Anda di halaman 1dari 53

ABSES PARU

1.
2.
3.
4.

Abses paru adalah suatu kavitas dalam jaringan paru yang berisi material purulent berisikan sel
radang akibat proses nekrotik parenkim paru diakibatkan oleh infeksi .
Bila diameter kavitas < 2 cm dan jumlahnya banyak (multiple small abscesses)
dinamakan necrotising pneumonia. Abses besar atau abses kecil mempunyai manifestasi klinik
berbeda namun mempunyai predisposisi yang sama dan prinsip diferensial diagnose sama pula.
Abses timbul karena aspirasi benda terinfeksi, penurunan mekanisme pertahanan tubuh atau
virulensi kuman yang tinggi. Pada umumnya kasus Abses paru ini berhubungan dengan karies
gigi, epilepsi tak terkontrol, kerusakan paru sebelumnya dan penyalahgunaan alkohol. Pada
negara-negara maju jarang dijumpai kecuali penderita dengan gangguan respons imun seperti
penyalahgunaan obat, penyakit sistemik atau komplikasi dari paska obstruksi. Pada beberapa
studi didapatkan bahwa kuman aerob maupupn anaerob dari koloni oropharing yang sering
menjadi penyebab abses paru. (1, 2, 3, 6)
Penelitian pada penderita Abses paru nosokonial ditemukan kuman aerob seperti golongan
enterobacteriaceae yang terbanyak. Sedangkan penelitian dengan teknik biopsi perkutan atau
aspirasi transtrakeal ditemukan terbanyak adalah kuman anaerob. (4, 6, 7)
Pada umumnya para klinisi menggunakan kombinasi antibiotik sebagai terapi seperti
penisilin, metronidazole dan golongan aminoglikosida pada abses paru. Walaupun masih efektif,
terapi kombinasi masih memberikan beberapa permasalahan sebagai berikut : (4)
Waktu perawatan di RS yang lama
Potensi reaksi keracunan obat tinggi
Mendorong terjadinya resistensi antibiotika.
Adanya super infeksi bakteri yang mengakibatkan Nosokonial Pneumoni.
Terapi ideal harus berdasarkan penemuan kuman penyebabnya secara kultur dan
sensitivitas. Pada makalah ini akan dibahas Abses paru mulai patogenesis, terapi dan prognosa
sebagai penyegaran teori yang sudah ada.

I. EPIDEMIOLOGI
1. Faktor Predisposisi
Ada bebreapa kondisi yang menyebabkan atau mendorong terjadinya abses paru. Janet et al
tahun 1995 melakukan penelitian di rumah perawatan intensive RS di Afrika Selatan, didapatkan
beberapa faktor predisposisi abses paru seperti berikut : (1, 2, 3, 4, 7)
Tabel 1. Faktor predisposisi Abses paru
No
Faktor Predisposisi
1
Alkoholik
2
Aspirasi benda asing
3
Karies gigi
4
TB paru lama
5
Epilepsi
6
Penyalahgunaan obat
7
Penyakit paru obstuktif
8
SLE
9
Ca Bronkogenik
10
Nihil
Tabel di kutip dari Chest/108/4/Okt95 hal 938.
ASHER DAN BEAUDRY tahun 1992 melaporkan beberapa faktor predisposisi Abses paru yang
terjadi pada anak-anak sebagai berikut :
Tabel 2. Faktor predisposisi abses paru pada anak-anak.
Contoh

1. Condition
Infeksi berat

Bronchopneumonia
Meningitis
Osteomyelitis
Septicemia
Infected aczema
Septic arthritis
Abdominal wall abscess
Peritonsillar abscess
Endocarditis

Immunodeficiency atau
immunosuppression
disorder

Measles
Burns
Prematurity
Blood dyscrasias
Leukimia

Hepatitis
Dysgammaglobulinemia
Nephrotic syndrome
Chronic granulamatous disease
Steroid therapy
Malnutrition
Conditiopn leading to
repeated aspiration

Seozure disorders
Mental deficiency
Altered consciousness
Dysphagia
Priodonitis, Carries, gingiva desease
Riley-Day syndrome

Yang lain
{miscellcellaneous jarang)

Cystic fibrosis
Misplaced central nervouse catheter
Alpha-antitrypsin deficicency
Foreign body in respiration tract
Eroded foreign body in the esophagus

Tabel 2 dikutip dari (1)


Tabel 1. Presdeposisi factor dari Abses Paru
No
Presdeposisi factor dari Abses Paru
1
Aspirasi dari oropring
2
Obstruksi bronkial
3
Pneumonia
4
Blood-borne infection
5
Infark paru yang terinfeksi
6
Ruda paksa (trauma)
7
Penyebaran transdiapragmatika
Tabel 2. Diferensial Diagnosis Abses Paru
No
Diferensial Diagnosis Abses Paru
1
Cavitas Tumor
2
Bula atau kista bronkial
3
Bronkiektasa seculea
4
Aspersiloma
5
Wegeners gramulomatasi
6
Kista hydaditosa
7
Pneumekoniosis caplans sipidron
8
Cavitas rheumatoid nodule
9
Gas fluid level in oesopkagus, Stomach or bowel
Aspirasi dari derah orofaring yang paling sering penyebab terjadinya abses. Freton predesposisi
yang menyebabkan aspirasi orofaring seperti tabel III, kadang-kadang satu orang lebih dari satu
faktor.

Tabel 3. Presdeposisi Aspirasi Orofaring


Presdeposisi Aspirasi Orofaring
Alkohol
drug abuse
epilepsi
atuastesi

ganguan kesadaran

ganguan inervasi otot

Infeksi nasal

faring
laring
oesepagos
penyakit sinus

Infeksi oral

dental carries
ginigival desease

Infeksi farigeal

pouch

Infeksi caryugeal

tumor

Infeksi ocsepekageal

stricture
hiatus kernea

obstruksi Bronkus disebabkan oleh tanda umumnya keganasan, atau benda asing
Tabel 3 dikutip dari (1)
2. Etiologi
Kuman atau bakteri penyebab terjadinya Abses paru bervariasi sesuai dengan peneliti dan teknik
penelitian yang digunakan. Finegolal dan fisliman mendapatkan bahwa organisme penyebab
abses paru lebih dari 89 % adalah kuman anaerob. Asher dan Beandry mendapatkan bahwa pada
anak-anak kuman penyebab abses paru terbanyak adalah stapillococous aureus (1).
Dibawah ini ada 3 tabel kuman penyebab abses dari 3 penelitian yang berbeda.
Tabel 3. Spektrum organisme penyebab Abses paru menurut Asher dan Beaudry
Type of Abscess
Organisms
Primary
a. Staphylococcus aureus
Haemophilus influenzae types B, C, F, and nontypable
Streptococcus viridans, pneumoniae
Alpha-hemolytic streptococci

Secondary

Neisseria sp.
Mycoplasma pneumoniae
Aerobes
1)

All those listed for primary abscess

Haemophilus aphropilus, parainfluenzae


Streptococcus group B, intermedius
Klebsiella penumoniae
Escherichia coli, freundii
Pseudomonas pyocyanea, aeruginosa, denitrificsns
Aerobacter aeruginosa
Candida
Rhizopus sp.
Aspergillus fumigatus
Nocardia sp
Eikenella corrodens
Serratia marcescens
Anaerobes
2) Peptostreptococcus constellatus, intermedius,
saccharolyticus
3) Veillonella sp., alkalenscenens
4) Bacteroides melaninogenicus, oralis, fragilis,
corrodens, distasonis, vulgatus, ruminicola,
asaccharolyticus
5) Fusobacterium necrophorum, nucleatum
6) Bifidobacterium sp.

Tabel 3 dikutip dari (1)


Tabel 4. Spektrum isolasi bakteri Abses paru akut menurut Hammond et al.
No. of Isolates
Anaerobs
Provetella sp
17
Porphyromonas sp
7
Unspectiated pigmented anaerobs
4
4
a)
Bacteroides sp
4
4
Fusobacterium sp
7
Anaerobic cocci
1

%
22
9
5
5
5
5
9
1

Microaerophilic streptococci
Veilonella sp
Clostridium sp
Nonsporing Gran-positive anaerobes
Mixed anaerobes
total
Aerobs
b)

Viridans streptococci

c)

Staphylococcus sp

d)

Corynebacterium sp

1
9
1
59

1
11
1
74

7
5
3
2
1
2
20

9
6
4
3
1
3
26

Klebsiella sp
Haemophilus sp
Gram-negative cocci
Total
Tabel 4 dikutip dari (6)
Tabel 5. Organisme dan kondisi yang berhubungan dengan Abses paru menurut Finegold dan
Fishmans
(1) Infectious
Noninfectious and
Predisposing Conditions
Bacteria
Anatomis
Anaerobes; Staphylococcus aureus,
Fluid-filled cysts, bland infraction
Enterbacteriaceae, Pseudomanas
Bronchiectasis
aeruginosa, streptocicci, Legonella spp,
Vasculitis
Nocardia asteroides, Burkholdaria
Goodpastures syndrome,
pseudomallei
Wegeners granulomatosis,
Mycobacteria (often multifocal)
periateritis
M. tuberculosis, M. avium complex, M.
Obstruction (neoplasm, foreign
kansasii, other mycobacteria
body)
Fungi
Pulmonary sequestration
Aspergillus spp, Mucoraceae, Histoplasma
Pulmonary contusion
capsulatum, Pneumocystis carinii,
Carcinoma
Coccidioides immitis, Blastocystis hominis
Parasites
Entamoeba histolytical, Paragonimus
westermani, Stronglyoides stercoralis
(post-obstructive)
Empyema (with air-fluid level)
Septic embolism (endocarditis)
Tabel 5 dikutip dari (4)
3. Insidens

Angka kejadian Abses Paru berdasarkan penelitian Asher et al tahun 1982 adalah 0,7 dari
100.000 penderita yang masuk rumah sakit hampir sama dengan angka yang dimiliki oleh The
Childrens Hospital of eastern ontario Kanada sebesar 0,67 tiap 100.000 penderita anak-anak
yang MRS. Dengan rasio jenis kelamin laki-laki banding wanita adalah 1,6 : 1 (1, 8).
Angka kematian yang disebabkan oleh Abses paru terjadi penurunan dari 30 40 % pada era
preantibiotika sampai 15 20 % pada era sekarang (7).

II. PATHOFISIOLOGI
1. PATHOLOGI
Abses paru timbul bila parenkim paru terjadi obstruksi, infeksi kemudian proses supurasi dan
nekrosis.
Perubahan reaksi radang pertama dimulai dari suppurasi dan trombosis pembuluh darah lokal,
yang menimbulkan nekrosis dan likuifikasi. Pembentukan jaringan granulasi terjadi mengelilingi
abses, melokalisir proses abses dengan jaringan fibrotik. Suatu saat abses pecah, lalu jaringan
nekrosis keluar bersama batuk, kadang terjadi aspirasi pada bagian lain bronkus terbentuk abses
baru. Sputumnya biasanya berbau busuk, bila abses pecah ke rongga pleura maka terjadi
empyema (2, 3, 10).
2. PATHOFISIOLOGI
Garry tahun 1993 mengemukakan terjadinya abses paru disebutkan sebagai berikut : (5)
Merupakan proses lanjut pneumonia inhalasi bakteria pada penderita dengan faktor predisposisi.
Bakteri mengadakan multiplikasi dan merusak parenkim paru dengan proses nekrosis. Bila
berhubungan dengan bronkus, maka terbentuklah air fluid level bakteria masuk kedalam
parenkim paru selain inhalasi bisa juga dengan penyebaran hematogen (septik emboli) atau
dengan perluasan langsung dari proses abses ditempat lain (nesisitatum) misal abses hepar.
b. Kavitas yang mengalami infeksi. Pada beberapa penderita tuberkolosis dengan kavitas, akibat
inhalasi bakteri mengalami proses keradangan supurasi. Pada penderita emphisema paru atau
polikisrik paru yang mengalami infeksi sekunder.
c. Obstruksi bronkus dapat menyebabkan pneumonia berlajut sampai proses abses paru.
Hal ini sering terjadi pada obstruksi karena kanker bronkogenik. Gejala yang sama juga terlihat
pada aspirasi benda asing yang belum keluar. Kadang-kadang dijumpai juga pada obstruksi
karena pembesaran kelenjar limphe peribronkial.
d. Pembentukan kavitas pada kanker paru.
Pertumbuhan massa kanker bronkogenik yang cepat tidak diimbangi peningkatan suplai
pembuluh darah, sehingga terjadi likuifikasi nekrosis sentral. Bila terjadi infeksi dapat terbentuk
abses.
a.

III. MANIFESTASI KLINIS.


1. Gejala klinis : (1, 2, 3, 4, 5, 6)

a.
b.
c.
d.
e.
f.

