Anda di halaman 1dari 52

LAPORAN KASUS

DIABETES MELITUS TIPE 2 & ULKUS DIABETIKUM

Oleh :
En-Nida Gelbie Chalisha

Pembimbing :
dr. M. Risnandar, Sp.PD

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ABDURRAB
PEKANBARU
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunia, rahmat
kesehatan, dan keselamatan kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan
laporan kasus ini yang berjudul “Diabetes melitus tipe II dan Ulkus
Diabetikum” yang diajukan sebagai persyaratan untuk mengikuti kepaniteraan
klinik senior Ilmu Penyakit Dalam program studi Kedokteran Universitas
Abdurrab. Terima kasih penulis ucapkan kepada dr. M. Risnandar, Sp.PD yang
telah bersedia membimbing penulis dalam pembuatan laporan kasus ini,
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini. Semoga laporan kasus ini
dapat memberikan manfaat, umumnya bagi pembaca dan khususnya bagi
penulis.
Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih memiliki
kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun untuk menyempurnakan makalah ini. Akhir
kata, penulis berharap agar makalah ini dapat memberi manfaat kepada semua
orang. Atas perhatian dan sarannya penulis ucapkan terima kasih.

Dumai, 11 November 2021

Penulis

2
3

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…..…………………………………………………………1
DAFTAR ISI……….
……………………………………………………………..

2
BAB I.......................................................................................................................4

PENDAHULUAN...................................................................................................4

BAB II.....................................................................................................................5

TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................5

2.1 Definisi Diabetes Melitus.................................................................................5


2.2 Klasifikasi Diabetes Melitus............................................................................5
2.4 Patogenesis DM Tipe 2.....................................................................................5
2.5 Penegakan Diagnosisi DM Tipe 2....................................................................5
2.6 Penatalaksanaan DM.......................................................................................5
2.7 Komplikasi Diabetes Melitus...........................................................................5
2.8 Ulkus Diabetikum.............................................................................................5
BAB III....................................................................................................................6

LAPORAN KASUS................................................................................................6

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................7
4

BAB I

PENDAHULUAN

Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik


dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau keduanya1

Diabetes Melitus adalah penyakit menahun (kronis) berupa gangguan


metabolik yang ditandai dengan kadar gula darah yang melebihi batas normal. 2
Penyakit Diabetes Melitus merupakan penyebab utama kebutaan, penyakit
jantung, dan gagal ginjal. Organisasi Internasional Diabetes Federation (IDF)
memperkirakan sedikitnya terdapat 463 juta orang pada usia 20-79 tahun di
dunia menderita diabetes mellitus pada tahun 2019. Indonesia berada di
peringkat ke-7 diantara 10 negara dengan jumlah penderita diabetes mellitus
yaitu sebanyak 10,7 juta. Indonesia menjadi satu-satunya Negara di Asia
Tenggara pada daftar tersebut.

Badan kesehatan WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang


DM tipe 2 di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta
pada tahun 2030. Prediksi dari Internasional Diabetes Federation (IDF) juga
menjelaskan bahwa pada tahun 2013-2017 terdapat kenaikan jumlah
penyandang DM dari 10,3 juta menjadi 16,7 juta pada tahun 2045. Berdasarkan
data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003, diperkirakan penduduk
Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebanyak 133 juta jiwa, dengan
prevalensi DM sebesar 14,7% pada daerah urban dan 7,2% pada daerah rural.
Berdasarkan pola pertambahan penduduk, diperkirakan bahwa pada tahun 2030
nanti akan ada 194 juta penduduk yang berusia diatas 20 tahun dan dengan
asumsi prevalensi DM pada urban (14,7%) dan rural (7,2%), maka
diperkirakan terdapat 28 juta penyandang diabetes di daerah urban dan 13,9
juta di daerah rural. Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun
5

2018 oleh Departemen Kesehatan, terjadi peningkatan prevalensi DM menjadi


8,5% dibandingkan dari tahun 2013 yaitu 6,9%. 1

Penyakit DM akan memberikan dampak terhadap kualitas sumber daya


manusia dan peningkatan biaya kesehatan yang cukup besar, maka semua
pihak baik masyarakat maupun pemerintah sudah seharusnya ikut serta dalam
usaha penanggulangan DM, khususnya dalam upaya pencegahan. Komplikasi
yang terjadi akibat penyakit DM dapat berupa gangguan pada pembuluh darah
baik makrovaskular maupun mikrovaskular, serta gangguan pada sistem saraf
atau neuropati. Gangguan ini dapat terjadi pada penyandang DM tipe 2 yang
sudah lama menderita penyakit atau DM tipe 2 yang baru terdiagnosis.
Komplikasi makrovaskular umumnya mengenai organ jantung, otak dan
pembuluh darah, sedangkan gangguan mikrovaskular dapat terjadi pada mata
dan ginjal. Keluhan neuropati juga umum dialami oleh penyandang diabetes
melitus, baik neuropati motorik, sensorik ataupun neuropati otonom. 1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Diabetes Melitus


Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau keduanya.1

2.2 Klasifikasi Diabetes Melitus


Menurut American Diabetes Assosiation (ADA) tahun 2019, klasifikasi
DM terdiri dari 4 yaitu:
1. DM tipe 1
DM tipe 1 disebut juga dengan insullin dependent diabetes yang terjadi
pada 5-10% penderita diabetes. Pada DM tipe 1 terjadi destruksi sel-sel β-
pankreas, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut.
2. DM tipe 2
DM tipe ini disebut juga non-dependent diabetes yang terjadi pada 90-
95% penderita diabetes. DM tipe 2 bervariasi mulai dari yang predominan
resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan
gangguan sekresi insulin bersamaan resistensi insulin.
3. DM tipe lain
Merupakan gangguan yang disebabkan karena genetik pada fungsi sel β
pada kerja insulin, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas
seperti cystic fibrosis, endokrinopati seperti sindrom cushing, karena obat-
obatan ataupun bahan kimia, infeksi seperti rubella congenital dan
sindrom genetik lain.
4. DM gestasional
Tipe ini ditemukan pada trimester dua atau tiga kehamilan. DM
gestasional berhubungan dengan meningkatnya komplikasi perinatal.

6
7

Penderita DM gestasional memiliki risiko lebih besar untuk menderita DM


yang menetap dalam jangka waktu 5-10 tahun setelah melahirkan.
2.3 Faktor Risiko DM Tipe 2
Menurut Perhimpunan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) tahun 2019
faktor risiko DM tipe 2 adalah sebagai berikut: 1
1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
Dalam faktor ini meliputi ras dan etnik, riwayat keluarga yang
menderita DM, umur dimana semakin meningkatnya umur maka
semakin meningkat pula risiko untuk terjadinya DM tipe 2 (usia > 45
tahun), riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir > 4000gram
atau pernah mengalami diabetes gestasional, riwayat lahir dengan
berat badan < 2500gram dimana bayi yang lahir dengan berat badan
rendah mempunyai risiko untuk menderita DM lebih tinggi daripada
bayi yang lahir dengan berat badan normal.
2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
Faktor risiko ini meliputi berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh ≥
23 kg/m2), kurangnya aktivitas fisik, hipertensi (Tekanan darah >
140/90 mmHg), dislipidemia (High Density Lipoprotein < 35 mg/dl
dan/atau trigliserida > 250 mg/dl), diet tak sehat dimana diet dengan
tinggi glukosa dan rendah serat akan meningkatkan risiko untuk
menderita prediabetes atau intoleransi glukosa dan DM tipe 2.
3. Faktor lain yang terkait dengan DM
Pada faktor ini meliputi penderita polycystic ovary syndrome
(PCOS) atau keadaan klinis lain yang terkait dengan resistensi insulin,
penderita sindrom metabolik yang memiliki riwayat toleransi glukosa
terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT)
sebelumnya, penderita yang memiliki riwayat penyakit kardiovaskular
seperti, stroke, penyakit jantung koroner (PJK) dan peripheral arterial
disease (PAD).
8

