Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Abses paru adalah lesi paru berupa supurasi dan nekrosis jaringan. Pada
daerah abses, terdapat suatu daerah lokal nekrosis supurativa di dalam parenkim
paru, yang menyebabkan terbentuknya satu atau lebih kavitas yang besar.
Kemajuan ilmu kedokteran saat ini menyebabkan kejadian abses paru menurun
karena adanya perbaikan risiko terjadinya abses paru seperti teknik operasi dan
anastesi yang lebih baik dan penggunaan antibiotik lebih dini, kecuali pada
kondisi-kondisi yang memudahkan untuk terjadinya aspirasi dan pada populasi
dengan daya tahan tubuh yang menurun (immunocompromised).1
Ada beberapa kondisi yang menyebabkan atau mendorong terjadinya abses
paru. Beberapa faktor resiko yang menyebabkan abses paru antara lain, pasien-
pasien dengan muntah yang berlarut-larut, kelainan neurologik seperti epilepsi,
overdosis obat, alkoholisme, dan lain-lain. Kejadian abses paru sering juga
berkaitan kejadiannya dengan infeksi periodontal dan hygiene gigi dan mulut
yang buruk.1
Kuman atau bakteri penyebab terjadinya abses paru bervariasi. 46% abses
paru disebabkan hanya oleh bakteri anaerob, sedangkan 43% campuran bakteri
anaerob dan aerob. Kemudian pada anak-anak ditemukan faktor predisposisi dari
abses paru dapat disebabkan oleh infeksi berat hingga imunodefisiensi.2
Abses paru merupakan kasus jarang dan beberapa dokter meningkatkan
pengetahuannya dalam penatalaksanaannya. juga dapat menentukan diagnosis
meskipun jarang digunakan. Antibiotik tunggal tidak menghasilkan hasil yang
memuaskan kecuali pus bisa di drainase dari kavitas abses. Pada kebanyakan
pasien, drainase spontan terjadi melalui cabang bronkus, dengan produksi sputum
purulen. Hal ini mungkin terbantu melalui drainase postural.2
Abses paru masih merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang
signifikan. Angka kematian abses paru berkisar antara 15-20% merupakan
penurunan bila dibandingkan dengan era pre antibiotika yang berkisar antara 30-
40%

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Abses paru adalah infeksi dekstruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan
paru yang terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi nanah (pus) dalam
parenkim paru pada satu lobus atau lebih. Kavitas ini berisi material purulen sel
radang akibat proses nekrotik parenkim paru oleh proses terinfeksi. Bila diameter
kavitas <2cm dan jumlahnya banyak (multiple small abscesses) dinamakan
necrotizing pneumonia.4

2.2 Epidemiologi
Kebanyakan pasien dengan abses paru primer dapat sembuh dengan
antibiotik, dengan tingkat kesembuhan rata-rata sebanyak 90-95%. Faktor host
yang menyebabkan prognosis memburuk antara lain usia lanjut, kekurangan
tenaga, malnutrisi, infeksi HIV atau bentuk lain imunosupres. tingkat kematian
untuk pasien dengan status imunocompromised mendasar atau obstruksi bronkial
yang kemudian membentuk abses paru dapat mencapai 75%.5
Organisme aerobik, yang biasanya didapat di rumah sakit, juga dapat
menghasilkan prognisa yang buruk. Sebuah studi retrospektif melaporkan tingkat
kematian abses paru-paru yang disebabkan oleh bakteri gram positif dan gram
negatif digabungkan adalah sekitar 20%.5
Laki-laki mempunyai prevalensi yang dominan dalam kejadian abses paru
yang dilaporkan dalam beberapa seri kasus yang sudah dipublikasikan. Abses paru
pada umumnya terjadi pada pasien usia lanjut dikarenakan meningkatnya penyakit
periodontal dan peningkatkan prevalensi disfagi dan aspirasi pada usia ini.
Namun, serangkaian kasus dari warga yang tinggal di pusat perkotaan dengan
prevalensi alkoholisme tinggi melaporkan usia rata-rata yang mengalami abses
paru adalah 41 tahun.5