Gejala klinis yang ada pada abses paru hampir sama dengan gejala pneumonia pada umumnya
yaitu:
Panas badan
Dijumpai berkisar 70% - 80% penderita abses paru. Kadang dijumpai dengan temperatur >
400C.
Batuk, pada stadium awal non produktif. Bila terjadi hubungan rongga abses dengan bronkus
batuknya menjadi meningkat dengan bau busuk yang khas (Foetor ex oroe (40-75%).
Produksi sputum yang meningkat dan Foetor ex oero dijumpai berkisar 40 75% penderita
abses paru.
Nyeri dada ( 50% kasus)
Batuk darah ( 25% kasus)
Gejala tambahan lain seperti lelah, penurunan nafsu makan dan berat badan.
Pada pemeriksaan dijumpai tanda-tanda proses konsolidasi seperti redup, suara nafas yang
meningkat, sering dijumpai adanya jari tabuh serta takikardi.
2. Gambaran Radiologis (1, 2, 9)
Pada foto torak terdapat kavitas dengan dinding tebal dengan tanda-tanda konsolidasi
disekelilingnya. Kavitas ini bisa multipel atau tunggal dengan ukuran 2 20 cm.
Gambaran ini sering dijumpai pada paru kanan lebih dari paru kiri. Bila terdapat hubungan
dengan bronkus maka didalam kavitas terdapat Air fluid level. Tetapi bila tidak ada hubungan
maka hanya dijumpai tanda-tanda konsolidasi (opasitas).
3. Pemeriksaan laboratorium (2, 3, 5)

Pada pemeriksaan darah rutin. Ditentukan leukositosis, meningkat lebih dari 12.000/mm3 (90%
kasus) bahkan pernah dilaporkan peningkatan sampai dengan 32.700/mm3. Laju endap darah
ditemukan meningkat > 58 mm / 1 jam.
Pada hitung jenis sel darah putih didapatkan pergeseran shit to the left
b. Pemeriksaan sputum dengan pengecatan gram tahan asam dan KOH merupakan pemeriksaan
awal untuk menentukan pemilihan antibiotik secara tepat.
c. Pemeriksaan kultur bakteri dan test kepekaan antibiotikan merupakan cara terbaik dalam
menegakkan diagnosa klinis dan etiologis.
a.

IV. DIAGNOSA
1.

2.
3.
4.
5.

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Diagnosa abses paru tidak bisa ditegakkan hanya berdasarkan kumpulan gejala seperti
pneumonia dan pemeriksaan phisik saja.
Diagnosa harus ditegakkan berdasarkan : (1, 2, 3, 4, 5, 6)
Riwayat penyakit sebelumnya.
Keluhan penderita yang khas misalnya malaise, penurunan berat badan, panas badan yang
ringan, dan batuk yang produktif.
Adanya riwayat penurunan kesadaran berkaitan dengan sedasi, trauma atau serangan epilepsi.
Riwayat penyalahgunaan obat yang mungkin teraspirasi asam lambung waktu tidak sadar atau
adanya emboli kuman diparu akibat suntikan obat.
Hasil pemeriksaan fisik yang mendukung adanya data tentang penyakit dasar yang mendorong
terjadinya abses paru.
Pemeriksaan laboratorium sputum gram, kultur darah yang dapat mengarah pada organisme
penyebab infeksi.
Gambaran radiologis yang menunjukkan kavitas dengan proses konsolidasi disekitarnya, adanya
air fluid level yang berubah posisi sesuai dengan gravitasi.
Bronkoskopi
Fungsi Bronkoskopi selain diagnostik juga untuk melakukan therapi drainase bila kavitas tidak
berhubungan dengan bronkus.
Diagnosa Banding (2) :
Karsimoma bronkogenik yang mengalami kavitasi, biasanya dinding kavitas tebal dan tidak rata.
Diagnosis pasti dengan pemeriksaan sitologi/patologi.
Tuberkulosis paru atau infeksi jamur
Gejala klinisnya hampir sama atau lebih menahun daripada abses paru. Pada tuberkulosis
didapatkan BTA dan pada infeksi jamur ditemukan jamur.
Bula yang terinfeksi, tampak air fluid level. Di sekitar bula tidak ada atau hanya sedikit
konsolidasi.
Kista paru yang terinfeksi. Dindingnya tipis dan tidak ada reaksi di sekitarnya.
Hematom paru. Ada riwayat trauma. Batuk hanya sedikit.
Pneumokoniosis yang mengalami kavitasi. Pekerjaan penderita jelas di daerah berdebu dan
didapatkan simple pneumoconiosis pada penderita.
Hiatus hernia. Tidak ada gejala paru. Nyeri restrosternal dan heart burn bertambah berat pada
waktu membungkuk. Diagnosis pasti dengan pemeriksaan barium foto.
Sekuester paru. Letak di basal kiri belakang. Diagnosis pasti dengan bronkografi atau
arteriografi retrograd.

V. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan Abses paru harus berdasarkkan pemeriksaan mikrobiologi dan data penyakit
dasar penderita serta kondisi yang mempengaruhi berat ringannya infeksi paru. Ada beberapa
modalitas terapi yang diberikan pada abses paru : (2, 4, 5, 9, 10)
1. Medika Mentosa
Pada era sebelum antibiotika tingkat kematian mencapai 33% pada era antibiotika maka tingkat
kkematian dan prognosa abses paru menjadi lebih baik.
Pilihan pertama antibiotika adalah golongan Penicillin pada saat ini dijumpai peningkatan Abses
paru yang disebabkan oleh kuman anaerobs (lebih dari 35% kuman gram negatif anaerob). Maka
bisa dipikrkan untuk memilih kombinasi antibiotika antara golongan penicillin G dengan
clindamycin atau dengan Metronidazole, atau kombinasi clindamycin dan Cefoxitin.
Alternatif lain adalah kombinasi Imipenem dengan B Lactamase inhibitase, pada penderita
dengan pneumonia nosokomial yang berkembang menjadi Abses paru.
Waktu pemberian antibiotika tergantung dari gejala klinis dan respon radiologis penderita.
Penderita diberikan terapi 2-3 minggu setelah bebas gejala atau adanya resolusi kavitas, jadi
diberikan antibiotika minimal 2-3 minggu.
2. Drainage
Drainase postural dan fisiotherapi dada 2-5 kali seminggu selama 15 menit diperlukan untuk
mempercepat proses resolusi Abses paru.
Pada penderita Abses paru yang tidak berhubungan dengan bronkus maka perlu dipertimbangkan
drainase melalui bronkoskopi.
3. Bedah
a.
b.
c.
d.

Reseksi segmen paru yang nekrosis diperlukan bila:


Respon yang rendah terhadap therapi antibiotika.
Abses yang besar sehingga mengganggu proses ventilasi perfusi
Infeksi paru yang berulang
Adanya gangguan drainase karena obstruksi.

VI. KOMPLIKASI DAN PROGNOSA


1.
a.
b.
c.
d.

Beberapa komplikasi yang timbul adalah : (4, 5)


Empyema
Abses otak
Atelektasis
Sepsis

2. Prognosa
Abses paru masih marupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Angka
kematian Abses paru berkisar antara 15-20% merupakan penurunan bila dibandingkan dengan
era pre antibiotika yang berkisar antara 30-40% (7).
Pada penderita dengan beberapa faktor predisposisi mempunyai prognosa yang lebih jelek
dibandingkan dengan penderita dengan satu fakktor predisposisi. Perlman et al menemukan
bahwa 2% angka kematian pada penderita dengan satu faktor predisposisi dibandingkan 75%
pada penderita dengan multi predisposisi. Muri et al melaporkan 2,4% angka kematian Abses
paru karena CAP dibanding 66% Abses paru karena HAP. Beberapa faktor yang memperbesar
angka mortalitas pada Abses paru sebagai berikut : (7)
a. Anemia dan Hipo Albuminemia
b. Abses yang besar ( > 5-6 cm)
c. Lesi obstruksi
d. Bakteri aerob
e. Immune Compromised
f. Usia tua
g. Gangguan intelegensia
h. Perawatan yang terlambat

VII. RINGKASAN
Abses paru adalah suatu kavitas dalam jaringan paru yang berisi material purulent dan sel
radang akibat proses nekrotik parenkim paru oleh proses infeksi. Abses paru timbul karena faktor
predisposisi seperti gangguan fungsi imun karena obat-obatan, gangguan kesadaran (anestesi,
epilepsi), oral higine yang kurang serta obstruksi dan aspirasi benda asing.
Pada abses paru memberikan gejala klinis panas, batuk, sputum purulen dan berbau, disertai
malaise, naspu makan dan berat badan yang turun. Pada pemeriksaan fisik didapatkan takikardia,
tanda-tanda konsolidasi. Pada pemeriksaan foto polos dada didapatkan gambaran kavitas dengan
air fluid level atau proses konsolidasi saja bila kavitas tidak berhubungan dengan bronkus.
Diagnosis pasti bila didapatkan biakan kuman penyebab sehingga dapat dilakukan terapi
etiologis.
Pemberian antibiotika merupakan pilihan utama disamping terapi bedah dan terapi suportif fisio
terapi.

DAFTAR PUSTAKA
Asher MI, Beadry PH ; Lung Abscess in infections of Respicatory tract ; Canada ; 1990 : 429 34.
Assegaff H. dkk ; Abses Paru dalam Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru ; AUP ; Surabaya ; 136 41.
Barlett JG ; Lung Abscess in : Cecil text book of Medicine 19th ed ; Phildelphia ; 1992 ; 413 15.
Finegold SM, Fishman JA ; Empyema and Lung Abscess ; in Fishmans pulmonary Diseases and
disorders 3rd ed ; Philadelphia ; 1998 ; 2021 32.
Garry et al ; Lung Abscess in a Lange Clinical Manual : Internal Medicina : Diagnosis and Therapy 3rd ;
Oklahoma ; 1993 ; 119 120.
Hammond JMJ et al ; The Ethiology and Anti Microbial Susceptibility Patterns of Microorganism in
acute Commuity Acquired Lung Abscess ; Chest ; 108 ; 4 ; 1995 ; 937 41.
Hirshberg B et al ; Factors predicting mortality of patients with lung Abscsess ; Chest ; 115 ; 3 ; 1999 ;
746 52.
Johnson KM, Huseby JS ; Lung Abscess Caused by Legionella micdadei ; Chest 111 ; 1 ; 1997 ; 109
13.
Klein JS et al ; Interventional Radiology of The Chest : Image Guided Percutaneons Drainage of Pleural
Effusions, Lung Abscess, and Pneumothorax ; AJR ; 1995 ; 164 ; 581 88.
Ricaurte KK et al ; Allergic broucho pulumonary aspergillosis with multiple Streptococceus pneumonie
Lung Abscess : an unussual insitial case presentation ; joutnal of allergy and clinical
imonoligy ; 104 ; 1 1999 ; 238 40.

BAB I
PENDAHULAN
1.1 Latar belakang
Empiema merupakan komplikasi yang paling sering dari pneumonia pneumokokus, yang
terjadi sekitar 2 % dari semua kasus. Meskipun telah ada antibiotik yang potensial,
pneumonia bakterial masih menyebabkan morbiditas dan mortalitas di Amerika. Setiap tahun
angka kejadian pneumonia bakterial diperkirakan sekitar 4 juta dengan rata-rata 20 %
membutuhkan perawatan di rumah sakit. Karena sebanyak 40 % penderita yang dirawat di
rumah sakit dengan pneumonia bekterial memiliki efusi pleura. Efusi terjadi akibat
pneumonia merupakan persentase yang besar dari efusi pleura. Angka morbiditas dan
mortalitas pada penderita pneumonia yang disertai efusi pleura lebih tinggi daripada
penderita yang hanya menderita pneumonia saja.
Terdapat 91 kematian di rumah sakit di Indonesia, penyebab utamanya adalah infeksi bakteri
parah (49,5%), diare (13,2%), dan kurang gizi (7,7%). Pneumonia atau empiema sebanyak 29
kematian di rumah sakit pada kelompok kotri dan 39 persen pada kelompok plasebo. Apabila
penerimaan di rumah sakit dipertimbangkan berdasarkan penyebabnya, pneumonia/empiema
adalah yang paling utama, baik secara tunggal atau bersamaan dengan TB, malaria, dan
kurang gizi. Bakteri Staphylococcus aureus dan Salmonela adalah bakteri yang paling sering
ditemukan dari biakan darah.
Meskipun tidak diketahui kapan sebenarnya emfiema dimulai, namun tampaknya terjadi
dalam beberapa tahun antara perubahan patofisiologi awal dan onset timbulnya gejala.
Karena secara klinik tidak mungkin untuk menentukan apakah pasien menderita bronkitis
kronis atau emfiema, dan pasien biasanya memiliki beberapa keadaan yang ada pada
keduanya, kriterianya akan ditampilkan pada pembahasan mengenai asuhan keperawatan
empiema.
1.2Tujuan umum
Memenuhi tugas Student Center Learning Interactive Skill Station (SCL ISS) dari dosen
pembimbing dan untuk mengetahui secara garis besar mengenai sistem pernapasan dan
gangguan, serta asuhan keperawatannya.
1.3Tujuan Khusus
1. Meningkatkan pengetahuan dan wawasan tentang konsep dasar penyakit empiema.
2. Meningkatkan pengetahuan mengenai etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis,
komplikasi, pemeriksaan diagnostik dan penatalaksanaan yang harus dilakukan pada
penderita empiema.
3. Memberikan gambaran asuhan keperawatan secara teoritis kepada klien yang
menderita empiema
BAB II

TINJAUAN TEORIS
A.

