis sepsis pada pasien dengan ARDS pneumonia.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Pneumonia
Pneumonia merupakan istilah untuk inflamasi yang terjadi pada parenkim paru.
Sebagian besar penyebab pneumonia adalah mikroorganisme seperti virus atau bakteri
dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain misalnya aspirasi, radiasi, dan sebagainya.
Bakteri yang sering ditemukan menjadi penyebab pneumonia adalah Streptococcus
pneumoniae, Hemophilus influenza, Staphylococcus aureus, streptokokus grup B, serta
bakteri atipik klamidia dan mikoplasma.4,5
Pneumonia diklasifikasikan berdasarkan penyebab, klinis dan epidemiologis,
dan tempat predileksi infeksi. Berdasarkan penyebabnya, pneumonia terbagi menjadi
pneumonia bakteri/tipikal, pneumonia atipikal, pneumonia virus, dan pneumonia
jamur. Pneumonia berdasarkan klinis dan epidemiologisnya terbagi menjadi pneumonia
komuniti, pneumonia nosocomial, pneumonia aspirasi, dan pneumonia pada pasien
immunocompromised. Sedangkan berdasarkan tempat predileksinya, pneumonia
dibagi menjadi tiga, yakni pneumonia lobaris, bronkopneumonia, dan pneumonia
interstisial.4,5
Gambaran klinis pada pneumonia biasanya ditandai dengan gejala demam,
menggigil, suhu tubuh meningkat melebihi 40°C, serta batuk dengan dahak mucoid atau
purulent yang kadang-kadang disertai dengan darah, serta sesak napas dan nyeri dada.
Temuan pada pemeriksaan fisik dada tergantung dari luas lesi pada paru. Temuan yang
sering didapat pada pemeriksaan fisik diantaranya yaitu:4,5
1. Pada inspeksi dapat terlihat pergerakan dinding dada yang tidak simetris.
Bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas.
2. Pada palpasi fremitus dapat mengeras.
3. Perkusi ditemukan redup.
4. Pada auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial
yang dapat disertai ronkhi basah halus, yang kemudian menjadi ronkhi basah
kasar pada stadium resolusi.

Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang juga


diperlukan untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan
diantaranya yaitu pemeriksaan radiologis foto polos thoraks dengan posisi Postero-
Anterior (PA) dan lateral, serta pemeriksaan laboratorium darah lengkap dan kultur.
Gambaran radiologis yang didapat berupa infiltrate konsolidasi dengan “áir
broncogram”, penyebab bronkogenik dan interstisial serta gambaran kaviti. Foto
thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan etiologi pneumonia, hanya sebagai
petunjuk diagnosis etiologi saja, misalnya:4,5

1. Gambaran pneumonia lobaris tersering pada pneumonia yang disebabkan


oleh Streptococcus pneumoniae.
2. Gambaran infiltrate bilateral atau gambaran bronkopneumonia sering
ditemukan pada pneumonia akibat Pseudomonas aeruginosa.
3. Klebsiella pneumoniae sering menunjukkan konsolidasi lobus atas kanan
pada foto thoraks pasien pneumonia.

Gambar 1 Gambaran pneumonia lobaris lobus superior paru kanan4


Untuk menentukan diagnosis etiologic diperlukan pemeriksaan kultur dahak,
darah, atau serologi. Kemduian pada pemeriksaan laboratorium darah yang dilakukan,
dapat ditemukan temuan-temuan berikut:4,5

1. Peningkatan jumlah leukosit, biasanya lebih dari 10.000/uL atau bahkan


mencapai 30.000/uL.
2. Hitung jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri.
3. Peningkatan LED
4. Analisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia, kemudian
pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.
2. 2. Acute Respiratory Distress Syndrome
American-European Consensus Conference (AECC) mendefinisikan Acute
Respiratory Distress Syndrome (ARDS) sebagai kondisi akut yang ditandai dengan
adanya infiltrate paru bilateral, hipoksemia berat dan tanpa adanya bukti edema paru
kardiogenik. Tingkat keparahan hipoksemia yang diperlukan untuk menegakkan
diagnosis ARDS ditentukan oleh rasio tekanan parsial oksigen dalam darah arteri pasien
(PaO2) dengan fraksi oksigen di udara inspirasi (FiO2). ARDS ditentukan oleh rasio
PaO2/FiO2 yang kurang dari 200. ARDS dikenali sebagai bentuk paling parah dari
Acute Lung Injury (ALI), suatu bentuk cedera alveolar difus. Pada ALI, rasio
PaO2/FiO2 kurang dari 300.6
ARDS merupakan kelainan yang bersifat progresif secara cepat dan awalnya
bermanifestasi klinis sebagai sesak napas (takipneu dan dyspneu) yang kemudian
berlanjut menjadi gagal napas. Definisi terbaru Berlin, ARDS memiliki 4 kriteria yaitu:7
1. Akut, diartikan sebagai gejala ARDS yang berlangsung selama 1 minggu
sejak faktor risiko diketahui.
2. Gambaran radiologis thoraks, terdapat opasitas bilateral yang tidak
sepenuhnya disebabkan efusi, kolaps lobar paru atau nodul.
3. Penyebab edema bukan disebabkan oleh gagal jantung atau kelebihan
cairan.
4. Derajat hipoksemia pada ARDS terbagi menjadi 3, yaitu ringan, sedang, dan
berat, berdasarkan rasio PO2/FiO2 arteri dan kebutuhan PEEP (5 cm H2O
atau lebih) yang dapat diberikan melalui endotracheal tube atau non invasive
ventilation.
Ringan: 200 mmHg < PaO2/FiO2 ≤ 300 mmHg dengan PEEP atau CPAP ≥
5 cm H2O
Sedang: 100 mmHg < PaO2/FiO2 ≤ 200 mmHg dengan PEEP ≥ 5 cm H2O
Berat: PaO2/FiO2 ≤ 100 mmHg dengan PEEP ≥ 5 cm H2O

Faktor risiko terjadinya ARDS sangat bervariasi, diantaranya yaitu keadaan


yang menyebabkan kelainan langsung pada paru seperti pneumonia, trauma inhalasi,
kontusio pulmonum, maupun keadaan yang menyebabkan kelainan tidak langsung pada
paru seperti sepsis bukan karena paru, luka bakar, transfusion-related acute lung injury,
alkoholisme kronik, dan riwayat pajanan terhadap asap secara aktif maupun pasif pada
kasus trauma.7
Gejala ARDS sering menyerupai gagal jantung kongestif dan pneumonia. Gagal
jantung kongestif ditandai dengan kelebihan cairan, sedangkan pada ARDS tidak
ditemukan adanya tanda hipertensi atrium kiri atau tanda kelebihan cairan. Pasien
dengan gagal jantung kongestif juga mengalami edema, distensi vena jugular, suara
jantung III terdengar, peningkatan level brain natriuretic peptide, dan respon terhadap
diuretik. Sedangkan pasien ARDS tidak menunjukkan tanda-tanda tersebut.7

Karena pneumonia adalah penyebab terbanyak ARDS, pasien pneumonia biasa


harus dibedakan dari pasien pneumonia dengan ARDS. Pasien dengan pneumonia biasa
menunjukkan gejala sistemik dan inflamasi pada paru (demam, menggigil, lelah,
produksi sputum, nyeri dada pleuritic, adanya infiltraat lokal dan multifocal), serta
hipoksia yang merespon terhadap pemberian oksigen. Bila hipoksia tidak membaik
setelah pemberian oksigen maka perlu dicurigai pneumonia dengan ARDS.7

2. 3. Sepsis

Secara bahasa, sepsis berasal dari bahasa Yunani, “Sepo” yang artinya
membusuk. Sedangkan pengertian sepsis secara istilah adalah keadaan disfungsi organ
yang mengancam jiwa, akibat adanya disregulasi respon tubuh terhadap infeksi.
Disfungsi organ dapat didiagnosis dengan menggunakan skor SOFA (Sequential Organ
Failure Assessment) ditandai dengan nilai skor SOFA ≥ 2.

Sepsis berat didefinisikan sebagai sepsis akibat disfungsi organ atau hipoperfusi
jaringan, dikatergorikan sebagai Sepsis-induced hypotension jika tekanan darah sistolik
<90 mmHg atau mean arterial pressure (MAP) <70 mmHg atau tekanan darah sistolik
yang turun >40 mmHg atau kurang dari dua standard deviasi di bawah normal tanpa
adanya penyebab hipotensi lain.

Syok sepsis merupakan kondisi lanjut dari sepsis dan sepsis berat. Syok sepsis
merupakan kondisi sepsis yang disertai hipotensi persisten dengan MAP ≥ 65 mmHg
dengan bantuan vasopressor dan kadar laktat serum >2 mmol/L (18mg/dl) walaupun
telah diberikan resusitasi yang adekuat.8
2. 4. Etiologi Sepsis

Sepsis paling sering disebabkan oleh bakteri Gram negative (60-70%). 20-40%
angka kejadian sepsis disebabkan oleh bakteri Staphylococci, pneumococci,
streptococci, dan bakteri Gram positif lain penyebab sepsis. Jamur oportunistik, virus,
dan protozoa juga dapat menimbulkan sepsis walaupun lebih jarang.9 Pada pemeriksan
hasil kultur darah pada pasien sepsis didapatkan positif hanya pada sepertiga kasus,
sedangkan kultur dari tempat lain didapatkan negatif pada sepertiga kasus.
Staphylococcus aureus dan Streptococcus pneumoniae merupakan bakteri gram positif
yang paling sering didapatkan, sedangkan Escherichia coli, Klebsiella species, dan
Pseudomonas Aeruginosa merupakan bakteri gram negatif yang paling sering
didapatkan dari kultur.