2.3 Etiologi

2
Pneumonia nekrotikans, aspirasi benda asing, emboulus septik atau infeksi
pada infark paru, obstruksi bronkial oleh tumor, infeksi kista atau bula, perluasan
bronkiektasis ke parenkim, luka tembus dada, dan perluasan infeksi
transdiafragmatika seperti abses subfrenik dan amebik.6
Bakteri anaerob terdapat di hampir semua abses paru, kadang-kadang
dalam jumlah yang sangat banyak. Pada 89% kasus, penyebab abses paru adalah
bakteri anaerob yang paling sering adalah Peptostreptococcus, Bacteroides,
Fusobacterium dan Microaerophilic streptococcus.6
Kebanyakan abses paru yang terjadi pada anak-anak disebabkan oleh
adanya aspirasi benda asing. Abses paru dapat muncul sebagai komplikasi dari
pneumonia aspirasi akibat bakteri anaerob di mulut. Penderita abses paru
biasanya memiliki masalah periodontal (jaringan di sekitar gigi). Sejumlah bakteri
yang berasal dari celah gusi sampai ke saluran pernafasan bawah dan
menimbulkan infeksi. Tubuh memiliki system pertahanan terhadap infeksi
semacam ini, sehingga infeksi hanya terjadi jika sistem pertahanan tubuh sedang
menurun, seperti yang ditemukan pada.6

Organisme lainnya yang tidak terlalu sering menyebabkan abses paru adalah:

 Staphylococcus aureus

 Streptococcus pyogenes

 Streptococcus pneumoni
 Klebsiella pneumoniae

 Haemophilus influenzae

 spesies Actinomyces dan Nocardia

 Basil gram negatif.

Penyebab non-bakteri juga bisa menyebabkan abses paru, diantaranya:

 Parasit (Paragonimus, Entamoeba)

3
 Jamur (Aspergillus, Cryptococcus, Histoplasma, Blastomyces, Coccidioides

Faktor predisposisi
Ada beberapa kondisi yang menyebabkan atau mendorong terjadinya abses paru.
Beberapa penelitian menyimpulkan beberapa faktor tersebut di antaranya:
Tabel 1. Faktor predisposisi abses paru.
No Faktor Predisposisi

1 Alkoholik (50%)
2 Ca Bronkogenik (25%)
3 Caries gigi (20%)
4 Miscellaneous (tidak teridentifikasi) 23,3 %
5 Penyalahgunaan obat (cth: steroid) 3,3%
6 Epilepsi (6,6%)

Penelitian terdahulu menemukan adanya infeksi pada abses paru. Dari


hasil kultue sputum didapatkan adanya infeksi staphylococcus (46%), klabsiella
(26,6%, E.coli (10%).21
Penelitian lain melaporkan bebrapa faktor predisposisi abses paru terjadi
pada anak-anak, di antaranya :
Tabel 2. Faktor predisposisi abses paru pada anak-anak.
Kondisi Contoh

Infeksi berat Bronkopneumonia


Meningitis
Osteomyelitis
Septicemia
Abses dinding perut
Abses peritonsilar
Endocarditis
Gangguan sistem imun
Measles
Burns
Prematur

4
Leukimia
Hepatitis
Sindroma nefrotik
Penyakit granulomatosa kronik

Yang lain (miscellaneous Terapi steroid

jarang) Malnutrisi

Fibrosis kistik
Misplaced central nervouse catheter
Benda asing pada saluran pernafasan
Benda asing yang bersifat erosi di
esofagus

Aspirasi pada daerah orofaring merupakan penyebab utama terjadinya


abses. Faktor predisposisi yang menyebabkan aspirasi orofaring seperti tabel 3
kadang-kadang satu orang lebih dari satu faktor.21
Tabel 3. Predisposisi aspirasi orofaring.
Predisposisi aspirasi orofaring
Gangguan kesadaran - Alkoholisme
- Penyalahan obat intravena
- Epilepsi
- Anastesi umum
- Gangguan serebrovaskular
- trauma
Gangguan inervasi otot - faring
- laring
- esofagus
Infeksi masal - penyakit sinus
Infeksi oral - Caries gigi
- Penyakit gingival
Infeksi farigeal - pouch
Infeksi trakeoesofageal - fistula trakeoesofageal

5
2.4 Patofisiologi

Patologi Abses paru timbul bila parenkim paru terjadi obstruksi, infeksi
kemudian menimbulkan proses supurasi dan nekrosis. Perubahan reaksi radang
pertama dimulai dari supurasi dan trombosis pembuluh darah lokal, yang
menimbulkan nekrosis dan likuifikasi. Pembentukan jaringan granulasi terjadi
mengelilingi abses, melokalisir proses abses dengan jaringan fibrotic.7
Seiring dengan membesarnya fokus supurasi, abses akhirnya akan pecah
ke saluran nafas. Oleh karena itu, eksudat yang terkandung di dalamnya mungkin
keluar sebagian, menghasilkan batas udara-air (air-fluid level) pada pemeriksaan
radiografik Abses yang pecah akan keluar bersama batuk sehingga terjadi aspirasi
pada bagian lain dan akhirnya membentuk abses paru yang baru. Kadang-kadang
abses pecah ke dalam rongga pleura dan menghasilkan fistula bronkopleura, yang
menyebabkan pneumotoraks atau empyema.7
Patofisiologi Proses terjadinya abses paru dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Merupakan proses lanjut pneumonia inhalasi bakteria pada penderita