2.4 Patogenesis DM Tipe 2


Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel β pankreas telah
dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe 2. Selain otot,
liver dan sel β terdapat pula organ lain yaitu jaringan lemak (meningkatnya
lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel α pankreas
(hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa, dan otak
(resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya
gangguan toleransi glukosa pada DM tipe 2. Schwartz pada tahun 2016
menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, hepar, dan sel beta pankreas saja
yang berperan sentral dalam patogenesis penyandang DM tipe 2 tetapi
terdapat delapan organ lain yang berperan, disebut sebagai The Egregious
Eleven.1,4
9

Secara garis besar patogenesis hiperglikemia disebabkan oleh sebelas hal


(egregious eleven) yaitu :
1. Kegagalan sel β pancreas
Pada saat diagnosis DM tipe 2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah
sangat berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah
sulfonilurea, meglitinid, agonis glucagon-like peptide (GLP-1) dan
penghambat dipeptidil peptidase-4 (DPP- 4).
2. Disfungsi sel alfa pancreas
Sel alfa berfungsi pada sintesis glukagon yang dalam keadaan
puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini
menyebabkan produksi glukosa hati (hepatic glucose production) dalam
keadaan basal meningkat secara bermakna dibanding individu yang
normal. Obat yang menghambat sekresi glukagon atau menghambat
reseptor glukagon meliputi agonis GLP-1, penghambat DPP-4 dan amilin.
3. Sel Lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,
menyebabkan peningkatan proses lipolisis dan kadar asam lemak bebas
(free fatty acid (FFA)) dalam plasma. Peningkatan FFA akan merangsang
proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di hepar dan
otot, sehingga mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan
oleh FFA ini disebut sebagai lipotoksisitas. Obat yang bekerja dijalur ini
adalah tiazolidinedion.
4. Otot
Pada penyandang DM tipe 2 didapatkan gangguan kinerja insulin
yang multipel di intramioselular, yang diakibatkan oleh gangguan
fosforilasi tirosin, sehingga terjadi gangguan transport glukosa dalam sel
otot, penurunan sintesis glikogen dan penurunan oksidasi glukosa. Obat
yang bekerja di jalur ini adalah metformin dan tiazolidinedion.
5. Hepar
Pada penyandang DM tipe 2 terjadi resistensi insulin yang berat
dan memicu glukoneogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan
10

basal oleh hepar (hepatic glucose production) meningkat. Obat yang


bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang menekan proses
glukoneogenesis.
6. Otak
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu
yang obese baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia
yang merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada
golongan ini asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi
insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah
agonis GLP-1, amilin dan bromokriptin.
7. Kolon/Mikrobiota
Perubahan komposisi mikrobiota pada kolon berkontribusi dalam
keadaan hiperglikemia. Mikrobiota usus terbukti berhubungan dengan DM
tipe 1, DM tipe 2 dan obesitas sehingga menjelaskan bahwa hanya
sebagian individu berat badan berlebih akan berkembang DM. Probiotik
dan prebiotic diperkirakan sebagai mediator untuk menangani keadaan
hiperglikemia.
8. Usus Halus
Glukosa yang ditelan memicu respons insulin jauh lebih besar
dibanding kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai
efek inkretin ini diperankan oleh 2 hormon yaitu glucagonlike
polypeptide-1 (GLP-1) dan glucose-dependent insulinotrophic polypeptide
atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide (GIP). Pada penyandang
DM tipe 2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap hormon GIP.
Hormon inkretin juga segera dipecah oleh keberadaan enzim DPP-4,
sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja
menghambat kinerja DPP-4 adalah DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan
juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja
enzim alfa glukosidase yang akan memecah polisakarida menjadi
monosakarida, dan kemudian diserap oleh usus sehingga berakibat
11

meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat yang bekerja untuk


menghambat kinerja enzim alfa glukosidase adalah acarbosa.
9. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam
patogenesis DM tipe 2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa
sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap
kembali melalui peran enzim sodium glucose cotransporter (SGLT-2)
pada bagian convulated tubulus proksimal dan 10% sisanya akan
diabsorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden,
sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urin. Pada penyandang DM
terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2, sehingga terjadi peningkatan
reabsorbsi glukosa di dalam tubulus ginjal dan mengakibatkan
peningkatan kadar glukosa darah. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2
ini akan menghambat reabsorbsi kembali glukosa di tubulus ginjal
sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urin. Obat yang bekerja di jalur
ini adalah penghambar SGLT-2. Dapaglifozin, empaglifozin dan
canaglifozin adalah contoh obatnya.
10. Lambung
Penurunan produksi amilin pada diabetes merupakan konsekuensi
kerusakan sel beta pankreas. Penurunan kadar amilin menyebabkan
percepatan pengosongan lambung dan peningkatan absorpsi glukosa di
usus halus yang berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa
postprandial.
11. Sistem Imun
Terdapat bukti bahwa sitokin menginduksi respons fase akut
(disebut sebagai inflamasi derajat rendah, merupakan bagian dari aktivasi
sistem imun bawaan/innate) yang berhubungan kuat dengan patogenesis
DM tipe 2 dan berkaitan dengan komplikasi seperti dislipidemia dan
aterosklerosis. Inflamasi sistemik derajat rendah berperan dalam induksi
stres pada endoplasma akibat peningkatan kebutuhan metabolisme untuk
insulin. DM tipe 2 ditandai dengan resistensi insulin perifer dan penurunan
12

produksi insulin, disertai dengan inflamasi kronik derajat rendah pada


jaringan perifer seperti adiposa, hepar dan otot. Beberapa dekade terakhir,
terbukti bahwa adanya hubungan antara obesitas dan resistensi insulin
terhadap inflamasi. Hal tersebut menggambarkan peran penting inflamasi
terhadap patogenesis DM tipe 2, yang dianggap sebagai kelainan imun
(immune disorder). Kelainan metabolik lain yang berkaitan dengan
inflamasi juga banyak terjadi pada DM tipe 2.
2.5 Penegakan Diagnosisi DM Tipe 2
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa
secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Untuk pemantauan hasil
pengobatan dapat diperiksa glukosa kapiler.

Menurut PERKENI 2019 alur diagnosis DM dibagi menjadi 2 bagian


besar berdasarkan ada tidaknya gejala khas DM :

1. Keluhan klasik/gejala khas Terdiri dari poliuria, polidipsia, polifagia


dan penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas.
2. Keluhan lain/gejala tidak khas DM Keluhan ini meliputi lemas,
kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada
pria dan pruritus pada vulva vagina.