Bakteri patogen memiliki factor virulensi yang berguna untuk melindungi diri
dari system imum host. Salah satu factor virulensi bakteri yang paling penting adalah
toksin, diantaranya seperi endotoksin atau lipopolisakarida (LPS) pada bakteri gram
negative dan beberapa bakteri juga mensekresikan eksotoksin dan enterotoksin. Toksin
bakteri dibagi menjadi tiga tipe berdasarkan cara kerjanya. Toksin tipe I bekerja pada
sel host tanpa harus masuk ke dalam sel. Toksin tipe II bekerja dengan merusak
membrane sel host untuk menginvasi dan mengganggu mekanisme pertahanan di dalam
sel host, dan toksin tipe III bekerja dengan mengacaukan pertahanan sel host agar dapat
menyebar ke organ-organ lain.10

Bakteri gram negatif memiliki membrane luar yang terdiri dari lipopolisakarida
(LPS) atau endotoksin glikoprotein sebagai komponen utama yang berperan dalam
menstimulasi pengeluaran mediator proinflamasi. Komponen ini kemudian
menyebababkan terjadinya inflamasi sistemik dan jaringan. Peptidoglikan pada dinding
sel bakteri juga dapat menstimulasi pelepasan sitokin dan berperan penting dalam
proses agregasi trombosit.9

2. 5. Epidemiologi Sepsis

Angka kejadian sepsis di seluruh belahan dunia diperkirakan lebih dari 30 juta
jiwa mengalami sepsis dengan potensi 6 juta kematian setiap tahunnya. Insidensi sepsis
berat dan syok sepsis di Amerika serikat setiap tahun dapat mencapai 300 kasus dari
100.000 orang. Hampir setengah kasus tersebut terjadi diluar ICU. Syok sepsis
dikatakan memiliki tingkat mortalitas tertinggi hingga 50%.11

Hasil dari Riskesdas 2013 menyebutkan bahwa penyakit infeksi utama yang ada
di Indonesia meliputi ISPA, pneumonia, tuberkulosis, hepatitis, diare, dan malaria. Di
Indonesia infeksi saluran pernafasan dan tuberkulosis termasuk 5 besar penyebab
kematian.9

2. 6. Faktor Resiko Sepsis


1. Usia
Insidensi sepsis berat semakin meningkat berbanding lurus dengan
peningkatan usia. Lebih dari setengah dari kejadian sepsis berat terjadi pada usia
lebih dari 65 tahun. Persentase kematian global yang berkaitan dengan sepsis pada
tahun 2017 meningkat pada awal masa anak-anak dan dewasa tua atau lansia.
Diestimasikan bahwa pada 2017 terdapat 2,9 juta kematian yang dihubungkan
dengan sepsis pada anak dengan usia kurang dari 5 tahun, 454.000 pada anak-anak
dan remaja (usia 5-19 tahun), dan 7,7 juta pada dewasa (>20 tahun).
2. Jenis kelamin
Laki-laki memiliki risiko lebih tinggi dari pada perempuan. Dikatakan
bahwa perempuan yang sehat memiliki respon proinflamasi yang lebih baik setelah
dipaparkan endotoksin dibandingkan laki-laki. Hormone estrogen dan androgen
juga dikaitkan memiliki peran penting terhadap sepsis.
3. Ras
Insidensi sepsis berat lebih tinggi terjadi pada kulit hitam dibandingkan
orang dengan kulit putih. Mekansime yang mendasari hal ini masih belum
sepenuhnya diketahui. Perbedaan respon imun host terhadap infeksi menjadi alasan
utama meningkatnya infeksi berat dan syok sepsis pada orang Afrika.
4. Penyakit penyerta (komorbiditas)
Individu dengan jumlah penyakit komorbidtas yang lebih banyak maka
risiko sepsis akan lebih tinggi. Beberapa penyakit komorbid yang dikaitkan dengan
sepsis diantaranya adalah diabetes, keganasan, penyakit hati, gagal ginjal kronik,
keadaan immunesupersi, dan gagal jantung kongestif.12
2. 7. Klasifikasi Sepsis

Pada tahun 1991, pertama kali oleh American College of Chest Physicians
(ACCP) dan Society of Critical Care medicine (SCCM) mengeluarkan suatu konsensus
mengenai Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), sepsis, dan sepsis berat.
Sindrom ini merupakan kelanjutan dari inflamasi yang memburuk dimulai dari SIRS
menjadi sepsis, sepsis berat, dan syok sepsis.

Tabel 1. Kriteria untuk SIRS, Sepsis, Sepsis Berat dan Syok septik

Pada bulan oktober tahun 1994 European Society Of Intensive Care Medicine
mengeluarkan suatu konsensus yang dinamakan sepsis-related organ failure assesment
(SOFA) score untuk menggambarkan secara kuantitatif dan subjektif mungkin tingkat
dari disfungsi organ. 2 hal penting dari skor SOFA ini adalah:

1) Meningkatkan pengertian mengenai perjalanan alamiah disfungsi organ dan


hubungan antara kegagalan berbagai organ.
2) Mengevaluasi efek terapi baru pada perkembangan disfungsi organ.
Pada tahun 2001, SCCM, ACCP dan European Society of Critical Care
Medicine (ESICM) merevisi definisi sepsis dan menambahkan tingkat dari sepsis
dengan akronim PIRO (predisposition, infection, response to the infectious challenge,
and organ dysfunction). Kemudian pada tahun 2016 SCCM dan ESICM mengeluarkan
consensus ketiga. Consensus ini menggunakan skor SOFA dengan peningkatan angka
sebesar 2 dan menambahkan kriteria baru yaitu peningkatan kadar serum laktat
walaupun telah diberikan cairan resusitasi dan hipotensi bahkan setelah diberikan
vasopressor.8,12

2. 8. Patofisiologi dan Patogenesis

Faktor virulensi patogen


Sepsis timbul akibat respon pejamu terhadap infeksi yang diarahkan untuk
mengeliminasi patogen. Patogen memiliki mekanisme atau faktor virulensi yang
bervariasi sehingga memungkinkan patogen untuk bertahan dalam tubuh pejamu dan
menyebabkan penyakit. Faktor virulensi menyebabkan patogen mampu menghambat
fagositosis, memfasilitasi adhesi ke sel atau jaringan pejamu, meningkatkan survival
intrasel setelah difagosit, dan merusak jaringan melalui produksi toksin dan enzim
ekstrasel.13
Kapsul menghambat fagositosis terutama dengan cara menutupi struktur
permukaan sel sehingga tidak dikenali oleh reseptor sel fagosit. Bakteri berkapsul
seperti Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenza dihubungkan dengan
infeksi yang sangat invasif dan lebih virulen dibanding bakteri tidak berkapsul. Struktur
lain berupa protein A, seperti pada dinding sel Staphylococcus aureus, menghambat
ikatan antibodi pejamu terhadap permukaan patogen (sebagai antigen). Antibodi
mengikat antigen melalui bagian Fab, protein A mengikat bagian Fc antibodi sehingga
menghambat opsonisasi dan fagositosis. Beberapa patogen menghindari fagositosis
dengan cara melepaskan produk poten di jaringan yang dapat membunuh sel fagosit.
Streptococci memproduksi hemolisin yang melisiskan eritrosit dan merangsang efek
toksik pada leukosit dan makrofag. Staphylococcus melepaskan leukocidin yang
menyebabkan pelepasan lisosom ke dalam sitoplasma. Kebanyakan patogen harus
menempel pada sel pejamu sebelum terjadi infeksi. Struktur permukaan sel patogen
yang memediasi penempelan disebut adhesin,13,14
Kemampuan patogen untuk menghasilkan toksin (eksotoksin atau endotoksin)
merupakan faktor utama lain yang berperan terhadap virulensi dan invasi patogen.
Eksotoksin diproduksi terutama oleh bakteri Gram positif, dan disekresi ke lingkungan
ekstrasel bakteri sehingga daat berinteraksi dengan sel pejamu dan mengganggu
metabolisme normalnya. Di satu sisi, endotoksin diproduksi oleh bakteri Gram positif
dan negatif. Bakteri Gram negatif memproduksi lipopolisakarida (LPS) yang menyusun
membran luar bakteri dan terdiri atas 3 regio, yaitu polisakarida spesifik-O, polisakarida
inti, dan lipid A. Aktivitas toksin dari endotoksin terdapat pada lipid A. Paparan
terhadap endotoksin dapat menyebabkan efek yang sistemik, seperti perubahan tekanan
darah dan suhu tubuh, abnormalitas koagulasi, penurunan jumlah sel leukosit dan
trombosit yang bersirkulasi, perdarahan, gangguan sistem imun, dan akhirnya
kematian.13,14

Respon Pejamu
Terdapat dua mekanisme pertahanan tubuh terhadap patogen yaitu respon imun
bawaan dan didapat. Respon imun bawaan berespon secara cepat melalui reseptor
selular dan solubel yang disebut sebagai Pattern-Recognition Receptor (PRR).
Reseptor selular diekpresikan pada membran dan sitoplasma oleh hampir semua sel
terutama sel fagosit (terutama makrofag dan neutrofil) dan sel dendritik. Empat
kelompok penting PRR adalah Toll-like receptor (TLR), nucleotide oligomerization
domain-containing protein-like receptors (NLRs), C-type lectin-like receptors (CLRs),
dan retinoid acid-inducible gene-like receptors (RLRs).14
Molekul solubel berperan pada respon awal terhadap mikroorganisme patogen
yang berada di aliran darah dan cairan ekstraselular lainnya. Komponen molekul
solubel utama adalah sistem komplemen, pentraxins, collentins, dan ficolins. Molekul
solubel dapat berperan sebagai opsonin melalui ikatan dengan mikroorganisme,
sehingga memudahkan sel fagosit yang memiliki reseptor membran spesifik terhadap
opsonin, untuk memfagosit patogen tersebut. Selain itu, molekul solubel dapat bersifat
kemoatraktan yang akan merangsang respon inflamasi dengan menarik lebih banyak
sel fagosit ke lokasi infeksi dan langsung mengeliminasi patogen tersebut.14
Respon imun didapat melibatkan sejumlah besar sel efektor dan molekul
antibodi yang berfungsi untuk eliminasi patogen, dan sel memori yang melindungi
pejamu dari infeksi berulang. Respon imun didapat melawan bakteri intrasel
melibatkan sel limfosit T dan aktivasi sel fagosit (cell-mediated immunity). Sel T
melawan infeksi melalui 2 cara, yaitu pertama sel T helper (CD4+) mengaktivasi sel
fagosit melalui aksi ligan CD40 dan interferon gamma (IFN-γ), menyebabkan matinya
bakteri yang bertahan dan memperbanyak diri dalam sel fagosit, dan kedua sel T
sitotoksik (CD8+) menghancurkan sel terinfeksi termasuk mengeliminasi bakteri di
dalamnya. Terhadap bakteri ekstrasel respon imun melibatkan antibodi terhadap
antigen dinding sel dan toksin bakteri. Antibodi berperan melalui mekanisme
neutralisasi, opsonisasi, dan aktivasi komplemen melalui jalur klasik.14

