BRONKIOLITIS
Disusun Oleh:
2017/2018
A. DEFINISI
Bronkiolitis adalah suatu inflamasi yang disebabkan oleh infeksi virus pada
bronkhiolus yang menyebabkan obstruksi akut jalan nafas dan penurunan
pertukaran gas alveoli. Penyakit ini umumnya disebabkan oleh Respiratory
Syncytial Virus (RSV), biasanya terjadi pada anak usia 2 sampai 12 bulan,
terutama musim dingin dan awal musim semi (Mansjoer, 2000).
Bronkhiolitis adalah infeksi saluran respiratorik bawah yang disebabkan
oleh virus, yang biasanya lebih berat pada bayi muda, terjadi epidemik setiap
tahun dan ditandai dengan obstruksi saluran pernapasan dan wheezing. Episode
wheezing bisa terjadi beberapa bulan setelah serangan bronkhiolitis, namun
akhirnya akan kembali (WHO, 2008).
Bronkiolitis merupakan infeksi virus akut dengan efek maksimal pada
tingkat bronkiolus. Infeksi terutama terjadi pada musim dingin dan musim
panas, jarang terjadi pada anak-anak yang berusia lebih dari 2 tahun. Adenovirus
dan parainfluenza dapat juga menyebabkan bronkiolitis akut. Infeksi dimulai
pada akhir musim gugur, mencapai puncaknya di musim dingin, dan menurun
dimusim panas. Penyakit ini mudah menyebar melalui tangan ke mata hidung
atau membran mukosa lainnya.
B. ETIOLOGI
Bronkiolitis akut sebagian besar disebabkan oleh respiratory syncytial
virus. Penyebab lainnya ialah para influenza virus, mycoplasma pneumonial,
adenovirus.
C. MANIFESTASI KLINIS
Gejala awal bronchiolitis mirip dengan flu biasa, seperti hidung berair,
hidung tersumbat disertai dengan demam ringan, tidak nafsu makan dan batuk.
Tetapi setelah dua atau tiga hari, gejala menjadi lebih parah bukannya semakin
membaik. Gejala umum dari bronchiolitis yang sering muncul yaitu:
1. Hidung tersumbat disertai dengan demam dan batuk.
2. Kesulitan bernafas, pernapasan cepat dan dangkal (RR 60-80 x/menit),
dengan terengah-engah disertai dengan peningkatan batuk.
3. Kehilangan nafsu makan, akibat dari gangguan pernapasannya.
4. Terlihat pernapasan cuping hidung disertai retraksi interkostal suprasternal
5. Anak gelisah dan sianosis sekitar hidung dan mulut.
6. Pada pemeriksaan terdapat suara perkusi hipersonor, ekspirasi memanjang
disertai dengan mengi (wheezing). Ronki nyaring halus kadang terdengar
pada akhir ekspirasi atau pada awal ekspirasi. Pada keadaan yang berat,
suara pernapasan hampir tidak terdengar karena kemungkinan obstruksi
hampir total.
7. Infeksi ditandai adanya edema mukosa, peningkatan sekresi mukus,
obstruksi bronkiolus, dan peregangan yang berlebihan dari alveoli.
D. PATOFISIOLOGI
Virus RSV masuk ke dalam tubuh melalui mata, hidung atau mulut.
Virus ini menyebar dengan sangat mudah melalui sekresi pada saluran napas
yang sudah terinfeksi, seperti melalui air ludah yang tersebar pada saat batuk
atau bersin, yang dihirup atau ditularkan ke orang lain melalui kontak langsung,
seperti berjabat tangan. Virus juga dapat hidup selama berjam-jam pada benda-
banda seperti meja dan boneka. Sentuhan pada mulut, hidung atau mata setelah
menyentuh benda yang telah terkontaminasi, kemungkinan besar dapat
menularkan virus tersebut. Orang yang terinfeksi akan menularkan virus tersebut
dalam waktu beberapa hari pertama setelah ia pertama kali terinfeksi virus,
tetapi RSV dapat tersebar selama beberapa minggu setelah infeksi dimulai.
RSV adalah single stranded RNA virus yang berukuran sedang (80-
350nm), termasuk paramyxovirus. Terdapat dua glikoprotein permukaan yang
merupakan bagian penting dari RSV untuk menginfeksi sel, yaitu protein G
(attachment protein )yang mengikat sel dan protein F (fusion protein) yang
menghubungkan partikel virus dengan sel target dan sel tetangganya. Kedua
protein ini merangsang antibodi neutralisasi protektif pada host. Terdapat dua
macam strain antigen RSV yaitu A dan B. RSV strain A menyebabkan gejala
yang pernapasan yang lebih berat dan menimbulkan sekuele.
