Anda di halaman 1dari 19

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kelumpuhan (parese) nervus fasialis merupakan kelumpuhan yang
meliputi otot-otot wajah. Kelumpuhan nervus fasialis ini juga disebut Bells palsi.
Bells palsi menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralisis fasial akut.
Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden
terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bells palsi
setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan.
Insiden Bells palsi rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Sedangkan di
Indonesia, insiden Bells palsi secara pasti sulit ditentukan. Data yang
dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bells
palsi sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21 –
30 tahun.
1 BELL’S PALSY
Bells palsi mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang
sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena
daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai
semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan
trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bells
palsi lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat .
Tidak didapati juga perbedaan insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi
pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin atau
angin berlebihan .

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana anatomi dan fisiologi nervus fasialis ?
1.2.2 Apa yang dimaksud dengan Bell’s Palsy ?
1.2.3 Bagaimana etiologi penyakit Bell’s Palsy ?
1.2.4 Bagaimana patofisiologi penyakit Bell’s Palsy ?
1.2.5 Bagaimana manifestasi klinis penyakit Bell’s Palsy ?
1.2.6 Bagaiamana penatalaksanaan penyakit Bell’s Palsy ?
1.2.7 Bagaiamana komplikasi penyakit Bell’s Palsy ?
1.2.8 Bagaiamana asuhan keperawatan dari masalah Bell’s Palsy ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan memahami tentang penyakit Bell’s Palsy.
1.3.2 Tujuan Khusus
 Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi nervus fasialis
 Untuk mengetahui pengertian Bell’s Palsy
 Untuk mengetahui etiologi Bell’s Palsy
 Untuk mengetahui patofisiologi penyakit Bell’s Palsy
 Untuk mengetahui manifestasi klinis penyakit Bell’s Palsy
 Untuk mengetahui penatalaksanaan penyakit Bell’s Palsy
 Untuk mengetahui komplikasi penyakit Bell’s Plasy
 Untuk mengetahui asuhan keperawatan dari masalah Bell’s Palsy

2 1.4 Manfaat BELL’S PALSY

Mahasiswa perawat dapat mengetahui tentang penyakit Bell’s Palsy lebih


dalam sehingga dapat melakukan asuhan keperawatan pada penyakit Bell’s
Palsy tersebut dengan benar.
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Anatomi dan Fisiologi Nervus Fasialis


Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :
1. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m.
levator palpebrae (N.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian
posterior dan stapedius di telinga tengah).
2. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa
raba) dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus
trigeminus.
3. Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus
salivatorius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa
faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula
submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.
3 BELL’S PALSY
4. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua
pertiga bagian depan lidah.
Nervus fasialis (N.VII) terutama merupakan saraf motorik yang
menginervasi otot- otot ekspresi wajah. Di samping itu saraf ini membawa serabut
parasimpatis ke kelenjar ludah dan air mata dan ke selaput mukosa rongga mulut
dan hidung, serta menghantarkan sensasi eksteroseptif dari daerah gendang
telinga, sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah, dan sensasi visceral
umum dari kelenjar ludah, mukosa hidung dan faring, dan sensasi proprioseptif
dari otot yang disarafinya.
Secara anatomis bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang
menghantar sensasi dan serabut parasimpatis, yang terakhir ini sering dinamai
saraf intermedius atau pars intermedius Wisberg. Sel sensoriknya terletak di
ganglion genikulatum, pada lekukan saraf fasialis di kanal fasialis. Sensasi
pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah dihantar melalui saraf lingual korda
timpani dan kemudian ke ganglion genikulatum. Serabut yang menghantar sensasi
ekteroseptif mempunyai badan sel di ganglion genikulatum dan berakhir pada
akar desenden dan inti akar desenden dari saraf trigeminus (N.V). Hubungan
sentralnya identik dengan saraf trigeminus.
Inti motorik nervus VII terletak di pons. Serabutnya mengitari nervus VI,
dan keluar di bagian leteral pons. Nervus intermedius keluar di permukaan lateral
pons, di antara nervus V dan nervus VIII. Nervus VII bersama nervus intermedius
dan nervus VIII memasuki meatus akustikus internus. Di sini nervus fasialis
bersatu dengan nervus intermedius dan menjadi satu berkas saraf yang berjalan
dalam kanalis fasialis dan kemudian masuk ke dalam os mastoid. Nervus fasialis
keluar dari tulang tengkorak melalui foramen stilomastoid, dan bercabang untuk
mersarafi otot- otot wajah. (Maria S.Ked, 2012)

4 BELL’S PALSY

Gambar 1. Bagian-bagian serabut saraf fasialis (N.VII)

Gambar 2. Bagian-bagian serabut saraf fasialis


2.2 Pengertian Penyakit Bell’s Palsy
Bells palsy adalah kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non-supuratif,
non-neoplasmitik, non-degeneratif primer namun sangat mungkin akibat edema
jinak pada bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit
proksimal dari foramen tersebut, yang mulainya akut dan dapat sembuh sendiri
tanpa pengobatan. (Priguna Sidharta, 1985)
Bell’s palsy adalah kelumpuhan wajah sebelah yang timbul mendadak
akibat lesi saraf fasialis, dan mengakibatkan distorsi wajah yang khas. Dengan
kata lain bell’s palsy merupakan suatu kelainan pada saraf wajah yang
menyebabkan kelemahan atau kelumpuhan tiba-tiba pada otot di satu sisi wajah.
(Dika Supranata, 2013)
Bells palsy adalah suatu kelainan pada saraf wajah yang menyebabkan
kelemahan atau kelumpuhan tiba – tiba pada otot di satu sisi wajah dan
menyebabkan wajah miring/mencong.
Sir Charles Bell seorang ilmuan dari Skotlandia yang pertama kali
menemukan penyakit ini pada abad ke-19. Lokasi cedera nervus fasialis pada
5 BELL’S
Bells palsi adalah di bagian perifer nukleus nervus VII. Cedera tersebut PALSYdi
terjadi
dekat ganglion genikulatum.

Gambar3.Contoh Penderita Bells Palsy


2.3 Etiologi Penyakit Bell’s Palsy
a. Penyebabnya tidak diketahui, umumnya dianggap akibat infeksi semacam
virus herpes (HSV 1 dan virus Herpes zoster). Virus tersebut dapat
dormant (tidur) selama beberapa tahun, dan akan aktif jika yang
bersangkutan terkena stres fisik ataupun psikik. Sekalipun demikian Bell's
palsy tidak menular.
b. Bell's palsy disebabkan oleh pembengkakan nervus facialis sesisi,
akibatnya pasokan darah ke saraf tersebut terhenti, menyebabkan kematian
sel sehingga fungsi menghantar impuls atau rangsangnya terganggu,
akibatnya perintah otak untuk menggerakkan otot-otot wajah tidak dapat
diteruskan.
c. Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan
kaca jendela
d. Infeksi telinga tengah (otitis media kronik)
e. Tumor (tumor intracranial)
f. Trauma kepala
g. Gangguan pembuluh darah (thrombosis arteri karotis, arteri maksilaris,
dan arteri serebri media)

2.4 Patofisiologi Penyakit Bell’s Palsy


Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi
akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen
6 BELL’S Namun
stilomastoideus. Bell’s palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. PALSY

demikian dalam jarak waktu satu minggu atau lebih dapat terjadi paralysis
bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau kambuh. Patofisiologinya belum jelas,
tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus
fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi
kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal.
Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis
fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar
sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya
inflamasi, iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik
yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan
supranuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah
korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi
yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer.
Karena adanya suatu proses yang dikenal awam sebagai “masuk angin” atau
dalam bahasa inggris “cold”. Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC,
atau mengemudi dengan kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu
penyebab terjadinya Bell’s palsy. Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia
terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis
LMN. Pada lesi LMN bisa terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os
petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-
cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus
abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN
tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik
ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bergandengan
dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3
bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama
Bell’s palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster)
yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini
menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion
genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan
fasialis LMN. Kelumpuhan pada Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah
7 BELL’Spalpebra
dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura PALSY

tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata
yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucukan
dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagophtalmos, maka air mata tidak
bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun disitu.

2.6 Manifestasi Klinis Penyakit Bell’s Palsy


Pasien Bells Palsi mengeluhkan hemiparalisis wajah nonprogresif. Gejala lainnya
meliputi :
a. Mati rasa di wajah, telinga, dan lidah
b. Gangguan pengecapan
c. Wajah terkulai pada bagian yang terkena
d. Ketidakmampuan untuk mengontrol gerakan pada otot wajah
e. Kesukaran untuk menutup sebelah mata
f. Kekeringan pada sebelah mata
g. Kesukaran untuk merasa bagian hadapan lidah pada  bagian yang diserang,
perubahan pada jumlah air liur
h. Bunyi pendengaran yang lebih kuat dari pada biasanya pada satu bagian
telinga.
i. Gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bola mata
berputar ke atas bila memejamkan mata.
j. Kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata pada sisi yang lumpuh.
k. Sudut mulut tidak dapat diangkat, lipat nasolabialis mendatar pada sisi
yang lumpuh dan mencong ke sisi yang sehat.
l. Dahi tidak dapat dikerutkan atau lipat dahi hanya terlihat pada sisi yang
sehat. (Dika Supranata, 2013)

2.7 Penatalaksanaan Penyakit Bell’s Palsy


Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan tonus otot wajah
dan untuk mencegah atau meminimalkan denervasi. Klien harus diyakinkan
bahwa keadaan yang terjadi bukan stroke, hal ini menjadi penting karena
8 penderita dapat mengalami stress yang berat ketika terjadi salahBELL’S PALSY
pengertian.
Penatalaksanaan medis yang dilakukan meliputi :
a. Terapi kortikosteroid (Prednison dengan dosis 40 -60 mg/hari per oral atau
1 mg/kgBB/hari selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari
kemudian) dapat diberikan untuk menurunkan radang dan edema, yang
pada gilirannya mengurangi kompresi vaskuler dan memungkinkan
perbaikan sirkulasi darah ke saraf tersebut. Pemberian awal terapi
kortikosteroid ditujukan untuk mengurangi penyakit semakin berat,
mengurangi nyeri, dan membantu mencegah atau meminimalkan
denervasi.
b. Pemberian obat- obat antivirus
Acyclovir (400 mg selama 10 hari). Penggunaan Acyclovir akan berguna
jika diberikan pada 3 hari pertama dari onset penyakit untuk mencegah
replikasi virus.
c. Penanganan mata
 Pemberian pelumas mata setiap jam sepanjang hari dan salep mata
harus digunakan setiap malam. Satu kerugiannya adalah pandangan
kabur.
 Klien dianjurkan untuk menutup kelopak mata yang mengalami
paralisis secara manual sebelum tidur. Gunakan penutup mata
dengan kacamata hitam untuk menurunkan penguapan normal dari
mata.
d. Jika saraf tidak terlalu sensitif, wajah dapat dimasase (teknik untuk
memasase dengan gerakan lembut ke atas) beberapa kali sehari untuk
mempertahankan tonus otot. Latihan wajah seperti mengerutkan dahi,
menggembungkan pipi luar, dan bersiul dapat dilakukan dengan
menggunakan cermin dan dilakukan teratur untuk mencegah atrofi otot.
(Arif Muttaqin, 2011)

2.8 Komplikasi Penyakit Bell’s Palsy


Beberapa komplikasi yang mungkin dapat muncul, meliputi:
9 a. Hilangnya rasa (ageusia) BELL’S PALSY

b. Kerusakan saraf wajah yang permanen


c. Spasme wajah kronis (kontraksi kedutan spontan pada saraf yang
mengontrol otot-otot wajah seperti alis, kelopak mata, mulut, bibir)
d. Infeksi kornea mata
e. Kebutaan penuh atau sebagian
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
PENYAKIT BELL’S PALSY

3.1 Pengkajian Keperawatan


 Keluhan utama
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan
kesehatan dalah berhubungan dengan kelumpuhan otot wajah terjadi pada
satu sisi.
 Riwayat penyakit saat ini
Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk
menunjang keluhan utama klien. Disini harus ditanya dengan jelas tentang
gejala yang timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh, atau bertambah
buruk. Pada pengkajian klien Bell;s palsy biasanya didapatkan keluhan
kelumpuhan otot wajah pada satu sisi.
Kelumpuhan fasialis ini melibatkan semua otot wajah sesisi. Bila
10 BELL’S
dahi dikerutkan, lipatan kulit dahinya hanya tampak pada sisi PALSY
yang sehat
saja. Bila klien disuruh memejamkan kedua matanya, maka pada sisi yang
tidak sehat, kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata dan berputarnya
bola mata keatas dapat disaksikan. Fenomena tersebut dikenal sebagai
tanda bell.
 Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami  klien yang
memungkinkan  adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan
sekarang meliputi pernahkah klien mengalami penyakit iskemia vaskuler,
otitis media, tumor intrakranial, trauma kapitis, penyakit virus (herpes
simplek, herpes zoster), penyakit autoimun, atau kombinasi semua faktor
ini. Pengkajian pemakaian obat-obatan yang sering digunakan klien,
pengkajian kemana klien sudah meminta pertolongan dapat mendukung
pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar
untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.
 Riwayat psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis klien Bell’s palsy meliputi beberapa penilaian yang
memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai
status emosi, kognisi dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping
yang digunakan klien juga penting untuk menilai respons emosi klien
terhadap kelumpuhan otot wajah sesisi dan perubahan peran klien dalam
keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan
sehari-hari baik dalam keluarga atau masyarakat. Apakah ada dampak
yang timbul pada klien, yaitu timbul ketakutan akan kecacatan, rasa
cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal
dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citratubuh).
Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar biasa
digunakan klien selama masa stress meliputi kemampuan klien
untuk mendiskusikan masalah kesehatan saat ini yang telah diketahui
danperubahan perilaku akibat stres.
 Pemeriksaan fisik
11 1. B1(Breathing) BELL’S PALSY

Bila tidak ada penyakit lain  yang menyertai pemeriksaan inspeksi 


didapatkan klien  tidak batuk,  tidak sesak napas, tidak ada
penggunaan otot bantu napas, dan frekuensi  pernapasan dalam batas
normal.  Palpasi biasanya traktil premitus  seimbang kanan dan kiri. 
perkusi didapatkan resonan  pada seluruh  lapangan paru.  Askultasi
tidak terdengar  bunyi napas tambahan. 
2. B2 (Blood)
Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai   pemeriksaan  nadi 
dengan frekuensi  dan irama yang normal.  TD  dalam batas normal
dan  tidak terdengar bunyi  jantung tambahan.
3. B3 (Brain)
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan  lebih
lengkap dibandingkan pengkaian  pada sistem lainnya. 
a. Tingkat  Kesadaran
Pada Bell’s palsy biasanya kesadaran klien  compos mentis.
b. Fungsi Serebri
Status mental : observasi  penampilan klien  dan tingkah lakunya, 
nilai gaya  bicara klien, observasi  ekspresi wajah,  dan  aktivitas
motorik yang pada klien  Bell’s palsy  biasanya status mental klien
mengenai perubahan. 
c. Pemeriksaan saraf kranial
i. Saraf  I. Biasanya  pada klien Bell’s palsy tidak ada kelainan 
dan fungsi penciuman tidak ada kelainan.
ii. Saraf II.  Tes ketajaman  penglihatan pada kondisi normal.
iii. Saraf III, IV,  dan VI.  Penurunan gerakan kelopak mata pada
sisi yang sakit (lagoftalmos ).
iv. Saraf V.  Kelumpuhan  seluruh otot wajah seisi, lipatan
nasolabial  pada sisi kelumpuhan mendatar, adanya gerakan
sinkinetik.
v. Saraf VII.  Berkurangnya ketajaman pengecapan, mungkin
sekali  adema nervus  fasialis di tingkat faranem
12 BELL’SdiPALSY
stilomastedeus meluas  sampai bagian nervus fasialis, mana
khorda timpani menggabungkan diri padanya.
vi. Saraf  VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli
persepsi.
vii. Saraf IX dan X.  Paralisis  Otot orofaing, kesukaran
berbicara, mengunya, dan menelan. Kemampuan  menelan
kurang baik, sehingga mengganggu pemenuhan nutrisi via
oral.
viii. Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus  dan
trapezius.  Kemampuan mobilisasi leher baik.
ix. Saraf XII. Lidah simestris,  tidak ada deviasi  pada satu sisi
dan tidak ada fasikulasi. Indra pengecapan mengalami
kelumpuhan dan pengecapan  pada 2/3  lidah sisi kelumpuhan
kurang tajam. 
d. Sistem Motorik
Bila tidak melibatkan disfungsi neurologis  lain, kekuatan otot
normal,  control keseimbangan dan koordinasi  pada Bell’s palsy
tidak ada kelainan.
e. Pemeriksaan Refleks
Pemeriksaan refleks dalam,  pengetukan pada tendon, ligamentum 
atau periosteum derajat refleks pada respons normal. 
f. Gerakan Involunter
Tidak  ditemukan adanya tremor, kejang, dan distonia.
Pada beberapa keadaan sering di temukan Tic Fasialis. 
g. Sistem Sensorik
Kemampuan penilaian  sensorik raba,  nyeri, dan suhu tidak ada
kalainan. 
4. B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada sistem perkemihan  biasanya  didapatkan
berkurangnya volume haluaran urine, hal  ini berhubungan dengan 
penurunan perfusi  dan  penurunan curah jantung ke ginjal. 
13 5. B5 (Bowel) BELL’S PALSY

Mual sampai muntah  dihubungkan dengan  peningkatan produksi 


asam lambung. Pemenuhan  nutrisi  pada klien Bell’s palsy  menurun
karena anoreksia  dan  kelemahan  otot –otot mengunyah  serta
gangguan proses  menelan   menyebabkan  pemenuhan via oral
menjadi berkurang.
6. B6 (Bone )
Penurunan kekuatan otot  dan  penurunan tingkat kesadaran 
menurunkan  mobilitas klien  secara umum.  Dalam pemenuhan
kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu oleh orang lain.
3.2 Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan rasa nyaman, nyeri berhubungan dengan bunyi pendengaran
yang lebih kuat pada satu bagian.
2. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kelemahan otot-otot
mengunyah.
3. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan perubahan
bentuk wajah karena kelumpuhan satu sisi pada wajah.
4. Cemas yang berhubungan dengan prognosis penyakit dan perubahan
kesehatan.
5. Kurangnya pengetahuan perawatan diri sendiri yang berhubungan dengan
informasi yang tidak edekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan.
5.3 Intervensi Keperawatan
1. Gangguan rasa nyaman, nyeri berhubungan dengan bunyi pendengaran
yang lebih kuat pada satu bagian.
Tujuan : nyeri pada telinga klien berkurang, hilang
Kriteria hasil : klien mampu mengatasi nyeri yang dirsakan saat
mendengar
Intervensi Keperawatan
Intervensi Rasional
Kaji/hubungkan faktor fisik/emosi dari Faktor yang berpengaruh terhadap
keadaan seseorang. keberadaan/persepsi nyeri tersebut.
Tinggikan ektremitas yang sakit. Mendorong aliran balik vena untuk
14 BELL’S PALSY
memudahkan sirkulasi, menurunkan
pembentukan statis/edema.
Catat adanya pengaruh nyeri, misalnya : Nyeri dapat mempengaruhi kehidupan sampai
hilangnya perhatian pada hidup, penurunan pada suatu keadaan yang cukup serius dan
aktivitas, penurunan berat badan. mungkin berkembang ke arah depresi.
Anjurkan untuk beristirahat dalam ruangan Menurunkan stimulasi yang berlebihan yang
yang tenang. dapat mengurangi bunyi yang membuat
telinga klien sakit.
Berikan kompres dingin pada bagian telinga Meningkatkan rasa nyaman dengan
akibat adanya infeksi telinga tengah menurunkan vasodilatasi.
Berikan obat, sesuai indikasi: Analgesik, Mengurangi nyeri dan inflamasi.
antipiretik (contoh asetaminofen).

2. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kelemahan otot-


otot mengunyah
Tujuan : nutrisi klien meningkat
Kriteria hasil : klien mampu memenuhi nutrisi sesuai kebutuhan klien
Intervensi Keperawatan
Intervensi Rasional
Kaji pemenuhan kebutuhan nutrisi klien Mengetahui kekurangan nutrisi klien.
Jelaskan pentingnya makanan bagi proses Dengan pengetahuan yang baik tentang nutrisi
penyembuhan. akan memotivasi untuk meningkatkan
pemenuhan nutrisi.
Mencatat intake dan output makanan klien. Mengetahui perkembangan pemenuhan nutrisi
klien.
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk Ahli gizi adalah spesialisasi dalam ilmu gizi
membantu memilih makanan yang dapat yang membantu klien memilih makanan
memenuhi kebutuhan gizi selama sakit. sesuai dengan keadaan sakitnya, usia, tinggi,
berat badannya.
Manganjurkn makan sedikit- sedikit tapi Dengan sedikit tapi sering mengurangi
sering. penekanan yang berlebihan pada lambung.
Menyarankan kebiasaan untuk oral hygine Meningkatkan selera makan klien.
sebelum dan sesudah makan.

3. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan perubahan


15 bentuk wajah karena kelumpuhan satu sisi pada wajah. BELL’S PALSY
Tujuan                : konsep diri klein meningkat
Kriteria hasil      : klien mampu menggunakan koping yang positif
Intervensi dan Rasional
Intervensi Rasional
Kaji dan  jelaskan kepada klien tentang Intervensi awal bisa mencegah disstres
keadaan paralisis wajahnya. psikologi pada klien.
Bantu klien menggunakan mekanisme Mekanisme koping yang positif dapat
koping yang positif. membantu klien lebih percaya diri, lebih
kooperatif terhadap tindakan yang akan
dilakukan dan mencegah tetjadinya
kecemasan tambahan.
Orientasikan klien terhadap prosedur rutin Orientasi dapat menurunkan kecemasan.
dan aktivitas yang diharapkan.
Libatkan system pendukung dalam Kehadiran system pendukung meningkatkan
perawatan klien. citra diri klien.
4. Cemas yang berhubungan dengan prognosis penyakit dan perubahan
kesehatan.
Tujuan                : kecemasan hilang atau berkurang
Kriteria hasil      : mengenal perasaannnya, dapat mengidentifikasi penyebab
atau faktor yang mempengaruhinya dan menyatakan
ansietas berkurang/hilang.
Inrervensi dan Rasional
Intervensi Rasional
Kaji tanda verbal dan non verbal kecemasan, Reaksi verbal/non verbal dapat menunjukkan
dampingin klien dan lakukan tindakan bila rasa agitasi, marah dan gelisah.
menunjukkan perilaku merusak.
Mulai melakukan tindakan untuk Mengurangi rangsangan eksternal yang tidak
mengurangi kecemasan. Beri lingkungan perlu.
yang tenang dan suasana penuh istirahat.
Tingkatkan kontrol sensasi klien. Kontrol sensasi klien (dan dalam menurunkan
ketakutan) dengan cara memberikan
informasi tentang keadaan klien, menekankan
16 BELL’S
pada penghargaan terhadap PALSY
sumber-sumber
koping (pertahanan diri), yang positif,
membantu latihan relaksasi dan teknik-teknik
pengalihan dan memberikan respons balik
yang positif.
Beri kesempatan kepada klien untuk Dapat menghilangkan ketegangan terhadap
mengungkapkan kecemasannya. kekhawatiran yang tidak dieksperesikan.
Berikan privasi untuk klien dan orang Memberi waktu untuk mengeksperesikan
terdekat. perasaan, menghilangkan cemas dan perilaku
adaptasi. Adanya keluarga dan tewman-teman
yang dipilih klien yang melayani aktivitas dan
pengalihan (misalnya membaca) akan
menurunkan perasaan terisolasi.

5. Kurangnya pengetahuan perawatan diri sendiri yang berhubungan


dengan informasi yang tidak edekuat mengenai proses penyakit dan
pengobatan.
Tujuan : dalam jangka waktu 1x30 menit klien akan memperlihatkan
kemampuan pemahaman yang adekuat tentang penyakit dan
pengobatannya.
Kriteria hasil : klien mampu secara subjektif menjelaskan ulang secara
sederhana terhadap apa yang telah didiskusikan.
Intervensi dan Rasional
Intervensi Rasional
Kaji kemampuan belajar, tingkatkan Indikasi progresif atau reaktivasi penyakit
kecemasan, partisipasi, media yang sesuai atau efek samping pengobatan serta untuk
untuk belajar. evaluasi lebih lanjut.
Identifikasi tanda dan gejala yang perlu Meningkatkan kesadaran kebutuhan tentang
dilaporkan keperawatan. perawatan diri untuk meminimalkan
kelemahan.
Jelaskan instruksi dan informasi misalnya Meningkatkan kerja sama/ partisipasi
penjadwalan pengobatan. terapeutik dan mencegah putus obat.
Kaji ulang resiko efek samping pengobatan. Dapat mengurangi rasa kurang nyaman dari
pengobatan untuk perbaikan kondisi klien.
Dorong klien mengeksperesikan Memberikan kesempatan untuk mengoreksi
17 BELL’S PALSY
ketidaktahuan/kecemasan dan beri informasi persepsi yang salah dan mengurangi
yang dibutuhkan.. kecemasan.  

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
 Bells palsi adalah kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non-supuratif,
non-neoplasmitik, non-degeneratif primer namun sangat mungkin akibat
edema jinak pada bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau
sedikit proksimal dari foramen tersebut, yang mulainya akut dan dapat
sembuh sendiri tanpa pengobatan.
 Penyebabnya tidak diketahui, umumnya dianggap akibat infeksi semacam
virus herpes simpleks. Virus tersebut dapat dormant (tidur) selama
beberapa tahun, dan akan aktif jika yang bersangkutan terkena stres fisik
ataupun psikik. Sekalipun demikian Bell's palsy tidak menular.

4.2 Saran
Dengan dibuatnya makalah ini diharapkan mahasiswa dapat memahami dan
mencari ilmu yang lebih banyak diluar dari makalah ini terkait tentang meteri
dalam pembahasan, dan tidak hanya berpatokan dengan satu sumber ilmu (materi
terkait), sehingga dalam tindakan keperawatan dapat menerapkan asuhan
keperawatan pada klien dengan penyakit Bell’s Palsy.

18 BELL’S PALSY

DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, Arif. 2011. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem


Persyarafan. Jakarta : Salemba Medika.
Michael I. Greenberg, MD, MPH. 2008. Teks Atlas Kedokteran Kedaruratan
Greenberg Jilid 1. Jakarta : Erlangga.
Musyirah Megarisky. 2011. Askep Bells Palsy. http://musyrihah-
megarezky.blogspot.com/2011/11/askep-bells-palsy.html. Diakses
Tanggal 29 Oktober 2013
Supranata, Dika. 2013. Askep Bells Palsy.
http://dikasuccess.blogspot.com/2013/09/askep-bells-palsy.html. Diakses
Tanggal 28 Oktober 2013.

19 BELL’S PALSY

Anda mungkin juga menyukai