Definisi
1. EMPIEMA adalah keadaan terkumpulnya nanah (pus) di dalam rongga pleura bisa
setempat maupun seluruh rongga pleura(Ngastiyah,1997)
2. EMPIEMA adalah penumpukan cairan terinfeksi (pus) pada kavitas pleura(Diane C.
Baughman,2000)
3. Empiema adalah penumpukan materi purulen pada areal pleural (Hudak & Gallo,
1997)
4. EMPIEMA adalah kondisi dimana terdapatnya udara dan nanah dalam rongga pleura
yg dapat timbul sbg akibat traumatik maupun proses penyakit lainnya

EMPIEMA adalah terkumpulnya cairan purulen (pus) di dalam rongga pleura. Awalnya
rongga pleura adalah cairan encer dengan jumlah leukosit rendah, tetapi sering kali berlanjut
menjadi yang kental. Hal ini dapat terjadi jika abses paru-paru meluas sampai rongga pleura.
Empiema juga di artikan,akumulasi pus diantara paru dan membran yang menyelimutinya
(ruang pleura) yang dapat terjadi bilamana suatu paru terinfeksi. Pus ini berisi sel sel darah
putih yang berperan untuk melawan agen infeksi (sel sel polimorfonuklear) dan juga berisi
protein darah yang berperan dalam pembekuan (fibrin). ). Ketika pus terkumpul dalam ruang
pleura maka terjadi peningkatan tekanan pada paru sehingga pernapasan menjadi sulit dan
terasa nyeri. Seiring dengan berlanjutnya perjalanan penyakit maka fibrin-fibrin tersebut akan
memisahkan pleura menjadi kantong kantong (lokulasi). Pembentukan jaringan parut dapat
membuat sebagian paru tertarik dan akhirnya mengakibatkan kerusakan yang permanen.
Empiema biasanya merupakan komplikasi dari infeksi paru (pneumonia) atau kantong
kantong pus yang terlokalisasi (abses) dalam paru. Meskipun empiema sering kali merupakan
dari infeksi pulmonal, tetapi dapat juga terjadi jika pengobatan yang terlambat.
Jadi EMPIEMA adalah suatu keadaan dimana di dalam rongga pleura terdapat nanah(pus)
sbg akibat dari infeksi bakteri akut, akibat traumatik dari luar atau akibat komplikasi penyakit
paru lain yg tidak terkontrol.
B. Etiologi
a.

Infeksi yang berasal dari dalam paru :

Pneumonia

Abses paru

Bronkiektasis

TBC paru

Aktinomikosis paru


b.

Fistel Bronko-Pleura
Infeksi yang berasal dari luar paru :

Trauma Thoraks

Pembedahan thorak

Torasentesi pada pleura

Sufrenik abses

Amoebic liver abses

Penyebab lain dari empiema adalah :


1. Stapilococcus
Staphylococcus adalah kelompok dari bakteri-bakteri, secara akrab dikenal sebagai Staph,
yang dapat menyebabkan banyak penyakit-penyakit sebagai akibat dari infeksi beragam
jaringan-jaringan tubuh. Bakteri-bakteri Staph dapat menyebabkan penyakit tidak hanya
secara langsung oleh infeksi (seperti pada kulit), namun juga secara tidak langsung dengan
menghasilkan racun-racun yang bertanggung jawab untuk keracunan makanan dan toxic
shock syndrome. Penyakit yang berhubungan dengan Staph dapat mencakup dari ringan dan
tidak memerlukan perawatan sampai berat/parah dan berpotensi fatal.
2. Pnemococcus
Pneumococcus adalah salah satu jenis bakteri yang dapat menyebabkan infeksi serius seperti
radang paru-paru (pneumonia),meningitis (radang selaput otak) dan infeksi darah
(sepsis).Sebenarnya ada sekitar 90 jenis kuman pneumokokus, tetapi hanya sedikit yang bisa
menyebabkan penyakit gawat. Bentuk kumannya bulat-bulat dan memiliki bungkus atau
kapsul. Bungkus inilah yang menentukan apakah si kuman akan berbahaya atau tidak.
C.

Patofisiologi

Akibat invasi basil piogenik ke pleura, maka


akan timbul peradangan akut yang diikuti
pembentukan eksudat serosa.Dengan banyaknya sel PMN baik yang hidup maupun yang mati
serta meningkatnya kadar protein, maka cairan menjadi keruh dan kental.Adanya endapanendapan fibrin akan membentuk kantong-kantong yang melokalisasi nanah tersebut.Apabila
nanah menembus bronkus, maka timbul fistel bronkopleural yang menembus dinding thorak
dan keluar melalu kulit yang disebut empiema nessensiatis.Stadium ini masih disebut
empiema akut yang lama kelamaan menjadi kronis.
D.

Manifestasi klinis

Empiema dibagi menjadi dua stadium yaitu :

1. Empiema Akut
Terjadi sekunder akibat infeksi tempat lain, bukan primer dari pleura. Pada permulaan,
gejala-gejalanya mirip dengan pneumonia, yaitu panas tinggi dan nyeri pada dada pleuritik.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya tanda-tanda cairan dalam rongga pleura. Bila
stadium ini dibiarkan sampai beberapa minggu maka akan timbul toksemia, anemia, dan
clubbing finger. Jika nanah tidak segera dikeluarkan akan timbul fistel bronkopleura. Adanya
fistel ditandai dengan batuk yang makin produktif, bercampur nanah dan darah masif, serta
kadang-kadang bisa timbul sufokasi (mati lemas).
Pada kasus empiema karena pneumotoraks pneumonia, timbulnya cairan adalah setelah
keadaan pneumonianya membaik. Sebaliknya pada Streptococcus pneumonia, empiema
timbul sewaktu masih akut. Pneumonia karena baksil gram negatif seperti E. coli atau
Bakterioids sering kali menimbulkan empiema.
2.

Empiema Kronis

Batas yang tegas antara empiema akut dan kronis sukar ditentukan. Disebut kronis jika
empiema berlangsung selama lebih dari tiga bulan. Penderita mengeluh badannya terasa
lemas, kesehatan makin menurun, pucat, clubbing fingers, dada datar, dan adanya tanda-tanda
cairan pleura. Bila terjadi fibrotoraks, trakea , dan jantung akan tertarik ke sisi yang sakit.
Tanda-tanda empiema :
1.

Demam dan keluar keringat malam.

2.

Nyeri pleura.

3.

Dispnea.

4.

Anoreksia dan penurunan berat badan.

5.

Pada auskultasi dada ditemukan penurunan suara napas.

6.

Pada perkusi dada ditemukan suara flatness.

7.

Pada palpasi ditemukan penurunan fremitus.

E.

Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala empiema secara umum adalah :

Demam

Keringat malam

Nyeri pleural

Dispnea

Anoreksia dan penurunan berat badan

Auskultasi dada, ditemukan penurunan suara napas

Perkusi dada, suara flatness

Palpasi , ditemukan penurunan fremitus

Tanda gejala empiema berdasarkan klasifikasi empiema akut dan empiema kronis
a. Emphiema akut:

b.

Panas tinggi dan nyeri pleuritik.


Adanya tanda-tanda cairan dalam rongga pleura.

Bila dibiarkan sampai beberapa minggu akan menimbulkan toksemia, anemia, dan
clubbing finger .

Nanah yang tidak segera dikeluarkan akan menimbulkan fistel bronco-pleural.

Gejala adanya fistel ditandai dengan batuk produktif bercampur dengan darah dan
nanah banyak sekali.

Emphiema kronis:

Disebut kronis karena lebih dari 3 bulan.

Badan lemah, kesehatan semakin menurun.

Pucat, clubbing finger.

Dada datar karena adanya tanda-tanda cairan pleura.

Terjadi fibrothorak trakea dan jantung tertarik kearah yang sakit.

Pemeriksaan radiologi menunjukkan cairan.

1. F.
1.

Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan Radiologi

Foto thoraks PA dan lateral didapatkan gambaran opacity yang menunjukan adanya
cairan dengan atau tanpa kelaina paru. Bila terjadi fibrothoraks , trakhea di mediastinum
tertarik ke sisi yang sakit dan juga tampak adanya penebalan.

Cairan pleura bebas dapat terlihat sebagai gambaran tumpul di sudut kostofrenikus
pada posisi posteroanterior atau lateral.


Dijumpai gambaran yang homogen pada daerah posterolateral dengan gambaran opak
yang konveks pada bagian anterior yang disebut dengan D-shaped shadow yang mungkin
disebabkan oleh obliterasi sudut kostofrenikus ipsilateral pada gambaran posteroanterior.

Organ-organ mediastinum terlihat terdorong ke sisi yang berlawanan dengan efusi.

Air-fluid level dapat dijumpai jika disertai dengan pneumotoraks, fistula


bronkopleural.
2.

Pemeriksaan pus

Aspirasi pleura akan menunjukan adanya pus di dalam rongga dada(pleura). Pus dipakai
sebagai bahan pemeriksaan sitologi , bakteriologi, jamur dan amoeba. Untuk selanjutnya,
dilakukan jkultur (pembiakan) terhadap kepekaan antobiotik.
3.

Pemeriksaan ultrasonografi (USG) :

Pemeriksaan dapat menunjukkan adanya septa atau sekat pada suatu empiema yang
terlokalisir.

Pemeriksaan ini juga dapat membantu untuk menentukan letak empiema yang perlu
dilakukan aspirasi atau pemasangan pipa drain.
4.

Pemeriksaan CT scan :

Pemeriksaan CT scan dapat menunjukkan adanya suatu penebalan dari pleura.

Kadang dijumpai limfadenopati inflamatori intratoraks pada CT scan

Sinar x.
Mengidentifikasi distribusi stuktural,menyatakan
absesluas/infiltrate,empiema(strafilokokus).infiltrat menyebar atau terlokalisasi(bacterial).
GDA /nadi oksimetri.
Tidak normal mungkin terjadi,tergantung pada luas paru yang terlibat dan penyakit paru yang
ada.
Tes fungsi paru.
Dilakukan untuk menentukan penyebab dipsnea, untuk menentukan apakah fungsi abnormal
adalah obstruksi atau restriksi,untuk memperkirakan derajat disfungsi.
8.

Pemeriksaan Gram/kultur sputum dan darah

Dapat diambil dengan biopsy jarum,aspirasi transtrakeal,bronkoskopi fiberoptik atau biopsy


pembukaan paru untuk mengatasi organisme penyebab.Lebih dari satu tipe organisme ada:
bakteri yang umum meliputi diplokokus pneumonia,strafilokokus aureus,A-hemolitik

streptokokus,haemophilus influenza:CMV.Catatan: kultur sputum dapat tak mengidentifikasi


semua organisme yang ada,kultur darah dapat menunjukkan bakterimia sementara.
9.

EKG latihan,tes stress

Membantu dalam mengkaji derajat disfungsi paru perencanaan/evaluasi program latihan.


G. Penatalaksanaan
1.

Pengosongan Nanah

Prinsip ini seperti umumnya yang dilakukan pada abses, untuk mencegah efek toksisnya.
2.

Closed drainage toracostomy water sealed drainage dengan indikasi :

a)

Nanah sangat kental dan sukar diaspirasi

b)

Nanah terus terbentuk setelah dua minggu

c)

Terjadinya piopneumotoraks

Upaya WSD juga dapat dibantu dengan pengisapan negative sebesar 10-20 cmH2O. Jika
setelah 3-4 minggu tidak ada kemajuan, harus ditempuh cara lain seperti pada empiema
kronis.
3.

Drainase terbuka (open drainage)

Karena menggunakan kateter karet yang besar, maka perlu disertai juga dengan reseksi tulang
iga. Open drainage ini dikerjakan pada empiema kronis, hal ini bisa terjadi akibat pengobatan
yang terlambat atau tidak adekuat misalnya aspirasi yang terlambat atau tidak adekuat,
drainase tidak adekuat sehingga harus seing mengganti atau membersihkan drain.
4. Antibiotic
Mengingat kematian sebagai akibat utama dari sepsis, maka antibiotic memegang peranan
penting. Antibiotic harus segera diberikan begitu diagnosis ditegakkan dan dosisnya harus
tepat. Pemilihan antibiotic didasarkan pada hasil pengecatan gram dan apusan nanah.
Pengobatan selanjutnya tergantung pada hasil kultur dan sensitivitasnya. Antibiotic dapat
diberikan secara sistematik atau tropical. Biasanya diberikan penisilin.
5.

Penutupan Rongga Empiema

Pada empiema menahun sering kali rongga empiema tidak menutup karena penebalan dan
kekakuan pleura. Pada keadaan demikian dilkukan pembedahan (dekortikasi) atau
torakoplasti.
6.

Dekortikasi

Tindakan ini termasuk operasi besar, dengan indikasi :

a)

Drain tidak berjalan baik karena banyak kantung-kantung.

b)

Letak empiema sukar dicapai oleh drain.

c)

Empiema totalis yang mengalami organisasi pada pleura visceralis.