Respon Inflamasi
Terdapat tiga fase respon inflamasi dalam sepsis: 1) pelepasan toksin bakteri;
2) pelepasan mediator (sitokin) sebagai respon terhadap infeksi; dan 3) efek dari
mediator spesifik yang berlebihan. Pada fase 1, bakteri Gram negatif dan positif mampu
menyebabkan sepsis melalui endotoksin dan eksotoksin. Bakteri Gram negatif memiliki
LPS sebagai endotoksin. Lipopolisakarida-binding protein (LBP) yang bersirkulasi di
darah dan cairan ekstrasel, mengikat lipid A (bagian yang bersifat bioaktif pada LPS)
dan membawa LPS ke cluster of differentiation14 (CD14) pada monosit, makrofag, dan
neutrofil. Interaksi antara kompleks LBP-LPS dan reseptor CD14, memungkinkan LPS
berikatan dengan TLR4, sehingga menimbulkan sinyal untuk dihantarkan ke inti sel,
untuk selanjutnya merangsang produksi dan pelepasan mediator inflamasi. Bakteri
Gram positif memiliki LTA dan muramyl dipeptides (MDP) sebagai endotoksin dan
superantigen sebagai eksotoksin.14
Pada fase 2, interaksi antara PRR dan PAMPs menyebabkan aktivasi nuclear
factor kappa B (NF-κB), suatu faktor transkripsi yang memicu sintesis dan pelepasan
berbagai sitokin pro-inflamasi seperti tumor necrosis factor-α (TNF-α), interleukin-1
(IL-1β), IL-6, dan CXCL-8 (IL-8). Sitokin TNF-α dan IL-1 mengaktifkan endotel dan
menyebabkan endotel meningkatkan ekspresi molekul adhesi seperti selektin-E,
intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1), dan vascular cell adhesion molecule-1
(VCAM-1) sebagai ligan untuk integrin dari leukosit. Selain itu, TNF-α dan IL-1
meningkatkan sekresi kemokin seperti CXCL1 yang akan terikat pada reseptornya di
neutrofil, dan CCL2 di monosit, sehingga meningkatkan afinitas intergrin leukosit
terhadap ligannya, dan meningkatkan migrasi leukosit. Sitokin TNF-α, IL-1, dan IL-6
juga menginduksi hati untuk mengekspresikan protein fase akut seperti CRP, serum
amyloid P (SAP), dan fibrinogen. (12) Superantigen mengaktifkan limfosit T dan
merangsang produksi IL-2 dan IFN-γ. Interleukin-2 adalah sitokin proinflamasi yang
berperan dalam proliferasi dan diferensiasi limfosit T naïve menjadi limfosit T efektor.
Interferon-γ berperan penting dalam imunitas yang dimediasi sel terhadap mikroba
intrasel, mengaktivasi inducible nitric oxide synthase (iNOS), dan meningkatkan
migrasi leukosit. Selain itu, IL-2 dan IFN-γ memicu makrofag untuk melepaskan TNF-
α dan IL-1.14
Pada fase 3, sitokin proinflamasi mengaktifkan sel endotel dengan
meningkatkan ekspresi reseptor adhesi dan menyebabkan kerusakan sel endotel dengan
menginduksi adhesi neutrofil, monosit, makrofag, dan trombosit ke sel endotel. Sel-sel
efektor ini melepaskan mediator seperti protease, oksidan, prostaglandin, dan
leukotrien, yang akan merusak endotel sehingga menyebabkan peningkatan
permeabilitas, vasodilatasi, dan gangguan keseimbangan prokoagulan-antikoagulan.
Peningkatan aktivitas iNOS meningkatkan sintesis berlebihan nitrikmoksida (NO),
yaitu suatu vasodilator poten dan merupakan mediator kunci pada syok septik.14

Abnormalitas Koagulasi
Pada sepsis dan syok septik, keadaan antikoagulasi normal dalam sistem
pembuluh darah menjadi terganggu. Sepsis menyebabkan keadaan hiperkoagulabilitas
yang ditandai oleh pembentukan trombus mikrovaskular, deposisi fibrin, pembentukan
neutrophil extracellular trap (NET), dan kerusakan endotel.10 Keadaan di atas terjadi
melalui beberapa mekanisme yang saling terkait, dengan melibatkan pelepasan sitokin
pro-inflamasi (IL-1, IL-6, IL-12, dan TNF-α), yaitu induksi ekspresi faktor jaringan
(tissue factor - TF), penurunan kadar antitrombin, penghambatan faktor anti-koagulan,
dan gangguan fibrinolisis. Sitokin pro-inflamasi menginduksi ekspresi berlebihan TF
pada permukaan sel endotel dan monosit, menyebabkan interaksi TF dengan faktor
VIIa, sehingga mengaktivasi koagulasi jalur ekstrinsik, pembetukan trombin, dan
fibrin. Fibrin yang terbentuk, bersama dengan trombosit akan membentuk trombus
mikrovaskular. Selain itu, permukaan bakteri Gram negatif dan positif dapat
berinteraksi dengan faktor kontak dan mengaktivasi koagulasi jalur intrinsik melalui
faktor XII.14,15
Secara normal, sebagai respon terhadap koagulasi yang terbentuk, faktor
antikoagulan seperti protein C, protein S, antitrombin III (AT III), dan tissue factor-
pathway inhibitor (TFPI) akan mengurangi koagulasi, meningkatkan fibrinolisis, dan
membersihkan mikrotrombus. Trombin dengan adanya kofaktor trombomodulin yang
dikeluarkan oleh sel endotel, mening-katkan aktivasi protein C menjadi protein C aktif.
Protein C aktif, dengan adanya kofaktor protein S, akan memecah F.Va dan F.VIIIa
menjadi bentuk yang tidak aktif, dan menurunkan sintesis plasminogen activator
inhibitor-1 (PAI-1), yaitu suatu inhibitor yang bekerja terhadap aktivator plasminogen.
Protein C aktif juga menurunkan apoptosis, adhesi leukosit, dan produksi sitokin. Peran
protein C aktif menurunkan apoptosis sel endotel melalui penekanan dua gen pro-
apoptosis, yaitu calreticulin dan TRMP-2, suatu protein retikulum endoplasma,
sebaliknya meningkatkan gen anti apoptosis seperti A1 Bcl-2 homologue, Gu helicase,
dan inhibitor of apoptosis protein (IAP). Protein C aktif menghambat adhesi leukosit
yang diperantarai oleh selektin-E, melalui struktur karbohidrat polylactosamine protein
C yang lebih poten sebagai ligan selektin-E dibanding sialyl-Lewis X (diekspresikan
oleh granulosit dan monosit). Protein C aktif mengurangi produksi TNF oleh monosit
akibat stimulasi LPS, dengan cara menghambat faktor transkripsi nuclear factor kappa-
light-chain-enhancer of acti-vated B cells (NF-κB) dan protein aktivator-1.14
Antitrombin III menghambat aktivitas trombin, selain itu juga menghambat
F.XIIa, F.XIa, F.Xa, F.IXa, F.VIIa, plasmin, dan kalikrein. Koagulasi yang diinduksi
TF dapat dihambat oleh TFPI, melalui pembentukan kompleks TFPI dengan F.Xa pada
awalnya, dan selanjutnya mengikat kompleks F.VIIa-TF sehingga terbentuk kompleks
kuartener. Sekali hal ini terjadi, maka F.Xa hanya akan terbentuk melalui kompleks
F.IXa-F.VIIIa.14
Sepsis akan menurunkan protein C, protein S, AT III, dan TFPI, sebaliknya akan
meningkatkan sintesis dan aktivitas PAI-1 dan menurunkan aktivitas plasmin.
Plasminogen activator inhibitor-1 merupakan protein fase akut positif yang disintesis
oleh hepar sebagai respon terhadap infeksi/inflamasi. Lipopolisakarida dan TNF-α
menurunkan sintesis trombomodulin dan reseptor protein C endotel (endothelial
protein C receptor - EPCR) sehingga menurunkan aktivasi protein C, yang pada
9
akhirnya menurunkan fibrinolisis. Kadar AT III sangat menurun karena beberapa
faktor, yaitu sintesis hepar berkurang terhadap protein fase akut negatif ini, konsumsi
karena pembentukan kompleks trombin-AT III, dan degradasi oleh elastase dari
neutrofil yang teraktivasi.15
Aktivasi koagulasi pada sepsis dapat terjadi dari derajat ringan sampai berat,
yaitu terjadinya disseminated intravascular coagulation (DIC). Transisi dari keadaan
hiperkoagulabilitas menjadi DIC ditandai dengan fibrinolisis yang disertai pening-
katan fibrin degradation products (FDP) di sirkulasi, trombositopenia, dan sangat ber-
kurangnya faktor-faktor pembekuan akibat konsumsi berlebihan yang tidak dapat
diimbangi oleh kecepatan produksinya.16
Disfungsi Organ
Terjadinya deposisi fibrin mikro-vaskular pada DIC sering dihubungkan dengan
berkembangnya disfungsi multi organ (multiorgan dysfunction syndrome - MODS)
yang disebabkan oleh gangguan sirkulasi. Multiorgan dysfunction syndrome
didefinisikan sebagai sindrom klinis yang ditandai dengan perkembangan disfungsi
fisiologis yang progresif dari ringan sampai kegagalan ireversibel dari dua atau lebih
organ, dengan ditandai ketidakmampuan mempertahankan homeostasis tanpa inter-
vensi terapi. Multiorgan dysfunction syndrome diklasifikasikan menjadi awal (primer),
yaitu yang terjadi dalam 7 hari pertama sakit, dan lambat (sekunder), yang terjadi
setelah 7 hari sakit.17
Gangguan oksigenasi jaringan diang-gap berperan penting terhadap terjadinya
MODS. Faktor yang berkontribusi adalah vasodilatasi, hipotensi, berkurangnya defor-
mabilitas eritrosit, dan trombosis mikro-vaskular, yang akhirnya menyebabkan
berkurangnya hantaran oksigen pada syok septik. Berkurangnya oksigenasi jaringan
makin diperberat oleh hilangnya integritas endotel karena beberapa faktor, yaitu
hilangnya fungsi molekul adhesi vascular endothelial (VE) chaderin pada sambungan
antar sel endotel, gangguan keseimbangan sphingosine-1 phosphate receptor 1 (S1P1)
dan S1P3 (yang berperan pada struktur sel endotel) karena aktivasi protease activated
receptors (PARs), dan meningkatnya kadar angiopoietin 2 (faktor proangiogenik).
Rusaknya mitokondria oleh stres oksidatif juga mengganggu penggunaan oksigen
selular. Selain itu, mitokondria yang cedera melepaskan DAMPs ke lingkungan ekstra-
sel, yang dapat mengaktivasi respon imun jaringan dan menyebabkan kerusakan lebih
lanjut.10 Modifikasi komponen membran eritrosit seperti protein, lipid, dan karbohidrat
menyebabkan terjadi penurunan deformabilitas eritrosit pada sepsis. Modifikasi
komponen protein berupa peningkatan rasio band-3/α-spectrin menyebabkan
perubahan struktur integral membran. Pada komponen lipid, terjadi pembentukan
seramid membran yang menyebabkan peningkatan konsentrasi Ca2+ intrasel dan
selanjut-nya merangsang kanal K+-Ca2+ dan kanal Cl-, sehingga KCl akan keluar dari
sel, dan akibatnya terjadi dehidrasi sel.14
Umumnya paru-paru merupakan organ yang pertama terlibat, mulai dari
disfungsi ringan sampai sindrom gagal nafas akut (acute respiratory distress syndrome
- ARDS). Hal ini diduga disebabkan oleh kebocoran kapiler sehingga alveolar terisi
cairan, dan deaktivasi surfaktan. Organ kedua ialah miokardium, disebabkan teruta-ma
oleh peningkatan sintesis NO. Otak sering terpengaruh pada MODS awal, dengan
mekanisme penyebab yang multifaktorial dan melibatkan gangguan sawar darah-otak,
dengan peningkatan permea-bilitas terhadap sitokin dan neuroamin. Disfungsi hati akut
yang sering terjadi saat penurunan perfusi selama syok, biasanya reversibel setelah
resusitasi, namun setelah periode laten, disfungsi hati ireversibel dapat terjadi.
Katekolamin dari usus, terutama norepinefrin, diduga menginduksi kegagalan hati.
Ginjal dianggap dapat mempertahankan perfusi selama sepsis dan mekanisme
kegagalan ginjal selama MODS disebabkan terutama oleh apoptosis yang diinduksi
sitokin.17