Kriteria Diagnosis menurut PERKENI dapat dilihat pada gambar berikut:


13

Gambar 2. Kriteria diagnosis DM

Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal


satu kali saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosis, namun apabila tidak
ditemukan gejala khas DM, maka diperlukan 2 kali pemeriksaan glukosa darah
abnormal.5
Diagnosis DM juga dapat di tegakkan melalui cara berikut :

• Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari
tanpa memperlihatkan waktu makan terakhir Atau
• Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa > 126 mg/dL (7,0 mmol/L) Puasa
diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
• Glukosa plasma 2 jam pada TTGO > 200 mg/dL (11,1 mmol/L) TTGO
dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan
75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan kedalam air.

Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994):

Gambar 3. Cara pelaksanaan TTGO


14

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria


DM digolongkan kedalam kelompok prediabetes yang meliputi toleransi
glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
1. GDPT: hasil pemeriksaan glukosa plasma antara 100-125 mg/dl dan
pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2 jam <140 mg/dl;
2. TGT: hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 jam setelah TTGO antara
140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100mg/dl
3. Bersama-sama didapatkan GDPTdan TGT
4. Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.

Gambar 4. Kadar Tes Laboratorium Darah Untuk Diagnosis Diabetes


dan Prediabetes

Pemeriksaan penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis DM


tipe 2 dan prediabetes pada kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan
gejala klasik DM, yaitu:
1. Kelompok dengan berat badan lebih (indeks massa tubuh [IMT]
≥23kg/m2) yang disertai dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai
berikut:
a. Aktivitas fisik yang kurang
b. First degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam keluarga)
c. Kelompok ras/etnis tertentu
d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL>4kg
atau mempunyai riwayat DM gestasional.
15

e. Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi hipertensi) f.


HDL <35 mg/dl dan atau trigliserida >250 mg/dl
g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium
h. Riwayat prediabetes
i. Obesitas berat, akantosis nigrikans
j. Riwayat penyakit kardiovaskular

2. Usia > 45 tahun tanpa faktor risiko diatas Kelompok risiko tinggi dengan
hasil pemeriksaan glukosa plasma normal sebaiknya diulang setiap 3 tahun,
kecuali pada kelompok prediabetes pemeriksaan diulang tiap 1 tahun. Pada
keadaan yang tidak tersedia fasilitas TTGO, maka pemeriksaan penyaring
dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler diperbolehkan
untuk patokan diagnosis DM. Dalam hal ini harus diperhatikan adanya
perbedaan hasil pemeriksaan glukosa darah plasma vena dan glukosa darah
kapiler.

2.6 Penatalaksanaan DM
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup
penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi:
1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki
kualitas hidup dan mengurangi risiko komplikasi akut.
2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas
penyulit mikroangiopati dan makroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas

DM. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa

darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien

secara komprehensif.2

1.Terapi Non farmakologi.2


16

Terapi nonfarmakologi pada dasarnya adalah perubahan gaya hidup yang


mencakup mengatur pola makan yang disebut sebagai terapi nutrisi medis, latihan
fisik, dan edukasi berbagai masalah yang terkait tentang penyakit diabetes
melitus.
❖ Terapi Nutrisi Medis
Terapi Nutrisi Medis (TNM) pada dasarnya adalah melakukan pengaturan
pola makan yang didasarkan pada status gizi, kebiasaan makan dan kondisi atau
komplikasi yang telah ada.
Kebutuhan Kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan
penyandang diabetes. Cara yang paling umum digunakan adalah dengan
memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori/kgBB ideal
(BBI), ditambah atau dikurangi dengan beberapa faktor koreksi. Faktor koreksi
ini meliputi jenis kelamin, umur, aktivitas, dan berat badan
-Perhitungan berat badan ideal menurut indeks massa tubuh (IMT) Indeks
massa tubuh dapat dihitung dengan rumus :
IMT = BB x 100%
(TB)2

Klasifikasi IMT : ▪ IMT < 18,5 = BB Kurang


▪ IMT 18,5 – 22,9 = BB Normal
▪ IMT ≥ 23 = BB Lebih
▪ IMT 23.0 – 24,9 = Dengan resiko
▪ IMT 25.0 – 29,9 = Obes I
▪ IMT > 30 = Obes II

Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain:


➢ Jenis Kelamin Kebutuhan kalori basal perhari untuk perempuan sebesar 25
kal/kgBB sedangkan untuk pria sebesar 30 kal/kgBB.
➢ Umur
17

• Pasien usia diatas 40 tahun keburuhan kalori dikurangi 5% untuk setiap


decade antara 40 dan 59 tahun.
• Pasien usia diantara 60 dan 69 tahun dikurangi 10%
• Pasien usia diatas usia 70 tahun dikurangi 20%
➢ Aktifitas fisik dan pekerjaan
• Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas fisik.
• Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada keadaan
istirahat.Penambahan sejumlah 20% pada pasien dengan aktivitas ringan: pegawai
kantor, guru, ibu rumah tangga.
• Penambahan sejumlah 30% pada aktivitas sedang: pegawai industry ringan,
mahasiswa, militer yang sedang tidak perang.
• Penambahan sejumlah 40% pada aktivitas berat: petani, buruh, atlet, militer
dalam keadaan latihan.
• Penambahan sejumlah 50% pada aktivitas sangat berat: tukang becak,
tukang gali.
➢ Stress metabolik
• Penambahan 10-30% tergantung dari beratnya stress metabolic (sepsis,
operasi, trauma)
➢ Berat badan
• Penyandang DM yang gemuk, kebutuhan kalori dikurangi sekitar 20-30%
tergantung kepada tingkat kegemukan.
• Penyandang DM kurus, kebutuhan kalori ditambah sekitar 20-30% sesuai
dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB.
• Jumlah kalori yang diberikan paling sedikit 1000-1200 kal perhari untuk
wanita dan 1200-1600 kal perhari untuk pria.
• Secara umum, makanan siap saji dengan jumlah kalori yang terhitung dan
komposisi tersebut diatas, dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%),
siang (30%), dan sore (25%), serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%) di
antaranya. Tetapi pada kelompok tertentu perubahan jadwal, jumlah dan jenis
makanan dilakukan sesuai dengan kebiasaan. Untuk penyandang DM yang
18

mengidap penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit


penyerta.
❖ Latihan fisik
Latihan jasmani merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2
apabila tidak disertai adanya nefropati. Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan
jasmani dilakukan secara teratur sebanyak 3-5 kali perminggu selama sekitar 30-
45 menit, dengan total 150 menit perminggu. Latihan jasmani selain untuk
menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki
sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan
jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobic dengan
intensitas sedang seperti: jalan cepat, bersepeda santai, jogging, dan berenang.
• Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakuka sebagai
bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari
pengelolaan DM secara holistic (B). Materi edukasi terdiri dari materi edukasi
tingkat awal dan materi edukasi tingkat lanjutan.
a. Materi edukasi pada tingkat awal dilaksanakan di Pelayanan Kesehatan
Primer yang meliputi:
• Materi tentang perjalanan penyakit DM
• Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara
berkelanjutan
• Penyulit DM dan risikonya
• Intervensi non-farmakologis dan farmakologis serta target pengobatan
• Interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik, dan obat
antihiperglikemia oral atau insulin serta obat-obatan lain
• Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah
atau urin mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri tidak
tersedia)
• Mengenal gejala dan penanganan awal hipoglikemia
• Pentingnya latihan jasmani yang teratur
• Pentingnya perawatan kaki
19

• Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan


b. Materi edukasi pada tingkat lanjut dilaksanakan di Pelayanan
Kesehatan Sekunder dan / atau Tersier, yang meliputi:
• Mengenal dan mencegah penyulit akut DM
• Pengetahuan mengenai penyulita menahun DM
• Penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain
• Rencana untuk kegiatan khusus (contoh: olahraga prestasi)
• Kondisi khusus yang dihadapi (contoh: hamil, puasa, harihari sakit)
• Hasil penelitian dan pengetahuan masa kini dan teknologi mutakhir
tentang DM
• Pemeliharaan/perawatan kaki
• Elemen perawatan kaki dapat dilihat pada table dibawah ini :

Gambar 5 Elemen perawatan kaki

2. Terapi Farmakologi.1
Terapi farmakologi diberikan bersama dengan pengaturan makan dan
latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologi terdiri dari obat oral
dan bentuk suntikan.
20

1. Obat Antihiperglikemia Oral


Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi
menjadi 5 golongan:
a. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
• Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas. Efek samping utama adalah hipoglikemia dan
peningkatan berat badan. Hati-hati menggunakan sulfonylurea pada pasien
dengan risiko tinggi hipoglikemia (orang tua, gangguan faal hati, dan ginjal).
• Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan
ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivate asam benzoat) dan
Nateglinid (derivate fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah
pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat
mengatasi hiperglikemia post prandial. Efek samping yang mungkin terjadi
adalah hipoglikemia.
b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin
• Metformin
Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer.
Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus DMT2.
Dosis Metformin diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (GFR
3060 ml/menit/1,73 m2). Metformin tidak boleh diberikan pada beberapa
keadaan seperti: GFR<3mL/menit/1,73 m2, adanya gangguan hati berat, serta
pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit
serebrovaskular, sepsis, renjatan, PPOK, gagal jantung [NYHA FC IIIIV].
Efek samping yang mungkin berupa gangguan saluran pencernaan seperti
halnya gejala dispepsia.
•Tiazolidindion (TZD)
21

Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator


Activated Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang terdapat
antara lain di sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek
menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein
pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di jaringan
perifer. Tiazolidindion meningkatkan retensi cairan tubuh sehingga
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung (NYHA FC III-IV)
karena dapat memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan faal
hati, dan bila diberikan perlu pemantauan faal hati secara berkala. Obat yang
masuk dalam golongan ini adalah Pioglitazone.

c. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan:


• Penghambat Alfa Glukosidase
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbs glukosa dalam usus
halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah
makan. Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan pada keadaan:
GFR≤30ml/min/1,73 m2, gangguan faal hati yang berat, irritable bowel
syndrome. Efek samping yang mungkin terjadi berupa bloating (penumpukan
gas dalam usus) sehingga sering menimbulkan flatus. Guna mengurangi efek
samping pada awalnya diberikan dengan dosis kecil. Contoh obat golongan ini
adalah Acarbose.
d. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase IV)
Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-
IV sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang
tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi
insulin dan menekan sekresi glucagon bergantung kadar glukosa darah
(glucose dependent). Contoh obat golongan ini adalah Sitagliptin dan
Linagliptin.
e. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter 2)
Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral
jenis baru yang menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal
22

ginjal dengan cara menghambat kinerja transporter glukosa SGLT-2. Obat


yang termasuk golongan ini antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin,
Dapagliflozin, Ipragliflozin. Dapagliflozin baru saja mendapat approvable
letter dari Badan POM RI pada bulan Mei 2015.
Tabel. 1 Profil obat antihiperglikemia oral yang tersedia di
Indonesia
23
24
25

2. Obat Antihiperglikemia Suntik


Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis
GLP-1 dan kombinasi insulin dan agonis GLP-1.
a. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan :
 HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolic
 Penurunan berat badan yang cepat
 Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
 Krisis Hiperglikemia
 Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
 Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard
akut, stroke)
 Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional yang
tidak terkendali dengan perencanaan makan
 Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
 Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
 Kondisi perioperative sesuai dengan indikasi

Jenis dan Lama Kerja Insulin


Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 5 jenis,
yakni:
 Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin)
 Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)
 Insulin kerja menengah (Intermediate acting insulin)
 Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)
 Insulin kerja ultra panjang (Ultra longacting insulin)
 Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah
dan kerja cepat dengan menengah (Premixed insulin)
26

 Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya


hipoglikemiaPenatalaksanaan hipoglikemia dapat dilihat
dalam bagian komplikasi akut DM
 Efek samping yang lain berupa reaksi alergi terhadap
insulin
27

b. Agonis GLP-1/Incretin Mimetic


Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan
pendekatan baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja pada
sel-beta sehingga terjadi peningkatan pelepasan insulin, mempunyai efek
menurunkan berat badan, menghambat pelepasan glukagon, dan menghambat
nafsu makan. Efek penurunan berat badan agonis GLP-1 juga digunakan
untuk indikasi menurunkan berat badan pada pasien DM dengan obesitas.
Pada percobaan binatang, obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta
pankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa
sebah dan muntah. Obat yang termasuk golongan ini adalah: Liraglutide,
Exenatide, Albiglutide, dan Lixisenatide. Salah satu obat golongan agonis
GLP-1 (Liraglutide) telah beredar di Indonesia sejak April 2015, tiap pen
berisi 18 mg dalam 3 ml. Dosis awal 0.6 mg perhari yang dapat dinaikkan ke
1.2 mg setelah satu minggu untuk mendapatkan efek glikemik yang
diharapkan. Dosis bisa dinaikkan sampai dengan 1.8 mg. Dosis harian lebih
dari 1.8 mg tidak direkomendasikan. Masa kerja Liraglutide selama 24 jam
dan diberikan sekali sehari secara subkutan.

3. Terapi Kombinasi
Pengaturan diet dan kegiatan jasmani merupakan hal yang utama
dalam penatalaksanaan DM, namun bila diperlukan dapat dilakukan
bersamaan dengan pemberian obat antihiperglikemia oral tunggal atau
kombinasi sejak dini. Pemberian obat antihiperglikemia oral maupun insulin
selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara
bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Terapi kombinasi obat
antihiperglikemia oral, baik secara terpisah ataupun fixed dose combination,
harus menggunakan dua macam obat dengan mekanisme kerja yang berbeda.
Pada keadaan tertentu apabila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai
dengan kombinasi dua macam obat, dapat diberikan kombinasi dua obat
28

antihiperglikemia dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan


klinis dimana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dapat
diberikan kombinasi tiga obat antihiperglikemia oral.
Kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan insulin dimulai dengan
pemberian insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang).
Insulin kerja menengah harus diberikan jam 10 malam menjelang tidur,
sedangkan insulin kerja panjang dapat diberikan sejak sore sampai sebelum
tidur. Pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat mencapai kendali
glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal
insulin basal untuk kombinasi adalah 6-10 unit. Kemudian dilakukan evaluasi
dengan mengukur kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Dosis insulin
dinaikkan secara perlahan (pada umumnya 2 unit) apabila kadar glukosa darah
puasa belum mencapai target. Pada keadaaan dimana kadar glukosa darah
sepanjang hari masih tidak terkendali meskipun sudah mendapat insulin basal,
maka perlu diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial, sedangkan
pemberian obat antihiperglikemia oral dihentikan dengan hati-hati