Masa inkubasi RSV 2-5 hari. Virus bereplikasi di dalam nasofaring
kemudian menyebar dari saluran nafas atas ke saluran nafas bawah melalui
penyebaran langsung pada epitel saluran nafas dan melalui aspirasi sekresi
nasofaring. RSV mempengaruhi sistem saluran napas melalui kolonisasi dan
replikasi virus pada mukosa bronkus dan bronkiolus yang memberi gambaran
patologi awal berupa nekrosis sel epitel silia. Nekrosis sel epitel saluran napas
menyebabkan terjadi edema submukosa dan pelepasan debris dan fibrin kedalam
lumen bronkiolus.
Infeksi virus pada epitel bersilia bronkus menyebabkan respon inflamasi
akut, ditandai dengan obstruksi bronkiolus akibat edema, sekresi mucus,
timbunan debris selular/sel-sel mati yang terkelupas, kemudian diikuti dengan
infiltrasi limfosit peribronkial dan edema submukosa.Karena tahanan aliran
udara berbanding terbalik dengan diameter penampang saluran pernafasan, maka
sedikit saja penebalan mukosa akan memberikan hambatan aliran udara yang
besar.Terutama pada bayi yang memiliki penampang saluran pernafasan yang
kecil. Resistensi pada bronkiolus meningkat selama fase inspirasi dan ekspirasi,
tetapi karena radius saluran respiratori lebih kecil selama ekspirasi, maka akan
menyebabkan air traping dan hiperinflasi. Ateletaksis dapat terjadi pada saat
terjadi obstruksi total dan udara yang terjebak diabsorbsi total.
Virus yang merusak epitel bersilia juga mengganggu gerakan mukosilier,
mukus tertimbun di dalam bronkiolus . Kerusakan sel epitel saluran napas juga
mengakibatkan saraf aferen lebih terpapar terhadap alergen/iritan, sehingga
dilepaskan beberapa neuropeptida (neurokinin, substance P) yang menyebabkan
kontraksi otot polos saluran napas. Pada akhirnya kerusakan epitel saluran napas
juga meningkatkan ekpresi Intercellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) dan
produksi sitokin yang akan menarik eosinofil dan sel-sel inflamasi. Jadi,
bronkiolus menjadi sempit karena kombinasi dari proses inflamasi, edema
saluran nafas, akumulasi sel-sel debris dan mukus serta spasme otot polos
saluran napas.Adapun respon paru ialah dengan meningkatkan kapasitas fungsi
residu, menurunkan compliance, meningkatkan tahanan saluran napas, dead
space serta meningkatkan shunt.
Proses patologis ini akan mengganggu pertukaran gas normal di paru.
Penurunan kerja ventilasi paru akan menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi
– perfusi, yang berikutnya akan menyebabkan hipoksemia dan kemudian terjadi
hipoksia jaringan. Resistensi karbondioksida (hiperkapnea) tidak selalu terjadi,
kecuali pada beberapa pasien. Semakin tinggi laju pernafasan, maka semakin
rendah tekanan oksigen arteri. Kerja pernafasan akan meningkat selama end –
expiratorylung volume meningkat dan compliance paru menurun. Hiperkapnea
biasanya baru terjadi bila respirasi mencapai 60x/menit.
E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Diagnosis bronkiolitis berdasarkan gambaran klinis, umur penderita dan
adanya epidemi RSV di masyarakat . Kriteria bronkiolitis terdiri dari: (1)
wheezing pertama kali, (2) umur 24 bulan atau kurang, (3) pemeriksaan fisik
sesuai dengan gambaran infeksi virus misalnya batuk, pilek, demam dan (4)
menyingkirkan pneumonia atau riwayat atopi yang dapat menyebabkan
wheezing.
Untuk menilai kegawatan penderita dapat dipakai skor
RespiratoryDistress Assessment Instrument (RDAI), yang menilai distres napas
berdasarkan 2 variabel respirasi yaitu wheezing dan retraksi. Bila skor lebih dari
15 dimasukkan kategori berat, bila skor kurang 3 dimasukkan dalam kategori
ringan.
Pulse oximetry merupakan alat yang tidak invasif dan berguna
untukmenilai derajat keparahan penderita. Saturasi oksigen < 95% merupakan
tanda terjadinya hipoksia dan merupakan indikasi untuk rawat inap.