2. 9. Gejala Klinis Sepsis


Gejala klinis sepsis biasanya tidak spesifik, umumnya didahului oleh tanda-
tanda sepsis non spesifik, meliputi demam, menggigil, dan gejala konstitutif seperti
lelah, malaise, gelisah atau kebingungan. Gejala tersebut tidak khusus untuk infeksi dan
dapat dijumpai pada banyak macam kondisi inflamasi noninfeksius. Sumber infeksi
merupakan determinan penting untuk terjadinya berat dan tidaknya gejala-gejala sepsis.
Gejala sepsis tersebut akan menjadi lebih berat pada penderita usia lanjut, penderita
diabetes, kanker, gagal organ utama, dan pasien dengan granulositopenia.18
Perjalanan sepsis akibat bakteri diawali oleh proses infeksi yang ditandai
dengan bakteremia selanjutnya berkembang menjadi systemic inflammatory response
syndrome (SIRS) dilanjutkan sepsis, sepsis berat, syok sepsis dan berakhir pada
multiple organ dysfunction syndrome (MODS).19
Sepsis dimulai dengan tanda klinis respons inflamasi sistemik (yaitu demam,
takikardia, takipnea, leukositosis) dan berkembang menjadi hipotensi pada kondisi
vasodilatasi perifer (renjatan septik hiperdinamik atau “hangat”, dengan muka
kemerahan dan hangat yang menyeluruh serta peningkatan curah jantung) atau
vasokonstriksi perifer (renjatan septik hipodinamik atau “dingin” dengan anggota gerak
yang biru atau putih dingin). Pada pasien dengan manifestasi klinis ini dan gambaran
pemeriksaan fisik yang konsisten dengan infeksi, diagnosis mudah ditegakkan dan
terapi dapat dimulai secara dini.
Pada bayi dan orang tua, manifestasi awalnya kemungkinan adalah kurangnya
beberapa gambaran yang lebih menonjol, yaitu pasien ini mungkin lebih sering
ditemukan dengan manifestasi hipotermia dibandingkan dengan hipertermia,
leukopenia dibandingkan leukositosis, dan pasien tidak dapat ditentukan skala
takikardia yang dialaminya (seperti pada pasien tua yang mendapatkan beta blocker
atau antagonis kalsium) atau pasien ini kemungkinan menderita takikardia yang
berkaitan dengan penyebab yang lain (seperti pada bayi yang gelisah). Pada pasien
dengan usia yang ekstrim, setiap keluhan sistemik yang nonspesifik dapat mengarahkan
adanya sepsis, dan memberikan pertimbangan sekurangkurangnya infeksi, seperti foto
toraks dan urinalisis.14
Pasien yang semula tidak memenuhi kriteria sepsis mungkin berlanjut menjadi
gambaran sepsis yang terlihat jelas sepenuhnya selama perjalanan tinggal di unit gawat
darurat, dengan permulaan hanya ditemukan perubahan samar-samar pada
pemeriksaan. Perubahan status mental seringkali merupakan tanda klinis pertama
disfungsi organ, karena perubahan status mental dapat dinilai tanpa pemeriksaan
laboratorium, tetapi mudah terlewatkan pada pasien tua, sangat muda, dan pasien
dengan kemungkinan penyebab perubahan tingkat kesadaran, seperti intoksikasi.
Penurunan produksi urine (≤0,5ml/kgBB/jam) merupakan tanda klinis yang lain yang
mungkin terlihat sebelum hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan dan seharusnya
digunakan sebagai tambahan pertimbangan klinis.18

2. 10. Diagnosis Sepsis


Kriteria Diagnosis Sepsis dan Sepsis Berat:
Tabel 2. Kriteria diagnosis sepsis9

Infeksi, diidentifikasi atau dicurigai, dan beberapa (2 atau lebih) hal berikut :
Variabel umum
 Demam (>38,3°C)
 Hipotermia (suhu inti tubuh <36°C)
 Laju jantung >90/menit atau lebih dari dua SD diatas nilai normal untuk usia
tersebut
 Takipnea
 Perubahan status mental
 Edema signifikan atau keseimbangan cairan positif (>20 mL/Kg dalam 24 jam)
 Hiperglikemia (glukosa plasma >140mg/dL atau 7,7 mmol/L) tanpa ada
diabetes
Takipnea didefinisikan sebagai laju napas >20x/menit atau PCO2 32 mmHg. Khusus
pada populasi luka bakar, takipnea didefinisikan sebagai laju nafas >24x/menit. Yang
dimaksud dengan perubahan status mental adalah perubahan status mental yang terjadi
secara akut, data berupa peningkatan (gaduh, gelisah) atau penurunan kesadaran. Pada
pasien luka bakar, edema tidak digunakan sebagai variabel umum sepsis.
Variabel inflamasi
 Leukositosis (hitung leukosit >12.000/µL)
 Leukopenia (hitung leukosit <4.000/µL)
 Hitung leukosit normal dengan lebih dari 10% bentuk imatur
 C-reactive protein plasma lebih dari dua SD diatas nilai normal
 Prokalsitonin plasma lebih dari dua SD diatas nilai normal
Variabel hemodinamik
Hipotensi arterial (TDS <90mmHg, MAP <70mmHg, atau penurunan TDS >40mmHg
pada orang dewasa, atau kurang dari dua SD dibawah nilai normal usia tersebut).
Variabel disfungsi organ
 Hipoksemia arterial (PaO2/FiO2 < 300)
 Oliguria akut (produksi urin < 0,5 mL/kg/jam selama paling tidak 2 jam
meskipun mendapat resusitasi cairan adekuat)
 Peningkatan kreatinin >0,5 mg/dL atau aPTT > 60 detik)
 Ileus (tidak adanya bising usus)
 Trombositopenia (hitung trombosit < 100.000/µL)
 Hiperbilirubinemia (bilirubin total plasma > 4 mg/dL atau 70 µmol/L)
Kondisi yang telah ada sebelum episode sepsis ini tidak termasuk dalam kriteria.
Bila pemeriksaan bilirubin tidak dikerjakan, penilaian ikterus secara klinis dapat
digunakan sebagai pengganti
Variabel perfusi jaringan
 Hiperlaktatemia (> 1 mmol/L)
 Perlambatan pengisian kapiler kulit atau kulit bercak-bercak (mottle)
Beberapa laboratorium menggunakan standar >2 mmol/L sebagai batasan penilaian
hiperlaktatemia
Keterangan
1. TDS : tekanan darah sistolik
2. INR : international normalized ratio
3. aPTT : activated partial thromboplastin time
4. SD : standar deviasi
5. MAP : mean arterial pressure

Pada tahun 2016 the European Society of Intensive Care Medicine dan SCCM
merumuskan kriteria baru diagnosis sepsis yang didasarkan pada perubahan definisi
sepsis yang menekankan pada terjadinya disfungsi organ pada seorang yang terinfeksi.
Sistem skor Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) digunakan sebagai cara
penilaian disfungsi organ. Penambahan akut dua atau lebih nilai SOFA sebagai akibat
infeksi digunakan sebagai dasar diagnosis sepsis. Kelompok ahli juga mengajukan
kriteria baru yang dapat digunakan sebagai penapis pasien sepsis yang dikenal dengan
istilah quick SOFA (qSOFA). Tiga kriteria qSOFA adalah laju napas lebih dari sama
dengan 22 napas/menit, perubahan kesadaran, tekanan darah sistolik kurang dari sama
dengan 100 mmHg.9

Tabel 3. Definisi sepsis berat9

Definisi sepsis berat : hipoperfusi jaringan atau disfungsi organ


(hal-hal berikut ini dianggap disebabkan oleh infeksi)
 Hipotensi diinduksi sepsis
 Laktat diatas batas atas nilai normal laboratorium
 Produksi urin <0,5mL/kg/jam selama lebih dari 2jam meskipun mendapat
resusitasi cairan adekuat
 Acute lung injury dengan PaO2/FiO2 <250 mmHg tanpa ada pneumonia
sebagai sumber infeksi
 Acute lung injury dengan PaO2/FiO2 <200 mmHg dengan pneumonia sebagai
sumber infeksi
 Kreatinin >2,0mg/dL (176,8µmol/L)
 Bilirubin >2 mg/dL (34,2 µmol/L)
 Hitung trombosit <100.000/µL
 Koagulopati (international normalized ratio >1,5)
Tabel 4. Tabel Skor SOFA20

Sistem 0 1 2 3 4
Respirasi ≥400 <400 <300 (40) <200 (26.7) <100 (13.3)
PaO₂/FiO₂ (53.3) (53.3) dengan dengan
mmHg (kPa) bantuan bantuan
pernapasan pernapasan
Koagulasi ≥150 <150 <100 <50 <20
Platelet x103/ul
Liver <1.2 (20) 1.2 – 1.9 2.0 – 5.9 (33- 6.0-11.9 >12.0 (204)
Bilirubin, (20-32) 101) (102-204)
mg/dl
Kardiovaskular MAP MAP Dopamin Dopamin Dopamin >15
≥70mmHg <70mmHg <5/dobutamin 5.1-15 / / epinefrin
e (ug/kg/min) epinefrin 0.1 /
≤0.1 / norepinefrin.
norepinefrin 0.1
≤0.1 (ug/kg/min)
(ug/kg/min)
SSP 15 13-14 10-12 9 <6
Glasgow Coma
Scale
Ginjal <1.2 1.2-1.9 2.0-3.4 3.5-4.9 >5.0
Kreatinin,
mg/dl
Urin Output <500 <200
(ml/hari)