Gambar 6. Sasaran kendali glukosa darah


29

Penjelasan untuk algoritma Pengelolaan DM Tipe-2


1. Untuk pasien DM tipe 2 dengan HbA1c saat diperiksa < 7,5% maka
pengobatan dimulai dengan modifikasi gaya hidup sehat dan monoterapi oral.
2. Untuk pasien DM tipe 2 dengan HbA1c saat diperiksa z 7,5%, atau
pasien yang sudah mendapatkan monoterapi dalam waktu 3 bulan namun
tidak bisa mencapai target HbA1c < 7%, maka dimulai terapi kombinasi 2
macam obat yang terdiri dari metformin ditambah dengan obat lain yang
memiliki mekanisme kerja berbeda. Bila terdapat intoleransi terhadap
metformin, maka diberikan obat lain seperti tabel lini pertama dan ditambah
dengan obat lain yang mempunyai mekanisme kerja yang berbeda.
3. Kombinasi 3 obat perlu diberikan bila sesudah terapi 2 macam obat
selama 3 bulan tidak mencapai target HBA1C < 7%
4. Untuk pasien dengan HbA1c saat diperiksa > 9% namun tanpa
disertai dengan gejala dekompensasi metabolik atau penurunan berat badan
yang cepat, maka boleh diberikan terapi kombinasi 2 atau 3 obat, yang terdiri
dari metformin (atau obat lain pada lini pertama bila ada intoleransi terhadap
metformin) ditambah obat dari lini ke 2.
5. Untuk pasien dengan HbA1c saat diperiksa > 9% dengan disertai
gejala dekompensasi metabolik maka diberikan terapi kombinasi insulin dan
obat hipoglikemik lainnya.
6. Pasien yang telah mendapat terapi kombinasi 3 obat dengan atau
tanpa insulin, namun tidak mencapai target HÜA1C < 7% selama minimal 3
bulan pengobatan, maka harus segera dilanjutkan dengan terapi intensifikasi
insulin.
7. Jika pemeriksaan HbA1c tidak dapat dilakukan, maka keputusan,
pemberian terapi dapat menggunakan pemeriksaan glukosa darah.
8. HbA1c 7 % setara dengan rerata glukosa darah sewaktu 154 mg/dL.
HBA1C 7 - 7,49% setara dengan rerata glukosa darah puasa atau sebelum
makan 152 mg/dL, atau rerata glukosa darah post prandial 176 mg/dL. HbAlc
> 9% setara dengan rerata glukosa darah sewaktu 2 212 mg/dL.
30

2.7 Komplikasi Diabetes Melitus


1. Komplikasi Akut
a. Krisis Hiperglikemia
Ketoasidosis Diabetik (KAD) adalah komplikasi akut diabetes yang
ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600
mg/dl), disertai tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat.
Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/ml) dan terjadi peningkatan
anion gap. Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH) adalah suatu keadaan
dimana terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-1200 mg/dl),
tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat (330-
380 mOs/ml), plasma keton (+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat.5
b. Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah <70
mg/dl. Hipoglikemia adalah penurunan konsentrasi glukosa serum dengan
atau tanpa adanya gejala-gejala system otonom, seperti adanya whipple’s
triad:
- Terdapat gejala-gejala hipoglikemia
- Kadar glukosa darah yang rendah
- Gejala berkurang dengan pengobatan
Sebagian pasien dengan diabetes dapat menunjukkan gejala glukosa darah
rendah tetapi menunjukkan kadar glukosa darah normal. Di lain pihak, tidak
semua pasien diabetes mengalami gejala hipoglikemia meskipun pada
pemeriksaan kadar glukosa darahnya rendah. Penurunan kesadaran yang
terjadi pada penyandang diabetes harus selalu dipikirkan kemungkinan
disebabkan oleh hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh
penggunaan sulfonylurea dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonylurea dapat
berlangsung lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan
waktu kerja obat telah habis. Pengawasan glukosa darah pasien harus
dilakukan selama 24 – 72 jam, terutama pada pasien dengan gagal ginjal
kronik atau yang mendapatkan terapi dengan OHO kerja panjang.
Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hal yang harus dihindari,
31

mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya kemunduran mental


bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut sering lebih
lambat dan memerlukan pengawasan yang lebih lama.5

2. Komplikasi menahun
a. Makroangiopati
• Pembuluh darah jantung : penyakit jantung coroner
• Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer yang sering terjadi pada
penyandang DM. Gejala tipikal yang biasa muncul pertama kali adalah nyeri
pada saat beraktivitas dan berkurang saat istirahat (claudication intermittent),
namun sering juga tanpa disertai gejala. Ulkus iskemik pada kaki merupakan
kelainan yang dapat ditemukan pada penderita
• Pembuluh darah otak : stroke iskemik atau stroke hemoragik. 5
b. Mikroangiopati
• Retinopati diabetic
- Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko
atau memperlambat progresi retinopati. Terapi aspirin tidak mencegah
timbulnya retinopati
• Nefropati diabetic
- Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi
risiko atau memperlambat progress nefropati
- Untuk penderita penyakit ginjal diabetik, menurunkan asupan
protein sampai di bawah 0.8gram/kgBB/hari tidak direkomendasikan
karena tidak memperbaiki risiko kardiovaskuler dan menurunkan GFR
ginjal
• Neuropati
- Pada neuropati perifer, hilangnya sensasi distal merupakan factor
penting yang berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki yang
meningkatkan risiko amputasi
- Gejala yang sering dirasakan berupa kaki terasa terbakar dan bergetar
sendiri, dan terasa lebih sakit di malam hari
32

- Setelah diagnosis DMT2 ditegakkan, pada setiap pasien perlu


dilakukan skrinning untuk mendeteksi adanya polineuropati distal yang
simetris dengan melakukan pemeriksaan neurologi sederhana
(menggunakan monofilament 10 gram). Pemeriksaan ini kemudian
diulang paling sedikit setiap tahun.
- Pada keadaan polineuropati distal perlu dilakukan perawatan kaki
yang memadai untuk menurunkan risiko terjadinya ulkus dan amputasi.
- Pemberian terapi antidepresan trisiklik, gabapentin atau pregabalin
dapat mengurangi rasa sakit.
- Semua penyandang DM yang disertai neuropati perifer harus
diberikan edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki.5

2.8 Ulkus Diabetikum


A. Ulkus diabetikum
Kaki diabetik dengan ulkus merupakan komplikasi diabetes yang sering
terjadi. Ulkus kaki diabetk adalah luka kronik pada daerah di bawah
pergelangan kaki, yang meningkatkan morbiditas, mortalitas dan mengurangi
kualitas hidup. Ulkus kaki diabetik disebabkan oleh proses neuropati perifer,
penyakit arteri perifer ( peripheral arterial disease ), ataupun kombinasi
keduanya. Ulkus diabetika mudah berkembang menjadi infeksi karena
masuknya kuman atau bakteri dan adanya gula darah yang tinggi menjadi
tempat yang strategis untuk pertumbuhan kuman aerob maupun anaerob.1