7. Torakoplasti
Jika empiema tidak mau sembuh karena adanya fistel bronkopleura atau tidak mungkin
dilakukan dekortikasi. Pada pembedahan ini, segmen dari tulang iga dipotong subperiosteal,
dengan demikian dinding toraks jatuh ke dalam rongga pleura karena tekanan atmosfer.
8.

Pengobatan Kausal

Misalnya subfrenik abses dengan drainase subdiafragmatika, terapi spesifik pada


amoeboiasis, dan sebagainya.
9.

Pengobatan Tambahan

Perbaiki keadaan umum lalu fisioterapi untuk membebaskan jalan napas.


Penanggulangan empiema tergantung dari fase empiema, yaitu :
1.

Fase I (Fase Eksudat)

Dilakukan drainase tertutup (WSD) dan dengan WSD dapat dicapai tujuan diagnostik terapi
dan prevensi, diharapkan dengan pengeluaran cairan tersebut dapat dicapai pengembangan
paru yang sempurna.
2.

Fase II (Fase Fibropurulen)

Pada fase ini penanggulangan harus lebih agresif lagi yaitu dilakukan drainase terbuka
(reseksi iga/ open window) . Dengan cara ini nanah yang ada dapat dikeluarkan dan
perawatan luka dapat dipertahankan. Drainase terbuka juga bertujuan untuk menunggu
keadaan pasien lebih baik dan proses infeksi lebih tenang sehingga intervensi bedah yang
lebih besar dapat dilakukan. Pada fase II ini VATS surgery sangat bermanfaat, dengan cara
ini dapat dilakukan empiemektomi dan/ atau dekortikasi.
3.

Fase III (Fase Organisasi)

Dilakukan intervensi bedah berupa dekortikasi agar paru bebas mengembang atau dilakukan
obliterasi rongga empiema dengan cara dinding dada dikolapskan (Torakoplasti) dengan
mengangkat iga-iga sesuai dengan besarnya rongga empiema, dapat juga rongga empiema
disumpel dengan periosteum tulang iga bagian dalam dan otot interkostans (air plombage),
dan disumpel dengan otot atau omentum (muscle plombage atau omental plombage).
H.

Pemeriksaan penunjang

v Foto dada

v Torasentesis
I.

Komplikasi

Kemungkinan komplikasi yang terjadi adalah pengentalan pada pleura. Jika inflamasi telah
berlangsung lama, eksudat dapat terjadi di atas paru yang menganggu ekspansi normal paru.
Dalam keadaan ini diperlukan pembuangan eksudat melalui tindakan bedah (dekortasi).
Selang drainase dibiarkan ditempatnya sampai pus yang mengisi ruang pleural dipantau
melalui rontgen dada dan pasien harus diberitahu bahwa pengobatan ini dapat membutuhkan
waktu lama.
ASKEP TEORITIS
v Pengkajian
1.

Identitas

a)

Nama

b)

Umur ( Terjadi pada segala umur, sering pada anak umur 2-9 tahun)

c)

Suku/ bangsa

d)

Agama

e)

Alamat

f)

Pendidikan

g)

Pekerjaan

2.
a)

Riwayat kesehatan
Keluhan utama : nyeri pada dada pleuritik

b)
Riwayat kesehatan sekarang : yaitu panas tinggi dan nyeri pada dada pleuritik. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan adanya tanda-tanda cairan dalam rongga pleura. Bila stadium
ini dibiarkan sampai beberapa minggu maka akan timbul toksemia, anemia, dan clubbing
finger.
c)
Riwayat kesehatan masa lalu : pernah mengalami radang paru-paru (pneumonia),
,meningitis (radang selaput otak) dan infeksi darah (sepsis).
d)
Riwayat kesehatan keluarga : pernah terinfeksi bakteri Staphylococcus atau
Pneumococcus
e)

Riwayat lingkungan : rumah yang kumuh, kotor, dekat dengan sampah,

f)

Riwayat psikososial : stres psikologik sehingga menurunkan imunitas tubuh.

3.

Pola fungsi kesehatan

a)

Pola aktivitas : dispnea pada saat beraktivitas

b)

Pola nutrisi : anoreksia

c)

Pola eliminasi : defekasi berkurang karena asupan nutrisi berkuran

d)

Pola istirahat : dispnea pada saat istirahat

e)

Pola keyakinan : ketaatan klien terhadap agama

f)

Pola seksual : penurunan libido

g)

Pola hubungan dan peran : hubungan ketergantungan, kurang sistem pendukung.

4.

Pemeriksaan fisik

a)
Keadaan umum : demam, berkeringat, pucat, compos mentis, ketakutan, gelisah,
penurunan BB, dispnea, lemah.
b)

Pemeriksaan TTV

RR : >24 x/mnt,
c)

Nadi : >100 x/mnt,

TD : >120/70 mmHg

Suhu : >36,5 oC

Pemeriksaan kepala dan leher : batuk produktif, pernafasan cuping hidung

d)
Pemeriksaan dada : nyeri pleuritik, penggunaan otot bantu pernafasan, perkusi dada
ditemukan suara flatness, palpasi ditemukan penurunan fremitus, auskultasi dada ditemukan
penurunan suara napas, funnel chest.
e)

Pemeriksaan abdomen : peristaltic usus < 8 x/mnt

f)

Pemeriksaan ekstremitas : clubbing finger

5.

Pemeriksaan penunjang

a)

foto thorak

b)

kultur darah

c)

USG

d)

Sampel sputum

e)

Torakosenstesis

f)

Pemeriksaan cairan Pleura

g)

Hitung sel darah dan deferensiasi

h)

Protein, LDH, glucose, dan pH

i)

Kultur bakteri aerob dan an aerob, mikobakteri, fungi dan mikoplasma

v Diagnosa keperawatan
a)

Gangguan pertukaran gas b.d kerusakan alveoli.

b)

Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d dengan peningkatan produksi sekret.

c)

Gangguan rasa nyaman nyeri b.d infeksi bakteri

d)

Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d dispneu, kelemahan, anoreksia.

v Intervensi
a)

Dx : Gangguan pertukaran gas b.d kerusakan alveoli

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 224 jam pertukaran gas menjadi optimal
KH :

RR = 16-20 x/menit.

pH = 7,35-7,45

pO2 = 81-100 mmHg

pCO2= 35-45 mmHg

SO2 > 98 %.

Intervensi :
Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan. Catat penggunaan otot aksesori, napas bibir,
ketidakmampuan berbicara/berbincang.
R/ berguna dalam evaluasi derajat distress pernapasan dan atau kronisnya penyakit
Awasi tanda vital dan irama jantung
R/ takikardia, disritmia, dan perubahan TD dapat menunjukkan efek hipoksemia sistemik
pada fungsi jantung

Posisikan semi fowler

R/ pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan posisi semi fowler

Pertahankan istirahat tidur. Dorong menggunakan teknik relaksasi dan aktivitas senggang.

R/ Mencegah terlalu lelah dan menurunkan kebutuhan oksigen untuk memudahkan perbaikan
infeksi.

Kolaborasikan untuk pemeriksaan Blood Gas Analisis

R/ Takikardia ada sebagai akibat demam, dehidrasi, tetapi dapat sebagai respon hipoksemia.

Kolaborasikan untuk pemberian O2

R/ Gelisah, mudah terangsang, bingung , somnolen, dapat menunjukkan hipoksemia


b)

Dx : Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d dengan peningkatan produksi sekret.

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 224 jam bersihan jalan nafas menjadi
efektif
KH :

Menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan nafas, misal batuk efektif
dan mengeluarkan sekret.

tidak ada ronchi

tidak ada wheezing

Intervensi :

Auskultasi adanya bunyi nafas dan catat adanya bunyi nafas seperti wheezing, ronchi.

R/ Bunyi nafas menurun atau tak ada bila jalan nafas obstruksi terhadap kolaps jalan nafas
kecil. ronchi dan wheezing menyertai obstruksi jalan nafas.

Kaji/pantau frekuensi pernapasan. Catat rasio inspirasi/ekspirasi

R/ takipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan atau
selama stress/ adanya proses infeksi akut

Observasi batuk dan sekret.

R/ Kongesti alveolar mengakibatkan batuk kering. Sputum darah dapat diakibatkan oleh
kerusakan jaringan.
Bantu klien latihan nafas dalam dengan keadaan semifowler. Tunjukkan cara batuk
efektif dengan cara menekan dada dan batuk.
R/ Nafas dalam memudahkan ekspansi maksimum paru atau jalan lebih kecil. Batuk adalah
mekanisme pembersihan jalan nafas yang alami, membantu silia untuk mempertahankan
jalan nafas paten. Penekanan menurunkan ketidaknyamanan dada dan posisi duduk
memungkinkan upaya nafas lebih dalam dan lebih kuat.

Berikan cairan sedikitnya 2500 ml/ hari ( kecuali kontra indikasi ) tawarkan yang hangat
dari pada dingin.
R/ Cairan ( khususnya yang hangat ) memobilisasi dan mengeluarkan sekret.

Berikan obat sesuai indikasi ( Mukolitik, ekspektoran, bronkodilator).

R/ merilekskan otot halus dan menurnkan kongesti local, menurunkan spasme jalan napas,
mengi, dan produksi mucus.
c)

Dx : Gangguan rasa nyaman nyeri b.d infeksi bakteri

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 224 jam nyeri berkurang


KH :

Klien menyatakan nyeri hilang/ terkontrol

Skala nyeri menurun

Klien rileks, istirahat/tidur, dan peningkatan aktivitas dengan tepat.

RR : 16-20 x/mnt, Nadi : 60- 100 x/mnt, TD : 120/70 mmHg


o
C

Suhu : 34,5-36,5

Intervensi :

Pantau TTV

R/ perubahan frekuensi jantung atau TD menunjukkan bahwa pasien mengalami nyeri

Berikan tindakan nyaman mis, pijatan punggung, perubahan posisi, music tenang/
perbincangan, relaksasi/latihan napas
R/ tindakan non analgesic diberikan dengan sentuhan lembut dapat menghilangkan
ketidaknyamanan dan memperbesar efekterapi analgesic.

Anjurkan dan bantu pasien dalam teknik menekan dada selama episode batuk

R/ alat untuk mengontrol ketidaknyamanan dada sementara meningkatkan keefektifan batuk.

Berikan analgesic dan antitusif sesuai indikasi

R/ obat ini dapat digunakan untuk menekan batuk non produktif/ paroksismal atau
menurunkan mucus nerlebihan, meningkatkan kenyamanan/ istirahat umum.
d)
Dx ; Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d dispneu, kelemahan,
anoreksia

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 224 jam kebutuhan nutrisi pasien
terpenuhi.
KH :

Nafsu makan meningkat

BB meningkat atau normal sesuai umur

Intervensi :

Auskultasi bunyi usus

R/ bunyi usus mungkin menurun/tak ada bila proses infeksi berat/memanjang

Diskusikan dan jelaskan tentang pembatasan diet (makanan berserat tinggi, berlemak
dan air terlalu panas atau dingin.
R/ Serat tinggi, lemak,air terlalu panas / dingin dapat merangsang mengiritasi lambung dan
sluran usus. Menciptakan lingkungan yang bersih, jauh dari bau yang tak sedap atau sampah,
sajikan makanan dalam keadaan hangat.

Ciptakan lingkungan yang bersih, jauh dari bau yang tak sedap atau sampah, sajikan
makanan dalam keadaan hangat.
R/ Situasi yang nyaman, rileks akan merangsang nafsu makan.

Berikan jam istirahat (tidur) serta kurangi kegiatan yang berlebihan.

R/ Mengurangi pemakaian energi yang berlebihan.

Monitor intake dan out put dalam 24 jam.

R/ Mengetahui jumlah output dapat merencenakan jumlah makanan.

Kolaborasikan dengan tim kesehtaan lain :

a.

Terapi gizi : Diet TKTP

b.

Obat-obatan atau vitamin

rendah serat, susu

R/ Mengandung zat yang diperlukan , untuk proses pertumbuhan.


e)
Dx : Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai dan
kebutuhan oksigen.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatn 224 jam intoleransi aktivitas dapat teratasi.

KH : melaporkan peningkatan toleransi aktivitas terhadap aktivitas yang dapat diukur dengan
tak adanya dypsnea, kelemahan berlebihan, dan tanda tanda vital dalam rentang normal
( RR: 16-20 x /menit Nadi : 60-100 x/ mnt ).
Intervensi :

Evaluasi respon pasen terhadap aktivitas. Catat laporan dypsnea, peningkitan


kelemahan, dan perubahan tanda-tanda vital.
R/ Pasien mungkin nyaman dengan posisi kepala tinggi, tidur di kursi atau menunuduk ke
depan meja.

Bantu pasien memilih posisi yang nyaman untuk aktivitas dan istirahat.

R/ Menurunkan stress dan rangsangan berlebih, meningkatkan istirahat.

Berikan lingkungan tenang dan batasi pengunjung selama fase akut sesuai indikasi .
dorong penggunaan manajemen stress dan pengalihan yang tepat.
R/ menurunkan stress dan rangsangan berlebihan, meningkatkan istirahat.