Tabel 5. Kriteria Skor qSOFA21

Kriteria Skor qSOFA


Respiratory rate ≥ 22/min
Glasgow Coma Scale <15
Systolic blood pressure ≤ 100 mmHg
2. 11. Diagnosis Banding

Sepsis memiliki diagnosis banding yang sangat luas. Sindrom yang menyerupai
sepsis antara lain hypovolemia, kehilangan darah akut, emboli paru akut, infark
miokard akut, pankreatitis akut, reaksi transfuse, ketoasidosis diabetikum, dan
insufisiensi renal.22

Hypovolemia adalah kondisi penurunan volume cairan surkulasi (plasma) yang


tidak normal di dalam tubuh. Hal ini dapat disebabkan oleh kehilangan darah yang cepat
dan banyak atau dari dehidrasi karena muntah, diare, luka bakar, atau akibat obat-obatan
seperti diuretik. Cairan yang hilang pada pasien dehidrasi terutama terdiri dari plasma
daripada darah utuh seperti pada pasien trauma. Hypovolemia dapat dikenali melalui
tanda adanya peningkatan denyut nadi, penurunan tekanan darah, dan tidak adanya
perfusi yang dinilai melalui kulit menjadi pucat atau capillary refill time yang
memanjang pada bantalan kuku. Gejala pada pasien dapat berupa pusing, pingsan,
mual, atau sangat haus. Hypovolemia dapat menyebabkan syok, namun gejala klinisnya
tidak akan muncul sampai 10-20% dari total volume darah lengkap hilang.23

Infark miokard akut dan gagal jantung meningkatkan risiko terjadinya emboli
paru. Emboli paru akut akan mengganggu sirkulasi dan pertukaran gas. Obstruksi
anatomis dan vasokonstriksi yang diinduksi emboli paru menyebabkan hipoksia dan
peningkatan resistensi vascular paru pada area yang terkena. Tanda dan gejala emboli
paru akut tidak spesifik. Dalam beberapa kasus dapat timbul tanpa gejala atau
ditemukan secara kebetulan selama pemeriksaan diagnostic untuk penyakit lain. Gejala
sesak bisa terjadi akut dan parah pada emboli paru sentral, sedangkan pada emboli paru
perifer sering terjadi ringan dan sementara. Pada pasien dengan gagal jantung atau
penyakit paru yang sudah ada sebelumnya, dyspnea yang memburuk menjadi gejala
emboli paru. Nyeri dada juga sering didapat pada emboli paru sentral. Hipoksemia
sering terjadi tetapi pada ≤40% pasien memiliki saturasi oksigen arteri normal dan 20%
memiliki gradient oksigen arteri alveolar yang normal. Hipokapnia juga sering
muncul.24

Ketidakstabilan hemodinamik adalah manifestasi yang jarang terjadi pada


emboli paru tetapi penting karena menunjukkan emboli paru sentral atau ekstensif
dengan cadangan hemodinamik yang sangat berkurang. Ketidakstabilan hemodinamik
ditandai dengan adanya salah satu dari tanda berikut yakni:24
1. Cardiac arrest
2. Syok obstruktif yang ditandai dengan tekanan darah sistolik < 90 mmHg
atau membutuhkan vasopressor untuk mencapai tekanan darah sistolik > 90
mmHg meski isinya memadai, perubahan status mental, kulit terasa dingin
dan basah, oliguria/anuria, peningkatan serum laktat.
3. Hipotensi persisten, yakni tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau
penurunan tekanan darah sistolik > 40 mmHg lebih dari 15 menit dan tidak
disebabkan oleh aritmia, hypovolemia atau sepsis.

Ketoasidosis diabetic adalah salah satu penyulit yang sering terjadi pada
penderita diabetes mellitus yang ditandai dengan kadar glukosa serum >250 mg/dL, pH
darah < 7,3, kadar HCO3- serum <18 mEq/L, peningkatan kadar keton serum, dan
dehidrasi. Kekurangan insulin adalah faktor pencetus utama. Gejala umum termasuk
polyuria dengan polydipsia, penurunan berat badan, kelelahan, dyspnea, muntah,
penyakit demam sebelumnya, sakit perut, dan polifagia. Pengukuran HbA1C, nitrogen
urea darah, kreatinin, glukosa serum, elektrolit, pH, dan keton serum, hitung darah
lengkap, urinalisis, ekeltrokardiografi, dan perhitungan anion gap dan osmolar gap
dapat membedakan ketoasidosis diabetic dari keadaan hiperglikemik hyperosmolar,
gastroenteritis, ketosis kelaparan, dan sinndrom metabolic lainnya sehingga dapat
membantu dalam mendiagnosis kondisi komorbid.25

Insufisiensi renal atau gagal ginjal menunjukkan ketidakmampuan ginjal untuk


melakukan fungsi ekskresi yang menyebabkan retensi produk sisa nitrogen dari darah.
Banyak pasien asimptomatik dan secara kebetulan ditemukan memiliki konsentrasi
kreatinin serum yang tinggi, urin yang abnormal (proteinuria atau hematuria
mikroskopis), atau pencitraan radiologis ginjal yang abnormal.26

2. 12. Tatalaksana
Penatalaksanaan sepsis secara dini yang terarah (Early Goal-Directed Therapy)
harus dilakukan dalam 6 jam pertama setelah dugaan sepsis atau syok sepsis.
Penatalaksanaan dini yang pertama dilakukan adalah stabilisasi pernapasan. Oksigen
tambahan harus diberikan kepada semua pasien. Ventilasi mekanik dianjurkan bila
oksigen tambahan gagal meningkatkan oksigenasi, terjadi kegagalan pernapasan, atau
bila jalan napas terhambat. Kemudian perfusi dinilai setelah stabilisasi pernapasan.
Hipotensi menandakan perfusi jaringan yang tidak adekuat. Setelah stabilisasi
pernapasan awal, terapi yang dilakukan terdiri dari resusitasi cairan, terapi vasopressor,
identifikasi dan pengendalian infeksi, pemberian antibiotik segera, dan pembuangan
atau drainase sumber infeksi.22

Gambar 2 Algoritma Penatalaksanaan Dini pada Sepsis22


2. 10. 1. Pemeriksaan Laboratorium dan Radiografi
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah hitung darah lengkap dengan diffcount,
metabolic dasar, kadar enzim laktat dan hati, koagulasi, dan urinalisis.
Kecurigaan terhadap infeksi pernapasan harus dievaluasi dengan
menggunakan radiografi thoraks dan pemeriksaan gas darah arteri untuk
menilai hipoksemia dan kelainan asam basa. Jika dicurigai koagulasi
intravascular diseminata, maka kadar Fibrin Degradation Products (FDPs),
d-dimer, dan fibrinogen harus diperiksa. Beberapa penanda biologis seperti
C-Reactive Protein (CRP), prokalsitonin, activated Partial Thromboplastin
Time (aPTT), dan interleukin-6 juga dapat diperiksa.22
Kultur darah, kultur urin, kultur feses, kultur sputum, serta kultur kulit dan
jaringan lunak harus diperoleh. Cairan serebrospinal, sendi, pleura, dan
peritoneal harus dievaluasi sesuai indikassi klinis. Ekokardiografi dianjurkan
untuk mendiagnosis endocarditis dan harus dilakukan pada pasien dengan
murmur jantung dan dugaan penggunaan obat intravena. Evaluasi adanya
emboli paru memerlukan CT Scan dada atau pemindaian perfusi ventilasi dan
dugaan infeksi perut atau panggul memerlukan CT abdomen dan panggul.
Evaluasi abses ginjal atau pielonefritis dengan komplikasi sering
membutuhkan ultrasonografi ginjal atau CT scan. CT kepala harus
dipertimbangkan untuk pasien yang mengalami perubahan status mental
untuk menyingkirkan perdarahan intracranial, abses, atau keganasan.22

2. 10. 2. Resusitasi Cairan Awal


Prioritas pertama pada sepsis dini adalah resusitasi cairan. Hypovolemia,
depresi miokard, dan hipoperfusi menyebabkan hipotensi merupakan
penyebab meningkatnya morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan
sepsis. Cairan intravena harus segera diberikan ketika sepsis terdiagnosis.
Menunda resusitasi cairan dapat memperburuk hipoksia jaringan,
menyebabkan disfungsi multi organ. Kristaloid isotonic adalah cairan yang
paling umum digunakan. Namun, penggunaan koloid tidak menunjukkan
perbedaan edema paru, mortalitas atau lama rawat inap dibandingkan
kristaloid isotonik.22
Tujuan resusitasi awal adalah untuk mengoptimalkan volume intravascular
untuk mencapai tekanan vena sentral 8-12 mmHg dan 12-15 mmHg ketika
pasien diventilasi secara mekanis. Terapi cairan harus dimulai dengan bolus
20 mL per kg berat badan selama 30 menit atau kurang. Kemudian dosis
cairan dilanjutkan dengan berdasarkan derajat hypovolemia dan ditingkatkan
menjadi 500 mL. volume resusitasi cairan rata-rata adalah 5 liter dalam 6 jam
dan 6,3 liter dalam 12 jam. Respon terhadap resusitasi cairan dan tingkat
pemberian lanjutan setelah 12 jam pertama harus dinilai dengan respon
tekanan darah, perfusi jaringan dan urin output.22
2. 10. 3. Terapi Vasopressor
Vasopressor dianjurkan bila pemberian cairan intravena gagal memulihkan
tekanan arteri rata-rata (MAP) dan perfusi organ yang adekuat. Tekanan
arteri rata-rata harus dipertahankan agar lebih dari 65 mmHg. Dopamine dan
norepinefrin adalah lini pertama vasopressor yang direkomendasikan dalam
terapi syok sepsis.22
Sebuah penelitian terkontrol secara acak membandingkan dopamine dengan
norepinefrin dan tidak menunjukkan perbedaan klinis yang signifikan dalam
mortalitas 28 hari antara kedua kelompok. Meskipun kejadian aritmia lebih
sering terjadi pada kelompok dopamine. Para ahli lebih menyukai
penggunaan norepinefrin daripada dopamine pada orang dengan syok sepsis.
Penggunaan dopamine dosis rendah untuk mempertahankan fungsi ginjal
atau mengobati disfungsi ginjal dalam praktik klinis tidak dianjurkan. Sebuah
meta analisis gagal menunjukkan manfaat dalam pengurangan mortalitas,
pencegahan gagal ginjal akut, atau kebutuhan dialysis pada pasien kritis.22