B. Patogenesis ulkus diabetik


Salah satu akibat komplikasi kronik atau jangka panjang Diabetes mellitus
adalah ulkus diabetik. Ulkus diabetik disebabkan adanya tigafaktor yang
sering disebut Trias yaitu : Iskemik, Neuropati, dan Infeksi.
Pada penderita DM apabila kadar glukosa darah tidak terkendali akan
terjadi komplikasi kronik yaitu neuropati, menimbulkan perubahan jaringan
syaraf karena adanya penimbunan sorbitol dan fruktosa sehingga
33

mengakibatkan akson menghilang, penurunan kecepatan induksi, parastesia,


menurunnya reflek otot, atrofi otot, keringat berlebihan, kulit kering dan
hilang rasa, apabila diabetisi tidak hati-hati dapat terjadi trauma yang akan
menjadi ulkus diabetika. Iskemik merupakan suatu keadaan yang disebabkan
oleh karena kekurangan darah dalam jaringan, sehingga jaringan kekurangan
oksigen. Hal ini disebabkan adanya proses makroangiopati pada pembuluh
darah sehingga sirkulasi jaringan menurun yang ditandai olch hilang atau
berkurangnya denyut nadi pada arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki
menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal. Kelainan selanjutnya terjadi
nekrosis jaringan sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki
atau tungkai.
Aterosklerosis merupakan sebuah kondisi dimana arteri menebal dan
menyempit karena penumpukan lemak pada bagian dalam pembuluh darah.
Menebalnya arteri di kaki dapat mempengaruhi otot-otot kaki karena
berkurangnya suplai darah, sehingga mengakibatkan kesemutan, rasa tidak
nyaman, dan dalam jangka waktu lama dapat mengakibatkan kematian
jaringan yang akan berkembang menjadi ulkus diabetika.
Proses angiopati pada penderita Diabetes mellitus berupa penyempitan
dan penyumbatan pembuluh darah perifer, sering terjadi pada tungkai bawah
terutama kaki, akibat perfusi jaringan bagian distal dari tungkai menjadi
berkurang kemudian timbul ulkus diabetika.
Pada penderita DM yang tidak terkendali akan menyebabkan penebalan
tunika intima (hiperplasia membram basalis arteri) pada pembuluh darah besar
dan pembuluh kapiler bahkan dapat terjadi kebocoran albumin keluar kapiler
sehingga mengganggu distribusi darah ke jaringan dan timbul nekrosis
jaringan yang mengakibatkan ulkus diabetika.
Eritrosit pada penderita DM yang tidak terkendali akan meningkatkan
HBAIC yang menyebabkan deformabilitas eritrosit dan pelepasan oksigen di
jaringan oleh eritrosit terganggu, sehingga terjadi penyumbatan yang
menggangu sirkulasi jaringan dan kekurangan oksigen mengakibatkan
kematian jaringan yang selanjutnya timbul ulkus diabetika.
34

Peningkatan kadar fibrinogen dan bertambahnya reaktivitas trombosit


menyebabkan tingginya agregasi sel darah merah sehingga sirkulasi darah
menjadi lambat dan memudahkan terbentuknya trombosit pada dinding
pembuluh darah yang akan mengganggu sirkulasi darah.
Penderita Diabetes mellitus biasanya kadar kolesterol total, LDL,
Tngliserida plasma tinggi. Buruknya sirkulasi ke sebagian besar jaringan akan
menyebabkan hipoksia dan cedera jaringan, merangsang reaksi peradangan
yang akan merangsang terjadinya aterosklerosis.
Perubahan/inflamasi pada dinding pembuluh darah, akan terjadi
penumpukan lemak pada lumen pembuluh darah, konsentrasi HDL
(highdensity-lipoprotein) sebagai pembersih plak biasanya rendah. Adanya
faktor risiko lain yaitu hipertensi akan meningkatkan kerentanan terhadap
aterosklerosis. Konsekuensi adanya aterosklerosis yaitu sirkulasi jaringan
menurun sehingga kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal. Kelainan
selanjutnya terjadi nekrosis jaringan sehingga timbul ulkus yang biasanya
dimulai dari ujung kaki atau tungkai.
Pada penderita DM apabila kadar glukosa darah tidak terkendali
menyebabkan abnormalitas lekosit sehingga fungsi khemotoksis di lokasi
radang terganggu, demikian pula fungsi fagositosis dan bakterisid menurun
sehingga bila ada infeksi mikroorganisme sukar untuk dimusnahkan oleh
sistem phlagositosis-bakterisid intra selluler. Pada penderita ulkus diabetika,
50 % akan mengalami infeksi akibat adanya glukosa darah yang tinggi, yang
merupakan media pertumbuhan bakteri yang subur. Bakteri penyebab infeksi
pada ulkus diabetika yaitu kuman aerobik Staphylokokus atau Streptokokus
serta kuman anaerob yaitu Clostridium perfringens, Clostridium novy, dan
Clostridium septikum. Patogenesis ulkus diabetika pada penderita Diabtes
mellitus pada bagan berikut:
35

Gambar 7. Pathogenesis ulkus diabetika6


36

C. Klasifikasi Klasifikasi Wagner-Meggit digunakan secara luas untuk


mengklasifikasi lesi pada kaki diabetes.1

C. Diagnosis Pemeriksaan Fisik


Evaluasi penderita diabetes dengan luka pada kaki terbagi tiga, yakni:
• Keadaan umum secara keseluruhan (misalnya: fungsi kognitif,
metabolik, status hidrasi, dll);
• Ekstremitas atau kaki yang terluka (misalnya: adanya neuropati atau
insufisiensi vaskuler); dan
• Daerah luka yang terinfeksi.
Diagnosis klinis dapat ditegakkan dengan ditemukannya minimal 2 tanda
lokal inflamasi, yaitu eritema, kalor, nyeri, edema, dan sekret purulen. Tanda
lain (sekunder) infeksi meliputi adanya jaringan nekrosis, granulasi, sekret
non-purulen, bau busuk, atau luka yang gagal sembuh dengan perawatan
adekuat.
Ekstremitas
Ulkus diabetes cenderung terjadi di daerah tumpuan beban terbesar,
seperti tumit, area kaput metatarsal di telapak, ujung jari yang menonjol (jari
pertama dan kedua). Ulkus di malleolus terjadi karena sering mendapat
trauma. Kelainan lain yang dapat ditemukan seperti callus hipertropik, kuku
rapuh/pecah, kulit kering, hammer toes, dan fissure.
37

c. Penatalaksanaan
Untuk pengelolaan kaki diabetes dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar
yaitu (1) pencegahan primer (pencegahan terjadinya kaki diabetes dan
terjadinya ulkus atau sebelum terjadinya perlukaan pada kulit); (2)
pencegahan sekunder (pencegahan agar tidak terjadi kecacatan yang lebih
parah/ pencegahan dan pengelolaan ulkus / gangren diabetik yang sudah
terjadi3
• Pencegahan Primer
Penyuluhan mengenai terjadinya kaki diabetes sangat penting untuk
pencegahan kaki diabetes. Penyuluhan ini harus selalu dilakukan pada setiap
kesempatan pertemuan dengan penyandang DM dan menyempatkan untuk
selalu melihat dan memeriksa kaki penyandang DM. Edukasi perawatan kaki
harus diberikan secara rinci dan teratur pada semua orang dengan ulkus
maupun neuropati perifer atau peripheral arterial disease
• Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki termasuk di pasir dan air • Periksa
kaki setiap hari dan laporkan pada dokter apabila ada kulit terkelupas atau
daerah kemerahan atau luka
• Periksa alas kaki dari benda asing sebelum memakainya • Selalu
menjaga kaki dalam keadaan bersih dan mengoleskan krim pelembab ke kulit
yang kering. Pengelolaan kaki diabetes terutama ditujukan untuk pencegahan
terjadinya tukak disesuaikan dengan keadaan resiko kaki.Keadaan kaki
penyandang diabetes digolongkan berdasarkan resiko terjadinya dan resiko
besarnya masalah yang mungkin timbul. Penggolongan kaki diabetes
berdasarkan resiko terjadinya masalah (Frykberg)3
1. Sensasi Normal Tanpa Deformitas.
2. Sensasi Normal Dengan Deformitas atau Tekanan Plantar Tinggi
3. Insensitivitas Tanpa Deformitas.
4. Iskemia Tanpa Deformitas.
5. Kombinasi (Complicated):
a. Kombinasi insensitivitas, iskemia, dan atau deformitas
b. Riwayat adanya tukak, deformitas Charcot.
38