Jelaskan pentingnya istirahat dalam rencana pengobatan dan perlunya keseimbangan


aktivitas dan istirahat.
R/ Tirah baring dipertahankan selama fase akut untuk menurunkan kebutuhan metabolik,
menghemat energi untuk penyembuhan. Pembatasan aktivitas ditentukan dengan respon
individual terhadap aktivitas dan perbaikan kegagalan pernafasan.

Bantu aktivitas perawatan diri yang diperlukan. Berikan peningkatan kemajuan


aktivitas selama fase penyembuhan.
R/ meminimalkan kelelahan dan membantukeseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Empiema adalah suatu penyakit yang menyerang sistem Respirasi, dimana Empiema adalah
suatu gangguan pada paru-paru karena terkumpulnya pus/nanah pada rongga pleura, yang
dapat megisi satu lokasi pleura maupun seluruh rongga pleura.
Penyebap empiema dibagi menjadi 3 berdasarkan asalnya yaitu yang berasal dari paru-paru
itu sendiri seperti Pneumonia dan abses paru, kemudian yang kedua berasal dari adanya
infeksi dari luar, misalnya trauma dari tumor, dan pembedahan otak, yang terakhir berasal
dari bakteri, misalnya Streptococcus pyogenes, bakteri gram negative, dan bakteri anaerob.
Penatalaksanaan Empiem dapat berupa intervensi keperawatan maupun medis. Selain itu
dapat juga dari kolaborasai dengan tim kesehatan yang lainnya.

Mengetahui konsep asuhan keperawatan Empiema dan konsep Empiema itu sendiri sangat
penting untuk mengetahui tindakan apa yang sebaiknya dilakukan baik oleh perawat maupun
tim kesehatn lainya.

Saran

Kepada tim kesehatan, terutam perawat diharpakan untuk lebih mencermati keadaan pasien
sebeluh dan sesudah melakukan tindakan. Kesalahan kecil, dapat berimbas kepada kesalahankesalahan yang lain.
Memperluas wawasan mengenai konsep asuhan keperawatan yang tepat terhadap berbagai
penyakit, dalam hal ini penyakit yang menyerang sistem Respirasi, menjadi hal yang wajib
untuk diketahui dan dilakukan oleh perawat professional.
DAFTAR PUSTAKA
Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernfasan.
Jakarta : Salemba Medika.
Dr. Ikawati, Zullies,Apt. 2009. Farmakoterapi Penyakit Sistem pernfasan. Yogyakarta :
Pustaka Adipura.
Somantri, Irman.2008.Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem
Pernafasan.Jakarta:Salemba Medika.
http://www.google.com/AsuhanKeperawatanPasienEmpiema.html
http://fitralxt190110.blogspot.com/2011/09/askep-empiema.html
http://www.dr-thia.com/2011/01/empiema-paru.html
Brunner & Suddarth.2000.Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta:EGC
Somantri Irman.2009.Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan.Jakarta:Salemba Medika
http://hayato31.blogspot.com/2009/04/askep-empiema.html
http://zieshila.wordpress.com/ibu-dan-anak/asuhan-keperawatan-empiema/
http://sely-biru.blogspot.com/2009/01/asuhan-keperawatan-empiema.html
http://www.askep-askeb.cz.cc/2010/01/empiema.html

BAB I
PENDAHULAN

1.1 Latar belakang


Abses paru adalah suatu kavitas dalam jaringan paru yang berisi material purulent berisikan
sel radang akibat proses nekrotik parenkim paru oleh proses terinfeksi .
Pada negara-negara maju jarang dijumpai kecuali penderita dengan gangguan respons imun
seperti penyalahgunaan obat, penyakit sistemik atau komplikasi dari paska obstruksi. Pada
beberapa studi didapatkan bahwa kuman aerob maupupn anaerob dari koloni oropharing yang
sering menjadi penyebab abses paru.
Penelitian pada penderita Abses paru nosokomial ditemukan kuman aerob seperti
golongan enterobacteriaceae yang terbanyak. Sedangkan penelitian dengan teknik biopsi
perkutan atau aspirasi transtrakeal ditemukan terbanyak adalah kuman anaerob. (4, 6, 7)
Pada umumnya para klinisi menggunakan kombinasi antibiotik sebagai terapi seperti
penisilin, metronidazole dan golongan aminoglikosida pada abses paru. Walaupun masih
efektif, terapi kombinasi masih memberikan beberapa permasalahan sebagai berikut : (4)
1. Waktu perawatan di RS yang lama
2. Potensi reaksi keracunan obat tinggi
3. Mendorong terjadinya resistensi antibiotika.
4. Adanya super infeksi bakteri yang mengakibatkan Nosokonial Pneumoni.
Terapi ideal harus berdasarkan penemuan kuman penyebabnya secara kultur dan sensitivitas.
Pada makalah ini akan dibahas Abses paru mulai patogenesis, terapi dan prognosa sebagai
penyegaran teori yang sudah ada.

1.2Tujuan umum
Memenuhi tugas Student Center Learning Interactive Skill Station (SCL ISS) dari dosen
pembimbing dan untuk mengetahui secara garis besar mengenai sistem pernapasan dan
gangguan, serta asuhan keperawatannya.

1.3Tujuan Khusus

1. Meningkatkan pengetahuan dan wawasan tentang konsep dasar penyakit Abses Paru
2. Meningkatkan pengetahuan mengenai etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis,
komplikasi, pemeriksaan diagnostik dan penatalaksanaan yang harus dilakukan pada
penderita Abses Paru
3. Memberikan gambaran asuhan keperawatan secara teoritis kepada klien yang
menderita Abses Paru

1.4Ruang Lingkup Penyusunan

Dalam penyusunan makalah ini, penyusun menggunakan metode deskriftif yaitu dengan
menggambarkan konsep dasar dari penyakit empiema dan asuhan keperawatannya dengan
literatur yang diperoleh dari buku-buku perpustakaan, internet, dan diskusi dari kelompok.

1.5 Sistematika Penyusunan


Penyusunan makalah ini terdiri dari IV (empat) bab yang disusun secara sistematis. Adapun
sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I
: Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan, ruang lingkup
penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II
: Landasan teoritis, yang terdiri dari anatomi dan fisiologi sistem pernapasan,
konsep dasar Abses Paru, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, komplikasi, pemeriksaan
diagnostik, dan penatalaksanaan.
BAB III
: Asuhan keperawatan, yang terdiri dari pengkajian, diagnosa keperawatan,
rencana keperawatan, dan evaluasi.
BAB IV

: Penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan fisiologi sistem pernapasan

1. Pengertian
Kebutuhan oksigenasi merupakan kebutuhan dasar manusia yang digunakan untuk
kelangsungan metabolisme sel tubuh mempertahankan hidup dan aktivitas berbagai organ
atau sel. Sistem tubuh yang berperan dalam kebutuhan oksigenasi terdiri atas saluran
pernapasan bagian atas, bawah, dan paru.

a.

Saluran Pernapasan Bagian Atas

Saluran pernapasan atas berfungsi menyaring, menghangatkan, dan melembabkan udara yang
terhirup. Saluran pernapasan terdiri dari:
1)
Hidung. Hidung terdiri atas nares anterior (saluran dalam lubang hidung) yang memuat
kelenjar sebaseus dengan ditutupi bulu yang kasar dan bermuara ke rongga hidung dan
rongga hidung yang dilapisi oleh selaput lendir yang mengandung pembuluh darah. Proses
oksigenasi diawali dengan penyaringan udara yang masuk melalui hidung oleh bulu yang ada
dalam vestibulum (bagian rongga hidung), kemudian dihangatkan serta dilembabkan.
2)
Faring. Faring merupakan pipa yang memiliki otot, memanjang dari dasar tenggorok
sampai esophagus yang terletak di belakang nasofaring (di belakang hidung), di belakang
mulut (orofaring), dan di belakang laring (laringofaring).
3)
Laring (Tenggorokan). Laring merupakan saluran pernapasan setelah faring yang terdiri
atas bagian dari tulang rawan yang diikat bersama ligamen dan membran, terdiri atas dua
lamina yang bersambung di garis tengah.
4)

Epiglotis. Epiglotis merupakan katup tulang rawan yang bertugas membantu menutup

laring pada saat proses menelan.

b.

Saluran Pernapasan Bagian Bawah

Saluran pernapasan bagian bawah berfungsi mengalirkan udara dan menghasilkan surfaktan.
Saluran ini terdiri dari:
1) Trakea. Trakea atau disebut sebagai batang tenggorok, memiliki panjang 9 cm yang
dimulai dari laring sampai kira-kira ketinggian vertebra torakalis kelima. Trakea tersusun atas
16-20 lingkaran tidak lengkap berupa cincin, dilapisi selaput lendir yang terdiri atas
epithelium bersilia yang dapat mengeluarkan debu atau benda asing.
2)
Bronkus. Bronkus merupakan bentuk percabangan atau kelanjutan dari trakea yang
terdiri atas dua percabangan kanan dan kiri. Bagian kanan lebih pendek dan lebar daripada

bagian kiri yang memiliki 3 lobus atas, tengah, dan bawah, sedangkan bronkus kiri lebih
panjang dari bagian kanan yang berjalan dari lobus atas ke bawah.
3)

Bronkiolus. Bronkiolus merupakan saluran percabangan setelah bronkus.

4) Alveolus. Alveolus itu terdiri atas satu lapis tunggal sel epithelium pipih, dan disinilah
darah hampir langsung bersentuhan dengan udara. Suatu jaringan pembuluh darah kapiler
mengitari alveolus dan pertukaran gas pun terjadi.

c.

Paru

Paru merupakan organ utama dalam sistem pernapasan. Paru terletak dalam rongga thoraks
setinggi tulang selangka sampai dengan diafragma. Paru terdiri atas beberapa lobus yang
diselaputi oleh pleura parietalis dan pleura viseralis, serta dilindungi oleh cairan pleura yang
berisi cairan surfaktan.
Paru sebagai alat pernapasan utama terdiri atas dua bagian, yaitu paru kanan dan kiri. Pada
bagian tengah organ ini terdapat organ jantung beserta pembuluh darah yang berbentuk
kerucut, dengan bagian puncak disebut apeks. Paru memiliki jaringan yang bersifat elastis,
berpori, serta berfungsi sebagai tempat pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida.

2.

Proses Oksigenasi

Proses pemenuhan kebutuhan oksigenasi tubuh terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi
gas, dan transportasi gas/perfusi.
a.

Ventilasi

Ventilasi merupakan proses keluar dan masuknya oksigen dari atmosfer ke dalam alveoli atau
dari alveoli ke atmosfer. Ada dua gerakan pernapasan yang terjadi sewaktu pernapasan, yaitu
inspirasi dan ekspirasi. Inspirasi atau menarik napas adalah proses aktif yang diselenggarakan
oleh kerja otot. Kontraksi diafragma meluaskan rongga dada dari atas sampai ke bawah, yaitu
vertikal. Penaikan iga-iga dan sternum meluaskan rongga dada ke kedua sisi dan dari depan
ke belakang. Pada ekspirasi, udara dipaksa keluar oleh pengendoran otot dan karena paruparu kempis kembali, disebabkan sifat elastik paru-paru itu. Gerakan-gerakan ini adalah
proses pasif.
Proses ventilasi dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu adanya perbedaan tekanan antara
atmosfer dengan paru, adanya kemampuan thoraks dan paru pada alveoli dalam
melaksanakan ekspansi, refleks batuk dan muntah.
b.

Difusi gas

Difusi gas merupakan pertukaran antara oksigen di alveoli dengan kapiler paru dan CO2 di
kapiler dengan alveoli. Proses pertukaran dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu luasnya
permukaan paru, tebal membran respirasi, dan perbedaan tekanan dan konsentrasi O2.

c.

Transportasi gas

Transportasi gas merupakan proses pendistribusian O2 kapiler ke jaringan tubuh dan CO2
jaringan tubuh ke kapiler. Transportasi gas dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu curah
jantung (kardiak output), kondisi pembuluh darah, latihan (exercise), eritrosit dan Hb.

Bagaimana persarafan pada sistem pernapasan?


Pada didning bronkus dan bronkiolus terdapat sistem saraf otonom. Yang pertama adalah
sistem saraf parasimpatik, yaitu dengan reseptor muskarinik yang memperantarai respon
bronkikontriksi, vasodilatasi pulmonal, dan sekresi kelenjar mukus. Yang kedua, sistem saraf
simpatik, yaitu reseptor adrenegik alfa dan beta yang terdapt pada eptelium bronkus, otot dan
sel mast. Pada manusia reseptor 2 yang paling banyak dijumpai diparu-paru. Injeksi atau
inhalasi satu agonis dapat menyebapkan bronkodilatasi, vasokontriksi pulmonar, dan
berkurangnya sekresi kelenjar mukus.
Yang terakhir, ada inervasi sistem saraf nonadrenergik non kolinergik (NANC) pada
bronkiolus yang melibatkan berbagai mediator seperti ATP, oksida nitrat, substance P, dan
VIP (vasoactive Intestinal peptide). Sistem NANC terlibat dalam respon penghambatan
brokodilatasi, dan diduga berfungsi sebagai penyeimbang terhadap fungsi pemicuan oleh
sistem kolinergik.