2. 10. 4. Terapi Antibiotik


Terapi antibiotik yang tepat sejak dini dikaitkan dengan hasil klinis yang
lebih baik. Terapi antibiotik diberikan dalam satu jam dari dugaan sepsis.
Pada syok sepsis permulaan terapi antibiotik dalam satu jam meningkatkan
kelangsungan hidup. Terapi antibiotik empiris harus didasarkan pada sumber
yang paling mungkin, konteks klinis (sepsis yang didapat dari komunitas dan
rumah sakit), penggunaan antibiotik terakhir, dan pola resistensi lokal. Terapi
antibiotik harus dipersempit atau dialihkan ketika organisme penyebab telah
diidentifikasi, sehingga mengurangi risiko resistensi atau superinfeksi.22

2. 10. 5. Manajemen lanjutan


Pasien yang datang ke unit gawat darurat dengan sepsis yang menyelesaikan
bundel resusitasi enam jam yakni termasuk inisiasi tekanan vena sentral dan
pemantauan saturasi oksigen vena sentral dalam dua jam; antibiotik spektrum
luas diberikan dalam empat jam, meskipun dalam satu jam lebih disukai;
terapi secara dini diselesaikan dalam waktu enam jam; dan pemantauan
pembersihan laktat sebelum pemindahan unit perawatan intensif memiliki
angka kematian di rumah sakit yang lebih rendah dibandingkan dengan
pasien yang bundel resusitasi tidak diselesaikan (21% vs. 40%).22
Selain berdasarkan panduan EGDT, terapi lain telah dilaporkan dapat
meningkatkan perbaikan. Dalam uji coba terkontrol secara acak, penurunan
mortalitas pada pasien dengan sepsis dicapai dengan terapi kortikosteroid
dosis rendah, kontrol glikemik konvensional (sebagai lawan intensif) (yaitu,
kadar glukosa serum kurang dari 180 mg per dL [10 mmol per L]), dan
volume tidal yang rendah pada pasien berventilasi. Terapi produk darah
dengan sel darah merah dianjurkan pada pasien dengan kadar hemoglobin
kurang dari 7 g per dL (70 g per L) untuk level target 7 hingga 9 g per dL (70
hingga 90 g per L), meskipun protokol terapi secara dini menggunakan
tingkat hematokrit target 30% atau lebih besar pada pasien dengan saturasi
oksigen vena sentral yang rendah (kurang dari 70%).22

Gambar 3 Rekomendasi antimikroba bagi pasien sepsis dewasa22


2. 13. Prognosis
Pasien yang selamat dari sepsis, terlepas dari tingkat keparahannya, memiliki
angka kematian yang lebih tinggi setelah keluar dari rumah sakit. Angka kematian satu
tahun dari sepsis berat setelah keluar dari rumah sakit berkisar dari 7% sampai 43%.
Orang yang selamat dari sepsis juga mengalami peningkatan kejadian gangguan stres
pasca trauma, disfungsi kognitif, cacat fisik, dan disfungsi paru persisten.22
BAB III
ILUSTRASI KASUS

3. 1. Identitas Pasien
No. Rekam Medik : 01785835
Nama : Ny. R
TTL : Jakarta, 20 Juni 1994
Usia : 26 Tahun
Alamat : Jakarta Barat
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan : SLTA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status Perkawinan : Kawin

3. 2. Anamnesis
3. 2. 1 Keluhan utama
Sesak napas 1 minggu SMRS

3. 2. 2 Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang ke IGD RSUP Fatmawati pada tanggal 9 Maret 2021


dengan sesak napas sejak 1 minggu dan sesak memberat dalam 2 hari SMRS.
Sebelumnya pasien dirawat di RS Permata Ibu dengan diagnosis ARDS
probable COVID19. Sebelumnya pasien mengeluh lelah, lemas dan demam
sejak 2 minggu SMRS. Setelah gejala demam membaik dan hilang timbul,
pasien mulai merasa sesak napas. Sesak napas memberat dan juga dirasakan
saat pasien batuk. Batuk dan demam sejak 1 minggu SMRS.

3. 2. 3 Riwayat penyakit dahulu

Pasien mempunyai riwayat anemia. Riwayat Hipertensi (-), DM (-), alergi (-),
asma (-).
3. 2. 4 Riwayat penyakit keluarga
Dikeluarga tidak ada penyakit serupa.

3. 2. 5 Riwayat sosial
Riwayat merokok, alkohol dan mengonsumsi obat-obatan disangkal. Suami
pasien seorang perokok. Lingkungan rumah padat penduduk tetapi ventilasi
rumah dan sanitasi air baik. Tidak ada riwayat perjalanan jauh dan tidak ada
riwayat kontak dengan pasien COVID19.

3. 3. Pemeriksaan fisik
3. 3. 1 Keadaan umum
Keadaan umum : tampak sakit berat
Kesadaran : Apatis (E3M6Vett)

3. 3. 2 Tanda vital

Tekanan darah : 109/50 mmHg

Frekuensi napas : 28 kali/menit

Frekuensi nadi : 107 kali/menit

Suhu : 37,4 °C
3. 3. 3 Antropometri
Tinggi badan : 167 cm
Berat badan : 72,5 kg
Indeks massa tubuh : 26 (overweight)

3. 3. 4 Status Generalis
Kepala : Normosefali, rambut warna hitam

Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor

2mm/2 mm, RCL (+/+), RCTL (+/+).

THT : Deviasi septum (-/-), sekret pada hidung (-/-), edema concha

(-/-), pernapasan cuping hidung (-/-) telinga normotia (+/+),

liang telinga lapang (+/+), terintubasi.

Gigi & mulut : Oral hygiene baik

Leher : Tidak ada pembesaran KGB, trakea di tengah

Paru : Pergerakan dada simetris, retraksi intercostal tidak ada,

perkusi sonor, auskultasi Vesikuler +/+, Ronkhi +/+ kasar,

Wheezing -/-

Jantung

Inspeksi : Pulsasi iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : Iktus kordis teraba pada ICS linea midclavicular sinistra

Perkusi : Batas kanan jantung sela iga IV linea parasternal dextra,

batas kiri jantung sela iga V linea midclavicula sinistra

Auskultasi : Bunyi jantung I-II normal, reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi : Datar, supel, tidak tampak pelebaran vena

Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar dan limpa tidak teraba


Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Ekstremitas

Akral dingin CRT > 2 detik, pitting edema di kedua tungkai (+/+)

3. 4. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Laboratorium 11/03/2021

PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN

HEMATOLOGI

Hemoglobin 8.3 11.7 – 15.5 gr/dl

Hematokrit 26.9 33 – 45 %

Leukosit 4.41 5.00 – 10.00 ribu/uL

Trombosit 240.000 150.000 – 440.000/ul

Eritrosit 4.22 3.8 – 5.2 juta / uL

VER/HER/KHER/RDW

VER 63.8 80.0 – 100 fl

HER 19.8 26.0 – 34.0 pg

KHER 31.0 32.0 – 36.0 g/dl

RDW 17.3 11.5 – 14.5 %

HITUNG JENIS

Basofil 0 0-1 %

Eosinofil 1 1-3 %

Netrofil 84 50-70 %

Limfosit 9 20-40 %
Monosit 4 2-8 %

Luc 2 <5

Jumlah limfosit 379 ≥ 1500


Absolut

Rasio Neutrofil 9.8


Limfosit

KIMIA KLINIK

FUNGSI GINJAL

Ureum Darah 22.6 16.6 – 48.5 mg/dl

Kreatinin Darah 0.45 0.51 – 0.95 mg/dl

Asam Urat Darah 2.8 2.4 – 5.7 mg/dl

FUNGSI HATI

SGOT 95 ≤ 32 U/L

SGPT 55 ≤ 33 U/L

FUNGSI JANTUNG

LDH 542 135 – 214 U/L

KIMIA LAIN

Asam Laktat 3.1 0.5 – 2.2 mmol/L

SERO- IMUNOLOGI

CRP Kuantitatif 10.0 ≤0.5 mmol/L

Ferritin 138 13 – 150

Pemeriksaan Laboratorium 12/03/2021

PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN


HEMATOLOGI

Hemoglobin 9.0 11.7 – 15.5 gr/dl

Hematokrit 28.4 33 – 45 %

Leukosit 9.05 5.00 – 10.00 ribu/uL

Trombosit 256.000 150.000 – 440.000/ul

Eritrosit 4.62 3.8 – 5.2 juta / uL

VER/HER/KHER/RDW

VER 61.4 80.0 – 100 fl

HER 19.4 26.0 – 34.0 pg

KHER 31.6 32.0 – 36.0 g/dl

RDW 17.1 11.5 – 14.5 %

HITUNG JENIS

Basofil 0 0-1 %

Eosinofil 0 1-3 %

Netrofil 85 50-70 %

Limfosit 8 20-40 %

Monosit 7 2-8 %

Luc 0 <5

Jumlah limfosit 742 ≥ 1500


Absolut

FUNGSI HATI

Serum Iron 14 33 – 193 µg/dL

TIBC 244 228 – 428 µg/dL

UIBC 231 135 – 392 µg/dL


Pemeriksaan Laboratorium 13/03/2021

PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN

HEMATOLOGI

Hemoglobin 8.8 11.7 – 15.5 gr/dl

Hematokrit 27.7 33 – 45 %

Leukosit 5.43 5.00 – 10.00 ribu/uL

Trombosit 246.000 150.000 – 440.000/ul

Eritrosit 4.46 3.8 – 5.2 juta / uL

VER/HER/KHER/RDW

VER 62.2 80.0 – 100 fl

HER 19.8 26.0 – 34.0 pg

KHER 31.8 32.0 – 36.0 g/dl

RDW 16.9 11.5 – 14.5 %

HITUNG JENIS

Basofil 0 0-1 %

Eosinofil 0 1-3 %

Netrofil 87 50-70 %

Limfosit 8 20-40 %

Monosit 4 2-8 %

Luc 1 <5

Jumlah limfosit 424 ≥ 1500


Absolut

SERO- IMUNOLOGI

CRP Kuantitatif 14.4 ≤0.5 mmol/L


Pemeriksaan Laboratorium 15/03/2021

PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN

HEMATOLOGI

Hemoglobin 9.9 11.7 – 15.5 gr/dl

Hematokrit 31.2 33 – 45 %

Leukosit 5.55 5.00 – 10.00 ribu/uL

Trombosit 230.000 150.000 – 440.000/ul

Eritrosit 4.72 3.8 – 5.2 juta / uL

VER/HER/KHER/RDW

VER 66.0 80.0 – 100 fl

HER 20.9 26.0 – 34.0 pg

KHER 31.7 32.0 – 36.0 g/dl

RDW 19.9 11.5 – 14.5 %

HITUNG JENIS

Basofil 0 0-1 %

Eosinofil 1 1-3 %

Netrofil 82 50-70 %

Limfosit 9 20-40 %

Monosit 7 2-8 %

Luc 2 <5

Jumlah limfosit 472 ≥ 1500


Absolut
Pemeriksaan sediaan hapusan darah tepi (15//03/2021)