Untuk kaki yang kurang merasa / insensitif (kategori 3 dan 5) alas kaki
perlu diperhatikan benar untuk melindungi kaki yang insensitif tersebut Kalau
sudah ada deformitas (kategori 2 dan 5) perlu perhatian khusus mengenai
sepatu / alas kaki yang dipakai, untuk meratakan penyebaran tekanan pada
kaki.Untuk kasus dengan kategori resiko 4 (permasalahan vaskular), latihan
kaki perlu diperhatikan benar untuk memperbaiki vaskularisasi kaki.

• Pencegahan Sekunder (Pengelolaan Holistik Ulkus / Gangren Diabetik)


Untuk optimalisasi pengelolaan kaki diabetes, pada setiap tahap harus diingat
berbagai faktor yang harus dikendalikan yaitu:
b. Kontrol Metabolik (Metabolic Control) Keadaan umum pasien harus
diperhatikan, kadar glukosa darah harus diusahakan agar selalu senormal
mungkin, status nutrisi harus diperhatikan dan diperbaiki. Berbagai hal lain
harus juga diperhatikan dan diperbaiki Seperti kadar albumin serum, Hb, dan
derajat oksigenasi jaringan, demikian juga fungsi ginjalnya.
c. Kendali vaskular (vascular control): Perbaikan asupan vaskular (dengan
operasi atau angioplasti), biasanya dibutuhkan pada keadaan ulkus iskemik.
d. Kendali infeksi(infection control): Pengobatan infeksi harus diberikan
secara agresif jika terlihat tanda-tanda klinis infeksi. Kolonisasi pertumbuhan
organisme pada hasil usap, namun tidak disertai tanda-tanda klinis, bukan
merupakan infeksi.
e. Kendali luka (wound control): Pembuangan jaringan terinfeksi dan
nekrosis secara teratur. Perawatan lokal pada luka, termasuk kontrol infeksi,
dengan konsep TIME: 1. Tissue debridement (membersihkan luka dari
jaringan mati. 2. Inflammation and Infection Control (kontrol inflamasi dan
infeksi) 3. Moisture Balance (menjaga keseimbangan kelembaban). 4.
Epithelial edge advancement (mendekatkan tepi epitel).
f. Kendali tekanan (pressure control): Mengurangi tekanan karena tekanan
yang berulang dapat menyebabkan ulkus, sehingga harus dihindari, Hal itu
sangat penting dilakukan pada ulkus neuropatik. Pembuangan kalus dan
39

memakai sepatu dengan ukuran yang sesuai diperlukan untuk mengurangi


tekanan.
g. Penyuluhan (education control): Penyuluhan yang baik. Seluruh pasien
dengan diabetes perlu diberikan edukasi mengenai perawatan kaki secara
mandiri.
BAB III

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. I
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 74 tahun
Alamat : JL. Bukit Kabur
Agama : Islam
No Rekam Medis : 39 48 16
Tanggal Masuk : 07 November 2021
Masuk RS Melalui : IGD

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan pada tanggal : 08 November 2021 Pukul : 08.00
WIB
Resume anamnesis :
 Keluhan utama : bengkak pada jari kaki sebelah kanan
Resume riwayat penyakit sekarang :
-Pasien datang dengan keluhan kaki kanan bengkak sejak 4 hari yang lalu.
Diperberat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Awalnya pasien
demam sejak 5 hari yang lalu, demam hilang timbul kemudian kaki
bengkak dan pecah mengeluarkan nanah. Nyeri (+) kemerahan (+)
- Kaki pasien terasa kesemutan dan juga kebas
-Pasien juga mengeluhkan badan terasa lemas sejak 3 hari yang lalu
semakin berat 1 hari sebelum masuk rumah sakit.
-Pasien mengatakan mudah haus yang menyebabkan sering buang air
kecil
- Pasien mengatakan mudah lapar dan frekuensi makan menjadi sering
-Pasien mengatakan mengalami penurunan berat badan

40
41

-Mual (-) muntah (-) BAB dan BAK lancar , sesak (-)

 Riwayat Penyakit Dahulu : HT (-) DM 4 tahun yang lalu


 Riwayat Pengobatan : tidak rutin minum obat DM
Pasien pernah dirawat karena DM 4 tahun yang lalu
 Riwayat Penyakit Keluarga :
 Ada keluarga yang sakit Diabetes Melitus, yakni adik kandung pasien
 Riwayat Pekerjaan, Ekonomi, Kejiwaan, dan Kebiasaan :
Pasien tidak merokok, sering minum air teh manis 3 kali dalam 1 hari

III. PEMERIKSAAN TANDA VITAL


Dilakukan pada tanggal 8 November 2021
• Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
• Kesadaran : Komposmentis, cooperatif
• Tinggi Badan : 155 cm
• Berat Badan : kg
• Status Gizi :
• Tekanan darah : 130/90 mmHg
• Denyut Nadi : 74x/menit
• Suhu tubuh : 37°C
• Frekuensi nafas : 24x/menit

IV . PEMERIKSAAN FISIK DIAGNOSTIK :

Status Lokalis :
42

Ulkus pada regio pedis dextra


43

• Pemeriksaan Kepala
-Ukuran dan bentuk kepala : Normal
-Wajah : Simetris
-Rambut : putih
44

• Pemeriksaan Mata
-Kelopak : Edem palpebra (-), Ptosis (-)
-Konjungtiva : Tidak anemis
-Sklera : Tidak ikterik
-Kornea : Jernih
-Pupil : Isokor

• Pemeriksaan Leher
-Inspeksi : Tidak terdapat tanda – tanda peradangan
-Palpasi : Nyeri tekan (-), massa (-)
-Pemeriksaan Trakea : Berada ditengah
-Pemeriksaan kelenjar tiroid : Tidak terdapat pembesaran
-Pemeriksaan tekanan vena jugularis : 5 ± 2 cmH2O

• Pemeriksaan Thoraks
Anterior :
- Inspeksi : • Normochest • Retraksi (-) • Pergerakan dinding dada simetris
kanan dan kiri
- Palpasi : • Nyeri (-) • Krepitasi (-) • Vokal fremitus taktil simetris kanan dan
kiri
- Perkusi : • Sonor pada kedua lapang paru
- Auskultasi :
• Suara nafas vesikuler (+/+) • Rhongki (-/-) • Wheezing (-/-)
Posterior
- Inspeksi : Simetris kanan dan kiri
- Palpasi : Tidak terdapat keterlambatan gerak
- Perkusi
: Sonor seluruh lapangan paru
- Auskultasi :
45

• Suara nafas vesikuler • rhonki (-/-) • wheezing (-/-)