2.2 Konsep Abses Paru


1. A.

Pengertian

1. 1.
Abses paru adalah lesi nekrotik setempat pada parenkim paru yang berisis bahan
purulent dan mengakibatkan lesi sehingga mengalami kolaps dan membentuk ruang.
2. 2.
Abses Paru diartikan sebagai kematian jaringan paru-paru dan pembentukan
rongga yang berisi sel-sel mati atau cairan akibat infeksi bakteri
3. 3.
Abses paru didefinisikan sebagai nekrosis jaringan paru dan pembentukan
rongga yang berisi puing-puing nekrotik atau cairan disebabkan oleh infeksi mikroba.
Pembentukan abses multipel kecil (<2 cm) kadang-kadang disebut sebagai nekrosis
atau gangrene paru pneumonia. Kedua abses paru dan pneumonia nekrosis adalah
manifestasi dari proses patologis yang serupa
4. Abses Paru adalah suatu kavitas dalam jaringan paru yang berisi material purulent
berisikan sel radang akibat proses nekrotik parenkim paru oleh proses terinfeksi. Bila
diameter kavitas < 2 cm dan jumlahnya banyak (multiple small abscesses) dinamakan
necrotising pneumonia.

1. B.

Etiologi

Kebanyakan abses paru muncul sebagai komplikasi dari pneumonia aspirasi akibat bakteri
anaerob di mulut. Penderita abses paru biasanya memiliki masalah periodontal (jaringan di
sekitar gigi).
Sejumlah bakteri yang berasal dari celah gusi sampai ke saluran pernafasan bawah dan
menimbulkan infeksi. Tubuh memiliki sistem pertahanan terhadap infeksi semacam ini,
sehingga infeksi hanya terjadi jika sistem pertahanan tubuh sedang menurun, seperti yang
ditemukan pada:
seseorang yang berada dalam keadaan tidak sadar atau sangat mengantuk karena pengaruh
obat penenang, obat bius atau penyalahgunaan alcohol.
Penderita penyakit sistem saraf. Jika bakteri tersebut tidak dapat dimusnahkan oleh
mekanisme pertahanan tubuh, maka akan terjadi pneumonia aspirasi dan dalam waktu 7-14
hari kemudian berkembang menjadi nekrosis (kematian jaringan), yang berakhir dengan
pembentukan abses.
Mekanisme pembentukan abses paru lainnya adalah bakteremia atau endokarditis katup
trikuspidalis, akibat emboli septik pada paru-paru.
Pada 89% kasus, penyebabnya adalah bakteri anaerob. Yang paling sering adalah
Peptostreptococcus, Bacteroides, Fusobacterium dan Microaerophilic streptococcus.
Organisme lainnya yang tidak terlalu sering menyebabkan abses paru adalah:
Staphylococcus aureus
Streptococcus pyogenes
Streptococcus pneumoniae
Klebsiella pneumoniae
Haemophilus influenzae
spesies Actinomyces dan Nocardia
Basil gram negatif.
Penyebab non-bakteri juga bisa menyebabkan abses paru, diantaranya:
Parasit (Paragonimus, Entamoeba)
Jamur (Aspergillus, Cryptococcus, Histoplasma, Blastomyces, Coccidioides
Mycobacteria.

1. C.

Patofisiologi

Garry tahun 1993 mengemukakan terjadinya abses paru disebutkan sebagai berikut:
1. Merupakan proses lanjut pneumonia inhalasi bakteria pada penderita dengan faktor
predisposisi. Bakteri mengadakan multiplikasi dan merusak parenkim paru dengan
proses nekrosis. Bila berhubungan dengan bronkus, maka terbentuklah air fluid

level bakteria masuk kedalam parenkim paru selain inhalasi bisa juga dengan
penyebaran hematogen (septik emboli) atau dengan perluasan langsung dari proses
abses ditempat lain misal abses hepar.
2. Kavitas yang mengalami infeksi. Pada beberapa penderita tuberkolosis dengan
kavitas, akibat inhalasi bakteri mengalami proses peradangan supurasi. Pada penderita
emphisema paru atau polikisrik paru yang mengalami infeksi sekunder.
3. Obstruksi bronkus dapat menyebabkan pneumonia berlajut sampai proses abses paru.
Hal ini sering terjadi pada obstruksi karena kanker bronkogenik. Gejala yang sama
juga terlihat pada aspirasi benda asing yang belum keluar. Kadang-kadang dijumpai
juga pada obstruksi karena pembesaran kelenjar limphe peribronkial.
4. Pembentukan kavitas pada kanker paru. Pertumbuhan massa kanker bronkogenik
yang cepat tidak diimbangi peningkatan suplai pembuluh darah, sehingga terjadi
likuifikasi nekrosis sentral. Bila terjadi infeksi dapat terbentuk abses.
5. Sedangkan menurut Prof. dr. Hood Alsagaff (2006) adalah:
Bila terjadi aspirasi, kuman Klebsiela Pneumonia sebagai kuman komensal di saluran
pernafasan atas ikut masuk ke saluran pernafasan bawah, akibat aspirasi berulang, aspirat tak
dapat dikeluarkan dan pertahanan saluran nafas menurun sehingga terjadi keradangan. Proses
keradangan dimulai dari bronki atau bronkiol, menyebar ke parenchim paru yang kemudian
dikelilingi jaringan granulasi.
Perluasan ke pleura atau hubungan dengan bronkus sering terjadi, sehingga pus atau jaringan
nekrotik dapat dikeluarkan. Drainase dan pengobatan yang tidak memadai akan
menyebabkan proses abses yang akut akan berubah menjadi proses yang kronis atau
menahun.

PATWAY ABSES PARU


Reaksi sitemis : bakterimia/viremia, Anoreksia, mual, demam, penurunan berat badan
Edema tracheal/faringeal peningkatan produksi sekret
Ada sumber infeksi di saluran pernafsan
Obstruksi mekanik saluran pernafasan karena aspirasi bekuan darah, pus, bagian gigi yang

menyumbat, makanan, dan tumor bronkus


Daya tahan saluran pernafasan yang terganggu
Peningkatan laju metabolism umum, Intake nutrisi tidak adekuat, Tubuh makin kurus,
Ketergantungan aktifitas sehari-hari, Kurangnya pemenuhan istirahat tidur, Kecemasan,
Pemenuhan informasi

Hipertermi, Perubahan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan, Gangguan pemenuhan


ADL, Kecemasan, Ketidaktahuan/ pemenuhan informasi
Peradangan pada bronkus meyebar ke parenkim paru
Aspirasi bakteri berulang
Penurunan jaringan efektif paru, kerusakan membran alveolar-kapiler
Pembentukan pus dan drainase tida memadai
Pembentukan jaringan granulasi di paru
Gangguan pertukaran gas
Sesak nafas ,penggunaan otot bantu nafas, pola nafas tidak efektif
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas

Batuk produktif , Sesak nafas, penurunan kemampuan batuk efektif

1. D.

Manifestasi Klinis

kelelahan
hilang nafsu makan

berat badan menurun


berkeringat
demam
batuk berdahak.
Dahaknya bisa mengandung darah.
Dahak seringkali berbau busuk karena bakteri dari mulut atau tenggorokan cenderung
menghasilkan bau busuk.
Ketika bernafas, penderita juga bisa merasakan nyeri dada, terutama jika telah terjadi
peradangan pada pleura.
Gejala klinis yang ada pada abses paru hampir sama dengan gejala pneumonia pada
umumnya yaitu:
1. Panas badan
Dijumpai berkisar 70% 80% penderita abses paru. Kadang dijumpai dengan
temperatur > 400C.
2. Batuk, pada stadium awal non produktif. Bila terjadi hubungan rongga abses dengan
bronkus batuknya menjadi meningkat dengan bau busuk yang khas (Foetor ex oroe)
3. Produksi sputum yang meningkat dan Foetor ex oero dijumpai berkisar 40 75%
penderita abses paru.
4. Nyeri yang dirasakan di dalam dada
5. Batuk darah
6. Gejala tambahan lain seperti lelah, penurunan nafsu makan dan berat badan.
Pada pemeriksaan dijumpai tanda-tanda proses konsolidasi seperti redup pada perkusi, suara
nafas yang meningkat, sering dijumpai adanya jari tabuh serta takikardi.

1. E.

Pemeriksaan Diagnostik

1. Gambaran Radiologis
Pada foto torak terdapat kavitas dengan dinding tebal dengan tanda-tanda konsolidasi
disekelilingnya. Kavitas ini bisa multipel atau tunggal dengan ukuran f 2 20 cm.
Gambaran ini sering dijumpai pada paru kanan lebih dari paru kiri. Bila terdapat hubungan
dengan bronkus maka didalam kavitas terdapat Air fluid level. Tetapi bila tidak ada hubungan
maka hanya dijumpai tanda-tanda konsolidasi (opasitas).
1. Pemeriksaan laboratorium

2. Pada pemeriksaan darah rutin. Ditentukan leukositosis, meningkat lebih dari


12.000/mm3 (90% kasus) bahkan pernah dilaporkan peningkatan sampai dengan
32.700/mm3. Laju endap darah ditemukan meningkat > 58 mm / 1 jam.Pada hitung
jenis sel darah putih didapatkan pergeseran shit to the left
b. Pemeriksaan sputum dengan pengecatan gram tahan asam dan KOH merupakan
pemeriksaan awal untuk menentukan pemilihan antibiotik secara tepat.
c. Pemeriksaan kultur bakteri dan test kepekaan antibiotikan merupakan cara terbaik dalam
menegakkan diagnosa klinis dan etiologis.

1. F.

Penatalaksanaan

Untuk penyembuhan sempurna diperlukan antibiotik, baik intravena (melalui pembuluh


darah) maupun per-oral (melalui mulut).
Pengobatan ini dilanjutkan sampai gejalanya hilang dan rontgen dada menunjukkan bahwa
abses telah sembuh. Untuk mencapai perbaikan seperti ini, biasanya antibiotik diberikan
selama 4-6 minggu. Pada rongga yang berukuran besar (diameter lebih dari 6 cm), biasanya
perlu dilakukan terapi jangka panjang.
Perbaikan klinis, yaitu penurunan suhu tubuh, biasanya terjadi dalam waktu 3-4 hari setelah
pemberian antibiotik. Jika dalam waktu 7-10 hari setelah pemberian antibiotik demam tidak
juga turun, berarti telah terjadi kegagalan terapi dan sebaiknya dilakukan pemeriksaan
diagnostik lebih lanjut untuk menentukan penyebab dari kegagalan tersebut.
Hal -hal yang perlu dipertimbangkan pada penderita yang memberikan respon yang buruk
terhadap pemberian antibiotik adalah penyumbatan bronkial oleh benda asing atau tumor;
atau infeksi oleh bakteri, mikobakteri maupun jamur yang resisten.
Pada abses paru tanpa komplikasi sangat jarang dilakukan pembedahan. Indikasi pembedahan
biasanya adalah kegagalan terhadap terapi medis, kecurigaan adanya tumor atau kelainan
bentuk paru-paru bawaan.
Prosedur yang dilakukan adalah lobektomi atau pneumonektomi.
Angka kematian karena abses paru mencapai 5%. Angka ini lebih tinggi jika penderita
memiliki gangguan sistem kekebalan, kanker paru-paru atau abses yang sangat besar.

Penatalaksanaan Abses paru harus berdasarkkan pemeriksaan mikrobiologi dan data penyakit
dasar penderita serta kondisi yang mempengaruhi berat ringannya infeksi paru. Ada beberapa
modalitas terapi yang diberikan pada abses paru :

1. Medika Mentosa
Pada era sebelum antibiotika tingkat kematian mencapai 33% pada era antibiotika maka
tingkat kkematian dan prognosa abses paru menjadi lebih baik.
Pilihan pertama antibiotika adalah golongan Penicillin pada saat ini dijumpai peningkatan
Abses paru yang disebabkan oleh kuman anaerobs (lebih dari 35% kuman gram negatif
anaerob). Maka bisa dipikrkan untuk memilih kombinasi antibiotika antara golongan
penicillin G dengan clindamycin atau dengan Metronidazole, atau kombinasi clindamycin
dan Cefoxitin.
Alternatif lain adalah kombinasi Imipenem dengan B Lactamase inhibitase, pada penderita
dengan pneumonia nosokomial yang berkembang menjadi Abses paru.
Waktu pemberian antibiotika tergantung dari gejala klinis dan respon radiologis penderita.
Penderita diberikan terapi 2-3 minggu setelah bebas gejala atau adanya resolusi kavitas, jadi
diberikan antibiotika minimal 2-3 minggu.
1. Drainage
Drainase postural dan fisiotherapi dada 2-5 kali seminggu selama 15 menit diperlukan untuk
mempercepat proses resolusi Abses paru.
Pada penderita Abses paru yang tidak berhubungan dengan bronkus maka perlu
dipertimbangkan drainase melalui bronkoskopi.
1. Bedah
Reseksi segmen paru yang nekrosis diperlukan bila:
a. Respon yang rendah terhadap therapi antibiotika.
b. Abses yang besar sehingga mengganggu proses ventilasi perfusi
c. Infeksi paru yang berulang
d. Adanya gangguan drainase karena obstruksi.

