KONSEP TEORI
A. Definisi
Abses paru adalah lesi nekrotikan setempat pada parenkim paru yang
mengandung bahan purulen lesi mengalami kolaps dan membentuk ruang.
Kebanyakan abses paru terjadi karena bahan teraspirasidari hidung atau mulut.
Abses juga terjadi sekunder terhadap obstruuksi mekanik atau fungsional bronki,
termasuk tumor,benda asing, atau stenosis bronkial. Atau terjadi akibat
nekrotiasis pneumonia, tuberkulosis, embolisme paru, atau trauma dada. Pasien
yang mengalami kerusakan refleks batuk dan tidak mampu untuk menutup glotis,
atau mereka yang mengalami kesulitan mengunyah, beresiko terhadap aspirasi
benda asing dan mengalami abses paru. Pasien berisiko lainnya termasuk mereka
yang mengalami perubahan status kesadaran akibat anesthesia.
B. Etiologi
Kebanyakan abses paru muncul sebbagai komplikasi dari pneumonia
aspirasi akibat bakteri anaerob di mulut. Penderita abses parubiasanya memiliki
masalah periodontal (jaringan di sekitar gigi). Sejumlah bakteri yang berasala dari
celah gusi sampai kesaluran pernafasan bawah dan menimbulkan infeksi. Tubuh
memiliki sistem pertahanan terhadapa infeksi semacam ini, sehingga infeksi
hanya terjadi jika sistem pertahanan tubuh sedang menurun, seperti yang
ditemukan pada:
1. Seseorang yang berada dalam tidak sadar atau sangat mengantuk karena
pengaruh obat penenang, obat bius, atau pengggunaaan alkohol.
2. Penderita penyakit sistem syaraf. Jika bakterio tersebut tidak dapat
dimusnahkan oleh mekanisme peertahanan tubuh, maka akan terjadi
pneumonia aspirasi dan dalam waktu 7-14 hr kemudian berkembang menjadi
nekrosis (kematian jaringan) yang berakhir dengan pembentukan abses.
3. Mekanisme pembentukan abses paru lainnya adalah bakteremia atau
endokarditis katup trikuspidalis akibat emboli septik pada paru-paru. Pada
89% kasus, penyebabnya adalah bakteri anaerob. Yang paling sering adalah
peptostreptococcus, bacteroides, fusobacterium dan microaerob hilic
streptococcus organisme laiinnya yang tidak terlalu sering menyebabkan
abses paru adalah stphylococcus aureus, streptococcus pyogenes,
streptococcus pneumoniae, klebisella pneumoniae, haemopilus influenza,
spesies actinomyces dan nocardia, basil gram positif.
4. Penyebab non bakteri juga bisa menyebabka abses paru, diantaranya: parasit
(paragonis, entamoeba), jamur (aspergilus, histoplasma, blastomyces,
coccidioides.
C. Patofisiologi
Garry tahun 1993 mengemukakan terjadinya abses paru meliputi :
1. Abses paru merupakan proses lanjutan pneumonia akibat inhalasi bakteri pada
penderita dengan factor predisposisi. Bakteri bermultifikasi dan merusak
jaringan parenkim paru dengan proses nekrosis. Bila berhubungan dengan
bronchus, maka terbentuklah air fluid level. Bakteri yang masuk ke parenkim
paru, selain karena inhalasi bias juga dengan penyebaran hematogen (septic
emboli) atau dengan perluasan langsung dari proses abses ditempat lain
( nesitatum) misalnya abses hepar.
2. Kavitas yang mengalami infeksi. Pada beberapa penderita tuberculosis dengan
kavitas, akibat inhlasi bakteri mengalami proses peradangan supurasi. Pada
penderita emfisema paru atau polisistik paru yang mengalami infeksi
sekunder.
3. Obstruksi bronchus dapat menyebabkan pneumonia berlanjut sampai proses
abses paru. Hal ini sering terjadi pada obstruksi karena kanker bronkhogenik.
Gejala yang sama juga terlihat pada aspirasi benda asing yang belum keluar.
Kadang-kadang dijumpai juga pada obstruksi karena pembesaran kelenjar
limfe peribronkhial.
4. Pembentukan kavitas pada kanker paru. Pertumbuhan massa kanker
bronkhogenik yang cepat tidak diimbangi peningkatan suplai pembuluh darah,
sehingga terjadi likufikasi nekrosis sentral. Bila terjadi infeksi, dapat trjadi
abses.
WOC ABSES LUNG
D. Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang ada pada abses paru hampir sama dengan gejala pneumonia
pada umumnya yaitu:
1. Panas badan. Dijumpai berkisar 70% – 80% penderita abses paru. Kadang
dijumpai dengan temperatur > 400C.
2. Batuk, pada stadium awal non produktif. Bila terjadi hubungan rongga abses
dengan bronkus batuknya menjadi meningkat dengan bau busuk yang khas
(Foetor ex oroe (40-75%).
3. Produksi sputum yang meningkat dan Foetor ex oero dijumpai berkisar 40 –
75% penderita abses paru.
4. Nyeri dada dan Batuk darah.
5. Gejala tambahan lain seperti lelah, penurunan nafsu makan dan berat badan.
Pada pemeriksaan dijumpai tanda-tanda proses konsolidasi seperti redup,
suara nafas yang meningkat, sering dijumpai adanya jari tabuh serta takikardi.
E. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang timbul adalah : (4, 5)
1. Empyema
2. Abses otak
3. Atelektasis
4. Sepsis
F. Prognosis
Abses paru masih marupakan penyebab morbiditas dan mortalitas
yang signifikan. Angka kematian Abses paru berkisar antara 15-20%
merupakan penurunan bila dibandingkan dengan era pre antibiotika yang
berkisar antara 30-40% .
Pada penderita dengan beberapa faktor predisposisi mempunyai
prognosa yang lebih jelek dibandingkan dengan penderita dengan satu fakktor
predisposisi. Perlman et al menemukan bahwa 2% angka kematian pada
penderita dengan satu faktor predisposisi dibandingkan 75% pada penderita
dengan multi predisposisi. Muri et al melaporkan 2,4% angka kematian Abses
paru karena CAP dibanding 66% Abses paru karena HAP. Beberapa faktor
yang memperbesar angka mortalitas pada Abses paru sebagai berikut : (7)
1. Anemia dan Hipo Albuminemia
2. Abses yang besar (f > 5-6 cm)
3. Lesi obstruksi
4. Bakteri aerob
5. Immune Compromised
6. Usia tua
7. Gangguan intelegensia
8. Perawatan yang terlambat
G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Radiologi :
Foto thorax : terdapat kavitas dengan dinding tebal dengan tanda-tanda
konsolidasi disekelilingnya. Kavitas ini bisa multipel atau tunggal dengan
ukuran f 2 – 20 cm. Gambaran ini sering dijumpai pada paru kanan lebih
dari paru kiri. Bila terdapat hubungan dengan bronkus maka didalam
kavitas terdapat Air fluid level. Tetapi bila tidak ada hubungan maka
hanya dijumpai tanda-tanda konsolidasi.
2. CT-Scan : gambaran khas abses paru ialah berupa Lesi dens bundar
dengan kavitas berdinding tebal tidak teratur dan terletak di daerah
jaringan paru yang rusak. Tampak bronkus dan pembuluh darah paru
berakhir secara mendadak pada dinding abses, tidak tertekan atau
berpindah letak. Sisa-sisa pembuluh darah paru dan bronkhus yang berada
dalam abses dapat terlihat dengan CT-Scan, juga sisa-sisa jaringan paru
dapat ditemukan di dalam rongga abses. Lokalisasi abses paru umumnya
75% berada di lobus bawah paru kanan bawah.
3. Bronkoskopi : Fungsi Bronkoskopi selain diagnostik juga untuk
melakukan therapi drainase bila kavitas tidak berhubungan dengan
bronkus.
4. Laboratorium : Pada pemeriksaan darah rutin. Ditentukan leukositosis,
meningkat lebih dari 12.000/mm3 bahkan pernah dilaporkan peningkatan
sampai dengan 32.700/mm3. Laju endap darah ditemukan meningkat > 58
mm / 1 jam.
5. Pemeriksaan sputum dengan pengecatan gram tahan asam dan KOH
merupakan pemeriksaan awal untuk menentukan pemilihan antibiotik
secara tepat.
6. Pemeriksaan kultur bakteri dan test kepekaan antibiotika merupakan cara
terbaik dalam menegakkan diagnosa klinis dan etiologis serta tujuan
therapi.
7. Pemeriksaan AGD menunjukkan penurunan angka tekanan O2 dalam
darah arteri.
H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Abses paru harus berdasarkkan pemeriksaan
mikrobiologi dan data penyakit dasar penderita serta kondisi yang
mempengaruhi berat ringannya infeksi paru. Ada beberapa modalitas terapi
yang diberikan pada abses paru :
1. Medika Mentosa
Pada era sebelum antibiotika tingkat kematian mencapai 33% pada era
antibiotika maka tingkat kkematian dan prognosa abses paru menjadi
lebih baik. Pilihan pertama antibiotika adalah golongan Penicillin pada
saat ini dijumpai peningkatan abses paru yang disebabkan oleh kuman
anaerob (lebih dari 35% kuman gram negatif anaerob). Maka bisa
dipikrkan untuk memilih kombinasi antibiotika antara golongan penicillin
G dengan clindamycin atau dengan Metronidazole, atau kombinasi
clindamycin dan Cefoxitin.
Alternatif lain adalah kombinasi Imipenem dengan B Lactamase
inhibitase, pada penderita dengan pneumonia nosokomial yang
berkembang menjadi Abses paru.
Waktu pemberian antibiotika tergantung dari gejala klinis dan respon
radiologis penderita. Penderita diberikan terapi 2-3 minggu setelah bebas
gejala atau adanya resolusi kavitas, jadi diberikan antibiotika minimal 2-3
minggu.
Pasien dengan abses paru biasanya menunjukkan perbaikan klinis,
dengan peningkatan demam, dalam waktu 3-4 hari setelah memulai terapi
antibiotik. Penurunan suhu badan sampai yg normal diharapkan dalam 7-
10 hari. Demam yang terus menerus di luar waktu ini mengindikasikan
kegagalan terapi, dan pasien ini harus menjalani studi lebih lanjut
diagnostik untuk menentukan penyebab kegagalan.
Pertimbangan pada pasien dengan respon yang buruk terhadap terapi
antibiotik meliputi obstruksi bronkial dengan benda asing atau neoplasma
atau infeksi dengan bakteri resisten, mikobakteri, atau jamur.
2. Drainase
penderita abses paru yang tidak berhubungan dengan bronkus maka perlu
3. Bedah
Untuk alasan berikut, rawat inap disarankan pada pasien dengan abses
Pada pasien yang memiliki abses paru-paru kecil, yang secara klinis
tidak sakit, dan yang dapat diandalkan, rawat jalan dapat dianggap
setelah mendapat studi diagnostik yang tepat seperti kultur dahak, kultur
darah, dan darah lengkap. Setelah terapi awal antibiotik intravena, pasien
untuk melindungi jalan napas dari aspirasi besar (batuk, gag refleks),
perawatan gigi pada pasien lanjut usia dan lemah dapat mengurangi
1. Empyema
2. Fibrosis pleura
3. Bronchopleural fistula
5. Respiratory failure
6. Trapped lung
7. Abses otak
8. Atelektasis
9. Sepsis
BAB II
1. Pengkajian
a. Biodata klien yang penting meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama,
suku dan gaya hidup.
b. Riwayat kesehatan
Keluhan utama .
Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan klien pada saat dikaji.
Pada umumnya akan ditemukan klien merasakan nyeri pada
abdomennya biasanya terus menerus, demam, nyeri tekan lepas,
abdomen tegang dan kaku.
Riwayat kesehatan sekarang
Mengungkapkan hal-hal yang menyebabkan klien mencari pertolongan,
dikaji dengan menggunakan pendekatan PQRST :
P : Apa yang menyebabkan timbulnya keluhan.
Q :Bagaiman keluhan dirasakan oleh klien, apakah hilang, timbul atau
terus- menerus (menetap).
R : Di daerah mana gejala dirasakan
S : Seberapa keparahan yang dirasakan klien dengan memakai skala
numeric 1 s/d 10.
T :Kapan keluhan timbul, sekaligus factor yang memperberat dan
memperingan keluhan.
Riwayat kesehatan masa lalu
Perlu dikaji apakah klien pernah menderita penyakit yang sama,
riwayat ketergantungan terhadap makanan/minuman, zat dan obat-
obatan.
Riwayat kesehatan keluarga
Apakah ada anggota keluarga yang mempunyai penyakit yang sama
dengan klien.
2. Pemeriksaan
a. Aktivitas/ Istrahat
Gejala : Kelemahan, kelelahan; insomnia
Tanda : Penurunan toleransi terhadap aktivitas; letargi
b. Sirkulasi
Gejala : Takikardi
Tanda : Warna kulit/ membran mukosa: cyanosis
c. Integritas Ego
Gejala : Peningkatan faktor resiko, perubahan pola hidup
Tanda : Ansietas, gelisah
d. Makanan/ Cairan
Gejala : Kehilangan nafsu makan
Tanda : Penurunan berat badan
e. Nyeri/ Kenyamanan
Gejala : Nyeri dada (pleuritik), meningkat oleh batuk
Tanda : Melindungi area yang sakit ( pasien umumnya tidur pada
sisi yang sakit untuk membatasi gerakan)
f. Pernapasan
Gejala : Riwayat adanya pneumoni, tuberkulosis, emboli paru; Batuk
produktif dan tidak produktif; dispnea
Tanda : Sputum sering bercampur darah dan berbau; foto paru
tampak konsolidasi; perkusi: pekak diatas area yang konsolidasi; cyanosis
bibir/ kuku; bunyi napas: bronkial; mulut atau tenggorokan berbau busuk;
krepitasi.
g. Keamanan
Gejala : Demam
Tanda : Peningkatan suhu tubuh, berkeringat, menggigil
h. Penyuluhan/ Pembelajaran
Gejala : Faktor resiko keluarga, Riwayat mengalami pembedahan.
3. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan
produksi mukus
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen.
c. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi pada parenkim paru dan
aktivitas batuk
d. Peningkatan suhu tubuh (Hyperthemia) berhubungan dengan proses
inflamasi
e. Intoleransi aktivitas berhungan dengan kelemahan umum.
f. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kesalahan kurang terpajan
informasi dan kesalahan interpretasi
4. Intervensi
6. Evaluasi
Evaluasi adalah tahap akhir dari rangkaian proses keperawatan yang berguna
apakah tujuan dari tindakan keperawatan yang telah dilakukan tercapai atau
perlu pendekatan lain. Penilaian keperawatan merupakan kegiatan
melaksanakan rencana tidakan yang telah ditentukan, untuk mengetahui
pemenuhan kebutuhan klien secara optimal dan mengukur hasil.