• Jantung
- Inspeksi : Ictus kordis tidak terlihat
- Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
- Perkusi :
- Batas atas : ICS II linea parasternalis sinistra
- Batas kanan : ICS IV linea parasternalis dextra
- Batas kiri : ICS V linea midclavicularis sinistra
- Auskultasi : • Bunyi jantung S1 dan S2 reguler • Murmur (-) • Gallop (-)
• Pemeriksaan Abdomen
- Inspeksi : • Tampak cembung • Vena kolateral (-) • Tanda-tanda peradangan
(-)
- Auskultasi : Bising usus (+)
- Perkusi : Tympani pada seluruh lapang abdomen
- Palpasi : • Soepel • Nyeri tekan epigastrium (-) • Hepatomegali (-)
- Pemeriksaan ginjal :
- Pemeriksaan CVA : CVA (-/-)
- Pemeriksaan hepar : Tidak teraba pembesaran
- Pemeriksaan Lien : Pembesaran (-)
- Pemeriksaan asites : Shifting dullness (-), undulasi (-)
• Pemeriksaan Ekstremitas

5 5
5 5

CRT : < 2 detik


Akral : Teraba hangat
46

V. Resume Pemeriksaan Fisik : Pada pemeriksaan fisik didapatkan ulkus


pada regio pedis dextra

VI. Diagnosis dan Diagnosis Banding


Diagnosis Sementara : DM tipe 2 + Ulkus Diabetikum Pedis Dextra.
Diagnosis Banding : • DM tipe 1 • selultis
VII. Tindakan
VII.A. Tindakan Diagnostik /Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Hematologi
Hemoglobin : 10,7gr/dl
Leukosit : 9.500 mm3
Trombosit : 223.000 mm3
Eosinofil : 2 %
Basofil : 0 %
Neu. Batang : 0 %
Neu. Segment : 84 %
Limfosit : 10 %
Monosit : 4 %
Jumlah eritrosit : 3.710.000 mm3
MCV : 82 fl
MCH : 28 pg
MCHC : 34 %
Hematokrit : 30 %
RDW : 12.5 %
2. Pemeriksaan gula darah
KGD AD RANDOM : 486 mg/dl
3. Faal ginjal
Ureum : 29 mg/dl
creatinin : 1.0 mg/dl
4. Pemeriksaan Rontgen Foto thorax : • Cor tampak membesar
47

• Tidak tampak infiltrate

VII.B Tindakan Terapi/ tatalaksana : Tanggal 07 November 2021 (IGD)


➢ O2 NK
➢ IVFD RL 20 tpm
➢inj Ranitidine
➢inj Ketorolac 1 amp
➢ Inj. Ceftriaxon 2x1g
➢ Inj. Ranitidine 2x1 Iv
➢Novorapid sliding scale /6jam
➢ Gabapentin 1x300 mg
➢ Mecobalamin 3x1
➢Cilostazol 2x50 mg
➢ Rawat luka dengan kompres Nacl 0,9%/hari
➢ Sliding scale GDR/ 6 jam
<150 Insulin tidak diberikan
150-200  8 UI
201 - 200  12 UI
251 – 300  16 UI
>300  20 UI

VIII. Prognosis
Prognosis pada pasien ini dibagi atas :

• Ad vitam : Dubia ad bonam


• Ad fungsionam : Dubia ad bonam
• Ad sanationam : Dubia ad bonam
48

LEMBAR FOLLOW UP
Tanggal jam Keluhan T HR RR TD PLANNING
periksa

08/11/2021 08.0 Luka 23x/menit 120/80 -Diet DM DD


0 pada kaki 37,2°C 83x/menit mmHg 1700 kkal
kanan, -IVFD RL 20
nyeri Tpm
kepala, - ceftriaxone
kaki 2x1
kebas -ranitidin 2x1
-gabapentin
1x300
-mecobalamin
3x1
-cilostazol
2x50mg
-paracetamol
3x1
09/11/2021 08.3 Luka 35,9°C 60x/menit 20x/menit 110/70 Diet DM DD
0 pada kaki mmHg 1700 kkal
kanan -IVFD RL 20
Tpm
- ceftriaxone
2x1
-ranitidin 2x1
49

-gabapentin
1x300
-mecobalamin
3x1
-cilostazol
2x50mg
-paracetamol
3x1
09/11/2021 12.0 Luka 36,0°C 82x/menit 20x/menit 110/70 -Mecobalamin
0 pada kaki mmHg -Pct tab 3x1
kanan, Noverapid 20
badan UI
lemas
50

BAB IV
PEMBAHASAN

Tn. IS usia 73 tahun didiagnosis diabetes mellitus tipe 2 dan ulkus


diabetikum berdasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Dari anamnesis didapatkan pasien mengeluhkan kaki kanan pasien
bengkak sejak 3 hari yang lalu Diperberat sejak 1 hari sebelum masuk rumah
sakit. Awalnya pasien demam sejak 5 hari yang lalu, demam hilang timbul
kemudian kaki bengkak dan pecah mengeluarkan nanah terdapat nyeri (+) dan
kemerahan (+). Selain itu pasien mengeluhkan lemas sejak 3 hari yang lalu
semakin berat 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengeluhkan mudah
haus sehingga membuat sering buang air kecil. Pasien juga mengeluhkan sering
lapar.
Pasien mengaku 4 tahun yang pernah dirawat dirumah sakit karna luka
dikaki dan diabetes mellitus. Pasien mengaku tidak rutin meminum obat DM.
dalam mendiagnosis diabetes mellitus akan ditemukan gejala khas yang terdiri
dari polyuria, polydipsia dan penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas.
Selain itu ditemukan juga gejala tidak khas yaitu lemas, kesemutan, luka yang
sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria dan pruritus pada vilva
vagina. Selain itu pemeriksaan gula darah yang dapat dilakukan dengan gula
darah puasa dan gula darah sewaktu.
Dari hasil anamnesis yang dilakukan, pasien mengeluhkan gejala khas dan
tidak khas pada diabetes mellitus tipe 2 yaitu polidipsi, polyuria, polifagia,
penurunan berat badan,kesemutan,lemas. Pemeriksaan penunjang didapatkan gula
darah sewaktu yaitu 486mg/dl. Penegakan ulkus diabetikum berdasarkan
anamnesis yaitu terdapat luka pada kaki kanan pasien dengan nanah dan terdapat
nyeri. Pasien juga memiliki ulkus dikaki kanan sejak 4 tahun yang lalu.
51
DAFTAR PUSTAKA

1. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di


Indonesia. 2019. PERKENI.
2. Infodatin Diabetes, 2020. Situasi dan Analisis Diabetes. Available
from:https://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infod
atin/infodatin -diabetes.pdf
3. American Diabetes Association (ADA), 2019. Standars of Medical Care
in Diabetes. Diabetes Care; Vol 41(1). Available from :
https://diabetesed.net/wp-content/uploads/2017/12/2018-ADAStandards-
of-Care.pdf
4. Schwatrz SS, et al. 2016. The time is right for a new classification system
for diabetes rationale and implications of the -cell-centric classification
schema. Diabetes Care
5. Purnamasari, D. 2015. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
(JILID II). Jakarta : Interna Publishing.
6. I, Muhartoni., Sari, Ratna Novalia. 2017. Ulkus Kaki Diabetik Kanan
dengan Diabetes Mellitus Tipe 2. Junral Agromed Unila. 4(1). 133-139

52

Anda mungkin juga menyukai