dengan faktor predisposisi. Bakteri mengadakan multiplikasi dan merusak
parenkim paru dengan proses nekrosis.8
b. Kavitas yang mengalami infeksi. Pada beberapa penderita tuberkulosis
dengan kavitas, akibat inhalasi bakteri mengalami proses keradangan supurasi.
Pada penderita empisema paru atau polikistik paru yang mengalami infeksi
sekunder.8
c. Obstruksi bronkus dapat menyebabkan pneumonia berlanjut sampai
proses abses paru. Hal ini sering terjadi pada obstruksi karena kanker
bronkogenik. Gejala yang sama juga terlihat pada aspirasi benda asing yang
belum keluar. Kadang-kadang dijumpai juga pada obstruksi karena pembesaran
kelenjar limfe peribronkial.8
d. Pembentukan kavitas pada kanker paru. Pertumbuhan massa kanker
bronkogenik yang cepat tidak diimbangi peningkatan suplai pembuluh darah,
sehingga terjadi likuifikasi nekrosis sentral bila terjadi infeksi dapat terbentuk
abses.8

6
Proses patogenesis abses paru secara ringkas digambarkan dalam bagan
berikut:

Gambar 1. Patofisiologi terjadinya abses paru.

7
2.5 Manifestasi Klinis

Gejala penyakit timbul satu sampai tiga hari setelah aspirasi. Gejalanya
menyerupai pneumonia pada umumnya, diantaranya:
a. Panas badan di jumpai berkisar 70%-80% penderita abses paru. Kadang
dijumpai dengan temperatur >38˚C disertai menggigil.
b. Batuk pada stadium awal non- produktif. Bila terjadi hubungan rongga
abses dengan bronkus batuknya menjadi meningkat dengan bau busuk
yang khas (Foetor ex oroe (40-75%).
c. Produksi sputum yang meningkat dan Foetor ex oero dijumpai berkisar
75% penderita abses paru.
d. Nyeri dada (± 50% kasus)
e. Batuk darah (± 25% kasus)
f. Gejala tambahan lain seperti lelah, penurunan nafsu makan dan penurunan
berat badan.9

2.6 Diagnosa

Untuk menentukan diagnosis pasti dari abses paru haruslah menyingkirkan


kavitas yang ditimbulkan oleh karsinoma ataupun tuberculosis.9
Diagnosis abses paru dapat ditegakkan berdasarkan:
1. Keluhan penderita yang khas misalnya malaise, penurunan berat badan,
panas badan yang ringan, dan batuk yang produktif.
2. Riwayat penyakit sebelumnya. Adanya riwayat penurunan kesadaran
berkaitan dengan sedasi, trauma atau serangan epilepsi.
3. Gambaran radiologis abses paru menunjukkan adanya kavitas berdinding
dengan air fluid level di dalam kavitas
4. Bronkoskopi untuk mengetahui adanya obstruksi pada bronkus. Obstruksi
bronkial skunder biasanya disebabkan oleh karsinoma
5. Kultur sputum dapat mengidentifikasi penyebab dari abses paru

8
2. 7 Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai kelainan seperti nyeri tekan lokal,
tanda-tanda konsolidasi seperti redup pada perkusi, suara bronchial dengan ronki
basah atau krepitasi di tempat abses, mungkin ditambah dengan tanda- tanda efusi
pleura. Apabila abses luas dan letaknya dekat dengan dinding dada kadang-kadang
terdengar suara amforik, usara nafas bronchial atau amforik terjadi bila kavitasnya
besar dank arena bronkus masih tetap dalam keadaan terbuka disertai oleh adanya
konsolidasi sekitar abses dan drainase abses yang baik. Apabila abses paru
letaknya dekat pleura dan pecah akan terjadi piotoraks (empiema toraks) sehingga
pada pemeriksaan fisik ditemukan pergerakan dinding dada tertinggal di tempat
lesi, fremitus vocal menghilang, perkusi redup/pekak, bunyi nafas menghilang,
dan terdapat tanda-tanda pendorongan mediastinum terutama pendorongan jantung
kearah kontralateral tempat lesi.9