Pemeriksaan Hasil
Eritrosit Mikrositik hipokrom,
anisopoikilositosis
Leukosit Kesan Jumlah dan morfologi normal
Trombosit Kesan jumlah dan morfologi normal
Kesan Anemia mikrositik hipokrom
Saran Periksa SI, TIBC, Feritin

Pemeriksaan Laboratorium 16/03/2021

ANALISIS GAS DARAH

pH 7.54 7.370 – 7.440

PCO2 31.8 35.0 – 45.0 mmHg

PO2 172.8 83.0 – 108.0 mmHg

BP 733.7

HCO3 27.2 21.0 – 28.0 mmol/L

O2 Saturasi 99.9 95.0 – 99.0 %

BE (Base Excess) 4.4 -2.5 – 2.5 mmol/L

Total CO2 28.1 19.0 – 24.0 mmol/L

Pemeriksaan Laboratorium 19/03/2021

KIMIA LAIN

Asam Laktat 3.1 0.5 – 2.2 mmol/L

ELEKTROLIT DARAH

Natrium 127 136 – 145 mmol/L


Kalium 5.1 35.0 – 45.0 mmol/L

Klorida 87 83.0 – 108.0 mmol/L

DIABETES

Glukosa Sewaktu 114 70 – 140 mg/dL

Pemeriksaan Laboratorium 20/03/2021

KIMIA LAIN

Asam Laktat 4.1 0.5 – 2.2 mmol/L

Pemeriksaan Laboratorium 21/03/2021

KIMIA KLINIK

ELEKTROLIT DARAH

Natrium 136 136 – 145 mmol/L

Kalium 3.2 35.0 – 45.0 mmol/L

Klorida 93 83.0 – 108.0 mmol/L

DIABETES

Glukosa Sewaktu 164 70 – 140 mg/dL


Rontgen Thorax 11/03/2021

Klinis: COVID-19 DD/ TBC paru

Kesan:

 TB milier disertai pleuropneumonia bilateral, saat ini infiItrat miler di kedua paru
bertambah luas.
 Kardiomegali.

Rontgen Thorax 17/03/2021


Kesan :

 Cardiomegali
 Pneumonia bilateral dengan efusi pieura kanan, kesan belum perbaikan
 Dibandingkan foto lama tanggal 11/3/2021. dd/ TB Milier dengan Covid

Rontgen Thorax 20/03/2021

Klinis: ARDS, Pneumonia, Terpasang ETT dan CVC

Kesan:

 Efusi pleura kanan.


 Gambaran pneumonia di kedua lapangan paru.
 ETT dengan tip tepat di karina.
 CVC dengan tip di proyeksi vena kava superior.
 Tidak tampak pneumotoraks, pneumomediastinum, maupun emfisema subkutis.

3. 5. Resume
NY. R 26 tahun datang ke IGD RS Fatmawati dengan sesak napas sejak 1
minggu dan sesak memberat dalam 2 hari SMRS. Pasien dirawat di RS Permata Ibu
dengan diagnosis ARDS probable COVID-19. Sebelumnya pasien mengeluh lelah,
lemas dan demam sejak 2 minggu SMRS. Setelah gejala demam sudah membaik dan
hilang timbul, pasien mulai merasa sesak napas. Pasien batuk dan demam sejak 1
minggu SMRS. Pasien mempunyai riwayat anemia. Riwayat hipertensi dan DM
disangkal. Riwayat kontak dengan pasien COVID dan perjalanan disangkal.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan kesadaran pasien cenderung apatis-somnolen


dengan GCS 9 terpasang ETT. Tanda vital didapatkan hipotensi, takipnea, takikardia,
dan subfebris. IMT pasien termasuk overweight. Auskultasi paru didapatkan vesikuler.
Auskultasi jantung, murmur (-), gallop (-). Abdomen dalam batas normal, dan
ekstremitas terdapat akral dingin, CRT >2 detik dan pitting edema di kedua tungkai.

Pada pemeriksaan laboratorium awal didapatkan penurunan kadar Hb, Ht,


leukositosis, penurunan keratinin darah, SGOT/SGPT meningkat, LDH meningkat,
peningkatan kadar asam laktat dan CRP kuantitatif meningkat. Pada hasil analisis gas
darah, didapatkan alkalosis respiratorik. Pada sediaan hapusan darah tepi dihasilkan
kesan anemia mikrositik hipokrom. Pada hasil rontgen thorax ditemukan kesan efusi
pleura dextra, gambaran pneumonia di kedua lapang paru, dan kardiomegali.

3. 6. Diagnosis
Pneumonia dengan ARDS
Sepsis
Suspek CAD
Anemia

3. 7. Tatalaksana
Airway : NGT

Breathing : Ventilator : pola SIMV RR 18, TV 360, O2 70%

Circulation : RL 5400 ml. Pemasangan kateter urin. Target Urin (0,5-1


cc/kgBB/jam). Pemasangan CVC

Drug :

Paracetamol 3x1 gram

meropenem 3x1g

Levofloxacine 1x1 gram


Fluconazole 2x400 mg

Lasix 10mg/jam

Amiodaron 150 mg/jam

Morfin bolus 3mg/jam

3. 8. Prognosis
Ad vitam : Dubia ad malam

Ad functionam : Dubia ad malam

Ad sanationam : Dubia ad malam

3. 9. Perjalanan Penyakit (9 – 20 Maret 2021)

Gambar 4 Timeline Diagnosis Penyakit Ny. RM (26 Tahun)

9/3/2021 – IGD
Pasien datang ke IGD dengan keluhan trias pneumonia sejak 1 minggu yang lalu: Demam,
batuk produktif, dan sesak.
Hasil pemeriksaan fisik yang menunjang: ronkhi +/+, RR 32x/menit (takipneu), suhu: 36C
(tidak demam), SaO2 93% dengan bantuan NRM.
TD: 105/78 mmHg → MAP: 87 → perfusi jaringan masih baik.
Gejala dan pemeriksaan fisik mengarah ke pneumonia. Curiga pneumonia COVID-19 →
pasien di isolasi di rg Anggrek lt. 5.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk menunjang diagnosis:
- Pemeriksaan lab darah lengkap
- Tes swab PCR ke 2. Swab PCR pertama (-)
- Rontgent thoraks

10/3/2021 – Anggrek Lt. 5


Pasien masih sesak dan batuk, dengan SaO2 94% menggunakan NRM. TD: 101/59 mmHg →
MAP: 73 → hipoperfusi jaringan sudah berprogress → warning syok.
Hasil rontgent thoraks: terdapat infiltrat pada paru, dan efusi pleura → diagnosis pneumonia
tegak. Tapi COVID-19 masih belum dapat disingkirkan.

11/3/2021 – Anggrek Lt. 5


Pasien sesak, SaO2 naik menjadi 95% NRM. TD: 104/65 mmHg → MAP: 78 → perfusi
jaringan membaik dari sebelumnya. Tetapi hasil laboratorium darah menunjukkan pasien
mengalami anemia, dengan nilai:
- Hb 8,3 → anemia
- Ht 26,9 % → persentase eritrosit dalam volume darah berkurang
- MVC/MCH/MCHC: 63,8/19,8/31 → anemia mikrositik hipokrom
Dikhawatirkan pasien mengalami syok akibat perfusi ke jaringan tidak cukup meskipun nilai
MAP membaik dari sebelumnya. Namun saat ini belum terjadi penurunan MAP yang
bermakna.
Kecurigaan terjadi sepsis karena nilai hitung jenis leukosit didapat 0/1/84/9/4 yang
menunjukkan neutrofilia → menandakan terjadinya peradangan di dalam tubuh akibat infeksi
pneumonia, serta mulai terdapat tanda organ dysfunction hepar yang ditunjukkan dengan nilai:
- Laktat 3,1
- LDH 542
- SGOT/SGPT: 95/55

12/3/2021
Hasil swab PCR ke-2 didapatkan (-) → Pneumonia COVID-19 tersingkirkan.
Napas pasien membaik dengan SaO2 97%. TD 135/76 mmHg → MAP: 95 → perfusi jaringan
membaik dari sebelumnya. Tetapi nilai Hb 8,3 dan Ht 26,9. Masih sama seperti sebelumnya.

13/3/2021
Pasien sesak, dengan bantuan optiflow 60/90/32 → SaO2 99%.
Hb 8,8 dan Ht 27,7% → membaik dari sebelumnya, tetapi masih anemia → anemia mikrositik
hipokrom dengan nilai MCV/MCH/MCHC: 62,2/19,8/31,8.
Kecurigaan sepsis semakin tinggi karena terjadi peningkatan CRP: 14,4 yang memperkuat data
adanya kerusakan organ dari data sebelumnya.

14/3/2021
Sesak pasien berkurang, SaO2 98% dengan optiflow 50/80/32.

15/3/2021
SaO2 98%, dengan optiflow 50/90/32. Post transfusi PRC nilai Hb 9,9 dan Ht 28,4 → membaik
dari sebelumnya, tetapi masih anemia dengan nilai MCV/MCH/MCHC: 61,4/19,4/31,6 dan
nilai serum iron: 14 ug/dL.

16/3/2021
Pasien sesak, SaO2 100% dengan optiflow. TD 140/80 → MAP: 100 → perfusi jaringan
membaik dari sebelumnya dengan Hb 9,9 dan Ht 28,4.
Hasil AGD:
- pH 7,54
- PCO2 31,8
Kesan: alkalosis respiratorik tidak terkompensasi.
17/3/2021
Pasien masih sesak napas, SaO2 95% dengan optiflow. Hemodinamik pada pagi hari membaik
dari sebelumnya (TD 131/86 mmHg dengan MAP: 101). Tetapi pada malam hari, tekanan
darah pasien naik menjadi TD: 158/98 mmHg  MAP: 118 dengan RR 30-35x/menit. SpO2
99-100%  optiflow 50Lpm, FiO2 80%.
Rasio PaO2/FiO2 = 172,8/0,8 = 216 mmHg. Maka derajat hipoksemia pada ARDS yang
berdasarkan rasio PO2/FiO2 ialah Ringan karena nilai kurang dari 300mmHg. Sehingga
diagnosis tegak  ARDS, Pneumonia non COVID19.