Pengertian
Abses paru adalah suatu kavitas dalam jaringan paru yang berisi material purulent berisikan
sel radang akibat proses nekrotik parenkim paru oleh proses terinfeksi .

Bila diameter kavitas < 2 cm dan jumlahnya banyak (multiple small abscesses) dinamakan
necrotising pneumonia. Abses besar atau abses kecil mempunyai manifestasi klinik berbeda
namun mempunyai predisposisi yang sama dan prinsip diferensial diagnose sama pula. Abses
timbul karena aspirasi benda terinfeksi, penurunan mekanisme pertahanan tubuh atau
virulensi kuman yang tinggi. Pada umumnya kasus Abses paru ini berhubungan dengan
karies gigi, epilepsi tak terkontrol, kerusakan paru sebelumnya dan penyalahgunaan alkohol.
Pada negara-negara maju jarang dijumpai kecuali penderita dengan gangguan respons imun
seperti penyalahgunaan obat, penyakit sistemik atau komplikasi dari paska obstruksi. Pada
beberapa studi didapatkan bahwa kuman aerob maupupn anaerob dari koloni oropharing yang
sering menjadi penyebab abses paru.
Penelitian pada penderita Abses paru nosokonial ditemukan kuman aerob seperti golongan
enterobacteriaceae yang terbanyak. Sedangkan penelitian dengan teknik biopsi perkutan atau
aspirasi transtrakeal ditemukan terbanyak adalah kuman anaerob. Pada umumnya para klinisi
menggunakan kombinasi antibiotik sebagai terapi seperti penisilin, metronidazole dan
golongan aminoglikosida pada abses paru. Walaupun masih efektif, terapi kombinasi masih
memberikan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Waktu perawatan di RS yang lama
2. Potensi reaksi keracunan obat tinggi
3. Mendorong terjadinya resistensi antibiotika.
4. Adanya super infeksi bakteri yang mengakibatkan Nosokonial Pneumoni.
Terapi ideal harus berdasarkan penemuan kuman penyebabnya secara kultur dan sensitivitas.
Pada makalah ini akan dibahas Abses paru mulai patogenesis, terapi dan prognosa sebagai
penyegaran teori yang sudah ada.
Pathofisiologi
1. Pathologi
Abses paru timbul bila parenkim paru terjadi obstruksi, infeksi kemudian proses supurasi dan
nekrosis.
Perubahan reaksi radang pertama dimulai dari suppurasi dan trombosis pembuluh darah lokal,
yang menimbulkan nekrosis dan likuifikasi. Pembentukan jaringan granulasi terjadi
mengelilingi abses, melokalisir proses abses dengan jaringan fibrotik. Suatu saat abses pecah,
lalu jaringan nekrosis keluar bersama batuk, kadang terjadi aspirasi pada bagian lain bronkus
terbentuk abses baru. Sputumnya biasanya berbau busuk, bila abses pecah ke rongga pleura
maka terjadi empyema (2, 3, 10).
2. Pathofisiologi
Garry tahun 1993 mengemukakan terjadinya abses paru disebutkan sebagai berikut :

Merupakan proses lanjut pneumonia inhalasi bakteria pada penderita dengan faktor
predisposisi. Bakteri mengadakan multiplikasi dan merusak parenkim paru dengan
proses nekrosis. Bila berhubungan dengan bronkus, maka terbentuklah air fluid level
bakteria masuk kedalam parenkim paru selain inhalasi bisa juga dengan penyebaran
hematogen (septik emboli) atau dengan perluasan langsung dari proses abses ditempat
lain (nesisitatum) misal abses hepar.

Kavitas yang mengalami infeksi. Pada beberapa penderita tuberkolosis dengan


kavitas, akibat inhalasi bakteri mengalami proses keradangan supurasi. Pada penderita
emphisema paru atau polikisrik paru yang mengalami infeksi sekunder.

Obstruksi bronkus dapat menyebabkan pneumonia berlajut sampai proses abses paru.

Hal ini sering terjadi pada obstruksi karena kanker bronkogenik. Gejala yang sama
juga terlihat pada aspirasi benda asing yang belum keluar. Kadang-kadang dijumpai
juga pada obstruksi karena pembesaran kelenjar limphe peribronkial.

Pembentukan kavitas pada kanker paru.

Pertumbuhan massa kanker bronkogenik yang cepat tidak diimbangi peningkatan


suplai pembuluh darah, sehingga terjadi likuifikasi nekrosis sentral. Bila terjadi
infeksi dapat terbentuk abses.

Manifestasi Klinis
1. Gejala klinis :
Gejala klinis yang ada pada abses paru hampir sama dengan gejala pneumonia pada
umumnya yaitu:

Panas badan : Dijumpai berkisar 70% - 80% penderita abses paru. Kadang dijumpai
dengan temperatur > 400C.

Batuk, pada stadium awal non produktif. Bila terjadi hubungan rongga abses dengan
bronkus batuknya menjadi meningkat dengan bau busuk yang khas (Foetor ex oroe
(40-75%).

Produksi sputum yang meningkat dan Foetor ex oero dijumpai berkisar 40 75%
penderita abses paru.

Nyeri dada (50% kasus)

Batuk darah (25% kasus)

Gejala tambahan lain seperti lelah, penurunan nafsu makan dan berat badan.

Pada pemeriksaan dijumpai tanda-tanda proses konsolidasi seperti redup, suara nafas
yang meningkat, sering dijumpai adanya jari tabuh serta takikardi.

2. Gambaran Radiologis
Pada foto torak terdapat kavitas dengan dinding tebal dengan tanda-tanda konsolidasi
disekelilingnya. Kavitas ini bisa multipel atau tunggal dengan ukuran 2 20 cm.
Gambaran ini sering dijumpai pada paru kanan lebih dari paru kiri. Bila terdapat hubungan
dengan bronkus maka didalam kavitas terdapat Air fluid level. Tetapi bila tidak ada hubungan
maka hanya dijumpai tanda-tanda konsolidasi (opasitas).
3. Pemeriksaan laboratorium

Pada pemeriksaan darah rutin. Ditentukan leukositosis, meningkat lebih dari


12.000/mm3 (90% kasus) bahkan pernah dilaporkan peningkatan sampai dengan
32.700/mm3. Laju endap darah ditemukan meningkat > 58 mm / 1 jam. Pada hitung
jenis sel darah putih didapatkan pergeseran shit to the left

Pemeriksaan sputum dengan pengecatan gram tahan asam dan KOH merupakan
pemeriksaan awal untuk menentukan pemilihan antibiotik secara tepat.

Pemeriksaan kultur bakteri dan test kepekaan antibiotikan merupakan cara terbaik
dalam menegakkan diagnosa klinis dan etiologis.

Diagnosa
Diagnosa abses paru tidak bisa ditegakkan hanya berdasarkan kumpulan gejala seperti
pneumonia dan pemeriksaan phisik saja.Diagnosa harus ditegakkan berdasarkan :
1. Riwayat penyakit sebelumnya.

Keluhan penderita yang khas misalnya malaise, penurunan berat badan, panas badan
yang ringan, dan batuk yang produktif.

Adanya riwayat penurunan kesadaran berkaitan dengan sedasi, trauma atau serangan
epilepsi. Riwayat penyalahgunaan obat yang mungkin teraspirasi asam lambung
waktu tidak sadar atau adanya emboli kuman diparu akibat suntikan obat.

2. Hasil pemeriksaan fisik yang mendukung adanya data tentang penyakit dasar yang
mendorong terjadinya abses paru.
3. Pemeriksaan laboratorium sputum gram, kultur darah yang dapat mengarah pada
organisme penyebab infeksi.
4. Gambaran radiologis yang menunjukkan kavitas dengan proses konsolidasi disekitarnya,
adanya air fluid level yang berubah posisi sesuai dengan gravitasi.
5. Bronkoskopi
Fungsi Bronkoskopi selain diagnostik juga untuk melakukan therapi drainase bila kavitas
tidak berhubungan dengan bronkus.

Diagnosa Banding (2) :


1. Karsimoma bronkogenik yang mengalami kavitasi, biasanya dinding kavitas tebal dan
tidak rata. Diagnosis pasti dengan pemeriksaan sitologi/patologi.
2. Tuberkulosis paru atau infeksi jamur
3. Gejala klinisnya hampir sama atau lebih menahun daripada abses paru. Pada
tuberkulosis didapatkan BTA dan pada infeksi jamur ditemukan jamur.
4. Bula yang terinfeksi, tampak air fluid level. Di sekitar bula tidak ada atau hanya
sedikit konsolidasi.
5. Kista paru yang terinfeksi. Dindingnya tipis dan tidak ada reaksi di sekitarnya.
6. Hematom paru. Ada riwayat trauma. Batuk hanya sedikit.
7. Pneumokoniosis yang mengalami kavitasi. Pekerjaan penderita jelas di daerah
berdebu dan didapatkan simple pneumoconiosis pada penderita.
8. Hiatus hernia. Tidak ada gejala paru. Nyeri restrosternal dan heart burn bertambah
berat pada waktu membungkuk. Diagnosis pasti dengan pemeriksaan barium foto.
9. Sekuester paru. Letak di basal kiri belakang. Diagnosis pasti dengan bronkografi atau
arteriografi retrograd.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Abses paru harus berdasarkkan pemeriksaan mikrobiologi dan data penyakit
dasar penderita serta kondisi yang mempengaruhi berat ringannya infeksi paru. Ada beberapa
modalitas terapi yang diberikan pada abses paru :
1. Medika Mentosa

Pada era sebelum antibiotika tingkat kematian mencapai 33% pada era antibiotika
maka tingkat kkematian dan prognosa abses paru menjadi lebih baik.

Pilihan pertama antibiotika adalah golongan Penicillin pada saat ini dijumpai
peningkatan Abses paru yang disebabkan oleh kuman anaerobs (lebih dari 35%
kuman gram negatif anaerob). Maka bisa dipikrkan untuk memilih kombinasi
antibiotika antara golongan penicillin G dengan clindamycin atau dengan
Metronidazole, atau kombinasi clindamycin dan Cefoxitin.

Alternatif lain adalah kombinasi Imipenem dengan B Lactamase inhibitase, pada


penderita dengan pneumonia nosokomial yang berkembang menjadi Abses paru.

Waktu pemberian antibiotika tergantung dari gejala klinis dan respon radiologis
penderita. Penderita diberikan terapi 2-3 minggu setelah bebas gejala atau adanya
resolusi kavitas, jadi diberikan antibiotika minimal 2-3 minggu.

2. Drainage

Drainase postural dan fisiotherapi dada 2-5 kali seminggu selama 15 menit diperlukan
untuk mempercepat proses resolusi Abses paru.

Pada penderita Abses paru yang tidak berhubungan dengan bronkus maka perlu
dipertimbangkan drainase melalui bronkoskopi.

3. Bedah
Reseksi segmen paru yang nekrosis diperlukan bila:

Respon yang rendah terhadap therapi antibiotika.

Abses yang besar sehingga mengganggu proses ventilasi perfusi

Infeksi paru yang berulang

Adanya gangguan drainase karena obstruksi.

Komplikasi Dan Prognosa


1. Beberapa komplikasi yang timbul adalah :

Empyema

Abses otak

cAtelektasis

Sepsis

2. Prognosa
Abses paru masih marupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Angka
kematian Abses paru berkisar antara 15-20% merupakan penurunan bila dibandingkan
dengan era pre antibiotika yang berkisar antara 30-40%.
Pada penderita dengan beberapa faktor predisposisi mempunyai prognosa yang lebih jelek
dibandingkan dengan penderita dengan satu fakktor predisposisi. Perlman et al menemukan
bahwa 2% angka kematian pada penderita dengan satu faktor predisposisi dibandingkan 75%
pada penderita dengan multi predisposisi. Muri et al melaporkan 2,4% angka kematian Abses
paru karena CAP dibanding 66% Abses paru karena HAP. Beberapa faktor yang
memperbesar angka mortalitas pada Abses paru sebagai berikut :

Anemia dan Hipo Albuminemia

Abses yang besar (5-6 cm)

Lesi obstruksi

Bakteri aerob

Immune Compromised

Usia tua

Gangguan intelegensia

Perawatan yang terlambat

Ringkasan

Abses paru adalah suatu kavitas dalam jaringan paru yang berisi material purulent dan
sel radang akibat proses nekrotik parenkim paru oleh proses infeksi. Abses paru
timbul karena faktor predisposisi seperti gangguan fungsi imun karena obat-obatan,
gangguan kesadaran (anestesi, epilepsi), oral higine yang kurang serta obstruksi dan
aspirasi benda asing.

Pada abses paru memberikan gejala klinis panas, batuk, sputum purulen dan berbau,
disertai malaise, naspu makan dan berat badan yang turun. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan takikardia, tanda-tanda konsolidasi. Pada pemeriksaan foto polos dada
didapatkan gambaran kavitas dengan air fluid level atau proses konsolidasi saja bila
kavitas tidak berhubungan dengan bronkus.

Diagnosis pasti bila didapatkan biakan kuman penyebab sehingga dapat dilakukan
terapi etiologis.

Pemberian antibiotika merupakan pilihan utama disamping terapi bedah dan terapi
suportif fisio terapi.

Daftar Pustaka
1. Asher MI, Beadry PH ; Lung Abscess in infections of Respicatory tract ; Canada ;
1990 : 429 34.
2. Assegaff H. dkk ; Abses Paru dalam Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru ; AUP ;
Surabaya ; 136 41.
3. Barlett JG ; Lung Abscess in : Cecil text book of Medicine 19th ed ; Phildelphia ;
1992 ; 413 15.
4. Finegold SM, Fishman JA ; Empyema and Lung Abscess ; in Fishmans pulmonary
Diseases and disorders 3rd ed ; Philadelphia ; 1998 ; 2021 32.
5. Garry et al ; Lung Abscess in a Lange Clinical Manual : Internal Medicina : Diagnosis
and Therapy 3rd ; Oklahoma ; 1993 ; 119 120.

6. Hammond JMJ et al ; The Ethiology and Anti Microbial Susceptibility Patterns of


Microorganism in acute Commuity Acquired Lung Abscess ; Chest ; 108 ; 4 ; 1995 ;
937 41.
7. Hirshberg B et al ; Factors predicting mortality of patients with lung Abscsess ;
Chest ; 115 ; 3 ; 1999 ; 746 52.
8. Johnson KM, Huseby JS ; Lung Abscess Caused by Legionella micdadei ; Chest 111 ;
1 ; 1997 ; 109 13.
9. Klein JS et al ; Interventional Radiology of The Chest : Image Guided Percutaneons
Drainage of Pleural Effusions, Lung Abscess, and Pneumothorax ; AJR ; 1995 ; 164 ;
581 88.
10. Ricaurte KK et al ; Allergic broucho pulumonary aspergillosis with multiple
Streptococceus pneumonie Lung Abscess : an unussual insitial case presentation ;
joutnal of allergy and clinical imonoligy ; 104 ; 1 1999 ; 238 40.

Empiema adalah akumulasi pus diantara paru dan membran yang menyelimutinya (ruang
pleura) yang dapat terjadi bilamana suatu paru terinfeksi. Empiema masih merupakan
masalah dalam bidang penyakit paru karena secara signifikan masih menyebabkan kecacatan
dan kematian walaupun sudah ditunjang dengan kemajuan terapi antibiotik dan drainase
rongga pleura maupun dengan tindakan operasi dekortikasi. Empiema paling banyak
ditemukan pada anak usia 29 tahun.
Penyakit tersebut dapat pula disebabkan oleh :
a. Trauma pada dada (sekitar 1 5 % kasus mendorong ke arah empiema)
b. Pecahnya abses dari paru-paru kedalam rongga pleura
c. Infeksi Bakteri coccus
Empiema merupakan salah satu penyakit yang sudah lama ditemukan dan berat. Saat
ini terdapat 6500 penderita di USA dan UK yang menderita empiema dan efusi
parapneumonia tiap tahun, dengan mortalitas sebanyak 20% dan menghabiskan dana rumah
sakit sebesar 500 juta dolar. Di India terdapat 5 10% kasus anak dengan empiema toraks.
Empiema dapat diobati dan ditangani dari dini agar tidak terjadi komplikasi yang
lebih lanjut, Untuk itu lebih jelasnya kami bahas pada makalah ini di Bab selanjutnya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konsep Dasar Empiema Paru ?
2. Bagaimana Asuhan Keperawatan Pada pasien empiema paru?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui tentang penyakit Empiema Paru dan cara mengambil tindakan jika ada
pasien yang terkena Empiema Paru

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Mengetahui anatomi fisiologi Paru paru
2. Mengetahui Definisi Empiema paru
3. Mengetahui etiologi dari Empiema Paru
4. Mengetahui Patogenesis Empiema paru
5. Mengetahui patofisiologi dan WOC Empiema paru
6. Mengetahui manifestasi klinis Empiema paru
7. Mengetahui pemeriksaan diasnostik dari Empiema paru
8. Mengetahui penatalaksanaaan dari kanker paru
9. Mengetahui Pengobatan Empiema paru
10. Mengetahui askep dari Empiema paru
1.4 Manfaat
Dengan pembuatan makalah ini kami dapat mengerti tentang Empiema Paru dan
memahami apa yang harus dilakukan seorang perawat untuk menangani pasien dengan
Empiema paru.

BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Anatomi Fisiologi
Paru-paru terletak di dalam rongga dada bagian atas, di bagian samping dibatasi oleh
otot dan rusuk dan di bagian bawah dibatasi oleh diafragma yang berotot kuat. Paru-paru ada
dua bagian yaitu paru-paru kanan (pulmo dekster) yang terdiri atas 3 lobus dan paru-paru kiri
(pulmo sinister) yang terdiri atas 2 lobus. Paru-paru dibungkus oleh dua selaput yang tipis,
disebut pleura. Selaput bagian dalam yang langsung menyelaputi paru-paru disebut pleura
dalam (pleura visceralis) dan selaput yang menyelaputi rongga dada yang bersebelahan
dengan tulang rusuk disebut pleura luar (pleura parietalis).
Gbr. Struktur paru-paru
Antara selaput luar dan selaput dalam terdapat rongga berisi cairan pleura yang
berfungsi sebagai pelumas paru-paru. Cairan pleura berasal dari plasma darah yang masuk
secara eksudasi. Dinding rongga pleura bersifat permeabel terhadap air dan zat-zat lain.
Paru-paru tersusun oleh bronkiolus, alveolus, jaringan elastik, dan pembuluh darah.
Paru-paru berstruktur seperti spon yang elastis dengan daerah permukaan dalam yang sangat
lebar untuk pertukaran gas.
Di dalam paru-paru, bronkiolus bercabang-cabang halus dengan diameter 1 mm,
dindingnya makin menipis jika dibanding dengan bronkus.

Bronkiolus tidak mempunyi tulang rawan, tetapi rongganya masih mempunyai silia dan di bagian ujun

Alveolus terdapat pada ujung akhir bronkiolus berupa kantong kecil yang salah satu sisinya terbuka se
Torak, Diafragma, Pleura

Tulang dada atau sternum berfungsi melindungi paru-paru,jantung, dan pembuluh


darah besar. Bagian luar tulang dada terdiri atas 12 pasang tulang iga. Bagian dada pada
daerah leher terdapat dua tulang tambahan yaitu otot scaleneus dan sternocleidomastoid.otot
scaleneus menaikkan tulang iga ke1 dan 2 pada saat inspirasi, sedangkan otot
sternocleidomastoid mengangkat sternum. Otot parasternal, trapezius,dan pectoralis juga
merupakan otot tambahan yang berfungsi untuk meningkatkan kerja nafas. Diantara tulang
iga terdapat otot interkostal eksternus yang menggerakkan tulang iga keatas dan kedepan
sehingga akan menimbulkan meningkatnya diameter anteroposterior dindinding dada.
Diagfragma terletak dibawah rongga dada. Diagfragma berbentuk seperti kubah pada
keadaan relaksasi. Pengaturan syaraf digfragma (nervus prenicus) terdapat pada sususnan
saraf spinal pada tingkat C3, sehingga jika terjadi kecelakaan pada saraf C3 akan
menyebabkan gangguan ventilasi.
Pleura merupakan membran serosa yang menyelimuti paru-paru. Pleura ada 2 macam
yaitu pleura parietal yang bersinggungan dengan rongga dada(lapisan luar paru-paru) dan
pleura viscieral yang menutupi setiap paru-paru(lapisan dalam paru-paru). Diantara kedua
pleura terdapat cairan pleura seperti selaput tipis yang memungkinkan kedua permukaan
tersebut bergesekan satu sama lain selama respirasi, dan mencegah perlekatan dada dengan
paru-paru. Tekanan dalam rongga pleura lebih rendah daripada tekanan atmosfer sehingga
mencegah kolaps paru-paru
2.2 Definisi Empiema Paru
Empiema merupakan terkumpulnya cairan purulen (pus) didalam rongga pleura.
Awalnya, cairan pleura adalah encer dengan jumlah leukosit rendah, tetapi seringkali menjadi
stadium fibropurulen dan akhirnya sampai pada keadaan di mana paru paru tertutup oleh
membrane eksudat yang kental(Somantri.2009)
Empiema adalah keadaan terkumpulnya nanah ( pus ) didalam ronggga pleura dapat
setempat atau mengisi seluruh rongga pleura( Ngastiyah,1997).
Empiema adalah penumpukan cairan terinfeksi atau pus pada cavitas pleura ( Diane
C. Baughman, 2000 ).
Empiema adalah penumpukan materi purulen pada areal pleural ( Hudak & Gallo,
1997
Empiema adalah kondisi dimana terdapatnya udara dan nanah dalam rongga pleura
dengan yang dapati timbul sebagai akibat traumatik maupun proses penyakit lainnya.
Empiema adalah efusi pleura yang terinfeksi oleh mikroba. Empiema paling sering
terjadi karena pneumonia (infeksi paru) yang penanganannya tidak sempurna, dapat terjadi
karena trauma, "rupture esophaqus" juga karena ekstensi infeksi sub diaphragma seperti abses
hepar.
2.3 Etiologi
1. Berasal dari Paru
1. Pneumonia
2. Abses Paru
3. Adanya Fistel pada paru
4. Bronchiektasis
5. TB

6. Infeksi fungidal paru


2. Infeksi Diluar Paru

Trauma dari tumor

Pembedahan otak

Thorakocentesis

Subdfrenic abces

Abses hati karena amuba

Bakteriologi
1

Staphilococcus Pyogenes,. Terjadi pada semua umur, sering pada anak

Streptococcus Pyogenes

Bakteri gram negatif

Bakteri anaerob

2.4 Patogenesis
Terjadinya empiema dapat melalui tiga jalur:
1. Sebagai komplikasi pneumoni dan abses paru. Karena kuman menjalar perkontiniutatum dan
menembus pleura visceral .
2. Secara hematogen, kuman dari focus lain sampai pada pleura visceral.
3. Infeksi darti luar dinding thoraks yang menjalar kedalam pleura misalnya pada trauma
thoraks, abses dinding thoraks.
2.5 Patofisiologi & WOC
Mekanisme penyebaran infeksi sehingga mencapai rongga pleura
1. Infeksi paru, infeksi paru seperti pneumonia dapat menyebar secara langsung ke pleura,
penyebaran melalui sistem limfatik atau penyebaran secara hematogen. Penyebaran juga bisa
terjadi akibat adanya nekrosis jaringan akibat pneumonia atau adanya abses yang ruftur ke
rongga pleura.
2. Mediastinum, kuma-kuman dapat masuk ke rongga pleura melalui tracheal fistula,
esofageal fistula, asanya abses di kelenjar mediastinum
3. Subdiafragma, asanya proses di peritoneal atau di visceral dapat juga menyebar ke rongga
pleura
4. Inokulasi langsung, inokulasi langsung dapat terjadi akibat trauma, iatrogenik, pasca
operasi. Pasca operasi dapat terjadi infeksi dari hemotoraks atau adanya leak dari bronkus.
Proses infeksi di paru seperti pneumonia, abses paru, sering mengakibatkan efusi
parapneumonik yang merupakan awal terjadinya empiema, ada tiga fase perjalan efusi
parapneumonik,

- fase pertama atau fase eksudatif yang ditandai dengan penumpukan cairan pleura yang
dteril dengan cepat dirongga pleura. Peumpukan cairan tersebut akibat peninggian
permeabilitas kapiler di pleura visceralis yang diakibatkan pneumonitis. Cairan ini memiliki
karakteristik rendah lekosit, rendah LDH, normal glukosa, dan normal pH.
- Bila pemberian antibiotik tidak tepat, bakteri yang berasal dari proses pneumonitis tersebut
akan menginvasi cairan pleura yang akan mengawali terjadinya fase kedua yaitu fase
fibropurulen pada fase ini cairan pleura mempunyai karakteristik PMN lekosit tinggi,
dijumpai bakteri dan debris selular, pH dan glukosa rendah dan LDH tinggi. Pasa fase ini,
penanganan tidak cukup hanya dengan antibiotik tetapi memerlukan tindakan lain seperti
pemasangan selang dada.
- Bila penanganan juga kurang baik, penyakit akan memasuki fase akhir yaitu fase
organization. Pada fase ini fibroblas akan berkembang ke eksudat dari permukaan pleura
visceralis dan parietalis dan membentuk membran yang tidak elastis yang dinamakan pleural
feel. Pleural feel ini akan menyelubungi paru dan menghalangi paru untuk mengembang.
Pada fase ini eksudat sangat kental dan bila penanganan tetap tidak baik, penyakit dapat
berlanjut menjadi empiema.

Anda mungkin juga menyukai