2.8 Gambaran Radiologis

1. Foto Thorax
Kavitas
Abses paru ditandai dengan peradangan di jaringan paru yang menimbulkan
nekrosis dengan pengumpulan nanah. Pada foto PA dan lateral abses paru
biasanya ditemukan satu kavitas, tetapi dapat pula multi-kavitas berdinding tebal
dengan diameter antara 2-20 cm. Biasanya ditemukan pula permukaan udara dan
cairan di dalamnya (air-fluid level).10

9
Gambar 2. Foto Thoraks pada abses paru.

Gambaran radiologik kavitas paru merupakan hasil dari nekrosis parenkim


paru dengan evakuasi jaringan nekrotik melalui percabangan trakeobronkial.
Adanya hubungan dengan percabangan memungkinkan udara memasuki daerah
nekrotik, dan ini menimbulkan gambaran radiologik berupa defek lusen. (10)
Nekrosis tipe ini akan mengakibatkan hilangnya corakan bronkovaskular
normal yang diakibatkan oleh dekstruksi hampir seluruh dinding alveoli, septa
interlobularis, dan bronkovaskular pada daerah kavitas. Parenkim paru normal di
sekitarnya bereaksi terhadap jaringan nekrosis ini dengan membentuk suatu reaksi

10
inflamasi di sekitar bahan nekrotik dengan edema lokal dan pendarahan. Dinding
kavitas dibentuk oleh infiltrat inflamasi di sekitar lesi, edema, perdarahan, dan
jaringan paru normal yang tertekan.10
Istilah abses paru biasanya digunakan untuk kavitas yang terjadi akibat
infeksi piogenik. Abses biasanya adalah komplikasi yang ditunjukkan dengan
adanya proses yang destruktif yang mengakibatkan vaskulitis dengan trombosis
pada pembuluh darah yang menyuplai parenkim paru, dan dengan demikian
mengakibatkan nekrosis dari jaringan paru tersebut. Abses yang terbentuk dari
bahan nekrotik akan tampak sebagai jaringan lunak sampai terhubung dengan
bronkus. Hubungan ini memungkinkan pengaliran keluar debris nekrotik. Bahan
nekrotik ini akan dibatukkan keluar dan akan menimbulkan gambaran radiologik
berupa defek lusen atau kavitas. Seiring dengan membesarnya fokus supurasi,
abses akhirnya akan pecah ke saluran napas. Oleh karena itu, eksudat yang
terkandung di dalamnya mungkin keluar sebagian, dan menghasilkan batas udara
air (air-fluid level) di dalam cavitas pada pemeriksaan radiografik.11
Terkadang abses pecah ke dalam rongga pleura dan menghasilkan fistula
bronkopleuura, yang menyebabkan pneumothorak atau empyema.12 Nekrosis awal
dengan pencairan lesi paru tidak dapat dideteksi dengan foto polos maupun
tomografi konvensional sebelum isinya yang cair dikeluarkan. Tetapi, ct- scan
cukup peka untuk membedakan densitas yang disebabkan oleh pencairan ini, dan
mungkin berguna untuk mendeteksi adanya nekrosis awal pada infeksi paru atau
neoplasma.12

Gambar 3. Gambaran kavitas disertai air fluid level pada abses paru (Foto
Right Lateral Decubitus)

11
Gambar 4. Gambaran kavitas disertai air fluid level pada abses paru. Foto
diambil dalam posisi lateral(kiri) dan PA(kanan)

Foto thoraks yang baik sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis


maupun untuk menentukan lokalisasi. Foto thorak sebaiknya dibuat dengan
proyeksi PA dan lateral. Foto thoraks yang pertama harus dibuat secepat
mungkin setelah diagnosa diperkirakan, karena selain untuk perencanaan
pengobatan digunakan sebagai suatu control untuk dibandingkan dengan lesi pada
foto berikutnya.13

2. CT- Scan

CT-scan dapat membantu visualisasi anatomi yang lebih baik daripada foto
thorax, dan sangat berguna untuk membedakan abses paru dengan empyema atau
infark paru, ataupun kelainan paru lain dengan lesi berupa kavitas.14

12
Gambar 5. CT-Scan pada abses paru. Terlihat gambaran kavitas
dengan air fluid level di dalamnya.

Gambaran khas CT-Scan abses paru ialah berupa Lesi dens bundar dengan
kavitas berdinding tebal tidak teratur dan terletak di daerah jaringan paru yang
rusak. Tampak bronkus dan pembuluh darah paru berakhir secara mendadak pada
dinding abses, tidak tertekan atau berpindah letak. Sisa-sisa pembuluh darah paru
dan bronkhus yang berada dalam abses dapat terlihat dengan CT-Scan, juga sisa-
sisa jaringan paru dapat ditemukan di dalam rongga abses. Lokalisasi abses paru
umumnya 75% berada di lobus bawah paru kanan bawah.14