Tes laboratorium rutin tidak spesifik. Hitung lekosit biasanya normal. Pada
pasien dengan peningkatan lekosit biasanya didominasi oleh PMN dan bentuk
batang.terdapat subgrup penderita bronkiolitis dengan eosinofilia. Analisa gas
darah dapat menunjukkan adanya hipoksia akibat V/Q mismatch dan asidosis
metabolik jika terdapat dehidrasi.
Gambaran radiologik mungkin masih normal bila bronkiolitis
ringan. Umumnya terlihat paru-paru mengembang (hyperaerated). Bisa juga
didapatkan bercak-bercak yang tersebar, mungkin atelektasis (patchy
atelectasis ) atau pneumonia (patchy infiltrates). Pada x-foto lateral, didapatkan
diameter AP yang bertambah dan diafragma tertekan ke bawah. Pada
pemeriksaan x-foto dada, dikatakan hyperaerated apabila kita mendapatkan:
siluet jantung yang menyempit, jantung terangkat, diafragma lebih rendah dan
mendatar, diameter anteroposterior dada bertambah, ruang retrosternal lebih
lusen, iga horisontal, pembuluh darah paru tampak tersebar.
F. KOMPLIKASI
Biasanya komplikasinya bisa berupa apneu, pneumonia, sindrom
aspirasi, gagal nafas yang membutuhkan ventilator mekanik, dehidrasi, atrial
tachycardia. Pneumothorak dapat juga terjadi pada penyakit obstruksi yang
berat Ada beberapa kelompok pasien yang beresiko tinggi terhadap infeksi RSV
yang berat yaitu : bayi prematur (usia kehamilan <35 minggu), penyakit jantung
kongenital, penyakit paru kronik, fibrosis kistik, dan kelainan fungsi imunologi
(bisa karena kemoterapi, transplantasi, dan kelainan imunodefisiensi kongenital
atau didapat).
G. FAKTOR RESIKO TERJADINYA BRONKIOLITIS
kondisi atau faktor risiko yang dapat menyebabkan seorang anak atau
dewasa menderita bronchiolitis yaitu:
a. Bayi berusia kurang dari 6 bulan
b. Anak-anak yang terlahir premature
c. Anak yang tidak memperoleh ASI
d. Anak-anak yang memiliki kondisi kesehatan kurang baik terutama mereka
yang mengidap penyakit jantung atau paru-paru bawaan
e. Anak-anak yang system kekebalan tubuhnya rendah, seperti sedang
menjalani kemoterapi, transplantasi, atau karena penyakit
f. Anak-anak yang dititipkan di tempat penitipan atau memiliki saudara
kandung yang sudah bersekolah akan memiliki resiko lebih tinggi tertular
infeksi ini.
g. Balita yang berada pada lingkungan yang berisiko tinggi untuk terpapar pada
polusi udara dan asap rokok
h. Kerentanan juga akan meningkat saat musim RSV tertinggi, yang biasanya
dimulai pada musim gugur dan berakhir di musim semi.
HASIL PENGKAJIAN
1. Identitas
Seorang anak laki-laki bernama An. K berumur 1 bulan 10 hari, golongan darah
A, agama islam, alamat dusun jambon II RT 06/04 Gondurejo, bulu,
temanggung, datang masuk ke IGD pada tanggal 15 Maret 2018 dengan keluhan
panas demam sejak rabu malam, dan batuk sudah hampir satu minggu, sesak
nafas, tidak ada riwayat penyakit sebelumnya, tidak ada alergi obat.
2. Pengkajian Nyeri
Pengkajian nyeri pada An. K dengan menggunakan Neonatal Infant Pain Scale
dengan skor 3 dengan interpretasi skor 1-3: intervensi non farmakologis.
3. Pengkajian Riwayat Keluarga dan Genogram
Riwayat kesehatan keluarga tidak ada yang mempunyai penyakit hipertensi,
DM, jantung, dll. Pengasuh dirumah adalah ibu dan juga ayah, orangtua terdekat
anak adalah ayah dan ibu.
4. Riwayat kehamilan dan kelahiran
Prenatal
Jumlah kunjunganyang dilakukan oleh ibu adalah 6 kali dengan bidan,
pendidikan kesehatan yang didapat terkait gizi pada saat kehamilan dan
juga nutrisi pada ibu hamil. Kenaikan berat badan saat hamil adalah 13
kg, komplikasi obat dengan alergi antibiotik, obat-obatan yang pernah
didapat selama kehamilan adalah obat penambah darah. Golongan darah
ibu adalah O, tidak punya riwayat penyakit.