18/3/2021
Pasien dipindahkan ke ICU Bougenville lt 4 pada pukul 02.00 am. Pasien masih sesak napas
dan batuk, keadaan pasien tampak sakit berat dan keadaan umum Apatis, akral dingin dan
pitting udema (+/+). TD 114/67 mmHg  MAP: 248, Frekuensi nadi 120x/menit, RR
34x/menit , suhu 38,7 0C, SaO2 95%, FiO2 60%, BB/TB 72/167, terpasang ETT no. 7,5 dan
Urine Output  1,95 ml/kgBB/jam. CRT >50%  kardiomegali
Pada pasien ini mengalami sesak napas, batuk dan demam sehingga ditegakkan sebagai
Pneumonia. Lalu, rasio PaO2/FiO2 ialah 288 mmHg yang menandakan hipoksemia, Onset
akut (sesak napas <1minggu), dan ada opasitas bilateral pada thoraks yang menandakan
ARDS. Kemungkinan pasien ini juga mengalami ALI (Acute Lung Injury) karena rasio
PaO2/FiO2 <300mmHg dan berlangsung akut (sesak napas <1minggu SMRS), tetapi
diperlukan pemeriksaan lanjutan.

19/3/2021
Sesak mulai membaik, keadaan umum Apatis, TD 109/67 mmHg  MAP:243 , HR 113x/mnt,
RR 23x/mnt, saturasi menurun dari sebelumnya yaitu SaO2 90%, FiO2 70% dan Urine Output
1,98 ml/KgBB/jam.
Hasil Lab baru yaitu Asam laktat 3,1 mmol/L meningkat  terjadi karena metabolisme selular
berubah dari aerobik menjadi anaerobik dan bisa dikarenakan efek samping penggunaan obat.
Lalu dengan skor qSOFA dengan RR>22x/mt dan perubahan status mental (Apatis)
menandakan Sepsis.

20/3/2021
Pasien masih sesak (RR 27x/mnt), Apatis, Tekanan darah menurun 121/77 mmHg, nadi
146x/mnt, SaO2 94%, urine output 1,22 ml/KgBB/jam dan asam laktat meningkat lebih dari
sebelumnya yaitu 4,1 mmol/L.
Pada rontgen thorax didapatkan kesan: efusi pleura kanan, gambaran pneumonia di kedua
lapang paru, dan tampak kardiomegali.
Pada pasien ini kemungkinan juga suspek ADFH (Acute decompensated heart failure) karena
mempunyai kriteria seperti efusi pleura, batuk, sesak napas, edema (+/+) dan takikardi.
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus ini pasien Ny. R, usia 26 tahun mengalami sepsis akibat pneumonia dengan ARDS.
Sepsis pneumonia dengan ARDS pada pasien ini ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Kecurigaan terhadap adanya infeksi saluran
pernapasan berdasarkan adanya demam, lemas, dan lelah sejak 2 minggu SMRS lalu batuk,
dan sesak nafas sejak 1 minggu. Kemudian sesak memberat dalam 2 hari SMRS. Saat pasien
mengalami demam, lemas, dan lelah 2 minggu SMRS, pasien dirawat di RS Permata Ibu
dengan diagnosis ARDS probable COVID19. Namun hasil pemeriksaan swab PCR diperoleh
hasil negatif sebanyak 2 kali. Pada pemeriksaan fisik ditemukan ronkhi kasar di kedua lapang
paru dan pada foto rontgent thoraks ditemukan adanya infiltrat luas di kedua lapang paru.

Ketika mendapatkan pasien infeksi perlu dilakukan skrining kemungkinan terjadinya sepsis.
Metode yang digunakan dengan quick SOFA (qSOFA). Pada kasus ini, kesadaran pasien
adalah apatis dengan hasil GCS pasien adalah E3M6Vett, hal ini memberi poin 1 untuk qSOFA
karena GCS ≤15, frekuensi napas pasien adalah 28x/menit, hal ini memberikan 1 poin karena
≥22 x/menit, dan yang terakhir untuk menilai qSOFA adalah nilai tekanan darah sistolik. Pada
pasien tekanan darahnya adalah 109/50 mmHg hal ini memberikan poin. Terpenuhinya 2 poin
dari 3 kriteria menunjukan hasil qSOFA positif.

Dari hasil qSOFA yang positif, maka dilakukan skoring dengan menggunakan metode
SOFA. (11/03/2021)

Sistem Nilai 0 1 2 3 4 Total


pada
Pasien
Respirasi 288 ≥400 <400 <300 (40) <200 (26.7) <100 (13.3) 2
PaO₂/FiO₂ (53.3) (53.3) dengan dengan
mmHg (kPa) bantuan bantuan
pernapasan pernapasan
Koagulasi 240 ≥150 <150 <100 <50 <20 0
Platelet x103/ul
Liver <1.2 (20) 1.2 – 1.9 2.0 – 5.9 (33- 6.0-11.9 >12.0 (204) 0
Bilirubin, (20-32) 101) (102-204)
mg/dl
Kardiovaskular 69,6 MAP MAP Dopamin Dopamin Dopamin 1
≥70mmHg <70mmHg <5/dobutamine 5.1-15 / >15 /
(ug/kg/min) epinefrin epinefrin
≤0.1 / 0.1 /
norepinefrin norepinefrin
≤0.1 . 0.1
(ug/kg/min) (ug/kg/min)
SSP 14 15 13-14 10-12 9 <6 1
Glasgow Coma
Scale
Ginjal 0,45 <1.2 1.2-1.9 2.0-3.4 3.5-4.9 >5.0 0
Kreatinin,
mg/dl
Urin Output 400 <500 <200 3
(ml/hari)
TOTAL SKOR 7

Pada kasus ini, dari hasil diatas didapatkan nilai SOFA ≥2 sehingga tegak diagnosis sepsis yang
diakibatkan oleh pneumonia. Kriteria ARDS pada pasien ini juga tegak dengan adanya sesak
nafas yang akut (< 1 minggu), adanya opasitas bilateral pada rontgent thoraks, dan nilai
PaO₂/FiO₂ <300 yanng menandakan adanya hipoksemia berat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Alataby H, Nfonoyim J, Diaz K. The Levels of Lactate, Troponin, and N-Terminal Pro-
B-Type Natriuretic Peptide Are Predictors of Mortality in Patients with Sepsis and
Septic Shock: A Retrospective Cohort Study. Med Sci Monit Basic Res; 27. Epub ahead
of print 2021. DOI: 10.12659/MSMBR.927834.

2. Hoyert D, Andert D, Anderson R, et al. Age-adjusted death rate. Natl Vital Stat Rep
2001; 49: 1–6.

3. Bauer TT, Ewig S, Rodloff AC, et al. Acute respiratory distress syndrome and
pneumonia: A comprehensive review of clinical data. Clin Infect Dis 2006; 43: 748–
756.

4. PDPI. Pneumonia Komuniti Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana di Indonesia. Jakarta,


2003.

5. PDPI. Pneumonia Nosokkomial Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana di Indonesia.


Jakarta, 2003.

6. Harman EM. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS): Background,


Pathophysiology, Etiology. Medscape,
https://emedicine.medscape.com/article/165139-overview#a2 (2020, diakses 23 Maret
2021).

7. Bakhtiar A, Maranatha RA. Acute Respiratory Distress Syndrome. Hosp Med Clin 2015;
4: 500–512.

8. Irvan, Febyan, Suparto. Sepsis dan Tatalaksana Berdasar Guideline Terbaru. J


Anestesiol Indones 2018; 10: 62–73.

9. KEMENKES. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Sepsis.


Indonesia, 2017.

10. Ramachandran G. Gram-positive and gram-negative bacterial toxins in sepsis: a brief


review. Virulence 2014; 5: 213–218.

11. Gyawali B, Ramakrishna K, Dhamoon A. Sepsis: The evolution in definition,


pathophysiology, and management. SAGE Open Med; 7. Epub ahead of print 2019. DOI:
10.1177/2050312119835043.
12. Mayr F, Yende S, Angus D. Epidemiology of severe sepsis. Virulence 2014; 5: 4–11.

13. Mahon C, Mahlen S. Host-parasite interaction. In: Mahon C, Lehman D, Manuselis G


(ed) Textbook of Diagnostic Microbiology. Missouri: Saunders Elsevier, 2015, hal. 23–
46.

14. Purwanto D, Astrawinata D. Mekanisme Kompleks Sepsis dan Syok Septik. J Biomedik
2018; 10: 143–151.

15. King E, Bauza G, Mella J. Pathophysiologic mechanism in septic shock. Lab Invest
2014; 94: 4–12.

16. Hotchkiss R, Moldawer L, Opal S, et al. Sepsis and septic shock. Nat Rev 2016; 2: 1–
20.

17. Ramirez M. Multi organ dysfunction syndrome. Curr Probl Pediatr Adolesc Heal Care
2013; 43: 4–12.

18. Hermawan A. Sepsis. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing,
2017, hal. 629–699.

19. Yealy D, Kellum J, Juang D. A randomized trial of protocol-based care for early septic
shock. N Engl J Med 2014; 370: 1683–1693.

20. Irvan. Sepsis dan Tata Laksana Berdasarkan Guideline Terbaru. UKDW.

21. Evans T. Diagnosis and Management of Sepsis. C Infect Dis Clin Med 2018; 18: 146–
149.

22. Gauer RL, Army W, Bragg F, et al. Early Recognition and Management of Sepsis in
Adults: The First Six Hours.

23. Wu R, Wang P. Hypovolemia. In: Lang F (ed) Encyclopedia of Molecular Mechanisms


of Disease. Berlin: Springer, 2009. Epub ahead of print 2009. DOI:
https://doi.org/10.1007/978-3-540-29676-8_916.

24. Konstantinides S V., Meyer G, Bueno H, et al. 2019 ESC Guidelines for the diagnosis
and management of acute pulmonary embolism developed in collaboration with the
European respiratory society (ERS). Eur Heart J 2020; 41: 543–603.

25. Westerberg DP. Diabetic Ketoacidosis: Evaluation and Treatment. Am Fam Physician
2013; 87: 337–346.
26. KARK RM, KOLFF WJ, POLLAK VE, et al. Renal failure. Postgraduate medicine
1960; 27: 512–521.

Anda mungkin juga menyukai