2.9 Diagnosa Banding Secara Radiologis

Karsinoma
Pemeriksaan radiologis untuk mencari tumor ganas bermacam-macam
antara lain bronkografi invasif, CT-scan tetapi pemeriksaan radiologik
konvensional (thorax PA, lateral) masih tetap mempunyai nilai diagnostik yang
tinggi. Meskipun kadang-kadang tumor itu sendiri tidak terlihat, tetapi kelainan
sebagai akibat adanya tumor akan dicurigai ke arah keganasan. Kelainan tersebut
misalnya kelainan emfisema setempat, atelektasis, peradangan sebagai komplikasi
tumor, dan pembesaran kelejar hilus yang unilateral.14
Bayangan nodul pada paru berukuran beberapa millimeter sampai 4
cm atau lebih dan tidak mengandung kalsifikasi harus diutamakan pada
kecurigaan sebagai karsinoma bronkogen terutama usia diatas 40 tahun Karsinoma
bronkus primer merupakan penyebab yang paling sering berupa kavitas soliter
yang merupakan deposit sekunder. Kavitas yang jinak berlokasi di sentral dan
memiliki dinding yang regular. Sedangkan kavitas soliter yang ganas memiliki
kavitas eksentrik dengan dinding irregular.15
Banyak teori yang mengemukakan mengenai terbentuknya kavitas pada
karsinoma. Teori yang paling umum adalah obstruksi dari arteri yang
memperdarahi nodul tersebut, sehingga terjadi infark sentral.1

13
Gambar 6. Karsinoma sel skuamosa lobus paru kanan bawah dengan kavitas.

Sifat dinding kavitas berguna untuk diagnosis banding lesi-lesi ini. Kavitas
yang disebabkan oleh penyakit maligna cenderung mempunyai dinding dalam
yang tidak teratur dan noduler, walaupun dinding luarnya bisa berbatas tegas atau
tidak. Kavitas pada inflamasi biasanya mempunyai dinding dalam yang halus.
Sebagai tambahan, semakin tebal dinding suatu kavitas, semakin besar
kemungkinan maligna, kecuali pada kasus dimana kavitas terbentuk amat cepat
(dalam beberapa hari), pada kasus dimana kavitas berasal dari trauma atau
infeksi.16

Tuberculosis

Gambaran radiologis pada Tuberkulosis aktif diantaranya terdapat


kavitas, bisa tunggal atau multipel. Selain itu terdapat bayangan berawan atau
bercak dengan batas yang tidak tegas. Pada tuberkulosis lama baik aktif maupun
tenang terdapat kalsifikasi dan serat-serat fibrosis. Lesi pada tuberkulosis terutama

14
terdapat pada lapangan paru atas. Gejala klinisnya hampir sama atau lebih
menahun daripada abses paru. Pada tuberkulosis didapatkan BTA.16

15
Gambar 7. Gambaran tuberculosis, terlihat proses terbentuknya kavitas.

Secara umum kavitas yang terdapat pada abses paru dan tuberculosis adalah
hampir sama. Oleh karena tuberculosis lebih sering terjadi di lapangan paru
atas, maka kavitas pada tuberculosis juga sering terdapat pada lapangan paru atas.
Lain halnya dengan kavitas pada abses paru yang dapat terjadi di seluruh lapangan
paru. Selain itu, air-fluid level lebih sering terdapat pada kavitas yang terjadi oleh
abses paru sedangkan air-fluid level dilaporkan terjadi hanya 1 0 % dari kavitas
pada TB. Kavitas pada tuberculosis biasanya masih dikelilingi oleh bayangan
bercak berawan.17

2.10 Penatalaksanaan
Abses paru merupakan kasus jarang dan beberapa dokter meningkatkan
pengetahuannya dalam penatalaksanaannya. Antibiotik tunggal tidak adakan
menghasilkan keluaran yang memuaskan kecuali pus bisa didrainase dari kavitas
abses. Pada kebanyakan pasien, drainase spontan terjadi melalui cabang bronkus,
dengan produksi sputum purulen. Hal ini mungkin terbantu melalui drainase
postural.18
Antibiotik
Pilihan awal biasanya dibuat jika tidak ada bakteriologi definitif, tetapi
perkiraan yang beralasan bisa dibuat berdasarkan gambaran klinis yang
16
mendasarinya dan pada aroma pus dan gambarannya pada pewarnaan gram.
Pada kebanyakan abses paru mengandung streptokokus kelompok milleri dan
anaerob, antubiotik atau kombinasinya yang melawan organisme ini harus dipilih.
Terdapat banyak regimen awal yang mungkin diberikan. Penisilin termasuk
sefalosporin, makrolide, kloramfenikol dan klindamisin semuanya telah
digunakan. Kombinasi amoksisilin dan metronidazol merupakan pilihan baik
dengan efek samping yang kecil dibandingkan beberapa obat lainnya. Dapat
diberikan secara oral, kecuali pasien sangat sakit atau sulit menelan, sementara
menunggu hasil kultur definitifnya. Makrolide seperti eritromisin, klaritromisin
atau azitromisin harus disubstitusi untuk amoksisilin pada pasien dengan riwayat
hipersensitivitas ampisilin.18
Keputusan penggantian antibiotik awal dapat diterapkan ketika hasil kultur
telah diperoleh. Walaupun abses paru sering diobati dengan antibiotik selama 6
minggu, tidak terdapat percobaan klinis yang membuktikan hal itu. Periode
pengobatan yang lebih singkat mungkin cukup pada pasien dimana pus telah
kering melalui cabang bronkus, dengan berhentikan produksi sputum dan
hilangnya gambaran air-fluid level pada radiologi toraks. Antibiotik tidak perlu
dilanjutkan hingga gambaran radiologis menjelaskan bayangan parenkim. Hal ini
mungkin terjadi dalam beberapa minggu.18
Drainase

Pemeriksaan tambahan harus dilakukan pada pasien yang tidak respon


terhadap antibiotic dan fisioterapi. Waktu intervensi tersebut bergantung pada
pasien. Pada pasien dengan kondisi kritis dimana tidak terdapat drainase spontan
melalui cabang bronkus, perlu dilakukan drainase. Pada sebagian pasien, demam
berlanjut lebih dari 2 minggu walaupun pemberian antibiotic sudah sesuai dan
fisioterapi menunjukkan bahwa drainase tidak adekuat sehingga perlu
dipertimbangkan peningkatan intensitas pengobatan. Drainase pada pasien abses
paru mungkin bisa dilakukan pendekatan melalui cabang bronkus atau secara
perkutaneus. Dalam teknik sebelumnya, akvitas abses paru dimasukkan langsung
dengan fibreoptic bronchoschopy atau melalui kateter yang melewatinya.18
Pendekatan perkutaneus mungkin lebih baik. Kecuali abses paru
berhubungan dengan keganasan ketika terdapat peningkatan resiko fistula

17
permanen. Pada beberapa kasus drainase endobronkial harus dipertimbangkan.
Drainase perkutaneus biasanya tidak membantu pada abses kecil multipel dan
Universitas Sumatera Utara pada mereka yang mempunyai komplikasi yang tinggi
seperti pneumotoraks dan fistula bronkopleura. Pada masa lalu, skrening
fluoroskopi merupakan teknik konvensional untuk penempatan kateter tetapi USG
mengizinkan lebih banyak lokalisasi spasial. CT scan telah digunakan secara luas
dan memiliki keuntungan visualisasi yang lebih baik dalam melihat struktur
intratorakal lainnya, dan banyak operator yang mengembangkan kemampuannya
dalam bidang ini, yang mungkin bermanfaat ketika abses paru ditemukan.18
Reseksi pembedahan

Dengan membandingkan dengan era sebelum antibiotik, era pembedahan


abses paru jarang diperlukan, tetapi masih dilakukan jika terdapat hemoptisis
berat atau abses paru berhubungan dengan keganasan. Pada kasus belakangan,
reseksi hanya dicoba jika tumor operable melalui kriteria yang biasa, dengan
tanpa bukti adanya metastasis, keterlibatan mediastinum, fungsi pare yang tidak
adekuat atau keadaan serius kesehatan yang menyertainya. Untuk dua indikasi
utama ini mungkin perlu ditambahkan abses kronik dengan gejala menetap,
khususnya ketika mencoba untuk mendrain gagal dilakukan. Kronisitas mungkin
bersifat sementara atau patologis, abses kronik berhubungan dengan granulasi
jaringan dan diikuti dengan jaringan ikat. Definisi sementara adalah bahan
perdebatan, tetapi abses yang masih menghasilkan gejala sistemik (selain produksi
sputum) 6 minggu setelah munculnya gejala walaupun percobaan endobronkial
atau percutaneus drainage, harus dipertimbangkan untuk reseksi pembedahan.18

2.11 Komplikasi

Komplikasi Keberhasilan pengobatan abses paru diindikasikan pertama


melalui resolusi demam, kedua melalui penutupan kavitas dan terakhir melalui
bersihnya gambaran radiologis infiltrat parenkim paru. Demam biasanya hilang
dalam beberapa hari, menetap dalam 2 minggu jarang terjadi dan membuktikan
tidak adekuatnya drainase. Sekitar 50% kavitas akan menutup dalam sebulan dan
meninggalkan gejala selama 4-8 minggu. Turunnya nilai PCR, dan pasien yang

18
merasa lebih baik dan berat badan yang bertambah merupakan tanda pembaikan
semua stage penanganan abses paru. Infiltrasi radiologis mungkin menetap selama
3 bulan atau lebih dan tidak memberikan peningkatan untuk memperhatian
perkembangan pasien. Komplikasi dan sequelae jangka panjang kini tampak
kurang sering terjadi dibandingkan era sebelum antibiotik tetapi abses paru masih
berhubungan dengan angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Komplikasi
yang paling sering terjadi adalah empyema.19
Pasien mungkin tidak akan datang pada dokter hingga hal ini terjadi.
Seiring membesarnya abses, ia mungkin akan merapuhkan pembuluh darah dan
memunculkan hemoptysis. Khusus pada pasien dengan penurunan daya tahan
tubuh, nekrosis mungkin menyebar sangat cepat melalui paru. Abses yang telah
didrainase dan disterilisasi dengan menggunakan antibiotik mungkin membentuk
kavitas yang persisten. Lini awal melalui granulasi jaringan, hal ini digantikan
oleh jaringan fibrosa dan diikuti epitel skuamos atau siliata. Beberapa kavitas bisa
direinfeksi kembali atau dikolonisasi ketika abses asli yang dibentuk berhubungan
dengan bronkus, lebih sering daripada saluran napas kecil, destruksi dinding
bronkus diikuti epitelialisasi memunculkan bronkiektasis sakuler lokal.
Penyebaran infeksi ke dalam vena paru bisa menyebabkan abses serembral
emboli, tetapi komplikasi ini sangat jarang terjadi.19

2.12 Prognosis

Bila tidak terlambat ditangani prognosisnya baik. Lebih dari 90% dari
abses paru-paru sembuh dengan manajemen medis saja, kecuali disebabkan oleh
obstruksi bronkial sekunder untuk karsinoma. Angka kematian yang disebabkan
oleh abses paru terjadi penurunan dari 30-40 % pada era preantibiotika dan sampai
15-20 % pada era sekarang.20
Pada penderita dengan beberapa faktor predisposisi mempunyai prognosis
yang lebih jelek dibandingkan dengan penderita dengan satu faktor predisposisi.
Beberapa faktor yang memperbesar angka mortalitas pada Abses paru sebagai
berikut.21

1. Anemia dan Hipoalbuminemi


2. Abses yang besar (φ > 5-6 cm)
3. Lesi obstruksi
19
4. Bakteri aerob
5. Immunocompromised
6. Usia tua
7. Gangguan intelegensia
8. Perawatan yang terlambat

Angka kematian untuk pasien dengan status yang mendasari


immunocompromised atau obstruksi bronkial yang dapat memperburuk abses
paru-paru mungkin mencapai 75%.20

BAB III
KESIMPULAN

Abses paru adalah infeksi dekstruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan
paru yang terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi nanah (pus) dalam
parenkim paru pada satu lobus atau lebih. Kuman atau bakteri penyebab
terjadinya abses paru bervariasi. 46% abses paru disebabkan hanya oleh bakteri
anaerob, sedangkan 43% campuran bakteri anaerob dan aerob.
Untuk memastikan diagnosa dari abses paru maka dilakukan serangkaian
pemeriksaan dari anamnesa, pemeriksaan fisik hingga pemeriksaan penunjang
berupa pemeriksaan radiologi. Dari pemeriksaan Foto dada PA dan lateral pada
pasien akan dijumpai kavitas dengan dinding tebal dengan tanda-tanda konsolidasi
disekelilingnya, lebih sering dijumpai pada paru kanan dibandingkan paru kiri.
Bila terdapat hubungan dengan bronkus maka didalam kavitas terdapat Air Fluid
Level. Pasien dengan beberapa faktor predisposisi abses paru memiliki prognosis

20
yang jelek dibandingkan yang memiliki satu faktor predisposisi. Sedangkan pasien
yang mendapatkan pengobatan antibiotik secara adekuat memilik prognosis yang
lebih baik.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Alsagaff, Hodd. Mukty, H. Abdul(ed). Dasar-dasar ilmu penyakit paru.


Surabaya: Airlangga University Press. 2005. Hal 136-140. [Accesed on october
2021]
2. Bartelett, 2011, Treatment of anaerobic pulmonary infections, DivisionInfectious
Disease. The Johns Hopkins Hospital, USA. Available from
http://jac.oxfordjournals.org/content/24/6/836.full.pdf [Accesed on october 2021]
3. Wali, S.O., dkk. 2002. Percutaneous drainage of pyogenic lung abscess.
Scand Jurnal Infection Disease 34(9): 673-676. Available from:
http://www.kau.edu.sa/Files/140/Researches/50029_20495.pdf [Accesed on
october 2021]
4. Rasyid, A., 2006. Abses Paru. Dalam: Sudoyo, dkk. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen IPD FK-UI, Jakarta. Halaman
1052-1055. [Accesed on october 2021]
5. Schrock, Theodore R. Sistem pulmoner in: Handbook of surgery. Jakarta:
EGC. Hal 200-201 [Accesed on october 2021]
6. Kumar, Vinay. Cotran, Ramzi S. Robbins, Stanley L. Paru dan saluran napas
atas in: Buku ajar patologi. Edisi 7. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. 2007.
Hal 556 [Accesed on october 2021]
7. Maitra A Kumar, V., 2007. Abses Paru Dalam: Robbins, Buku Ajar Patologi
Edisi 7. EGC, Jakarta. Halaman 556. [Accesed on october 2021]
8. Garry, dkk. 1993. Lung Abscess in a Lange Clinical Manual: Internal
Medicina: Diagnosis and Therapy 3rd; Oklahoma. 119 – 120. [Accesed on
october 2021]
9. Garry,dkk. 1993. Lung Abscess in a Lange Clinical Manual : Internal Medicina
Diagnosis and Therapy 3 rd ; Oklahoma. 119 – 120. [Accesed on october 2021]
10. Budjang, Nurlela. Radang paru yang tidak spesifik. Abses paru. Dalam:
Radiologi Diagnostik. Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2005. Hal
100-101

22
11. Reed. James C. radiologi Thoraks. Foto polos dan Diagnosis Banding.
Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. 1995. Hal 320-321 [Accesed on
october 2021]
12. Kumar, Vinay. Cotran, Ramzi S. Robbins, Stanley L. Paru dan saluran
napas atas in: Buku ajar patologi. Edisi 7. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.
2007. Hal 556 [Accesed on october 2021]
13. Klein, J.S. Schultz, Scoot. Heffner, John E. Interventional radiology of the
chest. Available at:www.`ajronline.org. [Accesed on october 2021]
14. Budjang, Nurlela. Radang paru yang tidak spesifik. Abses paru. Dalam:
Radiologi Diagnostik. Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2005.Hal
100-101 [Accesed on october 2021]
15. Hisberg, Boaz dkk. Factor predicting mortality of patient with lung
abscess.available at: www.chestjournal.chestpubs.org [Accesed on october
2021]
16. Feigin, David S. Forrest, John V. Lubang pada paru in: Toraks. Edisi 2.
Jakarta: Widya Medika. 1992. Hal 41-43 [Accesed on october 2021]
17. Ashari, Irwan. Tuberkulosis paru dengan kavitas. Available
at:www.irwanashari.com [Accesed on october 2021]
18. Bartelett, 2011, Treatment of anaerobic pulmonary infections, Division of
Infectious Disease. The Johns Hopkins Hospital, USA. Available from
http://jac.oxfordjournals.org/content/24/6/836.full.pdf.[Accesed on october
2021]
19. Wali, S.O., dkk. 2002. Percutaneous drainage of pyogenic lung abscess.
Scand Jurnal Infection Disease 34(9): 673-676. Available from:
http://www.kau.edu.sa/Files/140/Researches/50029_20495.pdf. [Accesed on
october 2021]
20. Hishberg, B.dkk 1999 Factors Predicting Mortality of Patients with Lung
Abscess. Chest. Halaman 746-752. Available from
http://chestjournal.chestpubs.org/content/115/3/746.abstract. [Accesed on
october 2021]
21. Kharkar RA, Ayyar VB. 2011. Aetiological aspects of lung abscess. J
Postgrad Med [serial online] 1981 [cited 2011 Mar 6];27:163. Available from:

23
http://www.jpgmonline.com/text.asp?1981/27/3/163/5637 cited on 6 March
2011 in Journal of Postgraduated Medicine. [Accesed on october 2021]

24

Anda mungkin juga menyukai