Natal
Tempat melahirkan di bidan, awal persalinan adalah kenceng-kenceng,
nyeri pinggang dan terasa panas. Lama persalinan adalah 6 jam, tidak
ada komplikais selama persalinan, terapi yang diberikan adalah oksitosin,
tipe persalinan melalui pervaginam, penolong persalinan pada saat itu
adalah bidan, usia kehamilan 9 bulan lebih 2 hari.
Postnatal
Usaha nafas pada saat itu tanpa bantuan. Obat yang diberikan kepada ibu
adalah vitamin. Tidaka da trauma lahir, narkosis tidak ada, adanya keluar
urin, keluarnya feses tidak ada. Status imuniasasi BCG (tanggal 25
februari 2018), Polio 1 (tanggal 25 februari 2018), vitamin K ketika
lahir.
5. Antopometri & riwayat tumbuh kembang anak
Berat badan anak saat ini 4,6 Kg, panjang badan 50 cm, lingkar kepala 33 cm,
belum ada pertumbuhan gigi karena anak masih berumur 1 bulan, dan belum ada
perkembangan tiap tahap.
6. Pernafasan dan Sirkulasi
An. K mengalami sesak nafas ketika masuk di IGD karena batuk tetapi sekret
tidak bisa keluar. Orang yang merokok dirumah adalah mbah kakung nya. Akral
hangat, capillary refill time < 2 detik, bentuk dada simetris, irama napas
irreguler, tidka ada nyeri tekan, ictus coerdis tidak tampak pada pasien, tidak ada
pelebaran jantung, adanya penggunaan nasal kanul pada pasien.
7. Makan dan Minum
Pasien minum ASI setiap hari dan lancar, pernah diberikan susu formula dengan
sendok dikarenakan jika ibu sibuk dan tidak sempat memberikan ASI pada
anaknya. Sklera bersih, konjungtiva pink, turgor kulit kembali.
8. Eliminasi
BAB 2 x /hari dengan konsistensi lunak, warnanya normal, tidak ada keluhan,
cara BAB menggunakan diapers. BAK 11-15 x /hari, dengan warna kekuningan,
dan cara BAK dengan menggunakan diapers.
9. Istirahat dan Tidur
Lama tidur pasien pada saat malah hari adalah 9 jam , dan tidur siang 2 jam,
kebiasaan sebelum tidur adalah minum ASI, dan tidur selalu bersama
orangtuanya.
10. Suhu Tubuh
Suhu tubuh pasien 37,7 derajat celcius.
11. Menghindari Bahaya dari Lingkungan
Orangtua pasien mengenali bahaya dari lingkungannya seperti pencahayaan,
adanya tangga di rumah.
No. Analisa Data Etiologi
DO:
1. Pasien terpasang oksigen nasa kanul
2. Terdengar adanya suara nafas tambahan
pada pasien
2. DS: Ketidakefektifan pola nafas
-
DO:
1. Irama pola napas pasien abnormal
3. DS: Gangguan pertukaran gas
-
DO:
1. Pola pernafasan pasien terlihat cepat
2. Pasien terlihat gelisah
3. Pasien terlihat sianosis
Hasil:
Anak tampak sedikit tenang saat diberikan
bronkodilator
16.30 WIB
Mengedukasikan ibu pasien terkait posisi anak
(semi fowler) dan memberikan cairan pada anak
Hasil:
Ibu memposisikan anak semifowler dan ibu
mengerti pentingnya pemberian ASI pada anak
18.00 WIB Memonitor kembali status respirasi pasien
Hasil:
HR: 80x/menit, RR : 40x/menit
Masih terdengar suara ronchi pada pasien
16 Maret Memonitor warna kulit dan suhu S:
2018
Hasil: Ibu mengatakan sputum masih belum bisa
05.00 WIB keluar dan pasien masih batuk
Pasien sianosis, suhu 37 derajat celcius
O:
Memasang nasa kanul dan memberikan oksigen
pada pasien Pasien terlihat sesak nafas
Hasil: Suhu tubuh 36,4
Serly W.N
Pasien terlihat sedikit tenang Suar aronchi masih terdengar
10.00 WIB Memonitor status respirasi, melakukan A:
auskultasi paru
Bersihan jalan nafas belum teratasi
Hasil:
P:
HR: 100x/menit, RR: 46 x/menit, masih
terdengar suara ronchi pada pasien dan masih Lanjutkan intervensi pemberian bronkodilator
sedikit batuk dan monitor suhu tubuh
10.15 WIB
Menanyakan kepada ibu pasien apakah sputum
sudah keluar
Hasil:
10.35 WIB Sputum belum keluar
Melakukan kolaborasi untuk memberikan
bronkodilator (V/P 1: ½ )
Hasil: