Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN KASUS

ANEMIA EC HEMATEMESIS, SIROSIS HEPATIS

Oleh :
Ayuni Fatricia
2111901004

Pembimbing :
dr. Risnandar, Sp.PD

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ABDURRAB
PEKANBARU
2021
BAB I
PENDAHULUAN

Anemia adalah keadaan rendahnya jumlah sel darah merah dan kadar hemoglobin
atau hematokrit di bawah normal. Anemia adalah suatu keadaan dengan kadar hemoglobin
lebih rendah dari nilai normal. Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar Hb dan atau
hitung eritrosit lebih rendah dari harga normal yaitu bila Hb < 14 g/dL dan Ht < 41%, pada
pria atau Hb < 12 g/dL dan Ht < 37% pada wanita. Klasifikasi anemia dibagi menjadi 5
yaitu Anemia mikrositik hipokrom (anemia defisiensi besi, anemia penyakit kronis),
Anemia makrositik (defisiensi vitamin B12, defisiensi asam folat), Anemia karena
perdarahan, Anemia hemolitik, Anemia aplastic.9
Anemia sering ditemukan pada sirosis hati, sekitar 60-75%. Beratnya anemia tidak
berhubungan dengan beratnya kelainan hati dan sebabnya belum diketahui. Banyak faktor
etiologi, masing-masing dapat berdiri sendiri atau bersamaan. Dapat dikemukakan
diantaranya defisiensi (asam folat, besi), hemolisis, hipersplenisme, kegagalan sumsum
tulang dan faktor penyakit hati sendiri. Anemia defisiensi besi merupakan komplikasi
yang sering terjadi pada penyakit hati lanjut. Etiologinya multifaktorial, sebagian besar
karena perdarahan kronis ke dalam saluran pencernaan.11
Sirosis merupakan jalur histologis umum terakhir untuk berbagai macam penyakit
hati kronis. Istilah sirosis pertama kali diperkenalkan oleh Laennec pada tahun 1826.
Istilah ini berasal dari istilah Yunani scirrhus dan mengacu pada permukaan hati yang
berwarna oranye-coklat atau kuning kecokelatan yang terlihat pada otopsi.1
Sirosis didefinisikan secara histologis sebagai proses hati difus yang ditandai dengan
fibrosis dan konversi arsitektur hati normal menjadi nodul struktural
abnormal. Perkembangan cedera hati menjadi sirosis dapat terjadi selama berminggu-
minggu hingga bertahun-tahun. Pasien dengan hepatitis C mungkin memiliki hepatitis
kronis selama 40 tahun sebelum berkembang menjadi sirosis.1
Sirosis Hati (SH) merupakan dampak tersering dari perjalanan klinis yang panjang
dari semua penyakit hati kronis yang ditandai dengan kerusakan parenkim hati. Deskripsi
suatu "Sirosis" hati berkonotasi baik dengan status pato-fisiologis maupun klinis, dan
untuk menetapkan prognosis pasien dengan penyakit hati.2
Sirosis hepatis menempati urutan ke tujuh penyebab kematian di dunia. Sekitar
25.000 orang meninggal setiap tahun nya akibat penyakit ini. Di Indonesia belum terdapat
data yang dapat merepresentasikan jumlah penderita sirosis hepatis secara akurat. Menurut
2
laporan rumah sakit umum pemerintah di Indonesia, rata-rata prevalensi sirosis hepatis
adalah 3,5% dari seluruh pasien yang dirawat di bagian Penyakit Dalam, atau rata-rata
47,7% dari seluruh pasien penyakit hati yang dirawat. Sekitar 50% pasien dengan sirosis
hepatis akan mengalami varises. Frekuensi varises esofagus sekitar 30%-70%, sedangkan
varises gaster sekitar 5%-33%. Sepertiga pasien dengan varises akan terjadi perdarahan
yang serius dari varisesnya. Semakin tinggi derajat varises esofagus maka akan semakin
tinggi juga kemungkinan untuk terjadinya perdarahan. Varises esofagus memiliki dampak
klinis yang sangat besar dengan mortalitas 17%-42% setiap terjadinya perdarahan.
(Elfatma)

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
- Anemia defisiensi besi
a. Definisi
Anemia adalah suatu kondisi dimana jumlah sel darah merah atau konsentrasi
hemoglobin di dalamnya lebih rendah dari biasanya. Hemoglobin dibutuhkan untuk
membawa oksigen dan jika terlalu sedikit atau sel darah merah yang abnormal, atau
tidak cukup hemoglobin, akan ada penurunan kapasitas darah untuk membawa
oksigen ke jaringan tubuh.11
b. Etiologi dan Klasifikasi
Anemia timbul apabila pemecahan/ pengeluaran eritrosit lebih besar daripada
pembentukan atau pembentukannya sendiri yang menurun. Oleh karenanya anemia
dapat terjadi melalui mekanisme sebagai berikut: 1. Perdarahan (pengeluaran eritrosit
yang berlebihan). 2. Pemecahan eritrosit yang berlebihan (hemolisis) 3. Pembentukan
eritrosit yang berkurang.3 Anemia dapat diklasifikasikan menurut etiopatogenesisnya
ataupun berdasarkan morfologi eritrosit. Gabungan kedua klasifikasi ini sangat
bermanfaat untuk diagnosis.11
1. Klasifikasi anemia menurut etiopatogenesis
Tabel 1. Klasifikasi anemia menurut etiopatogenesis

Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang

1 Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit


a Anemia defisiensi besi
b Anemia defisiensi asam folat
c Anemia defisiensi vitamin 812

2. Gangguan penggunaan (utilisasi) besi


a. Anemia akibat penyakit kronik
b Anemia sideroblastik

3 Kerusakan sumsum tulang


a. Anemia aplastik
b. Anemia mieloptisik

4
c. Anemia pada keganasan hematologi
d. Anemia diseritropoietik
e. Anemia pada sindrom mielodisplastik

Anemia akibat kekurangan eritropoietin: anemia pada gagal ginjal


kronik
Anemia akibat hemoragi

1. Anemia pasca perdarahan akut


2. Anemia akibat perdarahan kronik

2. Penggolongan Anemia berdasarkan morfologi


Anemia juga dapat digolongkan berdasarkan morfologi sel darah merah
yang sering kali berkaitan dengan penyebab tertentu. Tanda khas yang berkaitan
dengan penyebab tertentu, dapat dilihat pada ukuran, warna dan bentuk sel darah
merah. Tanda-tanda ini dinilai secara subjektif dari preparat apus darah tepi dan
dinyatakan secara kuantitatif dengan istilah-istilah sebagai berikut:2

 Mean cell volume (MCV): volume rata-rata sel darah merah yang
dinyatakan dalam femtoliter (mikron kubik)
 Mean cell hemoglobin (MCH): rerata massa hemoglobin dalam tiap sel
darah merah yang dinyatakan dalam pico gram
 Mean cell hemoglobin concentration (MCHC): konsentrasi rerata
hemoglobin dalam volume sel darah merah yang dipadatkan (packed cell)
tertentu yang dinyatakan dalam gram per desiliter.
 Red cell distribution width (RDW): lebar distribusi sel darah merah:
koefisien variasi volume sel darah merah2

Anemia hemolitik
1. Anemia hemolitik intrakorpuskular
- Gangguan membran eritrosit (membranopati)
- Gangguan enzim eritrosit (enzimopati): Anemia akibat defisiensi
G6PD
- Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)
Thalassemia

5
Hemoglobinopati struktural: HbS, HbE, dll
2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskuler
- Anemia hemolitik autoimun
- Anemia hemolitik mikroangiopatik
- Lain-lain
Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau
dengan patogenesis yang kompleks

3. Penggolongan Anemia berdasarkan morfologi


Anemia juga dapat digolongkan berdasarkan morfologi sel darah merah
yang sering kali berkaitan dengan penyebab tertentu. Tanda khas yang berkaitan
dengan penyebab tertentu, dapat dilihat pada ukuran, warna dan bentuk sel darah
merah. Tanda-tanda ini dinilai secara subjektif dari preparat apus darah tepi dan
dinyatakan secara kuantitatif dengan istilah-istilah sebagai berikut:2

 Mean cell volume (MCV): volume rata-rata sel darah merah yang
dinyatakan dalam femtoliter (mikron kubik)
 Mean cell hemoglobin (MCH): rerata massa hemoglobin dalam tiap sel
darah merah yang dinyatakan dalam pico gram
 Mean cell hemoglobin concentration (MCHC): konsentrasi rerata
hemoglobin dalam volume sel darah merah yang dipadatkan (packed cell)
tertentu yang dinyatakan dalam gram per desiliter.
 Red cell distribution width (RDW): lebar distribusi sel darah merah:
koefisien variasi volume sel darah merah2

Berdasarkan morfologi anemia dapat diklasifikasikan sebagai anemia


mikrositik, normositik dan makrositik. Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat
berdasarkan gambaran morfologik dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan
darah tepi. Dalam klasifikasi ini anemia dibagi menjadi tiga golongan: 2
1. Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV < 80 fl dan MCH < 27 pg;
2. Anemia normokromik normosirer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg;
3. Anemia makrositer, bila MCV > 95 fl.

4. Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan etiologi


Anemia hipokromik mikrositer

6
a. Anemia defisiensi besi
b. Thalassemia major
c. Anemia akibat penyakit kronik
d. Anemia sideroblastik
Anemia normokromik normositer
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastik
c. Anemia hemolitik didapat
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia pada gagal ginjal kronik
f. Anemia pada sindrom mielodisplastik
g.Anemia pada keganasan hematologic
Anemia makrositer
a. Bentukmegaloblastik
1. Anemia defisiensi asam folat
2. Anemia defisiensi B12, termasuk anemia perntstosa
b. Bentuk non-megaloblastik
1. Anemia pada penyakit hati kronik
2. Anemia pada hipotiroidisme
3. Anemia pada sindrom mielodisplastik2

 Anemia mikrositik
Anemia mikrositik adalah Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih kecil
darinormal dan mengandung konsentrasi hemoglobin yang kurang dari normal.
(Indeks eritrosit : MCV < 80 fl, MCH < 27 pg, ). Penyebab anemia mikrositik
hipokrom:
1) Berkurangnya zat besi: Anemia Defisiensi Besi.
2) Berkurangnya sintesis globin: Thalasemia dan Hemoglobinopati.
3) Berkurangnya sintesis heme: Anemia Sideroblastik.
 Anemia normositik
Anemia normositik disebabkan oleh karena perdarahan akut, hemolisis, dan
penyakit-penyakit infiltratif metastatik pada sumsum tulang. Terjadi
penurunan jumlah eritrosit tidak disertai dengan perubahan konsentrasi
hemoglobin

7
 Anemia makrositik
Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih besar dari normal dan hiperkrom
karena konsentrasi hemoglobinnya lebih dari normal. (Indeks eritrosit MCV >
97 fl. Ditemukan pada anemia megaloblastik (defisiensi vitamin B12, asam
folat), serta anemia makrositik non-megaloblastik (penyakit hati, dan
myelodisplasia).2

c. Patogenesis anemia defisiensi besi


Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan besi makin
menurun. Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut iron depleted state atau
negative iron balance. Keadaan ini ditandai oleh penurunan kadar feritin serum,
peningkatan absorbsi besi dalam usus, serta pengecatan besi dalam sumsum tulang
negatif. Apabila kekurangan besi berlanjut terus maka cadangan besi menjadi kosong
sama sekali, penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan
gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi, keadaan ini
disebut sebagai: iron deficient erythropoiesis. Pada fase ini kelainan pertama yang
dijumpai iaIah peningkatan kadar free protophorphyrin atau zinc protophorphyrin
dalam eritrosit. Saturasi transferin menurun dan total iron binding capacity (TIBC)
meningkat. Akhir-akhir ini parameter yang sangat spesifik iaIah peningkatan reseptor
transferin dalam serum. Apabila jumlah besi menurun terus maka eritropoesis semakin
terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun, akibatnya timbul anemia
hipokromik mikrositer, disebut sebagai iron deficiency anemia. Pada saat ini juga
terjadi kekurangan besi pada epitel serta pada beberapa enzim yang dapat
menimbulkan gejala pada kuku, epitel mulut dan faring serta berbagai gejala lainnya.2

d. Manifestasi Klinis
Gejala umum anemia (sindrom anemia atau anemic syndrome) adalah gejala yang
timbul pada setiap kasus anemia, apapun penyebabnya, apabila kadar hemoglobin
turun di bawah nilai normal. Gejala umum anemia ini timbul karena:
a) Anoksia organ;
b) Mekanisme kompensasi tubuh terhadap berkurangnya daya angkut oksigen.
Gejala umum anemia menjadi jelas (anemia simtomatik) apabila kadar
hemoglobin telah turun di bawah 7 g/dl. Berat ringannya gejala umum
anemia tergantung pada:

8
a) Derajat penurunan hemoglobin;
b) Kecepatan penurunan hemoglobin;
c) Usia;
d) Adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya.

Gejala anemia dapat digolongkan menjadi tiga jenis gejala, yaitu:


1. Gejala umum anemia.
Gejala umum anemia, disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena
iskemia organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap
penurunan kadar hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah
penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu (Hb <7 g/dl). Sindrom anemia
terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging (tinnitus), mata
berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas dan dispepsia. Pada
pemeriksaan, pasien tampak pucat, yang mudah dilihat pada konjungtiva, mukosa
mulut, telapak tangan dan jaringan di bawah kuku. Sindrom anemia bersifat tidak
spesifik karena dapat ditimbulkan oleh penyakit di luar anemia dan tidak sensitif
karena timbul setelah penurunan hemoglobin yang berat (Hb <7gldl).2

2. Gejala khas masing-masing anemia.


Gejala ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia. Sebagai contoh:
 Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, dan
kuku sendok (koilonychia).
 Anemia megaloblastik: glositis, gangguan neurologic pada defisiensi vitamin
B12
 Anemia hemolitik: ikterus, splenomegali dan hepatomegali .
 Anemia aplastik: pendarahan dan tanda-tanda infeksi
3. Gejala penyakit dasar.
Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia
sangat bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut- Misalnya gejala
akibat infeksi cacing tambang: sakit perut, pembengkakan parotis dan warna
kuning pada telapak tangan. Pada kasus tertentu sering gejala penyakit dasar lebih
dominan, seperti misalnya pada anemia akibat penyakit kronik oleh karena artritis
reumatoid. Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat

9
penting pada kasus anemia untuk mengarahkan diagnosis anemia. Tetapi pada
umumnya diagnosis anemia memerlukan pemeriksaan laboratorium.2

e. Pendekatan diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi harus dilakukan anamnesis
dan pemeriksaan fisis yang teliti disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat.
Terdapat tiga tahap diagnosis ADB. Tahap pertama adalah menentukan adanya anemia
dengan mengukur kadar hemoglobin atau hematokrit. Cut off point anemia tergantung
kriteria yang dipilih, apakah kriteria WHO atau kriteria klinik. Tahap kedua adalah
memastikan adanya defisiensi besi, sedangkan tahap ketiga adalah menentukan
penyebab defisiensi besi yang terjadi.
Secara laboratoris untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi (tahap satu
dan tahap dua) dapat dipakai kriteria diagnosis anemia defisiensi besi (modifikasi dari
kriteria Kerlin et al) sebagai berikut:
Anemia hipokromik mikrositer pada apusan darah tepi, atau MCV < 80 fl dan
MCHC < 31 % dengan salah satu dari a, b, c atau d :
a. Dua dari parameter ini :
- Besi serum < 50 mg/dl,
- TIBC > 350 mg/dl,
- Saturasi transferin < 15% atau
b. Serum feritinin < 20 g/dl atau
c. Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia (perl’s stain) menunjukan
cadangan besi (butir-butir hemosiderin) negatif atau
d. Dengan pemberian sulfas fenosus 3 x 200 mg/hari (atau preparat besi lain yang
setara) selama 4 minggu disertai kenaikan kadar hemoglobin lebih dari 2 g/dl.
Pada tahap ketiga ditentukan penyakit dasar yang menjadi penyebab defisiensi
besi. Tahap ini merupakan proses yang rumit yang memerlukan berbagai jenis
pemeriksaan tetapi merupakan tahap yang sangat penting untuk mencegah
kekambuhan defisiensi besi serta kemungkinan untuk dapat menemukan sumber
pendarahan yang membahayakan. Meskipun dengan pemeriksaan yang baik, sekitar
20 % kasus anemia defisiensi besi tidak diketahui penyebabnya.2
f. Tatalaksana
- Terapi Nutrisi dan Pertimbangan Diet

10
Terapi nutrisi digunakan untuk mengatasi kekurangan zat besi, vitamin B-12,
dan asam folat.  Anemia defisiensi besi lazim terjadi di lokasi geografis di negra
yang sedikit mengosumsi daging dalam makanan. Banyak dari lokasi ini
memiliki asupan zat besi anorganik yang cukup untuk menyamai kandungan zat
besi pada orang yang tinggal di negara tempat dominan yang mengosumsi
daging dimakan., zat besi heme lebih efisien diserap daripada zat besi makanan
anorganik. Kekurangan asam folat terjadi di antara orang yang mengonsumsi
sedikit sayuran berdaun. Kekurangan zat besi dan asam folat hidup
berdampingan adalah hal biasa di negara berkembang.12
- Transfusi Darah
Oleh karena transfusi mempunyai risiko yang cukup besar, maka
pertimbangan risiko dan manfaat benar-benar harus dilakukan dengan cermat sebelum
memutuskan pemberian transfusi. Secara umum, dari beberapa panduan yang telah
dipublikasikan, tidak direkomendasikan untuk melakukan transfusi profilaksis dan
ambang batas untuk melakukan transfusi adalah kadar hemoglobin di bawah 7,0 atau
8,0g/ d1, kecuali untuk pasien dengan penyakit kritis.
Walaupun sebuah studi pada 838 pasien dengan penyakit kritis melaporkan
bahwa tidak ada perbedaan laju mortalitas-30 hari pada kelompok yang ditransfusi
dengan batasan kadar hemoglobin di bawah 10,0 g/dl dan 7 ,0 g/dl, namun penelitian
lebih lanjut dengan jumlah pasien lebih besar masih diperlukan. Kadar hemoglobin
8,0 g/dl adalah ambang batas transfusi untuk pasien yang dioperasi yang tidak
memiliki faktor risiko iskemia, sementara untuk pasien dengan risiko iskemia,
ambang batasnya dapat dinaikkan sampai 10,0 g/ dl. Namun, transfusi profilaksis
tetap tidak dianjurkan.13

Tatalaksana anemia defisiensi zat besi

1. Terapi kausal: tergantung penyebab, misalnya ; pengobatan cacing tambang,


pengobatan hemoroid, pengobatan menoragia. Terapi kausal harus dilakukan kalau
tidak maka anemia akan kambuh kembali.

2. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh (iron
replacemen theraphy). 2

11
Terapi besi per oral : merupakan obat piliham pertama (efektif, murah, dan aman).
Preparat yang tersedia : ferrosus sulphat (sulfas fenosus). Dosis anjuran 3 x 200 mg.
Setiap 200 mg sulfas fenosus mengandung 66 mg besi elemental. Pemberian sulfas
fenosus 3 x 200 mg mengakibatkan absorpsi besi 50 mg/hari dapat meningkatkan
eritropoesis 2-3 kali normal. Preparat yang lain : ferrosus gluconate, ferrosus fumarat,
ferrosus lactate, dan ferrosus succinate. Sediaan ini harganya lebih mahal, tetapi
efektivitas dan efek samping hampir sama dengan sulfas fenosus.

Terapi besi parenteral Terapi ini sangat efektif tetapi efek samping lebih berbahaya,
dan lebih mahal.
Indikasi : intoleransi terhadap pemberian oral. kepatuhan terhadap berobat rendah.
gangguan pencernaan kolitis ulseratif yang dapat kambuh jika diberikan besi.
penyerapan besi terganggu, seperti misalnya pada gastrektomi. keadaan dimana
kehilangan darah yang banyak sehingga tidak cukup dikompensasi oleh pemberian
besi oral. Kebutuhan besi yang besar dalam waktu pendek, seperti pada kehamilan
trisemester tiga atau sebelum operasi. Defisiensi besi fungsional relatif akibat
pemberian eritropoetin pada anemia gagal ginjal kronik atau anemia akibat penyakit
kronik.2

12
2. Serosis hepatis
a. Definisi
Sirosis hati merupakan tahap akhir proses difus fibrosis hati progresif yang ditandai
oleh distorsi arsitektur hati dan pembentukan nodul regeneratif. Gambaran morfologi
dari SH meliputi fibrosis difus, nodul regeneratif, perubahan arsitektur lobular dan
pembentukan hubungan vascular intrahepatic antara pembuluh darah hati aferen (vena
porta dan arteri hepatika) dan eferen (vena hepatika).2

b. Epidemilogi
Sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketiga pada penderita yang
berusia 45 - 46 tahun (setelah penyakit kardiovaskular dan kanker). Diseluruh dunia
SH menempati urutan ketujuh penyebab kematian. Penderita SH lebih banyak laki-
laki, jika dibandingkan dengan wanita rasionya sekitar 1,6 : I.Umur rata-rata
penderitanya terbanyak golongan umur 30 - 59 tahun dengan puncaknya sekitar umur
40 - 49 tahun.
Di Indonesia data prevalensi penderita SH secara keseluruhan belum ada. Di
daerah Asia Tenggara, penyebab utama SH adalah hepatitis B (HBV) dan C (HCV).
Angka kejadian SH di Indonesia akibat hepatitis B berkisar antara 21,2-46,9% dan
hepatitis C berkisar 38,7 - 73,9%.

c. Etiologi
1. Penyakit Infeksi
 Hepatitis virus (hepatitis B, C)
Hepatitis B dan C adalah infeksi virus yang dapat menyebabkan inflamasi dan
kerusakan pada hepar. Virus B dan C menyebar melalui kontak darah dan cairan
tubuh yang terinfeksi seperti tertusuk jarum, penggunaan jarum suntik, transfusi
darah dan kontak seksual dari pasien yang terinfeksi atau melalui persalinan dari
ibu yang terinfeksi ke bayinya. Hepatitis B dan C sering menjadi kronik dan
menyebabkan kerusakan terhadap hepar dalam tahunan maupun dekade
sehingga dapat menyebabkan sirosis.
 Alkohol
Alkoholisme adalah penyebab terbanyak sirosis di Amerika. Penderita yang
mengkonsumsi alkohol dalam jangka panjang lebih rentan terkena alcohol-
related liver disease. Jumlah alkohol yang dapat menyebabkan kerusakan pada
hepar bervariasi antara tiap orang. Penelitian menunjukkan bahwa untuk wanita

13
yang mengkonsumsi alkohol 2 botol/hari dan untuk laki-laki 3 botol/hari belum
pasti dapat menyebabkan sirosis hepatis. Namun, mengkonsumsi alkohol diatas
jumlah tersebut dapat menyebabkan perlemakan dan inflamasi pada hati yang
dalam rentang waktu 10-12 tahun akan mengarah ke sirosis alkoholik.
 Non-Alkoholik Steato Hepatic
Penimbunan lemak pada hepar yang tidak disebabkan oleh konsumsi alkohol
disertai inflamasi dan kerusakan sel hati, kondisi ini disebut dengan non-
alkoholik steato hepatitis (NASH) yang memiliki makna “steato” berarti lemak.
dan “hepatitis” inflamasi pada hepar. Inflamasi dan kerusakan sel hepar akan
menyebabkan fibrosis dan mengarah ke sirosis. Penimbunan lemak pada hepar
dapat terjadi pada pasien yang memiliki:
- Obesitas atau overweight
- Diabetes
- Hiperlipidemia
- Hipertensi
- Sindroma metabolik
Sindroma metabolik adalah kumpulan gejala dan kondisi medis yang
berhubungan dengan overweight dan obesitas yang mampu menyebabkan
seseorang terkena penyakit kardiovaskular dan DM tipe 2. Sindroma
metabolic ditandai dengan adanya 3 dari 5 kriteria medis yaitu lingkar
pinggang yeng membesar, tingginya kadar trigliserida dalam darah, kadar
kolesterol abnormal, tingginya tekanan darah dan tingginya glukosa darah.
 Hepatotoksik akibat obat atau toksin, misalnya methotrexate, amiodaron.3,4

d. Klasifikasi Sirosis Hepatis


Berdasarkan morfologinya, sirosis hepatis dapat dibagi menjadi:
1. Mikronodular
Mikronodular sirosis ditandai dengan septa yang tebal dan regular, nodul halus
dan kecil merata diseluruh lobules.5
2. Makronodular
Makronodular sirosis ditandai dengan septa dan nodul dengan ukuran berbeda. 5
Berdasarkan gejala klinisnya, sirosis hepatis dapat dibagi menjadi:
 Sirosis kompensata

14
Merupakan stadium awal sirosis yang sering tanpa gejala. Gejala awal dapat
meliputi perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan perut
kembung, mual, berat badan menurun.
 Sirosis dekompensata
Gejala-gejala pada tahap ini lebih menonjol terutama bila timbul komplikasi
kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi hilangnya rambut badan, gangguan
tidur, demam yang tidak begitu tinggi, juga disertai adanya gangguan pembekuan
darah, gusi berdarah, epistaksis, ikterus, air kemih berwarna seperti teh pekat,
muntah darah dan/atau melena, serta perubahan mental. 5
Sistem skoring klasifikasi Child-Turcott-Pugh juga telah luas digunakan dalam
memprediksi prognosis penyakit sirosis.1
Tabel 1. skoring klasifikasi Child-Turcott-Pugh

Child-Turcott-Pugh Class klasifikasi:


Class A (ringan) : 5-6
Class B (sedang) : 7-9
Class C (berat) : 10-151

e. Patogenesis Sirosis Hepatis


Patogenesis sirosis hepatis menurut penelitian memperlihatkan adanya peranan sel
stelata. Dalam keadaan normal sel stelata mempunyai peran dalam keseimbangan
pembentukan matriks ekstraseluler dan proses degradasi. Pembentukan fibrosis
menunjukkan perubahan proses keseimbangan. Jika terpapar faktor tertentu yang
berlangsung terus menerus seperti hepatitis virus, bahan hepatotoksik dan lainnya, maka
sel stelata akan membentuk sel kolagen. Jika proses ini berjalan terus makan fibrosis

15
akan terus terbentuk di dalam sel stelata, dan jaringan hati yang normal diganti oleh
jaringan ikat.
Sirosis hepatis terjadi akibat adanya cidera kronik-reversibel pada parenkim hati
disertai timbulnya jaringan ikat difus (akibat adanya cidera fibrosis), pembentukan nodul
degeneratif ukuran mikronodul sampai makronodul. Hal ini sebagai akibat adanya
nekrosis hepatosit, kolapsnya jaringan penunjang retikulin, disertai dengan deposit
jaringan ikat, distorsi jaringan vascular berakibat pembentukan vascular intra hepatic
antara pembuluh darah hati aferen (vena porta dan arteri hepatica) dan eferen (vena
hepatika), dan regenerasi nodular parenkim hati sisanya.
Terjadinya fibrosis hati disebabkan adanya aktivasi dari sel stellate hati. Aktivasi ini
dipicu oleh faktor pelepasan yang dihasilkan hepatosit dan sel kupffer. Sel stellate
merupakan sel penghasil utama matrix ekstraselular (ECM) setelah terjadi cedera pada
hepar. Pembentukan ECM disebabkan adanya pembentuk jaringan mirip fibroblast yang
dihasilkan sel stellate dan dipengaruhi oleh beberapa sitokinnseperti transforming
growth factor β (TGF-β) dan tumor necrosis factors (TNF-α).
Deposit ECM di space of Disse akan menyebabkan perubahan bentuk dan memacu
kapilarisasi sinusoid kemudian mengubah pertukaran normal aliran vena porta dengan
hepatosit, sehingga material yang seharusnya dimetabolisasi oleh hepatosit akan
langsung masuk ke aliran darah sistemik dan menghambat material yang diproduksi hati
masuk ke darah. Proses ini akan menimbulkan hipertensi portal dan penurunan fungsi
hepatoselular.2

f. Diagnosis sirosis hepatis


Gejala-gejala yang timbul pada sirosis:2
1. Kompensata
 Perasaan mudah lelah dan lemas, nafsu makan menurun, kembung, mual, berat
badan menurun, ikterik.
2. Dekompensata
 Gejala dari sirosis kompensata yang lebih menonjol
 Sudah terdapat kegagalan hati dan hipertensi porta
 Hilangnya rambut badan
 Gangguan pembekuan darah
 Ikterus, air kemih berwarna teh pekat
 Hematemesis, melena

16
Temuan klinis pada sirosis dapat meliputi:2,6
1. Spider Nevi (spider teleangiektasis)
Spider nevi ditemukan di wilayah vaskuler vena kava superior dan sangat jarang
terdapat dibawah garis puting susu. Tanda ini sering ditemukan di area sekitar bahu,
wajah dan lengan atas.
2. Eritema palmaris
Telapak tangan berwarna merah terutama pada thenar dan hipothenar.
3. Ginekomastia pada laki-laki
Terjadi akibat meningkatnya androstenedion.
4. Atrofi testis hipogonadisme
Tanda ini menonjol pada alkoholik sirosis dan hemokromatosis.
5. Splenomegali
Sering ditemukan terutama pada sirosis yang penyebabnya nonalkoholik.
Pembesaran ini akibat kongesti pulpa merah lien karena hipertensi porta.
6. Asites
Asites menurut jumlahnya dibagi menjadi tiga grade. Grade I (minimal) ialah asites
dalam jumlah sangat kecil yang hanya dapat terdeteksi melalui USG. Grade II
(moderate) ialah asites yang terlihat sebagai distensi abdomen yang tampak simetris.
Grade III (large) ialah asites dalam jumlah besar hingga menimbulkan distensi
abdomen yang sangat nyata.5
Asites dapat disebabkan oleh penimbunan cairan dalam rongga peritoneum akibat
hipertensi portal dan hipoalbuminemia. Pada sirosis hepatis terjadi fibrosis jaringan
yang menyebabkan tahanan pada vena porta sehingga terjadi peningkatan tekanan dari
vena tersebut. Akibat dari peningkatan ini akan terjadi pengalihan aliran darah ke
pembuluh darah mesenterika sehingga filtrasi bersih cairan keluar dari pembuluh
darah ke rongga peritoneum.7
Asites yang berhubungan dengan sirosis hepatis terjadi melalui mekanisme
transudasi. Beberapa teori yang menjelaskan asites transudasi adalah underfilling,
overfilling, dan perifer vasodilatation. Menurut teori underfilling asites terjadi akibat
volume cairan plasma yang menurun akibat hipertensi porta dan hipoalbuminemia.
Hipertensi porta akan meningkatkan tekanan hidrostatik venosa ditambah
hipoalbuminemia akan menyebabkan transudasi sehingga cairan intravascular
menurun. Teori overfilling menyebutkan asites terjadi akibat ekspansi cairan plasma

17
akibat reabsorpsi air oleh ginjal, dan teori perifer vasodilatation mengatakan bahwa
asites terjadi akibat hipertensi porta.7,8
7. Ikterus
8. Warna urin gelap seperti teh
9. Tanda-tanda lain yang menyertai, diantaranya:
 Demam yang tidak tinggi akibat nekrosis hepar
 Batu pada vesika felea akibat hemolysis
 Pembesaran kelenjar parotis terutama pada sirosis alkoholik

Pemeriksaan Laboratorium
Adanya sirosis dapat dicurigai dari hasil tes laboratorium, yakni pada hasil tes fungsi hati
berupa:2
1. Aspartat aminotransferase (AST)/ serum glutanil oksaloasetat (SGOT) dan Alanin
aminotransferase (ALT) atau serum glutanil piruvat transaminase (SGPT) meningkat.
AST lebih meningkat dari pada ALT, namun bila transaminase normal tidak
mengenyampingkan adanya sirosis.
2. Alkali fosfatase, meningkat kurang dari 2 sampai 3 kali batas normal atas.
3. Gamma-glutamil transpeptidase (GGT), konsentrasinya tinggi pada penyakit hati
alkoholik kronik, karena alkohol selain menginduksi GGT mikrosomal hepatik, juga
bisa menyebabkan bocornya GGT dari hepatosit.
4. Bilirubin
Konsentrasi bisa normal pada sirosis hati kompensata, tapi bisa meningkat pada
sirosis yang lanjut.
5. Albumin
Konsentrasinya menurun sesuai dengan perburukan sirosis karena sintesisnya terjadi
di jaringan hati.
6. Globulin
Konsentrasinya meningkat pada sirosis
7. Waktu protrombin mencerminkan derajat/peningkatan disfungsi sintesis hati, sehingga
pada sirosis memanjang.
8. Natrium
Natrium serum menurun terutama pada sirosis dengan asites, dikaitkan dengan
ketidakmampuan ekskresi air bebas.

18
9. Anemia
Anemia dengan trombositopenia, leukopenia, dan netropenia akibat splenomegali
kongestif berkaitan dengan hipertensi porta sehingga terjadi hipersplenisme.2

Pemeriksaan radiologis
Ultrasonografi (USG) untuk mendeteksi SH kurang sensitif namun cukup spesifik
bila penyebabnya jelas.Gambaran USG memperlihatkan ekodensitas hati meningkat
dengan ekostruktur kasar homogen atau heterogen pada sisi superficial, sedang pada
sisi profunda ekodensitas menurun. Dapat dijumpai pula pembesaran lobus caudatus,
splenomegali, dan vena hepatika gambaran terputus-putus. Hati mengecil dan
dijumpai splenomegli,2

g. KOMPLIKASI SIROSIS HEPATIS


Komplikasi SH yang utama adalah hipertensi portal, asites, peritonitis bakterail
spontan, perdarahan varises esofagus, sindroma hepatorenal, ensefalopati hepatikum,
dan kanker hati2.
1. Hipertensi porta
Pada keadaan normal, vena porta membawa darah dari abdomen, usus halus,
kandung empedu, dan pankreas ke hati. Pada sirosis, jaringan fibrotik menghambat
aliran darah sehingga meningkatkan tekanan vena porta. Kondisi ini disebut hipertensi
porta. Hipertensi porta dapat menyebabkan komplikasi lainnya yakni:
 Terjadi penumpukan cairan sehingga timbul edema dan asites
 Varises esofagus
 Splenomegali2
2. Peritonitis bakterial spontan
Infeksi cairan asites oleh bakteri tanpa ada bukti infeksi sekunder intra abdominal.
Biasanya timbul tanpa gejala, namun dapat timbul demam dan nyeri abdomen. 2
3. Ensefalopati hepatikum
Ensepalopati hepatikum merupakan suatu kelainan neuropsikiatri yang bersifat
reversibel dan umumnya didapat pada pasien dengan sirosis hati setelah mengeksklusi
kelainan neurologis dan metabolik. Derajat keparahan dari kelainan ini terdiri dari
derajat 0 (subklinis) dengan fungsi kognitif yang masih bagus sampai ke derajat 4
dimana pasien sudah jatuh ke keadaan koma.2
Patogenesis terjadinya ensefalopati hepatik diduga oleh karena adanya gangguan
metabolisme energi pada otak dan peningkatan permeabelitas sawar darah otak.

19
Peningkatan permeabelitas sawar darah otak ini akan memudahkan masuknya
neurotoxin ke dalam otak. Neurotoxin tersebut diantaranya, asam lemak rantai
pendek, mercaptans, neurotransmitter palsu (tyramine, octopamine dan beta
phenylethanolamine), amonia, dan gamma-aminobutyric acid (GABA). Kelainan
laboratoris pada pasien dengan ensefalopati hepatik adalah berupa peningkatan kadar
amonia serum.2
4. Sindroma Hepatorenal
Sindrom hepatorenal merepresentasikan disfungsi dari ginjal yang dapat diamati
pada pasien yang mengalami sirosis dengan komplikasi ascites. Sindrom ini
diakibatkan oleh vasokonstriksi dari arteri renalis sehingga menyebabkan menurunnya
perfusi ginjal yang selanjutnya akan menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus.
Pada sindrom hepatorenal, terjadi gangguan fungsi ginjal akut berupa oliguri,
peningkatan ureum, kreatinin tanpa adanya kelainan organik ginjal.2
5. Asites Pada Sirosis Hepatis
Penyebab asites yang paling banyak pada SH adalah HR disamping adanya
hipoalbuminemia (penurunan fungsi sintesis pada hati) dan disfungsi ginjal yang akan
meng-akibatkan akumulasi cairan dalam peritoneum. Asites merupakan salah satu dari
tiga komplikasi sirosis yang sangat sering terjadi, komplikasi yang lain adalah hepatik
ensefalopati dan perdarahan varises. Asites merupakan komplikasi yang paling sering
menyebabkan pasien sirosis harus dirawat di rumah sakit, berhubungan dengan
kualitas hidup yang jelek, meningkatkan resiko terjadinya infeksi dan gagal ginjal.2
Dua faktor utama yang berperan dalam pembentukan asites pada pasien sirosis
adalah retensi natrium dan air, serta hipertensi portal. Hipertensi portal terjadi karena
perubahan struktur hati pada sirosis dan meningkatnya aliran darah ke splanknikus.
Penumpukan kolagen yang progresif dan terbentuknya nodul mengubah keadaan
normal pembuluh darah hati dan meningkatkan resistensi terhadap aliran portal.
Sinusoid menjadi kurang lentur karena terbentuknya kolagen didalam ruang disse, ini
akan menyebabkan tekanan pada sistem portal statik, studi terbaru menunjukkan
bahwa sel stellata hati aktif akan dapat mengatur secara dinamis sifat sinusoid dan
tekanan portal. Hipertensi portal meningkatkan tekanan hidrostatik di dalam sinusoid
hati dan menyebabkan transudasi cairan masuk kedalam ruang peritoneum.

h. PENATALAKSANAAN SIROSIS HEPATIS

20
Pencegahan dan penanganan komplikasi merupakan prinsip dasar penanganan kasus
sirosis.2
Tabel 2. Tatalaksana Sirosis Hati dengan Komplikasi
Komplikasi Terapi Dosis

Asites - Tirah baring - 5,2 gram atau 90


- Diet rendah garam mmol/hari
- Obat antidiuretic: diawali - 100-200 mg sekali
spironolakton, bila respons sehari maks 400 mg
tidak adekuat dikombinasi - 20-40 mg/hari, maks
furosemide 160 mg/hari
- Parasintesis bila asites - 8-10 g IV per liter
sangat besar, hingga 4-6 cairan parasintesis (jika
liter & dilindungi > 5 L)
pemberian albumin
- Restriksi cairan
- Direkomendasikan jika
natrium serum kurang
120-125 mmol/L
Ensefalopati - Laktulosa - 30-45 ml sirup oral 3-4
hepatikum kali/hari atau 300 ml
enema sampai 2-4 kali
BAB/hari dan
perbaikan status mental
- 4-12 gr oral/hari dibagi
tiap 6-8 jam, dapat
- Neomisin ditambahkan pada
pasien yang refrakter
laktulosa
Varises - Propranolol - 40-80 mg oral 2
esophagus kali/hari
- Isosorbid mononitrat - 20 mg oral 2 kali/hari
Peritonitis - Cefotaksim - 2 g IV tiap 8 jam
bacterial spontan - Albumin - 1.5 g per kg IV dalam 6
jam, 1 g per kg IV hari

21
ke-3
- Norfloksasin - 400 mg oral 2 kali/hari
untuk terapi, 400 mg
oral 2 kali/hari selama 7
hari untuk perdarahan
GIT, 400 mg oral per
hari untuk profilaksis
- 1 tablet oral/hari untuk
profilaksis, 1 tablet oral
- Trimethoprim 2 kali/hari selama 7 hari
sulfamethoxazole untuk perdarahan
gastrointestinal

Terapi ditujukan untuk mengatasi etiologi , diantaranya:


 Etiologi alkohol dan bahan bahan yang toksik dan dapat mencederai hepar
(acetaminophen, kolkisin, dan obat TB) dapat dihentikan penggunaanya.
 Pada penyakit hati non-alkoholik dapat dianjurkan untuk menurunkan berat badannya.
Pada kasus sirosis hepatis, pasien disarankan untuk tirah baring. Pada fase sub akut
dan kronik, tirah baring diteruskan sementara perbaikan kondisi pasien tetap
dipertahankan. Apabila setelah 4 minggu tirah baring pasien dalam kondisi statis, pasien
diperbolehkan untuk melakukan aktivitas sedang. Pada kebanyakan pasien sirosis,
diberikan 80-100 gram protein dan 2500 kalori. Pasien sirosis alkoholik tidak
mengonsumsi alkohol lagi seumur hidup karena akan memperparah kerusakan pada hepar.
Pembatasan pemberian garam juga dilakukan agar gejala asites yang dialami pasien
tidak memberat. Diet cair dapat diberikan pada pasien yang mengalami perdarahan
saluran cerna. Hal ini dilakukan karena salah satu faktor resiko yang dapat menyebabkan
pecahnya varises adalah makanan yang keras dan mengandung banyak serat.6

i. Prognosis
Perjalanan alamiah SH tergantung pada sebab dan penanganan etiologi yang
mendasari penyakit. Beberapa system skoring dapat digunakan untuk menilai keparahan
SH dan menentukan prognosisnya. System skoring ini antara lain skor Child Turcotte
Pugh (CTP) dan Model ens stage liver Disease (MELD) yang digunakan untuk evaluasi
pasien dengan rencana tranplantasi hati.

22
Penderita SH dikelompokkan menjadi CTP-A (5-6 poin), CTP-B (7-9 poin) dan CTP-
C (10-15 poin). Penderita SH dengan CTP kelas A menunjukkan penyakit hatinya
terkompensasi baik, dengan angka kesintasan berturut-turut 1 tahun dan 2 tahuN sebesar
100% dan 85%. Sedangkan CTP kelas B angka kesintasan berturut-turut 1 tahun dan 2
tahunnya sebesar 81% dan 60%. Kesintasan penderita SH dengan Child-Turcott-Pugh
kelas C 1 tahun dan 2 tahun berturut-turut adalah 45% dan 35%.2

23
BAB III
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Robitoh
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 41 Tahun
Alamat : Jl. Sinarwajo
Agama : Islam
No Rekam Medis : 42.91.25
Tanggal Masuk : 06 November 2021
Tanggal Keluar :
Masuk RS Melalui : IGD

II. Anamnesis
Anamnesis dilakukan pada tanggal : 06 November 2021
Resume anamnesis :
 Keluhan utama : Muntah darah sejak 3 hari ini diperberat 1 hari ini
Resume riwayat penyakit sekarang :
 Pasien datang dengan keluhan muntah darah sejak 3 hari ini
 Muntah semakin berat 1 hari ini
 1 hari ini muntah darah sampai 3 kali sebanyak ± 3 gelas teh
 Muntah darah berwarna merah gelap dan bergumpal
 Pasien juga mengeluh lemas 3 hari ini
 pusing(+), demam (-), batuk (-), flu (-)
 Perut membuncit muncul pertama kali 1 bulan yang lalu
 Nyeri ulu hati (+)
 BAB dan BAK lancar
 Riwayat Penyakit Dahulu :
 Sirosis hepatis 1 tahun yang lalu, dan pasien rajin kontrol ke dokter
 Diabetes melitus (-)
 Hipertensi (-)
 Riwayat Pengobatan :

24
 Mengkonsumsi obat dari dokter spesialis penyakit dalam, tapi lupa nama obatnya
 Riwayat Penyakit Keluarga :
 Tidak ada ada keluarga yang sakit seperti ini
 Riwayat Pekerjaan, Ekonomi, Kejiwaan, dan Kebiasaan :
 Pasien sering meminum jamu rumput Fatimah sejak 5 tahun yang lalu, seminggu
2 kali.
 Dari SMA sering minum obat paramex, dan sering meminum paracetamol apa
bila ada gejala sakit kepala.
III. Pemeriksaan Tanda Vital (Vital Sign)
Dilakukan pada tanggal 06 November 2021
 Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
 Kesadaran : Komposmentis
 Tinggi Badan : 160cm
 Berat Badan : 60kg
 Status Gizi : 23,43(normoweight)
 Tekanan darah : 90/60 mmHg
 Denyut Nadi : 120x/menit
 Suhu tubuh : 36°C
 Frekuensi nafas : 22x/menit
IV. Pemeriksaan Fisik Diagnostik
Skema Manusia

 Status Lokalis :
 Pemeriksaan Kepala
 Ukuran dan bentuk kepala : Normal
 Simetrisitas Muka : Simetris

25
 Rambut : Hitam
 Pemeriksaan Mata
 Kelopak : Udem palpebra (-), Ptosis (-)
 Konjungtiva : anemis (+/+)
 Sklera : Ikterik (+/+)
 Kornea : Jernih
 Pupil : Isokor
 Pemeriksaan Leher
 Inspeksi :Tidak ada tanda-tanda pembesaran
KGB
 Palpasi : Tidak ada pembesaran KGB
 Pemeriksaan trakea : Berada ditengah
 Pemeriksaan kelenjar tiroid : Tidak ada pembesaran
 Pemeriksaan tekanan vena jugularis : 5 + 1 cmH2O
 Pemeriksaan Thoraks
 Anterior :
 Inspeksi : Statis  Bentuk dada normal (normochest), tidak
ada kelainan kulit.
: Dinamis Tidak ada keterlambatan gerak, tidak
terdapat retraksi dinding dada
 Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
 Palpasi : Nyeri (-), Fremitus taktil normal, sama kanan dan
kiri
 Auskultasi : Suara nafas vesikuler normal
Suara tambahan : wheezing (-/-), rhonki(-/-)
Bunyi jantung tambahan (tidak ada)
 Posterior
 Inspeksi : Simetris kanan dan kiri
 Palpasi : tidak terdapat keterlambatan gerak
 Perkusi : sonor seluruh lapangan paru, batas peranjakan paru 1-2 jari,
batas paru-hepar ICS VI linea midclavikularis dextra
 Auskultasi : suara nafas vesikuler normal, wheezing (-/-), rhonki(-/-)

26
 Jantung
 Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
 Palpasi : iktus kordis teraba di ICS VI linea axillaris anterior sinistra
 Perkusi : Redup
- batas atas = ICS II linea parasternalis sinistra
- batas kanan = ICS IV linea parasternalis dextra
- batas kiri = ICS V linea midclavicularis sinistra
 Auskultasi : bunyi 1 dan 2 regular, murmur (-), gallop (-)

 Pemeriksaan Abdomen
 Inspeksi : Tampak membuncit, tampak vena
kolateral, striae(+)
 Auskultasi : Bising usus 4 x/menit
 Perkusi : Redup
 Palpasi : nyeri epigastrium (-)
 Pemeriksaan ginjal : Ballotement (-/-)
 Pemeriksaan nyeri ketok ginjal : CVA (-/-)
 Pemeriksaaan hepar : tidak bisa dinilai
 Pemeriksaan lien : teraba lien di Schuffner 2 (S2)
 Pemeriksaan asites : undulasi (+) shifting dulnes (+)

 Pemeriksaan Ekstremitas

5 5

5 5

 CRT : 2 detik
 Akral : Hangat
 Extremitas superior : udem (-), palmar eritem (-), warna kulit kuning
V. Resume Pemeriksaan Fisik :
 Pada pemeriksaan fisik didapatkan pada pemeriksaan mata didapatkan konjungtiva
anemis(+/+), sklera ikterik (+/+), pada inspeksi perut ditemukan tampak membuncit,
tampak vena kolateral,. Pada palpasi abdomen terdapat nyeri epigatrium, teraba lien

27
di Schuffner 2 (S2), pada pemeriksaan asites ditemukan shifting dullness (+)
undulasi (+). Pada pemeriksaan ekstremitas superior ditemukan warna kulit kuning.
VI. Diagnosis dan Diagnosis Banding
Diagnosis : anemia ec hematemesis + serosis hepatis

VII. Tindakan
VII.A. Tindakan Diagnostik /Pemeriksaan Penunjang :
Pemeriksaan dilakukan tanggal 08 November 2021
1. Pemeriksaan Hematologi
 Hemoglobin : 8,3 gr/dl (12-15)
 Leukosit : 28.100 mm3 (4.000-11.000)
 Trombosit : 404.000 mm3 (150.000-450.000)
 Eosinofil : 2% (0-5)
 Basofil : 1% (0-2)
 Netrofil Batang : 3% (2-6)
 Netrofil Segmen : 90% (50-70)
 Limfosit : 4% (20-40)
 Monosit : 3% (2-8)
 Eritrosit : 3.950.000 mm3 (4.200.000-6.100.000)
 MCV : 66 FL (80-100)
 MCH : 21 PG (27-32)
 MCHC : 32% (32-36)
 Hematokrit : 26% (36-52)
2. Pemeriksaan Gula Darah
º Gula Darah Sewaktu : 68 mg/dl (<140)
3. Rontgen Thorak

28
Cor : Tidak membesar
Sinus dan diagfragma normal
Pulmo : Tidak tampak infiltrat
Kesan : Cor dan pulmo dalam batas normal
4. Faal Ginjal
º Ureum : 72 mg/dl
º Kreatinin : 1.0 mg/dl
5. Faal Hati
SGOT/AST : 46 mg/dl
SGPT/ALT : 26 mg/dl
Protein total : 6.1 mg/dl
Albumin : 2,9 mg/dl
Globulin : 3.2 mg/dl
6. Pemeriksaan Elektrolit / Gas Darah
 Natrium : 132 mmol/L (125-149)
 Kalium : 5,3 mmol/L (3,35-4,01)
 Klorida : 105 mmol/L (80,5-96,1)

VII.B Tindakan Terapi :


 Tanggal 06 November 2021
 Bolus omeprazole 2 ampul
 IVFD : Aminofusin Hepar 1 kolf/12 jam
 Inj. Kalnex 3x1 ampul
 Inj vitamin K 3x1 ampul

29
 Inj. Cefotaxime 3x1
 Spironolakton 2x100 mg
 Propanolol 2x100 mg
 NAC 3X1
 Kompolax syr 3x3

30
LEMBAR FOLLOW UP

No Tanggal S O A P
1. 07/11/2021 Badan lemas TD : 120/80 - Anemia - Inj. As. Tranex 3x1
RR : 20x/menit -Sirosis hepatis - Inj. Vit k 3x1
HR : 84x/menit
- Meropenem 3x1 vial
T : 36,6ºC
- Spirolakton 3x100
tab
- Propanolol 2x10 tab
- Kompolak 3x1tab
- NAC 3x1 tab
- Drip omeprazole 1
vial+500 cc nacl/10
jam
2. 14/11/2020 Terasa TD : 110/70 - Anemia - Inj. As. Tranex 3x1
menyesak RR : 20x/menit - Sirosis hepatis - Inj. Vit k 3x1
karena perut HR : 76x/menit
- Meropenem 3x1 vial
T : 36,2ºC
membesar - Spirolakton 3x100
tab
- Propanolol 2x10 tab
- Kompolak 3x1tab
- NAC 3x1 tab
- Drip omeprazole 1
vial+500 cc nacl/10
jam

31
LAMPIRAN

Perut membuncit

Tampak vena kolateral

32
BAB IV

PEMBAHASAN

1. Anemia defisiensi zat besi


Ny. R, 41 tahun, didiagnosis juga sebagai anemia defisiensi zat besi yang didasarkan
pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Gejala umum anemia,
disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia organ target serta akibat
mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar hemoglobin. Pada anamnesis
ditemukan pasien datang dengan keluhan muntah darah sebanyak 3 gelas teh kemudian
ditemukan sindrom anemia seperti dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, dan dispepsia.
Pada pemeriksaan, pasien tampak pucat, yang mudah dilihat pada konjungtiva, mukosa
mulut, telapak tanga.berdasarkan pemeriksaan penunjang didapatkan pada
pemeriksaan hematologi, Hb 8,3, MCV : 66 FL (80-100), MCH : 21 PG (27-32)
(hipokromik mikrositer), dan Hematokrit : 26%. Berdasarkan teori gejala khas Anemia
defisiensi zat besi ialah: pasien lemah, lesu dan cepat Lelah serta ditemkan Anemia
hipokromik mikrositer pada apusan darah tepi, atau MCV < 80 fl dan MCHC < 31 %.

2. Sirosis hepatis
Diagnosis pasien ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis, didapatkan tanda dan gejala yang dialami
pasien sesuai dengan tanda dan gejala Sirosis Hepatis yaitu: pasien muntah darah
yang mengarah ke pendarahan varises esofagus, perut membunci (asites), sklera
ikterik, dan pasien di didiagnosis sirosis hepatis sejak 1 tahun yang lalu.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan sklera ikterik, perut membesar, tampak vena
Kolateral, pada saat palpasi terdapat pembesaran spleen, shifting dullness (+),
undulasi (+), ekstrimitas superior kulit berwarna kuning. Selain itu, hasil dari
pemeriksaan penunjang yaitu darah rutin: hemoglobin, limfosit, eritrosit, hematokrit
menurun,. Kimia darah: Albumin menurun, SGOT meningkat. globlin meningkat,
kalium dan klorida meningkat. Dari hasil pemeriksaan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang pada pasien dapat mendukung diagnosis dari sirosis
hepatis

33
34

Anda mungkin juga menyukai